BAB II LANDASAN TEORI A. Agresivitas Semua orang seperti memahami apa itu agresi, namun pada kenyatannya terdapat perbedaan pendapat tentang definisi agresivitas. agresi identik dengan hal yang buruk. Untuk itu sebelumnya perlu digaris bawahi bahwa terdapat perbedaan antara agresi anti-sosial dan agresi prsosial. Agresi anti sosial merupakan agresi yang mengarah pada tindakan melanggar norma seperti tindakan kriminal dan tindakan yang menyakiti orang lain. Sedangkan agresi prososial adalah tindakan agresi yang mengarah kepada tindakan agresi positif, yang mendukung norma yang berlaku seperti penegakan hukum. Taylor, Peplau, Sears (2009). Pada penelitian ini penelituu mengarah kepada agresi anti sosial. 1. Pengertian Agresivitas Buss dan Perry (1992) berpendapat agresi adalah perilaku atau kecenderungan perilaku yang niatnya untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis. Taylor dkk (2009) berpendapat bahwa agresi adalah suatu tindakan yang diniatkan untuk menyakiti orang lain. Myers (2012) berpendapat bahwa agresi adalah perilaku yang bermaksud untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun verbal. Stricland (Hanurawan, 2010) berpendapat bahwa agresi ialah setiap tindakan yang diniatkan untuk melukai dan menyebabkan penderitaan pada orang lain dan bertujuan untuk merusak orang lain. senada dengan pendapat sebelumnya Dayakisni dan Hudaniah (2006) berpendapat bahwa agresi adalah adanya kesengajaan atau tujuan dari seseorang untuk melukai atau 13
14
menyakiti orang lain. Dari penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa agresi adalah tindakan yang diniati untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikologis. 2. Aspek-aspek Agresivitas Menurut Buss dan Perry (1992) aspek-aspek agresivitas mengacu pada empat faktor yaitu : a.
Kemarahan Aspek ini merupakan aspek yang didasari oleh emosi yang tidak dapat dikontrol oleh pelaku. Rasa tidak terima akan perilaku yang dilakukan seseorang kepada dirinya.
b.
Dendam Aspek dendam merupakan aspek yang didasari niat pelaku. Pelaku tidak menerima perilaku seseorang kepada dirinya dan berkeinginan untuk membalas. Keinginan membalas tersebut bisa berupa tindakan yang sama
c.
Agresi Fisik Agresi fisik merupakan agresi yang nampak dari pelaku yang berniat melukai secara fisik atau merusak benda.
d.
Agresi Verbal Agresi verbal merupakan agresi yang nampak namun tidak merusak benda atau melukai fisik seseorang. Agresi ini adalah agresi lisan atau ucapan yang bermaksud untuk melukai perasaan dan merusak psikologis.
15
Menurut Medinus dan Johnson (Dayakisni & Hudaniah, 2003) menyebutkan terdapat empat aspek dalam agresivitas, yaitu: a. Menyerang fisik, Seperti memukul, mendorong, meludahi, menendang, menggigit, meninju, memarahi, merampas. b. Menyerang suatu objek seperti menyerang benda mati atau binatang. c. Secara verbal atau simbolis, seperti mengancam secara verbal, memburuk-burukan orang lain, menuntut. d. Pelanggaran hak milik atau menyerang daerah orang lain. Penelitian ini menggunakan alat ukur yang diadaptasi dari Buss dan Perry (1992). Dengan demikian, teori agresivitas dalam penelitian ini merujuk pada teori Buss dan Perry (1992). 3. Faktor yang Mempengaruhi Agresivitas Taylor Dkk (2009) mengungkapkan ada empat faktor yang mempengaruhi munculnya perilku agresi yaitu: 1. Serangan Serangan merupakan sebuah tindakan yang dilakukan seseorang dalam bentuk gangguan yang cenderung tidak disukai oleh orang lain dan memicu balasan yang akhirnya menimbulkan munculnya perilaku agresi. 2. Frustasi Frustasi berasal dari upaya mencapai tujuan yang dihalang-halangi atau Dicegah yang cenderung dapat menimbulkan atau membangkitkan perilaku agresi.
