perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Stroke 1. Pengertian Stroke Stroke adalah gangguan fungsional otak, yang terjadi lebih dari 24 jam (kecuali meninggal atau ada intervensi pembedahan) karena adanya gangguan aliran darah ke otak (Setyopranoto, 2007). Serangan stroke ini ditandai dengan hilangnya fungsi saraf pusat, baik lokal maupun global yang terjadi secara cepat (Ginsberg. 2004). Selanjutnya menurut EUSI (2003 dalam Setyopranoto, 2007) stroke atau serangan otak merupakan defisit neurologis yang terjadi secara mendadak pada susunan saraf pusat yang disebabkan karena plak (iskemik) atau pendarahan (hemoragik). Berdasarkan penjelasan di atas, stroke adalah gangguan fungsional otak yang ditandai hilangnya fungsi saraf pusat yang disebabkan gangguan aliran darah ke otak karena adanya plak (iskemik) atau pendarahan (hemoragik) pada otak. 2. Tipe atau Jenis Stroke Stroke berdasarkan patologi dibedakan menjadi dua, yaitu stroke hemoragik (stroke pendarahan) dan stroke iskemik (stroke penyumbatan). Menurut Guyton dan Hall (1997), stroke iskemik adalah stroke yang disebabkan adanya plak arteriosklerotik yang terjadi pada arteri pemberi makanan pada otak sehingga plak ini mengaktifkan mekanisme pembekuan commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
darah dan menghasilkan bekuan untuk membentuk dan menghambat arteri yang menyebabkan hilangnya fungsi otak, sedangkan stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan adanya salah satu pembuluh yang pecah karena tekanan darah tinggi sehingga terjadi pendarahan dan mengkompresi daerah setempat. Tipe stroke secara mayor dapat dibedakan menjadi stroke iskemik, transient ischemic attack (TIA), pendarahan intrasebral (PIS), pendarahan subaraknoid (PSA), dan thrombosis sinus vena serebral (Alway, 2009). Stroke iskemik adalah stroke yang disebabkan karena kurangnya aliran darah ke otak sehingga neuron berhenti melakukan fungsi normal dan pasien akan mengalami kelemahan, rasa baal, kehilangan penghilangan, dan gejala lainnya. Selanjutnya transient ischemic attack (TIA) merupakan stroke yang memiliki patofisiologi hampir sama dengan stroke iskemik, tetapi tidak ada infark sehingga transient ischemic attack didefinisikan sebagai gejala stroke yang menghilang dalam waktu 24 jam. Lebih lanjut pendarahan intrasebral (PIS) terjadi sekitar 10% dari kasus stroke mengacu pada pendarahan pada substansi otak, termasuk pendarahan dalam ventrikel yang menyebabkan pasien mengalami disfungsi neurologis hampir sama dengan jenis stroke lainnya hanya saja pasien juga mengeluh nyeri kepala, mual, dan muntah, sedangkan untuk pendarahan subaraknoid (PSA) terjadi pada 5% kasus stroke yang terjadi pada ruang subaraknoid, ditandai dengan nyeri kepala yang sangat hebat dan hilangnya kesadaran secara mendadak dan kolaps. Lebih lanjut lagi, thrombosis sinus vena serebral commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
menunjukkan adanya gejala neurologis fokal jika terjadi oklusi di vena kortikal kecil. Tipe ini termasuk jarang ditemukan tetapi dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan pendarahan pada region iskemia, serta kejang. Berdasarkan uraian diatas, tipe atau jenis stroke dibedakan menjadi dua yaitu yang pertama stroke iskemik meliputi stroke iskemik dan transient ischemic attack (TIA), sedangkan yang kedua stroke hemoragik meliputi pendarahan intrasebral (PIS) dan pendarahan subaraknoid (PSA). Selain itu ada tipe stroke thrombosis sinus vena serebral yang jarang ditemukan. 3. Faktor Risiko Stroke Lumbantobing, 2001 (dalam Sutrisno, 2007) menjelaskan bahwa faktor risiko dari stroke iskemik diantaranya karena adanya penyakit jantung, diabetes mellitus, kurangnya aktivitas fisik, dan konsumsi alkohol. Selanjutnya Setyopranoto (2007), membagi faktor risiko stroke dibedakan menjadi tiga yaitu : a. faktor yang bisa dikendalikan (hipertensi, penyakit jantung, fibrilasi atrium, endokarditis, stenosis mitralis, infark jantung, merokok, anemia sel sickle, transient ischemic attack, dan stenosis karotis asimtomatik) b. faktor
yang
potensial
bisa
dikendalikan
(diabetes
mellitus,
hiperhomosistinemia, dan hipertrofi ventrikel kiri) c. faktor yang tidak bisa dikendalikan (umur, jenis kelamin, herediter, georafis, serta ras dan etnis).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
Berdasarkan uraian diatas, faktor risiko stroke dibedakan menjadi tiga yaitu faktor yang bisa dikendalikan, faktor yang potensial bisa dikendalikan, dan faktor yang tidak bisa dikendalikan. 4. Tanda atau Gejala Stroke Tanda atau gejala seseorang terserang stroke yaitu kelemahan yang terjadi secara mendadak, rasa baal, kehilangan pandangan, diplopia, disartia, kelainan cara berjalan, vertigo, aphasia (gangguan bicara), dan gangguan derajat kesadaran (Always dan Core, 2011). Menurut Setyopranoto (2007), pasien stroke akan menunjukkan tanda dan gejala, yaitu : hemidefisit motorik, hemidifisit sensorik, penurunan kesadaran, kelumpuhan saraf otak yang bersifat sentral, gangguan fungsi luhur, seperti aphasia (gangguan berbicara) dan dementia (gangguan fungsi intelektual), buta setengah pandangan (hemianopsia), dan defisit batang otak. Kothari, Pancioli, Liu, T.Brott, Broderick (1999); Yayasan Stroke Indonesia (2009), mengenalkan penilaian sederhana mengenai tanda atau gejala awal stroke dengan singkatan FAST (Face, Arms drive, Speech, and Three of signs), yaitu : a. F = Face atau wajah Seseorang dengan gejala stroke maka wajah tampak mencong sebelah (tidak simetris). Salah satu sudut mulut tertarik ke bawah dan lekukan antara hidung ke sudut mulut atas tampak mendatar. b. A = Arms drive atau gerakan lengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
