BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Konsep Latar Belakang Pimpinan Latar belakang pimpinan yang ditunjukan oleh tingkat pendidikan formal / terakhir dan pelatihan yang pernah diikuti, pengalaman sebagai pejabat dan usia, mencerminkan
cara
pimpinan
memecahkan
masalah
organisasi
dan
mempengaruhi tingkat keterlibatan psikologisnya dalam pengelolaan manajemen teknologi informasi. (Idrus, M.S., dkk : 2000) Idrus, dkk (2000) mengungkapkan bahwa keterlibatan pimpinan yang merupakan keadaan psikologis yang subyektif, berupa minat dan semangat dari pimpinan, yang mana pimpinan hanya merupakan pengendali dari belakang, sehingga memberikan peluang pada pimpinan untuk menciptakan ide tentang pengembangan penggunaan manajemen teknologi informasi, dan menekankan pentingnya teknologi informasi bagi organisasinya. Keterlibatan pimpinan ini dalam pengembangan manajemen teknologi informasi selanjutnya akan mempengaruhi tingkat pemahaman pimpinan terhadap teknologi informasi, keikutsertaan pimpinan dalam setiap kegiatan yang berhubungan dengan teknologi informasi. Dari komitmen pimpinan yang mengarah ke keterlibatan pimpinan dalam organisasi yang bercirikan penggunaan teknologi informasi atau menggunakan sistem yang berbasis komputer / CBIS (Computer Based Information System) ini. Menurut McLeod (1996) perlunya membentuk unit-unit organisasional tersendiri
11
12 yang terdiri dari para spesialis yang bertanggung jawab terhadap sistem. Para spesialisasi informasi (information system) digolongkan menjadi lima golongan yaitu analis sistem (analyst system), pengelola database (database administrator), spesialisasi jaringan (network specialist), programer dan operator. Di Universitas Bina Darma sendiri untuk bagian yang mengelola manajemen teknologi informasi, sudah ditangani khusus oleh bagian Management Information System / Computer Unit Technical Support (MIS-CUTS) dengan dipimpin seorang ketua dan beranggotakan beberapa staff dengan berbagai divisi yaitu Divisi Web Administrator, Divisi Development System, Divisi Maintenance and Repairement dan Divisi Data Processing. Dari kondisi yang sudah ada ini peranan seorang pimpinan organisasi dalam melakukan hubungan dengan bawahannya sangatlah menentukan untuk keberhasilan organisasi. Pimpinan yang baik akan dapat memanfaatkan sumber daya yang ada secara maksimal dengan melibatkan semua sumber daya yang ada untuk ikut berpartisipasi dalam pengembangan organisasi dan manajemen teknologi informasinya. Serta dapat melakukan hubungan dengan pengelola manajemen teknologi informasi dan beberapa stakeholder. (ISS-CUTS, 2004).
2.1.2. Konsep Kondisi Organisasional (Bentuk Organisasi) Kondisi organisasi akan mempengaruhi keterlibatan psikologis pribadi pimpinan dalam kegiatan organisasi, terutama organisasi yang bercirikan intensitas informasi yang tinggi dalam produk dan proses, yang selanjutnya akan memiliki peluang yang besar dalam mengelola teknologi informasi. Suatu kondisi
13 esensiil organisasi yang efektif adalah seseorang yang berada dalam posisi strategis merasa membutuhkan akan perubahan, dan sebagai pola dasarnya adalah tergantung pada orang dan cara kerjanya yang didukung teknologi informasi yang memadai. Kebutuhan organisasi yang strategis tersebut membutuhkan pemikiran tentang pengembangan organisasi melalui pucuk pimpinan dan pendekatan keseluruhan organisasi. Kegiatan ini berpusat pada pengembangan organisasi dan perbaikan sistem dan subsistem organisasi dan membutuhkan pengembangan teknologi informasi yang terencana. Keberhasilan kegiatan usaha pengembangan teknologi informasi, sebagian besar ditentukan oleh kualitas pengelolanya dan komitmen pimpinan organisasi untuk investasi energi yang diperlukan maupun usaha-usaha pribadi pimpinan. Dalam kaitannya dengan usaha pengembangan organisasi yang berhasil, dibutuhkan adanya pemimpin perusahaan atau lembaga dan agen perubahan (Idrus, M.S., dkk : 2000). Melihat dari keberhasilan suatu organisasi yang dipimpin oleh seorang pimpinan yang berkomitmen untuk kemajuan organisasi yang dipimpinnya, pengelolaan teknologi informasi yang baik dan penggunaan secara optimal akan menghasilkan keunggulan yang kompetitif bagi organisasi atau perusahaannya. Sebagai gambaran yang jelas tentang kondisi dari organisasi, tidak terlepas dari perilaku dari perorangan (individual) dan kelompok dari suatu organisasi. Berikut ini beberapa teori tentang perilaku organisasi, menurut Stephen P. Robins (2003) penjabaran dari definisi tentang perilaku organisasi (organiazational behavior) adalah studi mengenai (yang memperhatikan) apa yang dilakukan orang-orang dalam suatu organisasi dan bagaimana perilaku tersebut mempengaruhi kinerja
14 dari organisasi itu. Atau dengan kata lain perilaku organisasi (organiazational behavior) adalah suatu bidang studi yang menyelidiki dampak perorangan (individual), kelompok dan struktur pada perilaku dalam organisasi dengan maksud menerapkan pengetahuan tentang hal-hal tersebut demi memperbaiki keefektifan organisasi. Definisi lainnya tentang perilaku organisasi salah satunya dari Gibson, Ivancevich dan Donnely (1994) mendefinisikan perilaku keorganisasian sebagai suatu telaah dan penerapan pengetahuan tentang bagaimana orang–orang bertindak di dalam organisasi. Unsur pokok dalam perilaku organisasi adalah orang, struktur, teknologi dan lingkungan tempat organisasi beroperasi. Apabila orang–orang bergabung dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan, diperlukan jenis organisasi tertentu.
Orang–orang
juga
menggunakan
teknologi
untuk
membantu
penyelesaian pekerjaan, jadi ada interaksi antara orang, struktur, dan teknologi. Disamping itu, unsur–unsur tersebut dipengaruhi oleh lingkungan luar, dan unsur itu juga mempengaruhinya. Penjelasan masing-masing unsur adalah sebagai berikut : 1)
Orang. Orang–orang membentuk sistem sosial intern organisasi. Mereka terdiri dari pribadi dan kelompok, baik kelompok besar maupun kecil. Selain itu, ada juga kelompok tidak resmi dan informal, serta berbagai kelompok yang lebih resmi dan formal. Semua kelompok itu dinamis. Kelompok terbentuk, lalu berubah, dan akhirnya dapat bubar. Orang–orang adalah makhluk hidup yang berjiwa, berfikiran, dan berperasaan yang menciptakan
15 organisasi untuk mencapai tujuan mereka. Organisasi dibentuk untuk melayani manusia, bukan sebaliknya orang hidup untuk melayani organisasi. Menurut
Robbins
(2003),
permasalahan
pokok
dalam
perilaku
keorganisasian dapat terbagi dua. Pertama: permasalahan pokok individu dalam organisasi, misalnya karakteristik biografis, kemampuan intelektual dan kesehatan fisik, kepribadian, persepsi dan inisiatif dalam pengambilan keputusan, nilai, sikap, dan keputusan kerja, serta motivasi. Kedua : permasalahan pokok kelompok dalam organisasi, misalnya interaksi kelompok, perilaku kelompok, dan kepemimpinan. 2)
Struktur. Struktur menentukan hubungan yang resmi antar orang–orang dalam organisasi. Berbagai pekerjaan yang berbeda diperlukan untuk semua aktivitas organisasi. Ada manajer dan pegawai bukan manajer, akuntan, bahkan engineer. Orang–orang ini harus dihubungkan satu dan lainnya dengan cara tertentu yang terstruktur agar pekerjaan mereka efektif. Menurut Robbins (2003), beberapa hal pokok mengenai struktur akan menyangkut hal-hal : struktur organisasi, teknologi, desain kerja, stres, kebijakan sumber daya manusia, dan budaya organisasi.
