BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Kajian Pustaka Penelitian tetang Evaluasi Pengembangan Potensi Wisata Ancient Track
One dengan Model CIPP di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan, Kabupaten Gianyar
sudah
pernah
diadakan
sebelumnya,
yang
berjudul
Evaluasi
Pengembangan Desa Budaya Kertalangu Denpasar Sebagai Daya Tarik Wisata oleh Panca (2016). Hasil penelitian bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternative di Kota Denpasar. Secara khusus, penelitian ini disusun untuk menjawab beberapa permasalahan pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar dilihat dari aspek konteks, input, proses dan produk; kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu; dan dampak ekonomi, sosial budaya dan lingkungan pada masyarakat dari pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar. Terkait dengan penelitian ini menggunakan tiga teori yang dipakai dalam pengkajiannya yakni teori evaluasi, teori pembangunan pariwisata berkelanjutan, dan teori pengembangan destinasi pariwisata dengan model analisis CIPP (Context, Input, Process, Product) dengan pendekatan kualitatif yang didukung juga oleh pendekatan kuantitatif. Data kuantitatif yang didapat dari penyebaran kuesioner, diukur dengan menggunakan skala Guttman. Perhitungan hasil kuesioner dilakukan dengan persentase menggunakan tipe jawaban “Ya” dan
8
9
“Tidak”. Total jawaban “Ya” dibagi jumlah responden dikalikan 100%. Jumlah jawaban memberikan
Gambaran tanggapan responden terhadap
kondisi
masyarakat Desa Kesiman Kertalangu sebagai akibat pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu. Penelitian dilakukan di Desa Kesiman Kertalangu pada bulan April sampai dengan bulan Juni 2015. Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepala keluarga (KK) di Desa Kesiman Kertalangu yang berjumlah 2.767 KK (Profil Desa Kesiman Kertalangu tahun 2014). Jumlah total responden adalah 97 orang yang ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin. Penentuan responden berdasarkan teknik disproportional stratified random sampling dan penentuan informan dilakukan dengan teknik purposive sampling. Pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar ditinjau dari aspek konteks, input, proses dan produk dianalisis menggunakan analisis model evaluasi CIPP. Teknik analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk membahas kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu melalui focus group discussion. Analisis ini juga digunakan untuk membahas dampak ekonomi, sosial budaya dan lingkungan pada masyarakat sebagai akibat pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu yang diperoleh dari hasil persebaran kuesioner. Hasil dari penelitian ini Pertama, pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar ditinjau dari aspek konteks menunjukkan bahwa pengembangan Desa Budaya Kertalangu
10
bertujuan untuk melestarikan lingkungan dengan memasukkan konsep ekonomi melalui kegiatan wisata. Ditinjau dari aspek input tampak bahwa ketersediaan personil masih minim terutama ketersediaan tenaga tari dan tabuh. Ditinjau dari aspek proses, tampak bahwa masih banyak program-program yang belum terlaksana, salah satunya yaitu wisata air dan bahkan terhenti seperti program spa relaksasi. Hanya 16 program yang terlaksana dari 45 item program. Ditinjau dari aspek produk diketahui bahwa tingkat partisipasi masyarakat masih rendah dan pengelolaan potensi wisata masih perlu dikembangkan, meskipun tingkat kunjungan wisatawan dapat dikatakan cukup banyak. Secara keseluruhan, Desa Budaya Kertalangu sudah layak disebut sebagai daya tarik wisata karena kawasan tersebut mempunyai apa yang disebut something to see, something to do dan something to buy. Hanya saja masih ada fasilitas yang keberadaannya kurang mendapat perhatian, salah satunya toilet. Berdasarkan kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar belum berjalan dengan optimal. Kedua, kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar yaitu manajemen pengelolaan yang belum optimal terutama dalam hal promosi dan pengelolaan kebersihan kawasan; terbatasnya anggaran yang dialokasikan untuk pengembangan potensi wisata; dan koordinasi antar pihak pengelola dan antara pihak pengelola dengan pihak Desa Kesiman Kertalangu belum berjalan dengan baik.
