BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Nyeri a. Pengertian Nyeri Menurut sejarah telah dikemukakan berbagai teori untuk mendefinisikan dan menguraikan nyeri. Di tahun 1968, Me Caffery yang dikutip dari Kuntana tahun 2010, mendefinisikan nyeri sebagai apapun yang dikatakan oleh yang mengalaminya, ada di tempat maupun yang dikatakan olehnya. Definisi ini menggaris bawahi bahwa nyeri adalah pengalaman subyektif dan tidak memiliki parameter obyektif untuk pengukurannya. Definisi ini menekankan bahwa yang lebih mengetahui tentang nyeri adalah pasien yang mengalaminya dan bukan dokter, laporan pasien itu sendiri adalah indikator yang paling dapat diandalkan. International Asssociatin for the Study of Pain (IASP) mengajukan definisi nyeri yang diterima secara paling luas. Definisi ini kini yang sedang digemari, menjabarkan nyeri sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang terkait dengan kerusakan jaringan yang benar-benar ada dan berpotensi untuk terjadi atau dapat diartikan sebagai kerusakan. Definisi ini menekankan bahwa tanpa memandang ada atau tidaknya kerusakan jaringan yang dapat dikenali, nyeri adalah pengalaman kompleks yang memiliki beragam dimensi.
9
10
Nyeri dipengaruhi oleh beragam faktor seperti faktor fisik, kognitif, afeksi dan lingkungan pasien tersebut. Model biologis menguraikan nyeri sebagai sinyal peringatan terjadinya kerusakan jaringan. Teori ini memandang lintasan spesifik sebagai sumber tunggal nyeri sehingga jika terapi konservatif gagal, teknik bedah akan berhasil memecahkan masalah tersebut. Saat ini ada pergeseran paradigma manajemen nyeri dari pendekatan biomedis ke pendekatan biopsikososial, yang menawarkan platform yang lebih luas untuk memadukan masukan-masukan dari beragam faktor seperti yang diidentifikasikan dalam definisi International Asssociatin for the Study of Pain (Kuntana, 2010). Nyeri didefinisikan sebagai suatu rasa yang tidak menyenangkan dan merupakan pengalaman emosional yang berhubungan dengan kerusakan jaringan actual maupun potensial dan terkadang nyeri digunakan untuk menyatakan suatu kerusakan jaringan. Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik yang berbeda dengan modalitas sensorik lainnya. Sebagai contoh sentuhan merupakan suatu stimulus perifer yang dipersepsi sebagai rangsang sentuh, sedangkan nyeri merupakan fenomena yang kompleks yang dijelaskan dengan berbagai terminology dalam teori yang pluridimensional meliputi system sensorik, emosional, motorik maupun komponen budaya ( Parjoto, 2006 ).
11
b. Anatomi Fisiologi Nyeri Bagian dari saraf diseluruh jaringan tubuh yang menerima impuls dinamakan reseptor. Kepadatan reseptor di jaringan tubuh berbeda-beda dan jenis reseptor cukup banyak. Ada yang peka terhadap peregangan, suhu, zat, kimia, akan tetapi ada pula yang peka terhadap berbagai stimulasi dan tipe ini merupakan reseptor polimodal. Reseptor polimodal lebih sering disebut sebagai nosiseptor, dan kebanyakan berupa akhiran serabut saraf C dan serabut saraf A. Akan tetapi serabut saraf A terutama diartikulasi mempunyai akhiran nosiseptor disamping A dan C. Saraf kutan manusia mengandung serabut bermielin yang bervariasi diameternya, mulai dari 1 µm sampai 16µm. Juga mengandung serabut tanpa selubung myelin dengan diameter kurang dari 2µm. Serabut bermielin disebut serabut A yang untuk nyeri terbagi atas Abeta dan Adelta, sedangkan serabut tanpa myelin disebut serabut saraf C. Semua serabut mempunyai badan sel yang terletak di ganglion spinalis pada radik dorsalis. Sekitar 60-70% serabut saraf sensorik adalah termasuk kelompok C (Byers dan Bonica, 2001).
12
Tabel 2.1 Klasifikasi Serabut Saraf Aferen KHSP/m/detik Nama Diamter
KHSP: Kecepatan
Mm
Hantar Saraf
(System
Reseptor
Latter) Perifer A
10-20
70-120
Eferen otot
A
6-12
30-70
Reseptor, Meissner, Ruffini, Paccini, Markel, akhitan sekunder spindle otot
A
2-10
10-50
Eferen otot (intresfusal)
A
1-6
5-30
Nosiseptor untuk : mekanikal, termal, mekanotermal (polimodal), reseptor ranbut, reseptor visera
C
<15
0.5-20
Nosiseptor C : reseptor polimodal C, reseptor visera, reseptor panas, dingin dan mekanik
Sumber :Byers dan Bonica, 2001
13
Saraf aferen primer setelah melewati ganglion sensoris lalu masuk kedalam modula spinalis melewati kornu posterior dan berakhir pada lamina I (marginal layer), lamina II dan III (subtansia glatinosa) dan lamina V, sedikit yang berakhir dilamina IV. neuron proyeksi yang meneruskan informasi nyeri kesentral juga menerima input aferen dari visera yang berarti satu neuron proyeksi menenima beberapa input. Hal ini yang menyebabkan terjadi nyeri rujukan, neuron proyeksi secara langsung diaktifkan oleh serabut saraf bermielin dan tidak bermielin, hanya saja yang bermielin mengaktifkan neuron inhibisi sedangkan yang tidak bermielin akan menekan aktifasi neuron tersebut. Inilah yang disebut gate control theory. Disamping itu diternukan bahwa sebagian akson juga mengirim cadangnya keradik ventralis. Keberadaan akson nosiseptif diradik centralis ini yang menyebabkan kegagalan rizotomi dalam penyembuhan nyeri yang permanen. Impuls nosiseptif yang masuk ke kornu posterior kemudian diteruskan ke otak melalui beberapa traktus dan yang tersebar adalah traktur spinotalamikus. Traktus ini dalam perjalanan melewati modula ablongata akan member cabang ke traktus respiratorius dan pusat jantung. Melalui cabang inilah nyeri dapat membangunkan reflek respirasi dan sirkulasi (Byers dan Bonica, 2001).
14
c. Patofisiologi Nyeri Sel saraf dalam proses penghantaran nyeri ada 3 jenis yaitu sel syaraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor atau interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel syaraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sum-sum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke otak (Torrance dan Serginson, 1997). Kornu dorsalis dari medula spinalis dapat dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan serabut traktus sensori asenden berawal disini. Juga terdapat interkoneksi antara sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri. Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis yang ketika diaktifkan,
menghambat
atau
memutuskan
taransmisi
informasi
15
yangmenyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali area ini disebut “gerbang”. Kecendrungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua input yang menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari neuron inhibitor sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan mencegah transmisi sensasi nyeri (Smeltzer dan Bare, 2002).