3)
Teknologi. Teknologi menyediakan sumber daya yang digunakan orangorang untuk bekerja dan sumber daya itu mempengaruhi tugas yang mereka lakukan. Mereka tidak dapat menghasilkan banyak hal dengan tangan kosong. Teknologi yang dihasilkan menimbulkan pengaruh yang signifikan atas hubungan kerja. Teknologi yang besar berguna sebagai sarana yang memungkinkan manusia melakukan lebih banyak pekerjaan dengan kualitas
16 yang lebih baik. Tetapi teknologi juga menghambat orang-orang dalam berbagai cara. Teknologi mengandung kerugian dan juga maslahat bagi manusia. 4)
Lingkungan. Organisasi tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari suatu sistem yang lebih besar yang memuat banyak unsur. Suatu organisasi tidak dapat menghindar dari pengaruh lingkungan luar yang sifatnya dinamis. Lingkungan luar akan mempengaruhi sikap orang–orang, mempengaruhi
kondisi
kerja,
dan
menimbulkan
persaingan
untuk
memperoleh sumber daya dan kekuasaan. Oleh karena itu, lingkungan luar harus dipertimbangkan untuk menelaah perilaku manusia dalam organisasi. Selain itu, lingkungan dalam yang dinamis dan berkembangpun hendaknya diantisipasi oleh organisasi. Agar organisasi ini dapat bersaing dengan keunggulan yang semakin kompetitif, diperlukannya pengorganisasian yang tepat, terarah dan fleksibel sesuai dengan kondisi zaman. Berikut ini beberapa konsep yang mendukung tentang pengorganisasian, struktur organisasi dan organisasi yang menggunakan teknologi informasi. Menurut T. Hani Handoko (1998) kata “organisasi” memiliki dua pengertian umum. Pengertian pertama menandakan suatu lembaga atau kelompok fungsional, seperti organisasi perusahaan, rumah sakit, perwakilan pemerintah atau suatu perkumpulan olahraga. Pengertian kedua berkenan dengan proses pengorganisasian, sebagai suatu cara dalam mana kegiatan organisasi dialokasikan dan ditugaskan diantara para anggotanya agar tujuan organisasi dapat tercapai dengan efisien.
17 Menurut Ernest Dale yang dikutip T. Hani Handoko (1998) pengertian pengorganisasian adalah merupakan suatu proses untuk merancang struktur formal, mengelompokkan dan mengatur serta membagi tugas-tugas atau pekerjaan diantara para anggota organisasi, agar tujuan organisasi dapat dicapai dengan efisien. Pengorganisasian (organizing) merupakan proses penyusunan struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi, sumber daya-sumber daya yang dimilikinya dan lingkungan yang melingkupinya. Dua aspek utama penyusunan struktur
organisasi
adalah
departementalisasi
dan
pembagian
kerja.
Departementalisasi merupakan pengelompokan kegiatan-kegiatan kerja suatu organisasi agar kegiatan-kegiatan yang sejenis dan saling berhubungan dapat dikerjakan bersama. Pembagian kerja adalah pemerincian tugas pekerjaan agar setiap individu dalam organisasi bertanggung jawab untuk dan melaksanakan sekumpulan kegiatan yang terbatas. Proses pengorganisasian dapat ditunjukan dengan tiga langkah prosedur berikut ini : 1. Pemerincian seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi. 2. Pembagian beban pekerjaan total menjadi kegiatan-kegiatan yang secara logik dapat dilaksanakan oleh satu orang. 3. Pengadaan dan pengembangan suatu mekanisme untuk mengkoordinasikan pekerjaan para anggota organisasi menjadi kesatuan yang terpadu dan harmonis.
18 Struktur organisasi dapat didefinisikan sebagai mekanisme-mekanisme formal dengan mana organisasi dikelola. Struktur organisasi menunjukan kerangka dan susunan perwujudan pola tetap hubungan-hubungan di anatara fungsi-fungsi, bagian-bagian atau posisi-posisi, maupun orang-orang yang menunjukan kedudukan, tugas wewenang dan tanggung jawab yang berbeda-beda dalam suatu organisasi. Struktur ini mengandung unsur-unsur spesialisasi kerja, standardisasi, koordinasi, sentralisasi atau desentralisasi dalam pembuatan keputusan dan besaran (ukuran) satuan kerja. Adapun faktor-faktor utama yang menentukan perancangan struktur organisasi adalah sebagai berikut : 1. Strategi organisasi untuk mencapai tujuannya. Menurut Chandler dikutip oleh T. Hani Handoko (1998) menjelaskan strategi akan menjelaskan bagaimana aliran wewenang dan saluran komunikasi dapat disusun diantara para manajer dan bawahan. Aliran kerja sangat dipengaruhi strategi, sehingga bila strategi berubah maka struktur organisasi juga berubah. 2. Teknologi yang digunakan. Perbedaan teknologi yang digunakan untuk memproduksi barang-barang atau jasa akan membedakan bentuk struktur organisasi. 3. Anggota (karyawan) dan orang-orang yang terlibat dalam organisasi. Kemampuan dan cara berfikir para anggota, serta kebutuhan mereka untuk bekerjasama harus diperhatikan dalam merancang struktur organisasi. 4. Ukuran organisasi. Besarnya organisasi secara keseluruhan maupun satuansatuan kerjanya akan sangat mempengaruhi struktur organisasi.
19 Sedangkan unsur-unsur struktur organisasi terdiri dari : 1. Spesialisasi kegiatan berkenaan dengan spesifikasi tugas-tugas individual dan kelompok kerja dalam organisasi (pembagian kerja) dan penyatuan tugastugas tersebut menjadi satuan-satuan kerja (departementalisasi). 2. Standarisasi
kegiatan,
merupakan
prosedur-prosedur
yang
digunakan
organisasi untuk menjamin terlaksananya kegiatan seperti yang direncanakan. 3. Koordinasi kegiatan, menunjukan prosedur-prosedur yang menintegrasikan fungsi-fungsi satuan-satuan kerja dalam organisasi. 4. Sentralisasi dan desentralisasi pembuatan keputusan, yang menunjukan lokasi (letak) kekuasaan pembuatan keputusan. 5. Ukuran satuan kerja menunjukan jumlah karyawan dalam suatu kelompok kerja.
2.1.3. Konsep Partisipasi Menurut Riza Irfani (1997) secara harfiah, partisipasi berarti “turut berperan serta dalam suatu kegiatan”, “keikutsertaan atau peran serta dalam suatu kegiatan”, “peran serta aktif atau pro-aktif dalam suatu kegiatan”. Partisipasi dapat didefinisikan secara luas sebagai “bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari dalam dirinya (intrinsik) maupun dari luar dirinya (ekstrinsik) dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan”. Menurut Gibson, Ivancevich dan Donnely (1994) manajemen partisipatif adalah merupakan konsep dari manajemen terapan yang melibatkan partisipasi
20 karyawan dalam mengembangkan dan melaksanakan keputusan yang langsung mempengaruhi pekerjaan mereka. Penggunaan partisipasi sebagai bagian dari program motivasi berasal dari filsafat dan asumsi yang dikemukakan oleh para pengukung hubungan manusiawi (human relations). Penggunaanya didasarkan pada kepercayaan, penghormatan dan dukungan antara manajer dan bawahan. Pada awalnya, pendekatan partisipatif lahir sebagai kritik terhadap metode-metode penelitian konvensional. Dua diantara banyak metode penelitian konvensional yang menjadi sasaran kritik ini antara lain adalah penelitianpenelitian yang terlalu banyak menggunakan logika sains, dan penelitianpenelitian etnometodologis. Penelitian dengan menggunakan sains dinilai banyak mengandung kelemahan antara lain : (1). Hanya menghasilkan pengetahuan yang empirisanalitis, dan cenderung tidak mendatangkan manfaat bagi obyek (masyarakat lokal); (2). Banyak bermuatan kepentingan teknis untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering); (3). Memungkinkan terjadinya “pencurian” terhadap kekayaan pengetahuan lokal oleh peneliti (orang luar) sehingga sangat berpotensi untuk menyebabkan penindasan terhadap orang dalam (masyarakat lokal). Sementara
pendekatan
etnometodologis,
meskipun
berusaha
memahami
kehidupan sehari-hari masyarakat, mencoba menghasilkan pengetahuan yang bersifat historis-hermeuneutik, dan meyakini adanya makna dibalik fenomena sosial, juga memiliki kelemahan. Yakni kecenderungannya untuk menghasilkan pengetahuan yang hanya bisa memaafkan realita.
