BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dalam penyusunan karya ilmiah akan lebih mudah apabila ada konsep yang dijadikan sebagai dasar pengembangan penulisan selanjutnya. Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain ( KBBI, 2007:588). Paparan konsep ini dapat bersumber dari para ahli, pengalaman peneliti, dokumentasi, dan nalar yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dengan adanya konsep, peneliti akan semakin mudah mengembangkan ide dan gagasannya untuk memperjelas hasil penelitian.
2.1.1 Kosa Kata Bahasa Indonesia Setiap bahasa di dunia memiliki kosa kata sebagai perbendaharaan untuk mengembangkan bahasanya dalam bentuk yang lebih kompleks sehingga membentuk serangkaian bunyi yang memiliki arti dan dapat dipahami. Bahasa Indonesia, seperti bahasa dunia lainnya juga memiliki kosa kata dalam perbendaharaannya. Secara umum, kosa kata bahasa Indonesia ini dibagi dalam kelas-kelas kata seperti kelas kata kerja (verba), kelas kata sifat (adjektiva), dan kelas kata benda (nomina). Verba adalah kata yang menyatakan tindakan atau perbuatan (Chaer,1994:166). Contohnya, makan, minum, menari, dan lainnya. Adjektiva yaitu kata yang menerangkan nomina
26
dan secara umum dapat
bergabung dengan kata lebih dan sangat (KBBI, 2007:8). Misalnya, lebih cantik, sangat tinggi, lebih baik, dan sangat pintar. Chaer juga menjelaskan nomina adalah kelas kata benda atau yang dibendakan (1994:166), seperti ayah, ibu, ikan ,pohon, dan lainnya. Kata benda (nomina) ini terdiri atas dua bagian, yaitu kata benda abstrak dan kata benda konkret. Kata benda abstrak adalah yang secara fisik tidak berwujud (Kridalaksana, 2008:1), sedangkan kata benda konkret adalah mempunyai ciri-ciri fisik yang nampak (tentang nomina), (Kridalaksana, 2008:132). Kata benda konkret inilah yang sekaligus menjadi pembahasan dalam penelitian ini.
2.1.2 Bahasa Lisan dan Tulis Bahasa adalah alat komunikasi yang merupakan serangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Samsuri, 1994:4). Berdasarkan penjelasan ini maka dapat disimpulkan bahwa bahasa itu merupakan bahasa lisan, karena diproduksi oleh alat ucap manusia sehingga menghasilkan serangkaian bunyi yang mampu didengar dan dipahami oleh lawan bicara. Bahasa lisan inilah yang selanjutnya akan menjadi bahasan dalam penelitian. Selain bahasa lisan, terdapat pula bahasa tulis. Bahasa tulis adalah ragam bahasa baku yang digunakan sebagai sarana komunikasi secara tertulis; ragam tulis (KBBI, 2007:90).
27
2.1.3 Autistik Kata autistik berasal dari bahasa Yunani auto yang berarti sendiri. Jika kita perhatikan maka kita akan mendapat kesan bahwa penyandang autistik itu seolaholah hidup di dunianya sendiri. Pemakaian istilah autisik diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943. Sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad sebelumnya. Autistik
adalah
istilah
Psikologi
Medis
yang
digunakan
untuk
menggambarkan gangguan perkembangan komunikasi dan interaksi sosial pada anak (Hanifah dan Sofwan, 2009:15). Anak autistik mengalami kesulitan melakukan komunikasi dengan orang lain di sekitarnya. Mereka lebih tertarik dengan diri mereka sendiri daripada harus berkomunikasi dengan orang lain. Inilah yang memberikan kesan bahwa anak autistik cenderung penyendiri dan tidak mau berbagi. Namun demikian, mereka tidak lantas dikucilkan dan dibiarkan sendirian. Mereka tetap harus diperlakukan selayaknya anak normal dengan kasih sayang dan perhatian yang seutuhnya. Autistik juga merupakan gangguan mental karena kelainan neurobiologis, yaitu ada gangguan di otak atau sistem syarafnya (Soekandar,2007 dalam Sarwono,2004). Adanya gangguan mental sangat berpengaruh terhadap proses penguasaan bahasa serta kemampuan lainnya. Bagaimana pun juga keadaan mental yang baik akan memberikan pengaruh yang baik pula dan begitu juga sebaliknya. Gangguan mental inilah yang menjadi penghambat bagi anak autistik, salah satunya dalam proses penguasaan bahasa (kosa kata) jika dibandingkan dengan anak normal tanpa gangguan apapun.