Gambar 2.1 Mekanisme nyeri Sumber : Gottschalk et al , 2001.
16
Gambar diatas menunjukkan proses mekanisme nyeri terdiri dari 4 proses elektro fisiologi nociseptif. yang meliputi meliputi transduksi, transmisi, modulasi dan
persepsi. Menurut Kuntana tahun 2010, ke
empat proses tersebaut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Transduksi Tranduksi adalah proses yang melibatkan konversi respon kerusakan jaringan dan biokimia menjadi sinyal saraf oleh reseptor sensorik yang disebut dengan nosiseptor. Nosiseptor akan lebih sensitif terhadap trauma jaringan atau stimulus berkepanjangan yang dapat merusak jaringan. Reseptor ini terletak di ujung bebas dari serat saraf aferen primer yang tersebar di daerah perifer. Setelah terjadi kerusakan jaringan sel akan hancur dan melepaskan beragam produk sampingan
jaringan,
prostlagandin,
subtansi
prostaglandin,
bradikinin, histamine, serotonin dan sitokin, beberapa dari zat-zat ini menstimulasi nosiseptor. Sementara sebagian besar mensensitisasi nosiseptor meningkatkan sifat rangsangan dan frekuensi pembuangan. Aktifasi nosiseptor secara konstan dapat menyebabkan nyeri. 2) Transmisi Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta yang berdiameter besar. Saraf aferen akan berakson pada dorsal horn di spinalis. Selanjutnya
17
transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral spinalthalamic melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex cerebral. 3) Persepsi Persepsi adalah proses apresiasi sinyal yang tiba di pusat sebagai nyeri. Penentuan pengertiannya dan respon perilakunya. Hal tersebut dicirikan sebagai suatu sensasi tidak menyenangkan dan emosi negatif yang berbeda dan dapat diuraikan sebagai suatu rasa ketidaknyamanan pada beberapa bagian tubuh. baik struktur sistem kortikal maupun sistem limbic ikut terlibat dalam persepsi ini. Sinyal nosiseptif dari beberapa neuron proyeksi tanduk dorsal berjalan melalui thalamus ke kortek somatosensori kontralateral. Di situ sinyal tersebut dipetakan secara somatotopik untuk mengetahui informasi tentang lokasi, intensitas dan kualitas nyeri. Selain itu thalamus mengirim masukan/input nosiseptif lainya ke sistem limbic. Sinyal input ini terhubung dengan input dari saluran spineretikular dan spinomesensefalik memediasi aspek afektif nyeri. Persepsi nyeri dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan sosial disekitarnya, lebih lanjut lagi pengalaman di masa lalu dan budaya juga mempunyai pengaruh terhadap persepsi nyeri, dengan demikian penyebab nyeri standar seperti pembedahan dapat menyebabkan variasi persepsi nyeri perorangan yang bermakna. Persepsi juga menentukan beratringannya nyeri yang dirasakan (Bruner dan Suddart, 2001).
18
4) Modulasi Modulasi adalah proses dimana terjadi interaksi antara sistem analgesic endogen yang dihasilkan tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior modula spinalis. Sistem pemprosesan nyeri dianggap sebagai lintasan nyeri yang terprogram, yang akan memprodiksi sensasi nyeri sesuai dengan luas dan beratnya stimulasi nyeri. Meskipun demikian konsep ini mendapat tantangan dari beragam teori sejak tahun 1940-an. Theory control-gerbang mekanisme nyeri yang dipublikasikan oleh Melzack dan Wall tahun 1965 memiliki dampak bermakna pada bidang penelitian nyeri dan berdampak pada pengembangan berbagai pendekatan terapi nyeri. Teori ini menggabungkan aspek-aspek neurofisiologi dan psikologi serta menyatakan bahwa transmisi impuls nyeri pada saraf spinal dimodulasi secara terus menerus oleh aktifasi di dalam serat kecil (A dan C) dan serat besar (A-). Selain itu pesan-pesan yang turun dari korteks cerebri dan batang otak juga memainkan peran vital dalam modulasi nyeri. Model-model sistem turunnya nyeri saat ini mencakup baik inhibitory
maupun
facilitory
decending
pathways.
Inhibitory
decending pathways dimodulasi oleh berbagai bagian otak. Serat saraf dari lintasan ini melepaskan zat penghambat seperti apioid endogen, serotonin, norepinafrin, dan GABA pada sinaps dengan
19
neuron lain dalam tanduk dorsal. Zat-zat ini berkaitan dengan reseptor pada neuron aferen primer atau neuron tanduk dorsal sehingga menghambat transmisi nosiseptif. Akibatnya mekanisme modulasi endogen tersebut dapat memberi kontribusi pada besarnya perbedaan persepsi nyeri diantara pasien dengan kerusakan yang serupa. d. Klasifikasi Nyeri Menurut Bonica tahun 2001 mengklasitikasikan nyeri berdasarkan jenisnya meliputi : 1) Nyeri Nosiseptif Nyeri nosiseptif terjadi jika ujung-ujung saraf perifer utuh (nosiseptor) distimulasi oleh stimulus berbahaya seperti luka (akibat panas, mekanik, atau kimia) penyakit dan peradangan. Nyeri ini terjadi karena aktifasi terus menerus dari nesiseptor A- dan C dalam merespon stimulasi berbahaya. Nyeri nesiseptif dapat diklasifikasikan terutama menjadi nyeri viseral (nyeri yang muncul dari organ viseral) dan nyeri somatik (nyeri yang muncul dari jaringan seperti kulit, otot, tulang dan kapsul sendi). Nyeri somatik dapat dikatagorikan lebih lanjut sebagai nyeri somatik dangkal dan nyeri somatik dalam. 2) Nyeri Neuropati Nyeri neuropati disebabkan oleh suatu luka atau lesi didalam system saraf perifer atau sistem saraf pusat. Nyeri ini disebabkan karena pemprosesan sinyal yang abnormal pada sistem saraf perifer atau saraf pusat akibat perlukan atau kerusakan sistem saraf.
20
Penyebab umumnya meliputi trauma, peradangan, penyakit metabolik , infeksi, tumor, toksin dan penyakit neurologis primer. 3) Nyeri Akut Nyeri akut adalah respon biologis normal terhadap luka dan suhu indicator dari trauma jaringan yang sedang atau akan terjadi. Karenanya nyeri akut juga dinyatakan sebagai nyeri fisiologis. Sebelumnya nyeri akut hanya dilihat dari sudut pandang durasinya, namun kini nyeri akut didefinisikan sebagai suatu pengalaman komplek yang tidak menyenangkan baik secara emosional, kognitif, maupun sensorik yang terjadi sebagai respon terhadap terjadinya trauma jaringan Berbagai mekanisme diajukan guna menjelaskan tentang mengapa nyeri masih berlangsung setelah pasien mengalami nyeri akut. Salah satu kemungkinan adalah terjadinya sensitisasi nosiseptor yaitu menurunnya nilai ambang reseptor yang bersangkutan. Peningkatan sensitivitas pada daerah cidera disebut hiperalgesia primer.
