BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN
A. Etnis Cina di Salatiga Bangsa Cina pada awal kedatangannya di Indonesia adalah untuk melakukan perdagangan. Seperti halnya para pedagang dari Arab, India, dan Cina. Bangsa Cina melewati jalur laut untuk melakukan perdagangan dengan bangsa India, jalur tersebut dinamakan Jalur Sutera. Karena negeri Cina dikenal dengan penghasil kain sutera, mereka membawa keramik, guci, batu alam dan sutera. Bangsa Cina mengarungi Laut Cina Selatan dan akan menuju ke India, mereka singgah di Indonesia dan khususnya singgah di Jawa karena di Jawa banyak terdapat pelabuhan di pesisir Utara Jawa. Dari catatan seorang musafir Cina, Fa-Hien, diperoleh keterangan bahwa pada tahun 414, terdapat kerajaan bernama To-lo-mo (Taruma) atau Kerajaan Tarumanegara yang merupakan kerajaan tertua di Jawa. Fa-Hien yang sedang melakukan perjalanan menuju India dan singgah di Ye-po-ti (Jawa). Tidak semuanya orang Cina ikut melanjutkan berdagangan ke India, ada sebagian orang Cina melakukan kontak hubungan dengan orang Jawa. Yang pada akhirnya menetap di Jawa dan melakukan perkawinan dengan orang Jawa. Dan terjadi akulturasi budaya dengan masyarakat setempat. Seperti halnya Sunan Bonang dan Sunan Ampel beliau adalah keturunan Cina. Sepanjang abad-abad berikutnya, kelompok-kelompok masyarakat Cina terus memainkan peranan yang sangat
penting di dalam kehidupan ekonomi dan sosial Jawa yang terletak di daerah pedalaman (Peter Carey,1986:16). Sedangkan orang-orang Cina masuk ke Salatiga sekitar abad ke 18, ini dibuktikan dengan adanya klenteng Amurvabhumi atau biasa disebut Klenteng Hok Tiek Bio yang berada di Jalan Letjen Sukowati merupakan saksi sejarah masuknya ajaran agama Budha di Kota Salatiga. Berdirinya klenteng ini sekaligus menandakan masuknya pengaruh Tionghoa ke Salatiga. Tak diketahui secara persis kapan pengaruh kaum warga keturunan ini masuk ke Salatiga yang dulunya merupakan tanah perdikan. Namun dari hasil identifikasi sejumlah ahli sejarah, masuknya pengaruh Tionghoa ke Kota Salatiga diprediksi terjadi seiring dengan pergerakan
Tionghoa
ke
Surakarta
(Solo)
pada
tahun
1740-1741
(http://kaledhasby.multiply.com/journal). Jumlah orang kulit putih yang tinggal di Salatiga semakin bertambah banyak setelah berdirinya Gementee Salatiga. Pada tahun 1927 orang kulit putih di Salatiga sudah mencapai 3084 jiwa. Tahun 1930 jumlah orang asing di Salatiga sudah mencapai 4338 jiwa, orang Cina terdapat 1837 (Eddy Supangkat, 2007:13). Kawasan Cina di Salatiga berpusat di jalan Jendral Sudirman ditambah beberapa ruas jalan yang memotong jalan tersebut, baik ke arah timur maupun barat. Rumah-rumah di kawasan ini berarsitektur Cina dengan beberapa bangunan berderet memanjang seperti kopel. Karena kawasan Cina ini merupakan kawasan perdagangan maka rumah-rumah yang dibangun menyesuaikan fungsinya, bagian depan untuk berjualan dan yang belakang sebagai rumah tinggal. Seperti orangorang Eropa, orang Cina membangun rumah mereka dengan gedung-gedung
permanen. Jalan Jendral Sudirman selalu menjadi kawasan paling sibuk dari dulu sampai sekarang yang menjadi pusat perekonomian di Salatiga. B. Arsitektur Bangunan Sejalan dengan berkembangnya teknologi, cara hidup, pola pikir, dunia arsitektur mengalami perubahan besar. Perubahan terjadi dari klasik yang sudah berlangsung berabad-abad, kedalam modernisasi dan rasionalisme. Arsitektur sebagai fenomena kreatif manusia dalam memenuhi kebutuhan praktis untuk melindungi dirinya dari fenomena alam menunjukkan dinamika dari peradaban satu ke peradaban berikutnya. Secara biologos, manusia mampu mempertahankan dan mengembangkan hidupnya apabila mampu memberdayakan potensi yang dimiliki. Untuk bertahan hidup, manusia harus memenuhi kebutuhannya, yaitu: makan,sandang, dan papan sebagai tempat untuk dihuni yang mampu melindungi dan mempertahankan diri dari keadaan alam seperti cuaca dan ancaman binatang liar. Perkembangan arsitektur menunjukkan bahwa tempat-tempat hunian yang berada di pepohonan atau di tempat yang memiliki ketinggian tertentu atau bahkan gua-gua adalah fenomena kecerdasan manusia dari keadaan alam dan ancaman binatang liar. Sesuai dengan perkembangan otak manusia, maka tempat hunian yang lebih permanen diciptakan. Bangunan-bangunan sederhana didirikan dari material yang ada di sekitarnya. Pada perkembangan selanjutnya peradaban semakin berkembang dengan dikuasainya sejumlah pengetahuan mendorong ditemukannya teknologi-teknologi baru. Pengetahuan tentang kayu, logam, dan
