BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI 2005:588). Dalam Kamus Linguistik (Kridalaksana 2008: 132), konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan yang memerlukan penggunaan akal budi untuk memahaminya. Untuk memahami hal-hal yang ada dalam penelitian ini perlu dipaparkan beberapa konsep. Konsep dalam penelitian ini adalah pengertian modus, tindak tutur, jenis tindak tutur, fungsi tindak tutur, dan pengertian anak usia prasekolah yang dijabarkan berdasarkan landasan teori.
2.2 Landasan Teori Dalam sebuah penelitian perlu adanya landasan teori yang mendasarinya. Landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah penelitian. Landasan teori yang digunakan diharapkan mampu menjadi dasar tumpuan seluruh pembahasan. Teori yang akan digunakan untuk menganalisis data pada penelitian ini adalah teori modus, teori tindak tutur, tindak tutur langsung dan tindak tutur tak langsung serta teori anak usia prasekolah. Teori modus yang dikaitkan berdasarkan Pendekatan Sistemik M.A.K. Halliday. Teori tindak tutur diambil dari buku-buku kajian pragmatik. Teori pemerolehan bahasa anak dan anak usia prasekolah diambil dari buku-buku psikologi perkembangan dan psikolinguistik.
Universitas Sumatera Utara
2.2.1 Teori Modus Kata mood atau mode dalam bahasa Inggris atau modus dan juga modalitas dalam bahasa Indonesia, memiliki definisi yang variatif dalam sejumlah literatur. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2006:750) dinyatakan modus bentuk verba yang mengungkapkan suasana kejiwaan sehubungan dengan perbuatan menurut tafsiran pembicara tentang apa yang diungkapkannya. Dalam Kamus Linguistik, modus adalah kategori gramatikal dalam bentuk verba yang mengungkapkan suasana psikologis perbuatan menurut tafsiran pembicara, atau sikap pembicara tentang apa yang diucapkan (Kridalaksana,2008:156). Secara lebih spesifik, mood adalah pandangan, pertimbangan atau pendapat pribadi pemakai bahasa terhadap makna paparan pengalaman dalam bentuk klausa yang disampaikan dalam interaksi 8. Dari penjelasan di atas, secara linguistik modus dapat didefinisikan sejumlah konsep sebagai berikut. a. Mood adalah kategori gramatikal dalam bentuk verba ; b. Mood mengungkapkan suasana psikologis perbuatan ; c. Mood adalah sikap pembicara terhadap bahasa yang digunakan ; d. Mood berkaitan dengan makna paparan pengalaman linguistik ; e. Mood berbentuk klausa. Pemahaman terhadap mood menggunakan landasan teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF). 9 Teori ini dikembangkan oleh M.A.K Halliday,
8 9
Saragih,Amrin.Linguistik,Sistemik Fungsional.Pasca Sarjana USU,2010).h.54. Catatan Kuliah (Prodi Linguistik 2010) a. teori ini menganalisis bahasa sebagaimana bahasa itu apa adanya ; b. menganalisis makna dari suatu unit bahasa dari segi ideasional, interpersonal, tekstual secara simultan; c. mengungkapkan kegunaan dan fungsi bahasa.
Universitas Sumatera Utara
seorang sarjana kelahiran Inggris tahun 1925. Teori ini adalah pengembangan dari teori Struktural Ferdinand de Saussure yang lebih menitikberatkan pada pengakuan terhadap ekspresi dan situasi (Verhaar, 1970:14). Ekspresi berkaitan dengan tata bahasa, sedangkan situasi berkaitan dengan konteks situasi atau konteks sosial. Hubungan antara sistem bahasa dengan konteks situasi inilah yang menentukan pilihan bentuk dan makna dalam metafungsi bahasa dan sekaligus menentukan sistem dan struktur mood dalam fungsi berbicara (speech function). Seperti dalam menyampaikan pernyataan (statement), mengajukan pertanyaan (question), memberikan perintah (command) serta menyampaikan penawaran (offer). Karya-karya dalam linguistik kritis banyak dipengaruhi oleh pandangan Halliday. Beliau berpandangan bahasa sebagai semiotika sosial dan linguistik sebagai tindakan. Konteks tuturan itu sendiri sebuah konstruksi semiotis yang memiliki sebuah bentuk yang memungkinkan partisipan memprediksikan fiturfitur register yang berlaku untuk memahami orang lain. Melalui tindakan pemaknaan (act of meaning) sehari-hari, masyarakat memerankan struktur sosial, menegaskan status dan peran yang dimilikinya, serta menetapkan dan mentransmisikan sistem nilai dan pengetahuan yang dibagi. Jadi, penggunaan bahasa tidak pernah lepas dari konteks sosial. Penggunaan unsur-unsur bahasa sangat ditentukan oleh konteks sosial untuk terjadinya tindak ujar dalam komunikasi. Pilihan unsur bahasa seperti kalimat deklaratif, imperatif, dan sebagainya oleh penutur dan petutur senantiasa berdasarkan konteks sosial. Bahasa merupakan sistem semiotik yang kompleks yang terdiri dari banyak tingkatan atau strata. Strata yang paling utama dalam bahasa, adalah gramatika,
Universitas Sumatera Utara
yang dalam konteks fungsional sistemik disebut dengan leksikogramatika. (Halliday, 1985:15). Leksikogramatika dalam makna antarpersona adalah modus, di mana di dalam modus inilah terealisasi Subjek (sebagai partisipan terpenting) dan Finite (sebagai bagian proses klausa agar dapat bernegosiasi tentang partisipan Subyeknya). Modus, seperti dikatakan sebelumnya, berhubungan dengan fungsi ujaran dengan jaringannya yang dapat terbentuk. Kajian bahasa secara fungsional menjelaskan bentuk bahasa yang disebut kalimat sebagai tindak tutur (speech act). Dengan demikian, kalimat dibedakan berdasarkan maksud ujaran penuturnya (untuk apa ujaran itu dilontarkan). Dalam berbagai tulisannya, Halliday (1985) selalu menegaskan bahwa bahasa adalah produk proses sosial. Seorang anak yang belajar bahasa dalam waktu yang sama belajar sesuatu yang lain melalui bahasa, yakni membangun gambaran realitas di sekitar dan di dalamnya. Tidak ada fenomena bahasa yang vakum sosial, tetapi ia selalu berhubungan erat dengan aspek-aspek sosial. Dengan demikian, modus adalah pengungkapan atau penggambaran suasana psikologis perbuatan menurut tafsiran si pembaca atau sikap si pembicara tentang apa yang diungkapkannya. Modus adalah sistem pilihan peranan kepada penutur dan pendengarnya. 10 Modus kalimat adalah cara bagaimana kalimat itu diekspresikan kepada mitra bicara. Terdapat tiga cara, yakni (i) deklaratif, (ii) pertanyaan gramatis, dan (iii) imperatif. Tiga modus tersebut menempatkan subjek secara berbeda. Penempatan ini mengakibatkan pembagian modus antar partisipan menjadi penunjuk dari hubungan partisipan. Bertanya, misalnya, pada umumnya berkaitan dengan 10
Lihat Kamus Linguistik (Kridalaksana,2008:156). Modus(mood,mode) : kategori gramatikal dalam bentuk verba yang mengungkapkan suasana psikologis perbuatan menurut tafsiran pembicara atau sikap pembicara tentang apa yang diucapkan.