Daerah yang mengalami cidera juga akan mengalami
sensitisasi sehingga pasien juga akan mengalami hiperalgesia sekunder. hiperalgesia sekunder dipercaya dipercaya sebagai akibat dari aktivasi antidromik afferent primer C dan terlepasnya materi prostaglandin pada daerah tersebut. Postulat kedua ialah dilepasnya materi protaglandin oleh afferent primer kecil.
21
Mekanisme yang serupa dapat menjelaskan terjadinya siklus nyeri spasme nyeri di otot tangka.
Permulaan cidera akan
mengakibatkan terjadi kontraksi
guna
otot
melindungi
atau
mengimobilisasi daerah tersebut. Kontraksi otot yang berkelanjutan akan mengakibatkan ischemia dan terlepasnya materi kimiawi yang akan mensesitisasi aferfen A delta dan C yang terdapat di otot. Hasil metabolism semata tidak akan menghasilkan aktifasi nosiseptif. Namun bahyan – bahan kimiawi lain seperti bradikinin, serotonim, dan histamine akan mempunyai pengaruh yang sangat sangan besar. Peningkatan sensitifitas nosiseptor akan menambah kontraksi reflektoris otot sehingga siklus nyeri- spasme- nyeri akan semakin bertambah. Keadaan ini semakin diperberat oleh terjadinya reflek simpatis. Siklus nyeri - spasme – nyeri dapat diatasi dengan cara memperbaiki mekanisme inhibisi ( Parjoto, 2006 ). 4) Nyeri Kronis Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri dengan durasi yang lama, acapkali berhubungan dengan nyeri fisik dan mental, depresi, kecemasan dan keputusasaan. Nyeri kronik bias berlangsung berbulan – bulan atau bahkan bertahun – tahun diluar periode kesembuhan atau terjadi secara terputus –putus.
Beberapa klinikus menggunakan
satuan waktu 6 bulan pasca trauma atau pasca sakit guna mengelompokkannya dalam nyeri kronik.
Faktor lingkungan dan
psikologik merupakan hal yang penting dalam kaitannya dengan
22
evolusi nyeri kronik.
Tanggap rangsang fisiologis dan perilaku
terhadap nyeri kronik berbeda disbanding dengan nyeri akut. Peningkatan sensitivitas nisiseptor akan mengakibatkan siklus nyeri- spasme-nyeri tetap berlangsung.
Keadaan ini dapat
berlangsung semi permanen atau berubah tergantung mekanisme yang terjadi ditingkat spinal. Mekansme kedua ialah akibat adanya kompresi saraf perifer yang bertahan lama. Kompresi akan merusak neuron afferent primer besar sehingga berakibat terjadinya ketidak seimbangan masukan afferent besar ( taktil ) dan esukan afferent kecil ( nyeri ) sehingga gerbang tetap membuka ( Parjoto, 2006 ). Nyeri kronis dahulu didefinisikan sebagai nyeri yang berkelanjutan hingga 3-6 bulan setelah onset, definisi baru berdasarkan factor-faktor lain yang lebih dari sekedar faktor waktu sedang digemari. International Asssociatin for the Study of Pain mendefinisikan nyeri kronis sebagai nyeri yang menetap lebih lama dari waktu yang diharapkan untuk penyembuhan, atau nyeri terkait dengan penyakit progresif yang bukan keganasan, biasanya diasumsikan selama 3 bulan. Definisi lain tentang nyeri kronis adalah nyeri menetap yang mengganggu tidur dan kehidupan normal, tidak lagi berfungsi sebagai pelindung, dan malah menurunkan derajat kesehatan dari kemampuan fungsional.
23
5) Nyeri Kelainan Fungsi Nyeri kelainan fungsi merupakan nyeri organik yang memakai fitur klinis nyeri neuropati tetapi tidak dimulai oleh suatu lesi yang dapat didefinisikan bagian dari sistem saraf manapun. Karena tidak ada
perlukaan
saraf
yang
meminimalisiasi,
beberapa
pakat
berargumen bahwa kategori kelainan fungsi harus dikeluarkan. Walau benar bahwa memasukkan nyeri kelainan fungsi menambah kompleksitas
dalam
penetapan
batas-batas
nyeri
neuropati.
Pengecualian jenis nyeri ini akan mengabaikan realitas klinis eksistensi dari keadaan nyeri serupa. Yang satu diprovokasi oleh kerusakan neurologis dan yang lainya oleh kerusakan jaringan nonneural. 6) Nyeri Campuran Nyeri campuran dihasilkan dari beberapa kombinasi nyeri nosiseptif, nyeri neuropatik, dan nyeri visceral. Nyeri campuran tampak pada pasien dengan kanker dan nyeri punggung kronis (khusus nyeri punggung bawah setelah pembedahan) dimana kombinasi dan komponen neuropati, nosiseptif dan miofasial dapat member kontribusi pada pengalaman nyeri pasien (Bonica, 2001). e. Multidimensional nyeri Nyeri adalah fenomena yang multidimensional. Harahap tahun 2007, mengkategorikan dimensi nyeri sebagai berikut :
24
1). Dimensi sensori Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi dimana nyeri itu timbul dan bagaimana rasanya. Terdapat tiga komponen spesifik dalam dimensi sensori, yaitu lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri. Lokasi nyeri memberikan petunjuk penyebab nyeri bila ditinjau dari segi aspek sensori. Lokasi nyeri itu sendiri dapat dilaporkan oleh pasien pada dua atau lebih lokasi. Kondisi dimana dirasakannya
nyeri
pada
beberapa
lokasi
yang
berbeda
mengimplikasikan keterlibatan dimensi sensori. Semakin banyak lokasi nyeri yang dirasakan oleh pasien, maka akan semakin sulit bagi pasien untuk melokalisasi area nyerinya Intensitas nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh individu dan seringkali digambarkan dengan kata-kata seperti ringan, sedang, dan berat. Intensitas nyeri juga dapat dilaporkan dengan angka yang menggambarkan skor dari nyeri yang dirasakan, sedangkan kualitas nyeri adalah berkaitan dengan bagaimana nyeri itu sebenarnya dirasakan individu. Nyeri yang dialami klien seringkali tidak dapat dijelaskan (Potter dan Perry, 2009). 2). Dimensi Kognitif Dimensi kognitif dari nyeri menyangkut pengaruh nyeri yang dirasakan oleh individu terhadap proses pikirnya atau pandangan individu terhadap dirinya sendiri. Respon pikiran individu terhadap nyeri yang dirasakan dapat diasosiasikan dengan kemampuan koping
25
individu menghadapi nyerinya). Pengetahuan adalah aspek yang penting dalam dimensi kognitif. Pengetahuan tentang nyeri dan penanganannya dapat mempengaruhi respon seseorang terhadap nyeri. Nyeri itu sendiri dapat dimodifikasi oleh bagaimana seseorang berpikir tentang nyeri yang dirasakannya, apa saja pengharapannya atas nyerinya, dan apa makna nyeri tersebut dalam kehidupannya. 3). Dimensi Afektif Dimensi afektif dari nyeri mempengaruhi respon individu terhadap nyeri yang dirasakannya. Dimensi afektif dari nyeri identik dengan sifat personal tertentu dari individu. Pasien-pasien yang mudah sekali memahamikondisi depresi atau gangguan psikologis lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sanga timggi dibandingkan dengan pasien lainnya. 4). Dimensi Fisiologis Dimensi fisiologi terdiri dari penyebab organik dari nyeri tersebut Berdasarkan dimensi fisiologis, terdapat dua karakteristik yang melekat dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi dan pola nyeri. Durasi nyeri mengacu kepada apakah nyeri yang dialami tersebut akut atau kronik sedangkan pola nyeri dapat diidentifikasi sebagai nyeri singkat, sekejap, atau transient, ritmik, periodik, atau juga nyeri berlanjut, menetap atau konstan (Rospond, 2008).