Seseorang yang normal, ketika lengan diangkat maka kedua lengan akan sama sejajar, sedangan apabila seseorang memiliki kelumpuhan lengan yang ringan dan tidak disadari oleh penderita maka lengan yang lumpuh posisinya akan lebih turun sehingga tidak sejajar lagi. Pada kelumpuhan yang berat, lengan yang lumpuh tidak bisa diangkat bahkan tidak bisa digerakkan. c. S = Speech atau bicara Seseorang yang memiliki gejala awal stroke jika berbicara artikulasi terganggu (pelo), sulit berkata – kata (gagu), atau bisa bicara tetapi tidak dapat memahami pertanyaan lawan bicara sehingga komunikasi tidak nyambung d. T = Three of signs atau ketiga tanda diatas Ketika ada ketiga gejala diatas yaitu perubahan wajah, kelumpuhan, dan gangguan bicara maka kemungkinan 72% seseorang tersebut terserang stroke. Oleh karena itu segera bawa pasien ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan secepatnya. Berdasarkan uraian diatas, tanda – tanda atau gejala stroke yaitu kelemahan secara mendadak pada sistem motorik dan sensorik, penurunan kesadaran, kehilangan pandangan, kelumpuhan otak, kelaianan cara berjalan, vertigo, dan gangguan fungsi luhur (gangguan bicara dan gangguan fungsi inteletual) yang dapat diketahui dengan penilaian sederhana FAST (Face, Arms drive, Speech, and Three of signs).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
5. Diagnosis Stroke Diagonis
stroke
menurut
Setyopranoto
(2007)
dapat
dilakukan
pemeriksaan pada pasien meliputi anamnesis dan pemeriksaan neurologis. Selain itu juga perlu dilakukan pemeriksaan neuroimaging, pemeriksaan kardiovaskular,
dan
pemeriksaan
laboratorium
darah.
Pemeriksaan
neuroimaging meliputi CT Scan kepala dan MRI kepala. Pemeriksaan imaging juga dilakukan pada servikal dan arteri intrakinal meliputi CT angiorgrafi, MR angiografi, doppler dan duplex ultrasonografi, serta angiografi konvensional atau digital (jika akan dilakukan trombosis intrakinal). Pemeriksaan laboratorium darah lengkap juga perlu dilakukan, misalnya untuk mengetahui kondisi gula darah, natrium, kalium, ureum, dan kreatin. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan EKG dan fungsi lumbal (jika dicurigai ada pendarahan subarakhnoid atau infeksi mengiovaskuler). Untuk membedakan jenis serangan stroke dapat menggunakan hasil pemeriksaan CT Scan atau MRI secara tepat. Berdasarkan uraian diatas, pemeriksaan stroke dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuroimaging, pemeriksaan kardiovaskular, dan pemeriksaan laboratorium darah. 6. Dampak Stroke Seseorang yang terserang stroke akan berdampak baik bagi diri sendiri maupun orang lain, khususnya keluarga. a. Bagi penderita Penderita stroke dapat sembuh total, sembuh dengan kelumpuhan, bahkan meninggal (Sutrisno, 2007). Seseorang yang terserang stroke dapat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
sembuh dengan kecacatan dapat ditandai dengan mengalami kelumpuhan dan perubahan mental (Mahendra dan Rachmawati, 2005). Kelumpuhan yang terjadi pada penderita biasanya hanya sebelah, tergantung bagian otak mana yang terserang stroke. Jika otak sebelah kiri yang terserang stroke maka bagian tubuh sebelah kanan yang akan mengalami kelumpuhan, sebaliknya jika bagian otak sebelah kanan yang terserang stroke maka tubuh sebelah kiri yang akan mengalami kelumpuhan. Seorang penderita stroke pada awalnya akan merasakan perubahan mental yang cenderung menurun. Penderita stroke akan merasa marah, sedih, dan tidak berdaya sehingga menunjukkan adanya dampak emosional yang menyebabkan menurunnya semangat untuk hidup. Hal ini dikarenakan seorang penderita stroke, selain mengalami kelumpuhan juga akan mengalami gangguan daya pikir, konsentrasi, kesadaran, kemampuan belajar, dan intelektual. Lebih lanjut lagi, menurut Yayasan Stroke Indonesia (2009), menjelaskan bahwa penderita stroke dengan gejala sisa yang permanen dapat menimbulkan dampak bagi kehidupan sosial penderita karena tidak dapat bekerja seperti sebelum terserang stroke sehingga dapat menghambat sosialisasi dengan lingkungan. Berdasarkan uraian diatas, seseorang yang terserang stroke akan mengalami kelumpuhan dan perubahan mental yang cenderung menurun sehingga menunjukkan dampak emosional yang menurunkan semangat hidup dan menghambat sosialisasi dengan lingkungan karena penderita yang tidak dapat bekerja seperti sebelum terserang stroke. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