Universitas Sumatera Utara
“posisi kekuasaan”. Bertanya dapat menjadi “tindakan” atau “informasi”, dan dapat juga sebagai pemberi informasi. Bertanya selain berarti permintaan informasi juga dapat bernilai perintah; modus pertanyaan memiliki nilai menawarkan tindakan; modus deklaratif memiliki nilai permintaan untuk informasi; deklaratif selain berarti pemberian informasi dapat juga berarti perintah; modus imperatif dapat menjadi sebuah saran atau anjuran. Jadi, yang menjadi pembeda antara kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif adalah modus.
2.2.2 Teori Tindak Tutur Yule ( 1996:3) mengatakan bahwa “Pragmatics is the is the studi of contextual meaning” , ‘pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual’. Studi ini
akan
melakukan
penginterpretasian
makna
sebuah
tuturan
dengan
memperhatikan konteks pemakaiannya dan bagaimana konteks itu itu memengaruhi penutur dalam menentukan suatu tuturan. Pragmatik adalah disiplin ilmu bahasa yang memelajari makna satuan kebahasaan dikomunikasikan. Pandangan tersebut sesuai dengan pendapat Parker (dalam Wijana,1996:2) yang mengemukakan bahwa “Pragmatiks is distinct from grammar, which is the study of the internal structure of language . Pragmatiks is the study of how language is used to communicate”. Pragmatik berbeda dengan gramatika yang memelajari struktur bahasa secara internal. Pragmatik adalah kajian tentang bagaimana bahasa untuk berkomunikasi. Oleh karena yang dikaji adalah makna bahasa, pragmatik dapat dikatakan sejajar dengan semantik. Namun, diantara keduanya terdapat perbedaan yang mendasar. Perbedaannya ialah semantik menelaah makna sebagai
Universitas Sumatera Utara
relasi dua segi (dyadic), sedangkan pragmatik menelaah makna sebagai relasi tiga segi (triadic). Kedua jenis relasi ini secara berurutan dirumuskan oleh Leech (1993:8) ke dalam dua kalimat berikut. 1) What does X mean?
(Apa artinya X?)
2) What did you mean by X?
(Apa maksudmu dengan X?)
Berdasarkan kedua rumusan di atas, dapat dilihat bahwa makna dalam semantik semata-mata sebagai hubungan satuan lingual dalam bahasa tertentu yang terlepas dari situasi penutur (context independent). Berbeda dengan makna semantik, makna dalam pragmatik berhubungan dengan penutur yang terikat pada situasi (context dependent). Lebih lanjut Leech (1993:19-21) mengungkapkan bahwa situasi ujar/tutur terdiri atas beberapa aspek. a. Penutur dan Lawan tutur. Aspek-aspek yang perlu dicermati dari penutur dan lawan tutur adalah jenis kelamin, daerah, asal, tingkat keakraban, dan latar belakang sosial budaya lainnya yang dapat menjadi penentu hadirnya makna sebuah tuturan.
b. Konteks Aturan Konteks tuturan dalam penelitian linguistik mencakup semua aspek fisik dan seting sosial yang relevan dari sebuah tuturan. Konteks yang bersifat fisik disebut koteks (cotext), sedangkan konteks sosial sering disebut konteks. Dalam kerangka pragmatik, konteks merupakan semua latar belakang pengetahuan
yang
diasumsikan/dimiliki
dan
dipahami
untuk
menginterprestasikan maksud penutur dalam tuturannya.
Universitas Sumatera Utara
c. Tujuan Tuturan Bentuk-bentuk tuturan muncul karena dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dengan kata lain, penutur dan lawan tutur terlibat dalam suatu kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu. Secara pragmatik, satu bentuk tuturan dapat memiliki maksud dan tujuan yang bermacam-macam. Sebaliknya, satu maksud atau tujuan tuturan akan dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan yang berbeda-beda. d. Tuturan sebagai Bentuk Tindakan Pragmatik menangani bahasa dalam suatu tingkatan yang lebih konkret dibandingkan dengan gramatika. Tuturan disebut sebagai suatu tindakan konkret (tindak tutur) dalam suasana tertentu. Segala hal yang berkaitan dengannya, seperti jati diri penutur dan lawan tutur yang terlibat, waktu, dan tempat dapat diketahui secara jelas. e. Tuturan sebagai Produk Tindak Verbal Tuturan pada dasarnya adalah hasil tindak verbal dalam aktivitas bertutur sapa. Oleh sebab itu, tuturan dibedakan dengan kalimat. Kalimat adalah entitas produk struktural, sedangkan tuturan adalah produk dari suatu tindak verbal yang muncul dari suatu pertuturan. Makna yang dikaji semantik adalah makna linguistik (semantik meaning) atau makna semantik (semantik sence), sedangkan makna yang dikaji pragmatik adalah maksud penutur (speaker meaning) atau (speaker sense). 11 Analisis tuturan di bawah ini mengilustrasikan pernyataan tersebut. 1) “Kuenya sudah habis”.
11
(I Dewa Putu Wijana. Dasar-Dasar Pragmatik.Yogyakarta:Penerbit PT Andi.1996)h.3
Universitas Sumatera Utara
2) “Merpin, bolanya di mana?” Dalam bentuk struktural, kedua tuturan itu merupakan tuturan deklaratif (berita) dan tutuan interogatif (bertanya). Secara semantik, tuturan( 1) bermakna ‘anak yang kehabisan kue’
dan tuturan (2) bermakna ‘bolanya berada di mana’.
Tuturan (1) menginformasikan sesuatu kepada lawan tutur sedangkan penutur dalam tuturan (2) ingin mendapatkan informasi dari lawan tuturnya. Kedua tuturan di atas, bila dianalisis secara pragmatis dengan mencermati konteks pemakaiannya akan didapatkan hasil yang berbeda. Misalnya saja, tuturan (1) dituturkan oleh seorang anak taman kanak-kanak kepada temannya yang sama-sama membawa bekal saat istirahat tiba. Tuturan tersebut, bukan sematamata untuk menginformasikan sesuatu, tetapi dimaksudkan untuk meminta kue milik temannya. Demikian pula bila tuturan (2) dituturkan seorang anak kepada temannya, tuturan tidak dimaksudkan untuk mendapat informasi dari lawan tutur, melainkan untuk menyuruh lawan tuturnya mengambilkan bola. Berdasarkan penjelasan-penjelasan ini, konteks dapat dikatakan sebagai dasar pijakan dalam analisis bahasa secara pragmatik. Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Tindak tutur (speech act) merupakan unsur pragmatik yang melibatkan pembicara, pendengar atau penulis pembaca serta yang dibicarakan. Lebih lanjut Chaer (2004 : 16) memaparkan bahwa tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Jadi, dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.
