BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep Akad Musyarakah dalam Fiqh Muamalah 1.
Pengertian Musyarakah Secara etimologis, musyarakah berasal dari kata Arab syirkah yang berarti kemitraan dalam suatu usaha, dan dapat diartikan sebagai bentuk kemitraan antara dua orang atau lebih yang menggabungkan modal atau kerja mereka, untuk berbagi keuntungan serta menikmati hak dan tanggung jawab yang sama. Musyarakah bisa berbentuk mufawadhah atau kemitraan tidak terbatas, tidak tertutup dan sejajar. Setiap mitra samasama mempunyai kewajiban menyumbang modal dan mempunyai hak dalam manajemen dan pengaturan usaha. Masing-masing mitra menjadi wakil dan penjamin dari mitra lainnya. 1 Secara
terminologi,
ulama
fiqh
beragam
pendapat
dalam
mendefinisikannya, diantara lain sebagai berikut: a.
Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie Musyarakah adalah akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk ta‟awun dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi keuntungannya.2
1 2
Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Op. Cit, hlm. 63 Hendi Suhendi, Op. Cit, hlm. 126
21
22
b.
Menurut Sayid Sabiq Musyarakah yaitu akad antara dua orang yang berserikat pada pokok harta (modal dan keuntungannya).3
c.
Menurut Hanafiyah Musyarakah adalah ungkapan adanya transaksi (akad) antara dua orang yang bersekutu pada pokok harta dan keuntungan. Musyarakah dalam wacana fiqh adalah bentuk kedua dari penerapan prinsip bagi hasil yang dipraktikkan dalam sistem perbankan Islam, dimana konsep musyarakah ini dapat digunakan dalam perbankan Islam.4
2. Dasar Hukum Musyarakah Musyarakah merupakan akad kerjasama yang diperbolehkan, hal ini berdasarkan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur‟an, Al-Hadits ataupun
ijma
ulama.
Diantara
dalil
(landasan
syariah)
yang
memperbolehkan praktik kerjasama antara lain sebagai berikut: a. Al – Qur‟an Surat Shad ayat 24 ُ اج ًِ ََإِ َّن َكثِي ًزا ِمهَ ْال ُخلَطَا ِء لَيَ ْب ِغي بَ ْع َض إِال الَّ ِذيه َ ِك بِسُؤَ ا ِل وَ ْع َجت َ قَا َل لَقَ ْذ ظَلَ َم ِ ك إِلَى وِ َع ٍ ضٍُ ْم َعلَى بَ ْع - )٤٢( َاب َ ت ََقَلِي ٌل َما ٌُ ْم ََظَ َّه دَا َُ ُد أَوَّ َما فَتَىَّايُ فَا ْستَ ْغفَ َز َربًَُّ ََ َخ َّز َرا ِكعًا ََأَو ِ آ َمىُُا ََ َع ِملُُا الصَّالِ َحا Artinya: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian dari mereka berbuat dzalim kepada sebagian lain, kecuali yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shad: 24). 3
Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, hlm. 294 sebagaimana dikutip oleh Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 126 4 Abdullah Saeed, Islam dan Bunga Studi Kritis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 107
23
Ayat ini merujuk pada dibolehkannya praktek akad musyarakah. Lafadz
“al-khulatha”
dalam
ayat
ini
bisa
diartikan
saling
bersekutu/partnership, bersekutu dalam konteks ini adalah kerjasama dua orang atau lebih pihak untuk melakukan sebuah usaha perniagaan. Berdasarkan penjelasan ini, jelas sekali bahwa pembiayaan musyarakah mendapatkan legalitas dari syariah.
