14
BAB II KAJIAN TEORI TENTANG STRUKTUR PASAR DAN ESSENTIAL FACILITIES DOCTRINE
A.
Struktur Pasar Secara umum hukum persaingan mengartikan istilah pasar sebagai suatu
institusi yang pada umumnya tidak berwujud secara fisik yang mempertemukan satuan-satuan ekonomi individual terkait kepentingan terhadap suatu komoditas baik barang maupun jasa. 15 Interaksi yang dilakukan oleh satuan-satuan ekonomi individual tersebut secara lebih konkret dilakukan oleh penjual dan pembeli untuk menentukan harga suatu komoditas (barang atau jasa) dan jumlah komoditas yang ditransaksikan. Sedangkan struktur pasar sendiri dipahami sebagai keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang aspek-aspek yang memiliki pengaruh penting terhadap perilaku usaha dan kinerja pasar antara lain mengenai jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar, keragaman produk, sistem distribusi, dan penguasaan pangsa pasar. 16 Atas dasar pengertian tersebut maka terdapat hal penting yang harus diketahui yaitu batas-batas dalam pengertian geografis maupun rangkaian komoditas yang dapat dimasukkan ke dalam pasar. Hal tersebut penting dalam rangka mengakuratkan informasi mengenai pasar yang dibutuhkan para pelaku ekonomi karena secara faktual informasi pasar tersebut dapat digunakan oleh manajemen perusahaan untuk mengetahui pihak-pihak yang menjadi pesaing nyata maupun pesaing potensial, untuk keperluan penetapan harga, untuk keperluan penetapan anggaran belanja dan 15
Sugiarto, et al.,Ekonomi MIKRO (Sebuah Kajian Komprehensif), (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.35. 16 Tri Kunawangsih Pracoyo dan Antyo Pracoyo, Aspek Dasar Ekonomi Mikro, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006), hlm. 188.
14
Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
Universitas Indonesia
15
investasi perusahaan. Selain itu dari sisi publik, informasi pasar dapat memberikan masukan bagi regulator dalam menetapkan kebijakan ekonomi secara makro. Berdasarkan sifat dan bentuknya, secara garis besar pasar dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) jenis yaitu: pasar dengan persaingan sempurna dan pasar dengan persaingan tidak sempurna.
1.
Pasar Persaingan Sempurna (perfect competition) Bentuk pasar persaingan sempurna ini memiliki karakteristik atau ciri-ciri
sebagai berikut: 17 a. Terdapat banyak penjual dan pembeli (many seller and many buyers). Meskipun terdapat banyak penjual namun semuanya memiliki ukuran yang sama dengan pangsa pasar sangat kecil jika dibandingkan dengan pangsa pasar keseluruhan karena masing-masing penjual hanya memiliki kontribusi yang sangat kecil di dalam pasar. Akibatnya tidak ada satu perusahaanpun yang dapat mengendalikan harga (price taker). b. Produk yang diperjualbelikan homogen (homogenous product). Karakteristik produk yang homogen mengakibatkan konsumen merasa bahwa komoditas tersebut identik atau sama persis sehingga tidak memiliki perbedaan dalam mengkonsumsi komoditas tersebut. Oleh karena itu, konsumen tidak memiliki preferensi terhadap produk tertentu karena semua produk yang ditawarkan oleh penjual merupakan pengganti yang sempurna (perfect substitute) sehingga masing-masing produk sudah semestinya memiliki nilai atau harga yang sama. c. Tidak ada hambatan masuk dan keluar pasar (free entry free exit). Pelaku usaha dapat dengan mudah untuk memulai atau menutup kegiatan usahanya. Pada saat memulai usahanya, pelaku usaha dapat dengan mudah untuk memperoleh factor-faktor produksi yang penting untuk menjalankan aktifitas
17
George A. Hay, “Market Power in Antitrus”t, Antitrust Law Journal, Volume 60, 1992, hlm. 442.
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
16
usahanya. Di sisi lain, pada saat ingin menutup usahanya pelaku usaha dapat menjual aset yang dimiliki tanpa harus kerugian modal yang besar. Dengan kata lain relatif tidak ada biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk masuk dan keluar pasar dan motifasi untuk masuk dan keluar pasar tergantung kondisi keuntungan yang diperoleh. d. Semua unit ekonomi memiliki pengetahuan yang sempurna (perfect information). Dalam pasar persaingan sempurna, semua pelaku ekonomi memiliki informasi yang sempurna tentang barang yang dijual dan kondisi pasar itu sendiri. Konsumen memiliki pengetahuan mengenai harga, kualitas serta hal lain terkait dengan produk yang akan dibeli dan demikian sebaliknya, penjual juga memiliki pengetahuan mengenai siapa saja perusahaan pesaingnya, sumber daya, biaya produksi serta kondisi yang terjadi di dalam pasar. Bahkan secara ekstrim, dalam pasar persaingan yang benar-benar sempurna sebenarnya tidak ada insentif bagi penjual karena mereka melakukan kegiatan ekonomi dalam kondisi break event point sehingga dalam hal tersebut sangat jelas bahwa kondisi pasar persaingan sempurna memang sangat menguntungkan konsumen.
Pasar persaingan sempurna ini merupakan bentuk pasar yang paling ideal karena dapat merealisasikan kegiatan produksi dengan tingkat efisiensi yang sangat tinggi. Akan tetapi dalam kenyataannya, pasar persaingan sempurna ini merupakan hal yang abstrak dan tidak pernah terjadi sehingga bentuk tersebut hanya digunakan sebagai parameter untuk mengevaluasi bekerjanya sistem ekonomi dalam keadaan yang sebenarnya dimana apakah telah terjadi distorsi dalam pasar ataukah tidak.
2.
Pasar Persaingan Tidak Sempurna (imperfect competition) Pasar persaingan tidak sempurna ini terjadi pada saat suatu pasar memiliki
perusahaan yang mampu mengendalikan harga dan persaingan dalam pasar bersangkutan sehingga kondisi pasar tidak berjalan secara seimbang.