21 Ada banyak uraian tentang manajemen partisipatif, walaupun ada beberapa perbedaan pendapat tentang apa sebenarnya manajemen partisipatif, namun ada satu penelitian yang menyatakan bahwa manajemen partisipatif itu ditemukan apabila
para
manajer
pada
umumnya
menyetujui
adanya
partisipasi.
Mengikutsertakan bawahan dalam mengambil keputusan dipandang sebagai cara yang paling biasa dari manajemen partisipatif. Pada umumnya hasil dari survei memberi kesan bahwa partisipasi itu berarti keterlibatan yang lebih banyak dari bawahan. Menurut Gibson, Ivancevich dan Donnely (1994) dari segi dimensinya manajemen partisipatif dapat berbeda-beda tingkatannya, yaitu : a. Pertama ; partisipasi dapat dipaksakan (forced) atau sukarela (voluntary). Dalam beberapa negara para pekerja dipaksa oleh undang-undang atau kepuasan pemerintah atau berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pekerjaan. Partisipasi sukarela terdapat apabila manajemen memulai gagasan itu dan para karyawan menyetujui untuk berpartisipasi. b. Kedua ; partisipasi dapat bersifat formal atau informal. Dalam manajemen partisipatif yang bersifat formal, biasanya diciptakan suatu unit atau mekanisme formal dalam pengambilan keputusan (misalnya, serikat kerja, dewan pengurus). Dalam partisipasi informal terdapat persetujuan lisan antara supervisor dan bawahan mengenal bidang partisipasi. c. Ketiga ; partisipasi mungkin bersifat langsung atau tidak langsung. Partisipasi langsung terjadi apabila setiap orang dapat mengajukan pandangan, membahas
22 pokok persoalan, mengajukan keberatan terhadap keinginan orang lain atau terhadap ucapannya. Dalam partisipasi tidak langsung, seorang wakil yang tepilih berbicara atas nama karyawan dengan kelompok yang lebih tinggi tingkatnya. Partisipasi dapat sangat berbeda-beda tingkatnya. Mungkin terdapat suatu kondisi tanpa partisipasi, dimana supervisor memimpin, mengarahkan dan memerinci secara tepat apa yang harus dikerjakan. Mungkin juga terdapat berbagai macam tingkat konsultasi, dimana supervisor berkonsultasi dengan bawahan sebelum atau sesudah mengambil keputusan. Akhirnya, mungkin juga terdapat suatu keadaan dengan partisipasi penuh, dimana supervisor dan bawahan adalah sama dalam mengambil keputusan terakhir. Akhirnya, mungkin juga terdapat suatu keadaan dengan partisipasi penuh, dimana supervisor dan bawahan adalah sama dalam mengambil keputusan terakhir. Ada empat kategori keputusan yang sesuai dengan manajemen partisipatif. Empat kategori itu adalah : 1. Urusan Personalia Rutin (Routine Personnel Matters). Penggajian, disiplin, pelatihan dan metode pembayaran yang harus digunakan. 2. Pekerjaan itu Sendiri (Job Itself). Metode kerja, rancangan pekerjaan, penetapan tujuan, kecepatan pekerjaan. 3. Kondisi kerja (Working Condition). Istirahat, jam kerja, tata ruang pabrik atau kantor, dekorasi interior. 4. Kebijakan Perusahaan (Company Policies). Pemberhentian sementara, pembagian laba, pemberian tunjangan, investasi modal, dividen.
23 Para pendukung manajemen partisipatif selalu menegaskan bahwa manajemen partisipatif mempunyai pengaruh positif terhadap para karyawan. Diasumsikan
bahwa
melalui
partisipasi,
para
karyawan
akan
mampu
mengumpulkan informasi, pengetahuan, kekuatan, dan kreativitas untuk memecahkan persoalan. Meningkatnya arus komunikasi dalam situasi partisipatif dianggap sangat berharga. Manajemen partisipatif mengandung unsur-unsur pengobatan dan bersifat membantu, karena orang merasa senang dilibatkan dan merasa dipandang penting. Dalam istilah motivasi, partisipasi dibahas sebagai suatu mekanisme untuk mengurangi perlawanan terhadap perubahan. Lewat partisipasi para karyawan diasumsikan menambah kepercayaan mereka, penghormatan dan pengertian mereka terhadap orang lain yang mengakibatkan perubahan yang lebih lancar. Selain itu para karyawan yang berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dianggap menjadi “terlibat akunya” (egoinvolved), secara emosional dan kognitif merasa terikat pada keputusan, ada semacam pemilikian (ownership). Menurut Riza Irfani (1997) kata ‘keterlibatan’ dalam definisi partisipasi sendiri ditafsirkan secara beragam oleh banyak kalangan. partisipasi berdasarkan tingkat keterlibatan masyarakat sebagai menjadi beberapa tahap : a. Tahap Mobilisasi Partisipasi tahap ini dicirikan oleh adanya penggunaan teknologi luar tanpa minta pendapat dari masyarakat, dan masyarakat dikerahkan untuk melaksanakannya. Mobilisasi dikritik karena dianggap bukan menyertakan masyarakat
melainkan
mengerahkan
masyarakat.
Keterlibatan
atau
24 keikutsertaan masyarakat dalam suatu kegiatan tidak lahir secara sukarela melainkan dengan cara diperintah atau dipaksa. Karena itu tahap mobilisasi dianggap sama sekali tidak partisipatif, bahkan bertentangan dengan prinsipprinsip pendekatan partisipatif. Dengan cara mobilisasi seringkali masyarakat hanya dijadikan obyek pembangunan. b. Tahap Pengenalan Partisipasi Tahap partisipasi jenis ini memiliki ciri adanya penggunaan teknologi luar yang tanpa meminta pendapat dari masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam hal ini masih terbatas, seringkali sebagai obyek percobaan penggunaan teknologi baru. Masyarakat memang diminta untuk melakukan ujicoba secara terbatas sebelum memutuskan apakah sesuatu kegiatan atau teknologi akan diterapkan secara lebih luas. Tetapi apa yang disebut partisipasi masyarakat sesungguhnya belum tumbuh benar. Artinya, rancangan kegiatan dan keputusan tentang jenis kegiatan atau teknologi yang diadopsi masih ditentukan oleh orang luar, bukan oleh masyarakat sendiri sehingga nyaris menempatkan mereka sebagai sekedar pelaksana kegiatan saja. c. Tahap Pemberdayaan Masyarakat Tahap ini memiliki ciri adanya teknologi tepat guna dari luar yang diperkenalkan, dan masyarakat didorong atau diberikan motivasi untuk meningkatkan kemampuannya. Pada tahap ini, keterlibatan masyarakat mulai menjadi pertimbangan utama dalam proses perencanaan, pelaksanaan, maupun penilaian hasil program. Tetapi, karena selama ini masyarakat jarang diberi kesempatan untuk berperan aktif, maka orang luar (lembaga program)
25 masih harus memotivasi masyarakat agar mau berperan aktif, dan mampu menentukan pilihan teknologi atau kegiatan. d. Tahap Kesetaraan / Kesejajaran Ciri-ciri pokok partisipasi dalam tahapan ini antara lain teknologi lokal dipergunakan, teknologi tepat guna dari luar diperkenalkan, dan masyarakat sudah mampu memilih teknologi yang paling cocok untuk dirinya sendiri. Tahap ini bisa disebut sebagai bentuk partisipasi yang paling ideal. Orang luar menjadi mitra sejajar masyarakat (orang dalam). Masyarakat sudah memiliki kemauan dan kemampuan untuk menentukan apa yang terbaik bagi peningkatan kesejahteraan hidupnya. Program direncanakan, dilaksanakan, serta dinilai bersama masyarakat.