28
Selain itu, Simanjuntak memberikan defenisi autistik sebagai sebuah penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor dan faktor genetik memegang kemungkinan yang sangat besar dan faktor-faktor nongenetik memberikan sumbangan ke dalam rantaian penyebab autistik ini (Simanjuntak, 2009:251). Jadi, dapat disimpulkan bahwa autistik itu sebenarnya adalah sebuah keadaan dimana penderitanya mengalami gangguan dari segi komunikasi dan perilaku karena terdapat kerusakan pada bagian psikis yang disebabkan oleh banyak faktor, baik genetik maupun non genetik. Handojo (2008:13) menjelaskan bahwa anak penyandang autistik mempunyai karakteristik antara lain: 1. Selektif berlebihan terhadap rangsangan, 2. Kurangnya motivasi untuk menjelajahi lingkungan baru, 3. Respon stimulasi diri sehingga mengganggu interaksi sosial, 4. Respon unik terhadap imbalan (reinforcement), khususnya imbalan dari stimulasi diri. Anak merasa mendapat imbalan berupa hasil penginderaan terhadap perilaku stimulus dirinya, baik berupa gerakan maupun berupa suara. Hal inilah yang menyebabkan anak autistik mengulang perilakunya secara khusus. Handojo juga menjelaskan bahwa perilaku autistik digolongkan dalam dua jenis, yaitu perilaku eksesif (berlebihan) dan perilaku defisit (berkekurangan). Yang termasuk perilaku eksesif adalah hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa menjerit, menyepak, menggigit, menyakar, memukul, dsb. Di sini juga sering terjadi anak menyakiti diri sendiri (self abuse). Perilaku defisit ditandai dengan 29
gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, defisit sensoris sehingga dikira tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat, misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab dan melamun (Handojo,2008:13). Anak autistik yang memiliki perilaku defisit yang lebih cenderung dipilih dalam penelitian ini.
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Psikolinguistik Psikolinguistik merupakan kajian interdisipliner antara kedua disiplin ilmu psikologi dan linguistik. Psikolinguistik adalah pendekatan gabungan melalui psikologi dan linguistik bagi telaah atau studi pengetahuan bahasa atau hal-hal yang ada kaitannya dengan itu yang tidak begitu mudah dicapai atau didekati melalui salah satu dari kedua ilmu tersebut secara terpisah atau sendiri-sendiri (Lacho, dalam Tarigan,1984:3). Selain itu, psikolinguistik juga merupakan sebuah studi tentang proses-proses mental dalam pemakaian bahasa (Harley, dalam Darjowidjojo, 2003:7). Jadi, psikolinguistik itu adalah sebuah disiplin ilmu yang terikat dan tidak dapat berdiri sendiri dalam mengkaji proses mental dalam pemakaian bahasa. Psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh manusia (Slobin, 1974; Meller, 1964; Slama Cazahu, 1973 dalam Chaer, 2002:5). Maka secara teoretis tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu teori bahasa yang secara linguistik dapat diterima dan secara psikologi dapat
30
menerangkan
hakekat
bahasa
dan
pemerolehannya.
Dengan
kata lain,
psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur ini diperoleh, digunakan waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat dalam pertuturan itu.
2.2.2 Psikolinguistik Behaviorisme Psikolinguistik behaviorisme berusaha menjelaskan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama sebenarnya dikendalikan dari luar diri si anak, yaitu rangsangan yang diberikan melalui lingkungan (Chaer, 2002:222). Pelopor modern dalam pandangan ini adalah seorang psikolog dari Universitas Harvard, B.F Skinner (1957). Ia menjelaskan bahwa perhatian dalam pemerolehan bahasa anak (B1) ditujukan pada ramalan (prakiraan), dan unit-unit fungsional perilaku manusia yang hanya dapat terjadi melalui efek yang terlihat pada orang lain saja (Nababan, 1992:99). Penerapan teori behaviorisme ini didasarkan oleh adanya rangsangan (stimulus) kemudian diikuti oleh reaksi (respon). Bila rangsangan menghasilkan reaksi yang benar, maka akan diberi hadiah atau imbalan (reinforcement) yang menyenangkan dan kemungkinan rangsangan itu akan dilakukan berulang-ulang. Namun, jika reaksi yang dihasilkan
salah akan dihukum, yaitu penghentian
imbalan. Bagi anak autistik, imbalan ini sangat diperlukan agar mereka mau mematuhi perintah yang diberikan. Perlu sekali diperhatikan bahwa imbalan harus terkesan sebagai upah dan bukan sebagai suap atau sogokan (Handojo, 2008:55).