b. Bagi keluarga Friedman, Bowden, dan Jones (2013) mengatakan bahwa ketika suatu keluarga dalam kondisi kritis karena ada salah satu anggota keluarga yang sakit, misal suami, maka akan terjadi modifikasi struktur keluarga untuk menggantikan peran dan tugas suami sebelum sakit. Namun perubahan peran ini dapat menimbulkan konflik peran dan ketegangan. Anggota keluarga merasa terbebani dengan penerimaan peran baru sehingga akan merasa cemas, khawatir, dan bersalah. Pasangan dari anggota keluarga yang sakit juga akan merasa stres karena mengemban tugas tambahan dalam mengatur rumah tangga dan memiliki tanggung jawab memantau kesehatan penderita. Lebih lanjut lagi, menurut Yayasan Stroke Indonesia (2009), perawatan bagi pasien stroke memberikan dampak yang sangat besar bagi kehidupan ekonomi dan sosial. Hal ini dikarenakan biaya pengobatan yang sangat mahal dan penderita dengan gejala sisa permanen dapat menjadi beban keluarga dan beban masyarakat karena tidak bisa produktif (bekerja) seperti sebelum terserang stroke. Berdasarkan uraian diatas, dampak stroke bagi keluarga yaitu terjadi modifikasi struktur keluarga, anggota keluarga merasa terbebani, cemas, khawatir, bersalah, stres, dan beban bagi kehidupan ekonomi dan sosial.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
B. Caregiver Burden 1. Caregiver a. Pengertian caregiver Caregiver dalam Merriam-Webster An Encyclopedia Britannica Company (2013) adalah seseorang yang memberikan perawatan dan perlindungan kepada orang yang membutuhkan perawatan seperti anak, orang tua, atau seseorang yang sakit. Sedangkan pengertian caregiver dalam N.C. Caregiver’s Handbook (1998) adalah seseorang yang membantu memenuhi kebutuhan anggota keluarga, teman, atau tetangga yang sakit dan tidak mampu (cacat atau lemah). Lebih lanjut Greene (2008), menjelaskan caregiver adalah seseorang yang memberikan perawatan kepada orang lain karena dalam kondisi demensia, kanker, atau cedera otak (termasuk stroke) dan membutuhkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari. Berdasarkan uraian di atas, caregiver adalah seseorang yang memberikan bantuan pada anak, orang tua, atau anggota keluarga, teman, atau tetangga yang sakit, cacat atau lumpuh dan tidak mampu mengurus dirinya sendiri karena kondisi demensia, kanker, atau cedera otak (termasuk stroke) sehingga membutuhkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari b. Jenis caregiver Caregiver dibedakan menjadi dua yaitu caregiver informal dan caregiver formal. Greene (2008) menjelaskan caregiver informal adalah seseorang yang tidak dibayar untuk merawat seseorang, termasuk caregiver commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
yang merawat pasangannya yang sedang sakit, Sedangkan caregiver formal adalah seseorang yang dibayar dari institusi atau pemberi layanan jasa perawatan untuk merawat orang yang sakit. Selanjutnya, menurut Messecar (2008), peran sebagai caregiver dibedakan menjadi primary caregiver dan secondary caregiver. Primary caregiver adalah orang yang paling bertanggung jawab atas perawatan dan pengasuhan dari seorang pasien (Employment and Social Development Canada, 2013), sedangkan secondary caregiver adalah peran yang membantu
merawat.
Ketika seseorang
yang sudah menikah
dan
pasangannya menderita suatu penyakit maka dia akan berperan sebagai primary caregiver, sedangkan secondary caregiver biasanya yang lebih berperan adalah anak (Messecar, 2008). Berdasarkan uraian di atas, caregiver dapat dibedakan menjadi caregiver informal dan caregiver formal, sedangkan berdasarkan peran caregiver dibedakan menjadi primary caregiver dan secondary caregiver. c. Tugas caregiver Goodman, Rabow, dan Folkman (2009) menjelaskan bahwa seorang caregiver memiliki beberapa tugas, diantaranya mengatur jadwal dan menyiapkan obat, berkonsultasi dengan dokter, perawat, dan pekerjaan sosial, menyediakan transportasi ketika pasien akan bepergian, menjaga rumah termasuk memasak dan membersihkan rumah, membantu pasien melakukan terapi fisik dan latihan terapi okupasi, mengurus dan mengajukan klaim asuransi kesehatan, mengatur bisnis, hukum, dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
keuangan, dan memantau efek samping dari obat. Sedangkan menurut Greene (2008), seorang caregiver membantu pasien dalam banyak hal diantaranya berbelanja, membersihkan rumah, memasak, membayar tagihan, memberikan obat, membantu memandikan, menggunakan toilet, mengganti baju, dan makan. Berdasarkan uraian diatas, tugas dari caregiver yaitu merawat pasien, menyiapkan keperluan pasien, membantu pasien terapi, membersihkan rumah, memasak, dan mengatur bisnis, hukum, dan keuangan dari pasien. d. Dampak peran sebagai caregiver 1) Dampak positif Dampak positif dari
caregiving
atau pemberian perawatan
dilaporkan dari hasil kongres U.S. House Select Committee on Aging (1987 dalam Miller, 1999). Seseorang yang menjadi caregiver akan merasakan dampak positif, diantaranya : lebih bersahabat, mendapat bantuan keuangan, perspektif tekanan perawatan dialihkan pada hal yang lain, meningkatnya penerimaan diri sebagai caregiver, merasa lebih berguna dan meningkatkan harga diri, serta meningkatkan hubungan antara caregiver dan penderita. 2) Dampak negatif Dampak negatif dari pemberian perawatan sangat mempengaruhi caregiver, khususnya perempuan. Pada tahun 1980, dampak negatif dari perawatan diperkenalkan oleh Zarit dkk (1980) dengan istilah caregiver burden.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
Studi yang telah dilakukan oleh Office of Technology Assessment Task Force, 1988; Cohen dkk., 1990; Schulz et al, 1990; Dhooper, 1991 (dalam Miller, 1999) melaporkan bahwa konsekuensi yang harus diterima
oleh
berkurangnya
caregiver, kontak
diantaranya
sosial,
kehilangan
:
berkurangnya pendapatan
dan
privasi, asset,
