BAB II
LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Ginjal Kronik
a. Definisi Pada pedoman The Kidney Outcomes Quality Initiative (KDOQI) of National Kidney Foundation (NKF) pada tahun 2012, batasan penyakit ginjal kronis adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama atau lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologik dengan memperhatikan derajat fungsi ginjal atau laju filtrasi glomerulus (LFG) (National Kidney Foundation, 2012).
b. Patofisiologi Patofisiologi PGK pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Sebagai upaya kompensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses adaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi (Mandal & Prakash, 2014). Adanya peningkatan aktifitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktifasi jangka panjang aksis reninangiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factors seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas PGK adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial (Gilbert & Weine, 2014). Pada stadium paling dini PGK, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), sedangkan basal LFG masih normal atau meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan (Bargman & Skorecki, 2013) Pada LFG kurang dari 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, dan muntah.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan
air
seperti
hipo
atau
hipervolemia,
gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal (Suwitra, 2014).
c. Etiologi Menurut Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2012 mencatat penyebab PGK yang menjalani hemodialisis di Indonesia sampai Desember 2012 seperti pada tabel 1. Tabel 1. Penyebab PGK di Indonesia Tahun 2012 Penyebab Penyakit Ginjal Hipertensi Nefropati Diabetika Glomerulopati Primer Nefropati Obstruktif Pielonefritis Kronik Nefropati Asam Urat Ginjal Polikistik Nefropati Lupus Tidak Diketahui Lain-lain
Insidensi 35 % 26 % 12 % 8% 7% 2% 1% 1% 2% 6%
(Indonesian Renal Registry, 2012)
d. Stadium Klinis Klasifikasi stadium PGK didasarkan atas dua hal yaitu derajat penyakit dan diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit,
dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan menggunakan rumus Cockcroft-Gault sebagai berikut: (140-umur) x berat badan
*)
2
LFG (ml/menit/1,73m )= 72 x kreatinin plasma (mg/dl) *)
pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi tersebut tampak pada tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi PGK Atas Dasar Derajat Penyakit Derajat
Penjelasan
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau 2 Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan 3 Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang 4 Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat 5 Gagal Ginjal (Suwitra, 2014)
LFG (ml/menit/ 1,73 m2) ≥ 90 60-89 30-59 15-29 <15 / dialisis
Tabel 3. Klasifikasi Derajat PGK berdasarkan Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO) 2012 Kategori LFG
LFG (ml/min/1.73m2)
Terminologi
G1
>90
Normal atau Tinggi
G2
60–89
Penurunan Ringan*
G3a
45–59
Penurunan Ringan-Sedang
G3b
30–44
Penurunan Sedang-Berat
G4
15–29
Penurunan Berat
G5
<15
Gagal Ginjal
(National Kidney Foundation, 2012) * Relative to young adult level
Keterangan
: LFG: Laju Filtrasi Glomerulus; G: Grade
e. Gambaran Klinis Gambaran klinis penyakit ginjal kronik yaitu: 1) Sesuai
dengan
mellitus,
penyakit
infeksi traktus
yang
mendasari
urinarius,
batu
seperti traktus
diabetes urinarius,
hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritematosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya. 2) Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. 3) Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah
jantung,
keseimbangan
asidosis
metabolik,
dan
gangguan
elektrolit (sodium, kalium, khlorida) (Suwitra,
2014).
f.Tatalaksana Klinis Tatalaksana klinis penyakit ginjal kronik meliputi: 1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya. 2) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid. 3) Memperlambat perburukan fungsi ginjal. 4) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler. 5) Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi. 6) Terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis, dialisis peritoneal atau transplantasi ginjal (National Kidney Foundation, 2012).
Menurut Suwitra, 2014 rencana tatalaksanaan PGK sesuai dengan derajatnya seperti tercantum pada tabel 4. Tabel 4. Rencana Tatalaksanaan PGK sesuai dengan Derajatnya Derajat 1
2 3 4 5
LFG Rencana tatalaksana (ml/mnt/1,73m²) ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi pemburukan fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular 60-89 Menghambat pemburukan fungsi ginjal 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal < 15 Terapi pengganti ginjal
2. Hemodialisis
a.
Definisi Hemodialisis (HD) adalah terapi pengganti ginjal (TPG) selain peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal. Hemodialisis merupakan suatu proses pemisahan atau penyaringan atau pembersihan darah melalui suatu membran semipermeabel yang dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal baik yang kronik maupun akut. Dalam proses HD, difusi dan filtrasi berjalan secara bersamaan serta dapat diprogram sesuai dengan keadaan klinis pasien. Proses dialisis memerlukan cairan dialisat yang mengalir dengan arah berlawanan terhadap darah sehingga tetap mempertahankan kecepatan difusi yang optimal (Suhardjono, 2014).
b.
Indikasi Hemodialisis dilakukan pada pasien PGK tahap 5 dengan LFG <15 ml/menit/1,73 m2, akan tetapi terdapat bukti-bukti penelitian baru bahwa tidak terdapat perbedaan hasil antara yang memulai dialisis dini dengan yang terlambat memulai dialisis. Oleh karena itu pada pasien dengan PGK tahap 5, inisiasi HD dilakukan apabila ada keadaan sebagai berikut: 1) Kelebihan cairan ekstrasesular yang sulit dikendalikan dan atau hipertensi. 2) Hiperkalemia yang refrakter terhadap restriksi diet dan terapi farmakologis. 3) Asidosis metabolik yang refrakter terhadap pemberian terapi bikarbonat. 4) Hiperfosfatemia yang refrakter terhadap restriksi diet dan terapi pengikat fosfat. 5) Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoetin dan besi. 6) Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa penyebab yang jelas. 7) Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai gejala mual, muntah atau adanya bukti lain gastroduodenitis. 8) Adanya gangguan neurologis (neuropati, ensefalopati, gangguan psikiatri), pleuritis atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh penyebab lain, serta diatesis hemoragik dengan pemanjangan waktu perdarahan (Suwitra, 2014).
c.
Komplikasi Hemodialisis menyebabkan beberapa komplikasi antara lain hipotensi, emboli udara, pruritus, gangguan keseimbangan cairan, kram otot, nyeri dada, arritmia, hemolisis, nyeri kepala, mual dan muntah, pada laki-laki dapat mengakibatkan impotensi (Mandal & Prakash, 2014).
3. Cemas
a. Definisi Cemas adalah rangkaian emosi yang dipicu adanya sinyal bahaya yang akan datang, atau belum terjadi, bersifat terus menerus dan terselubung.
Cemas
biasanya
disertai
hiperaktifitas
otonom,
mempengaruhi kognisi dan dapat menimbulkan distorsi persepsi. Cemas sering berkomorbid dengan depresi. Hampir separuh dari pasien yang didiagnosis depresi, juga didiagnosis mengalami gangguan cemas (Sadock & Sadock, 2009).
b. Etiologi Faktor penyebab cemas saling berinteraksi yaitu: 1) Faktor biologis : genetik, fungsi otonom, peran beberapa bagian otak yaitu amigdala dan hipokampus. 2) Faktor psikososial/lingkungan: life events, polutan, bencana alam (Sadock & Sadock, 2009).
c. Diagnosis Menurut International Classification of Disease V (DSM V), diagnosis cemas ditegakkan jika didapatkan: 1) Adanya perasaan cemas atau khawatir yang tidak realistik terhadap 2 atau lebih hal yang dipersepsi sebagai ancaman, perasaan ini menyebabkan individu tidak mampu beristirahat dengan tenang (inability to relax). 2) Terdapat paling sedikit 6 dari 18 gejala berikut: a) Ketegangan motorik Kedutan otot atau rasa gemetar Otot tegang Tidak bisa diam Mudah menjadi lelah b) Hiperaktifitas otonom Nafas pendek/ terasa berat Jantung berdebar-debar Telapak tangan basah-dingin Mulut kering Kepala pusing/melayang Mual, diare, perut tidak tidak enak Muka panas/badan menggigil Sering buang air kecil Sukar menelan
c) Kewaspadaan berlebihan dan penangkapan berkurang Perasaan menjadi peka Mudah terkejut Sulit berkonsentrasi Sukar tidur Mudah tersinggung. 3) Hendaya dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam gejala: penurunan kemampuan bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin (American Psychiatric Association, 2013).