2.1.4. Konsep Komitmen Dalam dunia kerja, komitmen seseorang terhadap organisasi atau perusahaan seringkali menjadi isu yang sangat penting. Saking pentingnya hal tersebut, sampai-sampai beberapa organisasi berani memasukkan unsur komitmen sebagai salah satu syarat untuk memegang suatu jabatan atau posisi yang ditawarkan dalam iklan-iklan lowongan pekerjaan. Sayangnya meskipun hal ini sudah sangat umum namun tidak jarang pengusaha maupun pegawai masih belum memahami arti komitmen secara sungguh-sungguh. Padahal pemahaman tersebut sangatlah penting agar tercipta kondisi kerja yang kondusif sehingga perusahaan dapat berjalan secara efisien dan efektif. Dalam rangka
memahami apa
sebenarnya komitmen individu terhadap organisasi atau perusahaan dalam hal ini
26 komitmen pimpinan terhadap organisasi yang dipimpinnya, apa dampaknya bila komitmen tersebut tidak diperoleh dan mengapa hal tersebut perlu dipahami, maka dijelaskan dalam kajian pustaka berikut ini. (Zainuddin Sri Kuntjoro : 2002, http://e-psikologi.com/masalah/250702.htm artikel “Komitmen Organisasi”) a. Pengertian Porter (Mowday, dkk, 1982:27) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam bagian organisasi. Hal ini dapat ditandai dengan tiga hal, yaitu : 1. Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. 2. Kesiapan dan kesedian untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi. 3. Keinginan untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi (menjadi bagian dari organisasi). Sedangkan Richard M. Steers (1985 : 50) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap organisasinya. Steers berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi dimana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan
27 tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. Berdasarkan definisi ini, dalam komitmen organisasi tercakup unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan, dan identifikasi terhadap nilainilai dan tujuan organisasi Secara singkat pada intinya beberapa definisi komitmen organisasi dari beberapa ahli diatas mempunyai penekanan yang hampir sama yaitu proses pada individu (pegawai) dalam mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai, aturanaturan, dan tujuan organisasi. Disamping itu, komitmen organisasi mengandung pengertian sebagai sesuatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap organisasi, dengan kata lain komitmen organisasi menyiratkan hubungan pegawai dengan perusahaan atau organisasi secara aktif. Karena pegawai yang menunjukkan komitmen tinggi memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih dalam menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja. b. Jenis Komitmen Komitmen organisasi dapat dibedakan menjadi 2 bagian, menurut Allen & Meyer dan menurut Mowday, Porter & Steers seperti pada penjelasan berikut ini : 1. Jenis Komitmen menurut Allen & Meyer Allen dan Meyer (dalam Dunham, dkk 1994: 370 ) membedakan komitmen organisasi atas tiga komponen, yaitu : afektif, normatif dan continuance. 1. Komponen afektif berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan pegawai di dalam suatu organisasi.
28 2. Komponen normatif merupakan perasaan-perasaan pegawai tentang kewajiban yang harus ia berikan kepada organisasi. 3. Komponen continuance berarti komponen berdasarkan persepsi pegawai tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi. Meyer dan Allen berpendapat bahwa setiap komponen memiliki dasar yang berbeda. Pegawai dengan komponen afektif tinggi, masih bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Sementara itu pegawai dengan komponen continuance tinggi, tetap bergabung dengan organisasi tersebut karena mereka membutuhkan organisasi. Pegawai yang memiliki komponen normatif yang tinggi, tetap menjadi anggota organisasi karena mereka harus melakukannya. Setiap pegawai memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen organisasi yang dimilikinya. Pegawai yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku berbeda dengan pegawai yang berdasarkan continuance. Pegawai yang ingin menjadi anggota akan memiliki keinginan untuk menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya, mereka yang terpaksa menjadi anggota akan menghindari kerugian finansial dan kerugian lain, sehingga mungkin hanya melakukan usaha yang tidak maksimal. Sementara itu, komponen normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki pegawai. Komponen normatif menimbulkan perasaan kewajiban pada pegawai untuk memberi balasan atas apa yang telah diterimanya dari organisasi.
29 2. Jenis Komitmen menurut Mowday, Porter dan Steers Komitmen organisasi dari Mowday, Porter dan Steers lebih dikenal sebagai pendekatan sikap terhadap organisasi. Komitmen organisasi ini memiliki dua komponen yaitu sikap dan kehendak untuk bertingkah laku. Sikap mencakup: 1. Identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi, dimana penerimaan ini merupakan dasar komitmen organisasi. Identifikasi pegawai tampak melalui sikap menyetujui kebijaksanaan organisasi, kesamaan nilai pribadi dan nilai-nilai organisasi, rasa kebanggaan menjadi bagian dari organisasi. 2. Keterlibatan sesuai peran dan tanggungjawab pekerjaan
di organisasi
tersebut. Pegawai yang memiliki komitmen tinggi akan menerima hampir semua tugas dna tanggungjawab pekerjaan yang diberikan padanya. 3. Kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap organisasi merupakan evaluasi terhadap komitmen, serta adanya ikatan emosional dan keterikatan antara organisasi dengan pegawai. Pegawai dengan komitmen tinggi merasakan adanya loyalitas dan rasa memiliki terhadap organisasi. Sedangkan yang termasuk kehendak untuk bertingkah laku adalah: 1. Kesediaan untuk menampilkan usaha. Hal ini tampak melalui kesediaan bekerja melebihi apa yang diharapkan agar organisasi dapat maju. Pegawai dengan komitmen tinggi, ikut memperhatikan nasib organisasi. 2. Keinginan tetap berada dalam organisasi. Pada pegawai yang memiliki komitmen tinggi, hanya sedikit alasan untuk keluar dari organisasi dan
30 berkeinginan untuk bergabung dengan organisasi yang telah dipilihnya dalam waktu lama Jadi seseorang yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki identifikasi terhadap organisasi, terlibat sungguh-sungguh dalam pegawaian dan ada loyalitas serta afeksi positif terhadap organisasi. Selain itu tampil tingkah laku berusaha kearah tujuan organisasi dan keinginan untuk tetap bergabung dengan organisasi dalam jangka waktu lama. c. Menumbuhkan Komitmen Komitmen organisasi memiliki tiga aspek utama, yaitu : identifikasi, keterlibatan dan loyalitas pegawai terhadap organisasi atau organisasinya. 1. Identifikasi Identifikasi, yang mewujud dalam bentuk kepercayaan pegawai terhadap organisasi, dapat dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisasi, sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para pegawai ataupun dengan kata lain organisasi memasukkan pula kebutuhan dan keinginan pegawai dalam tujuan organisasinya. Hal ini akan membuahkan suasana saling mendukung diantara para pegawai dengan organisasi. Lebih lanjut, suasana tersebut akan membawa pegawai dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi, karena pegawai menerima tujuan organisasi yang dipercayai telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi mereka pula (Pareek, 1994 : 113).