11
Ketiga, dampak pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Dari 12 indikator, 8 indikator menyatakan berpengaruh positif terhadap kehidupan masyarakat Desa Kesiman Kertalangu dan 4 indikator lainnya masih belum optimal. Atas kondisi ini, pengembangan Desa Budaya Kertalangu sudah menerapkan prinsip-prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan namun perlu dioptimalkan lagi. Penelitian ini memiliki kesamaan dalam model analisis dan pendekatan yang digunakan, namun terkait lokasi penelitian memiliki perbedaan yakni penelitian sebelumnya berlokasi di Desa Budaya Kertalangu, Kota Denpasar sedangkan penelitian yang dilakukan ini terkait pengembangan potensi ancient track one berada di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan Kabupaten Gianyar Penelitian terhadap Desa Wisata Bedulu pernah dilakukan oleh Mananda (2012) ini memfokuskan pada Analisis Kelayakan Desa Bedulu sebagai Desa Wisata di Kabupaten Gianyar (Kajian Aspek Pasar dan Pemasaran). Mananda (2012) menyatakan bahwa Desa Bedulu layak sebagai desa wisata di Kabupaten Gianyar. Hal ini karena pengembangan Desa Bedulu layak dikembangkan karena memiliki potensi pasar dengan jumlah kunjungan wisatawan untuk tahun 2012 sebesar 544 orang per tahun, tahun 2013 (589 orang), tahun 2014 (650 orang), tahun 2015 (736 orang) dan tahun 2016 (859 orang) terutama dengan adanya kerjasama dengan Golden Kriss Tour and Travel dan Talisman Tour & Travel yang turut memberikan kontribusi untuk mengirim wisatawan menginap dan menikmati tour yang ditawarkan oleh Desa Wisata Bedulu.
12
Dari hasil penelitian, bahwa analisis pesaing yang digunakan dalam parameter penelitian ini t diketahui bahwa harga dan manajemen dari Desa Wisata Bedulu lebih murah dibanding ketiga pesaing yakni Desa Wisata Mas, Desa Bona dan Desa Kendran. Strategi-strategi yang diperoleh antara lain: Strategi penetapan lokasi atau outlet dilakukan untuk mengenalkan produk Desa Wisata Bedulu kepada calon wisatawan, Strategi harga yang digunakan oleh Desa Wisata Bedulu adalah metode cost plus pricing dengan menetapkan margin yang diinginkan oleh Desa Wisata dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan pesaing, Product growth strategies dimana Desa Wisata Bedulu memiliki beberapa produk jasa yang berkualitas lebih baik atau berbeda dengan produk lain, dengan tujuan agar memiliki kesempatan untuk meningkatkan pangsa pasar dengan menarik pelanggan yang berbeda, melakukan offensive strategy merupakan strategi yang lebih menitik beratkan pada usaha perubahan untuk mencapai tingkat yang lebih baik, melakukan training dibidangnya masing-masing di mana Desa Wisata Bedulu selalu melakukan pelatihan terhadap karyawan untuk memberikan standar pelayanan yang berkualitas dengan cepat dengan harga yang murah dan merancang proses kerja yang efisien dan efektif yang mengacu pada SOP (standard operating procedures). Persamaan dalam penelitian ini dengan penelitian Mananda (2012) terletak pada objek yang diteliti yaitu lokasi penelitian serta potensi yang dimiliki oleh Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan dalam menunjang kegiatan pariwisata di Kabupaten Gianyar. Penelitian Mananda (2012) fokus penelitiannya terletak pada analisis kelayakan Desa Bedulu sebagai Desa Wisata, sedangkan penelitian ini
13