meningkatnya konflik keluarga dan kesusahan, tidak memiliki waktu untuk kegiatan pribadi dan rekreasi, peningkatan penggunaan alkohol dan obat psikotropika, perubahan peran dan pengaturan hidup dalam keluarga, penurunan tanggung jawab pada pekerjaan karena lebih terbebani tanggung jawab sebagai caregiver, meningkatnya risiko depresi, meningkatnya perasaan marah, rasa bersalah, sedih, cemas, depresi, ketidakberdayaan, kelelahan fisik dan emosional, serta kesehatan fisik lebih buruk berhubungan dengan penyakit dan cedera karena perawatan. 2. Caregiver Burden a. Pengertian caregiver burden Zarit, dkk (1980) mencetuskan istilah caregiver burden pada tahun 1980 yang sampai saat ini digunakan untuk menjelaskan suatu kondisi fisik, psikologis atau emosi, sosial, dan masalah keuangan yang menjadi pengalaman bagi keluarga yang merawat (Miller, 1999). Caregiver burden adalah tekanan atau beban pada kondisi fisik, emosi, dan financial yang dialami oleh caregiver dari orang yang sakit parah atau lemah yang dapat mengurangi kualitas hidup caregiver (Gitlin, dkk., 2003; Lidell, 2002 dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
Ivanov & Blue, 2008). South-Paul, Matheny, Levis (2011), mendefinisikan caregiver burden sebagai suatu beban yang ditanggung oleh seseorang yang merawat orang tua, anggota keluarga atau orang lain yang sakit parah atau mengalami kelumpuhan. Berdasarkan uraian diatas, caregiver burden adalah suatu kondisi fisik, psikologis atau emosi, sosial, dan masalah keuangan yang dialami oleh seseorang yang merawat anggota keluarga yang mengalami kelumpuhan. b. Tanda – tanda mengalami caregiver burden Seorang caregiver yang mengalami caregiver burden akan memberikan tanda – tanda yaitu mengeluh tentang kondisi somatik dari pasien, meningkatnya stress dan kecemasan, cara berpikir yang kurang terfokus, kondisi sosial yang terisolasi, depresi, dan penurunan berat badan (Videbeck, 2011). Lebih lanjut tanda – tanda caregiver burden (Nurbani, 2009) dibedakan menjadi dua, yaitu : tanda yang dapat dilihat (objective burden), meliputi mempunyai waktu yang terbatas, hubungan keluarga yang tidak harmonis, kesulitan keuangan, dan kesehatan fisik menjadi terganggu. Sedangkan tanda yang dapat dirasakan (subjective burden), meliputi perasaan kehilangan, perasaan sedih, perasaan cemas, perilaku yang kacau dan putus asa dan stress. Berdasarkan uraian di atas, seorang caregiver yang mengalami caregiver burden menunjukkan tanda – tanda yaitu tanda yang dapat dilihat (objective burden) dan tanda yang dapat dirasakan (subjective burden). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
c. Kategori caregiver burden WHO (2008) mengkategorikan caregiver burden ke dalam dua jenis yaitu : 1) Objektive burden adalah permasalahan dan pengalaman keluarga meliputi masalah antar keluarga, terbatasnya hubungan sosial dan aktivitas, dan kesulitan ekonomi. 2) Subjective burden adalah reaksi psikologis yang muncul pada caregiver seperti rasa kehilangan, kesedihan, kecemasan, malu, koping stres terhadap permasalahan, dan frustrasi karena perubahan keadaan. Sedangkan Montgomerry (2002) membagi menjadi tiga variabel utama yang independen yaitu : 1) Objective burden diartikan sebagai gangguan atau dampak yang nyata dari kehidupan seorang caregiver. Objective burden meliputi jumlah waktu untuk diri sendiri, kemampuan pribadi untuk mempertahankan privasi, waktu yang tersedia untuk kegiatan rekreasi, pembatasan liburan dan perjalanan, jumlah waktu tersedia untuk melakukan pekerjaan sendiri dan tugas-tugas sehari-hari, dan jumlah waktu untuk teman-teman. 2) Subjective burden yang terdiri dari : a) Subjective demand burden diartikan sebagai perasaan tanggung jawab seorang caregiver untuk memberikan perawatan yang terlalu menuntut. Subjective demand burden meliputi ketergantungan keluarga pada caregiver, permintaan yang tidak masuk akal, perasaan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
caregiver dimanfaatkan oleh keluarga, dan tuntutan yang dibuat oleh keluarga melebihi yang dibutuhkan. b) Subjective stress burden diartikan sebagai dampak emosional yang dirasakan caregiver dari tanggung jawabnya untuk memberikan perawatan pada pasien. Subjective stress burden meliputi stress karena ketergantungan keluarga, ketegangan dalam kegiatan perawatan, kegelisahan, depresi, dan kecemasan terkait dengan perawatan keluarga. Berdasarkan uraian diatas, caregiver burden dibedakan menjadi dua yaitu objective burden dan subjective burden yang terdiri dari subjective demand burden dan subjective stress burden. d. Cara mengatasi dan mengurangi caregiver burden Cara untuk mengatasi caregiver burden (dalam Nurbani, 2009) ada dua cara yaitu : 1) Untuk objective burden Berbagi tugas untuk merawat, berbagi tugas untuk mencari informasi merawat, dan berbagi tugas dalam melakukan follow up dan membawa pasien cek up 2) Untuk subjective burden Komunikasi terbuka dalam keluarga, bermusyawarah apabila mengalami suatu hambatan, dan bekerjasama dengan anggota keluarga lain dalam merawat anggota keluarga yang sakit
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
Sedangkan Honea, dkk (2008), menjelaskan cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi caregiver burden, yaitu dengan intervensi psikoedukasi, intervensi dukungan (individu atau kelompok), intervensi multikomponen, dan psikoterapi. Berdasarkan uraian di atas, cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi caregiver burden dengan melakukan psikoterapi.