b. Hadits Abu Daud dari Abu Hurairah Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda. “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman,‟Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya.‟” (HR. Abu Daud dari Abu Hurairah).5 Dalam hadits ini, Allah memberikan pernyataan bahwa Dia akan bersama dua orang yang bersekutu dalam suatu usaha perniagaan, dalam arti bahwa Allah akan menjaga, memberikan pertolongan dan berkah-Nya atas usaha perniagaan yang dilakukan, usaha yang dijalankan akan semakin berkembang sepanjang tidak ada pihak yang berkhianat. Jika terdapat pihak yang berkhianat diantara mereka, maka Allah akan mengangkat pertolongan dan berkah-Nya atas usaha perniagaan yang dijalankan. Hadits ini secara jelas membenarkan praktik akad musyarakah dan menunjukkan urgensi sifat amanah dan tidak membenarkan adanya khianat dalam kontrak musyarakah yang dijalankan.6 5
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.209-210 6 Ibid
24
c. Ijma‟ Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni telah berkata, “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.”7 3. Rukun dan Syarat Musyarakah a. Rukun musyarakah Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi (necessary condition), misalnya ada penjual dan pembeli. Tanpa adanya penjual dan pembeli, maka jual beli tidak akan ada.8 Rukun dari akad musyarakah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu: 1) Pelaku Akad -
Para mitra usaha
2) Obyek Akad -
Modal (mal)
-
Kerja (dharabah)
-
Keuntungan (ribh)
3) Akad (Sighat)
7
-
Serah (Ijab)
-
Terima (Qabul)9
Muhammad Syafi‟i Antonio, Op.Cit, hlm. 91 Hendi Suhendi, Op.Cit, hlm. 70 9 Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 8
52
25
b. Syarat Musyarakah Syarat yaitu sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun (sufficient condition). Contohnya adalah pelaku transaksi haruslah orang yang cakap hukum (mukalaf) menurut mazhab Hanafi, bila rukun sudah terpenuhi tapi syarat tidak terpenuhi maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga transaksi tersebut menjadi rusak (fasid).10 4. Jenis-jenis Akad musyarakah Musyarakah terbagi menjadi 4 jenis yaitu sebagai berikut: a.
Syirkah al-„Inan Syirkah al-„inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati di antara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka. Mayoritas ulama membolehkan jenis al-musyarakah jenis ini.
b.
Syirkah Mufawadhah Syirkah mufawadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis al-musyarakah ini adalah kesamaan dana yang
10
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 47
26
diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak. c.
Syirkah A‟maal Al-musyarakah ini adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerja sama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor. Almusyarakah ini kadang-kadang disebut musyarakah abdan atau sanaa‟i.
d.
Syirkah Wujuh Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. Jenis al-musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasar pada jaminan tersebut. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut sebagai musyarakah piutang.
5. Skema Musyarakah
27
Mekanisme musyarakah dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut 2.1 :
Skema Musyarakah11
Nasabah Parsial:
Bank Syariah Parsial
Asset Value
Pembiayaan
PROYEK USAHA
KEUNTUNGAN
Bagi hasil keuntungan sesuai porsi kontribusi modal (nisbah)
6. Contoh Perhitungan Musyarakah Pak Usman adalah seorang pengusaha yang akan melaksanakan suatu
proyek.
