8 BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka 1. Pelayanan Bedah di Rumah Sakit Pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang penting dalam pelayanan kesehatan. Tindakan pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa, mencegah kecacatan dan komplikasi (Haynes, et al. 2009). Menurut
Brunner
&
Sudarth
(2010),
pembedahan
dapat
dikelompokkan sebagai berikut: a. Bedah Mayor Bedah mayor merupakan pembedahan yang relatif lebih sulit untuk dilakukan dari pada pembedahan minor, membutuhkan waktu, dan melibatkan resiko terhadap nyawa pasien, dan memerlukan bantuan asisten seperti contoh bedah sesar, mammektomi, bedah torak, bedah otak. b. Bedah Minor Beda minor merupakan pembedahan yang secara relatif dilakukan secara simple, tidak memiliki risiko terhadap nyawa pasien dan tidak memerlukan bantuan asisten untuk melakukannya seperti contoh membuka abses superficial, pembersihan luka, inokuasi, superfisial neuroktomi dan tenotomi. 8
9 c. Bedah Emergency Bedah emergency merupakan pembedahan yang dilakukan darurat, tidak boleh ditunda dan membutuhkan perhatian segera (gangguan mungkin mengancam jiwa) seperti contoh luka bakar sangat luas, perdarahan hebat. d. Bedah Elektif Bedah elektif merupakan pembedahan yang dilakukan ketika diperlukan dan kalau tidak dilakukan juga tidak terlalu membahayakan nyawa. Contoh: hernia sederhana, perbaikan vaginal. Selanjutnya
Brunner & Sudarth
(2010), membagi tingkat luka
operasi menjadi luka operasi bersih, luka operasi bersih terkontaminasi, luka operasi terkontaminasi dan luka operasi kotor. Klasifikasi ini mempermudah untuk memprediksikan tingkat infeksi luka setelah operasi. a. Luka Operasi Bersih Luka operasi bersih mempunyai kriteria elektif, tidak emergency, kasus non trauma, tertutup secara primer, tidak ada peradangan akut, tidak ada kesalahan pada teknik aseptik, tidak ada luka tembus ke sistem pernafasan, pencernaa, empedu, saluran kencing dan kelamin. b. Luka Operasi Bersih Terkontaminasi Luka operasi bersih terkontaminasi mempunyai kriteria darurat namun tidak emergency atau luka bersih, pembedahan elektif sistem pernafasan, pencernaa, saluran kemih, tidak termasuk pembukaan saluran empedu yang terinfeksi, kesalahan minor dalam metode aseptik.
10 c. Luka Operasi Terkontaminasi Luka operasi terkontaminasi mempunyai kriteria peradangan non purulen, luka ke dalam empedu atau saluran kencing yang terinfeksi, kesalahan mayor pada teknik aseptik, luka tembus kurang dari 4 jam. Luka terbuka kronis yang akan ditutup. d. Luka Operasi Kotor Luka operasi kotor mempunyai kriteria peradangan yang purulen (abses), perforasi saluran pernafasan preoperatif, pencernaa, empedu dan luka tembeus selama 4 jam. Menurut Cahyono (2008), untuk merancang sistem yang aman dalam tindakan pembedahan, diperlukan beberapa hal yaitu: a. Lingkungan Kerja Lingkungan operasi harus memenuhi persyaratan agar tidak terjadinya KTD. Lingkungan kerja yang memenuhi persyaratan misalnya tenang, sinar, AC, sterilitas ruangan, terbebas dari interupsi seperti adanya panggilan atau telpon, ketersediaan dan pemeliharaan peralatan, kualitas dan kuantitas staf serta beban kerja staf. b. Tim Bedah Tim bedah harus mempunyai keterampilan, pengalaman kerja dan komunikasi verbal dan tertulis sesama anggota tim. Tim bedah harus mempunyai kondisi fisik dan psikologis yang baik (tidak lelah, stres) sehingga kejadian komplikasi atau kejadian tidak diinginkan (KTD) tidak terjadi.