26
5). Dimensi sosiokultural Dimensi sosiokultural nyeri terdiri dari berbagai variasi dari faktor demografi, adat-istiadat, agama, dan faktor-faktor lain yang berhubungan yang dapat mempengaruhi persepsi nyeri dan respon seseorang terhadap nyerinya. Kultur atau budaya memiliki peranan yang kuat
untuk
menentukan faktor sikap individu
dalam
mempersepsikan dan merespon nyerinya. Sikap individu ini juga berkaitan dengan faktor usia, jenis kelamin, dan ras. Pengaruh budaya terhadap peranan wanita kuat dalam budaya orang Afrika-Amerika cenderung menyebabkan wanita penderita kanker kurang diperhatikan ketika mengeluh tentang nyeri dan mencari pertolongan untuk mengatasi nyeri yang dialami. Beberapa responden merasakan bahwa kanker sebagai suatu noda/cacat dan mengeluh tentang nyeri yang dialami bukanlah sesuatu hal yang harus didiskusikan secara terbuka. 6). Dimensi perilaku (behavioral) Perilaku nyeri adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang dan setiap perubahan kebiasaan ketika ia mengalami nyeri yang dapat di observasi Tampilan perilaku nyeri yang diperlihatkan seseorang dapat berupa guarcing, bracing, grimacing, keluhan verbal, dan perilaku mengkonsumsi obat. Perilaku nyeri dapat dipengaruhi oleh factor lingkungan atau dapat juga diperkuat oleh perhatian, dukungan sosial, atau menghindari kegiatan yang dapat merangsang nyeri seperti bekerja di kantor, pekerjaan rumah tangga. Nyeri, jika
27
diikuti oleh faktor pendukung, maka nyeri akan bertahan lebih lama dari waktu penyembuhan normalnya. f. Terapi Nyeri Prinsip dasar terapi nyeri adalah sedapat mungkin menghilangkan proses patologik kausatif yang bertanggung jawab terhadap terjadinya nyeri. Disamping itu perlu juga ditambah berbagai cara untuk mengatasi nyeri tersebut yang terbagi atas terapi konservatif, bedah maupun keduanya. Terapi konservatif meliputi: terapi farmakologi dan fisioterapi. Pada
pemakaian
obat
analgetik
harus
hati-hati
dalam
penggunaannya, mengingat efek samping dalam penggunaan secara terus menerus, tidak semua nyeri harus diberikan terapi farmakologi sebab ada beberapa keadaan dimana nyeri dapat dihilangkan dengan terapi fisik misal: pemanasan, pemijatan, kompres es dan lain-lain (Hariyanto, 2003). g. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri Menurut Hariyanto tahun 2003, nyeri dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah : 1) Pengalaman Masa Lalu dengan Nyeri Pengalaman masa lalu juga berpengaruh terhadap persepsi nyeri individu dan kepekaannnya terhadap nyeri. Individu yang pernah mengalami nyeri atau menyaksikan penderitaan orang terdekatnya saat mengalami nyeri cenderung merasa terancam dengan peristiwa nyeri yang akan terjadi dibandingkan individu lain yang belum pernah mengalaminya. Selain itu, keberhasilan atau kegagalan
28
metode penanganan nyeri sebelumnya juga berpengaruh terhadap harapan individu terhadap penanganan nyeri saat ini. 2) Kecemasan Kecemasan
adalah
suatu
keadaan
yang
akan
dapat
memperbesar dan meningkatkan persepsi seseorang terhadap nyeri. Tingkat kecemasan yang tinggi akan meningkatkan pula respon atau perilaku individu terhadap nyeri. 3) Budaya Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang berespon terhadap nyeri. Antara pasien yang satu dengan yang lainnya berbeda dalam menggambarkan respon nyeri. Pasien mungkin saja menggambarkan nyeri dengan meringis atau menangis ketika merasakan nyeri, tetapi pasien dari latar budaya lainnya bisa menggambarkan respon nyeri yang berbeda, seperti diam seribu bahasa daripada mengekspresikan nyeri dengan suara keras. Latar belakang budaya merupakan faktor yang memengaruhi reaksi terhadap nyeri dan ekspresi nyeri. Sebagai contoh, individu dari budaya lain justru lebih memilih menahan perasaan mereka dan tidak ingin merepotkan orang lain. 4) Usia Perbedaan usia
seseorang mempunyai
pengaruh
yang
bermacam-macam dalam memandang suatu rasa nyeri. Pada usia dewasa biasanya lebih dapat merespon rasa sakit dengan baik, tetapi
29
sebaliknya anak-anak mempunyai ambang batas rasa nyeri yang rendah untuk membedakan antara rasa sakit dan tekanan, pada orang yang berusia lanjut mengalami kegagalan dalam merasakan kerusakan jaringan, akibat perubahan degeneratif pada jalur syaraf nyeri. Sehingga lansia cenderung untuk mengabaikan nyeri dan menahan nyeri yang berat dalam waktu yang lama. Prevalensi nyeri pada individu lansi lebih tinggi karena penyakit akut atau kronis yang mereka derita. Walaupun ambang batas nyeri tidak berubah karena penuaan, tetapi efek analgesik yang diberikan menurun karena perubahan fisiologis yang terjadi. 5) Lingkungan Lingkungan sangat mempengaruhi tingkat respon individu terhadap nyeri, keadaan lingkungan yang tidak baik atau tidak nyaman meliputi keadaan ribut dan ramai akan meningkatkan intensitas nyeri individu ke suatu yang lebih berat. Lingkungan yang bising, tingkat kebisingan yang tinggi, pencahayaan, dan aktivitas yang tinggi di lingkungan tersebut dapat memperberat nyeri. Selain itu, dukungan dari keluarga dan orang terdekat menjadi salah satu faktor penting yang memengaruhi persepsi nyeri individu. Sebagai contoh, individu yang senidirian, tanpa keluarga atau teman-teman yang mendukungnya, cenderung merasakan nyeri yang lebih berat
30
dibandingkan mereka yang mendapat dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekat. 6) Kepercayaan Religius Kepercayaan agama merupakan suatu keyakinan yang merupakan
suatu
kekuatan
untuk
mempengaruhi
pandangan
seseorang terhadap nyeri. Ada beberapa keyakinan yang memandang bahwa nyeri adalah suatu penyucian atau pembersihan dan hukuman atas dosa-dosa mereka terhadap Tuhan, mereka memandang Tuhan adalah sumber kekuatan.
