47 BAB II KEDUDUKAN JAMINAN TANAH DALAM PEMBERIAN KREDIT KEPADA USAHA KECIL
A. Kedudukan Jaminan Tanah Pada dewasa ini hak atas tanah merupakan objek jaminan kredit yang paling disukai oleh bank, sebab tanah dianggap lebih bernilai secara ekonomis. Lembaga jaminan yang dibebankan atas tanah dan bangunan oleh bank adalah hak tanggungan. Patut dikemukakan, bahwa kreditur selalu harus waspada, agar ia dikemudian hari tidak mendapatkan kesulitan dalam mengeksekusi atau menjual tanah dan bangunan tersebut. Sertifikat sebagai bukti yang kuat, karena dalam sertifikat itulis mengenai jenis hak pemegang hak serta peristiwa hukum yang penting sehubungan dengan tanah tertentu, dan karena semuanya itu diisi oleh pejabat yang berwenang, maka apa yang dibaca dalam sertifikat harus dianggap benar. Alat pembuktian yang kuat berarti bahwa sertifikat bukanlah satu-satunya pembuktian yang ada tentang sahnya peralihan hak serta lahirya hakitu. Bukti sertifikat belum berlaku sempuma bagi pihak ketiga, hal ini dikarenakan pihak ketiga masih dapat melihat dengan bebas mengenai kepemilikan hak atas tanah pada daftar-daftar umum di Kantor Pertanahan setempat. Ini memungkinkan mengingat adanya azas keterbukaan (publiciteit) dalam Hukum Agraria. Jadi daftar umum tersebut ini mempunyai kekuatan sebagai bukti juga, selain sertifikat. Dengan kenyataan tersebut maka apabila di atas sebuah tanah belum bersertifikat, maka jelasnya maka keberadaan hak seseorang atas tanah tersebut belum begitu kuat. Namun, berdasarkan kenyataan tersebut maka kedudukan jaminan tanah yang belum bersertifikat dalam dunia perbankan yang dibatasi pada PT. Bank Sumut Cabang
Universitas Sumatera Utara
48 Pembantu Kampung Lalang- Sunggal, dapat dijadikan jaminan kredit, tetapi meskipun demikian dibutuhkan alas hak lainnya yang ditanda tangani oleh Camat dimana tanah tersebut berada. Jadi praktek perbankan khususnya dalam hal menjadikan sebuah tanah belum bersertifikat sebagai jaminan kredit dapat diajukan ke PT. Bank Sumut Cabang Pembantu Kampung Lalang-Sunggal, dengan turut menyertakan sebagai bahan lampiran tentang Pajak Bumi dan Bangunan atas tanah tersebut. Jika tidak ada PBB-nya maka dapat diajukan dalam bentuk surat keterangan dari pihak kelurahan/desa dimana tanah tersebut tentang PBB atas tanah tersebut belum diterbitkan. Selain PBB syarat lainnya yang dibutuhkan adalah surat keterangan dari pihak kelurahan/desa tentang tidak adanya sengketa atas tanah tersebut dan riwayat tanah.46 Keberadaan jaminan tanah yang belum bersertifikat dapat diajukan sebagai jaminan kredit, tetapi nilai kredit yang dimohonkan dengan hak atas tanah yang belum bersertifikat menjadi turun dan kurang memiliki harga apabila dibandingkan dengan tanah yang telah bersertifikat. Beberapa aspek yuridis yang merupakan kondisi dari kekuatan pendaftaran dan penerbitan sertifikat hak tanggungan sebagai jaminan kredit kepada usaha kecil
dalam
menerima hak atas tanah sebagai objek jaminan kredit adalah : 1.
Segi kepemilikan tanah yang dijadikan objek jaminan.
2.
Pemeriksaan sertifikat tanah dan kebenaran letak tanah yang dijadikan objek jaminan.
3.
Segi kewenangan untuk membebankan hak tanggungan atas tanah yang dijadikan
46
Hasil wawancara dengan Zol Alfani Khairi, Legal Office PT. Bank Sumut Cabang Pembantu Kampung Lalang, tanggal 7 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
49 objek jaminan. 4.
Segi kemudahan untuk melakukan eksekusi atau penjualan tanah yang dijadikan objek jaminan.
5.
Segi kedudukan bank sebagai kreditor yang preferen Walaupun kedudukan tanah yang belum bertifikat dapat dijadikan jaminan
(collateral) kredit khususnya kredit untuk usaha kecil, namun, pihak bank dalam hal ini PT. Bank Sumut Cabang Pembantu Kampung Lalang-Sunggal tetap mengutamakan tanah yang sudah bersertifikat sebagai objek jaminan kredit,47 karena memiliki beberapa keuntungan dan diuraikan di bawah ini. 1.
Kepemilikan tanah yang dijadikan objek jaminan Undang-Undang Hak Tanggungan menyatakan (UUHT) bahwa hak tanggungan
tidak dapat diletakkan, melainkan oleh siapa yang berkuasa memindah tangankan benda yang akan dibebani dengan hak tanggungan itu.48 Jelaslah, bahwa dalam menerima tanah, tanah dan bangunan sebagai objek. Bank harus yakin betul, bahwa yang bersangkutan, adalah pemilik atau pemegang hak atas tanah tersebut. Bukti kepemilikan tanah adalah sertifikat tanah yang bersangkutan. Dalam praktek, sering terjadi, bahwa serfitikat tanah sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnya, misalnya oleh karena tanah, tanah dan bangunan tersebut, telah dijual dengan membuat akta PPAT, namun balik nama belum dilakukan oleh Kantor Pertanahan. Sehubungan dengan harta benda perkawinan dan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 36 Undang-Undang Perkawinan, bahwa mengenai harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan bersama, yang juga harus dianggap berlaku bagi orang-orang 47
Hasil wawancara dengan Zol Alfani Khairi, Legal Office PT. Bank Sumut Cabang Pembantu Kampung Lalang-Sunggal. 48 Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996.
Universitas Sumatera Utara
50 yang menikah sebelum Undang-Undang Perkawinan berlaku, misalnya yang menikah berdasarkan Huwelijksordonan tie Christen-Indonesier Java (HOCI) atau Burgerlijk Wetboek (BW), maka seandainya seorang suami/isteri akan mengagunkan tanah, tanah dan rumah, yang sertifikat tanahnya, tercatat atas namanya, sebaiknya bank minta agar isteri/suami calon debitur datang dan memberi persetujuannya yaitu, bahwa tanah tersebut, dijadikan objek jaminan kredit yang dibebani dengan hak tanggungan. Apabila sertifikat menyebutkan nama orang yang sudah wafat, maka jika tanah tersebut, akan dijadikan objek jaminan kredit, hendaknya tanah, dibalik namakan terlebih dahulu atas nama ahli waris yang bersangkutan. Apabila tidak dilakukan balik nama terlebih dahulu, bisa terjadi bahwa bank dikemudian hari akan kesulitan dengan munculnya pihak ketiga yang mengaku ikut berhak atas tanah tersebut.49 Apabila belum mempunyai sertifikat, maka akta pembebanan hak tanggungan bisa dibuat, namun hak tanggungan tersebut baru akan didaftarkan, bersama-sama dengan keluarya sertifikat tersebut. Jadi hak tanggungan baru ada, apabila atas tanah tersebut telah didaftarkan. Pentingnya sertifikat bagi bank, selain untuk mengetahui jenis hak atas tanah tersebut, apakah tanah itu tanah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai, seperti diketahui dewasa ini hak pakai atas tanah negara yang terdaftar di kantor pertanahan, dapat menjadi hak tanggungan. 2.