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
17
Secara umum kondisi pasar persaingan tidak sempurna ini memiliki beberapa derajat ketidaksempurnaan dimana pada pokoknya digolongkan sebagai berikut: a. Pasar Persaingan Monopolistik, yaitu suatu kondisi pasar yang memiliki ciri dan karakteristik sebagai berikut: - Terdapat banyak penjual, dimana perusahaan-perusahaan tersebut memiliki ukuran yang relatif sama dan tidak dapat saling mempengaruhi. - Produk yang diperjualbelikan tidak homogen, dimana produk-produk tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan bukan merupakan pengganti yang sempurna (close substitute) sehingga kadang konsumen memiliki preferensi khusus terhadap produk tertentu. - Perusahaan memiliki sedikit kekuasaan untuk mempengaruhi harga, dimana masing-masing perusahaan memiliki kemampuan menaikkan maupun menurunkan harga yang berakibat pada perubahan permintaan meskipun perubahan tersebut tidak signifikan. - Rendahnya hambatan untuk memasuki pasar, dimana satu-satunya hambatan yang paling signifikan adalah perusahaan yang akan masuk pasar harus mampu menghasilkan produk yang lebih menarik dibandingkan produk yang telah ada dipasar. - Persaingan promosi yang sangat aktif, dimana masing-masing perusahaan sangat aktif dalam mencitrakan produknya guna menarik cita rasa konsumen akibat adanya deferensiasi produk yang ada di pasar. b. Pasar Oligopoli, yaitu suatu kondisi pasar yang memiliki ciri dan karakteristik utama bahwa di dalam pasar hanya terdapat beberapa perusahaan yang mampu mengendalikan harga dan persaingan meskipun secara faktual terdapat juga perusahaan-perusahaan lain yang memiliki ukuran yang kecil. Kondisi pengendalian harga dan persaingan sangat mudah dilakukan pada pasar oligopoli karena tidak diperlukan koordinasi yang kompleks mengingat jumlah perusahaan yang dominan di pasar tidak banyak.
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
18
Dalam prakteknya, pelaku usaha yang berada dalam pasar oligopoli selalu memantau harga produk dari pesaingnya karena perubahan produksi dan harga produk pesaing akan sangat mempengaruhi strategi perusahaan dan hal tersebut sangat mudah dilakukan dalam pasar oligopoli karena pelaku usaha yang ada di pasar hanya sedikit. Oleh karena jumlah pelaku usaha yang ada di dalam pasar oligopoli tidak banyak maka perilaku antipersaingan yang cenderung terjadi adalah kartel karena karakteristik pasarnya mendukung untuk dilakukannya koordinasi antar pelaku usaha di dalam pasar lebih mudah dibandingkan dengan bentuk pasar persaingan sempurna dan pasar persaingan monopolistik yang memiliki jumlah pelaku usaha yang cukup banyak. c. Pasar Monopoli, yaitu suatu kondisi pasar yang memiliki ciri dan karakteristik sebagai berikut: - Terdapat satu penjual, sehingga produk tidak dapat dibeli dari pelaku usaha lain. Konsumen harus membeli produk dari si monopolis dengan syarat yang ditentukan secara mutlak oleh si monopolis. - Tidak terdapat komoditas pengganti, karena pada
pasar monopoli tidak
terdapat komoditas lain yang memiliki karakteristik yang mirip, dapat dipakai untuk kegunaan yang sama serta dijual di pasar dalam wilayah geografis yang sama. - Tidak dimungkinkannya perusahaan lain masuk ke dalam pasar karena adanya hambatan yang signifikan bahkan hambatan yang bersifat mutlak seperti undang-undang. - Perusahaan memiliki kekuasaan penuh menentukan harga (price setter), karena perusahaan tersebut memiliki kekuasaan untuk mengendalikan produksi dan jumlah komoditas yang akan ditawarkan ke pasar. Oleh karena itu, perusahaan tersebut juga cederung untuk tidak aktif mempromosikan produknya karena merupakan satu-satunya perusahaan dalam industri tersebut. Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
19
TINGKAT PERSAINGAN MENURUT JENIS PASAR
Highly Compettitive
Persaingan Sempurna
Persaingan Monopolistik
High Degree of Market Power
Oligopoli
Monopoli
Berdasarkan masing-masing karakteristik bentuk pasar tersebut, maka sangat jelas terlihat bahwa antara pasar persaingan sempurna dengan pasar monopoli merupakan 2 (dua) kutub yang saling bertolak belakang secara ekstrim. Masingmasing memiliki karakteristik yang saling kontradiksi secara sempurna. Kontradiksi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: a. Terkait kekuatan pasar (market power) Bahwa semua perusahaan pada pasar persaingan sempurna merupakan price taker karena kekuatan pasarnya sangat kecil sehingga semua perusahaan di dalam pasar akan berjuang untuk mencapai tingkat efisiensi yang tertinggi. Hal tersebut sangat berbeda dengan kondisi pasar monopoli dimana sebagai satu-satunya perusahaan yang ada di dalam pasar tentu memiliki kekuatan pasar yang tinggi sehingga sangat mampu untuk mengendalikan harga tanpa khawatir akan kehilangan permintaan sehingga berdampak pada ketidakefisienan karena adanya jaminan permintaan. b. Terkait hambatan masuk pasar (barrier to entry) Bahwa pada pasar persaingan sempurna relatif tidak ada hambatan baik untuk masuk pasar maupun keluar pasar karena dari sisi jumlah perusahaan yang sangat
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
20
banyak tentu sangat sulit untuk melakukan koordinasi dengan tujuan menghambat pelaku usaha yang akan masuk pasar. Upaya untuk melakukan hambatan masuk cenderung tidak dilakukan karena tidak ada jaminan memberikan penambahan kontribusi di pasar, bahkan yang justru terjadi adalah perusahaan akan menurun tingkat efisiensinya karena upaya untuk menghambat. Selain itu, hambatan masuk pasar juga hilang karena kemudahan untuk mendapatkan faktor-faktor produksi. Hal tersebut sangat berbeda dengan kondisi pasar monopoli dimana melalui kekuatan pasarnya, si monopolis akan melakukan hambatan bagi pelaku usaha yang akan masuk pasar khususnya melalui instrumen harga. Bahkan hambatan masuk pasar ini menjadi mutlak ketika monopoli tersebut diperoleh dari peraturan perundangan atau kepemilikan faktor produksi yang langka. c. Terkait dengan permasalahan ekonomi Dalam
kondisi
pasar
persaingan
sempurna,
masing-masing
perusahaan
menghadapi 3 (tiga) permasalahan dasar yaitu: (1) berapa yang akan diproduksi; (2) bagaimana memproduksinya; dan (3) berapa yang diminta masing-masing pasar input. Akan tetapi pada pasar monopoli, perusahaan akan menghadapi satu pertanyaan lagi yaitu berapa harga yang akan ditetapkan perusahaan selaku price setter. 18
B.
Essential Facilities Doctrine.
1.
Pengertian Essential Facility Essential facility sebenarnya bukan suatu terminologi umum yang memiliki
definisi atau pengertian tersendiri dan baku. Istilah essential facility sebenarnya sangat sulit didefinisikan, meskipun dari sisi hukum persaingan, ide pokok dari istilah essential facility tersebut dapat dipahami sebagai suatu fasilitas yang dimiliki dan dikontrol oleh pelaku usaha yang memiliki posisi dominan di suatu pasar tertentu 18
Prof. Richard A. Musgrave dan Prof. Robert M. Solow, Prinsip-Prinsip Ekonomi Mikro [Principles of Economics], diterjemahkan oleh Barlian Muhammad (Jakarta: PT INDEKS, 2005), hlm. 318.