11 c. Proses dan Prosedur Rangkaian tindakan pembedahan merupakan hal yang sangat penting. Untuk mencegah terjadinya kejadian tidak diinginkan
(KTD) pada
prosedur dan proses pembedahan harus dilakukan verifikasi checklist tempat operasi, prosedur perhitungan instrumen operasi (kasa, gunting), adanya pedoman praktek klinis yang evidence-based, penilaian operatif dan standarisasi prosedur anestesi dan bedah d. Individu Individu yang bertugas pada proses pembedahan adalah individu yang memiliki pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan dan keterampilan seorang petugas bedah sangat penting untuk mencegah adanya komplikasi dan kematian pada pasien. Petugas bedah harus sehat fisik dan mental, bersertifikasi, lisensi dan terakreditasi. e. Faktor Pasien 1) Umur Umur
merupakan
faktor
risiko
yang
mempengaruhi
risiko
pembedahan. Penderita yang sangat muda atau lanjut usia mempunyai risiko komplikasi dan kematian yang lebih besar dalam operasi karena mempunyai batas keselamatan yang sempit. 2) Obesitas Penderita pembedahan yang memiliki tubuh yang gemuk mempunyai kecenderungan lebih besar terjangkit luka sesudah operasi daripada orang dengan proporsi yang mempunyai berat badan yang normal. Kegemukan juga meningkatkan kesukaran teknis dalam pembedahan dan pembiusan.
12 3) Penderita yang Membahayakan Penderita
yang
membahayakan
bila
kemampuannya
untuk
memberikan tanggapan normal terhadap infeksi atau trauma diturunkan secara signifikan oleh sesuatu penyakit, sehingga ini sangat berpengaruh terhadap proses pembedahan. 4) Alergi dan Kepekaan Pada proses pembedahan riwayat alergi penderita sangat penting diketahui karena dapat mempengaruhi proses pembedahan. 5) Alergi Obat-obatan yang sedang Dikonsumsi Obat-obatan yang diminum oleh penderita harus dipertimbangkan kelanjutannya. Pertimbangan apakah suatu obat dihentikan atau dilakukan penyesuaian dosis. Obat seperti digitalis, insulin dan kortison biasanya harus terus diberikan dan dosisnya harus diatur dan diteliti selama periode pembedahan dan sesudahnya. 2. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) a. Pengertian Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) Kejadian tdak diharapkan (KTD) merupakan kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau karena tidak bertindak (omission) dan bukan kerena underlying disease atau kondisi pasien (KKP-RS, 2008). Kejadian tidak diharapkan
(KTD) merupakan kejadian yang hasilnya tidak
diharapkan yang mencelakakan pasien karena melakukan suatu tindakan atau karena tidak bertindak dan bukan karena kondisi sakit pasien. Kejadian tidak diharapkan (KTD) sebagai kejadian yang tidak diduga atau tidak diharapkan tetapi menimbulkan cedera, kerugian, atau kerusakan (Institute of Medicine, 2008).
13 Kejadian tidak diharapkan (KTD) ada yang dapat dicegah dan ada yang tidak dapat dicegah. Kejadian tidak diharapkan (KTD) yang dapat dicegah (preventable adverse event) berasal dari kesalahan proses asuhan pasien. Kejadian tidak diharapkan (KTD) sebagai dampak dari kesalahan proses asuhan sudah banyak dilaporkan terutama di negara maju. Kejadian tidak diharapkan (KTD) yang tidak dapat dicegah adalah suatu
kesalahan
akibat
komplikasi
yang
tidak
dapat
dicegah
(unpreventable adverse event) walaupun dengan pengetahuan yang mutakhir (Cahyono, 2008). b. Terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) dan Macamnya Menurut WHO (2011), terjadinya kejadian tidak diharapkan (KTD) dan macamnya dilihat dari area keselamatan pasien dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Layanan Kesehatan Ibu Anak Sekitar dua juta ibu dan bayi meninggal akibat komplikasi persalinan.Sebagian besar iniden tersebut terjadi pada negara berkembang. 2) Infeksi Nosokomial Infeksi nosokomial diperkirakan mengenai 1,4 juta orang. Di negara berkembang, rata-rata sekitar 5-10% pasien rawat inap terkena infeksinosokomial. 3) Koordinasi dan Komunikasi Masalah komunikasi merupakan penyebab tunggal terbesar yang menyebabkan hampir 70% kejadian tidak diharapkan di RS.