31
Sifat upah adalah selalu konsisten setelah suatu perintah selesai dilaksanakan atau instruksi yang diberikan dilakukan dengan benar. Imbalan tidak boleh diberikan sebagai suap untuk menghentikan suatu reaksi yang salah. Apabila imbalan diberikan untuk merayu agar mereka menghentikan reaksi yang salah, maka mereka akan menjadikan imbalan tersebut sebagai pembenaran dari reaksi yang salah itu. Akibatnya anak tidak paham mana reaksi yang benar dan mana yang salah akibat pemberian imbalan dari dua reaksi yang saling bertentangan. Contohnya, ketika guru memerintahkan menyebutkan benda yang dipegangnya ‘apel’, anak autistik meresponnya dengan baik dengan menyebutkan ape ‘apel’. Maka sebagai imbalan, guru memberinya dengan hadiah sepotong kue. Pemberian hadiah semacam ini juga dapat digunakan sebagai pancingan agar anak autistik mau berbicara sehingga kosa katanya muncul. Sebaliknya, apabila anak autistik tidak mau mengucapkan kata tersebut, tetapi ia tetap memaksa ingin mendapatkan sepotong kue, maka imbalan tersebut tidak akan diberikan sampai anak mau melaksanakan perintah yang diberikan dengan benar. Handojo (2008:56-57) menjelaskan bahwa imbalan semacam ini dapat diberikan dalam bentuk pemberian makanan atau minuman dalam porsi kecil karena harus diberikan secara berulang-ulang. Selain itu dalam bentuk memberikan mainan kepada anak, namun hanya terbatas sekitar 5-10 menit saja, kemudian diambil kembali. Imbalan lain adalah imbalan taktil yaitu, pelukan, ciuman, tepukan, dan elusan. Imbalan verbal juga perlu diberikan seperti “bagus”,”pandai”, “pintar”, sebagai pujian karena telah melaksanakan instruksi dengan benar.
32
2.2.3 Pemerolehan Bahasa Pemerolehan bahasa (languge acquisition) adalah proses yang berlangsung pada seorang anak ketika memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa ini berlangsung di dalam otak, kemudian diproses sedemikian rupa sehingga muncul dalam wujud bahasa. Menurut Dardjowidjojo (2005:225), Pemerolehan bahasa ini dilalui oleh anak secara natural pada waktu ia belajar bahasa ibunya (native language). Proses alami ini nantinya akan berkembang seiring berjalannya waktu dan akan semakin baik sejalan dengan pertambahan usia serta kematangan sensomotorik anak untuk merepresentasikan bahasa itu dalam bentuk ujaran yang dapat dipahami dan memiliki arti. Istilah pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang anak mempelajari bahasa kedua setelah ia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemerolehan bahasa ini berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua. Namun, tidak jarang juga beberapa ahli menggunakan istilah pemerolehan bahasa dengan bahasa kedua, seperti Nurhadi dan Rokhan (dalam Chaer, 2003:167). Menurut Chomsky dan Miller (dalam Chaer 2003:169) sejak lahir, setiap anak sejatinya telah dibekali oleh alat kusus untuk dapat berbahasa, yaitu language acquisition Device (LAD) atau yang lebih dikenal dengan istilah piranti pemerolehan bahasa. LAD ini berfungsi untuk memungkinkan seorang anak memperoleh bahasa ibunya (Chaer, 2003:169). Buktinya, meskipun masukan-
33
masukan yang berupa ucapan-ucapan penuh dengan kalimat-kalimat yang salah, tidak lengkap, dengan struktur yang tidak gramatikal, namun ternyata anak dapat juga menguasai bahasa ibunya itu. Setiap anak normal akan belajar bahasa pertama (bahasa ibu) dalam tahuntahun pertamanya dan proses itu terjadi hingga kira-kira umur lima tahun (Nababan, 1992:72). Menurutya, dalam proses perkembangan semua anak manusia yang normal paling sedikit memperoleh satu bahasa alamiah. Dengan kata lain, setiap anak normal dan mengalami pertumbuhan yang wajar, memperoleh sesuatu bahasa yaitu bahasa ibu dalam tahun-tahun pertama kehidupannya, kecuali ada gangguan psikologis seperti tuli ataupun alasan-alasan sosial, tetapi biasanya anak telah berkomunikasi secara bebas pada saat dia mulai masuk sekolah (Nababan, 1987:83).
