BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit Makanan merupakan kebutuhan manusia yang paling dasar yang harus dipenuhi sesuai dengan kebutuhannya. Secara umum makanan berfungsi sebagai sumber energi, pertumbuhan dan perkembangan, pengganti sel-sel yang rusak, mempercepat proses penyembuhan dan pengatur proses dalam tubuh. Dalam keadaan sakit fungsi makanan sebagai salah satu bentuk terapi untuk kesembuhan pasien, penunjang pengobatan dan tindakan medis (Moehyi, 1995). Penyelenggaraan makanan di rumah sakit adalah serangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu, perencanaan kebutuhan bahan makanan, perencanaan anggaran belanja, pengadaan bahan makanan, penerimaan dan penyimpanan sampai distribusi makanan pada pasien/konsumen dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian diet yang tepat. Tujuan dari penyelenggaraan makanan ini untuk menyediakan makanan yang bermutu, jumlah sesuai kebutuhan gizi pasien, sesuai dengan biaya dan dapat diterima oleh pasien guna mencapai status gizi yang optimal. Sasaran penyelenggaraan makanan di rumah sakit terutama pasien rawat inap. Penyediaan makanan bagi orang sakit merupakan salah satu hal penting karena tujuan pemberian makanan untuk mempertahankan dan meningkatkan status gizi, mempertahankan daya tahan tubuh, serta sebagai bagian dari penyembuhan penyakitnya (Hartono, 2006). Pelayanan makanan juga merupakan komponen yang cukup besar dalam pembiayaan rumah sakit, sehingga perlu dikelola secara 8
9
baik agar bermanfaat secara berdaya guna dan berhasil guna. Adanya perubahan orientasi nilai dan perkembangan pemikiran yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengakibatkan suatu rumah sakit sebagai industri pelayanan jasa dituntut dapat memberikan kepuasan pelanggan atau pasiennya. 2.2 Standar Makanan Rumah Sakit Standar makanan rumah sakit di Instalasi Gizi RSUP Sanglah Denpasar tertuang dalam Peraturan Pemberian Makanan Rumah Sakit (PPMRS) tahun 2014 yang berisi tentang jumlah dan jenis bahan makanan yang diberikan kepada pasien berdasarkan kelas perawatan, dalam
sehari
(Instalasi
Gizi,
nilai gizi dan pembagian waktu makan 2014).
PPMRS
ini
disusun
dengan
mempertimbangkan faktor kebutuhan gizi, kebiasaan makan serta anggaran makanan yang tersedia dan ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan makanan. Secara lebih terperinci isi peraturan ini terdiri dari : 1) macam pasien yang layani terdiri dari pasien (VVIP, VIP, kelas 1, 2 dan 3), dokter jaga, petugas yang berdinas ditempat beresiko, petugas yang kena paparan panas, 2) siklus menu yang ditetapkan (10 hari), 3) pola pemberian makan sehari terdiri dari 3 kali makan utama dan 2 kali pemberian snack, 4) standar makanan rumah sakit untuk pasien berdiit khusus dan biasa, 5) standar makanan enteral rumah sakit, 6) macam menu yang ditetapkan terdiri dari menu standar dan menu pilihan, 7) penggunaan bahan makanan sesuai anggaran bahan makanan yang tersedia, 8) tercantum analisis zat gizi dari standar makanan biasa, dan untuk makanan khusus. Menu pilihan hanya berlaku pada pasien VVIP
10