14 4) Penggunaan Alat Suntik yang Tidak Aman Sekitar 40% tindakan injeksi di seluruh dunia menggunakan alat suntik dan jarum yang tidak sekali pakai, tanpa proses pensterilan terlebih dahulu. Tindakan tersebut mengakibatkan 1,3 juta kematian tiap tahun di seluruh dunia, kehilangan 26 juta tahun usia hidup. 5) Produk Darah yang Tidak Aman Diperkirakan sekitar 5-10% infeksi HIV di negara berkembang disebabkan oleh transfusi darah yang tidak aman. 6) Efek Samping Obat Berdasarkan penelitian, diperkirakan sekitar 10% pasien mengalami efek samping obat yang sebagian besar dapat dicegah. Pada beberapa negara, angka rawat inap akibat efek samping obat mencapai lebih dari 10% total rawat inap. c. Dampak Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) Dampak yang ditimbulkan dari kejadian tidak diharapkan (KTD) dapat merugikan baik pihak rumah sakit, staf yang terlibat terutama pasien yang menerima layanan. Dampak yang ditimbulkan antara lain menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan (Walshe & Boaden, 2006), rendahnya kualitas atau mutu asuhan yang diberikan, karena keselamatan pasien adalah bagian dari mutu (Cahyono, 2008), dan tentunya tuntutan hukum terkait cedera yang dialami pasien karena rumah sakit wajib mendahulukan keselamatan nyawa pasien (Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009).
15 Kondisi ini harus mampu diantisipasi oleh penyelenggara layanan agar keselamatan pasien terjamin, kontinuitas pelayanan dan organisasi tetap berjalan. d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) Menurut Dineen (2008), faktor-faktor
utama yang berperan
terhadap kejadian tidak diharapkan (KTD) meliputi: faktor pasien, faktor individu, faktor tugas, faktor komunikasi, faktor tim kerja, faktor sosial, faktor training dan edukasi, faktor peralatan dan sumber-sumber, faktor kondisi kerja, faktor strategi dan faktor organisasi. Delapan faktor juga diungkapkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009) sebagai faktor yang berkontribusi terhadap kejadian tidak diharapkan (KTD) meliputi: faktor eksternal rumah sakit, faktor organisasi dan manajemen, faktor lingkungan kerja, faktor kerjasama tim, faktor petugas, faktor beban kerja atau tugas, faktor pasien itu sendiri dan faktor komunikasi. Agency for Healthcare Research and Quality (2009) mengatakan bahwa faktor yang dapat menimbulkan kejadian tidak diharapkan (KTD) adalah: komunikasi, arus informasi yang tidak adekuat, masalah SDM, hal-hal yang berhubungan dengan pasien, transfer pengetahuan di rumah sakit, alur kerja, kegagalan teknis, kebijakan dan prosedur yang tidak adekuat. Penelitian yang dilakukan Reason dalam Henrikson (2008) menyebutkan dua kelompok besar faktor penyebab terjadinya kejadian
16 tidak diharapkan (KTD) yaitu kesalahan atau kegagalan yang bersifat aktif (active errors or active failure) dan kondisi laten (latent condition). Kegagalan aktif lebih kepada tindakan yang tidak aman yang dilakukan oleh staf yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien atau langsung bersentuhan dengan sistem (Reason, 2007). Tindakan yang tidak aman ini dalam variasi yang berbeda dapat berupa: kehilangan memori atau lupa, di luar perhitungan, kesalahan dan pelanggaran prosedur. Kondisi laten merupakan kondisi yang tidak dapat dielakan, tumbuh dari keputusan yang dibuat oleh para penyusun kebijakan, manajemen puncak. Kondisi laten ini dapat berupa tekanan waktu, kekurangan tenaga, peralatan yang tidak adekuat, kelelahan dan kurang pengalaman. 3. Keselamatan Pasien Operasi a. Pengertian Keselamatan Pasien Operasi Menurut Cahyono (2008), patient safety (keselamatan pasien) secara sederhana dapat diartikan sebagai pemberian layanan yang tidak mencederai atau merugikan pasien. Selanjutnya, Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/ VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit menyebutkan bahwa keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