Pemeriksaan dokumen tanah dan kebenaran letak tanah Pada umumnya bank hanya menerima tanah yang bersertifikat, sebagai objek
jaminan kredit. Dalam menerima sertifikat, bank selalu harus selalu waspada, justru oleh
49
Hasil wawancara dengan Rudi Aroha Sitepu, SH, Notaris/PPAT di Kota Medan, tanggal 15
Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
51 karena pada dewasa ini banyak beredar sertifikat palsu dan sertifikat rangkap. Sertifikat yang diserahkan harus diperiksa dengan sangat teliti, apakah mungkin ada tulisan yang meragukan atau ada halaman yang diganti. Dari sertifikat, dapat pula diketahui, apakah sebidang tanah sedang dibebani dengan hak tanggungan yang lain atau tidak, hal mana akan tercatat pada kolom yang bersangkutan, juga apabila ada hak tanggungan yang semula memang membebani tanah tersebut, namun kemudian kini sudah diroya, misalnya karena utang debitur telah lunas. Bagaimana apabila calon debitur dengan mengemukakan berbagai alasan, hanya menyodorkan
fotokopi sertifikat saja, hal itu adalah kurang dapat dipertanggung
jawabkan, lebih baik permohonannya ditolak saja, apabila asli sertifikat tidak bisa diperlihatkan, sebab sertifikat bukanlah merupakan tanda bukti hak yang sah. Selain ada tidaknya beban hak tanggungan lain atas tanah tersebut. PT. Bank Sumut Cabang Pembantu Kampung Lalang-Sunggal hendaknya juga meminta keterangan dari Kantor Pertanahan. Bahkan sebaiknya juga kepada Pengadilan Negeri dari daerah dimana tanah itu terletak, apakah tanah itu tidak sedang disita, baik dengan sita jaminan, maupun dengan sita eksekusi.50 Tanah yang sedang di sita oleh Pengadilan Negeri dan atau oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), tidak bisa lagi dijaminkan kepada siapapun, juga tidak kepada PT. Bank Sumut Cabang Pembantu Kampung Lalang-Sunggal. Apabila hal itu dilakukan maka perjanjian penjaminan tersebut yaitu pembebanan dengan hak tanggungan adalah batal demi hukum (periksa Pasal 198, 199, dan 227 HIR, untuk daerah luar Jawa dan Madura Pasal 213,214 dan 261 Rbg). Selain pemeriksaan terhadap sertifikat yang bersangkutan apakah akan ada rencana 50
Hasil wawancara dengan Zol Alfani Khairi, Legal Office PT. Bank Sumut Cabang Pembantu Kampung Lalang-Sunggal, tanggal 7 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
52 tata guna tanah dikawasan tersebut, misalnya akan dipergunakan untuk lahan industri atau mungkin tanah itu akan terkena pemotongan jalan atau kepentingan umum lainnya. Pemeriksaan mengenai letak tanah, sangat penting untuk menentukan apakah kredit yang diminta akan dikabulkan seluruhnya atau sebagian atau sebaiknya ditolak saja, hal tersebut dilakukan demi keamanan dan kelangsungan dunia perbankan itu sendiri.
3.
Kewenangan membebankan Hak Tanggungan Dalam dunia perbankan mungkin disebabkan oleh karena bank-bank berlomba
untuk mencari nasabah dan tidak suka dicap sebagai bank yang kejam, maka pada umumnya, meskipun kredit telah diberikan kepada debitur, hak tanggungan atas tanah yang diberikan bersangkutan belum dibebankan dan bank merasa cukup aman dengan memegang sertifikat tanah tersebut, yang disertai dengan surat kuasa membebankan hak tanggungan yang dibuat oleh Notaris atau PPAT. Bank sudah merasa puas oleh karena Bank beranggapan bahwa debitur tidak dapat mencabut kembali surat kuasa tersebut dan surat kuasa itu tidak akan berakhir dengan cara apapun. Bagi kreditur adanya surat kuasa akan memberi beberapa keuntungan :51 1.
Kreditur dianggap lebih leluasa (easy going) tanpa campur tangan debitur.
2.
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dapat dibuat secara cepat, biayanya juga murah
3.
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dapat dibuat untuk
membebankan
Hak Tanggungan oleh notaris atau PPAT. 4.
Dengan adanya surat kuasa membebankan Hak Tanggungan, bank tanpa bantuan 51
Lihat penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Universitas Sumatera Utara
53 debitur dapat membebankan Hak Tanggungan atas tanah tersebut. Menurut Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan surat kuasa tersebut hanya berlaku untuk satu bulan. Sehubungan dengan hal ini perlu dikemukakan bahwa cara untuk tidak segera membebankan hak tanggungan sebenarnya adalah sangat berbahaya bagi kreditur, sebab menghadapi debitur yang tidak bertanggung jawab macam-macam masalah dapat terjadi meskipun sertifikat dipegang oleh bank, kemudian disita oleh Pengadilan Negeri dengan sita eksekusi. Apabila hal itu terjadi dan penyitaan telah didaftarkan kepada Kantor Pertanahan atau dicatat dalam buku register yang disediakan untuk itu dipengadilan negeri, maka bank akan menemui kesulitan dalam mengeksekusi tanah yang dijaminkan debitur. Meskipun sertifikat ada ditangan bank dan memegang surat kuasa mutlak untuk membebankan hak tanggungan, apabila perlu pada waktunya, tanah itu akan dilelang atau berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam rangka eksekusi kepada pihak penggugat yang menang. 4.
Kemudahan untuk melakukan eksekusi atas tanah yang dijadikan objek jaminan. Kreditur yang piutangnya dijamin dengan hak tanggungan apabila piutangnya
macet dapat langsung menagih debiturya, melalui penetapan Pengadilan Negeri.52 Tidak seperti kreditur pada umumnya, yang melalaui suatu gugatan harus melakukan tagihannya, melainkan kreditur yang bersangkutan dapat langsung mohon parate eksekusi melalui sertifikat hak tanggungan yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan dan memakai irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
52
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, cet. ke-5, Jakarta: Intermasa, 1986, hal. 75.