d. Terapi Tujuan utama terapi cemas adalah untuk mencapai remisi semua tanda dan gejala cemas, memperbaiki fungsi pekerjaan dan psikososial, mencegah relaps, rekuren, dan kronisitas. Cemas efektif diobati dengan farmakoterapi, psikoterapi, atau kombinasi keduanya (Sadock & Sadock, 2009).
e. Alat Ukur 1) The Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS) The Taylor Manifest Anxiety Scale merupakan kuesioner yang terdiri dari 50 butir pertanyaan yang kesemuanya menunjukkan skor kecemasan. Butir-butir pernyataan yang sesuai untuk kecemasan / favourable yaitu nomor 2, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 13, 14, 16, 17, 19, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 45, 46, 47, 48, 49 (35 butir), jika menjawab “ya” nilainya 1 dan “tidak” nilainya
0. Sedangkan butir-butir pernyataan yang tidak sesuai untuk kecemasan / unfavourable yaitu 1, 3, 4, 9, 12, 15, 18, 20, 25, 29, 35, 38, 43, 44, 50 (15 Butir), jika menjawab “ya” nilainya 0 dan “tidak” nilainya 1. Sensitifitas TMAS cukup tinggi yaitu 90%, spesifitasnya 95% (Hawari, 2008).
2) Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRSA) Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala, yang masingmasing kelompok dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka antara 0-4. Derajat kecemasan yaitu: 1) Kurang dari 14 = tidak ada kecemasan 2) 14-20 = kecemasan ringan 3) 21-27 = kecemasan sedang 4) 28-41 = kecemasan berat 5) 42-56 = kecemasan berat sekali 4. Depresi
a. Definisi Depresi merupakan salah satu gangguan mood. Mood adalah suasana perasaan yang meresap dan menetap yang dialami secara internal dan mempengaruhi perilaku dan persepsi seseorang terhadap dunia. Pasien dengan perasaan depresi mengalami kehilangan energi dan minat, perasaan bersalah, kesulitan dalam berkonsentrasi, kehilangan nafsu
makan, dan pikiran tentang kematian atau bunuh diri. Tanda dan gejala gangguan
mood
lainnya
termasuk
perubahan
tingkat
aktivitas,
kemampuan kognitif, kemampuan berbicara, dan fungsi vegetatif (misalnya, tidur, nafsu makan, aktivitas seksual, dan ritme biologis lainnya) (Sadock & Sadock, 2009).
b. Etiologi Faktor penyebab depresi saling berinteraksi yaitu: 1) Faktor biologi, meliputi genetik/keturunan, abnormalitas tidur, kerusakan syaraf atau penurunan neurotransmiter (norefineprin, serotonin,
dan
dopamin),
hiperaktifitas
aksis
sistem
limbik-
hipotalamus-adrenal, penyakit fisik dan penggunaan obat (misalnya reserpin, clonidin, methyldopa, corticosteroid, NSAID, benzodiazepin, barbiturat, interleukin-2) (Sadock & Sadock, 2009). 2) Faktor psikososial meliputi: a) Faktor ekstrinsik
yaitu
peristiwa
kehidupan
yang
dapat
menyebabkan harga diri rendah dan tidak dapat dihadapi dengan efektif, kehilangan seseorang atau dukungan, dan tekanan sosial. b) Faktor intrinsik meliputi
sifat
kepribadian
yaitu narcissistic,
obsessive compulsive, dan dependen personality, konflik dari diri sendiri yang tidak terselesaikan, perasaan bersalah, evaluasi diri yang negatif serta pemikiran pesimis (Amir, 2005).
c. Diagnosis Menurut International Classification of Disease V (DSM V), diagnosis depresi ditegakkan jika: A. Lima (atau lebih) gejala di bawah ini sudah ada selama dua minggu dan memperlihatkan perubahan fungsi dari sebelumnya, minimal terdapat satu simptom dari (1) mood depresi atau (2) hilangnya minat atau kenikmatan : 1. Mood depresi sepanjang hari, hampir setiap hari, yang ditunjukkan oleh baik laporan subyektif (misalnya, perasaan sedih, kosong, tidak ada harapan) atau observasi orang lain (misalnya terlihat menangis). (Catatan : Pada anak-anak & remaja, bisa berupa mood yang iritabel). 2. Secara nyata terdapat penurunan minat atas seluruh atau hampir seluruh rasa senang, aktivitas harian, hampir setiap hari (yang ditandai oleh pernyataan subyektif atau observasi). 3. Kehilangan atau peningkatan berat badan yang nyata tanpa usaha khusus (contoh: perubahan 5% atau lebih dari berat badan dalam 1 bulan terakhir), atau penurunan & peningkatan nafsu makan yang terjadi hampir setiap hari. (catatan: Pada anak-anak perhatikan kegagalan mencapai berta badan yang diharapkan). 4. Sulit tidur atau tidur berlebih hampir setiap hari. 5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari. 6. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
7. Perasaan tak berguna atau rasa bersalah yang mencolok (bisa bersifat waham) hampir setiap hari (bukan semata-mata menyalahkan diri atau rasa bersalah karena menderita sakit). 8. Penurunan kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, atau penuh keragu-raguan, hampir setiap hari. 9. Pikiran berulang tentang kematian (bukan sekedar takut mati), pikiran berulang tentang ide bunuh diri dengan atau tanpa rencana yang jelas, atau ada usaha bunuh diri atau rencana melakukan bunuh diri yang jelas. B. Simtom-simtom ini secara klinis nyata menyebabkan distres atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting kehidupannya. C. Episodenya tidak terkait dengan efek fisiologis zat atau kondisi medis lainnya. Catatan : Kriteria A-C menggambarkan episode depresi. Catatan: Respons terhadap kehilangan yang bermakna (misalnya berduka, problem finansial, lolos dari bencana, penyakit berat atau disabilitas) termasuk perasaan sedih yang berat, pemikiran tentang kehilangan, sulit tidur, kehilangan nafsu makan, dan penurunan berat badan seperti yang terdapat di kriteria A, mungkin menyerupai episode depresi. Walaupun simtom-simtom tersebut mungkin dapat dipahami atau dipertimbangkan. Keputusan ini tak dapat dipungkiri membutuhkan pelatihan keterampilan penilaian klinis berdasarkan
riwayat individu dan norma budaya dalam menentukan distres akibat kehilangan. D. Keberadaan episode depresi tidak dapat dijelaskan akibat gangguan skizoafektif, skizofrenia, skizofreniform, gangguan waham, atau spektrum skizofrenia lainnya yang tidak spesifik atau tidak ditentukan.