16
3. Ekspektasi Pembalasan Ekspektasi Pembalasan merupakan motivasi untuk balas dendam dengan tujuan untuk membalas perbuatan yang telah dilakukan oleh orang lain karena merasa tidak senang, sakit hati atau dengki. 4. Kompetisi Kompetisi adalah sebuah persaingan atau perjuangan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan agar lebih unggul dibandingkan orang lain. Berdasarkan penelitian Anderson dan Morrow situasi yang kompetitif biasanya membunuh lebih banyak karakter dibandingkan pada situasi yang kooperatif. Faktor-faktor yang mempengaruhi Agresivitas oleh Dayakisni dan Hudaniah (2009): 1. Deindividualisasi Deindividualisasi menyebabkan seseorang menjadi kehilangan rasa kasihan sehingga individu lebih luasa dan intens terhadap korbannya dalam melakukan tindak agresi. 2. Kekuasaan dan Kepatuhan Kepatuhan individu terhadap pemimpin mengarahkan individu kepada perilaku agresi. Hal ini dikarenakan dalam situasi kepatuhan individu kehilangan rasa bertanggung Jawab dan meletakkan tanggung Jawab kepada penguasa
17
3. Provokasi Provokasi Merupakan tindakan mempengaruhi orang lain yang menyebabkan orang lain merasa terancam sehingga hal ini memancing munculnya tindak agresi. 4. Pengaruh Obat-obatan Terlarang Pengaruh obat-obatan dapat menyebabkan seseorang hilang kesadaran sehingga membuat pecandu menjadi salah menduga atas perilaku orang lain dan merasa dirinya terancam, sehingga memicu perilaku agresi. Pada penelitian ini peneliti menggunakan faktor-faktor yang mempengaruhi dari Dayakisni dan Hudaniah (2009). B. Konformitas 1.
Pengertian Konformitas Taylor dkk (2009) berpendapat bahwa konformitas adalah perubahan perilaku dan keyakinan sebagai hasil dari tekanan kelompok dimana tekanan itu bisa nyata atau bayangan saja. Senada dengan itu Myers (2008) konformitas adalah “ A change in behaviour or belief as the result of real or imagined group pressure”. Artinya bahwa konformitas merupakan sebuah perubahan perilaku atau kepercayaan dari tekanan kelompok baik nyata ataupun bayangan saja. Franzoi (2003) berpedapat bahwa konformitas adalah kemampuan dalam mempersepsikan
tekanan kelompok dengan
meniru perilaku dan keyakinan orang lain yang ada dalam kelompok tersebut.
18
Konformitas berarti proses penyesuaian diri dengan masyarakat dengan cara
menaati
norma
dan
nilai-nilai
masyarakat
(Maryati,
2006).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dismpulkan bahwa konformitas adalah penyesuaian perilaku maupun keyakinan dengan orang lain atau masyakat agar diterima oleh masyarakat atau kelompok. 2.
Aspek-aspek Sears dkk (1991) mengemukakan bahwa konformitas ditandai dengan adanya tiga hal, yaitu: a. Kekompakan Kekuatan yang dimiliki sebuah kelompok menyebabkan seseorang tertarik untuk menjadi anggota kelompok dengan adanya kekuatan yang dimiliki kelompok maka akan memberi manfaat terhadap remaja. Semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok dan semakin besar kesetiaan mereka maka akan semakin kompak kelompok tersebut. b. Kesepakatan Kesepakatan kelompok yang sudah dibuat merupakan acuan dalam kelompok dan memiliki peranan yang kuat dalam pemberian tekanan pada anggota kelompok sehingga anggota kelompok harus mengikuti dan setia pada kesepakatan kelompok yang telah dibuat.