berfokus pada evaluasi pengembangan potensi wisata Ancient Track One Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan sebagai salah satu wisata alternatif di Kabupaten Gianyar. Penelitian yang terkait dengan pengembangan tracking juga dilakukan oleh Robert dan Eryurt (2013) dalam jurnal internasional Annual Digital Journal On Research in Convervation And Cultural Heritage yang berjudul “Culture Routes in Turkey”. Dalam penelitiannya Robert dan Eryurt (2013) pengembangan pariwisata di Negara Turkey memberikan kesempatan dalam pengembangan wisata di Pegunungan KaÇkar atau Pontic Range dan situs arkeologi di GÖbekli Tape. Kunjungan wisatawan ke negara Turki pada tahun 2012 menempati urutan ke 6 dalam jumlah kunjungan wisatawan internasional dari seluruh dunia dengan jumlah total sebanyak 35,7 juta. Dalam penelitian ini bahwa kebudayaan masyarakat menjadi salah satu keunikan yang terdapat dalam kegiatan tracking di wilayah Pegunungan KaÇkar atau Pontic Range dan situs arkeologi di GÖbekli Tape. Perkembangan tracking yang cukup besar dari tahun 1999 hingga 2013 maka pihak pemerintah Negara Turkey meluncurkan sebuah aplikasi dalam perangkat iphone sebagai salah satu panduan untuk melakukan aktivitas tracking. Aplikasi tersebut juga membantu wisatawan dalam halnya menggunakan sistem GPS, peta topografi, data, foto dan deskripsi fasilitas serta atraksi yang terdapat sepanjang perjalanan tracking. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Robert dan Eryurt (2013) adalah sama-sama meneliti potensi dalam pengembangan tracking
14
dalam menunjang aktivitas wisata namun perbedaan dalam penelitian ini terkait dengan lokasi peneltian serta mengevaluasi kegiatan wisata tracking Ancient Track One Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan sebagai salah satu wisata alternatif di Kabupaten Gianyar. Bastemur (2011) dengan judul penelitian “A New Destination For Alternative Tourism; Lycian Way” dalam jurnal Internasional Proceedings of the International Conference on Tourism (Icot 2011) Tourism in an Era of Uncertainty. Lycia adalah sebuah peradaban yang terletak antara kota Fethiye dan Kota Antalya Bays atau yang lebih dikenal sebagai Teke Peninsula di Negara Turki. Pada tahun 1999, daerah ini dibuka untuk umum sebagai rute wisata tracking untuk wisata alternatif. Lycian adalah rute tracking yang biasanya dilakukan sebagai kegiatan wisata minat khusus. Dibutuhkan sekitar satu bulan untuk perjalanan rute tracking ini. Musim terbaik untuk melakukan kegiatan tracking adalah pada saat musimsemi dan musim gugur. Terutama April-Mei atau September Oktober merupakan bulan yang baik untuk melakukan kegiatan wisata tracking tersebut. Kegiatan selama perjalanan tracking tersebut antara lain melihat keindahan burung langka, bersepeda, berenang, wisata paralayang, arung jeram atau menunggang kuda. Sepanjang jalan, beberapa akomodasi dapat ditemui seperti, hotel, homestay, hostel dan wisma. Penelitian
ini
menggunakan
studi
kasus
sebagai
informasi
yang
dikumpulkan dari survei literatur, dan menggunakan analisis statisti, sehingga diperlukan waktu selama 35 hari untuk mewawancarai dengan masyarakat lokal
15
dan wisatawan yang berkunjung ke rute Lycian. Hasil penelitian dengan rumusan masalah Apa jenis kegiatan yang akan Anda lakukan saat Anda tracking di rute Lycian?. Sebanyak 58% dari respoden datang ke wilayah tersebut hanya tracking, 25% adalah untuk berenang tempat yang berbeda, 20% adalah untuk scuba-diving dan pariwisata kecelakaan, 31% adalah untuk survei flora dan fauna, 28% adalah untuk melihat burung langka, 25% adalah untuk wisata budaya, berjalan di kota tua, 22% adalah untuk olahraga panjat tebing, 23% dari responden adalah untuk kegiatan lain seperti, parasailing, bersepeda dan wisata camping. Selain itu 67% responden dari yang disurvei merasa sangat puas, 21% dari responden yang puas dan 4% dari tidak puas. Ketika alasan ketidakpuasan diminta untuk 4% dari wisatawan, jawaban mereka umumnya tentang keberadaan akomodasi. Pengembangan wisata tracking di Lycian sudah mengalami peningkatan yang cukup baik, diharapkan perlunya perbaikan sarana fasilitas akomodasi, meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan dengan melakukan promosi, harus adanya studi lanjutan terkait pengembangan wisata tracking di Lycian. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah terletak dengan jenis kegiatan wisatanya namun dalam Pengembangan Potensi Wisata Ancient Track One di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan hanya membutuhkan waktu yang singkat dan berbeda dengan rute wisata tracking di Lycian, Turkey Suryasih (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Upaya Merancang Tinggalan Prabu Udayana di Desa Pekraman Kutri Sebagai Desa Wisata memfokuskan peneltiannya terkait dengan pengembangan potensi salah satu
16
tinggalan Prabu Udayana yaitu Pura Bukit Dharma Durga Kutri di Desa Pekraman Kutri dan upaya pelestarian serta pemanfaatannya sebagai desa wisata. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Suryasih (2014) menyatakan Desa Pekraman Kutri layak dikembangkan sebagai salah satu desa wisata di Kabupaten Gianyar. Hasil dari penelitian ini adalah Potensi fisik yang dimiliki Desa Pekraman Kutri adalah pertama,di sebelah timur mengalir Tukad Pakerisan dan di sebelah barat mengalir Tukad Petanu, seperti diketahui kedua sungai tersebut dari hulu hingga hilir banyak terdapat tinggalan-tinggalan arkeologis dan diprediksi sebagai pusat peradaban Bali di masa lampau, kedua letak Desa Pekraman Kutri dan Pura Bukit DarmaDurga Kutri yang sangat strategis di pinggir jalan protokol, dekat dengan Kota Gianyar dan merupakan pariwisata, ketiga keindahan panorama Pura Bukit Darma Durga Kutri jika seorang wisatawan begitu memasuki area Pura maka akan merasakan suatu pemandangan yang tidak mereka duga sebelumnya. Letak pura dipinggir jalan raya, akan tetapi keindahan dan keagungan pura seperti berada di suatu area yang jauh dari keramaian, keempat, Pura
Bukit
Dharma
Durga
Kutri
memiliki
puluhan
arca
tinggalan
arkeologis,aneka macam pepohonan dan beberapa satwa seperti burung dan biawak, kelima Desa Pekraman Kutri sebagai bagian dari desa Buruwan dan Kecamatan Blahbatuh sebagai satu kesatuan, memiliki keunggulan karena di desa Buruan dan Kecamatan Blahbatuh banyak terdapat sentra kerajinan, Puri Blahbatuh dan daya tarik wisata lainnya. Potensi non fisik adalah pertama tradisi, adat-istiadat yang terikat sebagai satu kesatuan sebagai desa pekraman, kedua nilai kolektivitas yang tinggi antara
17
warga Desa Pekraman Kutri, ketiga sumberdaya budaya dan sumber daya sosial dimiliki sebagai aset pariwisata, keempat keinginan kuat warga desa pakraman Kutri untuk mendukung desa wisata dan kelima pemerintah Kabupaten Gianyar memiliki fokus terhadap pengembangan pariwisata. Upaya merancangan desa pekraman Kutri sebagai desa wisata dengan ikon tinggalan Prabu Udayana dan permaisurinya yaitu Pura Bukit Dharma Durga Kutri di Desa Buruan Kecamatan. Blahbatuh, Kabupaten Gianyar dapat terlaksana jika potensi wisata baik fisik maupun non fisik diidentifikasi dan nantinya dikemas sebagai heritage tourism. Pariwisata berbasis masyarakat merupakan kunci pendekatan yang digunakan untuk dapat mendorong dalam pengembangan secara berkelanjutan. Desa wisata mungkin bukan satu-satunya pilihan, namun melalui desa wisata akan sangat memberikan manfaat secara langsung bagi pelestarian Pura Bukit Dharma Durga Kutri dan manfaat ekonomi bagi warga