Universitas Sumatera Utara
Teori tindak tutur sendiri berangkat dari ceramah filsuf berkebangsaan Inggris Jhon L. Austin pada tahun 1955 (1911-1960) yang kemudian diterbitkan pada tahun 1962 dengan judul How to Do Things With Words. Beliau menyatakan bahwa pada dasarnya pada saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu. 12 Seperti yang telah diuraikan sebelumya, tuturan tersebut dinamakan tuturan performatif, sedangkan kata kerjanya juga disebut kata kerja performatif. Tindak tutur merupakan tindakan untuk melakukan sesuatu yang disebut dengan tindakan performatif. Tuturan juga tidak dapat dikatakan benar atau salah, melainkan sahih (valid/felicitous) atau tidak. Sahih (invalid/felicitous) sebuah tuturan performatif bergantung pada persyaratan kesahihan (Felicity Condition). 13 Yang merupakan syarat-syarat kesahihan diantaranya, yaitu (a) orang yang mengutarakan dan situasi penuturan tuturan itu harus sesuai; (b) tindakan tersebut harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh penutur dan mitra tutur, dan (c) penutur dan mitra tutur harus memilik niat yang sungguh-sungguh untuk melakukan tindakan (Wijana 1996:24). Tuturan merupakan produk penggunaan bahasa dalam bentuk lisan maupun tulisan melalui struktur linguistik yang berhubungan atau tidak pada kalimat. Adapun tindakan adalah sesuatu yang dilakukan oleh seseorang secara aktif. Searle (1974:16) mengemukakan bahwa “ more precisely, the production or issuance of a sentence token under certain conditions is a speech act, and speech act (of certain kinds to be explained later) are the basic or minimal units of linguistik communication” 12
Lihat kembali uraian pada hal 19 dalam tesis ini. Lihat (Saeed. Semantics.1997)h.208 ; (Nadar,2009:11-12). Menurut Austin(1962) …ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam tuturan-tuturan performatif yang harus dipenuhi, yang disebut felicity conditions 13
Universitas Sumatera Utara
‘Lebih tepatnya, produksi atau pengeluaran suatu kalimat di bawah kondisikondisi tertentu adalah tindak tutur, dan tindak tutur (dengan jenis tertentu untuk dijelaskan kemudian) adalah dasar atau unit minimal linguistik komunikasi’. Dalam linguistik komunikasi, bahasa bukan sekadar simbol, kata, atau kalimat, melainkan sebuah produk dari simbol, kata, atau kalimat dalam kondisi atau konteks tertentu dan terwujud sebagai tindak tutur.
2.2.3
Jenis- Jenis Tindak Tutur
Austin (1968:94-107) 14 membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran. Ketiganya adalah 1) tindak tutur lokusi (locutionary act), yakni tuturan yang menyatakan sesuatu; 2) tindak tutur ilokusi (illocutionary act), yakni tuturan yang menyatakan sekaligus melakukan suatu tindakan; dan 3) tindak tutur perlokusi (perlocutionary act), adalah tuturan yang mempunyai daya pengaruh terhadap petutur untuk melakukan sesuatu. Ketiganya dapat dirinci sebagai berikut.
a. Tindak Tutur Lokusi Tindak tutur lokusioner atau lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu hal; tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan makna kata dan makna kalimat sesuai dengan makna kata itu. Jadi, makna yang terdapat dalam kamus dan makna sintaksis kalimat itu menurut kaidah sintaksisnya ( the act of saying something);
14
(Leech. Prinsip-Prinsip Pragmatik,1993)h.316.
Universitas Sumatera Utara
Austin(1968:108) : “…we summed up by saying we perform a locutionary act, which is roughly equivalent to uttering a certain sentence with a certain sense and reference, which again is roughly equivalent to ‘meaning’ in the traditional sense” ‘Kami menyimpulkan bahwa dengan mengatakan kami melakukan tindak lokusi, yang secara kasar setara dengan menuturkan sebuah kalimat dengan arti dan referen tertentu, yang sekali lagi setara dengan ‘makna’ dalam arti tradisional’ . Tindak tutur lokusi mempermasahkan makna harfiah sebuah kalimat yang dituturkan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap tindak lokusi harus didasarkan pada tatabahasa, leksikon, semantik, dan fonologi suatu bahasa. (a) Mobilku inopa! (b) Abi punya dua(mobil). Kedua kalimat di atas diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya (misalnya) untuk bersaing. Tindak tutur lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diindentifikasi karena dalam pengidentifikasian tindak tutur lokusi tidak memperhitungkan konteks tuturannya. Biasanya tindak tutur lokusioner kurang penting dalam kajian tindak tutur. 15
15
16 Nadar, op.cit,p.14.
Universitas Sumatera Utara
b. Tindak Tutur Ilokusi Tindak tutur ilokusioner atau tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu (the act of doing something). Berbeda dengan tindak tutur lokusioner, tindak tutur ilokusioner merupakan tindak melakukan sesuatu/maksud. Dengan kata lain, tindak tutur ilokusioner adalah apa yang ingin dicapai oleh penuturnya pada waktu menuturkan suatu dan dapat merupakan tindakan menyatakan, berjanji, minta maaf, mengancam,
meramalkan,
memerintah, meminta, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, hal ini merupakan tindak bahasa yang dilihat dari pengucapan suatu pernyataan, tawaran, janji, pertanyaan,dan sebagainya Austin (1968:99) mengatakan bahwa”…an illocunary act, i.e. performance of act in saying something as opposed to performance of an act of saying something”. ‘…suatu tindak ilokusi adalah melakukan tindakan dalam mengatakan Sesuatu yang berlawanan dengan melakukan tindakan mengadakan sesuatu’. Tindak ini berbeda dengan lokusi karena memiliki daya (force), misalnya melapor, memerintah, dan mengancam. Ketiga hal ini dinamakan daya ilokusi (illocutionary force) (c) Intan sudah ke Medan Mall kemarin. (d) Mama lagi sakit. Kalimat (c) jika diucapkan murid kepada gurunya, bukan hanya sekadar memberikan informasi saja akan tetapi juga melakukan sesuatu, yaitu memberikan informasi agar lawan bicaranya (teman/guru) untuk mengunjungi tempat/lokasi tersebut. Sedangkan kalimat (d) jika diucapkan kepada gurunya yang menanyakan
Universitas Sumatera Utara
perihal ibunya yang tidak mendampinginya, berarti bukan saja sebagai informasi tetapi juga untuk memohon agar menjenguk ibunya. Tindak tutur ilokusi sangat sulit diidentifikasi karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tuturnya. Tindak tutur ilokusioner merupakan bagian sentral dalam kajian tindak tutur. Untuk itu, Searle kemudian mengajukan taksonomi dengan menggunakan klasifikasi yang berbeda dari Austin. Dalam bukunya Speech Acts : An Essay in the Philosophy of language Searle (1969) menguraikan tindak tutur ilokusiner yang merupakan bagian sentral dalam kajian tindak tutur dibagi menjadi lima kelompok: representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi. 16
a) Tindak Tutur Asertif/Representatif Tindak tutur representatif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya akan kebenaran, atas apa yang diujarkan. Jenis tindak tutur ini kadang-kadang disebut juga tindak tutur asertif. Berikut ini adalah tuturan asertif/representatif. (1) Semua sudah habis. Dalam tuturan itu, penutur memberi pernyataan bahwa semua yang dicarinya tidak ada (sudah habis). Tuturan yang memberikan pernyataan atau menyatakan termasuk tuturan asertif/representatif. Termasuk ke dalam jenis tindak tutur asertif/representatif adalah tuturan-tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan, memberikan kesaksian, berspekulasi dan sebagainya. Dalam tuturan itu, penutur bertanggung jawab atas kebenaran isi
16
19 ibid.,hh. 164-166
Universitas Sumatera Utara
tuturannya. Penutur, dalam hal ini,memberi pernyataan bahwa segala sesuatu yang dicarinya tidak ada karena sudah habis.