17 timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Pasal 7 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit menyebutkan bahwa setiap rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien, yang meliputi: (1) hak pasien; (2) mendidik pasien dan keluarga; (3) keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan; (4) penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pada pasien; (5) peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien; (6) mendidik staf tentang keselamatan pasien; (7) komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien. Selanjutnya Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit menyebutkan bahwa setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan sasaran keselamatan pasien yang meliputi 6 sasaran, yaitu: (1) ketepatan identifikasi pasien; (2) peningkatan komunikasi yang efektif; (3) peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai; (4) kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi; (5) pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan (6) pengurangan risiko pasien jatuh. Berkaitan dengan keselamatan pasien operasi, Cahyono (2008) menyebutkan bahwa keselamatan pasien operasi merupakan pemberian
18 layanan pembedahan yang aman dan berkualitas pada pasien di ruang operasi dengan tidak mencederai atau merugikan pasien. b. Waktu dan Cara Pelaksanaan Keselamatan Pasien Operasi Telah dipaparkan sebelumnya bahwa keselamatan pasien operasi merupakan pemberian layanan pembedahan yang aman dan berkualitas pada pasien di ruang operasi dengan tidak mencederai atau merugikan pasien. Dalam hal
pembedahan dilakukan oleh tim profesional yang
terdiri dari dokter bedah, dokter anestesi, perawat, dan tenaga lainnnya yang diperlukan. Tim bedah harus konsisten melakukan pembedahan dengan baik mulai dari the briefing phase, the time out phase, the debriefing phase sehingga dapat meminimalkan setiap risiko yang tidak diinginkan. Keselamatan pasien operasi dilakukan melalui 3 tahap, masingmasing sesuai dengan alur waktu yaitu sebelum induksi anestesi (sign in), sebelum insisi kulit (time out) dan sebelum mengeluarkan pasien dari ruang operasi (sign out). 1) Pada fase sign in sebelum induksi anestesi dilakukan pemeriksaan apakah identitas pasien telah dikonfirmasi, prosedur dan sisi operasi sudah benar, sisi yang akan dioperasi telah ditandai, persetujuan untuk operasi telah diberikan, oksimeter pulse pada pasien berfungsi. Selain itu dilakukan konfirmasi faktor resiko pasien, apakah pasien ada risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas, reaksi alergi, dan sebagainya.
19 2) Pada fase time out setiap anggota tim operasi memperkenalkan diri dan peran masing-masing. Tim operasi memastikan bahwa semua orang di ruang operasi saling kenal. Sebelum melakukan sayatan pertama pada kulit tim mengkonfirmasi dengan suara yang keras mereka melakukan operasi yang benar, pada pasien yang benar. Mereka juga mengkonfirmasi bahwa antibiotik profilaksis telah diberikan dalam 60 menit sebelumnya. 3) Pada fase sign out tim bedah akan meninjau operasi yang telah dilakukan. Dilakukan pengecekan kelengkapan spons, penghitungan instrumen, pemberian label pada spesimen, kerusakan alat atau masalah lain yang perlu ditangani. Langkah akhir yang dilakukan tim bedah adalah rencana kunci dan memusatkan perhatian pada manajemen post operasi serta pemulihan sebelum memindahkan pasien dari kamar operasi (Surgery & Lives, 2008). 4. Surgical Patient Safety Checklist a. Pengertian Surgical Safety Checklist Surgical Safety Checklist adalah sebuah daftar periksa untuk memberikan pembedahan yang aman dan berkualitas pada pasien. Surgical Safety Checklist merupakan alat komunikasi untuk keselamatan pasien yang digunakan oleh tim profesional di ruang operasi (Safety & Compliance, 2012) b. Manfaat Surgical Safety Checklist 1) Surgical Safety Checklist disusun untuk membantu tim bedah untuk mengurangi angka kejadian yang tidak diharapkan (KTD). Banyaknya kejadian tidak diinginkan (KTD) yang terjadi akibat pembedahan mengakibatkan WHO membuat program surgical