C. Supportive Group Therapy 1. Pengertian Supportive Group Therapy Stuart dan Sudden (1995) menjelaskan supportive therapy termasuk jenis psikoterapi model baru yang digunakan di rumah sakit dan perawatan psikiatri. Supportive therapy adalah jenis psikoterapi yang digunakan untuk menolong pasien keluar dari kondisi sulit, sedangkan group therapy merupakan cara yang efektif untuk membantu klinisi mengontrol dan memantau pasien dalam jumlah yang besar. Hal ini membantu pasien untuk dapat mempelajari hal baru dan konstruktif untuk berinteraksi dan saling memberikan dukungan (Andreasen dan Black, 2006). Tomb (2004) menjelaskan supportive therapy adalah jenis terapi yang dilakukan pada pasien yang mengalami kondisi distress emosional untuk mengevaluasi situasi kehidupan saat ini, mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki untuk membantu melakukan perubahan yang dapat membuat seseorang menjadi lebih baik. Supportive therapy juga dapat memperkuat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
perilaku penyesuaian diri dan memberi dukungan psikologis pada pasien (Slamet dan Markam, 2008). Supportive group therapy pada caregiver dilakukan untuk membantu caregiver yang memiliki masalah yang sama dalam kelompok dengan bantuan seorang profesional, baik itu psikiater, psikolog, mapun orang yang terlatih dalam pekerjaan sosial untuk saling mendukung satu sama lain, memperoleh pemahaman, memberikan rasa aman, dan tidak menyalahkan lingkungan (Hunt, 2004). Berdasarkan uraian diatas, supportive group therapy adalah terapi kelompok yang dilakukan dengan bantuan profesional untuk membantu caregiver yang memiliki permasalahan yang hampir sama agar dapat keluar dari kondisi sulit sehingga dapat mempelajari hal baru, mengevaluasi kekuatan dan kelemahan, memperkuat perilaku penyesuaian diri dan memberikan dukungan psikologis pada caregiver. 2. Tujuan Supportive Group Therapy Supportive group therapy dapat dilakukan untuk pasien gangguan jiwa, kanker, diabetes, rehabilitasi dari ketergantungan narkoba, penyakit kronis, penurunan berat badan, kelompok lanjut usia, dan caregiver dari pasien (Kyours dan Humphreys, 2008). Miller (1999) menjelaskan tujuan dari supportive group therapy diantaranya adalah untuk mendapatkan informasi yang dapat membantu penyelesaian masalah yang dihadapi dan memberikan kesempatan untuk berbagi pengalaman yang hampir sama dengan teman dalam kelompok. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
Adanya group support, akan tercipta suatu kelompok yang dapat saling mendukung satu sama lain sehingga memperoleh edukasi, meningkatkan keterampilan komunikasi dan relasi interpersonal, serta menyediakan penyelesaian permasalahan (Hunt, 2004). Selain itu, supportive group therapy dapat membantu pasien untuk mengatasi situasi sulit, pengalaman, dan periode penyesuaian melalui pembentukan forum untuk saling berbagi masalah satu sama lain, memungkinkan mempelajari teknik baru untuk mengatasi permasalahan mereka, memberikan semangat, inspirasi, dan membangkitkan harapan (Andersen dan Black, 2006). Berdasarkan kesimpulan di atas, tujuan supportive group therapy adalah membantu caregiver untuk mendapatkan informasi, pengalaman, keterampilan komunikasi dan relasi interpersonal antar anggota group support sehingga dapat menyelesaikan permasalahan dan bisa memberikan semangat, inspirasi, serta membangkitkan harapan. 3. Supportive Group Therapy pada istri yang berperan sebagai primary caregiver penderita stroke Keluarga, khususnya istri memegang peranan penting sebagai pimary caregiver pada suami yang mengalami gangguan kesehatan. Istri yang berperan sebagai primary caregiver rentan mengalami caregiver burden. Hal ini dikarenakan berkurangnya waktu untuk diri sendiri (waktu untuk rekreasi, istirahat, melakukan pekerjaan sendiri, dan waktu untuk bersosialisasi dengan orang lain), tanggung jawab sebagai caregiver terlalu menuntut, dan dampak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
emosional (stres, depresi, ketegangan, kecemasan, dan kegelisahan) yang dirasakan saat memberikan perawatan (Montgomerry, 2002). Salah satu cara menangani caregiver burden yang dialami oleh istri yang berperan sebagai primary caregiver adalah dengan supportive group therapy. Hal ini dikarenakan terapi ini memberikan informasi, dukungan psikologis, dan sosial bagi anggota yang tergabung di dalamnya. Tujuan dari supportive group therapy ini adalah untuk memberikan informasi, berbagi pengalaman antar sesama
