BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apa pun yang
ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, dkk 2003: 588). 2.1.1
Sutardji Calzoum Bachri Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu penyair Indonesia yang
terkemuka. Ia juga dikenal sebagai cerpenis, eseis dan budayawan. Lahir di Rengat Riau, 24 Juni 1941, ia terkenal sejak awal 1970-an ketika mengumumkan Kredo Puisinya (1973), “Kata harus dibebaskan dari beban pengertian.” Artinya, Katakata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air.
Kata adalah
pengertian itu
sendiri.
Dia
bebas.
Kalau
diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau melawan. Itulah yang menjadi dasar bagi sebagian besar puisi-puisi ciptaannya.
Kredo
puisi
Sutardji
pada
masa
itu
serta-merta
menimbulkan kontroversi dalam kesusastraan Indonesia. Kumpulan puisi Sutardji diantaranya O (1973), Amuk (1979), dan O Amuk Kapak (1981).
15 Universitas Sumatera Utara
2.1.2
Tuhan Tuhan adalah sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia
sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa, dan sebagainya ; sesuatu yang dianggap sebagai Tuhan (KBBI, 2007:1216). Menurut Audifax (2007:6), “Tuhan adalah sesuatu yang tidak berwujud tapi ada dan dibicarakan di mana-mana. Bahkan tidak sedikit orang yang merasa paling tahu akan sesuatu yang berada di luar jangkauan pengetahuan manusia itu.” Banyak yang mencoba menggambarkan-Nya dan banyak pula yang mempertanyakan keberadaan-Nya. Oleh karena itu, manusia terjebak dalam pendefenisian Tuhan. Padahal Tuhan bukan untuk didefenisikan, tetapi justru untuk dilayani. Manusia pada hakikatnya mengikut Tuhan tanpa didasari suatu penjelasan yang begitu lengkap, melainkan berdasarkan iman dan pengharapan. Nietzche (dalam Audifax, 2007) menyatakan bahwa manusia terjebak dalam nihilisme, kosong, dan tidak bermakna. Pada titik ini, “tuhan” itu sudah mati karena sejatinya manusia sudah hidup tanpa Tuhan. Tidak ada Tuhan ketika manusia berjalan dalam rutinitas. Di situ, doa pun sudah tidak perlu lagi. Dengan atau tanpa tuhan, manusia tetap berada dalam ketidakmampuannya untuk hidup. Bukan tuhan yang menjadi kunci hidup, melainkan keputusan manusialah yang menjadi kuncinya. Maka, jelaslah tidak benar jika orang mengatakan, “Manusia yang berencana, tetapi Tuhan yang menentukan.” Jika sudah ditentukan, untuk apa berusaha? Ungkapan itu menjadi alasan manusia untuk lari dari tanggung jawab atas semua yang dilakukannya. Kegagalan justru dilemparkan kepada Tuhan.
16 Universitas Sumatera Utara
Sekarang, ungkapan yang benar adalah “Manusia yang menentukan, tuhan yang mengusahakan”. Dari pernyataan Nietzhe tersebut, ada dua pemahaman tentang Tuhan: 1. Tuhan Yang Hakiki Tuhan Yang Hakiki dituliskan dengan /T/ huruf kapital, yaitu “Tuhan”. Tuhan dengan penulisan seperti ini adalah Tuhan disembah dalam hubungan spiritual sehari-hari. Tuhan yang sering disebut sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan lain-lain. 2. Tuhan yang tidak hakiki Tuhan yang tidak hakiki dituliskan dengan /t/ huruf kecil, yaitu “tuhan”. Tuhan dengan penulisan seperti ini adalah tuhan yang tercipta atas kepentingankepentingan manusia. Tuhan yang sering diseret-seret dalam berbagai peristiwa nirhumanitas (Audifax, 2007). Dijadikan alasan untuk pengeboman, peperangan antarbangsa, perang agama, bahkan perang saudara. Tuhan yang demikian juga dijadikan sebagai alat untuk membenarkan kebencian, peperangan, perpecahan, pembunuhan, penghujatan, pemfitnahan, dan dosa-dosa lainnya yang sudah jelas merupakan hal yang dilarang oleh-Nya. Hal ini terjadi karena sifat manusia yang pragmatis dan cenderung ingin selalu berada di dalam “pembenaran”. Akhirnya, pembicaraan tentang Tuhan terlepas dari ke-Mahaan-Nya, yaitu Mahakuasa, Maha Mengetahui, dan Maha dalam segala hal. Sementara itu, manusia yang terbatas ingin mendefinisikan Tuhan yang tidak terdefinisi dan tidak terukur tersebut. Tuhan tidak logis, sementara manusia berpikir logis. Oleh karena itu, manusia tidak akan mendapat jawaban yang 17 Universitas Sumatera Utara
memuaskan tentang Tuhan. Karena dalam ke-Tuhanan, dasarnya adalah iman, yakni dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang kita lihat (Ibrani 11:1). Tuhan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah sehingga banyak yang meragukan keberadaan-Nya. Padahal, justru di situlah iman itu bekerja. Karena jika segala sesuatu itu sudah jelas, pasti, atau dapat dibuktikan secara ilmiah, manusia tidak akan berpengharapan dan iman itu menjadi mati.