1.2.4 Keuniversalan dan Pemerolehan Bahasa Pemerolehan bahasa secara universal, untuk anak pada umunya ditentukan oleh berbagai faktor, seperti budaya, latar belakang keluarga, taraf hidup keluarga, tingkat pendidikan keluarga dan lokasi keluarga (desa atau kota besar), (Dardjowidjojo, 2004:34). Dalam pemerolehan kosa kata, kata-kata konkrit yang ada di sekitar anak akan dikuasai paling awal. Pada anak usia di bawah lima tahun, secara tipikal nomina itu merujuk pada benda konkrit yang dapat dipegang atau yang kasat mata. Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi pemerolehan kosa kata benda adalah faktor tingkat pendidikan keluarga dan lokasi keluarga. Faktor inilah yang melatarbelakangi pemerolehan bahasa pada anak disamping faktor-faktor
34
lain seperti latar belakang keluarga dan lokasi keluarga yang berada di kota besar. Anak dari suatu keluarga yang terdidik, yang di rumahnya terdapat buku bacaan pastilah kosa katanya akan berbeda dengan anak dari pembantu di rumah yang sama. Demikian juga anak-anak yang tinggal di desa dan terpencil, kemungkinan besar tidak akan memperoleh kosa kata seperti mouse, laptop, apalagi flask disk. Anak-anak yang tinggal di desa akan menguasai kosa kata tentang daerah di sekelilingnya, seperti sawah, padi, cangkul, arit, dan sebagainya.
1.2.5 Keuniversalan Pemerolehan Kosa Kata Benda Anak Usia 3-4 Tahun Orang pada umumnya merasa bahwa penguasaan bahasa adalah penguasaan kosa kata. Ahli seperti E. Clark (1993:1 dalam Dardjowidjojo 2000:241) mengatakan bahwa words make a language ‘kosa kata membuat bahasa’. Artinya bahwa bahasa itu pada dasarnya dibentuk dan disusun atas serangkaian kosa kata sehingga membentuk kesatuan makna. Dalam hal penentuan kosa kata yang dapat dikatakan sebagai pemerolehan bahasa, Dardjowidjojo sependapat dengan Dromi yang berpandangan bahwa untuk suatu bentuk bisa dianggap kata, maka bentuk tadi harus memenuhi paling tidak dua kriteria: 1. Bentuk fonetik yang sama atau mirip dengan bentuk fonetik orang dewasa, 2. Korelasi yang ajeg antara bentuk dengan referen, (Dardjowidjojo, 2000:242). Pada usia 3-4 tahun, Echa sudah menguasai kosa kata benda seperti, pangeran, putri duyung, nenek sihir, racun , dan makhluk. Semua kata ini telah ia kuasai dengan baik begitu juga dengan maknanya telah ia kuasai dengan baik
35
pula. Jenis ikan secara spesifik telah ia kuasai pula seperti lele karena ikan jenis ini terdapat di kolam di halaman rumah (Dardjowidjojo, 2000:254). Dengan demikian, kosa kata benda yang diperolehnya telah ia kuasai dengan baik dari segi pengucapan yang mirip dengan orang dewasa dan maknanya. Selain itu, masukan kosa kata ini juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti kosa kata ikan lele yang kebetulan dipelihara di kolam rumahnya. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa untuk kosa kata ikan ini akan berkembang apa bila seandainya ada jenis-jenis ikan lain yang dipelihara, seperti gurame, nila, mas koki, dan sebagainya.