19
c. Ketaatan Ketika seseorang sudah memilih untuk berada dalam suatu kelompok maka ia akan mengikikuti aturan-aturan yang ada pada kelompok tersebut sekalipun ia merasa tidak setuju dengan aturan tersebut. Proses individu untuk mengikuti apapun aturan yang ada disebut dengan ketaatan. C. Nilai-nilai Budaya Jawa 1. Etnis dan Nilai Budaya Jawa Etnis menurut KBBI (2002) adalah pertalian dengan kelompok sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, dan bahasa. Koentjaraningrat (1994) membagi daerah kebudayaan Jawa menjadi lima kelompok yaitu, Pertama Daerah Budaya Negarigung meliputi daerah kebudayaan Yogyakarta dan Surakarta, Kedua Daerah Budaya Banyumasan meliputi daerah-daerah sekitar Purwokerto, Ketiga Daerah Budaya Bagelan, meliputi daerah di sekitar Purwerejo, Keempat Daerah Budaya Pesisir, yaitu daerah kebudayaan di pantai utara dan yang Kelima Daerah Budaya Mancangari Yaitu meliputi daerah kebudayaan di Jawa Timur. Berdasarkan ungkapan Koentjaraningrat diketahui bahwa Yoyakarta dan Surakarta merupakan bagian daerah budaya Negarigung. Kodiran (2007) juga menjelaskan bahwa Yogyakarta dan Surakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa. Menurut Koentjaraningrat (1984) nilai budaya Jawa adalah konsep mengenai apa yang ada di dalam alam pikiran dan dianggap bernilai, berharga,
20
dan penting dalam hidup yang berfungsi sebagai pedoman hidup masyarakat Jawa . Haryani (2007) menyebutkan nilai-nilai Jawa adalah suatu kepribadian yang dipandang baik,penting yang diyakini kebenarannya serta dijadikan patokan bagi individu dalam bertingkah laku dan berinteraksi dengan sesamanya dan sebagai patokan yang mengarahkan perbuatan serta cara pengambilan keputusan dalam menghadapi sesuatu yang sifatnya sangat spesifik berdasar pada budaya Jawa. Bedasarkan penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa nilai kebudayaan Jawa merupakan pedoman dari hasil belajar yang diyakini individu sebagai anggota masyarakat suku Jawa dalam bertindak dan berhubungan dengan lingkungan sekitar di kehidupan keseharian. Sistem nilai budaya Jawa menurut Rachim & Nashori (2007) yakni a) konsep tentang nilai keagamaan menggambarkan tentang nilai-nilai agama dan hubungan manusia dengan tuhan, b) konsep tentang tata krama atau sopan-santun menggambarkan tentang menjaga sikap dan mengahargai orang lain, c) konsep tentang kerukunan menggambarkan tentang menjaga keharmonisan, ketentraman dan bersatu , d) konsep kentang ketaatan anak terhadap orang tua menggambarkan tentang hubungan dan peran anak dengan orangtua, seperti anak harus mematuhi perintah orangtua e) konsep tentang disiplin dan tanggung Jawab menggambarkan tentang penanaman perilaku disiplin dan bertanggung Jawab menggambarkan tentang penanaman kewajiban berperilaku disiplin dan bertanggung Jawab, f) konsep tentang kemandirian menggambarkan tentang pelatihan untuk mandiri seperti pengambilan keputusan yang bijaksana.