E. Tidak pernah dijumpai episode manik atau hipomanik. Catatan: Perkecualian ini tidak dapat diterapkan bila semua ciri-ciri episode manik atau hipomanik yang terjadi adalah karena induksi zat atau terkait efek fisiologis kondisi medis lainnya (American Psychiatric Association, 2013). Menurut ICD–10 (International Classification of Disease the 10th edition) (WHO, 1992), dan PPDGJ III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Indonesia edisi III), gangguan depresi adalah termasuk
dalam
kelompok
gangguan
mood
(gangguan
afektif)
(Departemen Kesehatan RI, 1993). Kriteria diagnosis episode depresi menurut PPDGJ III didasarkan pada gambaran: Gejala utama : a) Afek depresif; b) Kehilangan minat dan kegembiraan;
c) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah danberkurangnya aktivitas. Gejala lainnya: d) Konsentrasi dan perhatian berkurang; e) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang; f) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna; g) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis; h) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri; i) Tidur terganggu; j) Nafsu makan terganggu. Dari kriteria diagnosis di atas, episode depresi dibagi menjadi depresi ringan, sedang, dan berat (Departemen Kesehatan RI, 1993).
d. Terapi Tujuan utama terapi depresi adalah untuk mencapai remisi semua tanda dan gejala depresi, memperbaiki fungsi pekerjaan dan psikososial, mencegah relaps, rekuren, dan kronisitas. Depresi efektif diobati dengan farmakoterapi, psikoterapi, atau kombinasi keduanya (Sadock & Sadock, 2009).
e. Alat Ukur 1) Beck Depression Inventory (BDI) Beck Depression Inventory (BDI) adalah salah satu alat screening yang dapat mengidentifikasi depresi. Pengisian BDI membutuhkan waktu 10 – 15 menit, diisi sendiri oleh responden. BDI
mengevaluasi 21 gejala depresi, 15 menggambarkan gejala psikologis dan kognitif, 6 menggambarkan gejala somatik dan vegetatif. Setiap gejala dirangking dalam intensitas skala 0-3 dan nilainya ditambahkan untuk memberi total nilai 0-63, nilai yang lebih tinggi mewakili depresi yang berat. Nilai kurang dari 10 mengindikasikan tidak adanya atau minimalnya depresi, 10 – 18 depresi ringan, 19 – 29 depresi sedang, nilai di atas 30 depresi berat (Bossola & Claudia, 2012).
2) Hamilton Rating Scale for Depression (HRSD) Hamilton Rating Scale for Depression (HRSD) digunakan untuk memonitor keparahan depresi dengan fokus pada simptomalogi somatik. Penilaian dilaksanakan oleh pemeriksa didasarkan pada wawancara dan observasi klien. Penilaian dapat diselesaikan dalam 15-20 menit. Butir-butir pada HRSD dinilai 0-4. Derajat depresi berdasarkan versi 21 butir skala HRSD: 1) Skor ≤ 17 : tidak depresi 2) Skor 18-24 : depresi ringan 3) Skor 25-34 : depresi sedang 4) Skor 35-51 : depresi berat 5) Skor 52-68 : depresi berat sekali (Hawari, 2008)
5. Cemas dan Depresi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis
a. Manifestasi Klinis Gejala cemas dan depresi pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis hampir sama dengan pasien cemas dan depresi pada umumnya. Sering terjadi kesulitan dalam mendiagnosis cemas dan depresi pada pasien PGK (Feroze, et al., 2010). Hal ini terjadi karena beberapa gejala somatik dan vegetatif cemas dan depresi mirip dengan gejala gangguan uremia pada pasien PGK seperti kelelahan, gangguan tidur, perubahan nafsu makan, berat badan, dan fungsi seksual (Andrade & Sesso, 2012). Penilaian gejala cemas pada pasien PGK harus berfokus pada munculnya rasa nyeri yang secara spesifik muncul sebagai kegelisahan, ketakutan dan kekhawatiran Sedangkan penilaian gejala depresi berfokus pada disforia, anhedonia, putus asa, tidak berharga, perasaan bersalah yang berlebihan dan tidak tepat, serta keinginan bunuh diri (Palmer, et al., 2013).
b. Patofisiologi Patofisiologi cemas dan depresi dimulai dengan respon terhadap stres. Menderita penyakit ginjal kronik pada tahap akhir dan harus menjalani hemodialisis merupakan suatu stresor yang akan berdampak luas. Respon dalam menghadapi suatu stresor pada seseorang akan melalui tahapan-tahapan sampai mencapai suatu sikap acceptance. Sebelum mencapai tahap penerimaan (acceptance) individu akan melalui
beberapa tahapan yaitu denial, anger, bargaining dan depression. Kubler Ross (1970) menyatakan sikap penerimaan (acceptance) terjadi bila individu mampu menghadapi kenyataan daripada hanya menyerah dan putus asa. Denial adalah penolakan baik secara sadar maupun tidak sadar terhadap suatu kenyataan, fakta atau informasi yang berkaitan dengan situasi individu yang bersangkutan. Anger adalah kemarahan yang dapat ditujukan pada dirinya sendiri maupun orang lain, terutama orang-orang terdekat mereka. Pada tahap bargaining, individu melakukan tawar menawar untuk menerima kenyataan atau fakta yang terjadi. Pada tahap ini individu memerlukan waktu tambahan untuk menerima kenyataan atau fakta tersebut. Tahap selanjutnya adalah depression, individu secara alami merasa sedih, menyesal, takut dan sebagainya. Pada tahap ini menunjukkan bahwa individu mulai menerima kenyataan atau fakta. Selanjutnya individu memasuki tahap penerimam (acceptance) yaitu individu dapat menerima kenyataan yang tidak terelakkan. Kelima tahap tersebut bervariasi bagi tiap-tiap individu. Seorang individu dapat menunjukkan semua lima tahap secara berurutan, tetapi individu yang lain mungkin tidak (Zisook, et al., 2009). Terdapat 3 periode adaptasi pada pasien PGK yang menjalani HD yaitu: 1. Periode Honeymoon
Periode ini dimulai sejak 1-3 minggu setelah HD yang pertama. Dapat berlangsung selama 6 minggu-6 bulan. Pada periode ini, pasien berusaha untuk beradaptasi dengan ketergantungan terhadap mesin dan prosedur HD, serta petugas di ruang HD. Pada periode ini terjadi proses fight-flight dalam menghadapi stresor. Pada periode ini muncul harapan dan kepercayaan diri akan masa depan, dengan bantuan mesin HD. Akan tetapi secara periodik bisa muncul perasaan tidak nyaman, akibat dari stresor yang dihadapi dan bermanifestasi sebagai ketakutan, kemarahan dan kecemasan. 2. Periode Disenchantment and Discouragement Periode ini berlangsung 3-12 bulan setelah HD yang pertama. Pada periode ini harapan dan kepercayaan diri mulai menurun. Pasien merasakan kecemasan, kesedihan, perasaan tidak bisa dibantu (helplessness) dan tidak ada harapan (hopelessness). Kesedihan berhubungan dengan perubahan dalam kehidupan akibat dari sakitnya, komplikasi fisik akibat HD dan hilangnya fungsi peran. 3. Periode Long-Term Adaptation Periode ini dimulai lebih dari 12 bulan setelah HD yang pertama. Pasien mulai menerima keterbatasan akibat sakitnya. Periode ini ditandai dengan perubahan yang fluktuatif kondisi fisik dan emosi. Periode depresif dan kebahagiaan silih berganti sesuai dengan peristiwa kehidupan yang dialami. Dukungan keluarga dan sosial akan
