BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definsi Sampah Sampah adalah sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia tetapi bukan biologis karena kotoran manusia tidak termasuk di dalamnya dan umumnya bersifat padat (air bekas tidak termasuk di dalamnya) (Azwar, 2002). Produksi sampah perorangan maupun rumah tangga setiap harinya tidak dapat dipisahkan dari setiap kegiatan kehidupan manusia itu sendiri. Khususnya sampah rumah tangga, berkaitan juga dengan tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan besarnya keluarga (Dainur,1995). Pengelolaan sampah di pedesaan pada umumnya dilakukan dengan cara sungai dan bahkan menumpuk dipekarangan atau kebun. Para ahli telah menemukan berbagai cara penanggulangan sampah, termasuk cara pendaurulangan, namun cara-cara tersebut masih belum memecahkan masalah sampah yang semakin meningkat jumlah dan jenisnya, baik di pedesaan maupun di daerah kumuh perkotaan (Dainur, 1995). (Rohani, 2007:1) Dari penelitian (Rohani, 2007) mengenai perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah di Desa Medan Senembah terdapat perbedaan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Kampung Badur, Kelurahan Hamdan. Dalam penelitian (Rohani, 2007) perilaku masyarakat dapat dilihat dari keberhasilan aspek teknis yang mendukung dalam pengelolaan sampah yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan penanganan yang tepat. Masyarakat membuang sampah tepat pada tempat sampah yang sudah disediakan, karena masyarakat di Desa tersebut memiliki kesadaran yang cukup tinggi dengan pengetahuan sampah dari sosialisasi yang sering dilakukan oleh beberapa instansi. Semua masyarakat ikut berperan dalam mengatasi sampah di lingkungannya. Sehingga tercermin dari perilaku tersebut dengan lingkungan yang bersih, dan nyaman bebas dari polusi bau yang menyebabkan berbagai penyakit. Penelitian yang dilakukan di Kampung Badur, dapat dilihat dari aspek perilaku masyarakat terhadap sampah sangat memprihatinkan dengan cara membuang sampah tanpa berfikir akibat yang akan timbul dari perilaku tersebut. Masyarakat Badur minim kesadaran dalam mengatasi sampah dengan baik di lingkunngannya. Kehadiran sampah di lingkungan dimaknai sebagai material yang kotor dan harus segera dimusnahkan. Kecenderungan masyarakat yang membuang sampah ke sungai juga bentuk dari makna sampah masyarakat Badur. Namun ada beberapa cara lain yang dianggap dapat mengurangi volume sampah di sungai. Masyarakat Badur mengelola sampah dengan cara dikumpulkan dan di buang ke sungai, dikumpulkan kemudian dibakar, dan sampah dikumpulkan lalu di masukkan kedalam karung kemudia sampah ditimbun dengan tanah. Perbedaan cara masyarakat dalam pengelolaan sampah terlihat cukup signifikan antara Desa Medan Senembah dengan masyarakat Kampung Badur.
2.2 Teori Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer Perspektif interaksionisme simbolik memusatkan perhatiannya pada artiarti apa yang ditemukan orang pada perilaku orang lain, bagaimana arti tersebut
Universitas Sumatera Utara
diturunkan dan bagaimana orang lain menanggapinya. Para ahli perspektif interaksi telah banyak sekali memberikan sumbangan terhadap perkembangan kepribadian dan perilaku manusia. Akan tetapi, kurang membantu dalam studi terhadap kelompok-kelompok besar dan lembaga-lembaga sosial. Menurut Blumer (1969: 2) interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga premis, yaitu: 1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. 2. Makna tersebut berasal dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”. 3. Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial berlangsung. Menurut Blumer tindakan manusia bukan disebabkan oleh beberapa “kekuatan luar” tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam”. Blumer (1969: 80) menyanggah individu bukan dikelilingi oleh lingkungan obyek-obyek potensial yang mempermainkannya dan membentuk perilakunya. Manusia merupakan aktor yang sadar dan refleksif, yang menyatukan obyek-obyek yang diketahuinya melalui apa yang disebut Blumer (1969: 81) sebagai proses self-indication. Selfindication adalah “proses komunikasi yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu”. Proses self-indication terjadi dalam konteks sosial di mana individu mencoba “mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan itu”.