masyarakatnya. Persamaan dalam penelitian ini dengan penelitian Suryasih (2014) terletak pada objek yang diteliti yaitu lokasi penelitian serta potensi yang dimiliki oleh Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan dalam menunjang kegiatan pariwisata di Kabupaten Gianyar. Penelitian Suryasih (2014) fokus penelitiannya terletak pada upaya merancang Peninggalan Prabu Udayana di Desa Pakraman Kutri Sebagai Desa Wisata, sedangkan penelitian ini berfokus pada evaluasi pengembangan potensi wisata Ancient Track One Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan sebagai salah satu wisata alternatif di Kabupaten Gianyar. Beberapa hasil penelitian lain yang juga dianggap relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Putra (2005), Choirinnisa (2010), dan
18
Gautama (2011). Penelitian yang dilakukan oleh Putra (2005) bertujuan untuk mengevaluasi perkembangan kawasan pariwisata Lovina di Kabupaten Buleleng untuk menuju pariwisata bekelanjutan. Penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara dan data hasil penelitian dianalisis dengan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fisik, ekonomi, sosial dan budaya mengalami kemunduran sehingga berdampak pada menurunnya perekonomian masyarakat. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Putra (2005) yaitu sama-sama melakukan evaluasi terhadap perkembangan suatu destinasi.Perbedaan penelitian ini terletak pada objek yang diteliti.Penelitian Narendra dilakukan di Kawasan Pantai Lovina di Buleleng, sedangkan penelitian ini dilakukan di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan, Kabupaten Gianyar. Evaluasi terhadap pengembangan destinasi juga dilakukan oleh Choirinnisa (2010). Dalam penelitiannya, Choirinnisa, menerapkan evaluasi ex-ante (preprogramme) terhadap aspek fisik dan kelembagaan program pengembangan destinasi Percandian Muaro Jambi. Evaluasi tersebut dilakukan sebelum implementasi sebuah program. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi pendahuluan terhadap aspek fisik dan kelembagaan program pengembangan destinasi Percandian Muaro Jambi. Ada dua kriteria yang digunakan untuk menilai kelayakan program pengembangan destinasi Percandian Muaro Jambi yaitu pertama, kualitas Percandian Muaro Jambi sebagai destinasi wisata dan kedua, aspek kelembagaan dari organisasi-organisasi yang menangani program pengembangan destinasi
19
Percandian Muaro Jambi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian dengan pendekatan kuantitatif untuk memberikan deskripsi dan analisis terhadap kelayakan aspek fisik dan kelembagaan Program Pengembangan Destinasi Pariwisata dengan menggunakan evaluasi pendahuluan. Data yang terkumpul
kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis
successive
approximation yang membandingkan antara data temuan dan teori untuk menjelaskan kesenjangan yang terjadi pada suatu realitas sosial. Penelitian yang dilakukan Choirinnisa (2010), menunjukkan bahwa pengembangan percandian Muaro Jambi perlu disertai dengan peningkatan kualitas amenitas dan kemudahan akses karena keduanya masih dianggap menjadi masalah bagi wisatawan yang ingin mengunjungi Percandian Muaro Jambi. Secara kelembagaan, kecakapan organisasi-organisasi yang mengelola program pengembangan destinasi Percandian Muaro Jambi sudah cukup layak, namun terdapat permasalahan dari sisi kuantitas dan kualitas SDM dan belum berkembangnya usaha penunjang pariwisata berskala kecil, menengah dan besar. Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian Choirinnisa (2010) adalah melakukan
evaluasi
terhadap
program
pengembangan
suatu
destinasi.