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
21
dimana pelaku usaha lain (kompetitor) memerlukan akses untuk menyediakan produk sejenis pada pasar bersangkutan tersebut. Dengan kata lain bahwa suatu fasilitas dapat dikategorikan sebagai “essential facility” jika fasilitas tersebut merupakan fasilitas yang vital bagi kelangsungan persaingan sebab kompetitor tidak dapat bersaing secara efektif pada pasar bersangkutan tanpa adanya akses ke fasilitas tersebut. 19 Dalam implementasi hukum persaingan di Amerika Serikat, suatu sumber daya dikategorikan sebagai essential facility ketika sumber daya tersebut sangat diperlukan sebagai instrumen dalam persaingan namun secara rasional tidak dapat diakses maupun
diduplikasi
oleh
pelaku
usaha
pesaingnya. 20
Selanjutnya,
dalam
implementasi hukum persaingan di EC, essential facilitiy diterjemahkan sebagai suatu fasilitas atau infrastruktur yang penting dalam rangka melayani konsumen dan atau fasilitas atau infrastruktur yang diperlukan pelaku usaha pesaing untuk menjalankan kegiatan usahanya dan fasilitas atau infrastruktur tersebut secara rasional tidak dapat diduplikasi. 21
2.
Konsep Essential Facilities Doctrine Dalam perkembangan penegakan hukum persaingan, kasus yang terkait dengan
essential facility selalu berhubungan dengan perilaku penolakan kerja sama (refusal to deal) suatu pelaku usaha yang memiliki posisi dominan atau memiliki posisi monopoli dengan pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing. Perilaku tersebut terjadi pada kasus United States v. Terminal Railroad Ass’n, 224 U.S. 383 yang diputus oleh US Supreme Court pada tahun 1912. Selanjutnya pada tahun 1970, istilah essential facilities doctrine pertama kali diperkenalkan oleh Professor A.D.
19
Debra J. Pearlstein, et. al, Antitrust Law Developments (Fifth) Volume I, (USA: American Bar Association, 2002), hlm.280. 20 Areeda and Hovenkamp, Antitrust Law Volume IIIA, para 773b. 21 Notice on the application of competition rules to access agreements in the telecommunications sector, [1998] O.J. C265/2, para 68.
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
22
Neale dalam bukunya yang berjudul The Antitrust Laws of the United States guna menggambarkan dan menganalisa putusan-putusan pengadilan di Amerika Serikat terkait dengan kasus penolakan akses kepada pesaing yang dilakukan oleh pelaku usaha yang dominan dan terintegrasi di pasar. 22 Pengadilan di Amerika Serikat secara eksplisit baru mencantumkan istilah essential facility pada kasus
Hecht v. Pro-
Football, Inc (1977) dimana pengadilan menyatakan sebegai berikut: to be essential a facility need not be indispensable; it is sufficient if duplication of the facility would be economically infeasible and if denial of its use inflicts a severe handicap on potential market entrants 23 Meskipun demikian pokok-pokok atau ide dasar dari essential facility doctrine tersebut teradopsi dan dikembangkan dalam putusan pengadilan di Amerika Serikat dan dijadikan referensi bagi lembaga pemutus persaingan usaha di negara-negara lain. a. Amerika Serikat Penegakan hukum persaingan di Amerika Serikat pada pokoknya didasarkan pada Sherman Act selaku undang-undang anti-trust yang diberlakukan sejak tahun 1890 dengan ketentuan pokok sebagai berikut: Section 1. Trusts, etc., in restraint of trade illegal; penalty Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several States, or with foreign nations, is declared to be illegal. Every person who shall make any contract or engage in any combination or conspiracy hereby declared to be illegal shall be deemed guilty of a felony, and, on conviction thereof, shall be punished by fine not exceeding $10,000,000 if a corporation, or, if any other person, $350,000, or by imprisonment not exceeding three years, or by both said punishments, in the discretion of the court.
22
Spencer Weber Waller, “Areeda, Epithets, And Essential Facilities,” Wisconsin Law Review (Desember 2008), hlm. 361. 23 Hecht v. Pro-football, Inc. 570 f.2d 992 (D.C. Cir.1977)
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
23
Section 2. Monopolizing trade a felony; penalty Every person who shall monopolize, or attempt to monopolize, or combine or conspire with any other person or persons, to monopolize any part of the trade or commerce among the several States, or with foreign nations, shall be deemed guilty of a felony, and, on conviction thereof, shall be punished by fine not exceeding $10,000,000 if a corporation, or, if any other person, $350,000, or by imprisonment not exceeding three years, or by both said punishments, in the discretion of the court. Berdasarkan ketentuan Sherman Act tersebut cukup jelas bahwa larangan ditujukan pada setiap perjanjian atau konspirasi untuk mengekang perdagangan dan larangan setiap tindakan untuk memonopoli pasar termasuk namun juga tidak terbatas pada tindakan yang bermaksud mempertahankan monopoli pasar dengan cara yang melanggar prinsip persaingan sehat. Guna memperkuat penegakan hukum Sherman Act tersebut maka diberlakukan Clayton Act yang diterbitkan pada tahun 1914 dengan aturan pokok antara lain terkait dengan larangan perjanjian yang bersifat mengikat (tying-in), tindakan diskriminasi harga dan tindakan merger. Selain Clayton Act, guna memperkuat Sherman Act juga berlaku Federal Trade Commission Act yang diberlakukan pada tahun 1914 untuk menyelidiki struktur, perilaku, praktik dan manajemen bisnis perusahaan yang terlibat dalam perdagangan antar negara bagian. 24 Selanjutnya, apabila mencermati ketentuan peraturan tersebut maka konsep essential facilities doctrine pada prinsipnya sebenarnya cukup terakomodasi dalam ketentuan Sherman Act . Bahkan secara historis, kasus-kasus persaingan usaha yang terjadi di Amerika Serikat yang berkaitan dengan penyalahgunaan monopoli atas essential facilities diputuskan berdasarkan ketentuan yang terdapat pada Sherman Act khususnya Section 2 meskipun tidak menutup kemungkinan kasus terkait essential facilities juga diputuskan berdasarkan ketentuan Section 1 Sherman Act sebagaimana
24
Prof. Richard A. Musgrave dan Prof. Robert M. Solow, op.cit., hlm. 335-337.
