BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 2.1.1
Landasan Teori Biaya modal (cost of capital) Perusahaan dalam rangka menjalankan kegiatan operasionalnya pasti akan
memerlukan modal. Modal yang diperlukan untuk membiayai belanja perusahaan tersebut bisa diperoleh melalui dua sumber yaitu dari luar perusahaan (eksternal financing) dalam bentuk modal sendiri dan hutang dan dari dalam perusahaan (internal financing) dalam bentuk laba di tahan dan penyusutan. Cost of Capital adalah biaya yang dikeluarkan untuk membiayai sumber pembelanjaan (Aida, 2002: 235). Menurut Wiwik (2005: 103), biaya modal adalah merupakan konsep yang dinamis yang dipengaruhi oleh beberapa asumsi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor ekonomi. Asumsi dasar yang digunakan dalam estimasi biaya modal adalah risiko bisnis dan risiko keuangan adalah tetap (relatif stabil). Biaya modal dihitung atas dasar sumber dana jangka panjang. Biaya hutang jangka panjang adalah biaya hutang sesudah pajak saat ini untuk mendapatkan dana jangka panjang melalui pinjaman. Biaya saham preferen adalah dividen saham preferen tahunan dibagi dengan hasil penjualan saham preferen. Biaya modal saham biasa adalah besarnya rate yang digunakan oleh investor untuk mendiskontokan dividen yang diharapkan diterima di masa yang akan datang. Rate of return dari saham biasa ini yang selanjutnya disebut biaya modal ekuitas (cost of equity capital).
7
Menurut Wiwik (2005: 103), pengukuran biaya modal saham biasa (biaya modal ekuitas), dipengaruhi oleh model penilaian perusahaan, antara lain: a. Model penilaian pertumbuhan konstan (constant growth valuation model) Dasar pemikiran yang digunakan adalah bahwa nilai saham sama dengan nilai tunai (present value) dari semua dividen yang akan diterima di masa yang akan datang (diasumsikan pada tingkat pertumbuhan konstan) dalam waktu yang tidak terbatas (Model ini dikenal dengan sebutan Gordon Model). b. Capital Asset Pricing Model (CAPM) Berdasarkan Model CAPM, biaya modal saham biasa adalah tingkat return yang diharapkan oleh investor sebagai kompensasi atas risiko yang tidak dapat didiversifikasi yang diukur dengan beta. c. Model Ohlson Model Ohlson digunakan untuk mengestimasi nilai perusahaan dengan mendasarkan pada nilai buku ekuitas ditambah dengan nilai tunai dari laba abnormal. T
p t y t (1 r) τ E t {x τ 1 (r)y τ t 1 } ……………………………………(1) τ 1
Keterangan: Pt = harga saham pada periode t yt = nilai buku per lembar saham periode t xt = laba per lembar saham r = ekspektasi biaya modal ekuitas Penelitian ini memilih model Ohlson untuk mengestimasi biaya modal ekuitas. Penghitungan ekspektasi biaya modal ekuitas menggunakan estimasi laba per lembar saham. Untuk estimasi laba per saham dalam penelitian ini digunakan random walk model. Alasan menggunakan estimasi model random ini didasarkan
8
pada hasil penelitian Rini (2002) dalam Wiwik (2005: 104), yang melakukan penelitian yang bertujuan untuk menguji ketepatan prakiraan laba menggunakan beberapa model mekanik dengan kesimpulan bahwa random walk model dapat digunakan sebagai alternatif dalam mengukur prakiraan laba. Penelitian sejenis yang mendukung hasil penelitian tersebut telah dilakukan oleh Qizam (2001) dalam Wiwik (2005: 104) yang menyimpulkan bahwa laba tahunan di Indonesia mengikuti random walk.