b) Tindak Tutur Direktif Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Jenis tindak tutur ini disebut juga tindak tutur impositif. Tuturan berikut ini merupakan tuturan direktif. (2) Harap tenang, ada rapat! Dalam tuturan ‘Harap tenang, ada rapat!’, penutur meminta mitra tuturnya untuk melakukan tindakan sesuai dengan apa yang ada dalam tuturannya, dalam hal ini adalah jangan membuat kegaduhan/keributan. Tuturan yang meminta mitra tutur untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dituturkan oleh penuturnya dinamakan tindak tutur direktif. Tuturan-tuturan memaksa, mengajak, meminta, menyuruh,
menagih,
mendesak,
memohon,
menyarankan,
memerintah,
memberikan aba-aba, dan menantang termasuk ke dalam tindak tutur direktif.
c) Tindak Tutur Ekspresif Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tindak tutur ekspresif ini disebut juga sebagai tindak tutur evaluatif (Nadar : 2009). Tuturan berikut ini merupakan tuturan evaluatif. (3) Wah, bagus sekali lukisanmu.
Universitas Sumatera Utara
Dalam tuturan itu, penutur memberikan evaluasi tentang hal yang ada dalam tuturannya, yaitu kedatangan mitra tuturnya. Dengan mengucapkan terima kasih atas kedatangan mitra tuturnya, penutur memberikan evaluasi terhadap kedatangan mitra tuturnya itu. Memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh, menyalahkan, mengucapkan selamat, menyanjung termasuk ke dalam jenis tindak tutur ekspresif atau evaluatif ini.
d) Tindak Tutur Komisif Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tuturan berikut ini termasuk ke dalam tindak tutur komisif. (4) Besok Papa belikan lagi, nak! Dalam tuturan ‘Besok papa belikan lagi, nak!’, penutur terikat untuk melakukan atau melaksanakan apa yang ada dalam tuturannya. Dalam tuturan itu, penutur terikat untuk membelikan sesuatu pada keesokan harinya. Tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang dituturkan termasuk ke dalam jenis tindak tutur komisif. Dengan demikian, ujaran Besok Papa belikan lagi,nak! termasuk ke dalam tindak tutur komisif. Termasuk ke dalam jenis tindak tutur komisif adalah tuturan-tuturan berjanji, bersumpah, mengancam, menyatakan kesanggupan, dan berkaul.
Universitas Sumatera Utara
e) Tindak Tutur Deklarasi Deklarasi 17 adalah kategori tindak ujar yang sangat khusus (declrarations are a very special category of speech acts), misalnya tindak ujar memberi nama kepada sebuah kapal, mengucapkan kaul, menjatuhkan hukuman kepada penjahat, atau melakukan tawar menawar dalam pelelangan: bila kita tahu adat kebiasaan yang melatari tindak ujar itu, pada umumnya kita dapat mengetahui dengan pasti bilamana tindak ujar semacam itu betul-betul dilakukan atau tidak. Jadi, dengan mengucapkan sesuatu, yang diucapkan terjadi. (Leech dalam Oka, 1993:285) (5) Hari ini saya resmikan kalian menjadi pasangan suami-istri. Dalam tuturan itu, penutur menciptakan keadaan atau status baru karena apa yang dituturkannya. Dengan mengatakan ‘Hari ini saya resmikan kalian menjadi pasangan suami-istri, penutur mengubah status seorang perempuan menjadi istri dari seorang laki-laki dan sebaliknya. Adanya perubahan status atau keadaan merupakan ciri dari tindak tutur isi hati atau deklarasi ini. Oleh karena itu, tuturan “Hari ini saya resmikan kalian menjadi pasangan suami-istri” termasuk tindak tutur deklarasi karena tuturan ini dimaksudkan oleh pewicara untuk menciptakan hal (status, keadaan dan sebagainya) yang baru. Tuturan-tuturan dengan maksud mengesahkan,memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, mengabulkan, mengangkat, menggolongkan, mengampuni,
memaafkan termasuk ke dalam
tindak tutur deklarasi dalam bentuk langsung dan tak langsung.
f) Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tak Langsung
17
Deklarasi tidak sama dengan deklaratif
Universitas Sumatera Utara
Tindak tutur langsung dapat dibedakan atas tindak tutur tak langsung melalui struktur kalimat (Yule, 1996: 54-55). Tindak tutur langsung disebut juga tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang dimaksudkan sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Sebaliknya tindak tutur tidak langsung / tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan kata-kata yang menyusunnya seperti dalam kalimat no. 5. (Wijana,1996:36). Perhatikan contoh kalimat di bawah ini. 1. Inopaku bagus. 2. Papa beli inopa. 3. Siapa mamanya? 4. Bukakan sepatuku! 5. Suaramu merdu sekali kawan Kalimat di atas ( no. 1,2,3,4) merupakan tindak tutur langsung berupa kalimat berita, tanya, dan perintah. Secara umum kalimat dibedakan menjadi tiga macam
berdasarkan
modusnya (Wijana,1996:30). Kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interrogative) dan kalimat perintah (imperative). Penggunaan ketiga macam kalimat itu secara konvensional akan menandai kelangsungan suatu tindak tutur. Dengan demikian , kesesuaian antara modus kalimat dan fungsinya secara konvensional itu merupakan tindak tutur langsung (direct speech act). Lebih lanjut (Nadar, 2009:19) mempertegas bahwa tindak tutur tak langsung adalah tuturan yang berbeda dengan modus kalimatnya maka maksud dari tindak tutur tak langsung dapat beragam dan tergantung pada konteksnya. Dengan kata
Universitas Sumatera Utara
lain, ketidaksesuaian antara modus kalimat dan fungsinya menandai adanya tindak tutur tak langsung (indirect speech act) terlihat pada kalimat (no. 5). Dalam kalimat itu dituturkan bahwa ibu guru bermaksud mengatakan bahwa suara muridnya jelek (karena kelas menjadi ribut dan bising). Jadi, jika tuturan deklaratif digunakan untuk bertanya atau memerintah atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak konvensional, tuturan itu merupakan tindak tutur tak langsung / tak literal (indirect speech act). Tindakan ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Misalnya, seorang ibu guru menyuruh muridnya mengambil tugasnya, diungkapkan dengan: Abi, bukunya di mana?” Kalimat tersebut
selain
untuk
bertanya
sekaligus
memerintah
muridnya
untuk
menyelesaikankan tugas. Dari uraian tindak tutur tidak langsung, kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat perintah tidak selalu merupakan tindak tutur langsung. (Nadar, 2009:69) a) Kalimat Berita Kalimat berita (deklaratif) merupakan kalimat yang isinya memberitahukan sesuatu kepada pendengar. Berdasarkan bentuknya, kalimat berita dapat diuraikan atas kalimat aktif, kalimat pasif, dan kalimat inversi. Bentuk tulisan diakhiri dengan tanda titik. Dalam bentuk lisan, kalimat berita ditandai dengan nada suara penutur berakhir dengan nada turun. Namun, dalam kenyataan sehari-hari kalimat berita dapat dipergunakan untuk memerintah. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan kesopanan bahasa: 1. “Bajunya kotor”.
Universitas Sumatera Utara
Kalimat
itu
jika
diucapkan
murid
kepada
gurunya
bukan
saja
menginformasikan, tetapi sekaligus menyuruh untuk membersihkannya 2. “Bajumu bersih, kok”. Kalimat ini sebenarnya ingin menjelaskan / memberitahukan bahwa baju temannya agak kotor. b) Kalimat Tanya Kalimat Tanya (interrogative) merupakan kalimat yang menyatakan sesuatu atau seseorang untuk memberikan jawaban tentang suatu masalah atau keadaan. Biasanya kalimat tanya dilakukan dengan intonasi dengan nada naik serta memakai kata tanya, partikel -kah dan tanda tanya (?), yakni siapa(kah), apa(kah), di mana(kah), dan sebagainya. Sama halnya dalam kalimat berita, kalimat tanya juga dapat digunakan untuk memerintah: 3. “Siapakah yang mau membantu Ibu?” 4. “Di mana tadi diletakkan pensilnya?” Dua kalimat tanya ini selain menginginkan jawaban/informasi juga ada maksud menyuruh. Dalam kalimat (3) kalimat tanya ini memerintahkan seseorang agar dapat membantu ibu. Kalimat (4) selain menanyakan tempat juga memerintahkan orang lain untuk mencari pensil.
c) Kalimat Perintah Kalimat perintah (imperative) adalah kalimat yang maknanya memerintah atau si pembicara menginginkan suatu tindakan/aksi. Dalam bentuk lisan, kalimat tanya ini diikuti oleh nada yang sedikit naik sedangkan dalam raga tulisan diakhiri dengan tanda seru (!). Kalimat ini digunakan untuk melarang
Universitas Sumatera Utara
memohon,
mengajak,
mengizinkan,
menganjurkan,
meminta
izin,
membujuk,anjuran, desakan. 5. “Sampahnya jangan dilihatin saja !” 6. “Maafkan saya, teman !” 7. “Boleh ke luar sebentar!” 8. “Silakan Anda di luar !” 9. “Sebaiknya Anda beristirahat dulu !” 10. “Kita makan apa adanya, ya !” 11. “Boleh minta satu, Miss !” 12. “Ayo, tendang ke sini !”
c. Tindak Tutur Perlokusi Tindak tutur perlokusioner adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur (the act of affecting). Sebuah tuturan yang diutarakan seseorang sering kali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarnya. Efek yang timbul ini bisa sengaja maupun tidak sengaja. Menurut Austin, tindak ujaran ini mengacu ke efek yang dihasilkan penutur dengan mengatakan sesuatu Sebagai contoh dapat dilihat pada kalimat berikut: (e) Kemarin mama sakit. (f) Abi boleh minum minuman ibu. Kalimat (e) diucapkan oleh murid yang tidak dapat masuk sekolah
kepada
gurunya maka tindak tutur ilokusinya adalah untuk meminta maaf, dan tindak tutur perlokusinva adalah agar ibu gurunya maklum. Sedangkan kalimat (f) jika
Universitas Sumatera Utara
diucapkan seorang guru kepada muridnya makatindak tutur ilokusinya adalah meminta agar teman-temannya tidak iri, dan tindak tutur perlokusinya adalah agar teman-temannya memaklumi keadaan Abi yang tidak membawa minuman atau mungkin botol minumnya hilang. Tindak tutur perlokusi juga sulit dideteksi karena harus melibatkan konteks tuturnya. Dapat ditegaskan bahwa setiap tutur dari seorang penutur memungkinkan sekali mengandung tindak tutur lokusi saja, dan tindak tutur perlokusi saja. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa satu tuturan mengandung kedua atau ketiganya sekaligus. Tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi, dan tindak tutur perlokusi dapat ditafsirkan sebagai sebuah hierarki. 18 Artinya, satu tindak tutur adalah mata rantai dalam serangkaian kejadian yang akan membentuk satu tindak tutur lagi pada tangga hierarki yang lebih tinggi. Mata rantai hierarki dimulai dari tindak tutur ilokusi, tindak tutur ilokusi, dan diakhiri tindak perlokusi. Oleh karena itu, efek perlokusi dihasilkan dari pemahaman terhadap tindak tutur lokusi dan tindak tutur ilokusi yang membangunnya. Demikian pula tindak tutur ilokusi dihasilkan dari pemahaman terhadap tindak tutur lokusi yang membangunnya. Searle (1969) 19 mengkritik taksonomi atau klasifikasi tindak tutur yang dibuat Austin. Menurutnya, dalam taksonomi Austin terdapat hal yang membingungkan antara verba dan tindakan, terlalu banyak tumpang tindih dalam kategori, terlalu banyak heterogenitas dalam kategori, dan yang paling penting adalah tidak adanya prinsip klasifikasi yang konsisten. 20
18
20 Leech, op.cit, p.317. 17 ibid .,hh. 281-283 20 Lihat kembali (tesis) hal. 21 19
Universitas Sumatera Utara
2.2.4
Pemerolehan Bahasa Para psikolinguis lebih suka memakai istilah pemerolehan bahasa
(language acquisition) daripada pembelajaran bahasa (language learning). 21 Pemerolehan bahasa adalah proses penghasilan bahasa pada manusia melalui beberapa tahap, mulai dari meraban sampai kefasihan penuh. Pemerolehan bahasa merupakan suatu proses yang digunakan oleh kanak-kanak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang makin bertambah rumit atau teori-teori yang masih terpendam, yang mungkin terjadi dengan ucapan dengan ucapan orang tuanya sampai dia memilih ukuran penilaian tatabahasa yang terbaik dan sederhana dari bahasanya (Simanjuntak, 1987:157). Lebih khusus lagi, bahwa pemerolehan bahasa merupakan proses yang terjadi dalam otak kanak-kanak (bayi) sewaktu memperoleh bahasa ibunya. Dilihat dari kaidah bahasa, pemerolehan bahasa itu dapat berupa komponen ketatabahasaan, yakni komponen fonologi, komponen sintaksis, dan komponen semantik (Simanjuntak, 1990: 2). Namun, pemerolehan bahasa tidak hanya terletak pada kepatuhan aturan gramatikal, tetapi juga kepatuhan aturan pragmatik. Anak harus bisa menguasai tindak ujaran ilokusioner (illocutionary speech act) secara apik bagaimana dia menyatakan sesuatu, menanyakan sesuatu, meminta sesuatu, dan lain-lain. Karena pragmatik merupakan bagian dari perilaku berbahasa maka penelitian tentang pemerolehan bahasa perlu pula menelusuri, paling tidak mengamati, bagaimana anak
mengembangkan kemampuan
pragmatiknya. Seperti disarankan oleh Nino dan Snow, paling tidak kita perlu mempelajari : 21
Pemerolehan bahasa tidak sama dengan pembelajaran bahasa. Pemerolehan bahasa melibatkan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa melibatkan bahasa kedua(bahasa asing).
