9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Edukasi Pelanggan (Customer Education) Sosialisasi suatu produk baik berupa barang maupun jasa perlu dilakukan oleh suatu perusahaan untuk mencapai sasaran pemasarannya yang dilakukan dengan bauran pemasaran, salah satunya melalui komunikasi pemasaran. Proses sosialisasi tersebut dapat dilakukan dengan memberikan edukasi, baik kepada pelanggan potensial maupun kepada pelanggan yang sudah pernah menggunakan produk perusahan baik barang atau jasanya. Menurut Bloom (1976) dalam Aubert (2007), Consumer Education adalah proses di mana orang mempelajari cara kerja pasar sehingga mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk bertindak sebagai pembeli atau konsumen produk-produk dan jasa. Hal ini bertujuan untuk mengajarkan orang bagaimana untuk mencari, menggunakan, dan mengevaluasi informasi konsumen sehingga mereka dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk membeli atau mengkonsumsi produk dan layanan yang mereka anggap paling mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Engel et al. (1990) menyebutkan bahwa Consumer Education adalah upaya edukasi yang membantu pelanggan untuk membeli secara bijaksana. Pengetahuan baru dan pengalaman pribadi berfungsi sebagai timbal balik bagi individu dan memberikan patokan pada perilakunya di masa yang akan datang dalam situasi yang serupa. Menurut Oumlil and William (2000), Consumer Education dapat menjadi alat yang efektif dan layak melalui strategi pemasaran yang dapat diimplementasikan.
9
10
Beberapa perusahaan menggunakan pendidikan konsumen sebagai bentuk promosi diri dan iklan. Program ini memiliki potensi untuk menguntungkan konsumen. Pendidikan konsumen dan konseling juga dapat mencakup informasi dan pelayanan rujukan untuk orang tua. Melalui konseling dan pendidikan, konsumen dewasa dapat belajar mengenai pelayanan yang sebelumnya tidak mereka ketahui. McNeal (1978) dalam Oumlil and William (2000) mengemukakan keuntungan dari melihat Consumer Education sebagai bagian dari strategi bersaing : 1) Membantu mendapatkan dan mempertahankan pelanggan yang puas. 2) Memberikan kontribusi untuk membentuk sikap yang baik antara konsumen terhadap suatu produk atau perusahaan. 3) Membantu mengurangi konfrontasi dengan pendukung konsumen. Berkaitan dengan edukasi pasien di Rumah Sakit, tujuan utama edukasi adalah untuk mendukung pasien didalam penggunaan produk maupun jasa perusahaan, bukan hanya memperoleh informasi saja yang dapat disebut Customer Education. Menurut Meer (1984) dalam Aubert (2007) definisi Customer Education adalah pendidikan atau edukasi untuk para pelanggan yang mengacu pada tujuan aktivitas pembelajaran yang berkelanjutan dan terorganisir yang dirancang untuk memberikan sikap, pengetahuan, atau keterampilan untuk pelanggan atau pelanggan potensial. Kegiatan pendidikan secara langsung berkaitan untuk mempromosikan penjualan atau untuk membantu pelanggan dalam penggunaan produk atau layanan. Honobein (1997) menyebutkan bahwa pendidikan pelanggan adalah proses yang sistematis dari perusahaan untuk berbagi pengetahuan dan keterampilan dengan pelanggan untuk mendorong pengembangan sikap positif.
11
2.2 Dimensi Edukasi Pelanggan (Customer Education Dimension) Gagne and Medsker (1996) dalam Aubert (2007) menyebutkan dua dimensi untuk menilai edukasi pelanggan yaitu knowledge dan skill. Pendapat lain dikemukakan oleh Gummeson (2000) dalam Burton (2002) yang menyatakan bahwa Consumer Information, education and knowledge yang digunakan untuk menilai edukasi pelanggan. Disamping itu, Wells dan Antherton (1998) dalam Lubis (2009) menyatakan bahwa edukasi pelanggan adalah berkaitan dengan pengembangan skill, attitudes, knowledge, dan pemahaman yang dibutuhkan oleh masyarakat yang kompleks. Pengembangan pandangan ini menunjukkan bahwa edukasi pelanggan adalah penentuan Information, skill, dan knowledge pelanggan. Flowers et al., (2001) menyebutkan beberapa pendekatan dasar dari Customer Education, yaitu : 1. Informasi pilihan (Informed choice ) Consumer Education terfokus pada lengkap tidaknya penyediaan informasi yang dapat membantu individu membuat pilihan yang lebih baik dalam memilih barang / jasa yang akan mereka beli (Bettman, 1979 ; Walters, 1978). Dalam menyerap informasi yang tersedia, konsumen dibantu untuk menjadi lebih terampil sebagai pembeli barang dan jasa. 2. Perlindungan dari eksploitasi (Protection from exploitation ) Pendekatan lain untuk Consumer Education adalah untuk melindungi konsumen dari praktek kecurangan dan operasi pasar yang eksploitatif (Singh, 1991 p.vii). Di dalam pendekatan ini, diakui bahwa pasar tidak
12
selalu beroperasi secara efisien dan banyak konsumen bahkan tidak memperoleh informasi yang diperlukan untuk membuat pilihan yang rasional. 3. Critical view Pendekatan ini didasarkan kepada situasi yang berkembang saat ini, yaitu konsumen sudah mulai berpikir kritis mengenai apa yang mereka inginkan dan apa yang mereka butuhkan.