2.1.2
Manajemen laba Manajemen laba memiliki banyak definisi dan tidak ada konsensus yang
dasar mengenai cara pandang terhadapnya. Scott (2000) dalam Rahmawati dkk (2006: 3) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak hutang dan political costs (Opportunistic Earnings Management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (Efficient Earnings Management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, dapat mempengaruhi nilai pasar dari saham perusahaannya melalui manajemen laba. Menurut Assih dan Gudono (2000: 37) mengartikan manajemen laba sebagai suatu proses yang dilakukan dengan sengaja dalam batasan General
9
Accepted Accounting Principles (GAAP) untuk mengarah pada tingkatan laba yang dilaporkan. Menurut Setiawati dan Na’im (2000) dalam Rahmawati dkk (2006: 4) manajemen laba adalah campur tangan dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan menguntungkan diri sendiri. Manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, manajemen laba menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pembaca laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa. Berdasarkan berbagai pengertian manajemen laba tersebut, penelitian ini memilih pengertian earnings management sebagai fenomena yang muncul dari laporan keuangan, berupa kecenderungan manajemen melakukan pengelolaan earnings untuk keuntungan diri dan perusahaan melalui pemilihan metode akuntansi yang dilakukan secara sadar, namun masih dalam batasan yang diijinkan oleh Standar Akuntansi Keuangan. Perilaku manajemen laba dapat dijelaskan melalui Positive Accounting Theory (PAT).
Tiga hipotesis PAT yang dapat dijadikan dasar pemahaman
tindakan manajemen laba yang dirumuskan oleh Watts and Zimmerman (1986) dalam Halim dkk (2005: 119), adalah: 1) The Bonus Plan Hypothesis Pada perusahaan yang memiliki rencana pemberian bonus, manajer perusahaan akan lebih banyak memilih metode akuntansi yang dapat menggeser laba dari masa depan ke masa kini, sehingga laba yang dilaporkan
10
pada tahun berjalan meningkat. Dengan kata lain, manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus tinggi. Penelitian mengenai hipotesis ini telah dilakukan oleh Healy dalam Adi Susanta (2006) dan menemukan bahwa para manajer perusahaan yang mempergunakan laba akuntansi untuk menentukan besarnya bonus, cenderung memiliki kebijakan akuntansi yang memaksimalkan bonus yang diharapkan. 2) The Debt to Equity Hypothesis (Debt Covenant Hypothesis) Perusahaan dengan rasio debt to equity yang tinggi mengalami kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor dan bahkan perusahaan terancam melanggar perjanjian hutang. Semakin dekat perusahaan ke arah pelanggaran persyaratan hutang yang didasarkan atas angka akuntansi, maka manajer perusahaan cenderung memilih prosedur-prosedur akuntansi yang memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan sehingga laba yang dilaporkan pada tahun tersebut menjadi meningkat. Umumnya, laba yang tinggi akan mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran. Hipotesis ini didukung oleh Penelitian Sweeney (1994) dalam Rahmawati (2006: 5) bahwa manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metode akuntansi yang berdampak meningkatkan laba. Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal. 3) The Political Cost Hypothesis (Size Hypothesis) Pada perusahaan besar yang memiliki biaya politik tinggi, manajer akan memilih metode akuntansi yang menangguhkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode masa mendatang, sehingga dapat memperkecil
11
laba yang dilaporkan. Biaya politik yang muncul dikarenakan profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian media dan konsumen serta pemerintah. Perusahaan tersebut juga dituntut untuk memerhatikan tanggung jawabnya terhadap lingkungan. Untuk menghindari kemungkinan dijadikan target oleh pihak tertentu serta mendapat perlindungan dalam persaingan luar negeri, maka perusahaan cenderung menangguhkan laba berjalan ke masa mendatang. Scott (2002: 302) dalam Rahmawati dkk (2006: 4), mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba: 1) Bonus Purpose Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara opportunistic untuk melakukan manajemen untuk memaksimalkan laba saat ini. 2) Political Motivations Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat. 3) Taxation Motivations Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan.