21
D. Dinamika Psikologis Kebudyaan Jawa sebagai salah satu kebudayaan di Indonesia memiliki norma-norma yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan, sesama dan lingkungan. Menurut Sunarto (2002) norma-norma dalam budaya Jawa dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: pituduh, yakni ajaran yang harus dilakukan dan wewaler atau pepali yaitu perbuatan yang harus dihindari. Pituduh dan wewaler tersebut apabila dipatuhi akan menjadikan hidup manusia seimbang dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan alam semesta, maupun dengan sesama manusia. Individu dikatakan konform ketika ia berusaha menyesuaikan diri dengan norma dan informasi yang berlaku dilingkungannya agar diterima. Konformitas menurut Taylor dkk (2009) adalah perubahan perilaku dan keyakinan sebagai hasil dari tekanan kelompok dimana tekanan itu bisa nyata atau bayangan saja. Hal ini seperti yang di ungkap oleh Taylor (2009) bahwa remaja cenderung menyesuaikan diri terhadap kelompoknya. Mulder (1983) mengungkapkan bahwa cita-cita masyarakat Jawa terletak dalam tata tertib masyarakat yang luas. Tugas seseorang adalah menjaga keselarasan masyarakat, yang menyangkut hubungan sosial, yaitu hubungan antar manusia. Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu masyarakat maka mereka harus saling menolong, seperti hubungan antara sanak saudara, hubungan antar tetangga hubungan antar teman sekerja sangat dekat, hubungan yang dekat ini dapat dilihat jika seseorang mengadakan perayaan, apakah kelahiran anak atau khitanan, perkawinan. Kalau orang mengadakan perayaan tanpa banyak
22
undangan, mereka akan merasa cemas untuk diberi cap tidak lumrah. Hal ini bisa dikatan bentuk tekanan yang ada dalam budaya jawa yang membuat individu termasuk remaja akhirnya konform terhadap norma tersebut. Berkaitan dengan pemjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa salah satu alasan individu Jawa tidak melakukan perilaku agresivitas adalah norma hidup rukun dengan sesama untuk menjunjung keharmonisan yang mengikat individu satu dengan individu lain sebagai hal utama yang lumrah dilakukan. dengan adanya norma yang mengikat tersebut individu Jawa enggan melakukan hal-hal yang menimbulkan konflik dengan tujuan menyamakan perilaku dengan lingkugannya. Hal ini didukung oleh penilitian Yuniarto (2002) yang berjudul studi tentang Nilai-nilai Budaya Jawa dan Agresivitas Remaja, diperoleh hasil bahwa subjek yang memiliki nilai budaya Jawa yang tinggi, maka akan lebih rendah agresivitasnya dibandingkan dengan subjek yang memiliki nilai budaya Jawa yang rendah. Hal ini dikarenakan norma-norma yang ada dalam budaya Jawa bertujuan untuk menciptakan keseimbangan hidup dan keharmonisan. Penjelasan diatas senada dengan hasil yang didapati Utomo bahwa ada hubungan negatif antara konformitas dan agresivitas dimana ia mengatakan bahwa budaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hubungan antara konformitas dan agresivitas. Pernyataan utomo ini juga berkaitan dengan penelitian Rachim dan Nashori (2007) yang menyatakan adanya hubungan negatif antara nilai budaya Jawa dan perilaku nakal remaja. Pada situasi kepatuhan positif seperti yang diterapkan dalam budaya Jawa diyakini dapat menurunkan tinglat agresivitas. Hal ini senada dengan Idrus (2008) yang menyatakan bahwa
23
mematuhi norma budaya, orangtua dan aturan sekolah hal ini tentunya berpengaruh negatif terhadap agresivitas. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang menytakan adanya hubungan positif antara konformitas dan agresivitas dimana pada penelitian sebelumnya menyatakan bahwa tekanan yang ada pada kelompok membuat individu patuh pada nilai-nilai negatif. Kepatuhan ini akhirnya membuat individu merasa kehilangan tanggung Jawab terhadap tindakan yang dilakukan. Pada situasi kepatuhan individu akan merasa aman pada dari gangguan kelompok lain. Rasa aman muncul dikarenakan kekompokan yang dimiliki suatu kelompok hal ini juga yang pada akhirnya membuat individu tertarik dan melakukan hal apapun termasuk menyamakan diri dengan kelompok agar diterima dalam suatu kelompok. D. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan negatif antara konformitas dan agresivitas. artinya semakin tinggi tingkat konformitas seseorang terhadap kelompok maka akan semakin rendah tingkat agresivitas pada diri seseorang sebaliknya semakin rendah tingkat konformitas seseorang terhadap kelompok maka akan semakin tinggi tingkat perilaku agresi yang muncul.