dan VIP sedangkan pada kelas 1, 2 dan 3 berlaku menu standar dengan siklus menu 10 hari. Makanan biasa adalah makanan yang diberikan kepada pasien yang tidak memerlukan diet khusus berhubungan dengan penyakitnya. Susunan makanannya sama dengan makanan orang sehat/makanan sehari-hari yang beraneka ragam, bervariasi dengan bentuk, tekstur dan aroma yang normal, hanya tidak diperbolehkan makanan yang merangsang atau yang menimbulkan gangguan pencernaan. Standar ini mengacu pada pola menu seimbang dan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan bagi orang dewasa sehat. Tujuan diet makanan biasa adalah memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh. Standar porsi yang berlaku untuk makanan biasa dan khusus mengacu pada Buku Penuntun Diet tahun 2010 tetapi untuk standar porsi makanan biasa standar rumah sakit disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan rumah sakit. Nilai gizi makanan biasa pada Buku Penuntun Diet tahun 2010 adalah energi 2146 kalori, protein 76 gram, lemak 59 gram dan karbohidrat 331 gram. Pemberian makanan pada orang sakit, pada prinsipnya harus memenuhi kebutuhan zat gizi yang disesuaikan dengan penyakit yang dideritanya. Hal ini berkaitan dengan perubahan fisiologis dan metabolisme dalam tubuh orang sakit. Dengan demikian pada kondisi khusus, pengaturan diet dan penyusunan menu dipersiapkan sesuai dengan jenis penyakit dan gejala untuk menunjang kesembuhan pasien ( Kemenkes RI, 2013). Pembagian bahan makanan sehari untuk makanan biasa di Instalasi Gizi RSUP Sanglah Denpasar dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
11
Tabel 1 Standar porsi makanan biasa menurut Instalasi Gizi dan Penuntun Diet Waktu
Bahan Makanan
Instalasi Gizi
Penuntun Diet
150 gram
150 gram
Lauk hewani ( telur/penukar)
50 gram
50 gram
Sayuran
50 gram
50 gram
Minyak
5 gram
5 gram
Snack pagi
Kue
1 biji
Siang
Nasi
150 gram
250 gram
Lauk hewani (daging/penukar)
50 gram
50 gram
Lauk nabati (tempe/penukar)
50 gram
50 gram
Sayuran
75 gram
75 gram
Minyak
10 gram
10 gram
100 gram
100 gram
1 gelas
1 gelas
150 gram
200 gram
Lauk hewani (daging/penukar)
50 gram
50 gram
Lauk nabati ( tahu/penukar)
50 gram
50 gram
Sayuran
75 gram
75 gram
Minyak
10 gram
10 gram
makan Pagi
Nasi
Buah/penukar Snack sore
Bubur kacang hijau (25 gram)
Sore
Nasi
-
Sumber: Peraturan Pemberian Makan Rumah Sakit (PPMRS) tahun 2014 Penuntun Diet tahun 2010 2.3 Asupan Makanan Pasien Asupan makanan pada pasien harus disesuaikan dengan kebutuhan gizi dalam keadaan sakit. Kebutuhan zat gizi dalam keadaan sakit tergantung jenis dan berat penyakit serta faktor-faktor yang mempengaruhi dalam keadaan sehat seperti umur, gender (jenis kelamin), aktivitas fisik, serta kondisi khusus, yaitu ibu hamil dan menyusui (Almatsier, 2010). Pasien rawat inap membutuhkan asupan makan
12
yang adekuat agar kebutuhan dan kecukupan gizi terpenuhi dan terhindar dari malnutrisi. Dalam penyelenggaraan makanan di rumah sakit ada perbedaan pengertian istilah kebutuhan gizi dan kecukupan gizi. Kebutuhan gizi (nutrient requirements) adalah banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan oleh seseorang agar hidup sehat. Kecukupan gizi (recommended dietary allowences) adalah jumlah masingmasing zat gizi yang sebaiknya dipenuhi seseorang atau rata-rata kelomok agar hampir semua orang (97,5% populasi) hidup sehat (Kemenkes RI, 2014). Jika dalam tubuh terjadi ketidakcukupan gizi, maka dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi. Patogenesis penyakit gizi kurang (malnutrisi) melalui 5 tahapan, yaitu: pertama ketidakcukupan zat gizi. Jika ketidakcukupan zat gizi ini berlangsung lama, maka persediaan/cadangan jaringan akan digunakan untuk memenuhi ketidakcukupan itu. Kedua, apabila ini berlangsung lama, maka akan terjadi kemerosotan jaringan, yang ditandai dengan penurunan berat badan. Ketiga, terjadi
perubahan
biokimia
yang
dapat
dideteksi
dengan
pemeriksaan