2. Ambang Nyeri a. Pengertian Ambang Nyeri Ambang nyeri merupakan intensitas rangsangan terkecil yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Sensasi nyeri dapat dianggap sama dengan ambang nyeri (Audry et al , 2003).
Toleransi nyeri lebih
mengacu pada lama atau intensitas nyeri yang masih bisa ditahan pasien sampa secara eksplisit pasien mengaku dan mencari pengobatan (Price dan Wilson, 2006). Tidak semua orang yang terpajang terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri yang sama. Bisa saja suatu sensasi yang sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa bagi orang lain, hal ini disebabkan karena masing-masing memiliki ambang nyeri yang berbeda-beda.
31
b. Pengukuran Ambang Nyeri Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) merupakan suatu cara penggunaan energi listrik untuk merangsang saraf melalui permukaan kulit (Parjoto, 2006). Penggunaan Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) dengan intensitas-intensitas tertentu akan menimbulkan suatu sensasi nyeri/rasa yang tidak nyaman. Sensasi nyeri dapat dianggap sama dengan ambang nyeri (Audry et al, 2003). Ambang nyeri dapat dilihat saat aplikasi Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) yang diberikan kepada subyek normal, dimana intensisitas yang tertera pada Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) saat pasien merasakan sensasi nyeri rasa tidak nyaman merupakan suatu nilai dari ambang nyeri (Mardiman et al,1994).
3. Sinar Inframerah a. Pengertian dan Sumber Sinar Inframerah Sinar inframerah adalah pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 7700-4 juta A. Sinar inframerah selain berasal dari matahari dapat pula diperoleh secara buatan dari : 1) Bantalan Listrik Bantalan listrik, lampu non luminous infra red, lampu-lampu pijar akan mengeluarkan sinar-sinar inframerah gelombang panjang, pendek, dan sinar visible (Sujatno Ig et al, 2002).
32
2) Carbon Pendek Carbon pendek akan mengeluarkan sinar inframerah yang disertai sinar visible dan juga sinar ultraviolet (Sujatno Ig et al, 2002). b. Klasifikasi Inframerah Berdasarkan panjang gelombangnya, inframerah dibagi atas: 1) Gelombang panjang (non penetreting) Panjang gelombang di atas 12.000 A sampai 15.000 A. Daya penetrasi sinar ini hanya sampai kepada lapisan superficial epidermis sekitar 0.5mm (Sujatno Ig et al,2002). Menurut Gabriel tahun 1996 daya pemetrasi sinar ini adalah 0,55 mm. Menurut Hamid dan Satori tahun 1992 , panjang gelombang infarmerah untuk gelombang panjang ( non penetring ) adalah 14.000
A sampai 120.000 A,
dengan daya penetrasi 2 mm. 2). Gelombang pendek (penetrating) Panjang gelombang di atas 7.700 A sampai 12.000 A. (Gabriel, 1996) Tokoh lain menyebutkan 7.000 sampai 14.000 A, dengan daya penetrasi 5 mm -10 mm (Hamid dan Satori, 1992). Menurut Sujatno Ig et al tahun 1993 daya penetrasi sinar ini lebih dalam dari gelombang, yaitu sampai jaringan sub cutan kira-kira
33
dapat mempengaruhi secara langsung terhadap pembuluh darah kapiler, pembuluk lymphe, ujung-ujung saraf lain didalam kulit. c. Hukum Fisika Dasar Tentang Sinar Inframerah Terdapat beberapa hukum fisika dasar yang sehubungan dengan sinar inframerah, yaitu: 1) Hukum Planck Energi cahaya yang akan dipancarkan atau diserap berbanding lurus dengan frekuensi radiasinya dikalikan dengan konstanta Planck. Pada prinsipnya, semakin tinggi energi yang mengandung photon, semakin pendek panjang gelombang photon dan pada gilirannya semakin dalam penetrasi di jaringan. Namun secara klinis, perbedaan ini tidak bermakna terhadap distribusi panas. Saat photon telah menembus ke jaringan, maka akan diabsorbsi dan dikonversi menjadi lianas. Bagaimanapun, semua photon hanya sampai jaringan paling superfisial (Hamid dan Satori, 1992). 2) Pemantulan Jika seberkas cahaya mengenai permukaan suatu benda, maka berkas sinar ada kemungkinan dipantulkan kembali. Sudut sinar datang sama besar dengan sudut sinar pantul. Sudut datang sinar mempengaruhi intensitas radiasi sinar, intensitas maksimal akan dicapai bila jatuhnya sinar tegak lurus dengan permukaan obyek (Mogi, 2002).
34
3) Hukum kuadrat terbalik Intensitas penyinaran selalu akan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak dari sumber panas. Ini berarti bila jarak obyek dengan inframerah dijauhkan dua kali lipat maka intensitasnya yang diterima obyek akan menjadi seperempatnya, sebaliknya bila jaraknya diperkecil menjadi setengahnya maka intensitas yang diterima menjadi 4 kali lipat (Mogi, 2002). 4) Hukum pembiasan Jika seberkas sinar dari satu medium jatuh ke medium yang lain maka di antara yang ada dipatahkan atau dibiaskan. Derajat pembiasan yang terjadi tergantung dari berat jenis media asal sinar dan berat jenis media dimana sinar tersebut jatuh. Sinar yang jatuh dari media dengan berat jenis rendah (kerapatan renggang) ke media yang mempunyai berat jenis (kerapatan padat), maka sinar akan dibiaskan mendekati garis normal begitu pula sebaliknya. Besarkecilnya sudut pembiasan ditentukan oleh indeks bias dari masingmasing medium (Sujatno Ig et al, 2002). 5) Hukum penyerapan/Hukum Grotthus Supaya terjadi suatu pengaruh atau efek-efek terhadap suatu benda yang kena sinar maka sinar tadi harus diabsorbsi oleh benda tadi (Sujatno Ig et al, 2002).