31 2. Keterlibatan Keterlibatan atau partisipasi pegawai dalam aktivitas-aktivitas kerja penting untuk diperhatikan karena adanya keterlibatan pegawai menyebabkan mereka akan mau dan senang bekerja sama baik dengan pimpinan ataupun dengan sesama teman kerja. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan pegawai adalah dengan memancing partisipasi mereka dalam berbagai kesempatan pembuatan keputusan, yang dapat menumbuhkan keyakinan pada pegawai bahwa apa yang telah diputuskan adalah merupakan keputusan bersama. Disamping itu, dengan melakukan hal tersebut maka pegawai merasakan bahwa mereka diterima sebagai bagian yang utuh dari organisasi, dan konsekuensi lebih lanjut, mereka merasa wajib untuk melaksanakan bersama apa yang telah diputuskan karena adanya rasa keterikatan dengan apa yang mereka ciptakan (Sutarto, 1989 :79). Hasil riset menunjukkan bahwa tingkat kehadiran mereka yang memiliki rasa keterlibatan tinggi umumnya tinggi pula (Steer, 1985). Mereka hanya absen jika mereka sakit hingga benar-benar tidak dapat masuk kerja. Jadi, tingkat kemangkiran yang disengaja pada individu tersebut lebih rendah dibandingkan dengan pegawai yang keterlibatannya lebih rendah. Ahli lain, Beynon (dalam Marchington, 1986 : 61) mengatakan bahwa partisipasi akan meningkat apabila mereka menghadapi suatu situasi yang penting untuk mereka diskusikan bersama, dan salah satu situasi yang perlu didiskusikan bersama tersebut adalah kebutuhan serta kepentingan pribadi yang ingin dicapai oleh pegawai dalam organisasi. Apabila kebutuhan tersebut
32 dapat terpenuhi hingga pegawai memperoleh kepuasan kerja, maka pegawaipun
akan
menyadari
pentingnya
memiliki
kesediaan
untuk
menyumbangkan usaha dan kontribusi bagi kepentingan organisasi. Sebab hanya dengan pencapaian kepentingan organisasilah, kepentingan merekapun akan lebih terpuaskan. 3. Loyalitas Loyalitas pegawai terhadap organisasi memiliki makna kesediaan seseorang untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun (Wignyosoebroto, 1987). Kesediaan pegawai untuk mempertahankan diri bekerja dalam organisasi adalah hal yang penting dalam menunjang komitmen pegawai terhadap organisasi dimana mereka bekerja. Hal ini dapat diupayakan bila pegawai merasakan adanya keamanan dan kepuasan di dalam organisasi tempat ia bergabung untuk bekerja. d. Pegawai Kontrak Mengingat bahwa seringkali di dalam suatu organisasi terdiri dari pegawai tetap dan juga pegawai kontrak, maka masalah komitmen seringkali menjadi pertanyaan pihak organisasi terhadap pegawai kontrak. Secara psikologis tentu perlu dicermati, karena komitmen organisasi, munculnya lebih psikologis dibanding kebutuhan sosial-ekonomi yang bersumber dari gaji atau upah. Orang mencari kerja awalanya agar memperolah status sebagai pegawai dan mendapatkan imbalan berupa gaji atau upah. Namun setelah bekerja tuntutannya cenderung menjadi meningkat, misalnya apakah suasana kerjanya menyenangkan
33 atau tidak, apakah ia merasa sejahtera atau tidak, merasa puas dengan pekerjaan dan apa yang didapat, dan sebagainya. Semua faktor tersebut akan memberikan andil terhadap munculnya komitmen organisasi. Pada pegawai kontrak, umumnya masa 6 (enam) bulan pertama adalah periode dimana pegawai baru menyesuaikan diri dengan tugas, dan biasanya pada saat tersebutlah ia baru terlihat efisien dalam menjalankan tugas-tugasnya. Namun sayangnya jika ia ternyata cuma dikontrak 1 (satu) tahun, maka dalam bulan-bulan berikutnya ia sudah harus berpikir bahwa akhir tahun masa kontrak habis dan harus memperpanjang, itupun masih meragukan apakah dapat diperpanjang atau tidak; jika secara kebetulan ternyata tidak dapat diperpanjang maka secara disadari atau tidak ketentraman dalam menjalankan tugas terganggu. Begitu juga jika diperpanjang untuk tahun kedua, maka pada akhir tahun pegawai umumnya sudah terlihat gelisah karena setelah tahun kedua kemungkinan untuk diperpanjang sangat kecil (terbentur peraturan, dan lai-lain), sehingga efisiensi kerjanya menjadi kurang, karena perhatiannya pasti lebih tercurah untuk mencari kerja di tempat lain. Dalam kondisi tersebut maka bagi pegawai kontrak tentu sulit diukur tingkat komitmennya terhadap organisasi, apalagi jika kita melihat bahwa komitmen tersebut menyangkut aspek loyalitas dan sebagainya. Dengan dasar ini maka penting bagi pihak manajemen (pengusaha) untuk menentukan pekerjaan atau jabatan apa saja yang cocok untuk pegawai kontrak sehingga tidak merugikan organisasi di kemudian hari. e. Dua Pihak Dengan membaca uraian di atas, maka terlihat bahwa komitmen individu terhadap organisasi bukanlah merupakan suatu hal yang terjadi secara sepihak.
34 Dalam hal ini organisasi dan pegawai (individu) harus secara bersama-sama menciptakan kondisi yang kondusif untuk mencapai komitmen yang dimaksud. Sebagai contoh: seorang pegawai yang semula kurang memiliki komitmen, namun setelah bekerja ternyata selain ia mendapat imbalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku ternyata didapati
adanya hal-hal yang menarik dan memberinya
kepuasan. Hal itu tentu akan memupuk berkembangnya komitmen individu tersebut terhadap organisasi. Apalagi jika tersedia faktor-faktor yang dapat memberikan kesejahteraan hidup atau jaminan keamanan, misalnya ada koperasi, ada fasilitas transportasi, ada fasilitas yang mendukung kegiatan kerja maka dapat dipastikan ia dapat bekerja dengan penuh semangat, lebih produktif, dan efisien dalam menjalankan tugasnya. Sebaliknya jika iklim organisasi kerja dalam organisasi tersebut kurang menunjang, misalnya fasilitas kurang, hubungan kerja kurang harmonis, jaminan sosial dan keamanan kurang, maka secara otomatis komitment individu terhadap organisasi menjadi makin luntur atau bahkan mungkin ia cenderung menjelek-jelekkan tempat kerjanya. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan berbagai gejolak seperti korupsi, mogok kerja, unjuk rasa, pengunduran diri, terlibat tindakan kriminal dan sebagainya. (Zainuddin Sri Kuntjoro : 2002, http://e-psikologi.com/masalah/250702.htm artikel “Komitmen Organisasi”)
2.1.5. Konsep Kepemimpinan Kepemimpinan (leadership) telah didefinisikan oleh orang dengan berbagai cara yang berbeda, menurut Stephen P. Robbins (2003) pemimpin adalah
35 orang yang menetapkan arah dengan mengembangkan suatu visi terhadap masa depan, kemudian menyatukan orang dengan mengkomunikasikan visi ini dan mengilhami mereka untuk mengatasi rintangan–rintangan. Atau kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok kearah tercapainya tujuan. John Kotter dari Harvard Business School yang dikutip oleh Stephen P. Robbins (2003) mendefinisikan kepemimpinan yaitu menyangkut hal mengatasi perubahan, pemimpin menetapkan arah dengan mengembangkan suatu visi terhadap
masa
depan,
kemudian
mereka
menyatukan
orang
dengan
mengkomunikasikan visi ini dan mengilhami mereka untuk mengatasi rintanganrintangan. Sedangkan pengertian lainnya yang dikemukakan oleh Gibson, Ivancevich dan Donnely (1994), kepemimpinan adalah suatu usaha mempengaruhi orang antar perseorangan (interpersonal), lewat proses komunikasi, untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan. Menurut Kartono (1992: 5) mengemukakan mengenai pengertian kepemimpinan, kepemimpianan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin dan yang dipimpin. Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang sebagi hasil dari interaksi otomatis diantara pemimpin dan individu-individu yang di pimpin (ada relasi interpersonal). Kepemimpinan ini bila berfungsi atas dasar : Kekuasaan pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi dan menggerakan orangorang lain guna melakukan sesuatu demi pencapaian satu tujuan tertentu.
36 Menurut Stoner yang dikutip T. Hani Handoko (1998) kepemimpinan manajerial dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya. Ada tiga implikasi penting dari definisi tersebut diatas, yaitu : a.
Kepemimpinan menyangkut orang lain-bawahan atau pengikut.
b.
Kepemimpinan menyangkut suatu pembagian kekuasaan yang tidak seimbang diantara para pemimpin dan anggota kelompok.
c.
Selain dapat memberikan pengarahan kepada para bawahan atau pengikut, pemimpin dapat juga mempergunakan pengaruh. Dengan kata lain para pemimpin tidak hanya dapat memerintah bawahan apa yang harus dilakukan tetapi juga dapat mempengaruhi bagaimana bawahan melaksanakan perintahnya. Kepemimpinan adalah bagian penting manajemen, tetapi tidak sama
dengan manajemen. Kepemimpinan merupakan kemampuan yang dipunyai seseorang untuk mempengaruhi orang-orang lain agar bekerja mencapai tujuan dan sasaran. Sedangkan manajemen mencakup kepemimpinan, tetapi juga mencakup fungsi-fungsi lain seperti perencanaan, pengorganisasian dan pengawasan. Menurut T. Hani Handoko (1998:295) penelitian dan pendekatan teoriteori kepemimpinan dapat diklasifikasikan sebagai pendekatan-pendekatan kesifatan,
perilaku
kepemimpinan.
dan
situasional
(contingency)
dalam
studi
tentang
37 Pendekatan pertama memandang kepemimpinan sebagai suatu kombinasi sifat-sifat (trait) yang tampak. Pendekatan kedua bermaksud mengidentifikasi perilaku-perilaku (behaviors) pribadi yang berhubungan dengan kepemimpinan efektif. Kedua pendekatan ini mempunyai anggapan bahwa seorang individu yang memiliki sifat-sifat tertentu atau memperagakan perilaku-perilaku tertentu akan muncul sebagai pemimpin dalam situasi kelompok apapun dimana dia berada. Pemikiran dan penelitian sekarang mendasarkan pada pendekatan ketiga yaitu pandangan situasional tentang kepemimpinan. Pandangan ini menganggap bahwa kondisi yang menentukan efektifitas kepemimpinan bervariasi dengan situasi tugas-tugas yang dilakukan, keterampilan dan pengharapan bawahan, lingkungan organisasi, pengalaman masa lalu pemimpin dan bawahan. Pandangan ini telah menimbulkan pendekatan kontingensi pada kepemimpinan yang bermaksud untuk menetapkan faktor-faktor situasional yang menentukan seberapa besar efektifitas situasi gaya kepemimpinan tertentu. Menurut Edwin Ghiselli yang dikutip T. Hani Handoko (1998) sifat-sifat penting dalam kepemimpinan yang efektif adalah : a.