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
24
yang diterapkan pada kasus terkait essential facility pertama yang terjadi di Amerika Serikat yaitu kasus United States v. Terminal Railroad Ass’n, 224 U.S. 383 (1912). Secara umum kasus-kasus persaingan usaha di Amerika Serikat yang terkait dengan essential facilities dapat diuraikan antara lain sebagai berikut: 1) United States v. Terminal Railroad Ass’n 25 Kasus ini berawal dari suatu kesepakatan yang dilakukan oleh sekelompok perusahaan yang bergerak di bidang infrastruktur kereta api pada tahun 1889. Kesepakatan tersebut dalam rangka menggabungkan terminal kereta api di St. Luis yang dimiliki beberapa perusahaan sehingga terbentuk kesatuan sistem lalu lintas kereta api termasuk sepanjang dan melintasi sungai Mississippi karena untuk melintasi sungai tersebut hanya terdapat dua jembatan penghubung yang telah terkoneksi dengan infrastruktur para pihak yang membuat kesepakatan. Akibat dari adanya kesepakatan penggabungan sistem terminal kereta api dan jembatan tersebut telah mengakibatkan hambatan yang tidak wajar bagi pelaku usaha lain yang tidak ikut dalam kesepakatan tersebut untuk mengakses kota St. Luis karena gabungan sistem tersebut telah menjadi suatu public utility yang sangat besar yang sangat mempengaruhi perdagangan di St. Louis sehingga merupakan pelanggaran atas ketentuan Sherman Act. Atas fakta tersebut maka US Supreme Court memerintahkan kepada kelompok pelaku usaha yang membuat kesepakatan tersebut untuk memberikan akses terminal dan jaringan kereta api kepada pihak lain serta melakukan tindakan-tindakan yang pada prinsipnya tidak menimbulkan diskriminasi. 2) Associated Press v. United States 26 Associated Press merupakan asosiasi perusahaan media cetak dengan anggota berjumlah lebih dari 1.200 perusahaan media. Asosiasi tersebut melakukan kegiatan 25 26
United States v. Terminal Railroad Association of St. Louis, 224 U.S. 383 (1912) Associated Press v. United States, 326 U.S. 1 (1945)
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
25
pengumpulan dan pendistribusian berita yang diperoleh anggotanya dan beberapa perusahaan media asing. Dalam perkembangannya, asosiasi melakukan hambatan kepada perusahaan media lain untuk menjadi anggota baru asosiasi sehingga perusahaan media baru tidak mendapat akses atas sistem pengumpulan dan distribusi berita tersebut. Pengadilan menilai bahwa penolakan tersebut merupakan pelanggaran atas Section 1 Sherman Act karena penolakan didasarkan pada alasan yang tidak masuk akal dan menilai bahwa hal tersebut merupakan praktek diskriminasi. 3) Otter Tail Power Co. v. United States 27 Bahwa Otter Tail Power Co. merupakan perusahaan yang terintegrasi dengan kegiatan usaha menjual listrik hingga tingkat retail di 465 kota di wilayah Minnesota, Dakota Selatan dan Dakota Utara. Selanjutnya, terjadi perkembangan di beberapa kota yang dipasok listriknya oleh Otter Tail Power Co. dimana beberapa kota bermaksud membangun jaringan sistem kelistrikan sendiri di tingkat retail dan bersaing dengan retail milik Otter Tail Power Co. Atas tindakan pembangunan sistem kelistrikan mandiri di beberapa kota tersebut, Otter Tail Power Co. menolak untuk mengakses listrik yang dimilikinya untuk dipasokkan ke dalam sistem kelistrikan tersebut di tingkat retail karena akan menjadi pesaingnya di tingkat retail. Padahal jika sistem kelistrikan yang dimiliki beberapa kota tersebut tidak dipasok oleh Otter Tail Power Co. maka mereka tidak dapat memberikan layanan kepada pelanggannya di tingkat retail. Atas fakta tersebut, Pengadilan menyatakan Otter Tail Power Co. melanggar ketentuan Sherman Act Section 2 dan selanjutnya memerintahkan Otter Tail Power Co. agar memberikan akses dengan memberikan pasokan kepada sistem kelistrikan yang dibangun dan dioperasikan di beberapa kota yang telah membangun dan memiliki sistem ketenagalistrikan retail secara mandiri tersebut.
27
Otter Tail Power Co. v. United States, 410 U.S. 366 (1973) 410 U.S. 366
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
26
4) Hecht v. Pro-Football, Inc. 28 Kasus ini berawal ketika Hecht selaku promotor klub sepak bola baru bermaksud dan memiliki keinginan menyewa suatu stadion sepak bola bernama Stadion Robert F. Kennedy
yang terletak di Washington DC. Keinginan Hecht
tersebut bertujuan agar Stadion Robert F. Kennedy juga berfungsi sebagai home base klub sepak bolanya. Permasalahan timbul ketika pemilik dan pengelola Stadion Robert F. Kennedy menolak permintaan Hecht tersebut. Alasan penolakan tersebut karena pemilik telah terikat perjanjian dengan klub sepak bola lain bernama Washington Redskins dimana dalam perjanjian tersebut pemilik Stadion Robert F. Kennedy dilarang menyewakan Stadion Robert F. Kennedy kepada tim sepak bola lain selain Washington Redskins. Atas dasar hal tersebut, Hecht dinyatakan menang karena Pengadilan menemukan fakta dan berpendapat sebagai berikut: a. Stadion Robert F. Kennedy merupakan suatu yang esensial dalam kegiatan sepak bola profesional di Washington; b. Fasilitas Stadion Robert F. Kennedy secara praktis tidak dapat di sediakan (duplikasi) oleh pelaku usaha lain yang potensial; c. Stadion Robert F. Kennedy dapat digunakan oleh tim lain selain Washington Redskins dengan jadual pemakaian yang tidak bersamaan; d. Perjanjian yang menghalangi penggunaan Stadion Robert F. Kennedy tersebut dilakukan oleh pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing. 5) MCI Communications Corp. v. American Tel. & Tel. Co (AT&T). 29 Sebelum tahun 1969, AT&T memiliki hak monopoli untuk menyediakan jasa dan jaringan telekomunikasi. Bahwa selain, jasa telekomunikasi lokal dan jarak jauh biasa/reguler sebenarnya terdapat 3 (tiga) macam layanan komunikasi jarak jauh lainnya yaitu: 28
Hecht v. Pro-football, Inc. 570 f.2d 982 (D.C. Cir.1977), cert. denied, 436 U.S. 956 (1978). MCI Communications Corp. v. American Tel. & Tel. Co., 708 F.2d 1081 (7th Cir.), cert. denied, 464 U.S. 891 (1983) 29
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