12
4) Pergantian CEO CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk memaksimalkan bonus mereka dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan. 5) Initial Public Offering Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public menaikkan laba dalam prospectus mereka dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan. 6) Pentingnya memberi informasi kepada investor Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik. Pola manajemen laba menurut Scott (2000) dalam Rahmawati dkk (2006: 7) dapat dilakukan dengan cara: 1) Taking a Bath Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengna melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa yang akan datang. 2) Income Minimization Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.
13
3) Income Maximization Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang. 4) Income Smoothing Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor menyukai laba yang relatif stabil. Menurut McNichols (2000) dalam Wiwik (2005: 102) ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk proksi manajemen laba, yaitu: 1) Pendekatan yang mendasarkan pada model agregat Pendekatan ini paling banyak digunakan dalam penelitian perataan laba. Dalam pendekatan ini terdapat dua bagian yaitu discretionary accruals dan non discretionary accruals. Pendekatan ini menggunakan tingkat error model regresi untuk menentukan discretionary accruals, sedangkan untuk non discretionary accruals ditentukan oleh perubahan dari pendapatan dan tingkatan dari aktiva tetap berwujud (property plant and equipment). Pendekatan ini digunakan oleh Healy (1985) dan oleh Jones (1991) yang mengikuti Kaplan (1985) dengan model Jones serta Dechow et al. (1995) dengan modified Jones.
14
2) Pendekatan yang mendasarkan pada model spesifik akrual Pendekatan ini biasa digunakan pada penelitian yang menggunakan data untuk industri tertentu, misalnya provisi untuk piutang tak tertagih bagi industri perbankan atau cadangan kerugian klaim industri asuransi dalam menentukan discretionary accruals. McNichols (2000) menganggap metode ini memiliki kelebihan, yakni peneliti dapat melihat faktor utama yang mempengaruhi perilaku
accruals
berdasarkan
Standar
Akuntansi
Keuangan,
serta
penerapannya pada industri tertentu, tetapi kelemahannya adalah sulitnya mengambil kesimpulan umum atas hasil penelitian. Pendekatan ini juga pernah digunakan oleh Beneish (1997). 3) Pendekatan berdasarkan distribusi frekuensi Penelitian ini dikembangkan oleh Burgstahler et al. (1997) dan Degeorge et al. (1999). Mereka meneliti bahwa ada hubungan tiga faktor, yaitu zero earnings, earnings tahun lalu, dan ekspektasi analis tahun ini. Kondisi perataan laba dijelaskan melalui hasil penelitiannya adalah banyak perusahaan dalam melaporkan laba tahun berjalan di mana laba tersebut memiliki jumlah laba di atas zero earnings dan earnings tahun lalu namun lebih rendah dibanding ekspektasi analis untuk tahun ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan yang mendasarkan pada model agregat akrual dan menggunakan model regresi untuk menghitung discretionary dan non discretionary accruals. Alasan penggunaan pendekatan ini adalah karena pendekatan ini sudah digunakan secara luas dalam mengukur tingkat manajemen laba.
15
2.1.3
Pengungkapan (disclosure) laporan keuangan SFAC (Statement of Financial Concepts) Nomor 1, menyatakan bahwa
laporan keuangan harus menyajikan informasi yang berguna untuk investor dan calon investor, kreditur, dan pemakai lain dalam pegambilan investasi, kredit dan keputusan lain dan sejenis yang rasional. Informasi tersebut harus dapat dipahami oleh mereka yang mempunyai wawasan bisnis dan ekonomi (Aida, 2002: 239). Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan diharapkan agar dapat dipahami sehingga tidak menimbulkan kesalahan interpretasi, sehingga dalam penyajian laporan keuangan harus disertai dengan disclosure yang cukup (adequate disclosure) artinya informasi yang disajikan tidak berlebihan namun juga tidak kurang sehingga tidak menyesatkan orang yang membacanya. Secara umum tujuan pengungkapan adalah menyajikan informasi yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan pelaporan keuangan dan untuk melayani berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Pasar modal merupakan sarana utama pemenuhan dana dari masyarakat, pengungkapan dapat diwajibkan untuk: 1) Tujuan melindungi Pengungkapan
dimaksudkan
untuk
melindungi
dari
perlakuan
para
manajemen yang mungkin kurang adil dan terbuka (unfair). Tujuan melindungi menjadi pertimbangan badan pengawas yang mendapat autoritas untuk melakukan pengawasan terhadap pasar modal.