Kemampuan dalam kedudukan sebagai pengawas (supervisory ability) atau pelaksanaan fungsi-fungsi dasar manajemen terutama pengarahan dan pengawasan pekerjaan orang lain.
b.
Kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan mencakup pencarian tanggung jawab dan keinginan sukses.
c.
Kecerdasan, mencakup kebijakan, pemikiran kreatif dan daya pikir.
38 d.
Ketegasan atau kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan dan memecahkan masalah-masalah dengan cakap dan tepat.
e.
Kepercayaan diri atau pandanganterhadap dirinya sebagai kemampuan untuk menghadapi masalah.
f.
Inisiatif atau kemampuan untuk bertindak tidak tergantung mengembangkan serangkaian kegiatan dan menemukan cara-cara baru atau inovasi. Sedangkan Keith Davis yang dikutip T. Hani Handoko (1998)
mengiktisarkan 4 ciri utama yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan organisasi yaitu 1). Kecerdasan, 2). Kedewasaan dan keluasan hubungan sosial, 3). Motivasi diri dan dorongan berprestasi, 4). Sikap-sikap hubungan manusiawi. Maka keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai sangat tergantung pada kepemimpinannya, yaitu apakah kepemimpinan tersebut mampu menggerakan semua sumber daya manusia, sumber daya alam, sarana, dana dan waktu secara efesien dan efektif serta terpadu dalam proses manajemen. Dengan demikian bahwa kepemimpinan merupakan inti dari organisasi, manajemen dan administrasi.
2.1.6. Konsep Manajemen Teknologi Informasi Istilah TI (Teknologi Informasi) atau IT (Information Technology) yang populer saat ini adalah bagian dari mata rantai panjang dari perkembangan istilah dalam dunia SI (Sistem Informasi) atau IS (Information System). Istilah TI memang lebih merujuk pada teknologi yang digunakan dalam menyampaikan
39 maupun mengolah informasi, namun pada dasarnya masih merupakan bagian dari sebuah sistem informasi itu sendiri. TI memang secara notabene lebih mudah dipahami secara umum sebagai pengolahan informasi yang berbasis pada teknologi komputer yang tengah terus berkembang pesat. (Dindin Nugraha, 2003 : http://www.ilmukomputer.com/populer/dindin/dindin-sti.zip artikel “Mengenal Sistem Teknologi Informasi”). a. Pengantar Sistem Teknologi Informasi (STI) Sebuah Sistem Teknologi Informasi atau selanjutnya akan disebut STI, pada dasarnya dibangun di atas lima tingkatan dalam sebuah piramida STI. Berurutan dari dasar adalah : konsep dasar, teknologi, aplikasi, pengembangan dan pengelolaan. Berikut ini penjelasan dari kelima komponen yang membentuk piramida STI, yaitu : 1. Konsep Dasar Konsep memberikan pemahaman yang penting dan menyeluruh dari sebuah STI yang tengah dibangun. Setidaknya ada 4 (empat) konsep dasar dari sebuah STI yang harus dipahami secara umum. 1. Konsep tentang sistem yang tengah berlangsung atau berlaku. Ini penting karena STI itu sendiri adalah sebuah sistem dan merupakan bagian dari sistem pula, misalnya dalam sebuah perusahaan. 2. Konsep tentang informasi. Informasi tentu saja adalah produk yang diharapkan dapat dihasilkan dari sebuah STI dan informasi adalah sebuah fokus yang harus mendapatkan pemahaman serius secara umum dan merata. Sudah menjadi sebuah permasalahan yang sering kali muncul
40 manakala sering kali didapati sebuah kenyataan bahwa terkadang sebuah STI tidak selalu menghasilkan informasi, bahwa banyak dari STI dapat dinilai gagal karena ternyata bukan informasi yang dihasilkan, meskipun didukung teknologi yang cukup memadai. 3. Konsep yang menyangkut komponen-komponen pembentuk STI itu sendiri. Pemahaman akan hal tersebut akan berguna saat proses penerapan STI dengan aplikasi-aplikasi berbeda sambil tetap mempertahankan STI tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh. Aplikasi STI untuk Bagian Penjualan sudah tentu akan berbeda dengan aplikasi yang digunakan di Bagian Keuangan dan pasti berbeda dengan yang diterapkan di Bagian Personalia, namun ketiganya merupakan bagian dari sebuah STI yang lebih luas dan besar dan dibangun atas dasar yang sama. Konteks penerapannyalah yang membuat ketiganya memiliki perbedaan. 2. Teknologi Di atas konsep dasar dapat ditentukan teknologi yang akan digunakan dalam STI yang akan dikembangkan. Dapat berupa teknologi komputer, telekomunikasi atau teknologi apapun yang dapat memberi nilai tambah dalam proses STI 3. Aplikasi Pengaplikasian dari STI dapat diterapkan dengan berbagai cara. Bisa diterapkan mengikuti fungsi-fungsi organisasi atau tingkatan manajemen dimana STI tersebut akan diaplikasikan. Beberapa contoh STI yang diaplikasikan mengikuti fungsi-fungsi organisasi yang ada misalnya, MIS
41 (Marketing Information System) untuk Bagian Penjualan, HRIS (Human Resources Information System) untuk Bagian Personalia, atau FIS (Financial Information System) untuk Bagian Keuangan. Sedangkan beberapa contoh STI yang diaplikasikan mengikuti fungsi-fungsi manajemen yang ada misalnya, TP (Transaction Processing) dan PCS (Process Control System) untuk manajemen level bawah, DSS (Decision Support System) atau sistem penunjang keputusan, ES (Expert System) atau sistem pakar, kemudian ada EIS (Executive Information System) untuk manajemen tingkat menengah dan atas. 4. Pengembangan STI dapat dikembangkan melalui beberapa cara. Antara lain : 1. SDLC (System Development Life Cycle), yang menempuh tahapan analisis, desain, implementasi dan perawatan dalam siklus hidupnya. 2. Metode Paket (Package), yang merupakan pembelian modul dalam bentuk paket STI. 3. Prototype, mengandalkan pengembangan paket kecil secara terus-menerus selama digunakan sampai prototype tersebut memiliki bentuk jadi yang diinginkan. 4. EUC (End User Computing) yang dikembangkan para praktisi dari dalam atau insourcing. 5. Outsourcing, yang merupakan STI yang dikembangkan dan dioperasikan oleh pihak ketiga atau vendor.