Universitas Sumatera Utara
1. Pemerolehan niat kreatif (Communiative Intents) dan pengembangan ungkapan bahasanya; 2. Pengembangan kemampuan bercakap-cakap dengan segala aturannnya; 3. Pengembangan
piranti
untuk
membentuk
wacana
yang
kohesif
(Dardjowidjojo, 2000:43-44).
a. Teori Behavioristik Pandangan
behavioristik
menekankan
bahwa
proses
penguasaan
bahasa(pertama) dikendalikan dari luar, yaitu oleh stimulus yang disodorkan melalui lingkungan. Salah satu tokoh yang sangat terkenal dalam aliran behavioristik adalah B.F.Skinner. Menurut para behaviorist, respon yang lebih kompleks dipelajari melalui aproksimasi berkelanjutan. Menurut Skinner proses tersebut berlangsung sebagai berikut: respon apa pun yang telah mendekati perilaku standar dari suatu komunitas maka respons tersebut diberi penguatan atau reinforcement. Ketika hal itu sering muncul mendekati perilaku standard maka terus diberi penguat. Dengan cara demikian, penguasaan bentuk-bentuk verbal yang sangat kompleks dapat dicapai. Orang dewasa sebagai pengguna bahasa memberikan model tentang perilaku bahasa yang standar. Sebagai contoh, jika orang dewasa mengatakan ‘saya minta minum’ kemudian ditirukan oleh anak ‘minta minum’ maka respon anak tersebut dapat diterima. Namun, secara bertahap orang dewasa akan mendorong agar anak dapat mengucapkannya secara lengkap apabila menghendaki minum. Kadang-kadang anak dapat mengucapkan bahasa secara lengkap seperti yang diucapkan orang dewasa. Dengan demikian, pada
Universitas Sumatera Utara
dasarnya bahasa adalah berdasarkan pada proses modeling, imitasi, praktik, dan reinforcement 22selektif.
b. Teori Genetik Menurut teori ini, belajar bahasa lebih merupakan proses instingtif daripada proses imitasi. Semua anak dilahirkan dengan memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa. Menurut teori genetik, bahasa anak pada dasarnya telah terstuktur. Akibatnya, anak memproses tata bahasa di sekitarnya, membuat kaidah yang diuji, kemudian merevisi kaidah berdasarkan umpan balik (feedback) yang diterima. Dengan cara ini pembicaraan anak secara perlahan akan mendekati pembicaraan orang dewasa.
c. Teori Sosiokultural Teori sosio-kultural menekankan bahwa penguasaan pragmatik merupakan kenyataan yang interaktif. Para pengikut ini menekankan pentingnya lingkungan sosial di mana bahasa tersebut dibutuhan dan interaksi yang terjadi antara anak dan orang dewasa. Salah satu tokoh ini adalah Bruner. Menurutnya, bahasa dihadapi anak dalam interaksi yang benar-benar sangat teratur dengan ibu yang memiliki peran penting dalam mengatur kebahasaan yang dihadapi oleh sang anak. Pandangan ini kemudian melahirkan suatu teori interaksi antara ibu bayi dalam pemerolehan bahasa. Teori ini melihat bahwa penguasaan bahasa sebagai pelibatan ibu dan anak.
22
Reinforcement artinya ‘penguatan’
Universitas Sumatera Utara
(http://beningembun-apriliasya.blogspot.com/2010/07/peningkatankemampuan-berbahasa.html).
Dibandingkan
dengan
ibunya,
ayah
pada
umumnya : 1. berbicara lebih pendek; 2. lebih banyak memakai kalimat imperatif dan direktif; 3. memakai kosa kata yang lebih bervariasi; 4. banyak minta penjelasan dari anak. Sosok ayah berbeda dengan sosok seorang ibu , yang umumnya lebih banyak bergaul dengan anak serta memiliki pengetahuan yang cukup tentang anaknya. Akibatnya, dalam berkomunikasi dengan anaknya seorang ayah biasanya tidak selancar seperti ibunya. Ayah lebih sering menanyakan kepada anak apa yang dia maksud. Dengan komunikasi seperti ini, anak sebenarnya dipaksa untuk melakukan penyesuaian komunikatif bila sedang berbicara dengan ayahnya.