Usaha
tersebut
membutuhkan
modal
sejumlah
Rp.100.000.000,00. Ternyata setelah dihitung, Pak Usman hanya memiliki Rp.50.000.000,00 atau 50% dari modal yang diperlukan. Pak Usman kemudian datang ke sebuah bank syariah untuk mengajukan pembiayaan dengan skema musyarakah. Dalam hal ini, kebutuhan terhadap modal sejumlah Rp.100.000.000,00 dipenuhi 50% dari anggota dan 50% dari 11
Muhammad Syafi‟i Antonio, Op.Cit, hlm. 91-94
28
bank. Setelah proyek selesai, anggota mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. Seandainya
keuntungan
dari
proyek
tersebut
adalah
Rp.20.000.000,00 dan nisbah atau porsi bagi hasil yang disepakati adalah 50:50 (50% untuk anggota dan 50% untuk bank), pada akhir proyek Pak Usman harus mengembalikan dana sebesar Rp.50.000.000,00 (dana pinjaman dari bank) ditambah Rp.10.000.000,00 (50% dari keuntungan untuk bank).12 B. Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan
dalam
bidang
keagamaan
yang
berhubungan
dengan
kepentingan umat Islam Indonesia membentu suatu dewan yang berskala nasional. Lembaga ini dikenal dengan nama Dewan Syariah Nasional (DSN) yang berdiri pada tanggal 10 februari 1999 sesuai dengan Surat Keputusan (SK) MUI No. Kep-754/MUI/II/1999. Lembaga DSN mengatasi dan mengarahkan
lembaga-lembaga
keuangan
syariah
untuk
mendorong
penerapan prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan perekonomian. Karena itu keberadaan DSN diharapkan dapat berperan secara optimal dalam pengembangan ekonomi syariah guna memenuhi tuntutan kebutuhan umat.13 Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan badan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas dan memiliki wewenang untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank 12 13
Ibid, hlm. 173 Surat Keputusan Dewan Syariah Nasional (DSN) No. Kep-754/MUI/II/1999
29
atau lembaga keuangan syariah yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, pembentukan fatwa bidang ekonomi syariah DSN adalah untuk menghindari adanya perbedaan ketentuan yang dibuat oleh Dewan Pengawas Syariah pada masing-masing lembaga keuangan syariah.14 Adapun tugas dan wewenang Dewan Syariah Nasional (DSN) yaitu: 1. Tugas Dewan Syariah Nasional (DSN) 1) Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya. 2) Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuanagan. 3) Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah. 4) Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan15 2. Wewenang Dewan Syariah Nasional (DSN) 1) Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah dimasing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait 2) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/ peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen keuangan dan Bank Indonesia. 3) Memberikan rekomendasi dan, atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah.
14
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat kementrian Agama RI, 2010), hlm. 11. 15 Surat Keputusan Dewan Syariah Nasional (DSN), Op. Cit.
30
4) Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syraiah, termasuk otoritas moneter/ lembaga keuangan dalam maupun luar negeri. 5) Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional. 6) Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan. 16 C. Akad Musyarakah dalam Fatwa DSN MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 Fatwa DSN MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 mengatur pembiayaan musyarakah dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1.
Ijab Kabul Ijab kabul dinyatakan oleh para pihak harus memperhatikan hal-hal berikut: a) Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad). b) Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak. c) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
2.
Subjek Hukum Para pihak yang berkontrak harus cakap hukum dan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
16
Ibid.
31
a) Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasan perwalian. b) Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil. c) Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur asset musyarakah dalam proses bisnis normal. d) Setiap mitra memberikan wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola asset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktivitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja. e) Seorang
mitra
tidak
diijinkan
untuk
mencairkan
atau
menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri. 3.
Objek Akad Objek akad pada musyarakah terdiri dari modal, kerja, keuntungan dan kerugian. Masing-masing ditentukan hal-hal berikut ini: a) Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari asset perdagangan, seperti barang-barang, property dan sebagainya. Jika modal berbentuk asset terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra. b) Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain kecuali atas dasar kesepakatan.
32
c) Pada prinsipnya dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, akan tetapi untuk menghindari terjadinya penyimpangan, bank (Lembaga Keuangan Syariah) dapat meminta pinjaman. 4.
Kerja a) Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah, tetapi kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. b) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
5.
Keuntungan a) Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau ketika penghentian musyarakah. b) Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan diawal yang ditetapkan bagi seorang mitra. c) Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau presentasi itu diberikan kepadanya. d) Sistem pembagian keutungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
33
6.
Kerugian Kerugian harus dibagi antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing modal.17
7.
Biaya operasional dan persengkataan a) Biaya operasional dibebankan pada modal bersama. b) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
17
Fatwa Dewan Syariah Nasional dan Majelis Ulama Indonesia No. 08/DSNMUI/IV/2000, hlm. 2-4