42 5. Pengelolaan Tahap paling tinggi dari pengembangan STI adalah pengelolaan STI itu sendiri yang telah beroperasi. Ada 2 (dua) isu penting tentang pengelolaan STI, yaitu : 1. Pertama, pengendalian dan kontrol terhadap STI itu sendiri. Kontrol yang tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan STI tidak dapat mencapai tujuannya. Informasi yang diinginkan dari STI mungkin bisa menjadi tidak akurat. Kontrol dan pengendalian di sini termasuk di dalamnya isu-isu seputar keamanan STI. 2. Kedua, etika dan politik informasi yang juga harus diberikan perhatian yang cukup. Pengelolaan di bidang ini yang dilakukan dengan tidak tepat mungkin akan menurunkan kinerja. Demikian juga dengan pengelolaan politik informasi. Banyak STI yang secara teknis bagus, tetapi mengalami kegagalan dalam penerapannya karena adanya politik informasi yang menggagalkan STI tersebut. Salah satu diantaranya adalah adanya resistance to change atau keengganan berubah karena STI yang diterapkan ini akan menurunkan kekuasaan atau kesempatan seseorang yang menyebabkan yang bersangkutan enggan menerima STI yang ada. b. Informasi dalam Sistem Teknologi Informasi (STI) Dalam sistem teknologi informasi, selanjutnya disebut STI, serumit apa pun atau sesederhana apa pun pengembangannya, terdapat satu inti dan tujuan, yaitu menghasilkan informasi itu sendiri. Sesederhana apa pun STI yang dikembangkan, jika bisa menghasilkan informasi yang diharapkan, maka
43 pengembangannya bisa dikatakan berhasil. Namun di lain pihak, secanggih apa pun STI yang dikembangkan, jika tidak dapat menghasilkan informasi yang diharapkan, maka pengembangan STI yang canggih tersebut dikatakan gagal. Kata ‘informasi’ telah menjadi urat nadi pengembangan STI. Lalu, apakah informasi itu sendiri ? Telah disepakati secara umum, informasi adalah data yang diolah menjadi bentuk yang berguna bagi para pemakainya. Dalam mencermati kalimat tersebut perlu diperhatikan bahwa data yang diolah menjadi bentuk yang berguna, tidak hanya sekedar memiliki arti. Katakanlah, misalnya informasi “1,3 meter”, 1,3 meter jelas memiliki arti sebagai satu koma tiga satuan panjang yang bernama “meter”, namun tidak begitu berguna bagi orang yang menginginkannya dalam satuan “centimeter”. Dengan demikian “1,3 meter” tersebut harus diolah kembali agar menjadi berguna bagi orang yang memerlukannya. Misalnya dengan menyodorkan pada orang tersebut konversi satuan meter ke centimeter, bahwa “1 meter” adalah sama dengan “100 centimeter” sehingga kita bisa memberikan kepadanya angka “130 centimeter”. Informasi tersebut kini menjadi berguna bagi orang yang menginginkan informasi dalam satuan “centimeter”. Di dalam STI, sebuah informasi dapat dikatakan berguna apabila ditopang oleh tiga hal : 1. Tepat pada kebutuhannya atau relevan 2. Tepat pada waktunya atau timelines 3. Tepat nilainya atau accurate Dalam STI, informasi yang tidak didukung oleh ketiga hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai informasi yang berguna, tetapi dapat dikatakan sebagai
44 informasi sampah atau garbage. Kelak anggapan tersebut memunculkan hukum Gi = Go (Garbage in = Garbage out / Sampah yang masuk = Sampah yang keluar). Dalam perkembangannya, informasi di dunia STI banyak dipengaruhi oleh keterlibatannya dalam dunia organisasi bisnis yang memang merupakan konsumen terbesar dari pengembangan STI. Hal tersebut mengakibatkan informasi dalam STI secara umum disebutkan memiliki 3 (tiga) tipe (Jogiyanto HM) sebagai berikut : 1. Informasi Pengumpulan Data (Scorekeeping Information) Merupakan informasi yang mengambil bentuk berupa akumulasi atau pengumpulan data untuk menjawab pertanyaan, “ Am I doing well or badly?” “Apakah saya sudah mengerjakannya dengan baik atau belum?”. Dalam sebuah organisasi bisnis atau perusahaan, informasi ini berguna bagi manajer tingkat bawah untuk mengevaluasi kinerja personel-personelnya. 2. Informasi Pengarah Perhatian (Attention Directing Information) Merupakan informasi untuk membantu memusatkan perhatian pada masalahmasalah
yang
menyimpang,
ketidakberesan,
ketidakefesienan
dan
kesempatan-kesempatan yang dapat dilakukan informasi tersebut untuk menjawab pertanyaan, “What problem should I look into ?” “Permasalahan apakah yang seharusnya saya cermati ?” Dalam sebuah organisasi bisnis atau perusahaan, informasi tipe ini akan membantu manajemen menengah untuk melihat penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Penyimpangan disini bisa berupa over budget biaya, target penjualan yang tidak tercapai, pendapatan perusahaan yang menurun, biaya produksi yang meningkat diluar perkiraan
45 atau lainnya. Yang merupakan perbedaan dari apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi dalam kenyataan, das sein vs das sollen. 3. Informasi Pemecahan Masalah (Problem Solving Information) Merupakan informasi yang membantu pengambilan keputusan untuk memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi. Informasi ini untuk menjawab pertanyaan “ Of the several ways of doing the job, which is the best?” Problem solving biasanya dihubungkan dengan keputusan-keputusan yang tidak berulang-ulang serta situasi yang membutuhkan analisis yang dilakukan oleh manajemen tingkat atas. Masih bersentuhan dengan pengembangan STI dalam sebuah organisasi yang bergerak di bidang bisnis khususnya, informasi mengambil beberapa karakteristik. Karakteristik yang berbeda tersebut biasanya disebabkan pembagian tingkat manajemen yang diberlakukan dalam sebuah organisasi bisnis. Setiap level manajemen memiliki perbedaan fungsi dan fokus kerja sehingga membutuhkan informasi yang relevan pula. Karena itulah sebenarnya, informasi mengikuti karakteristik dari tiap level manajemen yang ada. Beberapa karakteristik yang bisa disebutkan antara lain : 1. Kepadatan Informasi Manajemen tingkat bawah biasanya memerlukan informasi yang berkarakter mendetail dan terperinci atau dengan kata lain, kurang padat. Hal tersebut terjadi karena manajemen level bawah lebih banyak berkecimpung dengan tugas pengendalian operasi langsung. Sedangkan untuk manajemen yang lebih tinggi, biasanya informasi makin tersaring, lebih ringkas dan semakin padat.
46 2. Frekuensi Informasi Frekuensi informasi yang diterima manajemen yang berbeda akan berbeda pula. Untuk manajemen tingkat bawah biasanya lebih cenderung rutin karena berkaitan dengan tugas dan pekerjaan yang rutin pula serta berulang-ulang. Semakin tinggi level manajemen, informasi yang dibutuhkan akan semakin tidak rutin dan seringkali ad hoc atau mendadak karena manajemen yang makin tinggi seringkali dihadapkan pada pengambilan keputusan yang tidak terstruktur dimana pola dan waktunya tidak pasti. 3. Jadwal Informasi Masih berkaitan dengan frekuensi. Karakter informasi yang disajikan secara periodik dan jadwal yang jelas biasanya dikonsumsi oleh manajemen tingkat bawah. Sedangkan manajemen yang lebih tinggi biasanya tidak terjadwal. 4. Periode Informasi Tersebut Dibutuhkan Manajemen tingkat bawah lebih membutuhkan informasi historis untuk mengevaluasi tugas-tugas rutin yang sudah terjadi. Sedangkan karakter informasi yang dibutuhkan oleh manajemen yang lebih tinggi cenderung informasi prediksi yang menyangkut nilai masa depan. 5. Akses Informasi Informasi historis, rutin/periodik, berulang-ulang dapat diakses secara offline. Sajian offline ini ditujukan untuk manajmen tingkat bawah. Sebaliknya, untuk manajmen tingkat atas yang memerlukan informasi kapanpun diperlukan akses informasi secara online.