2.3 Kualitas Layanan (Service Quality) Kualitas adalah kecocokan untuk pemakaian (fitness for use), yang menekankan orientasi pada pemenuhan harapan pelanggan (Tjiptono,1997:11), sedangkan menurut Chandra (2002:6), kualitas adalah fitness for use dan conformance to requirement. Kualitas di mata pelanggan ditentukan atas dasar nama yang terkenal, rekomendasi dari mulut ke mulut, pengalaman masa lalu, kinerja, daya tahan, kecakapan kerja, harga, reputasi pemanufaktur, kualitas itu sendiri, dan kemudahan untuk digunakan (Tjiptono,1997:3). Dari beberapa definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kualitas menekankan orientasi pada pemenuhan harapan pelanggan. Dibidang kegiatan Rumah Sakit menekankan layanan jasa sebagai orientasi dalam pemenuhan harapan
pasien
sebagai
pelanggan.
Kotler
(2002:48)
mengungkapkan : Jasa adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksinya dapat dikaitkan atau tidak
13
dikaitkan dengan suatu produk fisik. Menurut Supranto (2001:227) : Jasa/pelayanan merupakan suatu kinerja penampilan, tidak berwujud dan cepat hilang, lebih dapat dirasakan daripada dimiliki, serta pelanggan lebih dapat berpartisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi jasa tersebut. Sedangkan Kotler dan Amstrong (1996 :660) : A service is any activity or benefit that one party can offer to another that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything. Its production may or not be tied to a phsical product. Rangkuti (2002:26) menyebutkan : Jasa merupakan pemberian suatu kinerja atau tindakan tak kasat mata dari satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya jasa diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan, dimana interaksi antara pemberian jasa dan penerimaan jasa mempengaruhi hasil jasa tersebut. Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat dijelaskan bahwa jasa adalah tindakan atau kinerja tidak berwujud. Pendapat yang agak berbeda dan lebih lengkap disampaikan oleh Boyd and Walker (1992:13) yang menyatakan : Service are less tangible and in addition to being provided by physical object, can be provided by people (doctors, lawyers, architects), institutions (The Roman Catholic Church, The United Way), places (Disney World, and The South of France) and activities (a contest or a stop-smoking program). Lovelock dan Wright (2007:96) menyatakan bahwa sebelum pelanggan membeli suatu jasa, mereka memiliki harapan tentang kualitas jasa yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan pribadi, pengalaman sebelumnya, rekomendasi dari mulut ke mulut, dan iklan penyedia jasa. Setelah membeli dan menggunakan jasa
14
tersebut, pelanggan membandingkan kualitas yang diharapkan dengan apa yang benar-benar mereka terima. Dalam pandangannya tentang jasa, Kotler (2002, 488:492) menguraikan empat karakteristik utama jasa yang sangat mempengaruhi rancangan program pemasaran, yaitu : 1. Tidak berwujud (Intangibility). Jasa bersifat tidak berwujud, jasa tidak dapat dilihat, diraba, didengar atau dicium, sebelum jasa itu dibeli. 2. Tidak
terpisahkan
(Inseparibility).
Umumnya
jasa
dihasilkan
dan
dikonsumsi secara bersamaan. Jika seseorang memberikan pelayanan, maka penyedianya merupakan bagian dari jasa tersebut. Karena kliennya juga hadir pada saat jasa dilakukan, interaksi penyedia-klien merupakan ciri khusus pemasaran jasa. Baik penyedia maupun klien mempengaruhi hasil jasa. 3. Bervariasi (Variability). Jasa sangat bervariasi tergantung pada siapa yang menyediakan serta kapan dan dimana jasa itu diberikan. 4. Mudah dilenyapkan (Perishability). Jasa tidak bisa disimpan. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Tjiptono (2004:18) mengutarakan ada lima karakteristik jasa yaitu intangibility, inseparability, variability, perishability, dan lack of ownership. 1. Intangibility, tidak seperti produk fisik, produk jasa (service) tidak dapat dilihat, dirasakan, dicium, didengar sebelum dibeli. Sebelum membeli untuk mengurangi ketidakpastian maka pembeli diperlihatkan keterangan yang memberikan informasi tentang mutu jasa dan keyakinan akan jasa tersebut.
15
2. Inseparability,
jasa
tidak
dapat
dipisahkan
dari
sumber
yang
menghasilkannya, ini berarti jasa diproduksi dan dikonsumsi pada saat yang bersamaan karena jika konsumen membeli suatu jasa maka ia akan langsung berhadapan dengan penyedia jasa. 3. Variability, jasa sangat beraneka ragam sehingga produk hotel dapat sangat bervariasi dan kualitas dari jasa tersebut tergantung kepada siapa yang menyediakan jasa, kapan dan dimana. 4. Perishability, jasa itu tidak dapat disimpan, ini berkaitan dengan produksi dan konsumsi jasa yang berlangsung secara bersamaan. 5. Lack of Ownership, merupakan perbedaan dasar antara jasa dan barang. Pada pembelian barang, konsumen memiliki hak penuh atas penggunaan dan manfaat produk yang dibelinya. Di lain pihak, pada pembelian jasa, pelanggan mungkin hanya memiliki akses personal atas suatu jasa untuk jangka waktu terbatas. Misalnya : Kamar hotel, rumah sakit, bioskop.