Universitas Sumatera Utara
54 Berdasarkan sertifikat tersebut, eksekusi dapat dilaksanakan. Pengadilan Negeri setelah menerima permohonan eksekusi, akan melakukan sita eksekusi terhadap tanah yang dibebani haktanggungan itu, yang selanjutnya setelah dilakukan peneguran terhadap debitur dan ia tetap tidak mau melunasi hutangnya dalam waktu 8 hari, akan disusul dengan pengumuman lelang secara dua kali berturut-turut di surat kabar yang terbit di kota itu, untuk kemudian disusul dengan pelelangan.53 Hasil penjualan lelang tanah tersebut, akan dipergunakan untuk melunasi hutang debitur kepada kreditur, setelah sebelumnya dibayar biaya eksekusi. Sisa lelang apabila ada, akan dikembalikan kepada debitur. Proses semacam ini akan berjalan cepat, sehingga kreditur dalam waktu yang tidak terlalu lama akan menerima uangnya kembali. Bahkan, apabila kreditur berkedudukan sebagai pemegang hak tanggungan pertama, berdasarkan Pasal 6 UU Hak Tanggungan, kreditur dapat menjual tanah tersebut atas kekuasaan sendiri, melalui Kantor Lelang Negara dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tanah itu. 5.
Kedudukan bank sebagai kreditur yang preferen. Pada umumnya sebidang tanah hanya dibebani oleh satu hak tanggungan, namun
dapat terjadi, bahwa sebidang tanah dibebani dengan beberapa hak tanggungan. Urutan kedudukan para pemegangnya ditentukan oleh tanggal pendaftarannya di Kantor Pertanahan dengan ketentuan, bahwa hak tanggungan yang didaftarkan pada hari yang sama, kedudukannya ditentukan oleh tanggal pembuatan akta pembebanan hak tanggungan oleh PPAT, lihat Pasal 5 ayat (3) UU Hak Tanggungan.
53
Darwin Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung , PT. Citra Aditya Bakti, 1994, hal. 179
Universitas Sumatera Utara
55 Dengan diberlakukannya ketentuan mengenai hak tanggungan secara nasional ini, keseragaman dalam pembebanan jaminan kiranya dapat tercipta dan terjaga, dengan demikian sektor perbankan yang mempunyai pangsa kredit yang paling besar dapat terlindungi dalam menyalurkan dananya kepada masyarakat.
B. Hak Tanggungan sebagai Lembaga Jaminan dengan Objek Tanah 1. Dua pandangan tentang Hak Tanggungan Berkembangnya hak tanggungan ini selaras dengan tuntutan kemajuan hukum masyarakat dalam menjamin hak atas tanah tanah. Artinya pada saat-saat menghangatnya dibicarakan tentang perkembangan ekonomi bangsa, tentu bila kemajuan ekonomi ini dikehendaki berkembang, maka hak tanggungan sangat dibutuhkan sebagai bagian tak terpisahkan dalam memenuhi modal dengan benda tak bergerak sebagai agunannya. Karena dengan adanya jaminan maka fasilitas dan menambah modal usaha kerja bagi usaha kecil khususnya akan mudah diperoleh dengan kredit sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 : Dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.54 Oleh karena itulah usaha untuk mengamankan lembaga jaminan ini berkembang sesuai dengan harapan masing-masing pihak perlulah adanya ketentuan-ketentuan hak tanggungan yang tegas, mandiri dan konsisten yang dapat mengukur terutama hak tanggungan bila tanah diaktifkan sebagi jaminan yang akan dimasukkan dalam lalu lintas perdagangan. Hak tanggungan atas tanah ini sudah sering dikemukakan dalam lembaga pertemuan-pertemuan ilmiah baik yang bersifat nasional maupun bersifat lokal. Akan 54
Lihat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Universitas Sumatera Utara
56 tetapi bila dua konsepsi dan atau sistem yang diangkatkan berbeda pandangan dan didiskusikan dalam suatu forum tentu kita dapat menimbang-nimbang dengan alasan ilmiah, agar apa yang dikemukakan dapat diterapkan penggunaannya dalam praktek kehidupan sehari-hari, baik di perusahaan yang terlibat langsung dalam pemberian kredit dengan jaminan hak atas tanah pada khususnya. Hak tanggungan atas tanah ini menjelaskan dengan tegas bahwa hak atas tanahlah yang dijadikan objek jaminan tersebut. Akan tetapi karena hak atas tanah tersebut merupakan atau tunduk pada hukum benda yang dahulu diatur dalam buku II KUH Perdata, maka dijumpailah sebagian ahli menyebut bahwa hukum jaminan ini harus diatur dan dilindungi oleh hukum perdata itu sendiri sehingga kalaupun berkembang harus dikembangkan dalam lingkup hukum perdata juga. Di samping itu yang namanya tanah dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria tentunya tidak bisa dipungkiri kalau objek jaminan yang berupa tanah harus pula di kembangkan menurut ketentuan yang disebutkan dalam hukum agraria itu sendiri.55 Kemudian kondisi hukum jaminan sejak diundangkannya Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 bukan saja mempengaruhi hukum jaminan yang pernah dikenal dan berlaku di Indonesia, namun di samping itu juga akan ikut terpengaruh bagaimana dunia ekonomi luar ingin menanamkan investasinya khususnya yang berkaitan dengan dunia industri yang mengivestasikan modalnya berhubungan dengan hak-hak atas tanah, sebagaimana kebiasaan dalam menjaminkan hak atas tanah yang sering disebut mortgages baik atas tanah landleaseholds maupun atas tanah yang disebut freeholds.
55
Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 55.