membantu pasien dalam menerima sakitnya secara positif (Anderson, 2012). Penyebab cemas dan depresi pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis adalah multifaktorial, berhubungan dengan faktor biologis, psikologis dan sosial. PGK memberikan stresor biologis yang bisa berdampak luas, mempengaruhi seluruh organ tubuh termasuk otak dan sistem imun. Stresor ini akan direspon oleh sistem saraf pusat yang melibatkan otak, hipotalamus, batang otak, hipofisis serta saraf perifer. Dampak dari stresor biologis tersebut akan menstimulasi sel-sel otak untuk
memproduksi
dan
sekresi
berbagai
molekul
seperti
neurotransmitter, neuropeptide dan neuroendokrin yang mengaktivasi aksis HPA (Hypothalamic Pytuitary Axis) dan aksis simpatomedulari (aksis SM). Stres pada tahap awal akan mengaktivasi aksis SM (Simpato Medulary) pada badan sel neuron norephinephrine (NE) di locus ceruleus (LC) sehingga sekresi NE meningkat di otak, dan epinefrin melalui saraf simpatis dan medula adrenal meningkat di aliran darah yang akan menimbulkan kecemasan (Leonard, 2010). Stres yang berlangsung kronik secara simultan akan memicu pelepasan corticothrophine releasing hormone (CRH) dari neuron pada hipotalamus dan kortek serebri. CRH mengaktivasi sintesis dan pelepasan adenocorticothrophine hormone (ACTH) dari pituitary anterior, kemudian ACTH memicu pelepasan kortisol dari kortek adrenal. CRH juga secara sinergis meningkatkan aktivitas locus ceruleus
dan secara langsung atau tidak langsung meningkatkan sintesis produk gen reaktif stres lain dan respon anti inflamasi dan menurunkan sintesis dari neuropeptida kunci seperti faktor brain derived neuron factor (BDNF). Pelepasan asam amino glutamat mungkin secara sinergis meningkatkan bangkitan central nervus system (CNS) dalam respon terhadap stres. Respon akut terhadap stres diimbangi oleh mekanisme adaptif atau homeostatik, termasuk umpan balik negatif oleh reseptor glukokortikoid pada hipotalamus dan pituitary, down regulation reseptor noradrenergik post sinaptik dan penghambatan auto dan heteroseptor pada neuron NE presinaptik. Paparan stres yang lama berhubungan dengan sejumlah adaptasi dalam respon neurobehavioral. Meskipun kadar CRH di otak dan kortikosteroid di perifer dapat tetap meningkat, kadar NE, serotonin (5-HT), dopamin, dan gamma amino butiric acid (GABA) di dalam batang otak dan fore brain pada akhirnya menurun, dan terjadilah gejala depresi (Thase, 2009). Penyakit ginjal kronik yang sudah lanjut dan dialisis (hemodialisis, dialisis peritoneal) diketahui berhubungan dengan inflamasi kronik (Knuth, et al., 2013). Stresor kronik menyebabkan fungsi imun menjadi imunocompromise dan meningkatkan risiko terjadinya penyakit fisik dan depresi melalui peningkatan hormon. Sitokin proinflamasi terlibat dalam perubahan turnover serotonin dan nonadrenalin dalam regio otak (dianggap terlibat pada depresi mayor), menurunkan aktifitas neuron
serotonin presinaptik, perubahan reuptake serotonin dari celah sinaptik, juga perubahan pada reseptor serotonin postsinaptik. Sitokin proinflamasi (IL-1, IL-2, IL-6, IFNs) diketahui menurunkan ketersediaan triptofan dengan cara mengaktifasi enzim metabolisme indolamine-2,3-dioxygenase (IDO). Hal ini akan menyebabkan kadar indolamin dalam serum menurun. Indolamin merupakan gugus fungsional asam amino triptofan. Sehingga dengan menurunnya indolamin, maka triptofan serum juga akan menurun dan akhirnya kadar serotonin akan menurun, karena triptofan merupakan prekursor pembentukan serotonin. Meningkatnya metabolisme indolamin, disamping menurunkan ketersediaan TRP di otak juga menghasilkan peningkatan produksi 3hidroxy-kynurenine (3OH-KYN) dan quinolic acid (QUIN) yang merupakan substansi neurotoksik. 3OH-KYN memacu produksi reactive oxygen species (ROS) juga meningkatkan aktivitas monoamine oxydase (MAO), QUIN menyebabkan overstimulasi reseptor N-methyl-Daspartate (NMDA) hipokampus, menyebabkan apoptosis dan atrofi hipokampus. Keduanya, overproduksi Reactive Oxygen Specific (ROS) dan atrofi hipokampus yang disebabkan oleh overstimulasi NMDA berhubungan dengan depresi (Schiepers, et al., 2005). Seperti pada penyakit kronis lainnya, PGK dapat mempengaruhi kondisi psikologis penderitanya, terutama pada awal dimulainya terapi HD. Pasien PGK yang menjalani HD harus patuh dengan jadwal HD dan
minum obat rutin; patuh dengan program diet dan pembatasan cairan; mempertahankan hal-hal yang berharga dalam hidupnya seperti pekerjaan, keluarga dan teman; mengatasi rasa marah, takut, cemas, frustasi dan kesedihan karena menderita penyakit kronik; menerima pembatasan dalam aktifitas; menghadapi kematian dan kemungkinan rentang hidup yang berkurang, menerima rawat inap berulang, pemasangan dan perbaikan akses vaskuler; perasaan tidak nyaman saat HD dan pengobatan medis lain. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan gangguan mental berupa depresi dan juga kecemasan (Feroze, et al., 2010) dan memicu terbentuknya keyakinan bahwa tidak ada harapan sembuh, takut mati dan tidak akan terjadi perbaikan dari PGK yang dideritanya (Chilcot & Farrington, 2008). Secara psikososial merasa tidak ada lagi harapan dan cita-cita yang dapat dicapai, takut kematian, faktor kehilangan sesuatu yang sebelumnya ada seperti kebebasan, pekerjaan, peran sosial dan kemandirian, dimana pasien PGK yang menjalani HD selalu bergantung dengan orang lain, bahkan dengan alat yaitu mesin dialisa. Hal-hal tersebut dapat menimbulkan gejala-gejala cemas dan depresi yang nyata (Theofilou, 2011). Faktor perjalanan PGK, lamanya menjalani HD, komplikasi, penyakit medis lain yang menyertai, usia, status gizi, pendidikan, faktor ekonomi, status pernikahan, dukungan keluarga, dukungan sosial dan
kepribadian juga mempengaruhi terjadinya cemas dan depresi pada pasien PGK yang menjalani HD (Keskin & Engin, 2011).
c. Alat Ukur Skrining rutin gangguan psikiatri pada pasien dengan penyakit kronik secara efektif dapat digunakan sebagai pedoman rujukan segera jika penyakit berkembang dengan cepat. Skrining dapat dilakukan oleh social worker, perawat dan dokter ahli penyakit dalam. Skrining sebaiknya dilakukan pada awal dimulainya program HD, 3-6 bulan setelahnya dan juga setiap tahun. Beberapa alat ukur yang digunakan untuk menilai gejala cemas pada pasien penyakit ginjal yaitu The Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS), State-Trait Anxiety Inventory dan Hamilton Rating Scale Anxiety (HRSA). Sedangkan alat ukur yang digunakan untuk menilai gejala depresi pada pasien penyakit ginjal yaitu Beck Depression Inventory (BDI), Center for Epidemiologic Studies Depression Scale (CES-D), Patient Health Questionnaire (PHQ) dan Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D) (Hedayati & Finkelstein, 2009).