Perbedaannya terletak pada fokus penelitian dan teknik analisis datanya. Penelitian Choirinnisa (2010) lebih fokus pada aspek fisik dan kelembagaannya sebelum program dilaksanakan yang dianalisis dengan teknik successive approximation dan penelitian ini lebih fokus pada aspek pengembangan potensi wisata yang dianalisis dengan teknik deskriptif kualitatif dengan konversi data melalui skala guttman.
20
Oka (2011), juga melakukan evaluasi perkembangan destinasi evaluasi dilakukan terhadap perkembangan wisata bahari di Pantai Sanur. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa terjadi perubahan motivasi wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata bahari, terjadi pencemaran lingkungan, serta terjadinya permasalahan sosial. Evaluasi dilakukan dengan cara meneliti faktor-faktor yang menarik wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata bahari di Pantai Sanur, meneliti karakteristik Pantai Sanur dalam menunjang kegiatan wisata bahari dan menganalisis langkah-langkah yang dilakukan untuk menciptakan wisata bahari berkelanjutan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan analisis deskriptif kualitatif dengan peneliti sebagai alat penelitiannya. Artinya penelitian ini mengunakan instrumen kunci dalam pengumpulan data yang dilakukan dengan metode observasi, menyebarkan lembar pertanyaan terstruktur serta wawancara mendalam (in-depth interview). 2.2
Konsep Ada lima konsep yang akan dijelaskan pada subbab ini yaitu, Potensi dan
daya tarik wisata, Desa Wisata, Wisata Alternatif, dan Wisata Purbakala (Heritage Tourism) dan Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism) yang uraian dari masing-masing konsep tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 2.2.1 Konsep Potensi Wisata dan Daya Tarik Wisata Potensi wisata adalah berbagai sumber daya yang terdapat di sebuah daerah tertentu yang bisa dikembangkan menjadi atraksi wisata. Potensi wisata adalah berbagai sumber daya yang dimiliki oleh suatu tempat dan dapat
21
dikembangkan menjadi suatu atraksi wisata (tourist attraction) yang dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dengan tetap memperhatikan aspek-aspek lainnya Pendit (1999: 21). Undang Undang Republik Indonesia No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan: Pasal 1 Ayat 5 menyatakan bahwa Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Sementara dalam Bab I, pasal 10, disebutkan kawasan strategis pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pada Pasal 1 ayat (5) menyebutkan bahwa Daya Tarik Wisata (DTW) adalah “segala sesuatu
yang
memiliki
keunikan,
keindahan,
dan
nilai
yang
berupa
keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.” Daya tarik merupakan fokus utama dari industri pariwisata (Ismayanti, 2010). Daya tarik wisata harus dikelola sedemikian rupa agar keberlangsungan dan kesinambungannya terjamin. Daya tarik wisata dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu: pertama, daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam, serta flora dan fauna; dan kedua, daya tarik
22
wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, seni budaya dan tempat hiburan. Menurut Sunaryo (2013:35), terkait dengan daya tarik wisata dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya dan daya tarik wisata minat khusus. Daya tarik wisata alam adalah sumber daya alam yang berpotensi serta memiliki daya tarik bagi pengunjung baik dalam keadaan alami maupun setelah ada usaha budi daya. Pada umumnya daya tarik ini lebih banyak berbasis pada keindahan dan keunikan yang tersedia di alam. Potensi daya tarik wisata alam dapat dibagi menjadi empat kawasan yaitu flora dan fauna, keunikan dan kekhasan ekosistem, gejala alam dan budidaya sumber daya alam. Daya tarik wisata budaya adalah daya tarik wisata yang berbasis pada hasil karya