Kualitas Layanan dibangun atas adanya perbandingan dua faktor utama, yaitu persepsi pelanggan atas layanan nyata yang mereka terima (Perceived Service) dengan layanan yang sesungguhnya yang diharapkan / diinginkan (Expected Service). Jika kenyataan lebih dari yang diharapkan, maka layanan dapat dikatakan bermutu, sedangkan jika kenyataan kurang dari yang diharapkan, maka layanan dikatakan tidak bermutu. Apabila kenyataan sama dengan harapan maka layanan tersebut memuaskan. Definisi umum tentang Service Quality atau yang seringkali disingkat SERVQUAL dinyatakan oleh Zeithaml et al. (1990) yaitu “a customer’s
16
judgment of the overall excellence or superiority of a service”. Dengan demikian Service Quality dapat didefinisikan sebagai seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan pelanggan atas pelayanan yang mereka terima/peroleh. Harapan para pelanggan pada dasarnya sama dengan layanan seperti apakah seharusnya diberikan oleh perusahaan kepada pelanggan. Harapan para pelanggan ini didasarkan pada informasi dari mulut ke mulut, kebutuhan pribadi, pengalaman di masa lampau, dan komunikasi eksternal (iklan dan berbagai bentuk promosi perusahaan lainnya). Menurut Supriadi (2011:35), analisis terhadap kualitas jasa bertujuan untuk mengidentifikasi kesesuaian mutu layanan yang diberikan dengan kepentingan pelanggan. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa ada dua perspektif yang digunakan, yakni : 1. Kualitas sebagai kesesuaian dengan spesifikasi. Dalam lingkungan bisnis rumah sakit, kesesuaian dengan spesifikasi bisa berarti : jadwal dokter poliklinik tepat waktu, tagihan pasien bebas kesalahan, dan tanggapan terhadap keluhan pasien dalam waktu 24 jam. 2. Kualitas sebagai kepatutan dengan tujuan. Rumah sakit dianggap memiliki keandalan yang tinggi bila dapat memberikan diagnosis dan obat yang tepat kepada pasien. Kesuksesan suatu industri jasa tergantung pada sejauh mana perusahaan mampu mengelola aspek berikut (Rangkuti, 2002: 26-27) : 1. Janji perusahaan mengenai jasa yang akan disampaikan kepada pelanggan.
17
2. Kemampuan perusahaan untuk membuat karyawan mampu memenuhi janji tersebut. 3. Kemampuan karyawan untuk menyampaikan janji tersebut kepada pelanggan. Payne menggambarkan suatu kontinum barang murni hingga jasa murni berdasarkan kadar berwujud dan tidak berwujud sebagaimana gambar berikut ini :
Gambar 2.1. Kontinum Intangibility dan Tangibility
Babysitting Unsur Intangibles
Pendidikan Jasa hukum Penerbangan Makanan siap santap Kosmetik Minuman ringan Pakaian Unsur Tangibles
Gula Sumber : Tjiptono (1997)
Dilihat dari unsur intangibles maka babysitting murni hanya mempunyai unsur tangible namun produk Pendidikan, Jasa hukum, dan seterusnya unsur intangibles sudah mulai dirasakan, di mana proporsi unsur tangibles semakin banyak sampai akhirnya pada produk gula hanya ada unsur tangibles murni.
18
Jasa yang tampaknya intangible seperti jasa play group juga mencakup unsur tangible dalam penawarannya, misalnya ruang kelas, mainan, fasilitas bermain, dekorasi kelas, dan seterusnya. Pada hakikatnya terdapat berbagai macam tingkat kombinasi antara barang fisik dan jasa intangible. Menu atau hidangan restoran, misalnya, merupakan kombinasi antara barang fisik (makanan dan fasilitas fisik restoran) dan jasa intangible (penyiapan dan penyajian makanan, jasa reservasi, dan lain-lain). Jasa bisa merupakan produk utama, bisa pula komplementer unik bagi penawaran produk fisik. Lovelock dalam Fandy (2007:115) mengidentifikasi delapan kategori unsur layanan pelengkap pada setiap penawaran produk yang disebutnya “The Flower of Services” : 1. Informasi, misalnya jalan/arah menuju tempat produsen, jadwal atau skedul, penyampaian produk, harga, instruksi mengenai cara menggunakan produk inti
atau
layanan
pelengkap,
peringatan
(warnings),
persyaratan
penjualan/layanan, pemberitahuan tentang adanya perubahan, dokumentasi, konfirmasi, reservasi, rekapitulasi rekening, tanda terima, dan tiket. 2. Konsultasi, seperti pemberian saran, auditing, konseling pribadi, dan konsultasi manajemen/bisnis. 3. Order taking, meliputi aplikasi (keanggotaan di klub atau program tertentu), jasa langganan, jasa berbasis kualifikasi (misalnya perguruan tinggi), order entry, dan reservasi (tenpat duduk, meja, ruang, professional appointments, dan admisi untuk fasilitas yang tebatas seperti pameran).
19
4. Hospitality, diantaranya sambutan, food and baverages, toilet dan kamar kecil, perlengkapan kamar mandi, fasilitas menungggu (majalah, hiburan, koran, ruang tunggu), transportasi, dan jasa keamanan. 5. Caretaking, terdiri atas perhatian dan perlindungan terhadap barang milik pelanggan yang mereka bawa (parkir kendaraan roda dua dan roda empat, penanganan bagasi, titipan tas, dan lain-lain), serta perhatian dan perlindungan atas barang yang dibeli pelanggan (pengemasan, transportasi, pengantaran, instalasi, pembersihan, inspeksi dan diagnosis, pemeliharaan preventif, reparasi dan inovasi, dan upgrades). 6. Exceptions, meliputi permintaan khusus sebelum penyampaian produk, menangani komplain/pujian/saran, penyelesaian masalah (jaminan dan garansi atas kegagalan pemakaian produk, kesulitan yang muncul dalam pemakaian produk, kesulitan yang disbabkan kegagalan produk, termasuk masalah dengan staf atau pelanggan lainnya), dan restitusi (pengembalian uang, kompensasi atau ganti rugi, dan sebagainya) 7. Biling, meliputi laporan rekening periodik, faktur untuk transaksi individual, laporan verbal mengenai jumlah rekening, mesin yang memperlihatkan jumlah rekening, dan self-biling. 8. Pembayaran, dalam bentuk pembayaran swalayan oleh pelanggan, pelanggan berinteraksi dengan personil perusahaan yang menerima pembayaran, pengurangan otomatis atas rekening pelanggan, serta kontrol dan verifikasi.