35
d. Efek Inframerah terhadap PeningkatanAmbang Nyeri Penyinaran inframerah merupakan salah satu cara yang efektif untuk
mengurangi
atau
menghilangkan
rasa
nyeri.
Mekanisme
pengurangan rasa nyeri itu adalah sebagai berikut : 1) Efek sedatif dari inframerah pada superficial sensory nerve ending (ujung-ujung syaraf sensoris superfisial) dimana stimulasi panas pada inftamerah yang sampai pada lapisan epidermis mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga aliran pembuluh darah meningkat dan subtansi prostaglandin ikut dalam aliran pembuluh darah tersebut, serta meningkatnya metabolisme mengakibatkan peningkatan suplay O2 dan nutrisi ke jaringan tersebut sehingga nyeri berkurang 2) Stimulasi panas yang dihasilkan oleh inframerah akan menstimulasi ujung – ujung saraf perifer ( neuron ), jika stimulasi ini terus – menerusakan mengaktifkan nosiseptor serat kecil (A- dan C) dan serat besar (A-).
Aktifasi nosiseptor tersebut akan menstimulasi
implus saraf sensoris yang berjalan via akson dari neuron aferen primer ke tanduk dorsal atau dorsal horn. Aktivasi serabut saraf C akan mengaktifkan neuron aferen primer yang memperbanyak implus saraf ke tanduk dorsal atau dorsal horn dengan asam amino eksitatori seperti glutamad, asparad dan neuropeptida seperti P ( prostaglandin ) subtance sehingga neuron tanduk dorsal atau dorsal horn telah teraktivasi dan mengaktifkan implus nosiseptif ke otak. Sedangkan
36
aktivasi serabut saraf A alpha dan A delta akan mengaktifkan neuroninhibisi seperti asam amino inhibitiry yaitu -amino butirat ( GABA ) dan neropeptida. Zat - zat ini terikat pada reseptor aferan primer dan neuron tanduk dorsal atau dorsal horrn dan akan menghambat tranmsmisi oleh mekanisme pra simpatik dan pasca simpatik sehingga transmisi nosiseptor turun, jadi lalu lintas nosiseptor dalam tanduk dorsal atau dorsal horn tidak langsung dikirim ke otak tetapi lebih banyak di modulasi yang mengakibatkan pengurangan nyeri ( Kuntana, 2010 ). e. Ukuran Dosis Penggunaan Inframerah Intensitas cahaya diubah dengan mengatur jarak lampu dengan kulit. Petunjuk sudah tepatnya intensitas diperoleh melalui perasaan subyektif terhadap panas. Petunjuk fisiologis ini adekuat karena kulit dengan reseptor suhunya adalah area peningkatan suhu tertinggi (Hamid dan Satori, 1992). Menurut Sujatno Ig
et al
tahun
2002,
pada pengguanan
inframerah jenis non luminous jarak lampu yang digunakan adalah antara 45 cm – 60 cm, sinar diusahakan tegak lurus dengan daerah yang diobati serta waktu antara 10 menit – 30 menit. Pada penggunaan inframerah jenis luminous jarak lampu 35 cm – 45 cm, sinar diusahakan tegak lurus, waktu antara 10 menit – 30 menit disesuaikan dengan kondisi penyakitnya.
Menurut Weber dan Brown, tahun 1998 prosedur
penggunaan jarak inframerah adalah jarak 40 cm – 60 cm, sedangkan
37
dalam manual prosedur Philips HP 3613 penggunaan inframerah adalah dengan jarak 30 cm.
4. Usia Dewasa Istilah adult berasal dari kata kerja Latin, seperti juga istilah adolescene - adolescere yang berarti tumbuh menjadi kedewasaan. Menurut Hurlock tahun 2011, masa dewasa dibagi menjadi 3 periode yaitu: a. Masa Dewasa Dini ( 18 tahun - 39 tahun ) Masa dewasa ini dimulai pada usia 18 tahun sampai 39 tahun. Dimana terjadi perubahan – perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. hal lainnya. 1) Periode Perkembangan Fisik Menurut Santrock tahun 2002, pertumbuhan fisik yang terjadi pada dewasa dini mengalami peralihan dari masa remaja untuk memasuki masa tua. Pada masa ini, seorang individu tidak lagi disebut masa tanggung tetapi sudah tergolong sebaagai seorang pribadi yang benar-benar dewasa. Ia tidak diperlakukan sebagai seorang anak remaja, tetapi sebagaimana layaknya orang dewasa lainnya.penampilan fsiknya benar-benar matang sehingga siap melakukan tugas-tugas seperti orang dewasa lainya, misalnya bekerja, menikah
dan
mempunyai
anak.
Ia
dapat
bertindak
secara
bertanggungjawab untuk dirinya ataupun orang lain( termasuk
38
keluarganya). Segala tindanya sudah dikenakan aturan-aturan hukum yang berlaku, artinya bila terjadi pelanggaran akibat dari tindakannya akan memperoleh sangsi hukum ( misalnya denda, terkena hukuman pidana atau perdata). Masa ini ditandi pula dengan adanya perubahan fisik, misalnya tumbuh bulu-bulu halus, perubahan suara, menstruasi, dan kemampuan reproduksi (Hurlock,2011 ). 2) Periode Perkembangan Psikis Periode dewasa awal mengalami perubahan-perubahan secara psikis, diantaranya dapat dipaparkan dalam berbagai segi yaitu sebagai berikut ini: a) Intelegensi atau Kognitif Intelegensi merupakan Kemampuan berfikir lebih realistis dan berfikir jauh kedepan, strategis dan selalu bersemangat untuk berwawasan luas. Usia dewasa dini adala masa pengoptimalan intelegensi
setiap
individu.
Terlebih
lagi
jika
seseorang
berkecimpung dalam dunia perkuliahan, akan banyak sekali perubahan signifikan yang terjadi dari segi intelegensi dan pemikiran. Dewasa dini adalah masa dimana seseorang dapat berpikir luas dan dapat mengembangkan segala hal yang terdapat dalam pemikirannya. Biasanya seseorang akan langsung dapat menuangkan segala pemikirannya dalam sebuah perbuatan.