1.2.6
Komprehensibilitas Dalam pemerolehan kosa kata, masukan merupakan faktor yang sangat
penting. Manusia tidak akan dapat menguasai bahasa bila tidak ada masukan kebahasaan padanya. Untuk itu, masukan memberikan rangsangan kepada seseorang untuk selajutnya dapat berbahasa. Komprehensibilitas merupakan elemen bahasa yang dikuasai terlebih dahulu oleh anak sebelum anak bisa memproduksi apa pun yang bermakna telah banyak dinyatakan oleh para ahli.
Altman (dalam Dardjowidjojo, 2000:75)
menyatakan bahwa sejak tujuh bulan dalam kandungan, janin memiliki sistem pendengaran yang telah berfungsi. Setelah bayi lahir akan mendapatkan masukan dari orang-orang sekitar, dia mengembangkan komprehensinya terlebih dahulu. Bahkan komprehensi ini dikatakan lima kali lipat daripada produksinya (Dardjowidjojo, 2000:75).
36
Para ahli seperti Hirsk-Pasek dan Golinkoff (dalam Dardjowidjojo, 2000:76) menjelaskan alasan komprehensi dikuasai anak lebih awal, yaitu: 1. Dalam komprehensi, anak hanya perlu mengenali (recognise) masukan yang datang dan tidak perlu memanggil ulang (recall) apa pun yang telah masuk, 2. Komprehensi memerlukan hanya pengudaraan paket informasi yang masuk, 3. Pada komprehensi memerlukan pengaktifan pilihan-pilihan leksikal tetapi bentuk leksikal itu telah dipilih oleh pembicara. Kemampuan anak untuk memberikan respon terhadap bunyi ujaran yang didengarnya menunjukkan adanya komprehensi yang dipahami anak. Hal ini juga terjadi pada penelitian longitudinal Dardjowidjojo terhadap cucunya Echa dalam memberikan respon waktu diajak main “ciluup baa” dan mengerti kalau dipanggil namanya. Selaras
dengan
bertambahnya
kemampuan
ujaran,
komprehensi anak pun berjalan cepat. Sejak umur 1;4 tahun Echa sudah dapat memahami (boleh dikatakan) semua yang diucapkan kepadanya. Dia sudah dapat membedakan bahwa sesuatu adalah berbeda dari sesuatu yang lain. Misalnya, jika di tunjuk gambar anjing, dan orang tuanya mengatakan ikan, dia akan berkata utan ‘bukan’. Hal ini menunjukkan bahwa selain komprehensinya berkembang dengan pesat, ia juga telah memahami bentuk itu berbeda dari yang dimaksudkan, atau dengan kata lain ada korelasi yang ajeg antara bentuk dan referen walaupun ia hanya sebatas memberikan penyangkalan (Dardjowidjojo, 2000:89).
37
2.3 Tinjauan Pustaka Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah menyelidiki atau mempelajari (KBBI, 2007:1198). Pustaka adalah kitab, buku, buku primbon (KBBI, 2003:912). Tinjauan pustaka adalah hal-hal atau pengetahuan yang berhubungan dengan penelitian itu sebagai bahan referensi yang mendukung penelitian. Selain itu, tinjauan pustaka juga menjelaskan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan topik yang akan diteliti agar semakin jelas permasalahan penelitian yang akan dijawab. Berdasarkan tinjauan pustaka yang ada, sumber relevan yang menjadi bahan referensi dalam penelitian ini adalah : Handojo (2003) dalam bukunya Autisma: petunjuk Praktis dan Pedoman Materi untuk Mengajar Anak Normal, Autis dan Perilaku Lain. Beliau menjelaskan tentang jenis kelainan perilaku pada anak dan cara penanganannya melalui petunjuk serta metode praktis yang beliau kembangkan selama memberikan terapi kepada anak kandungnya yang menyandang autistik. Beliau menerapkan metode ABA (Applied Behavior Analysis) atau yang lebih dikenal dengan teori Lovaas. Selain metode, beliau juga menyusun materi-materi yang harus diajarkan kepada anak autistik sehingga mereka dipersiapkan untuk masuk ke sekolah reguler atau normal. Peeters (2004) dalam bukunya Autisme: Hubungan Pengetahuan Teoritis dan Intervensi Pendidikan bagi Penyandang Autisme. Peeters berusaha menjelaskan hubungan antara suatu pemahaman teoretis tentang autistik dan konsekuensi-konsekuensinya terhadap pendidikan. Dalam bukunya, ia juga menjelaskan tentang