Universitas Sumatera Utara
Tindakan manusia penuh dengan penafsiran dan pengertian. Tindakantindakan mana saling diselaraskan dan menjadi apa yang disebut kaum fungsionalis sebgai struktur sosial. Blumer (1969: 17) menyebut fenomena ini sebagai tindakan bersama, atau “pengorganisasian secara sosial tindakan-tindakan yang berbeda dari partisipan yang berbeda”. Setiap tindakan berjalan dlama bentuk prosesual, dan masing-masing saling berkaitan dengan tindakan-tindakan prosesual orang lain. Menurut Blumer studi masyarakat harus merupakan studi dari tindakan bersama, ketimbang prasangka terhadap apa yang dirasanya sebagai sistem yang kabur dan berbagai prasyarat fungsional yang sukar dipahami. Masyarakat merupakan hasil interaksi-simbolis dan aspek ini yang merupakan masalah bagi para sosiolog. Bagi Blumer keistimewaan pendekatan kaum interaksionisme simbolik adalah manusia dilihat saling menfasirkan atau membatasi masingmasing tindakan mereka dan bukan hanya saling bereaksi kepada setiap tindakan itu menurut mode stimulus-respon. Seseorang tidak langsung memberi respon pada tindakan orang lain, tetapi didasari oleh pengertian yang diberikan kepada tindakan itu. Blumer (1969: 79) menyatakan, “dengan demikian interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, oleh kepastian makna dari tindakan-tindakan orang lain. Dalam kasus perilaku manusia, mediasi ini sama dengan penyisapan suatu proses penafsiran di antara stimulus dan respon”. Blumer (1969: 84-85) tidak mendesakkan prioritas dominasi kelompok atau struktur, tetapi melihat tindakan kelompok sebagai kumpulan dari tindakan individu: “Masyarakat harus dilihat sebagai bentuk yang terdiri dari tindakan
Universitas Sumatera Utara
orang-orang dan kehidupan masyarakat terdiri dari tindakan-tindakan orang itu”. Blumer menyatakan bahwa kehidupan kelompok yang demikian merupakan respon pada situasi-situasi di mana orang menemukan dirinya. Interaksionisme simbolik yang ditengahkan Blumer mengandung sejumlah “root images” atau ide-ide dasar, yang dapat diringkas sebagai berikut: 1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial. 2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi-interaksi nonsimbolis mencakup stimulusrespon yang sederhana. Interaksi simbolis mencakup “penafsiran tindakan”. 3. Obyek-obyek, tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna lebih merupakan produk interaksi-simbolis. Obyek-obyek dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yang luas: (a) obyek fisik seperti meja, mobil, tanaman, (b) obyek sosial seperti ibu, guru, teman, (c) obyek abstrak seperti nilai-nilai, hak dan peraturan. Blumer (1969: 10-11) membatasi obyek sebagai “segala sesuatu yang berkaitan dengannya”. 4. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek. 5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Blumer menulis (1969: 15) : Pada dasarnya tindakan manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian kelakuan atas dasar
Universitas Sumatera Utara
bagaimana
mereka
menafsirkan
hal
tersebut.
Hal-hal
yang
dipertimbangkan mencakup berbagai masalah seperti keinginan dan kemauan, tujuan dan sarana yang tersedia untuk mencapainya, serta tindakan yang diharapkan dari orang lain, gambaran tentang diri sendiri, dan mungkin hasil dari cara bertindak tertentu. 6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok; hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai; “organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia” (Blumer, 1969: 17). Sebagian besar tindakan bersama tersebut berulangulang dan stabil, melahirkan apa yang disebut para sosiolog sebagai “kebudayaan” dan “aturan sosial”. (Poloma, 2007: 258-266).
2.3 Perspektif Interaksionisme Simbolik dalam mengkaji Makna Sampah Pada Masyarakat Interaksionisme simbolik adalah interaksi yang terjadi antara individu maupun masyarakat dengan menggunakan simbol-simbol yang berarti, simbolsimbol yang telah memiliki makna, dengan obyek-obyek yang telah ditafsirkan. Tindakan-tindakan bersama yang mampu membentuk struktur disebabkan oleh interaksi simbolis dalam menyampaikan makna menggunakan isyarat dan bahasa. (Poloma, 2007: 274). Masalah sampah dalam perspektif interaksionisme simbolik yaitu melihat perilaku seseorang tergantung pada definisi situasi yang diberikan. Pemaknaan terhadap situasi yang berbeda tentang sampah akan melahirkan perbedaan perlakuan terhadap sampah yang dilakukan manusia. Sebagai tanda sosial,
Universitas Sumatera Utara
sampah memiliki nilai makna yang luas bagi masyarakat baik dari sisi material maupun sosial. Sampah dapat diterjemahkan sebagai tanda sosial yang sarat dengan makna untuk kemudian direnungkan bersama oleh warga masyarakat. Dengan memahami atau mendefinisikan sampah dalam konteks kehidupan manusia, maka akan dapat dirumuskan apa yang harus dilakukan masyarakat terhadap sampah itu sendiri (Sudarma, 2005). (Alfitri, 2009: 35). Masyarakat Kampung Badur di bantaran Sungai Deli memaknai sampah pada umumnya sebagian besar masyarakat masih memaknai sampah sebagai material yang tidak terpakai dan tidak berguna. Sehingga sampah hanya benarbenar diposisikan sebagai takdir material yang berakhir dengan makna “buang”. Makna sampah yang muncul pada masyarakat Badur dihasilkan dari interaksi masyarakat dengan perilaku masyarakat lainnya yang kecenderungannya membuang sampah ke sungai. Bagi masyarakat Kampung Badur sampah sudah sangat melekat bagi kehidupan mereka yang tinggal dengan kondisi banyak sampah di sekitar rumah mereka, juga di sungai sebagai tempat masyarakat membuang sampah. Sehingga makna sampah bagi masyarakat Kampung Badur sebagai material yang biasa dibuang saja, bukan memiliki arti yang bernilai. Pemaknaan pada sampah sudah sepatutnya diubah oleh masyarakat untuk menangani masalah sampah di bantaran Sungai Deli. Sampah sudah sewajarnya dimaknai sebagai material yang memiliki nilai ekonomis dan bisa dimanfaatkan bagi masyarakat bantaran Sungai Deli.
Universitas Sumatera Utara