27
- Point to Point, yang menghubungkan dua tempat secara langsung; - Foreign Exchange Sevice (FX), yang memungkinkan komunikasi dari dan keluar kota dengan tarif lokal; - Common Control Switching Arrangements (CCA), yang menghubungkan berbagai lokasi jauh melalui saluran pribadi. Selanjutnya pada tahun 1969 terjadi deregulasi di sektor telekomunikasi, MCI diberi ijin layanan telekomunikasi jarak jauh antara Chicago dan St. Louis melalui gelombang mikro kepada MCI. Menindaklanjuti kebijakan deregulasi tersebut, Federal Communications Commission (FCC) juga mengeluarkan aturan terkait dengan persaingan di sektor telekomunikasi. Permasalahan mulai terjadi ketika MCI memahami kebijakan deregulasi di sektor telekomunikasi tersebut telah memberikan kesempatan juga bagi MCI untuk mengoperasikan layanan FX dan CCSA yang sebelumnya hanya dimiliki dan dimonopoli AT&T. Atas layanan baru tersebut, MCI meminta kepada AT&T agar dihubungkan dengan fasilitas jaringan lokal milik AT&T agar dapat memberikan pelayanan FX dan CCSA namun permintaan tersebut ditolak AT&T. Atas penolakan tersebut, MCI mengadukan tindakan AT&T kepada FCC serta melakukan upaya hukum melalui pengadilan dan berhasil dimana pengadilan memerintahkan AT&T untuk melakukan interkoneksi dengan jaringan MCI. Atas tindakan tersebut pada akhirnya AT&T dinyatakan melanggar ketentuan Section 2 Sherman Act karena melakukan monopoli pada pasar bersangkutan dan berkeinginan untuk tetap mempertahankannya dengan cara menghambat akses interkoneksi kepada perusahaan pesaingnya. 6) Verizon Communications Inc. v. Law Offices of Curtis V. Trinko, LLP 30 Kasus ini berawal dari upaya hukum class action para pelanggan Verizon Communications Inc yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang
30
Verizon Communications Inc. v. Law Offices of Curtis v. Trinko, LLP, 540 U.S. 398 (2004)
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
28
telekomunikasi yang menyediakan layanan komunikasi lokal di New York. Class action tersebut diwakili oleh kuasa hukum dari Kantor Hukum Curtis dengan alasan bahwa Verison Communication memiliki jaringan telekomunikasi lokal yang merupakan essential facility dalam iklim persaingan jasa telepon lokal berdasarkan peraturan perundangan telekomunikasi di Amerika Serikat. Akan tetapi, Verison menutup akses telekomunikasi bagi pesaing untuk terhubung dengan jaringan telekomunikasi yang dimiliki dan dioperasikannya sehingga mengakibatkan kerugian bagi konsumen baik dari sisi harga maupun kualitas layanan telepon lokal di New York. Federal Communications Commission (FCC) telah mejatuhkan denda kepada Verison sebesar US$ 3 juta atas perbuatan Verison Communication yang tidak memenuhi kewajiban berdasarkan peraturan perundangan telekomunikasi di Amerika Serikat. Selanjutnya, Trinko juga menggugat Verison atas dampak persaingan yang diakibatkan oleh perbuatan Verison. Setelah melalui proses pengadilan, akhirnya Mahkamah Agung membebaskan Verison Communication karena pembukaan akses tersebut merupakan kewenangan dari FCC selaku lembaga yang berwenang untuk menegakkan peraturan perundangan di bidang telekomunikasi dan FCC telah memberikan sanksi denda kepada Trinko.
Berdasarkan uraian singkat mengenai kasus-kasus tersebut maka dapat diketahui bahwa meskipun dalam kasus United States v. Terminal Railroad Ass’n, pengadilan tidak mendasarkan putusannya pada penyalahgunaan essential facility namun secara prinsip memiliki kesamaan substansi dengan essential facilities doctrine karena pertimbangan hakim dalam kasus tersebut menyatakan bahwa sistem perkeretaapian yang dibangun dan dimiliki asosisasi perusahaan kereta api tersebut secara ekonomis, topologi dan geografis tidak memungkinkan terdapat substitusi secara rasional padahal sistem tersebut sangat berpengaruh sebagai jalur transportasi yang sangat efektif untuk menuju dan keluar dari St. Louis yang merupakan kota perdagangan yang besar. Oleh karena itu, hambatan terhadap akses perdagangan Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
29
tersebut dinilai juga merupakan hambatan bagi pertumbuhan perekonomian di St. Louis. Penggunaan istilah essential facility baru disebutkan secara eksplisit oleh pengadilan pada kasus Hecht v. Pro-Football, Inc., (1978) dimana the Court of Appeal for the D.C Circuit mengidentifikasi karakteristik dari essential facilities sebagai berikut: 31 First, an essential facility is something to wich a competitor or potential competitor must have acces in order to compete in the relevant market; denial of access to an essential facility inflicts a “severe hanicap” on the competitor or potential competitor. Second, an essential facility is something that for practical purposes cannot be duplicated; in the word of court in Hecht, a facility is essential if it would be “economically in feasible” to duplicate it.
Dalam kasus Hecht v. Pro-Football, Inc. tersebut, essential facility yang dimaksud adalah Stadion Robert F. Kennedy di kota Washington yang merupakan salah satu instrumen vital dalam persaingan khususnya persaingan dalam kegiatan usaha di bidang olah raga sepak bola. Penutupan askes atas Stadion Robert F. Kennedy dinilai pengadilan sebagai tidakan yang mematikan kemampuan pelaku usaha pasaing. Selanjutnya, essential facility doctrine semakin diperjelas dalam kasus MCI Communications Corp. v. American Tel. & Tel. Co., (1982) karena dalam putusannya diuraikan mengenai elemen-elemen penting dalam essential facility doctrine yaitu: (1) (2) (3) (4)
control of the essential facility by a monopolist; a competitor's inability practically or reasonably to duplicate the essential facility; the denial of the use of the facility to a competitor; and the feasibility of providing the facility.
31
Mary L. Azcuenaga,”Essential Facilities And Regulation: Court or Agency Jurisdiction?,” (Makalah yang disampaikan pada The Cutting Edge of Antitrust: Exclusionary Practice, American Bar Association National Institute, Washington DC, 5 Oktober 1989, hlm. 3-4.