laboratorium. Keempat, terjadi perubahan fungsi yang ditandai dengan tanda yang khas. Kelima, terjadi perubahan anatomi yang dapat dilihat dari munculnya tanda yang klasik (Supariasa, 2002). Di rumah sakit, banyak pasien yang mengalami ketidakcukupan zat gizi sebagai akibat dari rendahnya asupan zat gizi pasien. Pasien yang memiliki asupan makan yang rendah akan meninggalkan sisa makanan dalam piringnya. Semakin rendah asupan makan, maka sisa makanan semakin tinggi
13
2.4 Penilaian Mutu Pelayanan Makanan Penilaian mutu pelayanan makanan dapat dilakukan melalui evaluasi secara menyeluruh kegiatan penyelenggaraan makanan mulai dari perencanaan menu sampai dengan produk makanan yang dihasilkan sampai kepada pasien. Standar mutu makanan terdiri dari dua aspek utama yaitu aspek penampilan makanan dan rasa makanan. Penampilan makanan terdiri dari warna makanan, bentuk makanan, besar porsi dan cara menyajikan makanan. Rasa makanan dipengaruhi oleh suhu dari setiap jenis hidangan yang disajikan, bumbu yang digunakan, aroma masakan, keempukan atau kerenyahan serta tingkat kematangan. Dalam penyajian makanan, penampilan dan rasa makanan harus diperhatikan sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kesan yang menarik bagi pasien untuk dapat
menghabiskan makanan yang disajikan (Moehyi, 1995).
Penilaian mutu makanan dapat dilakukan dengan mencatat jumlah sisa makanan yang tidak dikonsumsi (Depkes RI, 2007). Menurut Kepmenkes
no. 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit, indikator sisa makanan yang tidak termakan oleh pasien sebesar ≤20%. Sisa makanan yang kurang atau sama dengan 20% menjadi indikator keberhasilan pelayanan gizi di setiap rumah sakit di Indonesia (Kemenkes RI, 2012). Penilaian/evaluasi sisa makanan secara umum didefinisikan sebagai suatu proses menilai jumlah/kuantitas dari porsi makanan yang sudah disediakan oleh penyelenggara makanan yang tidak dihabiskan. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menilai sisa makanan yaitu metode penimbangan dan metode
14
taksiran visual. Penelitian yang dilakukan mengenai penggunaan skala comstock 6 poin untuk menaksir secara visual sisa makanan pada program pemberian makan siang pada anak sekolah, pertama kali dikembangkan oleh Comstock tahun 1981, menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara taksiran visual skala Comstock dan penimbangan (r = 0,93). Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Murwani (2001), di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta memperoleh hasil antara taksiran sisa makanan dengan hasil penimbangan menunjukkan adanya korelasi yang sangat kuat dan positif, dengan rata-rata 0,93 (dengan rentang 0,91-0,95) sehingga taksiran visual dapat digunakan untuk menentukan sisa makanan menggantikan metode penimbangan. Susyani (2005),
dalam
penelitiannya mengenai akurasi petugas dalam penentuan sisa makanan pasien rawat inap menggunakan metode taksiran visual skala Comstock 6 poin, memperoleh kesimpulan penentuan sisa makanan dengan metode taksiran visual Comstock dapat dilakukan oleh siapa saja baik oleh petugas perawat ataupun petugas pramusaji. 2.5 Sisa Makanan dan Faktor yang Mempengaruhinya Semua pasien rawat inap di rumah sakit menerima makanan sesuai dengan kebutuhan ataupun kecukupan. Tetapi sebagian besar pasien (59%) meninggalkan sisa sebanyak 471±372 kalori, 21±17 gram protein per pasien perhari, sehingga asupan pasien menjadi kurang. Hal ini bukan didominasi oleh penyakit saja tetapi ada faktor risiko lain sepertai jenis kelamin, resep diet yang dimodifikasi, lama rawat dan makan malam yang tidak memadai, sehingga instalasi gizi harus meningkatkan pelayanan makanan di rumah sakit (Dupertuis, 2003).