anggota,
meningkatkan
keterampilan
komunikasi
dan
relasi
interpersonal, serta menyediakan penyelesaian permasalahan (Miller, 1999; Hunt, 2004). Supportive group therapy ini memfasilitasi anggota untuk memperoleh informasi secara lengkap mengenai penyakit stroke. Setiap anggota juga diberikan kesempatan untuk menceritakan pengalaman yang dialami selama berperan sebagai primary caregiver dan juga belajar untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi berdasarkan pengalaman dari anggota lain. Selanjutnya, anggota diberikan latihan untuk menganalisis sumber dukungan yang dapat membantu primary caregiver dalam merawat pasien sehingga dapat meringankan tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan. Lebih lanjut lagi, anggota juga akan diberikan materi dan latihan relaksasi pernapasan. Latihan relaksasi ini akan membantu anggota untuk memberikan rasa nyaman dan memberikan efek positif bagi kondisi fisik dan psikologis. Oleh karena itu, terapi ini juga diharapkan dapat membangkitkan semangat dan harapan dari setiap anggota.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
4. Prinsip Supportive Group Therapy Dalam melaksanakan supportive group therapy, menurut Chien, Chan, dan Thompson (2006) ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, diantaranya yaitu : a. hubungan saling percaya antar setiap individu b. mau memikirkan ide dan alternative untuk menyelesaikan masalah c. mendiskusikan area tabu (tukar pengalaman mengenai rahasia, masalah, dan konflik yang dihadapi saat berperan sebagai caregiver) d. dapat menghargai situasi dan bertindak bersama e. terbentuk suatu sistem atau kelompok yang saling mendukung satu sama lain. f. dapat memecahkan masalah secara individu Berdasarkan uraian diatas, prinsip dalam melaksanakan supportive group therapy yaitu hubungan saling percaya, memikirkan ide dan alternative untuk menyelesaikan masalah, mendiskusikan area tabu, menghargai situasi dan bertindak bersama, terbentuk suatu sistem atau kelompok dukungan, dan pemecahan masalah secara individu 5. Penatalaksanaan Supportive Group Therapy Supportive group therapy menurut Miller (1999) dapat dilaksanakan dengan ukuran kecil yaitu lima sampai dua belas orang anggota, tetapi yang ideal adalah delapan orang. Menurut Goldman (2000), group dapat beranggotakan enam sampai dua belas orang, tetapi yang optimal adalah delapan orang. Lebih lanjut, menurut Hunt (2004), group dengan jumlah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
anggota lima sampai delapan orang adalah ukuran yang paling praktis agar anggota kelompok mendapat pengalaman, meminimalisir keluarnya anggota, dan group lebih stabil. Group hanya terdiri dari beberapa orang saja agar memberikan kesempatan pada setiap orang untuk berbicara dan mendengarkan persepsi dari sudut pandang yang berbeda (Stuart dan Laraia, 2005). Karakteristik kelompok menurut Goldman (2000) lebih cocok jika bersifat homogen karena anggota memiliki persamaan masalah dan memiliki orientasi yang sama yaitu menyelesaikan masalah. Para anggota dituntut untuk dapat berpartisipasi penuh, keanggotaan bersifat sukarela, dan setiap anggota mau saling membantu. Karakteristik homogen dapat ditentukan dari kondisi demografik caregiver (jenis kelamin, usia, hubungan dengan penderita, status) dan permasalahan. Rentang usia untuk dapat mengikuti group therapy yaitu 20 tahun sampai 60 tahun. Rentang usia ini dibedakan menjadi dua agar lebih homogen yaitu group usia muda, yaitu usia 20 tahun sampai 40 tahun, dan group usia pertengahan/madya, yaitu usia 40 tahun sampai 60 tahun (Goldman, 2000). Pembagian usia ini juga sesuai dengan pendapat Erikson (Santrock, 2002), bahwa usia 20 tahun sampai 40 tahun termasuk masa dewasa awal, sedangkan usia 40 tahun sampai 60 tahun termasuk dalam masa dewasa pertengahan. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilaksanakan dengan anggota lima orang subjek yang homogen dan memiliki permasalahan yang sama. Usia subjek penelitian termasuk usia dewasa pertengahan yaitu 40 – 60 tahun.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