Universitas Sumatera Utara
57 Memang hak jaminan yang pernah dikenal dalam KUH Perdata (Buku II BW) sejak lahirnya UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) telah mengalami penafsiran dalam pemberlakuannya. Di samping itu disebut berlakunya jalan terus (tidak dicabut) oleh Undang-Undang Pokok Agraria untuk objek tertentu. Tetapi jika berlaku sebagai yang sifatnya sementara artinya berlakunya hukum jaminan yang disebut dalam BW (Hipotheek dan Gadai) masih berlaku tapi disesuaikan dengan kondisi UUPA, sementara dalam UUPA ketentuan-ketentuan hukum jaminan dinyatakan secara tegas yang diatur oleh hukum tanah baik objeknya maupun subjek dari hukum jaminan itu sendiri. Sungguhpun objek dan subjeknya hanya terbatas pada ketentuan atas tanah tertentu sebagaimana tersebut, namun dengan ketegasan apa yang disebut dalam Pasal 51 dan 57 UUPA harus ditafsirkan bahwa hak tanggungan ini masih dualisme, bahkan sampai pada tahun 1996 masih disebut pluralisme dengan adanya Undang-Undang Rumah Susun, yaitu UU No. 16 Tahun 1992, yang secara parsial ada menyinggung tentang hukum jaminan (hipotheek, Credit Verband dan Fiducia).56 Kondisi ini tentu sangat berpengaruh besar terhadap keberadaan Undang-Undang Hak Tanggungan itu sendiri yang hingga sekarang pandangan akan eksistensi dan kondisi undang-undang ini tetap mendasari uraian yang dikemukakan oleh para ahli-ahli hukum tersebut. Permasalahan yang banyak dihadapi oleh pihak bank sering terungkap masih berkisar pada surat kuasa membebankan hak tanggungan, pengikatan tanah yang belum bersertifikat, pengikatan hak-hak atas bangunan yang dinilai dapat diikat dengan hak tanggungan dan eksekusi hak tanggungan bila sampai ke pengadilan. Memang di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, kalau saja disimak secara baik, apa yang jadi
56
Boedi Harsono, Masalah Hipotek dan Creditverband, Yogyakarta, Kertas Kerja Pada Seminar Hipotik dan Lembaga Jaminan Lainnya di Yogyakarta, 1977, hal. 83-84
Universitas Sumatera Utara
58 permasalahan tersebut sudah cukup mengatur, namun oleh Mariam Darus undang-undang ini masih dinilai sebagai undang-undang yang keluar dari sistem “Di dalam pengaturan hukum jaminan dengan kegiatan-kegiatannya itu terdapat tumpang tindih, sehingga tidak harmonis, misalnya saja soal istilah”, pendapat ini memang beralasan karena hukum jaminan itu mengandung aspek-aspek keperdataan. Permasalahan hukum keperdataan harus taat asas dan benar kita ikuti, karena tanah yang dijadikan sebagai objeknya adalah merupakan benda yang masih diatur dalam KUH Perdata. Menurut Mariam Darus Badrulzaman : Seyogyanya sebelum Undang-Undang Hak Tanggungan disusun terlebih dahulu disusun Undang-Undang Hak Milik, undang-undang hak jaminan baru diikat dengan undang-undang hak tanggungan satu-satunya jaminan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, karena fidusia masih berlaku untuk undang-undang perumahan dan pemukiman, disini asas konsistensi tidak diperhatikan.57 Boleh jadi memang seperti ini, namun di samping itu juga tidak boleh dilupakan bahwa undang-undang atau peraturan yang baru akan dapat mengenyampingkan peraturan lama dan peraturan umum akan selalu dikesampingkan oleh pengaturan khusus, sehingga asas ini juga harus dapat diterima manakala dianggap peraturan tersebut sudah menyimpang dari sistem perundang-undangan. Menurut A.P. Parlindungan bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan ini (UU No. 4 Tahun 1996) bahwa : Peraturan diakuinya apa yang diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan merupakan suatu kemajuan karena selama 35 tahun kondisi hukum jaminan berada dalam situasi yang tidak menentu. Sebab ada sudah beberapa undangundang yang sudah menyebut tentang hipotek dan fidusia seperti disebut dalam undang-undang rumah susun, undang-undang perumahan dan pemukiman serta adanya beberapa peraturan pemerintah yang secara administratif mengatur
57
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional Indonesia, Jakarta, Akademika Pressindo, 1988, hal. 77-85.
Universitas Sumatera Utara
59 prosedur pengikatan tanah yang dijadikan objek hak tanggungan (PP Nomor 10 Tahun 1961) telah dicabut dengan PPNomor 24 Tahun 1997).58 Akibat adanya undang-undang ini, maka dalam sikap dan pandangan yang uniform dari hak tanggungan tersebut harus diakui biarpun secara tertulis tidak tersebut namun harus dianggap terhapus dan tidak berlaku lagi. Sebagai konsekuensi logis bila produk hukum yang ada sebelum berlakunya undang-undang hak tanggungan ini masih dianggap ada, maka kekacauan yang pernah ada itu akan tidak berakhir dan kiranya hal ini tidak mungkin akan menciptakan suasana yang sangat menguntungkan dalam dunia perdagangan. Dengan bersikap tegas dan konsekuen atas berbagai peraturan yang bertentangan dengan undang-undang hak tanggungan sebagai suatu aturan yang tidak berlaku lagi maka berarti sudah tercipta suatu tertib hukum. 2. Pemberi dan Penerima Hak Tanggungan a.
Pemberi Hak Tanggungan Menurut ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberi hak
tanggungan bisa orang per orangan, bisa juga badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap benda yang dijadikan objek haktanggungan. Umumnya pemberi hak tanggungan adalah debitur sendiri.59 Tetapi dimungkinkan juga pihak lain, jika benda yang dijadikan jaminan bukan milik debitur. Bisa juga debitur dan pihak lain, jika yang dijadikan jaminan lebih dari satu, masingmasing kepunyaan debitur dan pihak lain atau bersama juga mungkin bangunan milik suatu perseroan terbatas sedang tanah milik direkturnya.
58 59
Ibid Mgs. Edy Putra Tje Aman, Loc Cit, hal 35.
Universitas Sumatera Utara
60 Dalam Pasal 8 ayat (2), demikian juga dalam penjelasannya, ditentukan bahwa kewenangan pemberi hak tanggungan itu harus ada dan terbukti benar pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan, yaitu pada tanggal dibuatnya buku tanah hak tanggungan yang bersangkutan yang menentukan saat diterbitkannya hak tanggungan yang dibebankan. Tetapi sebenarnya kewenangan itu juga harus sudah ada pada waktu diberikan hak tanggungan dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), biarpun tidak selalu wajib dibuktikan dengan sertifikat hak atas tanah yang dijadikan jaminan, jikalau tanah tersebut memang belum terdaftar. Kalau tanah yang belum didaftar kewenangan pemberi hak tanggungan dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti lain, misalnya surat keterangan waris atau akta pemindahan hak yang dapat memberikan keyakinan kepada PPAT yang membuat APHTnya, bahwa pemberi hak tanggungan memang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan. Sudah barang tentu menerima jaminan tanah dalam keadaan belum terdaftar, lebih-lebih kalau diperoleh pemberi hak tanggungan melalui pemindahan hak, mengandung risiko, yang harus dipertimbangkan dengan seksama oleh pemberi kredit. Alat-alat bukti yang digunakan oleh PPAT dan wajib diserahkannya kemudian kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran hak tanggungan yang bersangkutan, disebut secara rinci dalam peraturan menteri negara agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1997. Adapun alat bukti yang dimaksudkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, apabila yang dijadikan objek hak tanggungan :
Universitas Sumatera Utara
61 1.
Berupa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang sudah terdaftar atas nama pemberi hak tanggungan; sertifikat asli hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang menjadi objek hak tanggungan.
2.
Berupa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang sudah terdaftar tetapi belum atas nama pemberi hak tanggungan, yang diperoleh pemberi hak tanggungan karena peralihan hak melalui pewarisan atau pemindahan hak; sertifikat asli hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang menjadi objek hak tanggungan disertai dokumen-dikumen asli yang membuktikan beralihnya hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan kepada pemeri hak tanggungan.
3.
Berupa sebagian atau hasil pemecahan dari hak atas tanah induk yang sudah terdaftar dalam suatu usaha real estate, kawasan industri atau Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang diperoleh pemberi hak tanggungan melalui pemindahan hak; sertifikat asli hak atas tanah yang akan dipecah (sertifikat induk) disertai akta jual beli asli mengenai hak atas bidang tanah tersebut dari pemegang hak atas tanah induk kepada pemberi hak tanggungan.