47 6. Luas Informasi Terfokus pada masalah tertentu digunakan oleh manajmen tingkat bawah yang memang mempunyai tugas yang khusus. Sedangkan untuk manajemen tingkat atas membutuhkan informasi yang semakin luas karena manajemen tingkat atas berhubungan dengan permasalahan yang lebih luas. 7. Sumber Informasi Manajemen tingkat bawah biasanya lebih terfokus pada pengendalian operasi internal perusahaan, maka manajemen tingkat ini memerlukan informasi yang bersumber pada internal perusahaan itu sendiri. Sedangkan untuk menejemen tingkat atas yang berorientasi pada strategi dan perencanaan di masa yang akan datang, selain informasi internal, diperlukan juga informasi yang bersumber dari eksternal perusahaan itu sendiri. (Dindin Nugraha, 2003 : http://www.ilmukomputer.com/populer/dindin/dindin-sti.zip artikel “Mengenal Sistem Teknologi Informasi”). c. Siklus Hidup Sistem (System Life Cycle) Menurut McLeod (1996) siklus hidup sistem (system life cycle) adalah proses evolusioner yang diikuti dalam menerapkan sistem atau subsistem informasi berbasis komputer. SLC terdiri dari serangkaian tugas yang erat mengikuti langkah-langkah pendekatan sistem. Karena tugas-tugas tersebut mengikuti suatu pola yang teratur dan dilakukan secara top-down. SLC sering disebut sebagai pendekatan air terjun (waterfall approach) bagi pengembangan dan penggunaan sistem. Lima tahap dalam siklus hidup sistem adalah perencanaan, analisis, rancangan dan penerapan, serta yang kelima yaitu tahap
48 penggunaan yang berlangsung sampai sudah waktunya untuk merancang sistem itu kembali. Proses merancang kembali mengakibatkan siklus itu akan diulangi kembali. Pengembang sistem informasi dengan berpatokan dengan siklus hidup sistem (system life cycle) akan mengarahkan pengembangan sistem informasi kearah yang jelas, terarah dan terukur. Menurut McCleod (1996) siklus hidup sistem terbagi menjadi 5 (lima) bagian yaitu : a. Tahap Perencanaan Untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal, selama tahap perencanaan ini langkah-langkah yang harus diambil adalah sebagai berikut : 1). Menyadari Masalah, 2). Mendefinisikan Masalah, 3). Menentukan Tujuan Sistem, 4). Mengidentifikasi Kendala-kendala Sistem, 5). Membuat Studi Kelayakan, 6). Mempersiapkan Usulan Penelitian Sistem, 7). Menyetujui atau Menelok Penelitian Proyek, dan 8). Menetapkan Mekanisme Pengendalian. b. Tahap Analisis Pada saat perencanaan telah selesai dan mekanisme pengendalian telah berjalan, maka proses selanjutnya beralih ke analisis dari sistem yang ada. Tahapan pada bagian ini sebagai berikut : 1). Mengumumkan Penelitian Sistem, 2). Mengorganisasikan Tim Proyek, 3). Mendefinisikan Kebutuhan Informasi, 4). Mendefinisikan Kriteria Kinerja Sistem, 5). Menyiapkan Usulan Rancangan, dan 6). Menyetujui atau Menolak Rancangan Proyek.
49 c. Tahap Rancangan Dengan memahami sistem yang ada dan persyaratan-persyaratan sistem baru, langkah selanjutnya adalah membuat rancangan sistem. Rancangan sistem ini adalah penentuan proses dan data yang diperlukan oleh sistem baru. Jika sistem tersebut berbasis komputer, rancangan dapat menyertakan spesifikasi peralatan. Langkah-langkahnya pada tahapan ini adalah : 1). Menyiapkan Rancangan Sistem yang Terinci, 2). Mengidentifikasikan Berbagai Alternatif Konfigurasi Sistem, 3). Mengevaluasi Berbagai Alternatif Konfigurasi Sistem, 4). Memilih Konfigurasi yang Terbaik, 5). Menyiapkan Usulan Penerapan dan 6). Menyetujui atau Menolak Penerapan Sistem. d. Tahap Penerapan Penerapan merupakan kegiatan memperoleh dan mengintegrasikan sumber daya fisik dan konseptual yang menghasilkan suatu sistem yang bekerja. Tahapan pada bagian ini adalah sebagai berikut : 1). Merencanakan Penerapan, 2). Mengumumkan Penerapan, 3). Mendapatkan Sumber Daya Perangkat Keras, 4). Mendapatkan Sumber Daya Perangkat Lunak, 5). Menyiapkan Database, 6). Menyiapkan Fasilitas Fisik, 7). Mendidik Peserta dan Pemakai, dan 8). Masuk ke Sistem Baru. e. Tahap Penggunaan Tahap penggunaan ini memiliki 3 tahap yaitu : 1). Menggunakan Sistem, 2). Audit Sistem, dan 3). Memelihara Sistem. Pada titik tertentu, modifikasi sistem akan menjadi sedemikian rupa sehingga lebih baik memulai dari awal. Lalu siklus hidup sistem akan terulang kembali, layaknya sebuah air terjun.
50
2.2. Hasil Penelitian Terdahulu 2.2.1 Keterlibatan Eksekutif (CEO) dalam Pengelolaan Teknologi Informasi Menurut hasil penelitian M.S. Idrus, Kertahadi dan E.S. Astuti (2000) dalam judul Keterlibatan Eksekutif (CEO) dalam Pengelolaan Teknologi Informasi, Peneliti menemukan bahwa model penelitian keterlibatan eksekutif dalam pengelolaan teknologi informasi dengan variabel yang diteliti partisipasi eksekutif, latar belakang eksekutif, kondisi organisasi, keterlibatan eksekutif dan kemajuan penggunaan teknologi informasi yang berkelanjutan dengan dua hipotesis kerja adalah tidak terbukti. Hal ini dapat ditunjukkan dengan ditolaknya hipotesis pertama, bahwa variabel partisipasi eksekutif, latar belakang eksekutif dan kondisi organisasi tidak terbukti dapat mempengaruhi secara positif dan signifikan terhadap keterlibatan eksekutif dalam pengelolaan teknologi informasi. Dan selanjutnya hipotesis kedua juga ditolak, yang ditunjukan oleh variabel partisipasi eksekutif, keterlibatan eksekutif, dan kondisi organisasi adalah tidak terbukti mempengaruhi secara positif dan signifikan terhadap kemajuan penggunaan teknologi informasi yang berkelanjutan. Namun dengan data yang sama jika diuji dengan menggunakan model dari jarvenpaa, peneliti menemukan bahwa keterlibatan eksekutif dalam pengelolaan teknologi informasi mempengaruhi secara positif dan signifikan terhadap kemajuan penggunaan teknologi informasi dengan koefisien pengaruh sebesar 0,558 dan signifikan pada tingkat α = 0,05. Sementara variabel partisipasi eksekutif, variabel latar belakang eksekutif dan variabel kondisi organisasi tidak mempengaruhi secara langsung terhadap kemajuan penggunaan teknologi
51 informasi, melainkan menentukan tingginya tingkat keterlibatan eksekutif dalam pengelolaan teknologi informasi secara positif dengan koefisien pengaruh sebesar 0.652 dan signifikan pada tingkat α = 0,025, untuk partisipasi eksekutif, koefisien pengaruh sebesar 0,297 dan signifikan pada α = 0,10 untuk variabel latar belakang eksekutif, koefisien pengaruh sebesar 0,284 dan signifikan pada α = 0,10 untuk kondisi organisasi. Hasil penelitian dengan menggunakan model pengembangan seperti yang dilakukan oleh peneliti ternyata tidak mendukung hasil penelitian terdahulu (Jarvenpaa). Sementara bila menggunakan model jarvenpaa hasilnya mendukung bahwa
keterlibatan
eksekutif
dalam
pengelolaan
teknologi
informasi
mempengaruhi secara positif dan signifikan terhadap kemajuaan penggunaan teknologi informasi. Berdasarkan hasil uji kecocokan (goodness of fit), diketahui bahwa model penelitian mempunyai kecocokan yang baik dengan datanya. Hal ini ditunjukkan oleh angka goodness of fit ( GFI sebesar 0,999 ), Tucker-Lewis indek ( TLI sebesar 1,142 ), Normed fit indec ( NFI sebesar 0,989 ) mempunyai nilai lebih dari angka yang ditentukan yaitu 0,90.
2.2.2. Pengaruh Partisipasi, Latar Belakang Eksekutif dan Kondisi Organisasional Perusahaan Terhadap Keterlibatan Eksekutif dalam Manajemen Teknologi Informasi Menurut hasil penelitian Zulaikha, Tarmizi Achmad, Totok Dewayanto, Endang Kiswara, Noorhamid Ustadi dalam judul Pengaruh Partisipasi, Latar Belakang
Eksekutif
dan
Kondisi
Organisasional
Perusahaan
Terhadap
52 Keterlibatan Eksekutif dalam Manajemen Teknologi Informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh partisipasi dan keterlibatan eksekutif dalam manajemen teknologi informasi terhadap keprogresifan penggunaan teknologi informasi yang digunakan dalam perusahaan relatif terhadap pesaing adalah kurang signifikan. Demikain pula pengaruh latar belakang eksekutif dan kondisi organisasional perusahaan terhadap keterlibatan eksekutif dalam manajemen teknologi informasi juga kurang signifikan. Hasil penelitian ini tidak sama dengan hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Namun pengaruh positif partisipasi eksekutif terhadap keterlibatan manajemen teknologi informasi cukup signifikan. Hasil penelitian mempunyai keterbatasan bila digunakan dalam estimasi dengan propabilitas yang maksimum (maximum likelihood estimation).