20 safety checklist untuk mengurangi kejadian tidak diinginkan (KTD). Dalam praktiknya surgical safety checklist bermanfaat untuk mengurangi angka kematian dan komplikasi, beberapa penelitian menunjukkan angka kematian da komplikasi berkurang setelah digunakan surgical safety checklist. Penelitian Haynes menunjukkan angka kematian berkurang dari 1,5% menjadi 0,8% dan angka komplikasi berkurang dari 11% menjadi 7,0% (Haynes, et al. 2009). Penelitian Latonsky menghasilkan hal yang serupa bahwa jika Surgical Safety Checklist dilaksanakan secara konsisten maka angka kematian mengalami penurunan dari 1,5% menjadi 0,8% dan angka komplikasi turun dari 11% menjadi 7% (Latonsky, et al., 2010). 2) Menurunkan surgical site infection dan mengurangi risiko kehilangan darah lebih dari 500 ml. Penelitian Weiser menunjukkan angka infeksi luka operasi (ILO) mengalami penurunan setelah dilakukan penelitian dengan menggunakan SSCL. Angka ILO turun dari 11,2% menjadi 6,6% dan risiko kehilangan darah lebih dari 500 ml turun dari 20,2% menjadi 13,2% (Weizer, et al. 2008). 3) Menurunkan proporsi pasien yang tidak menerima antibotik sampai insisi kulit. Vries pada penelitian tentang “a Surgical Patient Safety System” menghasilkan penerapan Surgical Patient Safety System pra operasi menghasilkan waktu yang lebih lama dari 23,9-29,9 menjadi 32,9 menit, akan tetapi jumlah pasien yang tidak menerima antibotik sampai insisi kulit menurun sebesar 6% (Depkes RI, 2006).
21 4) Fungsi yang paling umum adalah menyediakan informasi yang detail mengenai kasus yang sedang dikerjakan, korfimasi detail, penyuaraan fokus diskusi dan kemudian pembentukan tim (Depkes RI, 2006). 5) Penggunaan checklist kertas merupakan salah satu solusi karena checklist kertas dapat disediakan dengan cepat dan membutuhkan biaya sedikit, selain itu checklist kertas juga dapat disesuaikan ukuran dan bentuknya sesuai dengan kebutuhan serta tidak memerlukan penguasaan teknologi yang tinggi untuk mengisinya (Depkes RI, 2008). c. Implementasi Surgical Safety Checklist Surgical safety checklist di kamar operasi digunakan melalui 3 tahap, masing-masing sesuai dengan alur waktu yaitu sebelum induksi anestesi (sign in). Sebelum insisi kulit (time out) dan sebelum mengeluarkan pasien dari ruang operasi (sign out) (Haynes, et al. 2009). Implementasi SurgIcal Safaty Checklist memerlukán seorang koordinator yang bertanggung jawab untuk memeriksa checklis. Koordinator biasanya seorang perawat, dokter atau profesional kesehatan lainnya yang terlibat dalam operasi. Surgical Safety Checklist dibagi tiga tahap yaitu sebelum induksi anestesi (Sign In), periode setelah induksi dan sebelum bedah sayatan (Time Out), serta periode selama atau segera setelah penutupan luka sebelum mengeluarkan pasien dari operasi kamar (Sign Out). Pada setiap fase, koordinator checklist harus diizinkan untuk mengkonfirmasi bahwa tim telah menyelesaikan tugasnya sebelum melakukan kegiatan lebih lanjut.
22 Fase Sign In sebelum induksi anestesi koordinator secara verbal memeriksa apakah identitas pasien delah dikonfirmasi, prosedur dan sisi operasi sudah benar, sisi yang akan dioperasi telah ditandai, persetujuan untuk operasi telah diberikan oksimeter pulse pada pasien berfungsi. Koordinator dengan profesional anestesi mengkonfirmasi resiko pasien apakah pasien ada risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas, reaksi alergi. Fase Time Out setiap anggota tim operasi memperkenalkan diri dan peran masing-masing. Tim operasi memastikan bahwa semua orang di ruang operasi saling kenal. Sebelum melakukan sayatan pertama pada kulit tim mengkonfirmasi dengan suara yang keras mereka melakukan operasi
yang
benar,
pada
pasien
yang
benar.