15
Peranan makanan rumah sakit sebagai suatu terapi belum optimal. Hal ini karena masih banyak kejadian malnutrisi rumah sakit dan dampak malnutrisi mempengaruhi kesembuhan dan Length of Stay (LOS) dan makanan rumah sakit sering dianggap sebagai penyebabnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar, menemukan rata-rata asupan zat gizi pasien dibawah kebutuhan dan secara umum terjadi penurunan berat badan pasien selama perawatan (Weta dan Partiwi, 2009). Adanya sisa makanan pasien di rumah sakit mengakibatkan asupan gizi pasien tidak adekuat. Pasien dengan asupan gizi yang tidak adekuat mempunyai resiko 2,4 kali untuk terjadi malnutrisi rumah sakit (Kusumayanti, 2004). Berdasarkan beberapa teori dan dari hasil penelitian terdahulu banyak faktor yang menyebabkan terjadinya sisa makanan pasien di rumah sakit, yang meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu yang berasal dari pasien sendiri meliputi faktor psikis, kebiasaan makan, aktivitas fisik, umur, jenis kelamin, kelas perawatan, lama perawatan, faktor pengobatan dan jenis penyakit. Faktor eksternal terdiri dari faktor yang berasal dari makanan dan lingkungan. Faktor dari makanan yang mempengaruhi terjadinya sisa makanan adalah cita rasa dan variasi menu, sedangkan faktor dari lingkungan adalah konsumsi makanan dari luar rumah sakit, alat makan, jadwal makan atau waktu makan dan sikap petugas ruangan. 1. Faktor keadaan psikis Keadaan psikis adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan kejiwaan. Biasanya, perawatan di rumah sakit menyebabkan orang sakit harus menjalani
16
kehidupan yang berbeda dengan apa yang dialami sehari–hari di rumah. Apa yang dimakan, dimana orang tersebut makan, bagaimana makanan disajikan, dengan siapa orang tersebut makan, sangat berbeda dengan yang telah menjadi kebiasan hidupnya. Hal ini ditambah dengan hadirnya orang-orang yang masih asing baginya yang mengelilinginya setiap waktu, seperti dokter, perawat, atau petugas paramedis lainnya. Kesemuanya itu dapat membuat orang sakit mengalami tekanan psikologis, merasa sedih, merasa takut karena menderita suatu penyakit, ketidakbebasan gerak karena menderita suatu penyakit tertentu, sering menimbulkan rasa putus asa sehingga pasien kehilangan nafsu makan sehingga dapat mengurangi asupan makan (Moehyi, 1995). 2. Kebiasaan makan Kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang, pola makan, kepercayaan tentang makanan (pantangan), distribusi makanan di antara angota keluarga, penerimaan terhadap makanan (timbulnya suka atau tidak suka) dan cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan. Kebiasaan makan adalah ekspresi setiap individu dalam memilih makanan yang akan membentuk pola perilaku makan. Oleh karena itu, ekspresi setiap individu dalam memilih makanan akan berbeda satu dengan yang lain (Khomsan, 2004). Dengan pola makan yang baik dan jenis hidangan yang beraneka ragam dapat menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan gizi seseorang, sehingga status gizi seseorang akan lebih baik dan memperkuat daya tahan tubuh terhadap serangan