4.
Berupa hak atas tanah bekas hak milik adat yang belum terdaftar. Peralihan hak melalui pewarisan terjadi karena hukum, sedang dengan
dilakukannya perbuatan hukum pemindahan hak, seperti jual beli, tukar menukar, hibah oleh pemegang haknya, dalam hukum tanah nasional kita hak atas tanah yang bersangkutan beralih kepada pemberi hak tanggungan. Maka dalam keadaan di atas pada waktu dibuatnya APHT. b.
Penerima/pemegang Hak Tanggungan
Universitas Sumatera Utara
62 Tidak ada persyaratan khusus bagi penerima/pemegang hak tanggungan. Ia bisa orang perorangan, bisa badan hukum. Bisa orang asing, bisa juga badan hukum asing, baik yang berkedudukan di Indonesia ataupun di luar negeri, sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 9 dan penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUHT.60 Setelah dibuatnya APHT kreditor berkedudukan sebagai penerima hak tanggungan. Setelah dilakukan pembukuan hak tanggungan yang bersangkutan dalam buku tanah hak tanggungan. Penerima hak tanggungan menjadi pemegang hak tanggungan. 3. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan a.
Kemungkinan pemberian kuasa Pada asasnya pemberian hak tanggungan wajib dihadiri dan dilakukan sendiri oleh
pemberi hak tanggungan sebagai pihakyang berwenang melakukan perbuatan hukum membebankan hak tanggungan atas objek yang dijadikan jaminan. Hanya apabila benarbenar diperlukan dan berhalangan, kehadirannya untuk memberikan hak tanggungan dan menandatangani APHT-nya dapat dikuasakan kepada pihak lain. b.
Proses pemberian kuasa Pemberian kuasa tersebut dilakukan di hadapan Notaris atau PPAT, dengan suatu
akta otentik yang disebut Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Bentuk dan isi SKMHT ditetapkan dengan peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1996, formulirnya disediakan di kantor Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1996.
60
Ketentuan ini sejalan dengan tujuan diterbitkannya Undang-Undang Hak tanggungan, sebaiamana dinyatakan dalam konsiderans dan penjelasan umum. Yaitu, bahwa dengan bertambah meningkatnya pembangunan nasional dibutuhkan penyediaan dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan, diperlukan adanya lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu .
Universitas Sumatera Utara
63 SKMHT dibuat oleh notaris atau PPAT yang bersangkutan dalam dua rangkap. Semuanya asli (in originali), ditandatangani oleh pemberi kuasa, penerima kuasa, 2 orang saksi dan notaris atau PPAT yang bersangkutan. Lembar lainnya diberikan kepada penerima kuasa untuk keperluan pemberian Hak Tanggungan dan pembuatan APHT-nya. Pembuatan APHT oleh PPAT atas dasar surat kuasa yang bukan merupakan SKMHT in originali yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, meruakan cacat hukum dalam proses pembebanan hak tanggungan. Biarpun telah dilaksanakan pendaftarannya, keabsahan hak tanggungan yang bersangkutan tetap terbuka kemungkinan untuk digugat oleh pihak-pihak yang dirugikan. Kreditur yang dirugikan dapat menuntut ganti kerugian kepada PPAT dan notaris yang bersangkutan. Setiap tanah yang sudah menjadi objek hak tanggungan kedudukannya menjadi milik debitur dan kreditur secara bersama-sama, dan kreditur mempunyai prioritas pertama untuk menjadi pemilik jika debitur wanprestasi dalam memenuhi kewajibannya terhadap pembayaran hutangnya tersebut.61
C. Hapusnya Hak Tanggungan 1.
Sebab-sebab hapusnya Hak Tanggungan Hal-hal yang menyebabkan hapusnya hak tanggungan ditentukan dalam Pasal 18
ayat (1) UUHT. Menurut Pasal 18 ayat UUHT tersebut. Hak tanggungan hapus karena hal sebagai berikut :
a.
Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan 61
Hasil wawancara dengan Rudi Aroha Aroha Sitepu, SH, Notaris di kota Medan, tanggal 15
Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
64 b.
Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan
c.
Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebaskan hak tanggungan Ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUHT tersebut dapat diketahui bahwa hak tanggungan dapat sengaja dihapuskan dan dapat pula hapus karena hukum. Hak tanggungan dapat dihapuskan karena dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan karena dilakukan pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri. Sedangkan hak tanggungan dapat hapus karena hukum karena hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan an karena hapusnya hak atas tanah yang dibebankan hak tanggungan. Karena hak tanggungan merupakan jaminan hutang yang pembebanannya adalah untuk kepentingan kreditur (pemegang hak tanggungan), maka hak tanggungan hanya dapat dihapuskan oleh kreditur (pemegang hak tanggungan) sendiri. Sedangkan pemberi hak tanggungan tidak mungkin dapat membebaskan hak tanggungan itu. Sesuai dengan sifat hak tanggungan yang accessoir, adanya hak tanggungan bergantung kepada adanya piutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan itu. Oleh karena itu, apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau karena sebab-sebab hak tanggungan yang bersangkutan hapus juga. Hapusnya hak tanggungan karena pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri adalah berkaitan dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela, dapat meminta kepada pemegang hak tanggungan agar
Universitas Sumatera Utara
65 benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban hak tanggungan yang melebihi harga pembelian. Apabila objek hak tanggungan dibebani lebih dari satu hak tanggungan dan tidak terdapat kesepakatan diantara pemegang hak tanggungan tersebut mengenai pembersihan objek hak tanggungan dari beban yang melebihi harga pembeliannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (1) UUHT itu. Dalam hal demikian, menurut Pasal 19 ayat (3) UUHT, pembeli benda tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek hak tanggungan yang bersangkutan untuk menerapkan pembersihan itu dam sekaligus menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang diantara para yang berpiutang dan peringkat mereka menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, menurut Pasal 19 ayat (4) UUHT, permohonan pembersihan hak tanggungan dari hak tanggungan yang membebaninya sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (3) UUHT tersebut, tidak dapat dilakukan oleh pembeli benda tersebut apabila pembelian atas benda itu dijual dengan jual beli sukarela (dilakukan berdasarkan jual beli sukarela antara pembeli dan pembeli hak tanggungan, yaitu pemilik objek hak tanggungan) dan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan para pihak telah dengan tegas dengan memperjanjikan bahwa objek hak tanggungan tidak akan dibersihkan dari beban hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f UUHT. Mengenai hak dimaksudkan dengan janji untuk tidak membersihkan hak tanggungan sebagai mana dimaksud dalam pasal 11 ayat (2) huruf f UUHT tersebut. Sekalipun tidak tentukan secara eksplisit di dalam UUHT mengenai apa yang dapat ditempuh oleh pembeli apabila pemegang hak tanggungan dalam hal hanya ada
Universitas Sumatera Utara
66 satu hak tanggungan yang dibebankan atas objek hak tanggungan ternyata tidak bersedia memberikan persetujuan (memberikan surat persetujuan) agar benda yang dibeli oleh pembeli itu dibersihkan dari segala beban hak tanggungan yang melebihi hak pembelian.62 Karena itu, sejalan dengan asas yang ditentukan dalam pasal 19 ayat (3) UUHT, pembeli dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi hak tanggungan itu (pelelangan hukum ini tidak ada pembelinya). Siapa yang akan ikut menjadi pembeli dari pelelangan umum mengingat sudah menjadi kenyataan di dalam praktik, bahwa harga penjual pelelangan umum sering tidak dapat terjadi pada nilai harga pasar dari objek hak tanggungan itu. Pembeli lelang selalu ingin memperoleh kesempatan membeli dengan harga murah (di bawah harga pasar). Mengenai hapusnya hak tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebankan hak tanggungan adalah logis, karena keberadaan suatu hak tanggungan hanya mungkin bila telah atau masih ada objek yang dibebani dengan hak tanggungan itu.63 Objek dari hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang berupa hak milik, hakguna usaha, hak guna bangunan dan hak bangunan dan hak pakai atas tanah negara. Karena itu, hak tanggungan akan hapus apabila hak-hak atas tanah itu hapus atau berakhir. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hak tanggungan dapat dengan sengaja di hapuskan, baik atas kehendak dari pemegang hak tanggungan itu sendiri maupun karena pembersihan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Hapusnya hak tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis
62
St. Remy Syahdeni, Hak Tanggungan, Asas-Asas dan Permasalahan Yang Dihadapi Perbankan, (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung, Alumni, 1999, hal. 146. 63 Ibid
Universitas Sumatera Utara
67 mengenai dilepaskannya. Hak tanggungan tersebut oleh pemegang hak tanggungan kepada pemberian hak tanggungan (Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan. 2.