39
b). Emosional Sekitar awal atau pertengahan umur tiga puluhan, kebanyakan orang muda telah mampu memecahkan masalahmasalah mereka dengan cukup baik sehingga menjadi stabil dan tenang secara emosional. Apabila emosi yang menggelora yang merupakan cirri tahun-tahun awal kedewasaan masih tetap kuat pada usia tiga puluhan, maka hal ini merupakan tanda bahwa penyesuaian diri pada kehidupan orang-orang dewasa belum terlaksana secara memuaskan. Apabila ketegangan emosi terus berlanjut sampai usia tiga puluhan, hal itu umumnya tampak dalam bentuk keresahan. Apa yang diresahkan orang-orang muda itu tergantung dari masalahmasalah penyesuaian diri yang harus dihadapi saat itu dan berhasil tidaknya mereka dalam upaya penyelesaian itu. Kekhawatiran-kekhawatiran
utama
mungkin
terpusat
pada
pekerjaan mereka, karena mereka merasa bahwa mereka tidak mengalami kemajuan secepat mereka harapkan atau kekhawatiran mereka mungkin terpusat pada masalah-masalah perkawinan atau peran sebagai orang tua. Apabila seseorang merasa tidak mampu mengatasi masala-masalah utama dalam kehidupan mereka, mereka sering sedemikian terganggu secara emosional sehingga mereka memikirkan atau mencoba untuk bunuh diri.
40
c). Sosial Dengan berakhirnya pendidikan formal dan terjunnya seseorang ke dalam pola kehidupan orang dewasa yaitu karier, perkawinan dan rumah tangga hubungan dengan teman-teman kelompok sebaya masa remaja menjadi renggang dan berbarengan dengan itu keterlibatan dalam kegiatan kelompok di luar rumah akan terus berkurang. Sebagai akibatnya, untuk pertama kali sejak bayi semua orang muda, bahkan yang populer pun, akan mengalami keterpencilan sosial atau apa yang disebut Erikson sebagai krisis keterasingan. Keterasingan diintensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat kuat untuk maju dalam karier – dengan demikian keramah tamahan masa remaja diganti dengan persaingan dalam masyarakat dewasa – dan mereka juga harus mencurahkan sebagian besar tenaga mereka untuk pekerjaan mereka, sehingga mereka dapat menyisihkan waktu sedikit untuk sosialisasi yang diperlukan untuk membina hubungan-hubungan yang akrab. Akibatnya, mereka menjadi egosentris dan ini tentunya menambah kesepian mereka. b. Masa Dewasa Madya (40 tahun – 60 tahun) Masa dewasa madya dimulai pada usia 40 tahun sampai dengan 60 tahun yaitu saat menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang jelas nampak pada setiap orang ( Hurlock,2011 ).
41
1) Periode Perkembangan Fisik Pada masa dewasa madya terjadi perubahan fungsi fisik yang tak mampu berfungsi seperti sedia kala, dan beberapa organ tubuh tertentu mula mengalami penurunan fungsi. Melihat dan mendengar merupakan dua perubahan yang paling menyusahkan paling banyak tampak dalam dewasa madya. Daya akomodasi mata untuk memfokuskan dan mempertahankan gambar pada retina akan mengalami penurunan. Karena pada usia tersebut aliran darah pada mata juga berkurang. Pendengaran juga mulai menurun pada usia ini. Meskipun kemampuan untuk mendengar suara-suara bernada rendah tidak begitu kelihatan. Laki-laki biasanya kehilangan sensitifitasnya terhadap suara bernada tinggi lebih dahulu daripada perempuan. Hal ini mungkin disebabkan oleh lebih besarnya pengalaman laki-laki terhadap suaru gaduh dalam pekerjaan. 2) Periode Perkembangan Psikis Pada periode usia dewasa madya mengalami beberapa perubahan psikis. Hal ini bias terlihat dari berbagai hal dibawah ini : a). Intelegensi atau Kognitif Perkembangan pada tahap ini intelektual dewasa sudah mencapai titik akhir puncaknya yang sama dengan perkembangan tahap sebelumnya yaitu tahap pemuda. Semua hal yang berikutnya sebenarnya merupakan perluasan, penerapan, dan
42
penghalusan dari pola pemikiran ini. Orang dewasa madya mampu memasuki dunia logis yang berlaku secara mutlak dan universal yaitu dunia idealitas paling tinggi. Orang dewasa dalam menyelesaikan suatu masalah langsung memasuki masalahnya. Ia mampu mencoba beberapa penyelesaian secara konkrit dan dapat melihat akibat langsung dari usaha-usahanya guna menyelesaikan masalah tersebut. Orang dewasa madya mampu menyadari keterbatasan baik yang ada pada dirinya maupun yang berhubungan dengan realitas di lingkungan hidupnya. Orang dewasa dalam menyelesaikan masalahnya juga memikirkannya terlebih dahulu secara teoritis. Ia menganalisis masalahnya dengan penyelesaian berbagai hipotesis yang mungkin ada. Atas dasar analisanya ini, orang dewasa lalu membuat suatu strategi penyelesaian secara verbal. Yang kemudian mengajukan pendapat-pendapat tertentu yang sering disebut sebagai proporsi, kemudian mencari sintesa dan relasi antara proporsi yang berbeda-beda tadi. Menurut Erikson, pada masa ini individu dihadapkan atas dua hal generativity vs stagnasi. Mencakup rencana-rencana orang dewasa atas apa yang mereka harap guna membantu generasi muda mengembangkan dan mengarahkan kehidupan yang berguna melalui generativitas / bangkit. Sebaliknya, stagnasi (berhenti), yaitu ketika individu tidak melakukan apa-apa untuk
43
generasi berikutnya. Memberikan asuhan, bimbingan pada anakanak, individu generatif adalah seseorang yang mempelajari keahlian, mengembangkan warisan diri yang positif dan membimbing orang yang lebih muda (Shaffer, 2014 ). b). Emosional Menurut Erikson, pada masa ini individu dihadapkan atas dua hal generativity vs stagnasi Mencakup rencana-rencana orang dewasa atas apa yang mereka harap guna membantu generasi muda mengembangkan dan mengarahkan kehidupan yang berguna melalui generativitas / bangkit. Sebaliknya, stagnasi (berhenti), yaitu ketika individu tidak melakukan apa-apa untuk generasi berikutnya. Memberikan asuhan, bimbingan pada anakanak, individu generatif adalah seseorang yang mempelajari keahlian, mengembangkan warisan diri yang positif dan membimbing orang yang lebih muda (Shaffer, 2014 ). c). Sosial Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan sosial pada masa Dewasa madya ini antara lain: -
Masa dewasa madya merupakan periode yang ditakuti dilihat dari seluruh kehidupan manusia.