17
dari penyakit. Susunan menu atau susunan hidangan masyarakat Indonesia meliputi bahan makanan pokok, lauk pauk (hewani dan nabati), sayur, dan buah. Susunan makanan mengacu pada Pola Menu Seimbang dan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan bagi orang dewasa sehat (Sediaoetama, 2000). Berdasarkan hasil penelitian Priyanto (2009), perbedaan pola makan di rumah dan pada saat di rumah sakit akan mempengaruhi daya terima pasien terhadap makanan. Bila pola makan pasien tidak sesuai dengan makanan yang disajikan rumah sakit akan mempengaruhi habis tidaknya makanan yang disajikan. 3. Aktivitas fisik Aktifitas fisik berpengaruh terhadap kebutuhan gizi bagi pasien. Aktifitas fisik pada orang normal berbeda tiap individu ada yang pekerjaan ringan, sedang ataupun berat. Tidak hanya pada orang normal, pada orang sakit, aktivitas fisik juga memiliki peranan dalam menetapkan kebutuhan energi. Dalam perhitungan kebutuhan zat gizi, nilai faktor aktivitas pada orang sakit dibedakan menjadi dua yaitu istirahat di tempat tidur dan tidak terikat di tempat tidur (Almatsier, 2010). Pada pasien terjadi penurunan aktivitas fisik selama dirawat. 4. Umur Menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan, semakin tua umur manusia maka kebutuhan energi dan zat gizi semakin sedikit. Bagi orang yang dalam periode pertumbuhan yang cepat yaitu, pada masa bayi dan masa remaja memiliki peningkatan kebutuhan zat gizi. Pada usia dewasa zat gizi diperlukan untuk melakukan pekerjaan, penggantian jaringan tubuh yang rusak,
18
meliputi perombakan dan pembentukan sel. Pada usia tua (lanjut usia) kebutuhan energi dan zat gizi hanya digunakan untuk pemeliharan. Pada usia 65 tahun kebutuhan energi berkurang mencapai 30% dari usia remaja dan dewasa (Kemenkes RI, 2014). Nida (2011), dalam penelitiannya menyimpulkan ada hubungan antara umur dengan sisa makanan pasien untuk semua jenis makanan, dimana pasien dengan umur >35 tahun lebih banyak sisa makanannya dibandingkan pasien dengan umur <35 tahun. Hal ini kemungkinan karena pasien dengan umur >35 tahun aktivitas fisiologisnya menurun. Dengan menurunnya aktivitas maka kebutuhan kalori dan protein juga lebih sedikit 5. Jenis kelamin Jenis kelamin kemungkinan dapat menjadi faktor penyebab terjadinya sisa makanan. Hal ini disebabkan perbedaan kebutuhan energi antara perempuan dan laki-laki yaitu kalori basal perempuan lebih rendah sekitar 5-10% dari kebutuhan kalori basal laki-laki. Perbedaan ini terlihat pada susunan tubuh dan aktivitas lakilaki lebih banyak menggunakan kerja otot daripada perempuan. Menurut hasil penelitian Djamaluddin (2005), pasien perempuan
mengkonsumsi nasi lebih
sedikit daripada pasien laki-laki. Sisa nasi lebih sedikit pada laki-laki diduga karena AKG pada laki-laki lebih besar daripada perempuan, sehingga laki-laki memang mampu menghabiskan makanannya dibanding perempuan 6. Lama perawatan Faktor lain yang mempengaruhi sisa makanan adalah lama perawatan. Terdapat perbedaan sisa makanan menurut lama perawatan (Djamaludin, 2005).