20
Pendekatan pemasaran 4P tradisional (Produk, Price, Place, Promotion) sering berhasil untuk barang, tetapi elemen tambahan perlu diperhatikan dalam bisnis jasa. Booms dan Bitter menyarankan 3P tambahan dalam pemasaran jasa : People (orang), Physical evidance (bukti fisik), dan Process (proses). Karena sebagaian besar jasa diberikan oleh orang, seleksi, pelatihan, dan motivasi pegawai dapat membuat perbedaan yang besar daalam kepuasan pelanggan. Idealnya, pegawai harus memperlihatkan kompetensi, sikap memperhatikan, responsif, inisiatif, kemampuan memecahkan masalah, dan niat baik. Pemenuhan kriteria yang disebutkan oleh Rangkuti (2002) dan Kottler (2002) mencerminkan kualitas jasa, sebab kualitas jasa diartikan sebagai penyampaian jasa yang akan melebihi tingkat kepentingan pelanggan. Kualitas jasa yang dirasakan oleh pelanggan akan menentukan persepsi pelanggan terhadap kinerja, yang pada gilirannya
akan
berdampak
pada
kepuasan
pelanggan
(Chandra,2002:9).
Parasuraman, Zeithaml, dan Berry membentuk model mutu jasa yang menyoroti syarat-syarat utama dalam memberikan mutu jasa yang tinggi (Kotler,2002:499), mengidentifikasikan lima kesenjangan (gap) yang menyebabkan kegagalan penyampaian jasa yang digambarkan sebagai berikut :
21
Gambar 2.2 Kualitas Jasa Komunikasi dari mult ke mulut
Kebutuhan seseorang
Pengalaman masa lalu
Jasa yang diharapkan
KONSUMEN
Kesenjangan 5
Persepsi mengenai jasa
PEMASAR
Pemberian jasa (termasuk kontrak sebelum dan sesudahnya Kesenjangan 3
Kesenjangan 1
Pengubahan persepsi ke spesifikasi dengan harapan konsumen Kesenjangan 2
Pengolahan persepsi yang berkaitan dengan harapan konsumen
Sumber : Kotler (2002: 498-499)
Kesenjangan 4
Komunikasi eksternal ke konsumen
22
Gambar 2.2 menjelaskan bahwa ada 5 (lima) gap models dalam penyampaian jasa, yaitu : 1. Kesenjangan antara harapan konsumen dan persepsi manajemen : Manajemen tidak selalu memahami dengan tepat apa yang diinginkan oleh pelanggan. 2. Kesenjangan antara persepsi manajemen dan spesifikasi mutu jasa : Manajemen mungkin memahami secara tepat keinginan pelanggan tetapi tidak menetapkan standar kerja tertentu. 3. Kesenjangan antara spesifikasi mutu jasa dan penyampaian jasa : Karyawan kurang terlatih, tidak mampu dan tidak mau memenuhi standar atau berhadapan dengan standar yang berlawanan. 4. Kesenjangan antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal : harapan konsumen dipengaruhi oleh pernyataan yang dibuat perusahaan dan iklan perusahaan. 5. Kesenjangan antara jasa yang dialami dan jasa yang diharapkan : Kesenjangan itu terjadi jika pelanggan memiliki persepsi yang keliru tentang mutu jasa tersebut.
2.4 Dimensi Kualitas Layanan (Service Quality Dimension) Parasuraman et al. (1985) dalam Sriyam (2010) mengidentifikasi faktor penentu untuk mengukur kualitas pelayanan yaitu : 1. Tangibles (bukti nyata) 2. Reliability (kehandalan)
23
3. Responsiveness (ketanggapan) 4. Competence (kemampuan) 5. Access (mudah diperoleh) 6. Courtessy (keramahan) 7. Communication (komunikasi) 8. Credibility (dapat dipercaya) 9. Security (keamanan) 10. Understanding (knowing the costumer) (memahami pelanggan) Sepuluh dimensi tersebut selanjutnya disederhanakan menjadi lima dimensi, (Parasuraman et al. 1988). Kelima dimensi diidentifikasi sebagai berikut : 1. Kehandalan (Reliability) : Kemampuan untuk melaksanakan jasa yang disajikan secara terpercaya dan akurat. Contoh : Staff melakukan tugas-tugas yang telah dijanjikan untuk tamu dan menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh tamu Para pelanggan yang sensitif terhadap masalah seperti telepon diangkat kurang dari lima kali deringan dan pemesanan mereka sesuai keinginan. 2. Daya tanggap (Responsiveness) : Kemampuan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa yang cepat. Staf bersedia untuk membantu pelanggan dan memberikan layanan kepada pelanggan seperti layanan cepat, profesionalisme dalam menangani, dan memulihkan dari kesalahan. Penyedia layanan yang memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan secara tepat waktu adalah komponen penting. Contoh :
24
Staff melayani pelanggan dengan tepat waktu Staff menanyakan nama, alamat dan lain-lain yang diperlukan ketika melakukan reservasi / pembayaran. 3. Jaminan (Assurance) ; Pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan. Sub yang ada didalamnya yaitu : Kemampuan (Competence) yang mencakup skill dan pengetahuan dari staff Rumah Sakit dalam melakukan pelayanan. Misalnya : Dokter mendiagnosa penyakit pasien dengan tepat. Keramahan (Courtessy) Dapat dipercaya (Credibility) Keamanan (Security) dalam arti bebas dari hal-hal yang berbahaya, risiko, dan keragu-raguan. Contohnya : Para tamu/pasien merasa aman ketika mereka berada dalam lingkungan Rumah Sakit, Staff Rumah Sakit dapat mengendalikan segala complain dari tamu / pasien. 4. Empati (Empathy) : Kesediaan untuk peduli, memberi perhatian pribadi kepada pelanggan. Sub yang ada didalamnya yaitu : Mudah diperoleh (Access). Misalnya : pelayanan mudah untuk didapat melalui telepon. Komunikasi
(Communication).