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
30
Perkembangan essential facilities doctrine mengalami dinamika yang cukup signifikan ketika pengadilan memutuskan kasus Verizon Communications Inc. v. Law Offices of Curtis V. Trinko, LLP pada tahun 2004 karena putusan tersebut menimbulkan diskusi dan perbedaan hukum terutama dikaitkan dengan implementasi essential facilities doctrine yang diterapkan pada kasus-kasus persaingan usaha sebelumnya. Dalam kasus Verizon Communications Inc. v. Law Offices of Curtis V. Trinko, LLP tersebut, US Supreme Court tidak mendasarkan pada essential facilities doctrine dan memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: This conclusion would be unchanged even if we considered to be established law the “essential facilities” doctrine crafted by some lower courts, under which the Court of Appeals concluded respondent’s allegations might state a claim. We have never recognized such a doctrine, and we find no need either to recognize it or to repudiate it here. It suffices for present purposes to note that the indispensable requirement for invoking the doctrine is the unavailability of access to the “essential facilities”; where access exists, the doctrine serves no purpose. Thus, it is said that “essential facility claims should . . . be denied where a state or federal agency has effective power to compel sharing and to regulate its scope and terms.” Respondent believes that the existence of sharing duties under the 1996 Act supports its case. We think the opposite: The 1996 Act’s extensive provision for access makes it unnecessary to impose a judicial doctrine of forced access. To the extent respondent’s “essential facilities” argument is distinct from its general § 2 argument, we reject it. b. European Communities Aturan terkait dengan persaingan dalam European Communities dinyatakan pada article 81 dan article 82 EC Treaty sebagai berikut:
Article 81 1. The following shall be prohibited as incompatible with the common market: all agreements between undertakings, Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
31
decisions by associations of undertakings and concerted practices which may affect trade between Member States and which have as their object or effect the prevention, restriction or distortion of competition within the common market, and in particular those which: (a) (b) (c) (d)
(e)
directly or indirectly fix purchase or selling prices or any other trading conditions; limit or control production, markets, technical development, or investment; share markets or sources of supply; apply dissimilar conditions to equivalent transactions with other trading parties, thereby placing them at a competitive disadvantage; make the conclusion of contracts subject to acceptance by the other parties of supplementary obligations which, by their nature or according to commercial usage, have no connection with the subject of such contracts.
2. Any agreements or decisions prohibited pursuant to this article shall be automatically void. 3. The provisions of paragraph 1 may, however, be declared inapplicable in the case of: any agreement or category of agreements between undertakings, any decision or category of decisions by associations of undertakings, any concerted practice or category of concerted practices, which contributes to improving the production or distribution of goods or to promoting technical or economic progress, while allowing consumers a fair share of the resulting benefit, and which does not: (a) impose on the undertakings concerned restrictions which are not indispensable to the attainment of these objectives; (b) afford such undertakings the possibility of eliminating competition in respect of a substantial part of the products in question. Article 82 Any abuse by one or more undertakings of a dominant position within the common market or in a substantial part of it shall be Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
32
prohibited as incompatible with the common market in so far as it may affect trade between Member States. Such abuse may, in particular, consist in: (a) (b) (c)
(d)
directly or indirectly imposing unfair purchase or selling prices or other unfair trading conditions; limiting production, markets or technical development to the prejudice of consumers; applying dissimilar conditions to equivalent transactions with other trading parties, thereby placing them at a competitive disadvantage; making the conclusion of contracts subject to acceptance by the other parties of supplementary obligations which, by their nature or according to commercial usage, have no connection with the subject of such contracts.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka secara prinsip hukum persaingan di EC juga tidak mengecualikan adanya penyalahgunaan essential facility oleh pelaku usaha yang memiliki dan atau menguasainya. Hal tersebut telah tercakup dalam article 82 EC Treaty yang memberikan kerangka umum terkait dengan larangan diskriminasi oleh pelaku usaha yang memiliki posisi dominan terutama terkait dengan kewajiban pelaku usaha yang memiliki posisi dominan untuk wajib memasok barang dan atau jasa (duty to supply) yang penting kepada pelaku usaha lain sebagaimana diatur pada. Adapun kasus-kasus yang terkait dengan essential facility antara lain:
1) Case C-7/97 Oscar Bronner GmbH & Co. KG v. Mediaprint Zeitungs-und Zeitschriftenverlag GmbH & Co. KG (1998) ECR I-7791 Dalam perkara tersebut ditemukan fakta bahwa Bronner merupakan penerbit surat kabar (Der Standard) yang memiliki pasar sekitar 3,6% di Austria. Sedangkan Mediaprint juga merupakan penerbit surat kabar yang menerbitkan 2 buah surat kabar harian di Austria yaitu Neue Kronen Zeitung dan Kurier yang keduanya memiliki pangsa pasar sekitar 46,8%.
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
33
Selanjutnya, guna mendistribusikan surat kabarnya, Mediaprint membangun skema/jaringan distribusi ke para konsumen. Permasalahan mulai timbul ketika Bronner meminta kepada Mediaprint agar surat kabarnya ikut didistribusi dengan menggunakan skema/jaringan distribusi yang dimiliki Mediaprint agar lebih efisien dan optimal. Permintaan tersebut ditolak oleh Mediaprint dengan alasan bahwa sistem pemdistribusian tersebut dibangun dengan investasi yang cukup besar. Selain itu, Mediaprint berpendapat bahwa tidak ada kewajiban bagi Mediaprint untuk membantu pesaingnya dan seandainya dilakukanpun maka sistem distribusi tersebut tidak mampu menampung distribusi semua perusahaan penerbit surat kabar yang ada di pasar Austria. Atas fakta tersebut, European Court of Justice (“ECJ”) mempertimbangkan faktor-faktor yang harus dipenuhi dalam menetapkan bahwa penolakan tersebut merupakan penyalahgunaan (abuse of dominant position) yaitu: First, the refusal would have to be likely to eliminate all competition in the downstream market from the person requesting access; Secondly, the refusal must be incapable of objective justification; Thirdly, the access must be indispensable to carriying on the person’s business; Fourthly, there must be no actual or potential substitute for it. Menurut ECJ, kriteria-kriteria tersebut tidak dipenuhi dalam kasus yang diajukan Bronner tersebut sehingga ECJ menyatakan Mediaprint tidak melakukan penyalahgunaan posisi dominan karena penutupan akses tersebut tidak serta merta membuat Bronner tidak dapat bersaing di pasar.
2) Sealink/B&I Holyhead: Interim Measures [1992] 5 CMLR Kasus ini terkait dengan Sealink Harbours yang merupakan perusahaan yang memiliki dan mengoperasikan pelabuhan di Holyhead Wales. Perusahaan tersebut memiliki posisi dominan di pasar jasa fasilitas pelabuhan di British dan jasa angkutan ferry dengan rute Holyhead (Wales) – Dublin dan Dun Laoghaire (Irlandia). Selain
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
34
itu dalam rute yang sama terdapat perusahaan jasa angkutan ferry bernama B&I Holyhead dimana kapal ferry miliknya bersandar di dermaga yang memiliki berbagai keterbatasan dalam menjalankan aktifiktas bongkar muat akibat terjangan ombak ketika kapal ferry milik Sealink melintas. Permasalahan mulai timbul ketika Sealink bermaksud menerapkan jadual baru keberakatan dan kedatangan kapal di pelabuhan. Jadual baru tersebut sangat menggangu jadual miliki B&I yang telah berjalan secara rutin. Atas permasalahan tersebut EC memerintahkan kepada Sealink untuk menerapkan jadual yang lama atas dasar bahwa perubahan jadual tersebut dilakukan tanpa alasan yang jelas.