d. Terapi Cemas dan Depresi 1) Terapi Farmakologi Meskipun prevalensi cemas dan depresi pada pasien dengan PGK tinggi dan menyebabkan outcome yang buruk, hanya sedikit yang mendapatkan terapi anti cemas ataupun anti depresan. Hal tersebut dikarenakan efek samping pemberian anti cemas dan anti
depresan pada pasien PGK dan masih sedikitnya studi yang membuktikan efikasi serta keamanannya. Pada umumnya obat anti cemas dan anti depresan terikat kuat pada protein plasma, dimetabolisme di hati dan tidak diekskresi secara signifikan pada saat dialisis, sehingga sering terjadi akumulasi metabolit toksik (Raymond & Wazny, 2008). Saat ini anti cemas yang direkomendasikan pada pasien PGK yang menjalani HD yaitu buspiron, golongan partial serotonin agonist dengan pengurangan dosis 25%-50% (Feroze, et al., 2010). Sedangkan antidepresan yang paling sering digunakan karena keefektifan dan keamanannya pada pasien PGK yang menjalani HD yaitu golongan SSRI, dengan risiko hipotensi ortostatik yang minimal. Pemberian antidepresan golongan SSRI dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan dosisnya secara bertahap (Hedayati & Finkelstein, 2009). 2) Terapi Nonfarmakologi Beberapa terapi non farmakologis yang dapat memperbaiki cemas dan depresi pada pasien dengan PGK yaitu, psikoedukasi, konseling termasuk CBT, program exercise, marital therapy, family therapy, relaxation therapy dan music therapy (Feroze, et al., 2010). Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan psikoterapi yang sudah terbukti efektif membantu memperbaiki cemas dan depresi. Hal tersebut berdasarkan premis bahwa “automatic thoughts” dalam
merespon perasaan negatif yang terlalu kuat dapat mengakibatkan distorsi
pikiran
yang
menyebabkan
pengambilan
keputusan,
pemecahan masalah menjadi tidak efektif dan akhirnya dapat memicu cemas dan depresi. Algoritma penatalaksanaan depresi pada penyakit ginjal kronik dijelaskan pada gambar 1. Jenis antidepresan dan potensi efek samping pada pasien PGK dijelaskan pada tabel 5 (Hedayati & Finkelstein, 2009). Sedangkan jenis anti cemas dan potensi efek samping pada pasien PGK dijelaskan pada tabel 6 (Feroze, et al., 2010). Tabel 5. Jenis Antidepresan dan Potensi Efek Samping pada PGK
Jenis Antidepresan
Efek Samping
Selective Serotonin Disfungsi seksual, Reuptake Inhibitors (SSRI) gejala gastrointestinal, (Citalopram, fluoxetin, mempengaruhi SSP, paroxetin, sertralin) Meningkatkan risiko perdarahan
Dopamine/norepinephrine Akumulasi reuptake inhibitors metabolit bersifat (Bupropion) toksik Noradrenergic serotonergic (Mirtazapin)
and Sedasi, dan agonist meningkatkan berat badan
Penggunaan pada Pasien ESRD Citalopram: digunakan dengan pengawasan, karena metabolitnya yang masih aktif Fluoxetin : digunakan dengan pengawasan karena waktu paruhnya memanjang Paroxetin : digunakan dengan dosis yang lebih kecil Digunakan dengan pengawasan, karena metabolitnya yang bersifat toksik Diberikan sebelum tidur dengan pengurangan dosis
Tricyclics and tetracyclics Perpanjangan Dihindari pemakaiannya (TCAs) gelombang QTc, karena efek samping aritmia, hipotensi kardivaskuler (Amitriptilin, Desipramin, ortostatik,
Doxepin, Nortriptilin) Serotonin/norepinephrine reuptake inhibitors (Venlafaxin) Serotonin modulators (Nefazodon, Trazodon)
Monoamine OxidaseInhibitors (MAOI) Phenelzin
mempengaruhi SSP dan antikolinergik Hipertensi, disfungsi Digunakan dengan seksual, metabolit pengawasan, kurangi dosis yang bersifat toksik. 50% pada gagal ginjal ringansedang Akumulasi Hindari pemakaian pada metabolit bersifat pasien dengan penyakit toksik, hipotensi, jantung dan hipotensi aritmia, mempengaruhi SSP kerusakan hati (untuk nefazodon) Interaksi obat Hindari pemakaian karena potensi interaksi obat
(Hedayati & Finkelstein, 2009) Tabel 6. Jenis Anticemas dan Potensi Efek Samping pada PGK
Jenis Anticemas
Efek Samping
Penggunaan pada Pasien ESRD Benzodiazepine Delusi, halusinasi, Hindari pemakaian karena (Alprazolam, lorazepam, memperpanjang potensi efek samping diazepam, midazolam) sedasi Partial Serotonin Agonist Dizziness, mual, Diberikan dengan (Buspiron) nyeri kepala, pengurangan dosis 25%-50% insomnia, tremor karena waktu paruhnya memanjang
6. Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
a. Karakteristik CBT Psikoterapi
merupakan
cara
pengobatan
terhadap
masalah
emosional yang dilakukan secara profesional oleh orang yang terlatih
secara sukarela dengan cara mengubah atau menghambat gejala yang ada, mengoreksi perilaku yang terganggu, dan mengembangkan pertumbuhan yang positif dengan tujuan utama agar pasien dapat dewasa (mature), bahagia (happy), dan mandiri (independence). Salah satu bentuk psikoterapi yang menggunakan teknik spesifik adalah Cognitive Behaviour Therapy (CBT) (Sudiyanto, 2008). Saat ini CBT digunakan secara luas dalam National Health Service di Inggris dan dikenal sebagai pilihan pemecahan masalah yang cepat dan efektif serta sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Dibandingkan dengan terapi yang berdasarkan tilikan diri seperti psikodinamik, CBT lebih berfokus pada masalah, berdurasi singkat, dan melibatkan klien untuk melakukan sesuatu untuk diri mereka sendiri sehingga CBT dapat menjadi terapi yang efektif, cepat dan bertahan lama (Blackburn & Davidson, 1990). Selain itu CBT adalah model yang sangat fleksibel yang dapat disesuaikan dengan kecepatan berpikir dan kapasitas intelektual penggunanya. Cognitive Behaviour Therapy dapat disampaikan dengan bahasa yang sederhana tanpa penggunaan istilahistilah psikologi yang rumit. Cognitive Behaviour Therapy telah berhasil digunakan untuk menolong orang dengan masalah non-klinis sampai klinis, meliputi gangguan kecemasan, depresi, skizofrenia, gangguan makan, sindrom kelelahan kronis, masalah-masalah seksual, psikosis, borderline personality disorder, avoidant personality disorder (Wilding & Milne, 2010).
b. Konsep Dasar CBT Menurut Froggatt (2006) CBT didasarkan atas konsep bahwa emosi dan perilaku dihasilkan (terutama, tetapi tidak semata-mata) dari proses pikiran dan manusia dapat mengubah proses ini untuk mendapatkan cara merasa dan berperilaku yang berbeda (Sudiyanto, 2008). Manusia pada dasarnya membangun pikiran realitas mereka sendiri terhadap peristiwa yang mereka alami. Orang yang berbeda akan memberikan penafsiran yang berbeda terhadap suatu pengalaman yang sama (Wilding & Milne, 2010). Hal ini telah diungkapkan oleh ahli teori kognitif Epitectus bahwa manusia terganggu bukan karena benda-benda melainkan karena pandangan mereka terhadap benda-benda itu sendiri. Perbedaan penafsiran ini dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, pembawaan, latar belakang sosiokultural dan suasana hati pada saat itu (Blackburn & Davidson, 1990). Model CBT menilai berbagai gangguan psikiatri merupakan akibat disfungsi proses pada 2 tingkat utama dari kognitif yaitu pemikiran negatif otomatis dan skema (struktur kognitif) (Fatemi & Clayton, 2007). Pemikiran negatif otomatis adalah pikiran yang muncul secara spontan dalam menanggapi suatu situasi atau peristiwa tertentu. Istilah otomatis digunakan karena pikiran-pikiran ini terjadi cepat sehingga sering tidak diakui pasien tetapi mempunyai dampak yang bermakna pada emosi dan perilaku (Wenzel, et al., 2011).