Mereka
juga
mengkonfirmasi bahwa antibiotik profilaksis telah diberikan dalam 60 menit sebelumnya. Fase Sign Out tim bedah akan meninjau operasi yang telah dilakukan. Dilakukan pengecekan kelengkapan spons, penghitungan instrumen, pemberian label pada spesimen, kerusakan alat atau masalah lain yang perlu ditangani. Langkah akhir yang dilakukan tim bedah adalah rencana kunci dan memusatkan perhatian pada manajemen post operasi serta pemulihan sebelum memindahkan pasien dari kamar operasi (Surgery & Lives, 2008). 1) Sebelum induksi anestesi (Sign In) Perawat melakukan sign in di ruang serah terima sebelum pasien masuk kamar operasi. Langkah-langkah Surgical Safety Checklist sebagai berikut:
23 a) Perawat mengkonfirmasi kepada pasien mengenai identitas, sisi yang akan dioperasi, prosedur dan persetujuan tindakan di ruang serah terima instalasi. Setelah konfirmasi lengkap maka pasien masuk ruang operasi untuk konfirmasi tahapan berikutnya. Langkah ini sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya operasi pada pasien yang salah, sisi yang salah dan prosedur. b) Sisi yang akan dioperasi sudah ditandai Pada item pemberian sisi pada pasien yang akan dioperasi koordinator checklist harus mengkonfirmasikan bahwa ahli bedah melakukan operasi telah menandai sisi yang akan dilakukan pembedahan. c) Obat dan mesin anestesi telah diperiksa secara lengkap Koordinator meminta dokter anestesi memeriksa peralatan anestesi, sistem pernafasan (oksigen dan inhalansi) apakah berfungsi dengan baik serta memeriksa ketersediaan obat sebelum melakukan induksi anestesi. d) Pulse oksimetri pada pasien berfungsi Koordinator checklist menegaskan sebelum induksi anestesi bahwa oksimeter pulse telah dipasang pada pasien dan berfungsi dengan baik. Bila dimungkinkan sebuah sistem suara digunakan untuk mengingatkan tim bedah tentang denyut nadi dan saturasi oksigen oksimetri. Pulse oksimetri direkomendasikan oleh WHO sebagai komponen penting dalam pemberian anesetesi.
24 e) Apakah pasien memiliki alergi Koordinator checklist menanyakan 2 pertanyaan pada anestesi profesional.
Pertanyaan
pertama
koordinator
checklist
menanyakan apakah pasien mengalami alergi yang telah diketahui anestesi, kemudian sebutkan jenis alerginya, hal ini dilakukan untuk mengkonfirmasi bahwa anestesi mengetahui adanya alergi yang akan menimbulkan risiko pada pasien. Jika koordinator mengetahui bahwa anestesi tidak tahu ada alergi maka informasi ini harus dikomunikasi. f) Apakah pasien memiliki risiko aspirasi Dokter anestesi akan menulis kesulitan jalan nafas pada status sehingga pada tahapan Sign In tim bedah dapat mengetahuinya dan mengantisipasi pemakaian jenis anestesi yang digunakan. Risiko aspirasi divevaluasi sebagai bagian dari penilaian jalan nafas. Jika pasien memiliki gejala refluks aktif atau perut penuh, dokter anestesi harus mempersiapkan untuk kemungkinan aspirasi. Risiko ini dapat dikurangi dengan memodifikasi rencana anestesi, misalnya menggunakan teknik induksi cepat dan dengan bantuan asisten memberikan tekanan krikoid selama induksi untuk mengantisipasi risiko aspirasi pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi. g) Apakah pasien memiliki risiko kehiliangan darah lebih dari 500 ml? Kehilangan darah merupakan salah satu bahaya yang paling umu dan penting bagi pasien. Syok hipovelemik meningkat ketika