autistik itu sebagai gangguan perkembangan pervasif,
38
sehingga anak penyandang autistik ini mengalami kesulitan dalam masalah makna, komunikasi, interaksi sosial, serta masalah imajinasi. Buku ini ia maksudkan untuk lebih besrsifat informatif daripada akademik. Oleh sebab itu dicantumkan berbagai referensi yang bersifat bibliografik untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. Gustianingsih (2009) dalam disertasinya yang berjudul “Produksi dan Komprehensi
Bunyi
Ujaran
Bahasa
Indonesia
Anak
Autistik:
Kajian
Neuropsikolinguistik”. Dalam disertasinya Beliau menjelaskan bahwa anak autistik sering melakukan penyimpangan ujaran pada awal dan akhir kata. Hal ini menjelaskan bahwa anak autistik mengalami gangguan inisiasi dan mengalami kesulitan untuk menuntaskan ujarannya. Anak autistik ini sering mengulang-ulang ujarannya sehingga ia tidak tuntas mengucapkan ujaran yang seharusnya. Dardjowidjojo (2000) dalam penelitian longitudinalnya selama lima tahun terhadap cucunya Echa mendeskripsikan bahwa pemerolehan bahasa itu pada hakikatnya sama di seluruh dunia, yaitu mulai dari pemerolehan fonologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Hanya saja perkembangan pemerolehan bahasa itu tidak sama bagi setiap anak di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan bahwa pemerolehan bahasa itu tidak dapat terjadi hanya karena bekal kodrati (innate properties) semata, melainkan selaras dengan faktor lingkungan. Rismawaty Sitorus (2010) dalam skripsinya yang berjudul ‘Kalimat Lisan Bahasa Indonesia Anak Autistik pada Yayasan Tali Kasih Medan”. Ia menyimpulkan bahwa dalam mengujarkan kalimat lisan,anak autistik sering kali mengalami pengulangan pada bagian awal kata dan akhir kata, yaitu pada kalimat lisan satu dan dua kata. Sedangkan kalimat tiga dan empat kata tidak pernah
39
muncul dalam kalimat lisan anak autistik. Dalam berbahasa Indonesia, anak autistik perlu diberi stimulus berulang-ulang agar merek dapat mengujerkan kalimat lisan, walaupun kalimat yang diujarkan tidak sempurna seperti ujaran orang dewasa. Selain itu, perkembangan kognitif anak autistik sangat lambat sehingga sulit untuk mengujarkan bahasa secara mandiri. Aswira Rastika (1992) dalam skripsinya dengan judul “Kemampuan Berbahasa Lisan Siswa-Siswa Tunarungu di SLB Bagian B YPPLB Padang”. Dalam penelitiannya dijelaskan mengenai bagaimana kemampuan siswa-siswa tunarungu itu dalam mengucapankan bunyi vokal, konsonan, diftong, suku kata, serta pengucapan kalimat sederhana berdasarkan pola penjenjangan pendidikan siswa tunarungu. Latifah Ummi Nadrah Nasution (2000) dalam penelitiannya yang berjudul “Verbal Repertoar Murid-Murid Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC)”. Dalam
peneliannya
dijelaskan
mengenai
perbendaharaan
kata,
dan
perbendaharaan kalimat murid-murid di YPAC. Selain itu, dipaparkan juga masalah kemampuan berbahasa serta kemampuan menulis murid-murid tersebut. Berdasarkan penelitian terdahulu, maka peneliti mencoba meneliti masalah Kosa Kata Benda Bahasa Indonesia dalam Bahasa Lisan Anak Autistik pada Yayasan Ananda Karsa Mandiri. Penelitian ini berbeda dari penelitian yang telah dilakukan sebelumya oleh Rismawaty Sitorus, Aswira Rastika dan Latifah Ummi Nadrah Nasution karena pada kesempatan ini peneliti mencoba mengkaji masalah kosa kata benda konkret bahasa Indonesia dan bentuk kosa kata yang paling banyak muncul dalam bahasa lisan anak autistik.
40