Pencoretan Hak Tanggungan Pencoretan pendaftaran hak tanggungan adalah suatu perbuatan perdata yang
mengikuti hak tanggungan. Dalam rumusan Pasal 22 ayat (1) UUHT jelas dikatakan: “Setelah hak tanggungan hapus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Kantor Pertahanan mencoret catatan hak tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya.”64 Pencoretan pendaftaran hak tanggungan dapat dilakukan dengan atau tanpa pengembalian sertifikat hak tanggungan telah dikeluarkan.65 Dalam hal sertifikat hak tanggungan tidak dikembalikan, maka hal tersebut tersebut harus dicatat dalam Buku Tanah Hak Tanggungan. Ini berarti sejalan dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUHT, yaitu bahwa : “Dengan hapusnya hak tanggungan, sertifikat hak tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertahanan.” Percoretan hak tanggungan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemberian hak tanggungan yang di berikan olehnya hapus, menurut ketentuan Pasal 18 UUHT. Untuk keperluan pencoretan hak tanggungan tersebut, pemberian hak tanggungan telah hapus hak tanggungannya, diperbolehkan untuk mempergunakan semua sarana hukum yang diperbolehkan, termasuk permohonan perintah coretan Ketua Pengadilan Negeri dan karenanya juga mempergunakan semua alat bukti yang diperkenankan yang dapat membuktikan telah hapusnya hak tanggungan tersebut.
64 65
Lihat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Kartini Muljadi dan Widjaja, Hak Tanggungan, Jakarta, Kencana, 2005, hal. 273
Universitas Sumatera Utara
68 D. Perjanjian Kredit Bank 1. Kredit Bank Kredit pada awal perkembangannya mengarahkan fungsinya untuk merangsang kedua belah pihak untuk tujuan pencapaian kebutuhan baik dalam bidang usaha maupun kebutuhan sehari-hari.66 Pihak yang mendapatkan kredit harus dapat menunjukkan prestasi yang lebih tinggi pada kemajuan usaha tersebut. Sedangkan bagi pihak yang memberikan kredit (kreditur), secara material kreditur harus mendapatkan rentabilitas berdasarkan perhitungan yang wajar dari modal yang dijadikan objek kredit dan secara spritual mendapatkan kepuasan karena dapat membantu pihak lain untuk mencapai kemajuan. Perjanjian kredit merupakan perjanjian yang dilakukan oleh bank sebagai kreditur dan nasabah sebagai pihak debitur. Perjanjian kredit menurut hukum perdata Indonesia adalah : “Suatu bentuk perjanjian pinjam meminjam”.67 Dalam melaksanakan perjanjian kredit, maka harus diketahui pihak-pihak yang akan melaksanakan perjanjian kredit. Pihak-pihak yang dimaksud dalam perjanjian kredit adalah “Pihak yang menerima kredit dari bank atau yang disebut dengan Debitur”.68 Selanjutnya tentang subjek hukum dalam perjanjian kredit yang dijelaskan sebagai berikut :69 a.
Perorangan dan perusahaan perseorangan
66
Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata, Buku Satu, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006, hal. 69. 67 M. Tohar, Permodalan dan Perkreditan Koperasi, Yogyakarta, Kanisius, 2000, hal. 138. 68 Hasanuddin Rachman, Op Cit, hal. 15. 69 Ibid
Universitas Sumatera Utara
69 Perorangan adalah setiap orang yang melakukan perbuatan hukum bertindak dan atas nama dirinya sendiri, sedangkan perusahaan perseorangan dalam melakukan perbuatan hukum ia diwakili oleh pemiliknya yang hanya seorang bertindak baik untuk dan atas nama dirinya sendiri juga dan atas nama perusahaannya. Apabila calon debiturnya perorangan, maka harus diingat oleh hukum ada beberapa golongan orang yang telah dinyatakan tidak cakap untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan hukum (Pasal 1330 KUH Perdata) termasuk melakukan perjanjian hutang piutang tentunya. b.
Perusahaan Perseorangan Perusahaan perseorangan adalah perusahaan yang didirikan dan dimiliki oleh hanya seorang pengusaha, yang sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang diatur tentang tata cara pendirinya. Begitupun bentuk perusahaan perseorangan ini secara resmi tidak ada, namun secara umum dalam masyarakat perdagangan ada suatu bentuk perusahaan perseorangan yang tampaknya telah diterima oleh masyarakat umumnya yaitu Usaha Dagang (UD) atau Perusahaan Dagang (PD).
c.