16
2) Tujuan informatif Pengungkapan diarahkan untuk menyediakan informasi yang dapat membantu keefektifan pembuatan keputusan pemakai tersebut. Tujuan ini melandasi penyusun standar akuntansi untuk menentukan tingkat pengungkapan seperti Bapepam. 3) Tujuan kebutuhan khusus Tujuan ini merupakan gabungan dari tujuan perlindungan publik dan tujuan informatif. Meskipun
semua
perusahaan
publik
diwajibkan
untuk
memenuhi
pengungkapan minimum, namun masing-masing berbeda secara substansial dalam jumlah tambahan informasi yang diungkap ke pasar modal. Salah satu cara untuk meningkatkan kredibilitas perusahaan adalah melalui pengungkapan sukarela secara lebih luas dan membantu investor memahami strategi bisnis manajemen. Hasil penelitian di berbagai negara membuktikan, bahwa laporan tahunan (annual report) merupakan media yang tepat untuk menyampaikan corporate disclosure (terdiri dari disclosure keuangan dan non keuangan). Secara garis besar, disclosure mengikuti pedoman berikut ini: 1) Laporan keuangan Terdiri dari tiga laporan utama: neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan modal, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan juga termasuk rincian Tabel-Tabel untuk menjelaskan angka-angka yang terdapat dalam laporan keuangan yang disajikan secara komparatif dengan periode yang lalu;
17
2) Catatan kaki Catatan kaki merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan. Oleh karena itu, dalam catatan kaki ini sering disajikan catatan-catatan yang berhubungan dengan item-item neraca dan laporan laba rugi; 3) Data statistik Data-data ini disusun dan diolah dari angka-angka yang terdapat dalam laporan keuangan dan sering disajikan secara terpisah di dalam laporan tambahan; dan 4) Laporan auditor Laporan ini merupakan media yang paling sesuai untuk mengungkapkan penyimpangan dan akibat penyimpangan penerapan prinsip akuntansi yang berterima umum, perubahan prinsip akuntansi dan akibatnya, dan perbedaan pendapat antara auditor dan manajemen perusahaan yang diaudit. Kualitas keterbukaan (disclosure) informasi dalam laporan tahunan diperlukan oleh pemegang saham dan stakeholders untuk mendapatkan informasi secara lebih mendalam atas pengelolaan perusahaan oleh manajemen. Melalui informasi tersebut pengguna laporan tahunan dapat mengetahui kondisi perusahaan, menilai kinerja perusahaan, serta melakukan prediksi atas perkembangan perusahaan dalam mengambil keputusan. Bagi investor maupun calon investor di pasar modal akan menggunakan informasi tersebut untuk mempertimbangkan keputusan investasinya. Peraturan mengenai pengungkapan informasi dalam laporan tahunan di Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah melalui Keputusan Ketua Badan Pengawas
18
Pasar Modal (BAPEPAM). Dalam keputusan ini telah ditetapkan suatu struktur regulasi pasar modal yang semakin baik. Peraturan mengenai laporan tahunan diatur dalam Peraturan No. VIII.G.2. Lampiran Keputusan Ketua Bapepam No. Kep.38/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996. Dalam peraturan ini diatur mengenai: Ketentuan Umum, Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan, serta Bentuk dan Isi Laporan Tahunan. Peraturan Bapepam yang terbaru No.VIII.G.7 No. Kep. 06/PM/2000 telah dikeluarkan khusus mengatur mengenai Pedoman Penyajian Laporan Keuangan. Menurut Aida (2002: 239), disclosure untuk pasar modal terdiri atas dua aspek, yaitu: protective disclosure dan informative disclosure. Protective disclosure merupakan usaha badan pengawas pasar modal. Sedangkan