25 darah mengalami kekurangan lebih dari 500 ml (7 mil/ kg pada anak). Pasien yang mempunyai risiko kehilangan darah lebih dari 500 ml dipersiapkan darah sehari sebelum dilakukan operasi. Dokter anestesi akan mempersiapkan infus 2 jalur atau kateter vena sentral dan tim harus mengkonfirmasikan ketersediaan darah untuk resusitasi. Untuk meningkatkan keamanan kehilangan darah harus ditinjau kembali oleh dokter bedah pada waktu time out. 2) Sebelum Insisi Kulit (Time Out) Tindakan hening sejenak dengan melakukan doa bersama dilakukan semua anggota tim bedah sebelum membuat insisi. a) Konfirmasi identitas tim bedah Konfirmasi tim bedah dengan cara tim bedah memperkenalkan diri dan peranannya masing-masing karena anggota tim operasi sering berubah. b) Dokter, anetesi dan perawat mengkonfirmasi secara lisan pasien, sisi operasi dan prosedur pembedahan. Sebelum melakukan tindakan operasi, operator memastikan identitas pasien. Secara lisan anggota tim mengkonfirmasi nama pasien, sisi operasi, telah menandai sisi yang di operasi. Sebagai contoh, perawat secara lisan mari kita Time Out dan kemudian melanjutkan apakah semua orang setuju bahwa ini adalah X pasien, mengalami Hernia Inguinal kanan. Jika pasien tidak dibius maka pasien dapat mengkonfirmasi hal yang sama. Hal ini dilakukan untuk memastikan tim bedah tidak melakukan salah sisi pada pasien.
26 c) Antisipasi peristiwa kritis Komponen yang penting dalam operasi adalah mengantisipasi keadaan yang membahayakan, komunikasi tim yang efektif, kerja tim yang efisiensi dan pencegahan komplikasi. d) Dokter review: apa langkah kritis, durasi operasi dan kehilangan darah diantisipasi? Diskusi
langkah-langkah
kritis
yang
dilakukan
untuk
meminimalkan risiko pembedahan. Semua anggota tim mendapat informasi dari dokter. Risiko kehilangan darah yang cepat, cidera atau morbiditas untuk meninjau langkah-langkah yang memrukan peralatan khusus. Sebelum dilakukan operasi pasien dan anggota keluarga
diberitahukan
risiko
tindakan
dan
kemungkinan
perubahan prosedur tindakan. e) Anaesthesia team reviews: are there any patient-specific concerns? Anggota tim anestesi memperhatikan penyakit penyerta pasien. Tim anestesi harus memperhatikan rencana tindakan untuk resusitasi,
penggunaan
darah
pada
pasien
yang berisiko
kehilangan darah besar, ketidakstabilan hemodinamik atau lainnya. f) Nursing team reviews: has sterility (including indicator results) been confirmed? Are there equipment issues oe\r any concerns? Perawat menanyakan kepada dokter bedah mengenai alat-alat yang diperlukan sehingga perawat memastikan istrumen di kamar operasi telah steril dan lengkap.
27 g) Apakah antibiotik profilaksis telah diberikan 60 menit terakhir. Anggoa tim yang bertanggung jawab pada pemberian antibiotik profilaksis adalah dokter anestesi (WHO, 2009). Jika antibiotik diberikan lebih dari 60 menint sebelumnya maka tim bedah harus mempertimbangkan pemberian antibiotik ulang pada pasien. h) Ahli bedah akan memastikan pemeriksaan penunjang berupa foto apakah perlu ditampilkan di kamar operasi. Dokter bedah memberi keputusan apakah foto penunjang diperlukan dalam pelaksaan operasi atau tidak. Jika foto penunjang diperlukan tapi tidak ada maka harus diperoleh. 3) Sebelum mengeluarkan pasien dari ruang operasi (Sign Out) a) Procedure Recorded Koordinator checklist mengkonfirmasi pada dokter bedah dan tim apakah prosedur atau sebagai konfirmasi “kami melakukan prosedur X, benar?” b) Penghitungan instrumen, jarum dan kasa Perawat instrumen memberitahukan secara lisan kepada tim mengenai kelengkapan instrumen, jika jumlah tidak tepat maka anggota tim memeriksa di lipatan kain operasi dan jika perlu memeriksa di tempat sampah. c) Jika ada spesimen harus dilakukan pelabelan Pelabelan sangat penting dilakukan, hal ini dilakukan untuk diagnostik spesimen patologi. Perawat sirkuler dan dokter bedah membuat label dengan cara membuat label pada spesimen yang diperoleh selama prosedur operasi dengan membuat pengantar patologi dan menggambarkan bentuk dan ciri spesimen.