Badan Usaha dan Badan Hukum Badan hukum yang dimaksud adalah yang lazim disebut perusahaan, baik oleh para pakar, sarjana hukum maupun istilah yang dipakai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Badan usaha adalah suatu badan yang menjalankan usaha/kegiatan perusahaan,
sedangkan perusahaan, pengertiannya lebih condong kepada jenis usaha/kegiatan dari suatu badan usaha. Singkatnya, badan usaha adalah institusi sedangkan perusahaan adalah aktivitasnya. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perusahaan mempunyai bentuk
Universitas Sumatera Utara
70 hukum yang diakui oleh undang-undang, yang sekaligus menunjukkan legalitas perusahaan itu sebagaimana suatu badan usaha. Dengan alasan itulah lebih condong digunakan istilah badan usaha. Menurut Abdul Kadir Muhammad istilah perusahaan mengacu kepada badan usaha dan perbuatan badan usaha menjalankan usahanya. Perbuatan badan usaha itu meliputi perbuatan ekonomi yang bersifat komersial, yaitu bertujuan memperoleh keuntungan atau laba. Perbuatan ekonomi terdiri dari kegiatan bidang perdagangan. Pelayanan dan industri, jadi dalam istilah perusahaan itu tersimpul dua hal, yaitu mengenai badan usaha dan kegiatan badan usaha.70 Badan usaha yang menjalankan kegiatan dalam kegiatan ekonomi itu mempunyai bentuk tertentu, seperti perusahaan dagang, firma, persekutuan komanditer, perseroan terbatas, perusahaan umum dan koperasi. Hal ini dapat diketahui melalui izin usaha seperti pada perusahaan perseorangan. Dari aspek hukumnya, badan usaha itu sendiri dibagi 2 (dua) : 1. badan usaha yang berbadan hukum dan 2. badan usaha yang tidak berbadan hukum71. Masing-masing badan usaha ini mempunyai bentuk hukum tertentu, yang terbagi atas badan usaha baik berbadan hukum maupun tidak yang selama ini lazim dan paling banyak menjadi debitur dari pihak bank. Sistematika investigasi kredit
dalam pelaksanaannya mencakup beberapa
informasi pokok untuk pengambilan suatu keputuan, dalam pertanyaan yang harus diajukan calon debitur maka harus dianut suatu kerangka berpikir yang meliputi antara lain untuk mendapatkan nasabah yang benar-benar menguntungkan harus dilakukan analisis. Dalam penilaian pemberian kredit perbankan terdapat sistem penilaian yang
70
Abdul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Pertanggungan, (Bandung : Cirta Aditya Bakti, 1994, hal. 76. 71 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
71 dikenal dengan istilah prinsip. Prinsip-prinsip yang biasa dijadikan acuan dalam analisis itu adalah : “Prinsip 5 C’S, Prinsip 5 P, Prinsip 3 R”.72 Prinsip 5 C’S terdiri atas watak (character), modal (capital), kemampuan (capacity), kondisi ekonomi (condition of economoc) dan jaminan (collateral). Dalam penilaian melalui the five C’s dapat terlihat bahwa keyakinan bank terhadap calon debitur terlebih dahulu diteliti dari segala aspek, setelah bank merasa yakin bahwa calon debitur akan mampu, baru kredit disetujui dan perjanjian kreditpun dibuat. Berdasarkan penilaian terhadap faktor-faktor yang meyakinkan bank tersebut, bank dimungkinkan untuk memberikan kredit tanpa meminta jaminan secara fisik atau jaminan materiil yaitu dengan melihat dan yakin akan bonafiditas dan prospek usaha calon debitur, yaitu dalam praktek perbankan disebut sebagai jaminan pokok. Dalam hal ini bank dimungkinkan memberikan kredit yang biasa dikenal sebagai kredit tanpa jaminan secara fisik (uncusered loans).73 Dalam menganalisis juga terdapa apa yang dikenal sebagai prinsip 5 P, yaitu : 1. Party Disini dilakukan penggolongan calon-calon peminjam (calon debitur), yang dibagi dalam beberapa golongan berdasarkan character, capacity dan capital. 2. Purpose Analisis tentang tujuan penggunaan kredit yang telah disampaikan oleh calon debitur. Disin bank perlu tahu apakah kredit yang dimohon oleh calon debitur akan mempunyai dampak yang positif secara ekonomis dan sosiak. 3. Payment Sumber pembayaran dari calon debitur. Apabila rencana penggunaan kredit itu tergolong yang dapat memberikan dampak positif secara ekonomis dan sosial, akan dpat diperkirakan bahwa calon debitur itu akan mampu memperoleh pendapatan dalam jumlah yang diperkirakan akan cukup untuk mengembalikan kredit disertai bunganya. Penilaian ini berlaku untuk kredit yang produktif maupun yang konsumtif. Jadi analisis kemampuan membayar harus tetap diperhitungkan dalam analisis. 4. Profitability 72
Muhammad Jumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003, hal.
80. 73
Muhammad Jumhana., Op cit., hal. 80-90
Universitas Sumatera Utara
72 Yaitu penilaian terhadap kemampuan calon debitur untuk memperoleh keuntungan dalam usahanya. 5. Protection Ini merupakan analisis terhadap sarana perlindungan terhadap kreditur. Disini dianalisis tentang cukup tidaknya jaminan yang diberikan oleh calon debitur sebagai upaya pengamanan.74 Sedangkan prinsip 3 R terdiri atas : 1. Returns Disini dilakuikan penilaian terhadap hasil usaha yang akan dapat dicapai oleh calon debitur. Terhadap hasil yang akan dapat dicapai oleh debitur ini dianalisis atas kemungkinan pengembalian kredit beserta bunganya. 2. Repayment Disebut juga pembayaran kembali, kemampuan debitur untuk mengembalikan kredit harus sudah dapat diperkirakan oleh pihak analis. 3. Risk bearing ability Disini dianalisis tentang kemampuan calon debitur untuk menanggung risiko. Ini dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya kegagalan pada usaha calon debitur, disini dinilai juga kemampuan debitur untuk menutup kemungkinan terjadinya kerugian yang mungkin terjadi karena hal-hal yang tidak dapat diperkirakan semula.75 Setelah melewati tahapan tersebut, bank masuk analisis kredit. Dalam hal ini akan diketahui apakah permohonan kredit dapat dipertimbangkan atau tidak. Segala berkas maupun formulir-formulir mengenai permohonan kredit beserta lampiran-lampiran atau dokumen-dokumen harus dilakukan secara rahasia.
2.
Jenis-jenis Kredit Kredit khususnya kredit perbankan terdiri dari beberapa jenis. Dalam hal ini jenis
kredit yang ada digariskan sesuai dengan tujuan pembangunan. Semula kredit berdasarkan kepercayaan murni yaitu berbentuk perorangan karena kedua belah pihak saling mengenal. Dengan perkembangan waktu, maka perkreditan perorangan semakin
74 75
Muhammad Jumhana., Op cit., hal 95. Ibid, hal. 134.
Universitas Sumatera Utara
73 mengecil perannya digantikan oleh peran kredit dari lembaga keuangan. Dalam sektor perkreditan perbankan ini akhirnya berkembang pula unsur-unsur lain yang menjadi landasan kegiatan perkreditan tersebut, sehingga selanjutnya berkembang berbagai jenis kredit seperti yang ada sekarang. Jenis kredit perbankan dpat dibedakan dengan mengacu kepada kriteria tertentu. Pengklasifikasian jenis-jenis kredit tersebut bermula dari klasifikasi yang dijalankan oleh perbankan dalam rangka mengontrol portofolio kredit secara efektif. Dari kegiatan pengklasifikasian tersebut, maka saat ini dikenal jenis-jenis kredit yang didasarkan pada : 76
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kelembagaannya; Jangka waktunya; Penggunaan kredit Kelengkapan dan keterkaitan dengan dokumen yang dibutuhkan; Aktifitas perputaran usaha; Jaminannya; Atau dari berbagai krediteria lainnya.