Karakteristik ini dianggap efektif dan komunikatif sehingga kegiatan supportive group therapy ini dapat berlangsung dalam keadaan kondusif. 6. Sesi Supportive Group Therapy Supportive group therapy dapat dilaksanakan dalam empat sesi seperti penelitian yang sudah dilakukan Nurbani, 2009; Dewi, 2011; Dewi 2012. Keempat sesi pada supportive group therapy merupakan pengembangan dari mutual support group bagi keluarga menurut Chien, Chan & Thompson (2006) dan support system enhancement yang dijelaskan oleh McCloskey dan Bulechek (1996 dalam Stuart dan Laraia, 1998). Keempat sesi tersebut, meliputi: sesi pertama, yaitu pembangunan rapport, mengidentifikasi kemampuan istri dan pengetahuan tentang stroke. Sesi kedua, yaitu peran sebagai caregiver (tantangan/permasalahan yang dihadapi, dan cara mengatasi permasalahan). Sesi ketiga, yaitu sumber dukungan dari dalam dan luar keluarga (hambatan, dan cara mengatasinya). Sesi keempat, yaitu sesi akhir dan evaluasi . Untuk penjelasan setiap sesi terapi adalah sebagai berikut : a) Sesi pertama Pada sesi ini pertama ini diadaptasi dari sesi pembangunan kepercayaan dan pengenalan tentang kebutuhan psikologis dari mutual support group (Chien, Chan, dan Thompson, 2006). Tujuan dari sesi ini adalah pembentukkan kepercayaan dan tujuan bersama antar anggota kelompok dan terapis, serta berbagi informasi antar anggota tentang informasi tentang penyakit stroke.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
b) Sesi kedua Pada sesi kedua ini diadaptasi dari sesi peran baru dan tantangan yang dihadapi dari mutual support group (Chien, Chan, dan Thompson, 2006). Tujuan dari sesi ini adalah mengetahui permasalahan yang muncul dari segi fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi yang dialami selama merawat suami yang menderita stroke, mengetahui peran caregiver, dampak dan permasalahan yang muncul setelah berperan sebagai caregiver, dan mengetahui cara mengatasi masalah dalam memberikan perawatan pada penderita c) Sesi ketiga Pada sesi ketiga ini mengidentifikasi sumber dukungan dari dalam dan luar keluarga, hambatan, dan cara mengatasinya sesuai dengan support system enhancement yang dijelaskan oleh McCloskey dan Bulechek (1996 dalam Stuart dan Laraia, 1998). Tujuan dari sesi ini adalah berbagi informasi mengenai sumber dukungan yang dapat membantu merawat suami yang sakit stroke, hambatan dan cara mengatasinya d) Sesi keempat Pada sesi keempat sekaligus sesi terakhir ini yang dilakukan adalah mengevaluasi pelaksanaan sesi – sesi terapi sebelumnya sesuai dengan sesi akhir pada mutual support group dari Chien, Chan, Thompson (2006). Tujuan dari sesi ini adalah untuk melakukan evaluasi dan persiapan untuk pembubaran kelompok.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
Keempat sesi dilakukan dalam minimal empat kali pertemuan selama empat minggu, dan setiap pertemuan dilaksanakan selama 60-90 menit (Townsend, 2008). Berdasarkan uraian di atas, supportive group therapy dalam penelitian ini dilaksanakan sebanyak empat kali pertemuan yang terdiri dari empat sesi dan setiap sesi pertemuan dilaksanakan selama 60 – 90 menit. 7. Sesi relaksasi pernapasan Relaksasi pernapasan adalah salah satu bentuk relaksasi yang paling sederhana. Menurut Smeltzer & Bare (Wening, 2013), tujuan relaksasi pernapasan adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasis paru, dan menurunkan stres sehingga memberikan efek baik secara fisiologis dan psikologis. Manfaat relaksasi adalah sebagai berikut : a. Mampu meningkatkan kesehatan secara umum b. Mendorong racun dan kotoran dalam darah keluar dari tubuh c. Menurunkan tingkat agresivitas dan perilaku buruk yang merupakan dampak stres d. Menurunkan tingkat egosentris sehingga hubungan intrapersonal dan interpersonal menjadi lebih baik e. Mengurangi kecemasan f. Meningkatkan harga diri dan keyakinan diri g. Pola pikir menjadi lebih dewasa h. Mempermudah seseorang mengendalikan diri commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
i. Mengurangi
digilib.uns.ac.id 35
stres
secara
keseluruhan,
meraih
kedamaian,
dan
keseimbangan emosional Langkah – langkah relaksasi pernapasan adalah sebagai berikut: a. Tarik napas dalam dan tahan di dalam paru dengan hitungan 1 – 4 b. Keluarkan udara secara perlahan – lahan. Rasakan tubuh menjadi kendur dan rasakan kenyamanannya. c. Bernapaslah secara normal dalam beberapa waktu d. Ambil napas dalam – dalam kembali, lalu keluarkan secara perlahan – lahan
e. Biarkan telapak kaki rileks f. Konsentrasikan pikiran pada kaki g. Ulangi langkah 4 sebanyak 15 kali dan konsentrasikan pikiran pada lengan, perut, punggung, dan kelompok otot – otot lainnya h. Setelah merasa rileks, bernapaslah secara perlahan Teknik relaksasi ini dapat menjadi perilaku otomatis atas perilaku yang membuat kondisi tidak nyaman. Caranya dengan melakukan relaksasi sebelum tidur selama 28 hari berturut – turut (Wening, 2013).