yang
termasuk ke dalam informative disclosure adalah disclosure yang disajikan dalam rangka keterbukaan emiten untuk tujuan analisis investasi. Dalam penelitian ini, pengukuran luas pengungkapan informasi sukarela laporan tahunan menggunakan daftar item pengungkapan yang digunakan sebelumnya oleh Sunyasmi (2003) yang diadopsi dari penelitian yang dilakukan oleh Botosan (1997) yang berjudul “Disclosure Level and The Cost of Equity Capital”. Item pengungkapan yang digunakan oleh Botosan merupakan panduan rekomendasi dari American Institute of Certified Public Accountans (1994), studi mengenai business reporting yang dilakukan antara lain oleh Jenkins Comitte Report, SRI International (1987) yang dilakukan melalui survey kebutuhan informasi dari investor dan Canadian Institute of Charatered Accounts (1991) melalui studi atas annual report.
19
Adapun item-item pengungkapan sukarela yang terdapat dalam penelitian Botosan terdiri atas lima kategori, yaitu: 1) Informasi mengenai latar belakang perusahaan Informasi ini meliputi tujuan dan strategi perusahaan, lingkungan persaingan, produk utama yang dihasilkan dan pasar utama yang dilayani perusahaan. Perusahaan akan mendapatkan skor satu untuk masing-masing latar belakang perusahaan yang diungkapkan. Satu skor tambahan untuk masing-masing item apabila informasi yang disediakan tersebut memuat data kuantitatif yang tidak termuat dalam laporan keuangan seperti tujuan perusahaan yang targetnya dinyatakan dalam angka. 2) Ringkasan hasil kinerja perusahaan selama sepuluh tahun atau lima tahun Ringkasan hasil kinerja yang penting untuk diungkapkan adalah return on asset, net profit margin, asset turnover, return on equity, sales and net income. Perusahaan akan diberikan skor dua untuk setiap pengungkapan. 3) Informasi non keuangan Informasi non keuangan antara lain meliputi jumlah tenaga kerja, unit terjual, kompensasi untuk karyawan, dan persentase penjualan desain produk dalam jangka waktu lima tahun terakhir. Perusahaan akan mendapatkan skor dua untuk masing-masing pengungkapan informasi tersebut. 4) Proyeksi informasi perusahaan di masa depan Informasi ini antara lain meliputi perkiraan arus kas, perkiraan penjualan, serta pengungkapan atas kesempatan perusahaan di masa mendatang. Informasi tersebut diperlukan oleh para investor dan calon investor untuk memprediksi
20
kesempatan dan risiko yang dihadapi oleh perusahaan. Perusahaan akan mendapatkan skor dua untuk masing-masing pengungkapan dan skor tiga untuk perkiraan yang disertai data kuantitatif. 5) Analisis dan pembahasan umum oleh manajemen Informasi ini dimaksudkan untuk menyampaikan kepada pembaca laporan tahunan yang berkaitan dengan perubahan dan tidak dimuat dalam laporan keuangan. Seperti perubahan penjualan, biaya-biaya, persediaan, dan lain sebagainya. Perusahaan akan mendapatkan satu skor untuk masing-masing pengungkapan dan tambahan satu skor apabila penjelasan diperkuat dengan data kuantitatif yang termuat dalam laporan keuangan.