Munculnya pikiran negatif dapat dipicu oleh afektif (kemarahan, kecemasan, kesedihan) atau sebaliknya afektif menyertai pikiran negatif (Fatemi & Clayton, 2007). Beberapa ciri umum pikiran negatif menurut Wilding & Milne (2010) yaitu pikiran negatif muncul tiba-tiba tanpa membutuhkan usaha, mudah untuk dipercaya, biasanya tidak benar, sulit diubah dan dihentikan, sering membuat seseorang merasa khawatir dan tertekan. Skema atau struktur kognitif adalah pengetahuan yang stabil, yang mewakili semua pengetahuan individu mengenai diri dan lingkungannya (Blackburn & Davidson, 1990). Atau dengan kata lain skema menimbulkan keyakinan seseorang tentang diri mereka sendiri, orang lain, dunia dan masa depan (keyakian inti) yang mempengaruhi cara mereka memproses informasi yang masuk dari lingkungan. Skema sebenarnya tidak selalu menimbulkan masalah, bahkan tanpa skema seseorang akan sulit mengorganisir dan membentuk rasa dalam menanggapi situasi kehidupan sehari-hari. Skema merupakan jalan pintas untuk mengklasifikasi dan mengevaluasi informasi. Namun menurut teori kognitif beberapa orang mengembangkan skema dan keyakinan inti yang cenderung menyebabkan cemas atau depresi. Pada awalnya terapis CBT akan
mengembangkan
ketrampilan
untuk
mengevaluasi
dan
memodifikasi pikiran-pikiran negatif. Selanjutnya terapis akan berusaha membantu mengevaluasi dan memodifikasi skema dan keyakinan inti pasien (Wenzel, et al., 2011).
CBT membantu mengevaluasi dengan kritis pikiran-pikiran negatif dan mencari pikiran pengganti yang lebih positif yang membuat pasien merasa lebih baik. Namun kadangkala pikiran negatif adalah reaksi yang dapat dipahami ketika seseorang berada pada situasi yang sulit. Pada keadaan seperti ini, daripada mencoba menentang pikiran negatif, pernyataan-pernyataan
penanggulangan
masalah
mungkin
lebih
bermanfaat. Misalnya dengan pernyataan “Saya akan menghadapi situasi bermasalah ini, sehingga saya dapat melatih penyesuaian diri saya menjadi lebih baik” (Oemarjoedi, 2003). Manusia cenderung untuk berpikir, merasa dan berperilaku secara berangkai, tidak dapat melakukan salah satu terpisah dari lainnya. Cara yang berguna untuk menggambarkan peran dari kognisi adalah dengan model “A-B-C” atau model rasional emosi (aslinya dikembangkan oleh Albert Ellis, model ABC ini telah diadaptasi secara umum untuk penggunaan CBT). Model inikemudian dikembangkan menjadi A-B-CD-E-F. Pada model ini, “A” adalah Activating event (kejadian yang mencetuskan terbentuknya keyakinan atau kepercayaan yang salah), “B” adalah Believe (keyakinan atau kepercayaan seseorang berdasarkan kejadian yang mencetuskan). Ellis menjelaskan bahwa bukan kejadian itu sendiri yang menghasilkan gangguan perasaan, tetapi interpretasi dan keyakinan atau kepercayaan orang tersebut tentang kejadian itu.“C” adalah Consequence (konsekuensi emosional dari kejadian tersebut). Dengan kata lain ini adalah pengalaman perasaan orang tersebut sebagai
hasil dari interpretasi dan kepercayaan berkenaan dengan kejadian. “D” adalah Dispute (penggoyahan terhadap keyakinan yang tidak rasional, tidak realistik, tidak tepat, dan tidak benar kemudian menggantinya dengan keyakinan yang rasional, realistik, tepat dan benar.“E” adalah Effect, pandangan rasional efektif dan baru yang diikuti perubahan emosional dan perilaku. “F” adalah Further Action, mengembangkan sebuah rencana untuk bertindak lebih lanjut, apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemungkinan berpikir dan bereaksi yang tidak berguna di masa depan (Froggat, 2006 cit., Sudiyanto, 2008 ).
c. Teknik CBT Tidak ada teknik yang sangat dipentingkan dalam CBT suatu teknik digunakan bila berfungsi, dinilai strategi tersebut sesuai dengan teori CBT (pendekatan yang eklektif-selektif). Beberapa contoh teknik yang umum digunakan: 1) Teknik kognitif Analisis rasional: analisis episode khusus untuk mengajarkan pasien
bagaimana
mengungkapkan
dan
menggoyahkan
kepercayaan irasional. Ini biasanya dilakukan pada sesi pertamasaat pasien sudah memahami, mereka dapat melakukannya sebagai tugas rumah. Penggoyahan standar ganda: jika pasien memegang “seharusnya” atau merasa terperangkap dalam perilakunya, tanyakan apakah mereka secara umum menilai orang lain (seperti teman baik,
terapis, dan lainnya) akan melakukan hal yang sama, atau menyarankan orang lain untuk memegang keyakinan utama mereka. Jika mereka berkata “tidak”, bantu mereka melihat bahwa mereka memegang standar ganda. Skala katastropik: ini teknik yang berguna untuk mendapatkan gambaran ketakutan. Pada papan tulis atau selembar kertas, gambar garis menurun pada satu sisi. Letakkan 100% pada bagian atas, 0% pada bagian bawah, dan selang 10% di antaranya. Minta pasien untuk mengukur apa yang mereka takutkan, dan masukkan ke dalam skala yang sesuai. Kemudian, isikan pada skala yang lain yang menurut klien sesuai. Dapat sebagai contoh, letakkan pada 0%:”minum
segelas
kopi
di
rumah”,
70%:
“dirampok”,
100%:”dibakar hidup-hidup”, dan lain-lain. Akhirnya, minta pasien untuk menentukan posisi tentang masalah ketakutan mereka pada skala, dalam perbandingan dengan pilihan yang lain. Pengacara jahat: ini teknik yang berguna dan efektif (dikenal juga sebagai bermain peran pengganti) didesain agar klien dapat beragumen melawan kepercayaan disfungsionalnya sendiri. Terapis bermain peran mengadopsi kepercayaan klien dan berdebat dengan hebat untuk itu; saat klien mencoba untuk “meyakinkan” terapis bahwa kepercayaan itu disfungsional. Ini khususnya berguna saat pasien dapat melihat ketidak rasionalan kepercayaannya, tetapi membutuhkan pertolongan untuk menyusun pemahaman.