2.1.3
Puisi Menurut Slametmuljana (dalam Waluyo, 1991 : 23), puisi merupakan
bentuk kesusastraan yang menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya. Pengulangan kata itu menghasilkan rima, ritme, dan musikalitas. Clive Sansom
(
dalam Waluyo 1991: 23) memberikan batasan puisi sebagai bentuk pengucapan bahasa yang ritmis yang mengungkapkan pengalaman intelektual yang bersifat imajinatif dan emosional. Batasan ini berkaitan dengan struktur batin puisi. “Bentuk fisik dan bentuk batin puisi lazim disebut pula dengan bahasa dan isi atau tema dan struktur atau bentuk dan isi”. Setelah membanding-bandingkan batasan para ahli, Waluyo dalam bukunya yang berjudul Teori dan Apresiasi Puisi mencoba memberikan definisi puisi sebagai bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran
dan
perasaan
penyair
secara
imajinatif
dan
disusun
dengan
mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya (1991 : 25).
18 Universitas Sumatera Utara
Sutardji (1992:3), “Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas.” Menulis puisi adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada awal mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata pada mantera. Dalam puisi ditemukan tanda-tanda yang memiliki makna dan maksud tertentu. Tanda-tanda tersebut dapat ditemukan melalui kata-kata yang terdapat di dalamnya. Dari tanda-tanda tersebut dapat dipahami pemaknaan yang ingin disampaikan. Tugas pembaca adalah memberi makna pada puisi. Pemberian makna tersebut dilakukan dengan menemukan makna dari tanda-tanda yang tersirat pada setiap kata. Semiotika dapat membantu pembaca dalam menemukan makna tandatanda tersebut.
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Semiotika Karya sastra merupakan refleksi pemikiran, perasaan, dan keinginan pengarang lewat bahasa yang khas. Bahasa itu memuat tanda-tanda yang akan membentuk sistem ketandaan (Endraswara : 2008). “Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda” (Zoest, 1993:1). Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-
19 Universitas Sumatera Utara
tanda tersebut mempunyai arti. Dalam kaitannya dengan pemaknaan, pembacalah yang seharusnya bertugas memberi makna karya sastra. Khusus pemaknaan terhadap puisi, proses pemaknaan itu dimulai dengan pembacaan heuristik, yaitu menemukan
meaning
unsur-unsurnya
menurut
kemampuan
bahasa
yang
berdasarkan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi tentang dunia luar (mimetic function). Akan tetapi, pembaca kemudian harus meningkatkannya ke tataran pembacaan hermeneutik yang di dalamnya kode karya sastra tersebut dibongkar (decoding) atas dasar significance-nya. Untuk itu, tanda-tanda dalam sebuah puisi memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya (Riffaterre : 1978). Dalam penelitian ini, konsep semiotika yang akan digunakan adalah konsep yang didasarkan pada pemikiran Riffaterre. Konsep dan teori yang digunakan Riffaterre lebih mengkhusus pada pemaknaan puisi secara semiotika sehingga lebih memberikan ruang untuk interpretasi makna. Penulis menganggap bahwa konsep inilah yang lebih tepat untuk diterapkan dalam penelitian ini. Memaknai sebuah puisi secara semiotika, Riffaterre (dalam Uniawati, 2007:11) mengemukakan empat langkah sebagai hal pokok. Pertama, puisi memiliki bahasa yang dapat menyatakan beberapa konsep secara tidak langsung. Ketidaklangsungan ekspresi yang dimaksud disebabkan oleh adanya penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).