Misalnya
berkomunikasi/menjalin relasi dengan staff.
:
Pasien
mudah
25
Memahami
pelanggan/Understanding
(knowing
the
costumer).
Misalnya : staff (perawat/dokter) memahami kebutuhan pasien, memberikan perhatian khusus kepada pasien. 5. Berwujud (Tangibles) : Penampilan fasilitas fisik,peralatan, petugas, dan materi komunikasi. Bukti fisik dari staff kantor depan termasuk kepribadian dan penampilan personil, peralatan, dan peralatan yang digunakan untuk menyediakan layanan. Sebagai contoh: beberapa hotel (Hilton, Mandarin, Sheraton, dan Hyatt) memastikan bahwa properti mereka sesuai dengan fasilitas standar global dimanapun mereka berada (Nankervics, 1995).
Pendapat lain mengenai dimensi kualitas layanan dikemukaan oleh Garvin (2008), yaitu:
1. Performa (Performance): menyangkut karakteristik operasi dasar. 2. Ketahanan (Durability): jangka waktu hidup sebelum tiba saatnya diganti. 3. Servis (Serviceability): kemudahan servis atau perbaikan ketika dibutuhkan. 4. Estetik (Aesthetics): menyangkut tampilan, rasa, bunyi, bau, atau rasa. 5. Perceived Quality: mutu/kualitas yang diterima dan dirasa customer. 6. Conformance: kesesuaian kinerja dan mutu produk dengan standar. 7. Keandalan (Reliability): kemungkinan produk untuk tidak berfungsi pada periode waktu tertentu. 8. Fitur (Featutes): item-item ekstra yang ditambahkan pada fitur dasar.
26
Untuk memperbaiki kualitas jasa ada beberapa dimensi atau atribut yang harus diperhatikan (Gaspersz, 1997:2) : 1. Ketepatan waktu pelayanan. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah yang berkaitan dengan waktu tunggu dan waktu proses. 2. Akurasi pelayanan. Berkaitan dengan reliabilitas pelayanan dan bebas dari kesalahan. 3. Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan. Citra pelayanan dari industri jasa sangat ditentukan oleh orang orang perusahaan yang berada di garis depan yang berhadapan langsung dengan pelanggan eksternal. 4. Tanggung jawab. Berhubungan dengan penerimaan pesanan dan penanganan keluhan pelanggan eksternal. 5. Kelengkapan. Berkaitan dengan lingkup pelayanan dan ketersediaan saran pendukung, serta pelayanan komplementer lainnya. 6. Kemudahan mendapatkan pelayanan. Berkaitan dengan banyaknya outlet, banyaknya petugas yang melayani, banyaknya fasilitas pendukung. 7. Variasi model pelayanan. Berkaitan dengan inovasi untuk memberikan pola-pola baru dalam pelayanan.
27
8. Pelayanan pribadi. Berkaitan dengan flksibilitas, penanganan permintaan khusus. 9. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan. Berkaitan
dengan lokasi, ruangan tempat pelayanan, kemudahan
menjangkau, tempat parkir, ketersediaan informasi, dan petunjuk-petunjuk. 10. Atribut pendukung lainnya. Antara lain lingkungan, kebersihan, ruang tunggu, fasilitas musk, AC.
2.5 Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction) Kotler (2007:31) menyebutkan bahwa kepuasan mencerminkan penilaian komparatif seseorang yang merupakan hasil dari kinerja (atau hasil) yang dirasakan dari produk dalam hubungan dengan harapannya. Jika kinerja jauh di bawah harapan, pelanggan tidak puas dan kecewa. Jika kinerja sesuai dengan harapan, pelanggan puas. Jika kinerja melampaui harapan, pelanggan sangat puas atau sangat senang. Menurut Umar (2000:50) kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan pelanggan setelah membandingkan kenyataan dan harapannya. Semakin pelanggan merasa puas dengan nilai yang diberikan oleh produk atau jasa maka sangat besar kemungkinannya untuk menjadi pelanggan dalam waktu yang lama. Buttle (2007) dalam Supriadi (2011) mengemukakan bahwa kepuasan pelanggan adalah respon berupa perasaan puas yang timbul karena pengalaman menggunakan suatu produk, atau sebagian kecil dari pengalaman itu. Kepuasan pelanggan akan meningkat apabila perusahaan mampu memahami tuntutan,
28
memenuhi harapan, dan mewujudkan nilai pelanggan. Nilai yang dipikirkan pelanggan adalah selisih antara evaluasi calon pelanggan atas semua manfaat serta semua biaya yang ditawarkan dan alternatif-alternatif yang dipikirkannya. Seorang pelanggan akan memberikan nilai yang tinggi terhadap suatu jasa apabila dia merasa manfaat yang didapatkan lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan, serta jasa lain dari penyedia jasa kompetitor tidak mampu memberikan manfaat yang lebih baik. Demikian pula sebaliknya, apabila biaya yang dikeluarkan seorang pelanggan lebih besar dibandingkan manfaat yang diperolehketika membeli jasa tertentu, dia akan berkesimpulan bahwa jasa tersebut memiliki nilai yang rendah. Semakin bernilai suatu jasa, semakin bertambah kebutuhan pelanggan yang dapat dipenuhi oleh jasa tersebut. Dengan demikian, perusahaan yang memiliki reputasi memberikan jasa bernilai tinggi dapat menerapkan harga lebih tinggi dibandingkan harga pesaing. Sedangkan menurut Lovelock dan Wright (2007:102), kepuasan adalah keadaan emosional, reaksi pasca pembelian dari konsumen. Dapat berupa kemarahan, ketidakpuasan, kejengkelan, netralitas, kegembiraan atau kesenangan. Pelanggan yang sangat puas percaya bahwa perusahaan sangat memahami dan memperhatikan kesukaan, kebutuhan, harapan dan masalah pribadi mereka. Selain itu pelanggan yang sangat puas akan menyebarkan cerita positif dari mulut ke mulut dan malah akan menjadi iklan berjalan dan berbicara bagi suatu perusahaan, yang akan menurunkan biaya untuk menarik pelanggan baru. Tujuh kesenjangan dalam kualitas jasa yang dapat menyebabkan ketidakpuasan pelanggan, yaitu :