2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian yang dilakukan Wiwik Utami (2005) bertujuan untuk mengetahui pengaruh manajemen laba terhadap biaya modal ekuitas yang dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan publik di sektor manufaktur yang terdaftar untuk tahun 2001 dan 2002. Variabel-variabel yang digunakan berupa manajemen laba sebagai variabel bebas, variabel biaya modal ekuitas sebagai variabel terikat, serta risiko beta dan ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol. Teknik analisis data yang digunakan model analisis regresi berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen laba berpengaruh positif dan signifikan terhadap biaya modal ekuitas. Hasil selanjutnya juga menunjukkan bahwa manajemen laba yang diproksi dengan rasio akrual modal kerja dengan penjualan terbukti memberikan kontribusi paling besar dalam menjelaskan variasi biaya modal ekuitas.
21
Persamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah sama-sama dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Variabel biaya modal ekuitas sama-sama diestimasi dengan Model Ohlson. Persamaan lainnya yaitu terletak pada teknik analisis datanya yaitu samasama menggunakan teknik analisis regresi berganda. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut terletak pada periode penelitian dan populasi penelitian, penelitian sebelumnya dilakukan pada periode tahun 2001 dan 2002 dan khusus terhadap perusahaan publik yang bergerak di sektor manufaktur saja, sedangkan penelitian ini dilakukan untuk tahun 20032007 dengan populasi semua perusahanan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia kecuali perusahaan yang bergerak dalam industri keuangan, real estate dan property serta telekomunikasi. Penelitian ini ingin menguji adanya pengaruh manajemen laba dan tingkat pengungkapan sukarela pada laporan keuangan tahunan terhadap biaya modal ekuitas, baik secara serempak maupun secara parsial, sedangkan penelitian sebelumnya hanya bertujuan untuk mengetahui pengaruh manajemen laba terhadap biaya modal ekuitas. Penelitian ini menggunakan variabel bebas berupa manajemen laba dan tingkat pengungkapan sukarela, sedangkan penelitian sebelumnya hanya menggunakan variabel manajemen laba sebagai variabel bebasnya tetapi memasukkan beta saham dan ukuran perusahaan
sebagai variabel kontrol. Pada penelitan ini variabel
manajemen laba diukur dengan menggunakan pendekatan agregat akrual dengan Model Jones Modifikasian sedangkan pada penelitian sebelumnya menggunakan rasio modal kerja dengan penjualan.
22
Penelitian selanjutnya dilakukan Charisma Juliandari (2007) bertujuan untuk mengetahui pengaruh manajemen laba terhadap biaya modal ekuitas yang dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan publik di sektor manufaktur yang terdaftar untuk tahun 2004 dan 2005. Variabel-variabel yang digunakan berupa manajemen laba sebagai variabel bebas, variabel biaya modal ekuitas sebagai variabel terikat, serta ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol. Variabel manajemen laba diproksi berdasarkan pendekatan agregat akrual dengan Model Jones Modifikasian, variabel biaya modal ekuitas diukur berdasarkan tingkat diskonto yang dipakai oleh investor untuk menilaitunaikan cash flow (Model Ohlson), sedangkan variabel ukuran perusahaan diproksi dengan menggunakan kapitalisasi pasar. Teknik analisis data yang digunakan model analisis regresi berganda. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen laba berpengaruh positif dan signifikan terhadap biaya modal ekuitas. Persamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah sama-sama dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Variabel manajemen laba sama-sama diproksi dengan pendekatan agregat akrual dengan Model Jones Modifikasian, dan variabel biaya modal ekuitas sama-sama diestimasi berdasarkan Model Ohlson. Persamaan lainnya yaitu terletak pada teknik analisis datanya yaitu sama-sama menggunakan teknik analisis regresi berganda. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut terletak pada periode penelitian dan populasi penelitian, penelitian sebelumnya dilakukan pada periode tahun 2004 dan 2005 dan khusus terhadap perusahaan publik yang bergerak di
23