20 Universitas Sumatera Utara
Kedua, pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan pada taraf mimesis atau pembacaan yang didasarkan konvensi bahasa. Karena bahasa memiliki arti referensial,
pembaca harus memiliki
kompetensi linguistik agar dapat menangkap arti (meaning). Kompetensi linguistik yang dimiliki oleh pembaca itu berfungsi sebagai sarana untuk memahami beberapa hal yang disebut sebagai ungramatical (ketidakgramatikalan teks). Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan yang akan menunjukkan hal-hal yang semula tidak gramatikal menjadi himpunan kata-kata yang ekuivalen. Ketiga, penentuan matriks dan model. Dalam hal ini, matriks dapat dimengerti sebagai konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase. Meskipun demikian, kata atau frase yang dimaksud tidak pernah muncul dalam teks puisi yang bersangkutan, tetapi yang muncul adalah aktualisasinya. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model. Model ini dapat berupa kata atau kalimat tertentu. Berdasarkan hubungan ini, dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu. Keempat, prinsip intertekstual. Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antarteks sajak. Sebenarnya hal itu berangkat dari asumsi bahwa karya sastra, termasuk puisi, tidak lahir dari kekosongan budaya. Dalam keadaan seperti ini, sebuah sajak merupakan respons atau tanggapan terhadap karya-karya sebelumnya. Dalam proses tersebut dikenal adanya istilah hipogram. Riffaterre (1978: 2) mendefinisikan hipogram adalah teks yang menjadi latar atau dasar penciptaan teks lain. Dalam praktiknya, hipogram dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial 21 Universitas Sumatera Utara
yang dapat ditelusuri dalam bahasa bersifat hipotesis, seperti yang terdapat dalam matriks, sedangkan hipogram aktual bersifat nyata atau eksplisit. 2.3 Tinjauan Pustaka Penelitian semiotika terhadap sebuah puisi bukanlah hal baru dalam dunia sastra. Sudah ada peneliti terdahulu tentang masalah ini. Puisi “Amuk” karya Sutardji pun sudah banyak dibicarakan orang, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun tulisan bebas. Tulisan yang membahas Tuhan dalam puisi Sutardji pun sudah pernah ada. Tulisan itu berjudul Eksistensi Manusia atas Keberadaan Tuhan dalam
Puisi
Amuk
karya
Sutardji
yang
ditulis
oleh
Fredy
W.
P.
(http://fredywp.blogspot.com/2009/10/eksistensi-manusia-ataas-keberadaan.html). Namun, tulisan itu tidak menggunakan teori dalam pembahasannya. Artinya, tulisan ini merupakan tulisan bebas yang tidak dilengkapi dengan teori sebagai kerangka berpikir. Skripsi tentang Tuhan dalam puisi karya Sutardji pun sudah ada. Skripsi tersebut berjudul Pencarian Hakikat Ketuhanan dalam Kumpulan Puisi O Amuk Kapak Karya Sutardji Calzoum Bachri yang disusun oleh Heru Prasetyo, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Namun, objek penelitian tersebut adalah kumpulan puisi O Amuk Kapak. Bahkan puisi “Amuk” tidak ikut dianalisis dalam penelitian tersebut dengan alasan pertimbangan efektif dan penerapan model sampel. Pendekatan yang dilakukan pun berbeda. Pendekatan yang dilakukan dalam skripsi
22 Universitas Sumatera Utara
tersebut adalah pendekatan teoretis fenomenologi dan metodologis yaitu kualitatif.
Penelitian dengan menggunakan teori semiotika pun banyak dilakukan orang, termasuk teori semiotika Riffaterre. Penelitian dengan semiotika Riffaterre sudah pernah dilakukan oleh Uniawati dalam tesisnya yang berjudul Mantra Melaut Suku Bajo: Interpretasi Semiotika Riffaterre. Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini karena objek kajiannya berbeda. Penelitian tersebut dapat dijadikan acuan untuk melengkapi data dalam penelitian ini. Sejauh peneliti ketahui, penelitian puisi “Amuk” karya Sutardji dengan teori semiotika Riffaterre belum pernah dilakukan.
23 Universitas Sumatera Utara