D. Pengaruh Supportive Group Therapy terhadap Penurunan Caregiver Burden Pada Istri yang Berperan Sebagai Caregiver Penderita Stroke Penyakit stroke merupakan penyebab utama kecacatan baik fisik maupun mental pada usia produktif dan lanjut usia yang dapat menyebabkan kematian secara mendadak. Stroke merupakan penyebab kematian ketiga di negara – negara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
Barat. Selain itu stroke merupakan penyebab kecacatan tertinggi di Amerika Serikat. Hasil dari penelitian di beberapa rumah sakit di Indonesia, sekitar 50% dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal saraf adalah pasien stroke dan sekitar 5% pasien yang dirawat tersebut meninggal karena stroke (Misbach, 2001 dalam Setyopranoto, 2007). Kerugian karena serangan stroke sangat besar karena digunakan untuk pengobatan dan perawatan setelah serangan stroke, selain itu juga karena hilangnya pekerjaan dan menurunnya kualitas hidup. Seorang pasien yang terserang stroke dan sembuh dengan kecacatan akan membutuhkan biaya yang cukup besar untuk pengobatan dan perawatan. Pasien juga memerlukan bantuan orang lain untuk merawat dan membantu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari. Kondisi pasien yang seperti ini memerlukan bantuan seorang caregiver untuk merawat dan membantu pasien memenuhi kebutuhannya sehari – hari. Peran sebagai caregiver dapat dilakukan oleh pasangan, anak, anggota keluarga lain, atau bahkan teman. Ketika seorang suami menderita stroke maka istri sebagai pasangan akan berperan sebagai primary caregiver. Hal ini didukung data yang menyebutkan bahwa 23% posisi sebagai caregiver dipegang oleh istri dari 42% pasangan yang berperan sebagai caregiver (Durant dan Christian, 2006). Seorang istri yang berperan sebagai primary caregiver memiliki tugas dan tanggung jawab dalam memberikan perawatan pada pasien. Istri memiliki tugas untuk merawat pasien (memandikan, membantu memakai baju, membantu ke toilet, membuatkan makanan dan menyuapi, memberikan obat, membersihkan kamar tidur, membantu pasien terapi fisik, seperti latihan berjalan, membantu pindah dari commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
tempat tidur ke kursi roda atau sebaliknya, dan menemani pasien berpergian), mengatur keuangan untuk keluarga dan biaya perawatan pasien, berkomunikasi dengan tenaga medis, mengurus asuransi, dan membersihkan rumah. Keadaan semacam ini membuat istri rentan mengalami caregiver burden. Caregiver burden yang dialami oleh istri disebabkan adanya tekanan baik dari fisik, psikologis atau emosi, sosial, dan keuangan karena merawat suami yang sakit. Seorang istri yang mengalami caregiver burden juga akan mengalami penurunan kualitas hidup. Istri yang mengalami caregiver burden akan memperlihatkan dan merasakan waktu yang dimilikinya terbatas, hubungan keluarga yang tidak harmonis, kesulitan keuangan, kesehatan fisik menjadi terganggu, perasaan kehilangan, perasaan sedih, perasaan cemas, perilaku yang kacau dan putus asa dan stress. Oleh karena itu, caregiver burden perlu diatasi, salah satu caranya dengan pemberian terapi kelompok. Terapi kelompok yang dapat diberikan untuk caregiver sangat beragam. Supportive group therapy dipilih untuk diberikan kepada istri yang berperan sebagai caregiver penderita stroke karena untuk meningkatkan sistem dukungan untuk membantu dalam perawatan pasien sehingga dapat mengurangi caregiver burden. Dukungan sosial (social support) sangat diperlukan bagi caregiver dalam memberikan perawatan pada pasien. Dukungan sosial dapat berasal dari keluarga, teman, tetangga, kelompok, dan tenaga profesional (McCubin, Olson, & Larsen, 1991 dalam Friedman, Bowden, & Jones, 2013). Supportive group therapy adalah terapi kelompok yang dilakukan dengan bantuan profesional untuk membantu caregiver yang memiliki permasalahan yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
hampir sama agar dapat keluar dari kondisi sulit sehingga dapat mempelajari hal baru, mengevaluasi kekuatan dan kelemahan, memperkuat perilaku penyesuaian diri dan memberikan dukungan psikologis pada caregiver. Tujuan dari supportive group therapy ini adalah membantu caregiver untuk mendapatkan informasi, pengalaman, keterampilan komunikasi dan relasi interpersonal antar anggota group support sehingga dapat menyelesaikan permasalahan dan bisa memberikan semangat, inspirasi, serta membangkitkan harapan. Supportive group therapy terbukti dapat menurunkan caregiver burden, seperti yang dibuktikan pada beberapa penelitian. Hasil penelitian Dewi (2011) yang melaporkan bahwa adanya perbedaan beban pengasuhan sebelum dan setelah pemberian terapi kelompok suportif pada keluarga yang merawat anak tunagrahita di SLB Kabupaten Banyumas. Selain itu hasil penelitian keluarga di Cina yang merawat anak skizofrenia mengalami penurunan beban pengasuhan dan peningkatan fungsi keluarga setelah pemberian terapi (Chien dkk, 2006). Tujuan dari supportive group therapy pada penelitian ini adalah untuk memberikan informasi, berbagi pengalaman antar sesama anggota, meningkatkan keterampilan
komunikasi
dan
relasi
interpersonal,
serta
menyediakan
penyelesaian permasalahan (Miller, 1999; Hunt, 2004). Pelaksanaan supportive group therapy ini sebanyak empat sesi pertemuan dengan metode presentasi, diskusi, sharing, latihan, dan ice breaking. Supportive group therapy ini dipimpin oleh seorang psikolog sebagai fasilitator yang dibantu oleh co-fasilitator. Anggota dalam terapi ini ialah para istri yang berperan sebagai caregiver dari penderita stroke dan memenuhi kriteria subjek penelitian yang sudah ditetapkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
sebelumnya. Pelaksanaan terapi akan dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan kontrak yang telah disetujui peneliti, terapis, dan anggota kelompok. Berdasarkan deskripsi di atas, pemberian supportive group therapy diharapkan dapat menurunkan caregiver burden pada istri yang berperan sebagai primary caregiver penderita stroke.
E. Kerangka Pemikiran
Suami terserang stroke dan mengalami kelumpuhan (sebagian maupun keseluruhan)
Supportive Group Therapy
Terdiri dari empat sesi, yaitu: 1. Sesi pengetahuan tentang stroke 2. Sesi peran sebagai caregiver 3. Sesi sumber dukungan dari dalam dan luar keluarga 4. Sesi akhir dan evaluasi
Istri berperan sebagai primary caregiver
Mengalami Caregiver Burden
Penurunan Caregiver Burden Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
F. Hipotesis Hipotesis yang akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini adalah : Ada pengaruh supportive group therapy terhadap caregiver burden pada istri yang berperan sebagai primary caregiver penderita stroke.
commit to user