29
1. Kesenjangan pengetahuan Perbedaan antara apa yang diyakini penyedia jasa akan harapan dan kebutuhan pelanggan dibandingkan dengan harapan pelanggan yang sesungguhnya. Yang muncul biasanya adalah under estimate atau over estimate. 2. Kesenjangan standar Perbedaan antara persepsi manajemen dengan pelanggan mengenai harapan pelanggan, sehingga standar kualitas yang ditetapkan tidak sesuai. 3. Kesenjangan penyerahan Perbedaan antara standar penyerahan yang ditentukan dengan kinerja yang sesungguhnya. 4. Kesenjangan komunikasi internal Perbedaan antara apa yang dijanjikan / diucapkan dengan realisasi yang selanjutnya. 5. Kesenjangan persepsi Perbedaan antara apa yang benar-benar diserahkan dengan apa yang dianggap oleh pelanggan telah mereka terima (karena mereka tidak dapat menilai kualitas jasa secara akurat). 6. Kesenjangan interpretasi Perbedaan antara apa yang sesungguhnya dijanjikan penyedia jasa dalam upaya-upaya komunikasinya dngan apa yang pelanggan pikir telah dijanjikan dalam komunikasi tersebut.
30
7. Kesenjangan jasa Perbedaan antara apa yang diharapkan pelanggan akan mereka terima dengan persepsi mereka terhadap jasa yang benar-benar diserahkan.
Gambar 2.3 Tujuh Kesenjangan Kualitas yang Menyebabkan Ketidakpuasan Pelanggan Kebutuhan dan Harapan pelanggan 1.
Kesenjangan pengetahuan
Definisi manajemen tentang kebutuhan-kebutuhan ini 2.
Kesenjangan standar
Penerjemahan kedalam 1. spesifikasi desain/penyerahan 2. 3.
Kesenjangan penyerahan Internal
Pelaksanaan spesifikasi desain/penyerahan
4. Kesenjangan Komunikasi
Persepsi pelanggan terhadap pelaksanaan produk
5, Kesenjangan Persepsi Janji-janji iklan dan penjualan
6. Kesenjangan Interpretasi Interpretasi pelanggan terhadap komunikasi
7, Kesenjangan Jasa Pengalaman pelanggan dibandingkan dengan harapanharapannya
Sumber : Lovelock (1994)
Pada Gambar 2.3 terlihat bahwa kesenjangan dan kualitas jasa bisa terjadi pada banyak titik selama proses jasa berlangsung. Demikian juga halnya pada layanan rumah sakit, kesenjangan bisa terjadi sejak pasien mendaftar hingga selama
31
dilakukan tindakan medis, di mana sering muncul kesenjangan antara lain pada : penjelasan tentang diagnosis penyakit, tindakan medis/operatif yang harus dilakukan, tarif tindakan, cara dan waktu pemberian obat. Kotler dalam Tjiptono dan Chandra (2007:210) mengemukakan metode dalam mengukur kepuasan pelanggan, yaitu 1. Sistem keluhan dan saran Setiap organisasi yang berorientasi kepada pelanggan perlu menyediakan kesempatan dan akses yang mudah dan nyaman bagi para pelanggannya guna menyampaikan saran, kritik, pendapat, dan keluhan mereka. Media yang digunakan bias berupa kotak saran yang ditempatkan di lokasi-lokasi strategis (yang mudah dijangkau atau sering dilewati pelanggan), kartu komentar (yang bias diisi langsung maupun yang dikirim via pos kepada perusahaan), saluran telepon khusus bebas pulsa, websites, dan lain-lain. Metode ini bersifat pasif, karena perusahaan menunggu inisiatif pelanggannya untuk menyampaikan keluhan atau pendapat. Selain itu tidak semua pelanggan yang tidak puas akan menyampaikan keluhannya. 2. Ghost shopping (mystery shopping) Yaitu dengan mempekerjakan beberapa orang ghost shoppers untuk berperan
atau
berpura-pura
sebagai
pelanggan
potensial
produk
perusahaan dan pesaing. Mereka diminta berinteraksi dengan staff penyedia jasa dan menggunakan produk/jasa perusahaan. Selain itu ghost shopper juga dapat mengobservasi cara perusahaan dan pesaingnya
32
melayani permintaan pelanggan, menjawab pertanyaan pelanggan, dan menangani setiap masalah terkait dengan keluhan pelanggan. 3. Lost customer analysis Perusahaan menghubungi para pelanggan yang telah berhenti membeli atau yang telah beralih pemasok agar dapat memahami mengapa hal itu terjadi supaya dapat mengambil langkah perbaikan selanjutnya. Juga termasuk pemantauan customer loss rate yang menunjukkan kegagalan perusahaan dalam memuaskan pelanggannya. 4. Survey kepuasan pelanggan Melakukan penelitian mengenai kepuasan pelanggan dapat dilakukan melalui survey baik melalui pos, telpon, email, maupun wawancara langsung, supaya memperoleh tanggapan dan umpan balik langsung dari pelanggan dan juga memberikan sinyal positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap mereka. Faktor utama penentu kepuasan pelanggan adalah persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa (Zeithamal dan Bitner, 1996 dalam Supriadi, 2011). Persepsi didefinisikan sebagai proses dimana individu memilih, mengorganisasikan, serta mengartikan stimulus yang diterima melalui alat inderanya menjadi suatu makna. Persepsi pelanggan terhadap produk atau jasa berpengaruh terhadap : 1) Tingkat kepentingan pelanggan 2) Kepuasan pelanggan 3) Nilai