19
Hal ini karena pasien dengan masa perawatan yang lama cenderung hafal menu makanan, jenis masakan, rasa dan sebagainya sehingga jika dalam pengolahan kurang bervariasi akan menimbulkan rasa bosan, akibatnya nafsu makan berkurang dan makanan yang disajikan tidak dihabiskan (Moehyi, 1995). 7. Kelas perawatan Terdapat perbedaan sisa makanan menurut kelas perawatan dimana pasien kelas 2 menyisakan banyak lauk nabati dan sayur dari pasien kelas 1 dan 3 (Djamaludin, 2005). Kelas perawatan menunjukkan status sosial ekonomi pasien. Hal ini berhubungan dengan kebiasaan, kesukaan, pola makan, atau kepercayaan pasien (Dewi et al., 2013). 8. Faktor pengobatan dan jenis penyakit Sisa makanan juga disebabkan oleh faktor lain yang berkaitan dengan jenis penyakit pasien seperti penggunaan obat-obatan. Interaksi antara obat dan makanan dapat menurunkan nafsu makan, mengganggu pengecapan dan mengganggu saluran pencernaan. Menurut Moore (1997) dalam Suharyati (2006), obat-obatan dapat mempengaruhi makanan yang masuk atau diabsorpsi, metabolisme dan sekresi dari zat gizi. Beberapa efek khusus obat-obatan dapat menurunkan nafsu makan. Berdasarkan hasil penelitian Djamaludin (2005), terlihat bahwa ada perbedaan sisa makanan pada beberapa jenis penyakit seperti penyakit kanker, ginjal, postpartum, saraf, dan bedah. Pada pasien dengan penyakit ginjal, postpartum, dan saraf memiliki sisa makanan sedikit. Pada penyakit kanker dan bedah terjadi sisa makanan yang banyak karena pada umumnya pasien dengan penyakit ini mempunyai tingkat stress yang tinggi yang
20
disebabkan oleh penyakitnya sendiri maupun pengobatan yang dialaminya sehingga nafsu makan menurun. 9. Cita rasa makanan Cita rasa makanan yang kurang baik mengakibatkan persepsi pasien terhadap makanan yang disajikan kurang baik pula. Persepsi pasien yang kurang baik terhadap makaan yang disajikan maka dapat menyebabkan makanan yang disajikan tidak habis dikonsumsi sehingga menimbulkan sisa. Pasien yang menilai rasa makanan tidak enak akan memberikan sisa makanan yang lebih banyak, sedangkan pasien yang menilai makanan enak akan memberikan sisa makanan yang lebih sedikit (Aula, 2011; Dian, 2012, Kumboyono, 2012). Cita rasa makanan dapat dinilai dari aspek penampilan makanan dan rasa makanan (Moehyi, 1992). Faktor yang menentukan penampilan makanan waktu disajikan adalah : a. Warna makanan memegang peran utama dalam penampilan makanan oleh karena bila warnanya tidak menarik akan mengurangi selera orang yang memakannya.. b. Bentuk makanan yang disajikan membuat makanan menjadi lebih menarik biasanya disajikan dalam bentuk–bentuk tertentu. Bentuk makanan yang menarik akan memberikan daya tarik tersendiri bagi setiap makanan yang disajikan c. Porsi makanan adalah banyaknya makanan yang disajikan dan kebutuhan setiap individu berbeda sesuai dengan kebiasaan makannya. Potongan makanan yang terlalu kecil atau besar akan merugikan penampilan
21
makanan. Pentingnya porsi makanan bukan saja berkenaan dengan waktu disajikan tetapi juga berkaitan dengan perencanaan dan perhitungan pemakaian bahan. d. Penyajian
makanan
merupakan
faktor
terakhir
dari
proses
penyelenggaraan menu makanan. Meskipun makanan diolah dengan cita rasa yang tinggi tetapi bila dalam penyajiaannya tidak dilakukan dengan baik, maka nilai makanan tersebut tidak akan berarti, karena makanan yang ditampilkan waktu disajikan akan merangsang indera penglihatan sehingga menimbulkan selera yang berkaitan dengan cita rasa (Moehyi, 1992). Penyajian makanan memberikan arti khusus bagi penampilan makanan. Penyajian dirancang untung menyediakan makanan yang berkualitas tinggi dan dapat memuaskan pasien, aman serta harga yang layak. Penggunaan dan pemilihan alat makan yang tepat dalam penyusunan makanan akan mempengaruhi penampilan makanan yang disajikan dan terbatasnya perlengkapan alat merupakan faktor penghambat bagi pasien untuk menghabiskan makanannya (Nuryati, 2008). Rasa makanan lebih banyak melibatkan penginderaan cecapan (lidah), penginderaan cecapan dapat dibagi menjadi cecapan utama yaitu asin, manis asam dan pahit (Winarno,1997). Mengkombinasikan berbagai rasa sangat diperlukan dalam mencipatakan keunikan sebuah menu. Menurut Moehyi, (1992) Rasa makanan adalah rasa yang ditimbulkan dari makanan yang disajikan dan merupukan faktor kedua yang menentukan cita rasa makanan setelah penampilan