2.2.5
Pemerolehan Pragmatik Dalam uraian di atas, Nino dan Snow (dalam Dardjowidjojo,2003:266)
menyarankan agar pemerolehan pragmatik anak seyogyanya dikaji pemerolehan niat komunikatif (communicative intents) dan pengembangan ungkapan bahasanya, pengembangan kemampuan untuk bercakap-cakap dengan segala aturannya, dan pengembangan piranti untuk membentuk wacana yang kohesif. Misalnya, saat akhir umur ketiga tahun, kanak-kanak sudah dapat menggunakan sekitar 1000 kata dan dapat mengerti lebih dari itu. Beberapa kata digunakan unuk menjelaskan satu objek atau ide. Pada umur 3 hingga 4 tahun anak-anak menggunakan kombinasi kalimat yang lebih kompleks, yang tediri dari kata ganti,
Universitas Sumatera Utara
kata sifat, kata keterangan, kata ganti kepunyaan. Pada umur 4 hingga 5 tahun anak-anak telah mendapatkan hampir seluruh elemen bahasa orang dewasa. Kalimat-kalimatnya mencapai sekitar 3000 kata. Pada umur ini, anak-anak mulai bercerita tentang kehidupannya, yang dikerjakan dan cara mengerjakannya. Seolah-olah antara kata dan perbuatan menjadi satu kesatuan. Pada umur 5-6 tahun bahasa anak-anak dan orang dewasa telah sama. Hampir seluruh aturan gramatikal telah dikuasainya dan pola bahasanya telah kompleks. Anak-anak telah melakukan tindak tutur dalam berbagai bentuk kalimat. Seorang anak (kecil) efektif dalam percakapan dan ketrampilan awal ini akan meningkatkan interaksi antara anak dan pengasuhnya. Percakapan dengan orang dewasa secara konsisten menjadi predictor (ukuran umum) perkembangan bahasa. Dua strategi yang membantu mempertahankan interaksi diperkenalkan pada masa early dan middle childhood: a. turn about (strategi percakapan di mana orang yang berbicara tak hanya berkomentar mengenai apa yang dikatakan tetapi juga menambahkan pertanyaan untuk membuat teman bicaranya merespon kembali b. shading yaitu strategi percakapan di mana perubahan topik secara gradual dimulai dengan memodifikasi fokus diskusi); Selama masa ini, pengertian anak-anak mengenai illocutionary intent meningkat. Illocutionary intent adalah arti yang ingin dikatakan oleh orang yang berbicara, meskipun bentuk dari ungkapannya tidak persis seperti yang dimaksud. Selain itu anak-anak menemukan efektivitas yang lebih dari referential communication skills yakni suatu kemampuan untuk memproduksi pesan verbal yang jelas dan juga untuk mengenali arti pesan yang disampaikan orang lain secara kurang jelas. Anak-
Universitas Sumatera Utara
anak prasekolah sensitif terhadap speech registers (adaptasi bahasa terhadap ekspektansi/harapan sosial), bimbingan orang tua terhadap rutinitas kesopanan anak di usia dini memperluas adaptasi tersebut. Dari uraian di atas, anak-anak pada usia prasekolah telah memiliki kemampuan pragmatiknya dalam bertindak dan bertutur. Tindak Tutur adalah produk atau hasil dari suatu pemerolehan bahasa anak usia prasekolah melalui aspek tindak tutur yang mereka kuasai.
2.2.6
Anak Usia Prasekolah Anak usia prasekolah merupakan sumber daya manusia yang harus
dipersiapkan melalui pembinaan pendidikan. Pembinaan pendidikan sejak dini merupakan upaya strategis bagi pengembangan sumber daya manusia. Memulai pendidikan pada usia taman kanak-kanak sebenarnya terlambat, oleh karena itu, pembinaan pendidikan harus dimulai sejak usia 0 tahun. Hal ini dilakukan pada masa-masa semenjak kelahiran hingga tiga tahun, yang merupakan masa yang spesial dalam kehidupan anak. Menjelang anak masuk sekolah dasar, kisaran usia mereka adalah 3-6 tahun . Pendidikan di TK apalagi Play Group (PG). Menurut Biechler dan Snow yang dikutip oleh Patmonodewo (2003:19), menjelang anak masuk sekolah dasar ini disebut anak prasekolah. Mereka biasanya mengikuti program prasekolah dan kindergarten. Namun, di Indonesia umumnya anak-anak usia ini mengikuti program tempat penitipan anak yang dikenal dengan taman bermain (Play Group, usia 3-4 tahun), sedangkan anak-anak usia lima tahun biasanya mereka mengikuti program Taman Kanak-Kanak.
Universitas Sumatera Utara
Purwo (1990:117) menyatakan bahwa pada masa prasekolah, anak-anak telah menguasai kosa kata sekitar 8000 kata, dan hampir seluruh kaidah tata bahasa dikuasainya. Namun, mereka mengalami kesulitan dalam memahami kalimat pasif dan bentuk imperatif tak langsung, akan tetapi, selama masa prasekolah anak-anak sudah mempelajari hal-hal di luar kosa kata dan tata bahasa: mereka sudah dapat menggunakan bahasa di luar konteks sosial yang beraneka ragam. Mereka misalnya, dapat berkata mengenai lelucon, berkata kasar pada temannya, dan dapat berkata sopan kepada orang tuanya. Taningsih (2006:162) mengemukakan bahwa anak usia prasekolah merupakan fase perkembangan individu sekitar 2 – 6 tahun atau sering disebut sebagai usia Taman Kanak-kanak (TK). Masa ini diperinci lagi ke dalam dua masa: 1) masa vital, karena pada usia ini individu menggunakan fungsi biologisnya untuk menemukan berbagai hal dalam dunianya, dan 2) masa estetik karena pada masa ini dianggap sebagai masa perkembangan rasa keindahan. Early childhood atau kadang dinamakan usia prasekolah adalah periode dari akhir masa bayi sampai umur lima atau enam tahun. Selama periode ini, anak menjadi makin mandiri, siap untuk bersekolah (seperti mulai belajar untuk mengikuti perintah dan mengidentifikasi huruf) dan banyak menghabiskan waktu bersama teman. Ketika memasuki TK, anak sudah menguasai hampir semua kaidah dasar gramatikal bahasanya. Dia sudah dapat membuat kalimat berita, kalimat tanya, dan sejumlah konstruksi lain. Hanya dia masih mendapat kesulitan dalam
Universitas Sumatera Utara
membuat konstruksi kalimat pasif dan konstruksi kalimat imperatif (Chaer, 2003:238). Namun, mereka sudah dapat menggunakan bahasa dalam konteks sosial yang bermacam-macam. Kadang mereka sudah dapat berkata kasar kepada teman-temanya, juga dapat berkata sopan kepada orang tuanya. Selepas taman kanak-kanak biasanya dianggap sebagai batas berakhirnya periode ini. Anak-kanak dengan mobilitas yang mulai meningkat memiliki akses ke jaringan sosial yang lebih luas dan perkembangan kognitif menjadi semakin dalam. Dengan demikian , kompetensi berbahasa anak usia prasekolah di Taman Kanak-Kanak Galilea Hosana Kids, Medan merupakan kemampuan pragmatik dapat dikaji berdasarkan fungsi dan jenis tindak tutur yang direalisasikan dalam modus .