33
Menurut Lupiyadi (2001), terdapat lima faktor utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan dalam menentukan tingkat kepuasan pelanggan, yaitu : 1 . Kualitas Produk Pelanggan akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk yang mereka gunakan berkualitas. Konsumen rasional selalu menuntut produk yang berkualitas untuk setiap pengorbanan yang dilakukan untuk memperoleh produk tersebut. Dalam hal ini, kualitas produk yang baik akan memberikan nilai tambah di benak konsumen. 2 . Kualitas Pelayanan Kualitas pelayanan terutama dibidang jasa, pelanggan akan merasa puas bila mereka mendapatkan pelayanan yang baik atau yang sesuai dengan yang diharapkan. Pelanggan yang puas akan menunjukkan kemungkinan untuk kembali membeli produk yang sama. Pelanggan yang puas cenderung akan memberikan persepsi terhadap produk perusahaan. 3 . Emosional Pelanggan akan merasa bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa orang lain akan kagum terhadap dia bila menggunakan produk dengan merek tertentu yang cenderung mempunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Kepuasan yang diperoleh. Bukan karena kualitas dari produk tetapi nilai sosial atau self esteem yang membuat pelanggan menjadi puas terhadap merek tertentu.
34
4 . Harga Produk yang mempunyai kualitas yang sama tetapi menetapkan harga yang relatif murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada pelanggan. 5 . Biaya Pelanggan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk atau jasa cenderung puas terhadap produk atau jasa itu.
2.6 Dimensi Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction Dimension) Giese dan Cote (2000) dalam Demir (2005) menyatakan bahwa studi mereka tentang Customer Satisfaction terdiri dari tiga fase. Pada tahap pertama, mereka membandingkan definisi dalam banyak literatur untuk mendeteksi adanya kesamaan definisi tersebut. Untuk tujuan ini mereka mengutip 20 definisi yang digunakan selama periode 30 tahun terakhir penelitian tentang Customer Satisfaction. Berdasarkan kesamaan yang ada, mereka mengusulkan suatu kerangka definisi validitas. Pada akhir penelitian, mereka mengusulkan kerangka definisi berbasis tiga dimensi, yaitu : 1. Kepuasan melibatkan tanggapan afektif dari berbagai intensitas. 2. Aspek fokus akuisisi produk dan atau konsumsi 3. Terkait dengan penentuan waktu-tertentu.
35
Menurut Azwar (1996) bahwa dimensi kepuasan dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Kepuasan yang mengacu hanya pada penerapan standar dan kode etik profesi. Kepuasan pemakai jasa kesehatan terbatas hanya pada kesesuaian dengan standar dan kode etik profesi saja. Suatu pelayanan kesehatan disebut sebagai pelayanan kesehatan yang bermutu apabila penerapan standar dan kode etik profesi dapat memuaskan pasien. Menurut Azwar (1996) ukuran-ukuran yang dimaksud pada dasarnya mencakup penilaian terhadap kepuasan pasien mengenai: 1) Hubungan dokter – pasien. Terbinanya hubungan dokter atau perawat – pasien yang baik adalah salah satu dari kewajiban etik adalah amat diharapkan setiap pasiennya secara pribadi, menampung dan mendengarkan semua keluhan, serta menjawab dan memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya tentang segala hal ingin diketahui oleh pasien. 2)
Kenyaman pelayanan Kenyamanan yang dimaksud disini tidak hanya yang menyangkut fasilitas yang disediakan, tetapi terpenting menyangkut sikap serta tindakan perawat ketika menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
3)
Kebebasan melakukan pilihan Suatu pelayanan kesehatan disebut bermutu bila kebebasan memilih ini dapat diberikan dan karena itu harus dapat dilaksanakan oleh setiap penyelenggara pelayanan kesehatan.
36
4)
Pengetahuan dan kompetensi teknis Secara umum disebut semakin tinggi tingkat pengetahuan dan kompetensi teknis tersebut, maka makin tinggi pula mutu pelayanan kesehatan.
5)
Efektifitas pelayanan Makin efektif pelayanan kesehatan makin tinggi pula mutu pelayanan kesehatan.
6)
Keamanan tindakan Untuk dapat terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu, aspek keamanan tindakan ini harus diperhatikan. Pelayanan kesehatan yang membahayakan pasien bukanlah pelayanan yang baik dan karena tidak boleh dilakukan.