28 d) Are there any equipment problems to be addressed? Apakah ada masalah peralatan di kamar operasi yang bersifat universal sehingga koordinator harus mengidentifikasi peralatan yang bermasalah sehingga dapat ditangani. e) Surgeon, Anaesthesia Professional And Nurse Review The Key Concerns For Recovery And Management Of This Patient Pada tahap akhir, sebelum mengeluarkan pasien dari ruang operasi. Dokter bedah, anestesi dan perawat harus memperhatikan rencana pemulihan pasca operasi. Sebelum pasien dikeluarkan dari
ruang operasi
anggota
tim
melakukan
pemeriksaan
keselamatan, saat pasien dipindahkan dari ruang operasi maka anggota tim bedah memberikan informasi tentang pasien kepada perawat yang bertanggung jawab di ruang pemulihan. Tujuan dari langkah ini adalah efisiensi dan tepat trasfer informasi penting untuk seluruh tim (Surgery & Lives, 2008).
29 B. Kerangka Teoritis Process: Sign in: - Konfirmasikan pasien - Sisi pembedahan - Kelengkapan dan fungsi anestesi - Pulse oksimetri - Alergi - Kesulitan nafas - Resiko kehilangan darah Input: - Sumber daya dan lingkungan kerja - Operasi yang steril - Operator yang aman - Anestesi Yang aman - Monitoring dan jaminan kualitas - Pasien - Jenis pembedahan - Jenis luka operasi
Time Out: - Tim operasi memperkenalkan diri dan peranannya. - Konfirmasi lesan identitas pasien - Konfirmasi lesan lokasi pembedahan - Konfirmasi lesan prosedur pembedahan - Dokter bedah melakukan pengecekan ketepatan antisipasi peristiwa kritis, durasi pembedahan, resiko kehilangan darah. - Tim anestesi melakukan pengecekan ada tidaknya masalah pada pasien sebelum dilakukan pembedahan. - Perawat melakukan pengecekan kesterilan peralatan bedah. - Antibiotik diberikan 60 menit sebelum pembedahan. - Pemeriksaan penunjang ditampilkan di kamar operasi.
Outcome: Menurunkan Kejadian Yang tidak Diinginkan (KTD)
Sign Out: - Konfirmasi prosedur pembedahan - Penghitungan instrumen, kasa, dan Jarum - Pelabelan spesimen - Permasalahan peralatan bedah - Tim bedah melakukan pengecekan akhir Gambar 2.1 Kerangka Teori (Sumber: Cahyono (2008); Depkes RI (2006); Surgery & Lives (2008); Safety & Compliance (2012), Haynes, et al. (2009).
30 C. Kerangka Konsep Input: - Sumber daya dan lingkungan kerja - Operasi yang steril - Operator yang aman - Anestesi Yang aman - Monitoring dan jaminan kualitas - Pasien - Jenis pembedahan - Jenis luka operasi
Time Out: - Tim operasi memperkenalkan diri dan peranannya. - Konfirmasi lesan identitas pasien - Konfirmasi lesan lokasi pembedahan - Konfirmasi lesan prosedur pembedahan - Dokter bedah melakukan pengecekan ketepatan antisipasi peristiwa kritis, durasi pembedahan, resiko kehilangan darah. - Tim anestesi melakukan pengecekan ada tidaknya masalah pada pasien sebelum dilakukan pembedahan. - Perawat melakukan pengecekan kesterilan peralatan bedah. - Antibiotik diberikan 60 menit sebelum pembedahan. - Pemeriksaan penunjang ditampilkan di kamar operasi.
Outcome: Menurunkan Kejadian Yang tidak Diinginkan (KTD)
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Keterangan: : Diteliti
: Tidak Diteliti
D. Pertanyaan Penelitian Bagaimana gambaran penerapan keselamatan pasien saat operasi (Surgical Patient Safety) fase time out pada pasien bedah mayor di IBS RSUD Kebumen.