22
makanan itu sendiri. Komponen yang berperan dalam penentuan rasa makanan yaitu : a. Aroma makanan adalah aroma yang disebarkan oleh makanan yang mempunyai daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera penciuman sehingga mampu membangkitkan selera. Aroma yang dikeluarkan oleh makanan berbeda-beda. Demikian pula cara memasak makanan yang berbeda akan memberikan aroma yang berbeda pula (Moehyi, 1992 ) b. Bumbu masakan adalah bahan yang ditambahkan dengan maksud untuk mendapatkan rasa makanan yang enak dan rasa yang tepat setiap kali pemasakan c. Suhu makanan waktu disajkan memegang peranan dalam penentuan cita rasa makanan. Namun makanan yang terlalu panas atau terlalu dingan sangat mempengaruhi sensitifitas saraf pengecap terhadap rasa makanan sehingga dapat menguranggi selera untuk memakannya. d. Tingkat kematangan sesuai dengan jenis makanan yang disajikan, tidak terlalu matang atau terlalu mentah sehingga mempengaruhi keempukan, kerenyahan dan tekstur dari makanan tersebut. 10. Variasi menu Variasi menu adalah variasi dalam menggunakan bahan makanan, bumbu, cara pengolahan, resep masakan, dan variasi makanan dalam suatu hidangan. Bervariasi adalah tidak boleh terjadi pengulangan hidangan yang sama dalam satu siklus menu atau tidak boleh terjadi metode pemasakan yang sama dalam satu kali
23
makan. Menu yang bervariasi dapat merangsang selera makan sehingga makanan yang disajikan akan dapat dihabiskan pasien (Depkes RI, 2007). 11. Jadwal makan atau waktu makan Waktu makan adalah waktu dimana orang lazim makan setiap sehari. Manusia secara alamiah akan merasa lapar setelah 3-4 jam makan, sehingga setelah waktu tersebut sudah harus mendapat makanan, baik dalam bentuk makanan ringan atau berat. Makanan di rumah sakit harus tepat waktu, tepat diet, dan tepat jumlah. Waktu pembagian makanan yang tepat dengan jam makan pasien serta jarak waktu makan yang sesuai, turut berpengaruh terhadap timbulnya sisa makanan. Hal ini berkaitan dengan ketepatan petugas dalam menyajikan makanan sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan Makanan yang terlambat datang dapat menurunkan selera makan pasien, sehingga dapat menimbulkan sisa makanan yang banyak (Puspita dan Rahayu, 2011). 12. Makanan luar rumah sakit Makanan yang dimakan oleh pasien yang berasal dari luar rumah sakit berpengaruh terhadap terjadinya sisa makanan (Aula, 2011). Pasien yang mendapatkan makanan dari luar rumah sakit menyisakan lebih banyak makanan dari pada pasien yang tidak mendapatkan makanan dari luar rumah sakit (Kumboyono, 2012). Jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh pasien dari luar rumah sakit adalah berupa buah dan snack seperti biskuit, kue, dan aneka cemilan lainnya. Rasa lapar yang tidak segera diatasi pada pasien yang sedang dalam perawatan, timbulnya rasa bosan karena mengkonsumsi makanan yang kurang
24
bervariasi menyebabkan pasien mencari tambahan makanan dari luar rumah sakit , sehingga makanan yang disajikan kepada pasien tidak dihabiskan (Aula, 2011). 13. Sikap petugas Sikap petugas ini juga mempengaruhi faktor psikologis pada pasien. Intervensi keperawatan, intervensi gizi,
termasuk di dalamnya adalah sikap