3) Sea Container Ltd/Stena Sealink [1994] OJ L15/8, [1995] CMLR 84 Kasus ini terkait dengan Sealink Harbours yang merupakan perusahaan yang memiliki dan mengoperasikan pelabuhan di Holyhead Wales. Perusahaan tersebut memiliki posisi dominan di pasar jasa fasilitas pelabuhan di British dan jasa angkutan ferry dengan rute Holyhead (Wales) – Dublin dan Dun Laoghaire (Irlandia). Sealanjutnya terdapat perusahaan lain yang bernama Sea Containers yang ingin mengoperasikan kapal ferry cepat
dengan melayani jasa angkutan dengan rute
koridor pusat. Atas niat tersebut telah dilakukan negosiasi panjang antara Sea Containers dengan Stena Sealink namun pada akhirnya Stena Sealink menolak niat Sea Containers dan menutup akses pelabuhan untuk rencana Sea Containers tersebut. Atas permasalahan tersebut, Sea Containers mengadu ke EC dan selanjutnya menilai penolakan yang dilakukan Stena Sealink tersebut didasarkan pada alasan yang masuk akal tekait dengan ketersediaan jadual.
4) Morlaix (Port of Roscoff) [1995] 5 CMLR 177 Kasus ini berawal dari keinginan Irish Continental Group (ICG) untuk mengoperasikan jasa angkutan kapal ferry dari Irlandia ke Brittany. Oleh karena itu,
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
35
ICG membutuhkan akses pelabuhan Port of Roscoff yang dikelola oleh CCI Morlaix yang merupakan lembaga yang diberikan hak konsesi oleh negara. Meskipun CCI Morlaix tidak mengoperasikan kapal ferry namun CCI Morlaix tersebut memiliki saham sebesar 5% di perusahaan jasa angkutan ferry bernama Brittany Ferries yang mengoperasikan kapal ferry dengan rute Irlandia menuju Brittany. EC menilai bahwa CCI Moralaix keberatan memberikan akses kepada ICG karena adanya kepentingan di dalamnya sebagai pemegang saham Brittany Ferries. Hal tersebut tidak dapat dijadikan justifikasi untuk menolak akses pelabuhan terhadap ICG.
3.
Penerapan Essential Facilities Doctrine Berdasarkan uraian kasus-kasus persaingan usaha yang terkait dengan essential
facility baik di Amerika Serikat maupun EC tersebut maka dapat diketahui bahwa sebagian besar kasus yang terkait dengan essential facility cenderung mengkaitkan infrastruktur publik seperti jaringan kereta api termasuk jembatan penyeberangannya (United States v. Terminal Railroad Ass’n), jaringan telekomunikasi (MCI v. AT&T), jaringan listrik (Otter Tail Power Co. v. United States), stadion olah raga (Hecht v. Pro-Football, Inc). Selanjutnya dalam implementasi hukum persaingan EC, essential facility juga menyangkut infrastruktur pelabuhan dimana pelaku usaha yang menguasai suatu essential facility seperti pelabuhan dilarang menutup akses pelaku usaha pesaing secara langsung maupun pelaku usaha pesaing tidak langsung di pasar hilir (downstream market) tanpa didasarkan alasan yang masuk akal. Mengacu pada perkembangan kasus-kasus yang terkait dengan essential facilities, suatu fasilitas dapat dikategorikan sebagai essential facility sangat tergantung dari fakta-fakta dalam kasus yang terjadi. Namun dalam penerapannya, penyalahgunaan posisi dominan atau posisi monopoli atas essential facility setidaknya harus mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
36
1) Faktor karakteristik produk, dimana dari sisi karakteristik produknya, suatu essential facility tidak memiliki substitusi karena secara obyektif dan rasional tidak dapat diduplikasi. Selain itu, produk tersebut memiliki peran yang sangat penting untuk dijadikan instrumen bagi pelaku usaha untuk bersaing baik di pasar hulu (upstream market) maupun di pasar hilir (downstream market). Bahkan dari karakteristik produknya, sebenarnya sangat memungkinkan untuk diakses atau dibagi pemanfaatannya dengan pelaku usaha lain. 2) Faktor perilaku pelaku usaha terkait, dimana dalam kasus yang terkait dengan essential facility selalu terdapat pelaku usaha yang keberatan karena aksesnya ditutup atau dihambat oleh pelaku usaha lain yang menguasai essential facility. Oleh karena itu, harus terdapat pelaku usaha yang memiliki atau menguasai essential facility memiliki kontrol penuh terhadap fungsinya. Kemampuan untuk mengontrol tersebut sangat erat kaitannya dengan kekuatan pasar sehingga tindakan penutupan akses kepada pelaku usaha lain sangat mampu dilakukannya meskipun dilakukan tanpa alasan yang obyektif dan masuk akal. Selain itu, terdapat pelaku usaha lain yang kehilangan kemampuannya untuk bersaing baik di pasar hulu (upstream market) atau di pasar hilir (downstream market) karena tidak adanya akses terhadap essential facility dimaksud. 3) Faktor dampak persaingan, dimana penutupan akses atas essential facility mengakibatkan matinya kemampuan bersaing pelaku usaha baik di pasar hulu (upstream market) atau di pasar hilir (downstream market).
Oleh karena itu, sebagai indikasi awal upaya penerapan essential facilities doctrine sebenarnya dapat digunakan faktor eksternal karena kasus-kasus yang terkait dengan essential facilities akan timbul berdasarkan pengaduan dari pelaku usaha yang ditolak aksesnya oleh pelaku usaha yang menguasai essential facility. Selanjutnya secara operasional setidaknya mempertimbangkan faktor karakteristik produk, perilaku pelaku usaha terkait dan dampaknya bagi persaingan.
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
37
4.