Pengelompokan kredit dengan melihat jenisnya tersebut tidaklah merupakan suatu yang
kaku,
pengelompokan
tersebut
hanyalah
untuk
mempermudah
dalam
penatalaksanaannya, karena pada dasarnya kredit tersebut mempunyai suatu kesamaan yang asasi, maksudnya satu jenis kredit dapat saja dimasukkan dalam beberapa pengklasifikasian, misalnya kredit investasi termasuk jenis kredit produktif tetapi juga dapat dimasukkan jenis kredit menengah atau kredit jangka panjang apabila dilihat dari jangka waktunya. a. Jenis kredit menurut kelembagaan77
76 77
Ibid, hal. 373-383 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
74 Pengelompokan dengan kriteria kelembagaannya, berarti terkait sebagai pihak pemberi dan pihak penerima kredit terutama menyangkut struktur kelembagaan pelaksana kredit itu sendiri. Adapun jenis kredit dengan menurut kriteria kelembagaan, terdiri dari : Kredit perbankan yang diberikan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau bank swasta kepada masyarakat untuk kegiatan usaha dan atau konsumtif. Kredit ini diberikan kepada dunia usaha untuk ikut membiayai sebagian kebutuhan permodalan dan atau kepada individu untuk membiayai pembelian kebutuhan hidup yang berupa barang maupun jasa. 1) Kredit likuidasi, yaitu kredit yang diberikan oleh bank sentral kepada bank-bank yang beroperasi di Indonesia, yang selanjutnya digunakan sebagai dana untuk mebiayai kegiatan pengkreditannya. Pelaksanaan kredit ini, merupakan operasi Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan tugasnya yang diemban sebagai bank sentral menurut ketentuan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yaitu bahwa pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada bank (bank likuiditas) dimaksudkan hanya dilakukan untuk mengatasi kesulitan bank karena adanya ketidaksesuaian antara arus dana masuk yang lebih kecil dibandngkan arus dana keluar. 2) Kredit langsung. Kredit ini diberikan oleh Bank Indonesia kepada lembaga pemerintah atau semi pemerintah (kredit program), misalnya Bank Indonesia memberikan kredit langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaan program pengadaan pangan atau pemberian kredit langsung kepada Pertamina atau pihak ketiga lainnya. Namun berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
Universitas Sumatera Utara
75 1999 tentang Bank Indonesia, tidak dapat dilakukan lagi sebagaimana disebut dalam Pasal 56 ayat (1) yaitu Bank Indonesia dilarang memberikan kredit kepada pemerintah. Apabila terjadi suatu perjanjian pemberian kredit Bank Indonesia kepada pemerintah, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. 3) Kredit (pinjaman antar bank), kredit ini diberikan oleh bank yang kelebihan dana kepada bank yang kekurangan dana. Peminjaman modal ini merupakan sarana yang paling gampang dilakukan oleh bank yang memerlukan tambahan dana baik dalam keadaan darurat maupun dalam keadaan biasa dalam arti sekedar memerlukan dana untuk dapat diputar kembali. Pinjam-meminjam dana antar bank merupakan tranksasi umum dan biasa dilakukan setiap hari kerja bank, baik antar bank di dalam negeri maupun antar bank luar negeri yang semuanya berdasarkan mekanisme pasar uang (money market). Dalam prakteknya pinjaman antar bank tidak terikat hanya dengan bank di dalam negeri saja, melainkan juga dapat terkait dengan antar bank luar negeri. Dalam pembahasan pengelompokan jenis kredit berdasarkan kelembagaannya, selain itu terdapat bentuk kredit sindikasi, juga dikenal pula kredit konsorsium. Secara garis besarnya bentuk tersebut mempunyai arti yang sama yaitu pembiayaan secara bersama-sama berdasarkan perjanjian tertentu memberikan kredit kepada debitur. Pemberian kredit kepada usaha kecil dapat pula terkait kelembagaan yang berupa joint financing (pembiayaan bersama) atau penerusan kredit (channeling). Dengan demikian, maka dalam pemberian kredit seperti itu paling tidak ada dua perjanjian, yaitu satu perjanjian kredit antara bank sebagai lembaga sumber dana dan kedua perjanjian antar bank sebagai pemberi dana (kreditur) dengan perusahaan (debitur).
Universitas Sumatera Utara
76 b. Jenis kredit menurut jangka waktu78 Dari segi jangka waktunya, jenis kredit meliputi : 1) Kredit jangka pendek (short term loan), yaitu kredit yang berjangka waktu maksimum 1 (satu) tahun. Bentuknya dapat berupa kredit rekening koran, kredit penjualan, kredit pembeli dan kredit wessel, juga dapat berbentuk kredit modal kerja yaitu kredit untuk membiayai kebutuhan modal kerja usaha. 2) Kredit jangka menengah (medium term loan), yaitu kredit berjangka waktu antara 1 (satu) tahun sampai 3 (tiga) tahun, bentuknya dapat berupa investasi jangka menengah. 3) Kredit jangka panjang yaitu kredit berjangka waktu lebih dari 3 (tiga) tahun. Biasanya jangka waktu pengembalian kredit ini antara 3 sampai 5 tahun. Kredit jangka panjang ini pada umumnya yaitu kredit investasi bertujuan menambah modal perusahaan dalam rangka untuk melakukan rehabilitasi, ekspansi dan pendirian proyek baru. c.
Jenis kredit menurut penggunaannya Dari segi tujuan penggunaan kredit, jenis kredit ini terdiri dari ;79 1) Kredit konsumtif yaitu kredit yang diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta
kepada perseorangan untuk mebiayai keperluan konsumsinya seperti
kebutuhan sehari-hari. Kredit konsumtif digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Dalam kredit ini tidak ada pertambahan barang dan jasa yang dihasilkan karena memang untuk digunakan atau dipakai oleh seseorang atau badan usaha. 2) Kredit produktif baik kredit investasi maupun kredit ekspansi. 78 79
Ibid. Kasmis, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 110.
Universitas Sumatera Utara
77 Kredit investasi yaitu kredit yang ditujukan untuk penggunaan sebagian pembiayaan modal tetap, yaitu peralatan produksi, gudang dan mesin-mesin, juga untuk mebiaya rehablitasi dan ekspansi, relokasi proyek atau pendirian proyek baru. Perpaduan antara kredit konsumtif dan kredit produktif disebut kredit semi konsumtif dan semi produktif. Gabungan dari jenis kredit dari segi penggunaannya tidak memberikan batasan yang jelas dan tegas.
Universitas Sumatera Utara