Membingkai ulang: strategi lain untuk mendapatkan kejadian buruk dalam sudut pandang sebenarnya untuk mengevaluasi kembali sebagai “mengecewakan”, “memprihatinkan”, atau “tidak nyaman” dari pada „mengerikan”, atau “tidak tertahankan”. Variasi dari membingkai ulang adalah untuk menolong pasien melihat bahwa kejadian negatif selalu memiliki sisi positif, dengarkan semua hal yang positif yang dapat dipikirkan pasien. 2) Teknik membayangkan Proyeksi waktu: teknik ini dirancang untuk menunjukkan bahwa hidup seseorang, dan dunia umumnya, terus berlanjut setelah kejadian menakutkan atau tidak diinginkan datang dan berlalu. Minta pasien untuk menggambarkan kejadian tidak diharapkan yang terjadi, kemudian bayangkan yang berlangsung selanjutnya setelah satu minggu, kemudian bulan, kemudian enam bulan, kemudian tahun, dua tahun, dan seterusnya, pertimbangkan bagaimana mereka akan merasakan disetiap titik waktu. Mereka kemudian akan mampu untuk melihat bahwa hidup terus berlangsung, meskipun mereka memerlukan membuat beberapa keputusan. Teknik “kasus terburuk”: biasanya baik digunakan untuk menolong pasien mengenali hal terburuk yang dapat terjadi. Menghadapi yang terburuk, saat memicu munculnya kecemasan, biasanya menyebabkan reduksi jangka panjang karena (1) seseorang
menemukan bahwa yang terburuk dapat dihadapi jika terjadi, dan (2) menyadari bahwa mungkin hal itu tidak akan terjadi, lebih banyak konsekuensi akan dapat dihadapi; atau (3) jika terjadi, mereka dapat pada hampir semua kasus dapat mengendalikan bagaimana hal itu berlangsung. Teknik “membuka”: ini variasi dari teknik membayangkan “kasus terburuk”, memasangkan penggunaan humor untuk memberikan pengalaman ingatan dan kehidupan pada pasien. Ini melibatkan meminta pasien untuk membayangkan apapun bila mereka takut akan terjadi, kemudian membuka seluruhnya sampai mereka tidak tidak dapat mengatasinya tetapi mentertawakannya. Menertawakan ketakutan membuatnya dapat dikontrol. 3) Teknik behavioural Salah satu cara terbaik untuk memeriksa dan mengubah kepercayaan adalah melakukannya. Pasien dapat diyakinkan untuk memeriksa bukti ketakutannya dan untuk bertindak menunjukkan tidak adanya bukti. Pemaparan:
pemaparan
ini
disengaja,
direncanakan
dan
dilaksanankan menggunakan kognitif dan keterampilan koping lainnnya. Tujuannya adalah untuk (1) menguji kemaknaan ketakutan seseorang (seperti, tidak tahan terhadap penolakkan); (2) menghilangkan kengeriannya (dengan melihat bahwa katastropi tidak terjadi); (3) mengembangkan keyakinan bahwa mampu untuk
menghadapi (dengan keberhasilan mengendalikan reaksi); dan (4) meningkatkan toleransi terhadap ketidaknyamanan (dengan secara progresif menemukan bahwa hal itu dapat dihadapi). Menguji
hipotesis:
dengan
variasi
pemaparan,
pasien
(1)
menuliskan apa yang mereka takutkan akan terjadi, termasuk konsekuensi negatif yang mereka antisipasi, kemudian (2) untuk tugas rumah, membuat persetujuan dimana mereka bertindak dengan cara yang mereka takutkan akan menyebabkan konsekuensi ini
(untuk
melihat
apakah
yang
mereka
lakukan
dalam
kenyataannya terjadi. Mengambil risiko: tujuannya adalah menantang kepercayaan bahwa perilaku tertentu berbahaya dan berisiko, saat alasan menyatakan bahwa ketika hasilnya tidak dijamin merupakan pilihan yang buruk. Sebagai contoh, jika pasien mempunyai kesulitan dengan kesempurnaan atau takut untuk gagal, mereka dapat memulai bertanya kapan ada kemungkinan gagal atau tidak sesuai yang diharapkan. Atau pasien yang takut ditolak dapat berbicara dengan orang yang menarik pada saat pesta atau mengajak seseorang kencan. Kontrol stimulus: beberapa perilaku menjadi terkondisi terhadap stimulus
tertentu;
sebagai
contoh,
kesulitan
tidur
dapat
menyebabkan hubungan antara berada di tempat tidur dan berbaring terbangun; atau munculnya perasaan saat seseorang
muntah setelah minum dapat menyebabkan hubungan antara minum
dan
muntah.
Kontrol
stimulus
dirancang
untuk
memperpanjang waktu antara stimulus dan respons, sehingga semakin memperlemah hubungannya. Sebagai contoh, orang yang cenderung untuk berbaring terbangun di tempat tidur harus bangun jika tidak dapat tidur dalam 20 menit dan tetap bangun sampai kelelahan. Perilaku paradoksikal: saat pasien berharap untuk mengubah kecendrungan disfungsionalnya, yakinkan mereka untuk secara sengaja melakukan cara yang berlawanan dengan kecendrungan tersebut. Tekankan pentingnya untuk tidak menunggu sampai mereka “suka” melakukannya: melaksanakan perilaku baru – walaupun itu tidak spontan – akan secara bertahap menanamkan kebiasaan baru. Melangkah ke luar dari karakter: merupakan jenis umum dari perilaku paradoksikal. Sebagai contoh, orang yang perfeksionis dapat secara sengaja melakukan beberapa hal dibawah standar yang biasanya; atau seseorang yang percaya bahwa memperhatikan diri sendiri adalah “egois” dapat melakukan perjalanan pribadi setiap sehari dalam seminggu. Menunda kepuasan secara umum digunakan untuk menentang toleransi frustasi yang rendah dengan sengaja menunda merokok, memakan permen, menggunakan alkohol, aktivitas seksual, dll.
(Palmer, 2010). Pada penelitian kali ini teknik CBT yang paling banyak digunakan adalah analisis rasional dan membingkai ulang dengan menggunakan modul CBT yang telah dilakukan face validity oleh pembimbing penelitian.
d. Proses CBT Sebagian besar proses CBT menggunakan proses tiga tingkat. Tahap inisial meliputi penilaian klinis, formulasi kasus, pembukaan hubungan terapi, pengenalan pasien pada terapi, psikoedukasi dan perkenalan pada prosedur terapi. Tahap menengah meliputi aplikasi lanjutan, penguasaan terapi kognitif dan strategi terapi perilaku. Tahap ini berakhir ketika pasien telah mendapatkan hasil yang diinginkan. Tahap akhir dari terapi merupakan tahap persiapan terminasi (Fatemi & Clayton, 2007). Komponen utama proses CBT yaitu: 1) Mengikat hubungan terapi. 2) Menilai masalah, orang dan situasi. 3) Mempersiapkan pasien untuk terapi. 4) Menerapkan program terapi. 5) Menilai kemajuan terapi. 6) Mempersiapkan terminasi. (Froggat, 2006 cit., Sudiyanto, 2008 ). Terapis diharapkan mampu berfungsi sebagai guru dan klien sebagai murid. Dimana terapis bersifat aktif, direktif, berstruktur dan
berpusat pada masa kini. Terapis juga diharapkan mampu menolong klien dalam menemukan keyakinan yang salah dan membuka alternatif keyakinan yang lebih rasional (Beck et al., 1979 cit Sudiyanto, 2008).
e. Intervensi CBT Pada Cemas dan Depresi Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Dihemodialisis Diagnosis PGK dan keharusan menjalani HD merupakan peristiwa yang penuh stres bagi penderitanya. Hal tersebut akan menyebabkan perubahan secara fisik, psikis dan sosial serta memberikan dampak jangka panjang dalam kehidupannya. Penyesuaian yang buruk seseorang terhadap keadaan sakit yang diderita dan menurunnya fungsi peran akibat sakit, akan memicu terbentuknya penilaian kognitif yang negatif terhadap sakitnya tersebut. Penilaian kognitif yang negatif akan mengakibatkan perasaan dan perilaku yang negatif pula. Jika berlanjut maka pasien akan bisa jatuh ke dalam kondisi cemas ataupun depresi (Halford & Brown, 2009). Kecemasan cenderung menghasilkan kebingungan dan distorsi persepsi, tidak hanya dalam ruang dan waktu, tetapi juga pada orang dan arti peristiwa. Distorsi tersebut dapat mengganggu belajar karena menurunkan kemampuan memusatkan perhatian, daya ingat dan mengganggu kemampuan menghubungkan sesuatu hal dengan yang lain. Orang yang berada dalam kecemasan, cenderung memilih benda tertentu di dalam lingkungannya dan tidak melihat yang lainnya. Jika mereka secara keliru menunjukkan ketakutannya, maka kecemasan akan
diperberat oleh respon selektif yang menimbulkan suatu lingkaran setan, yang terdiri dari kecemasan, persepsi yang terdistorsi, dan akan meningkatkan
kecemasan.