Potensi Dampak Akibat Adanya Monopoli Atas Essential Facility Dalam
hukum
persaingan,
pengukuran
dampak
persaingan
harus
mempertimbangkan variable-variabel seperti kekuatan pasar (market power), hambatan masuk pasar (entry barrier), inovasi, efisiensi dan kenaikan biaya produksi pesaing. 1) Kekuatan pasar (market power). Secara umum kekuatan pasar diartikan sebagai kemampuan suatu perusahaan untuk menetapkan harga di atas tingkat harga persaingan sehingga pelaku usaha tersebut memiliki kesempatan untuk memperoleh keuntungan semaksimal mungkin. Kekuatan pasar suatu pelaku usaha tersebut sangat tergantung dari jumlah perusahaan yang ada di dalam pasar bersangkutan dan konsentrasi output. Ketika semakin besar jumlah pelaku usaha yang ada di dalam pasar bersangkutan umumnya semakin rendah kekuatan pasar yang dimiliki masing-masing pelaku usaha. Selanjutnya, konsentrasi output yang lebih tinggi dari suatu pelaku usaha pada umumnya menunjukkan tingkat kekuatan pasar yang dimiliki pelaku usaha yang dimaksud. Oleh karena itu, ketika pelaku usaha memiliki kontrol terhadap essential facility maka secara otomatis pelaku usaha tersebut memiliki kekuatan pasar yang sangat besar karena melalui karakteristik produk yang dikuasainya, pelaku usaha dimaksud mampu menghambat atau bahkan mematikan pelaku usaha baik di pasar hulu (upstream market) atau di pasar hilir (downstream market). 2) Hambatan masuk pasar (entry barrier). Dalam hukum persaingan, terdapat beberapa jenis hambatan untuk masuk pasar antara lain sebagai berikut: a. Hambatan alamiah, merupakan hambatan yang disebabkan faktor-faktor yang bersifat alamiah seperti skala ekonomi yang timbul akibat biaya tetap (fixed cost) yang tinggi. b. Hambatan yang terkait dengan sunk cost, merupakan hambatan yang disebabkan karakteristik industri yang mengharuskan sunk cost yang tinggi. Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
38
c. Hambatan yang diciptakan oleh perilaku pelaku usaha yang telah berada di pasar terlebih dahulu (incumbent). d. Hambatan yang ditimbulkan oleh regulasi. Dengan adanya hambatan yang sangat tinggi akan mengakibatkan potensi terciptanya persaingan menjadi rendah sehingga pasar akan selalu terkonsentrasi dan cenderung tidak dinamis. Adanya pelaku usaha baru yang dapat masuk pasar tentu akan mengakibatkan persaingan harga karena harga merupakan instrumen yang paling efektif digunakan pelaku usaha baru dalam melakukan penetrasi pasar. Selain itu, masuknya pelaku usaha baru juga mengakibatkan rangsangan untuk adanya inovasi, meningkatkan efisiensi produksi sehingga mengakibatkan adanya variasi dan peningkatan kualitas produk yang beredar di pasar. Kemudahan pelaku usaha baru untuk masuk pasar sangat ditentukan oleh tingkat hambatan yang ada (barrier to entry) sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Ketika hambatan tersebut tinggi maka tingkat kemudahan pelaku usaha baru untuk masuk pasar juga tinggi, demikian sebaliknya. Akan tetapi ketika tingkat hambatan rendah maka masalah selanjutnya adalah waktu masuknya pelaku usaha baru ke dalam pasar, apakah dapat dilakukan dalam kerangka waktu yang singkat ataukah lama. Hal tersebut tergantung dari tipe hambatan yang ada di dalam pasar tersebut. Berdasarkan kasus-kasus yang terkait dengan monopoli atas essential facilities, maka sangat jelas bahwa hambatan lebih didominasi oleh karakteristik produk yang selain memerlukan fixed cost yang sangat tinggi juga terkait dengan kebijakan regulasi yang tidak serta merta dapat dirubah. Meskipun demikian, hambatan juga dapat bersumber dari perilaku pelaku usaha yang memiliki kontrol terhadap essential facility dengan niat mematikan pelaku usaha lain. 3) Inovasi dan efisiensi. Inovasi yang dilakukan pelaku usaha memberikan dampak antara lain: peningkatan efisiensi, peningkatan mutu produk, peningkatan keragaman produk atau
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
39
bahkan peningkatan tingkat keamanan produk. Dengan kata lain, innovasi memberikan dampak pada dinamika produk yang ada di pasar. Sebagaimana karakterisktik pasar monopoli pada umumnya bahwa inovasi dan efisiensi cenderung tidak dilakukan karena telah adanya jaminan permintaan terlebih lagi produk yang dimilikinya merupakan essential facility atau sangat erat kaitannya dengan essential facility. 4) Kenaikkan biaya pesaing (raising rival cost). Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa monopoli atas essential facilities tentu akan mempengaruhi performa pasar baik pasar hulu (upstream market) maupun pasar hilir (downstream market). Selanjutnya, apabila direlevansikan dengan monopoli atas essential facilities sebagaimana telah diuraikan pada kasus-kasus yang terkait dengan essential facilities maka karakterisktik penguasaannya cenderung merupakan kegiatan yang terintegrasi sehingga essential facilities berpotensi dijadikan instrumen untuk menaikkan biaya produksi pelaku usaha lain maupun pelaku usaha pesaing.
Berdasarkan variable-variabel tersebut maka secara umum dapat diketahui potensi dampak akibat adanya monopoli atas essential facilitiy yang sebenarnya memiliki persamaan dengan dampak yang berkaitan dengan struktur pasar monopoli sebagai struktur yang paling ekstrim dari pasar persaingan tidak sempurna (imperfect competition market). Secara teori adanya monopoli memiliki mengakibatkan dampak yang berbanding terbalik dengan tujuan adanya persaingan usaha. Tujuan adanya persaingan adalah terjadinya alokasi sumber daya yang seimbang dan efisiensi. 32 Efisiensi dan alokasi sumber daya yang seimbang tidak akan dicapai melalui pendekatan struktur pasar yang monopoli karena struktur pasar monopoli memicu terjadinya upaya mengakumulasikan keuntungan secara maksimal (rent seeking 32
Harlan M. Blake & William K. Jones, In Defence of Antitrust, Columbia Law Review, Volume 65, March 1965, No. 3, hlm. 381.
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009
40
behaviour) yang mengakibatkan alokasi sumber daya tidak pada tempatnya dan terjadinya perpindahan kesejahteraan dari konsumen ke produsen karena konsumen harus membayar lebih mahal dan kehilangan pilihan atas produk. 33 Atas dasar potensi dampak adanya struktur pasar monopoli tersebut maka dapat diketahui potensi dampak terjadinya monopoli atas essential facility yang sebenarnya justru semakin mempertajam potensi terjadinya dampak tersebut karena produknya merupakan produk yang esensial baik bagi pesaing maupun bagi konsumen.
33
Richard A. Posner, Antitrust Law, An Economic Perspective, (Chicago: The University of Chicago Press, 1976), hlm. 8.
Universitas Indonesia Monopoli Atas Essential..., Muhammad hadi Susanto, Pascasarjana UI, 2009