sektor manufaktur saja, sedangkan penelitian ini dilakukan untuk tahun 20032007 dengan populasi semua perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia kecuali perusahaan yang bergerak dalam industri keuangan, real estate dan property serta telekomunikasi. Penelitian ini ingin menguji adanya pengaruh manajemen laba dan tingkat pengungkapan sukarela pada laporan keuangan tahunan terhadap biaya modal ekuitas, baik secara serempak maupun secara parsial, sedangkan penelitian sebelumnya hanya bertujuan untuk mengetahui pengaruh manajemen laba terhadap biaya modal ekuitas. Penelitian ini menggunakan variabel bebas berupa manajemen laba dan tingkat pengungkapan sukarela, sedangkan penelitian sebelumnya hanya menggunakan variabel manajemen laba sebagai variabel bebasnya. Penelitian selanjutnya, dilakukan oleh Aida Ainul Mardiyah (2002) yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara interaksi informasi asimetri dan disclosure terhadap cost of capital yang dilakukan terhadap seluruh perusahaan publik yang terdaftar tahun 1996. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel informasi asimetri dan pengukuran indeks disclosure sebagai variabel bebas dan cost of capital sebagai variabel terikatnya. Dalam penelitian ini variabel asimetri informasi diukur menggunakan relatif bid ask spread, variabel disclosure diukur dengan menggunakan indeks disclosure yang diadopsi dari penelitian Botosan (1997), dan variabel cost of capital diukur dengan menggunakan model CAPM (Capital Asset Pricing Model). Teknik analisis data yang digunakan adalah multiple regression dan multiplicative model untuk mengetahui variasi cost of capital dari interaksi dua variabel
24
independennya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh positif antara informasi asimetri dengan cost of capital. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan ada hubungan positif antara size perusahaan dengan disclosure. Hasil selanjutnya juga menunjukkan bahwa informasi asimetri yang rendah membutuhkan disclosure yang semakin handal agar dapat menurunkan cost of capital. Persamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah sama-sama dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Persamaan lainnya yaitu terletak pada pengukuran variabel bebasnya yaitu: variabel disclosure sama-sama diukur dengan menggunakan indeks pengungkapan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut terletak pada periode penelitian dan populasi penelitiannya, penelitian sebelumnya dilakukan pada tahun 1996 dengan populasi semua perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, sedangkan penelitian ini dilakukan untuk tahun 2003-2007 dengan populasi semua perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia kecuali perusahaan yang bergerak dalam industri keuangan, real estate dan property serta telekomunikasi. Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling dalam menentukan jumlah sampel penelitian sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan stratified random sampling. Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi berganda, sedangkan penelitian sebelumnya selain menggunakan multiple regression juga multiplicative model. Penelitian ini ingin menguji adanya pengaruh manajemen laba dan tingkat pengungkapan sukarela pada laporan
25
keuangan tahunan terhadap biaya modal ekuitas, baik secara serempak maupun secara parsial, sedangkan penelitian sebelumnya hanya bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi informasi asimetri dan disclosure terhadap cost of capital. Penelitian ini menggunakan variabel bebas berupa manajemen laba dan tingkat pengungkapan sukarela, sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan variabel informasi asimetri dan disclosure sebagai variabel bebasnya. Pada penelitian ini variabel cost of capital diestimasi dengan menggunakan model Ohlson sedangkan pada penelitian sebelumnya menggunakan model CAPM (Capital Asset Pricing Model).
2.3 Hipotesis Hipotesis
penelitian
merupakan
jawaban
sementara
dari
pokok
permasalahan penelitian yang akan diuji kebenarannya. Hipotesis disusun berdasarkan pada rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori dan juga tinjauan atas penelitian terdahulu. H1
: Manajemen laba dan tingkat pengungkapan sukarela pada laporan keuangan tahunan secara serempak berpengaruh signifikan terhadap biaya modal ekuitas.
H2
: Manajemen laba berpengaruh positif terhadap biaya modal ekuitas.
H3
: Tingkat pengungkapan sukarela pada laporan keuangan tahunan berpengaruh negatif terhadap biaya modal ekuitas.
26