material lain mendorong terciptanya teknologi-teknologi baru yang semakin mempermudah kelangsunagn dan pengembangan hidup manusia. Rumah hunian bukan satu-satunya produk rekayasa seni bangunan, akan tetapi dalam peradaban yang makin berkembang, rumah hunian menjadi kebutuhan yang harus tercukupi oleh seseorang atau anggota masyarakat. Rumah merupakan salah satu kebutuhan hidup yang utama. Fungsi rumah sebagai wadah kegiatan bagi penghuninya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Seiring dengan tuntutan dan perubahan hidup manusia, maka dalam bidang arsitektur juga mengalami berbagai perkembangan, baik menyangkut bentuk, gaya, dan fungsinya (Sunarmi,dkk:2007:10). C. Bangunan yang berarsitektur China dan Eropa Banyaknya pedagang dari Belanda dan Cina yang menetap di Jawa Tengah, termasuk Salatiga, memaksa mereka untuk membangun berbagai fasilitas. Berbagai bangunan sengaja dibangun sebagai sarana prasarana berlangsungnya aktivitas mereka. Salatiga terbagi menjadi tiga kawasan pemukiman, yaitu kawasan Eropa (Europeesche wijk), kawasan Cina (Chinese wijk), serta kawasan pribumi. Kawasan Eropa yang utama adalah di sepanjang Toentangscheweg (jalan Diponegoro) ditambah Yulianalaan (jalan Moh. Yamin), dan seputar alun-alun, Jetis, dan Buk Suling. Banyak bangunan yang berarsitektur Eropa di sepanjang jalan tersebut. Seperti gedung Walikota, Sekolah Dasar yang ada di sepanjang jalan Diponeogoro Salatiga. Sedangkan penduduk pribumi tinggal di luar kawasan Eropa dan Cina. (Eddy Supangkat,2010:67).
Bangunan berarsitektur Cina juga dibangun di daerah Salatiga. Kawasan Cina berpusat di Soloscheweg (jalan Jendral Sudirman) ditambah beberapa ruas jalan yang memotong jalan tersebut, baik ke arah Timur atau Barat. Karena kawasan ini termasuk kawasan pedagang, maka bangunannya disesuaikan dengan fungsinya, bagian depan untuk berdagang, sedangkan bagian belakang untuk tempat tinggal (Eddy Supangkat,2010:69). D. Perkembangan Istana Djoen Eng Menjadi Institut Roncalli Istana Djoen Eng yang berdiri kokoh di Salatiga bertahan selama beberapa tahun. Istana tersebut dijadikan tempat singgah oleh Djoen Eng beserta keluarganya. Namun pada tahun 1930 diketahui telah terjadi krisis ekonomi besar-besaran yang melanda dunia, perusahaan Kwik Djoen Eng jatuh bangkrut dan terlilit banyak hutang. Akhirnya seluruh kompleks istana di Salatiga yang berharga itu disita oleh Javaasche Bank untuk melunasi hutangnya,. Sejak saat itu gedung tersebut kosong, tanpa penghuni. Tentang nasib Kwik Djoeng Eng ada yang mengatakan bahwa beliau meninggal dalam perjalanan pulang ke tanah leluhur, dan keluarganya tersebar-sebar, antara lain ke Singapura. Tetapi kepastian tidak ada. (Eddy Supangkat,2007:89) Pada bulan April 1940 pimpinan FIC di Indonesia sangat didesak Uskup Semarang untuk membeli gedung Djoen Eng yang ditawarkan oleh Javache Bank dengan haraga yang rendah. Waktu itu gedung itu sudah beberapa atahun kosong dan tidak terawat. Waktu membeli, pimpinan FIC belum ada gambaran jelas kompleks yang amat luas itu akan dipakai untuk tujuan apa, panti asuhan anakanak piatu atau sekolah dan asrama sekaligus tempat istirahat bagi para bruder.
Pada bulan Mei tahun 1940 itu juga, sebelum FIC sempat menempati istana Djoen Eng itu, seluruh kompleks dipinjam oleh Gubernemen Hindia Belanda untuk dijadikan kamp tawanan. Kemudian, dengan kedatangan tentara Jepang tahun 1942, menjadi kamp interniran bangsa Belanda, kira-kira 170 orang banyaknya, diantaranya beberapa pastor dan bruder. Tahun 1945, waktu revolusi, gedungnya untuk beberapa bulan menjadi markas polisi dan tentara Indonesia. Kemudian, dari tahun 1946 sampai 1949 dijadikan tangsi tentara Belanda (Eddy Supangkat,2007:92). E. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan judul yang akan diteliti : 1. Penelitian yang dilakukan oleh Emy Wuryani yang berjudul Distrik Salatiga 1900-1942 (Thesis). Penelitian ini mengkaji tentang sosial dan ekonomi kota Salatiga yang didalamnya menyangkut perkembangan perdagangan Cina di Salatiga yang mempengaruhi masuk dan menetapnya masyarakat Cina di Salatiga. Sedangkan perbedaaan dengan penelitian ini adalah membahas lebih dalam perkembangan fungsi bangunan Istana Djoen Eng.