petugas dalam menyajikan makanan, sangat diperlukan untuk meningkatkan nutrisi yang optimal bagi pasien rawat inap. Oleh karena itu, sikap petugas ruangan dalam menyajikan makanan berperan dalam terjadinya sisa makanan. Berdasarkan hasil survey menyebutkan bahwa faktor utama kepuasan pasien terletak pada pramusaji. Pramusaji diharapkan dapat berkomunikasi, baik dalam bersikap, baik dalam berekspresi, wajah, dan senyum. Hal ini penting karena akan mempengaruhi
pasien
untuk
menikmati
makanan
dan
akhirnya
dapat
menimbulkan rasa puas (Nuryati, 2008). Hal ini juga penting untuk meningkatkan asupan makan pasien agar pasien mau menghabiskan makanannya. 2.6 Biaya Makan Pasien Dalam melakukan kegiatan penyelenggaraan makanan pasien di rumah sakit, biaya
merupakan salah satu sumber daya yang sangat penting dan
menentukan. Biaya harus diperhitungkan setepat mungkin, sehingga secara ekonomi dapat dipertanggungjawabkan dan dikendalikan seefisien dan seefektif mungkin (Kemenkes RI, 2013). Biaya pelayanan gizi rumah sakit adalah biaya yang telah atau akan dikeluarkan dalam rangka melaksanakan kegiatan pelayanan gizi
rumah
sakit,
dan
salah
satunya
meliputi
biaya
untuk
kegiatan
penyelenggaraan makanan pasien. Biaya makan adalah biaya bahan-bahan yang
25
dipakai untuk menghasilkan makanan yang diperlukan. Biaya ini merupakan variabel langsung, karena mempunyai hubungan langsung terhadap pelayanan makanan yang diselenggarakan. Biaya makan per orang per hari merupakan biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan makanan. Biaya ini diperoleh berdasarkan total biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan makanan dibagi dengan jumlah output setiap jenis pelayanan. Data yang dibutuhkan untuk menghitung biaya makan per orang per hari adalah jumlah output dari penyelenggaraan makanan, yaitu porsi makan atau jumlah konsumen yang dilayani. Konsep perhitungan biaya makanan di rumah sakit terdiri dari 3 komponen utama yaitu biaya bahan baku atau bahan dasar, biaya tenaga kerja dan biaya overhead (Kemenkes RI, 2013). Biaya bahan baku atau bahan dasar adalah biaya yang pasti akan dikeluarkan secara langsung dan digunakan dalam rangka menghasilkan produk dan dalam hal ini biaya bakunya adalah bahan makanan. Biaya tenaga kerja adalah biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja yang terlibat dalam proses kegiatan, baik tenaga kerja langsung maupun tenaga kerja tidak langsung. Biaya overhead adalah biaya yang dikeluarkan untuk menunjang operasional produk yang dihasilkan. Pada penyelenggaraan makan, biaya overhead yang dimaksud antara lain biaya bahan bakar, alat masak, alat makan, alat rumah tangga, telepon, listrik dan biaya pemeliharaan. Analisis
biaya
makan
adalah
suatu
proses
pengumpulan
dan
pengelompokan data keuangan unit penyelenggaraan makanan untuk memperoleh dan menghitung biaya produk makanan selama periode tertentu, baik biaya total
26
(total cost) maupun biaya satuan/unit cost. Analisis biaya makan memberikan informasi tentang biaya, proses sekaligus produk makanan yang dihasilkan. Informasi ini berguna dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian keuangan penyelenggaraan makanan dan penetapan tarif makan atau rawat inap. Hasil analisis dapat pula digunakan untuk memperbaiki tindakan manajemen di masa yang akan datang sehingga diharapkan dapat mengurangi atau mengoptimalkan biaya dengan perbaikan tindakan tersebut (Akmal, 2005). Perhitungan biaya makanan pasien di RSUP Sanglah Denpasar sesuai dengan Pedoman Pengorganisasian Unit Kerja Instalasi Gizi tahun 2014, hanya berdasarkan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pembelian bahan makanan tanpa memperhitungkan biaya tenaga kerja dan biaya overhead lainnya. Hal ini karena untuk biaya makan pasien belum menggunakan unit cost tetapi masuk ke dalam biaya akomodasi rawat inap di rumah sakit.