-
Masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa
44
dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru. -
Masa dewasa madya adalah masa berprestasi. Menurut Erikson, selama usia madya ini orang akan menjadi lebih sukses atau sebaliknya mereka berhenti
-
Pada masa dewasa madya ini perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadangkadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial..
c. Masa Dewasa Lanjut atau Usia Lanjut (60 tahun – meninggal dunia) Masa dewasa lanjut atau senestence atau usia lanjut dimulai pada umur 60 tahun sampai kematian. Pada waktu ini, baik kemampuan fisik maupun psikologis cepat menurun tetapi tekhnuk pengobatan modern, serta upaya dalam hal berpakaian dan dandanan, memungkinkan pria dan wanita berpenampilan bertindak dan berperasaan seperti kala mereka masih muda ( Hurlock,2011 ). 1) Periode Perkembangan fisik Perubahan fisik yang dialami oleh dewasa akhir atau usia lanjut terjadi dengan ditandai dengan menurunnya dan memburuknya fungsi dan keadaan fisik. Perubahan ini pasti terjadi pada usia lanjut hanya saja berbeda untuk setiap individu. Perubahan penampilan pada usia lanjut sangat terlihat dari wajah individu, wajah akan mulai mengendor dan memunculkan ciri penuaan lainnya. Selain pada
45
wajah perubahan secara fisik juga dapat dilihat dari individu yang kulit nampak keriput dan otot terlihat. Perubahan fisik yang terjadi pada masa dewasa akhir, pada umumnya terjadi pada penurunan beberapa fungsi organ tubuh seperti menurunnya kemampuan otak dan sistem syaraf, yang meliputi; hilangnya sejumlah neuron yang merupakan unit-unit sel dasar dari sistem syaraf, serta kemampuan otak yang semakin menurun, dan melemahnya daya ingat. 2) Periode Perkembangan Psikis Akibat perubahan fisik yang semakin menua maka perubahan ini akan sangat berpengaruh terhadap peran dan hubungan dirinya dengan lingkungannya. Dengan semakin lanjut usia seseorang secara berangsur-angsur ia mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya ini mengakibatkan interaksi sosial para lansia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitasnya sehingga hal ini secara perlahan mengakibatkan terjadinya kehilangan dalam berbagai hal yaitu kehilangan peran di tengah masyarakat, hambatan kontak fisik dan berkurangnya komitmen. Adapun perubahan-perubahan psikis tersebut adalah sebagai berikut: a) Intelegensi atau Kognitif Usia dewasa akhir dilihat dari segi kognitif menglami kemunduran dengan ditandai munculnya penyakit lupa atau pikun. Dengan timbulnya penyakit lupa ini, membuat individu
46
dalam kehidupannya mengalami ketidak teraturan. Pada usia inilah diperlukan perhatian yang lebih dari orang-orang terdekat untuk mengarahkan dan menuntun orang dewasa akhir dalam melakukan suatu hal, seperti mengarahkan dalam menaruh benda sesuai dengan tempatnya dan mengingatkannya menaruh benda itu dimana ketika dibutuhkan. Ataupun mengingatkan sudah sholat atau belum, atau bahkan menuntunnya pada saat membaca bacaan sholat. b) Emosional Usia
dewasa
lanjut
lebih
tempramen dalam
segi
emosional. Hal ini dikarenakan berawal dari faktor fisik yang semakin mengalami kemunduran sehingga berpengaruh pada segi psikis termasuk emosionalnya. Beberapa orang yang mencapai usia dewasa lanjut mengalami ketidaksiapan dalam menghadapi segala kemunduran fisik yang terjadi baik dilihat dari luar maupun fungsi organ-organ tubuh yang dimiliki. Sebelum menginjak usia dewasa lanjut, seseorang pernah mengalami kemajuan yang sangat pesat dan pernah melakukan berbagai prestasi. Sedangkan ketika orang tersebut menginjak usia dewasa lanjut, ia hampir tidak percaya bahwa dirinya tidak lagi dapat berkarya secara maksimal seperti dulu sehingga timbul perasaan kesal pada dirinya sendiri karena segala sesuatu harus dibantu oleh orang lain. Ditambah lagi terkadang orang yang membantu
47
tidaklah sesuai dengan yang diharapkannya. Oleh karena itulah usia dewasa akhir lebih cepat temperamental. c) Sosial Akibat adanya kemunduran dari segi aspek fisik, moral, intelegensi, dan lebih cepat temperamental, maka usia dewasa lanjut semakin jauh dari lingkungan masyarakat dan mulai terkucilkan. Usia dewasa lanjut lebih sedikit berinteraksi dengan lingkungan masyarakat. Pada usia ini justru lebih membutuhkan perhatian yang lebih dari keluarga terdekat untuk menguatkan diri dan membantu memunculkan kepercayaan diri agar tetap bersemangat dalam menjalankan kehidupan meskipun mulai terjauh dari lingkungan masyarakat.
B. Penelitian Yang Relevan Penelitian yang ada hubungannya dengan perbedaan efektivitas jarak aplikasi inframerah terhadap peningkatan ambang nyeri ditinjau dari tingkat usia seperti dalam permasalahan penelitian ini dilakukan oleh 1. Hariyanto pada tahun 2003. Penelitian ini dipakai untuk menempuh gelar pascasarjana di Universitas Diponegoro. Penelitian ini berjudul efek inframerah terhadap ambang nyeri pada subyek sehat. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa pemberian aplikasi inframerah dapat menngkatkan ambang nyeri setelah pemberian inframerah pada tempat pemberian infra merah
48
2. Putra pada tahun 2013. Penelitian ini berjudul efektivitas jarak inframerah terhadap ambang nyeri. Dalam hasil penelitiannya ditemukan bahwa terdapat perbedaan efektifitas jarak infra merah terhadap ambang rangsang nyeri dan pada penyinaran inframerah dengan jarak 35 cm lebih efektif meningkatkan ambang nyeri dari pada penyinaran inframerah pada jarak 45 cm.
49
C. Kerangka Berfikir
Fisik Psikososial
Transduksi
Sensoris Nosiseptif
Stimulus : - Mekanik - Kimia - Termal - Listrik
Transmisi
Persepsi
Modulasi
Nyeri
Inframerah
Perubahan Ambang Nyeri
Gambar 2.2 Kerangka Teori
50
Sensori Nosiseptif
Dewasa Dini
Aplikasi Jarak
Dewasa Madya
Inframerah 30 cm 35 cm 40 cm 45 cm
Perbedaan Ambang Nyeri
Gambar 2.3 Kerangka Konsep
51
D. Hipotesis 1. Ada perbedaan efektivitas aplikasi jarak inframerah 30 cm, 35 cm, 40 cm dan 45 cm terhadap peningkatan ambang nyeri. 2. Ada perbedaan peningkatan ambang nyeri pada aplikasi jarak inframerah pada orang dewasa dini (18 tahun – 39 tahun) dan orang dewasa madya (40 tahun – 60 tahun). 3. Ada interaksi efektifitas aplikasi jarak inframerah dengan orang dewasa dini (18 tahun – 39 tahun) dan orang dewasa madya (40 tahun – 60 tahun) terhadap peningkatan ambang nyeri.
9