Sebaliknya,
jika
mereka
berhasil
menentramkan dirinya sendiri dengan pikiran selektif, maka kecemasan akan dapat berkurang (Ibrahim, 2007). Menurut Beck (1979) pada pasien depresi didapatkan triad kognitif yaitu: 1) Pandangan negatif tentang diri sendiri – Saya tidak berharga. Keyakinan diri bahwa pasien merasa tidak berharga, rusak, tidak mampu dan tidak diharapkan. 2) Pandangan negatif tentang dunia - Semua yang buruk terjadi pada diri saya. Mengapa dunia dan lingkungannya menjadi tidak peka, membuat frustasi dan banyak menuntut. Seseorang dengan depresi akan melihat dunia secara pesimis dan sinis. 3) Pandangan negatif tentang masa depan – Tidak akan ada perubahan. Menganggap masa depan sebagai sia-sia dan meyakini bahwa kejadian negatif akan terus terjadi. Seseorang dengan depresi percaya bahwa ia tidak berdaya dan tidak memiliki kekuatan untuk memperbaiki keadaan atau masa depannya. (Beck et al., 1979 cit Oemarjoedi, 2003) Pada pasien PGK, dengan perubahan kondisi fisik dan berbagai keterbatasan yang dialaminya, menganggap dirinya tidak berharga, tidak
dibutuhkan, tidak akan ada perbaikan, tidak akan ada yang bisa membantu (helplessness), dan tidak ada harapan (hopelessness) untuk sembuh serta akan cepat mati. Pikiran-pikiran negatif tersebut akan mempengaruhi
perasaan
pasien
menjadi
mudah
marah,
mudah
tersinggung, malu, takut, frustasi, putus asa dan sering timbul ide-ide bunuh diri. Semakin sering muncul keluhan-keluhan fisik seperti sulit tidur, penurunan nafsu makan, sulit berkonsentrasi, sesak nafas, berdebar-debar, dan disfungsi seksual. Juga akan mempengaruhi perilaku pasien menjadi tidak patuh dengan program pengobatan termasuk program HD dan tidak patuh dengan aturan diit yang sudah disarankan. Dan pada akhirnya akan memperburuk kondisi kesehatannya secara umum, meningkatkan frekuensi rawat inap dan mortalitas pasien (Theofilou, 2011). Dengan intervensi CBT, terapis mengajak klien untuk menemukan pikiran-pikiran negatif otomatis, menemukan bagaimana pikiran-pikiran mempengaruhi perasaan dan perilaku mereka, dan mengubah keyakinan ini menjadi lebih konstruktif dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan. Ini akan menghasilkan berkurangnya perasaan negatif dan menjadi lebih adaptif. Mengubah pikiran negatif pasien PGK yang menjalani HD menjadi pikiran yang lebih realistis. Dengan demikian akan memungkinkan mereka untuk merasa lebih nyaman dan lebih bisa menerima serta beradaptasi dengan sakit fisik yang dialaminya. Juga diharapkan pasien akan lebih patuh dengan program pengobatan, HD,
program diit, berkurangnya keluhan-keluhan fisik, membaiknya gejala cemas dan depresi serta akhirnya bisa meningkat kualitas hidupnya (Duarte & Miyazaki, 2009). Berikut ini salah satu contoh aplikasi CBT dalam memperbaiki cemas dan depresi pasien PGK yang menjalani HD. Didapatkan activating life event (A) yaitu didiagnosis PGK dan harus menjalani HD. Pasien melaporkan sering mudah marah dan mudah tersinggung. Hal tersebut diidentifikasi sebagai consequence (C). Pasien mudah marah dan mudah tersinggung karena meyakini bahwa dirinya banyak dosa dan sakitnya kali ini disebabkan oleh dosa-dosanya. Keyakinan-keyakinan tersebut diidentifikasi sebagai irrasional belief (B). Dengan teknik restrukturisasi kognitif akan membantu pasien mengidentifikasi dan menantang kesalahan kognitif menjadi lebih realistik (Cukor, et al., 2007). Keyakinan-keyakinan negatif biasanya karena ketidaktauan tentang sakitnya dan apa yang akan terjadi akibat sakit yang dideritanya. Pengetahuan dapat membantu mengurangi keyakinan negatif dan diubah menjadi keyakinan yang lebih adaptif. Seseorang dapat belajar tentang jenis pengobatan dan apa yang dapat diharapkan. Meskipun tidak merubah diagnosis, mereka dapat mencari informasi terkini tentang penyakit tersebut dan berbicara dengan keluarga, teman dan tenaga kesehatan. Menemukan sumber dukungan yang baik membantu mereka dalam mengendalikan situasi dan dalam membuat keputusan. Hal itu juga
membantu pasien dalam melihat diri, kehidupan dan pengambilan keputusan dalam pengobatan (Halford & Brown, 2009). C. Kerangka Teori
Keterangan:
: perjalanan penyakit : sebelum intervensi : sesudah intervensi : arah intervensi CBT ACTH : Adenocorticothrophine hormone ANS
: Autonom nerves system
CRH : Corticothrophine releasing hormone IDO
: Indolamine-2,3-dioxygenase
NE
: Nor Ephinephrine
LC
: Locus Coeruleus
Penjelasan Kerangka Teori : Ketika seseorang didiagnosis menderita penyakit ginjal kronis dan harus mendapat terapi hemodialisis adalah suatu stresor yang mengganggu sistem biologi, psikologi dan sosial. Suatu stresor akan dicatat dalam korteks dan amigdala. Pesan akan dikirim ke korteks sensorik selanjutnya ke hipokampus. Tubuh meningkatkan kewaspadaan melalui hiperaktivitas aksis HPA, sehingga hipotalamus akan mengeluarkan CRH kemudian merangsang hipofise (pituitari) untuk mengeluarkan ACTH yang selanjutnya akan merangsang kelenjar adrenal. Dari kortek adrenal akan dikeluarkan glukokortikoid (kortisol). CRH secara sinergis juga meningkatkan aktifitas
Locus Coeruleus (LC) dan menstimulasi ANS untuk memproduksi norepinefrin. Pada kondisi akut, stresor diteruskan melalui jalur amigdala, yang menstimulasi
ANS
untuk
memproduksi
norepinefrin.
Kortisol
dan
norepinefrin yang meningkat akan menyebabkan munculnya kecemasan. Pada kondisi stres kronis produksi norepinefrin justru menurun karena kadar kortisol yang tinggi akan merusak sel termasuk sel yang memproduksi norepinefrin dan menyebabkan depresi. Disamping itu PGK dapat secara langsung mengakibatkan proses inflamasi kronik, yang akan memacu sitokin. Sitokin proinflamasi akan merangsang enzim metabolisme IDO yang berakibat menurunnya kadar indolamin dalam serum menurun. Indolamin merupakan gugus fungsional asam amino triptofan. Sehingga dengan menurunnya indolamin, maka triptofan serum juga akan menurun dan akhirnya kadar serotonin akan menurun, karena triptofan merupakan prekursor pembentukan serotonin dan terjadilah depresi.
Pada pemberian psikoterapi maka sinyal kognitif berjalan ke otak melalui jalur sensorik, auditorik, dan visual. Sinyal kognitif akan sepenuhnya mencapai korteks sensorik dan terus berlanjut ke korteks transisional untuk proses kontrol kognitif.
Sesudah
proses
kontrol
kognitif
selesai,
sinyal
tersebut
diproyeksikan ke hipokampus untuk disimpan sebagai memori, selain itu sinyal tersebut juga diekspresikan ke amigdala dan organ lain yang terkait untuk diekspresikan ke luar. Sinyal kognitif dari psikoterapi tersebut memiliki
kemampuan menghentikan sinyal darurat dari korteks menuju amigdala dan dari amigdala menuju hipotalamus. Dengan demikian sinyal kognitif yang diberikan melalui
psikoterapi sesudah mencapai korteks untuk proses
kognisi, saat diproyeksikan ke hipokampus dan amigdala sudah merupakan sinyal yang tertata baik, sedangkan sinyal darurat sudah terhambat dan hilang (Zisook, et al., 2009, Thase, 2009, Knuth et al., 2013, Schiepers, 2005, Kaplan, 2009).
D. Hipotesis
Cognitive Behaviour Therapy efektif dalam penatalaksanaan cemas dan depresi
pasien
penyakit
ginjal
kronik
yang
dihemodialisis.
48