2. Kepuasan yang mengacu pada penerapan semua persyaratan pelayanan kesehatan Menurut Azwar (1996) suatu pelayanan kesehatan disebut bermutu apabila penerapan semua persyaratan pelayanan kesehatan dapat memuaskan pasien mengenai: 1)
Ketersediaan pelayanan kesehatan Pelayanan kesehatan bermutu apabila pelayanan kesehatan tersebut tersedia masyarakat.
2)
Kewajaran pelayanan kesehatan Pelayanan kesehatan disebut bermutu apabila pelayanan tersebut bersifat wajar dalam arti dapat masalah kesehatan kesehatan yang dihadapi.
37
3)
Kesinambungan pelayanan kesehatan Pelayanan kesehatan dikatakan bermutu apabila pelayanan tersebut bersifat berkesinambungan dalam arti tersedia setiap saat baik menurut ataupun kebutuhan pelayanan kesehatan.
4)
Penerimaan pelayanan kesehatan Untuk dapat menjamin munculnya kepuasan yang terkait dengan mutu pelayanan, maka pelayanan kesehatan tersebut harus dapat diupayakan sehingga oleh pemakaian jasa pelayanan.
5)
Ketercapaian pelayanan kesehatan Pelayanan kesehatan yang dialokasikan terlalu jauh dari daerah tempat tinggal tentu mudah dicapai. Apabila keadaan ini sampai terjadi, tentu tidak akan memuaskan pasien, maka disebtu suatu pelayanan kesehatan bermutu apabila pelayanan tersebut dapat dicapai oleh pemakai jasa pelayanan kesehatan itu.
6)
Keterjangkauan pelayanan kesehatan Keterjangkauan pelayanan kesehatan erat hubungannya dengan kepuasan pasien dan kepuasan pasien berhubungan dengan mutu pelayanan maka suatu pelayanan disebut bermutu apabila pelayanan tersebut dapat dijangkau oleh pemakai jasa pelayanan kesehatan.
7)
Efisiensi pelayanan kesehatan Puas atau tidaknya pemakai jasa pelayanan mempunyai kaitan erat dengan baik atau tidaknya mutu pelayanan maka suatu pelayanan kesehatan disebut sebagai bermutu apabila pelayanan tersebut diselenggarakan secara efisien.
38
8)
Mutu pelayanan kesehatan Mutu pelayanan kesehatan yang dimaksud disini adalah yang menunjuk pada kesembuhan penyakit serta keamanan tindakan, yang apabila berhasil diwujudkan pasti akan memuaskan pasien, maka suatu pelayanan kesehatan disebut bermutu apabila pelayanan tersebut menyembuhan pasien serta tindakan yang dilakukan aman.
2.7 Loyalitas Pelanggan (Customer Loyalty) Definisi loyalitas menurut Griffin (dalam Hurriyati, 2008:129) menyatakan bahwa “loyalty is defined as non random purchase expressed over time by some decision making unit”. Lovelock dan Wright (dalam Supriadi, 2011:24) menyebutkan bahwa dalam konteks bisnis, loyalitas digunakan untuk melukiskan kesediaan pelanggan untuk terus berlangganan pada sebuah perusahaan dalam jangka panjang, dengan membeli dan menggunakan barang dan jasanya secara berulang, lebih baik lagi secara eksklusif, dan dengan suka rela merekomendasikan produk perusahaan tersebut kepada teman-temannya. Kepuasan yang dirasakan oleh pelanggan mempunyai konsekuensi perilaku berupa complain atau loyal. Pelanggan yang loyal atau setia adalah seseorang yang melakukan pembelian ulang dari perusahaan yang sama, memberitahukan ke konsumen potensial lain dari mulut ke mulut (Evan dan Laskin, 1994). Kesetiaan pelanggan dapat diukur dari perilaku dan sikap (Getty dan Thompson, 1994). Ukuran pertama mengacu perilaku pelanggan pada pengulangan untuk memperoleh atau membeli kembali atas barang/jasa yang pernah dinikmati. Sedangkan ukuran
39
sikap mengacu pada sebuah intensitas pelanggan dalam memperoleh kembali dan merekomendasikan kepada orang lain.
2.8 Dimensi Loyalitas Pelanggan (Customer Loyalty Dimension) Roberts et al. (2003) dalam Haryono (2010) mengemukakan terdapat 6 indikator yang mendukung loyalitas pelanggan yaitu : 1. Kesediaan berbagi informasi ( share information ) 2. Menyampaikan hal positif penyedia jasa ke orang lain ( say positive things) 3. Merekomendasikan penyedia jasa kepada orang lain (recommended friends) 4. Melakukan pembelian secara kontinyu ( continue purchasing ) 5. Membeli jasa layanan tambahan ( purchase additional service ) 6. Menguji jasa layanan baru ( test new services )
Pendapat lain dikemukakan oleh Tjiptono (2001:85), mengemukakan enam indikator yang bisa digunakan untuk mengukur loyalitas pelanggan yaitu 1) Pembelian ulang 2) Kebiasaan mengkonsumsi merek tersebut 3) Selalu menyukai merek tersebut 4) Tetap memilih merek tersebut 5) Yakin bahwa merek tersebut yang terbaik 6) Merekomendasikan merek tersebut pada orang lain.
40
Sementara itu, menurut Baloglu (2002) menyatakan bahwa untuk mengukur loyalitas pelanggan didasarkan atas dua variabel (perilaku dan sikap) bisa dikategorikan menjadi, yaitu : 1. Kepercayaan (trust) 2. Keterikatan secara emosional (Psychological/emotional commitment) 3. Biaya peralihan (Switching cost) 4. Publisitas dari mulut ke mulut (word of mouth) 5. Kerja sama (cooperation)