2.4 Kajian Pustaka Terdahulu Kajian pustaka merupakan daftar referensi dari semua jenis referensi seperti buku, jurnal papers, artikel, disertasi, tesis, skripsi, hand outs, laboratory manuals, dan karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu kajian pustaka memberikan gambaran tentang kaitan upaya pengembangan dengan upaya-upaya lain yang mungkin sudah pernah dilakukan para ahli untuk mendekati permasalahan yang sama atau relatif sama. Dengan demikian pengembangan yang dilakukan memiliki landasan empiris yang kuat. Maka, dalam kajian ini, penelitian merujuk pada penelitian yang telah dilakukan tentang bahasa di lingkungan taman kanak-kanak yang sudah pernah dilakukan. Penelitian Nasikun dalam Siswatiningsih (1993) menyebutkan bahwa peningkatan kemampuan berbahasa anak usia prasekolah melalui prinsip
Universitas Sumatera Utara
"Bermain Sambil Belajar" termasuk cara yang terbaik untuk mengoptimalkan kemampuan anak, termasuk kemampuan berbahasa. Hal ini akan menjadi gambaran yang mendukung dalam penelitian fungsi tindak tutur anak usia prasekolah di TK GHK Medan. Penelitian tentang bahasa di lingkungan taman kanak-kanak telah dilakukan
oleh
Gustianingsih
(2002).
Penelitiannya
yang
membahas
“Pemerolehan Kalimat Majemuk Bahasa Indonesia pada Anak Usia Taman Kanak-Kanak” menunjukkan bahwa anak usia taman kanak-kanak telah memperoleh kemampuan sintaksis dalam menyusun kalimat majemuk. Temuan ini akan menjadi gambaran pemerolehan bahasa terhadap fungsi tindak tutur anak secara sintaksis. Selanjutnya, Nasution (2009) dengan judul penelitian ”Kemampuan Berbahasa Anak Usia 3-4 Tahun (Prasekolah) di Play Group Tunas Mekar Medan: Tinjauan Psikolinguistik”, penelitian ini memaparkan bahwa anak usia 3-4 tahun telah memperoleh kemampuan fonologis, sintaksis, maupun semantik. Penelitian ini menginformasikan bahwa anak pada usia itu telah mampu menguasai kalimat-kalimat secara bertahap mulai dari bentuk kalimat yang sederhana hingga bentuk kalimat yang kompleks. Penelitian ini akan menjadi studi banding terhadap pemerolehan tindak tutur anak usia 4-5 tahun di TK GHK Medan. Selanjutnya, Taningsih (2006) mengamati pentingnya “Mengembangkan Kemampuan bahasa Anak usia (4-6 tahun) melalui Bercerita. Di dalam tulisannya, dipaparkan bahwa cerita mendorong anak bukan saja senang menyimak cerita , tetapi juga senang bercerita atau berbicara. Anak belajar tentang tata cara berdialog dan bernarasi sehingga terstimulasi/terangsang untuk menirukannya. Kemampuan pragmatik terstimulasi melalui bercerita karena dalam cerita ada
Universitas Sumatera Utara
negosiasi dan pola tindak-tutur yang baik seperti menyuruh, melarang, berjanji, mematuhi larangan, dan memuji. Kajian ini menjadi referensi penelitian dalam mengamati tindak tutur anak taman kanak-kanak yang menjadi subjek peneliti. Titik Sudartinah (2010) meneliti “Analisis Pragmatik Anak Usia Dua Tahun”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tindak tutur yang paling banyak dijumpai pada tuturan anak usia dua tahun adalah tindak representatif dan direktif. Tindak tutur ekspresif dan tindak tutur komisif sudah terdapat pada tuturan anak meskipun frekuensinya masih relatif kecil dibandingkan tindak tutur representatif dan tindak tutur direktif. Tindak tutur deklaratif sama sekali belum dijumpai pada tuturan anak usia dua tahun. Demikian juga penelitian pragmatik Yuniarti (2010) yang mengkaji “Kompetensi Tindak Tutur Direktif Anak Usia Prasekolah (Kajian Pada Kelompok Bermain Anak Cerdas P2PNFI Regional II Semarang)”.
Dalam paparannya, peneliti hanya membahas fungsi pragmatik
tindak tutur direktif anak usia prasekolah, belum membicarakan fungsi tindak tutur secara kompleks. Hal yang sama dalam penelitian Anggraini (2010), yang berjudul ”Tindak Tutur Murid dan Guru di Taman Kanak-Kanak dalam Kegiatan Belajar Mengajar: Kajian Fungsi Tindak Tutur”, menganalisis seputar tanya jawab antara murid dan guru di sekolah dalam ancangan pragmatik berdasarkan teori Austin dan Searle. Penelitian-penelitian ini memang dikaji dengan kerangka teori tindak tutur ilokusi yang dikembangkan Searle, namun masih sebatas tindak tutur ilokusi direktif saja. Dan rumusan masalah yang dibahas adalah jenis tindak tindak tutur antara murid dan guru. Dengan demikian, keterkaitan antara fungsi tindak tutur dalam modus belum pernah dibahas sehingga layak untuk diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini
Universitas Sumatera Utara
perlu ditindaklanjuti guna mengungkapkan permasalahan tersebut, walau subjek yang diteliti cenderung sama, yaitu anak usia prasekolah di taman kanak-kanak. Berikut ringkasan kajian pustaka terdahulu, dapat dilihat pada tabel 2.1 yang akan dimanfaatkan sebagai landasan informasi/teori terhadap penelitian ini. Tabel 2.1 Hasil Penelitian Tindak Tutur Anak Usia Prasekolah No. Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian 1
Nasikun (1993)
Peningkatan Kemampuan Berbahasa Anak Usia Prasekolah melalui Prinsip Bermain sambil Belajar
2
Gustianingsih (2002)
Pemerolehan Kalimat Majemuk Bahasa Indonesia pada Anak Usia Taman Kanak - Kanak
3
Nasution (2009)
Kemampuan Berbahasa Anak Usia 3- 4 tahun di Play Group Tunas Mekar Medan: Tinjauan Psikolingustik
4
Taningsih (2006)
Mengembangkan Kemampuan Bahasa Anak Usia 4 – 6 tahun melalui Bercerita
5
Sudartinah (2010)
Analisis Pragmatik Anak Usia 2 Tahun
6
Anggraini(2010)
7
Yuniarti(2010)
Tindak Tutur Murid dan Guru di Taman Kanak-Kanak dalam Kegiatan Belajar-Mengajar:Kajian Fungsi Tindak Tutur Kompetensi Tindak Tutur Direktif Anak Usia Prasekolah
Hasil penelitian menunjukan bahwa Anak Usia Prasekolah telah memiliki kemampuan bertutur Hasil penelitian menunjukkan pemerolehan kalimat majemuk anak usia prasekolah Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak usia prasekolah terlibat dalam tindak tutur Hasil penelitian menunjukkan kemampuan bahasa anak usia 4-6 tahun dalam tindak tutur bercerita Kajian penelitian menunjukkan pemerolahan pragmatik anak dalam tindak tutur usia 2 tahun Hasil penelitian menunjukkan tindak tutur antara murid dan guru di TK Hasil penelitian menunjukkan pemerolehan Pragmatik dalam tindak tutur direktif anak usia prasekolah
Universitas Sumatera Utara