dan hasil cipta manusia seperti museum, peninggalan sejarah, upacara adat,seni pertunjukan dan kerajinan. Daya tarik wisata khusus adalah daya tarik wisata yang dikembangkan dengan lebih banyak berbasis pada akativitas pemenuhan keinginan wisatawan secara spesifik. Wisata ini lebih diutamakan pada wisatawan yang mempunyai minat atau motivasi khusus seperti berburu, mendaki gunung, arung jeram, agrowisata, pengamatan satwa tertentu dan aktivitas-aktivitas wisata minat khusus lainnya yang biasanya terkait dengan hobi atau kegemaran wisatawan. Suwantoro (2004:36), menyatakan bahwa daya tarik suatu objek wisata didasarkan atas beberapa hal di antaranya adanya sumber daya yang dapat menimbulkan rasa senang, indah, nyaman dan bersih, adanya aksesibilitas yang tinggi untuk dapat mengunjunginya, adanya ciri khusus atau spesifikasi yang
23
bersifat langka, adanya sarana dan prasarana penunjang untuk melayani para wisatawan yang hadir serta objek wisata yang mempunyai daya tarik yang tinggi baik alam maupun budaya. Daya tarik wisata merupakan salah satu unsur yang berpengaruh dalam pengembangan destinasi pariwisata. Jackson (dalam Pitana dan Gayatri, 2005:101), menyatakan perkembangan suatu daerah menjadi destinasi wisata dipengaruhi oleh beberapa hal penting, di antaranya: Attractive to client (menarik untuk klien), Facilities and attractions (fasilitas dan atraksi), Geographic location (lokasi geografis), Transport link (transportasi), Political stability (stabilitas politik), Healthy environment (lingkungan yang sehat), No government restriction (tidak ada larangan atau batasan pemerintah). Dari ketujuh unsur tersebut, atraksi atau daya tarik merupakan faktor yang utama yang didukung oleh faktor-faktor lain. Atraksi dalam hal ini daya tarik merupakan komponen yang sangat vital. Seperti yang diungkapkan oleh Gunn (dalam Pitana dan Gayatri, 2005:102); the attractions represent the most important reasons for travel to destinations Atraksi atau daya tarik memegang peranan yang sangat penting, oleh karena itu suatu tempat wisata (destinasi) harus memiliki keunikan yang bisa menarik wisatawan. Fasilitas-fasilitas pendukung lainnya juga harus dipenuhi sehingga wisatawan menjadi betah dan rela menghabiskan waktu di tempat tersebut. Pembangunan daya tarik wisata dapat dilakukan oleh pemerintah, badan usaha maupun perseorangan maka dapat dikatakan bahwa daya tarik dan daya tarik wisata adalah Segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang
24
merupakan daya tarik agar orang mau berkunjung (Yoeti, 1997 : 161-3). Adapun hal-hal tersebut antara lain: (1) Benda-benda yang tersedia di alam (natural amenities) berupa iklim, berbentuk pemandangan alam, flora, fauna, hutan belukar, sumber air mineral, pusat-pusat kesehatan seperti air panas. (2) Hasil ciptaan manusia (man made supply) berupa peninggalan sejarah, kebudayaan dan keagamaan. (3) Tata cara hidup masyarakat (the way of life) berupa adat istiadat, dan kebiasaan hidup masyarakat (Yoeti, 2008:242). Ada lima syarat yang harus dipenuhi oleh suatu daerah atau daya tarik tujuan wisata menurut Yoeti, (2008:242). yaitu: (1) Something to see Daerah atau tempat tersebut harus ada daya tarik dan daya tarik wisata yang berbeda dengan yang dimiliki oleh daerah lain atau daya tarik khusus untuk dapat dilihat atau dinikmati oleh wisatawan. (2) Something to do Selain banyak dapat dilihat dan disaksikan, harus pula disediakan fasilitas rekreasi atau sesuatu yang dapat dilakukan di tempat tersebut. (3) Something to buy Tempat tersebut harus tersedia fasilitas untuk berbelanja (shopping) terutama barang-barang souvenir dan kerajinan rakyat, selain itu juga tersedia pula saranasarana pendukung atau pembantu lainnya.
25
(4) Something to Share Sebuah kegiatan atraksi wisata yang dilakukan oleh wisatawan berdampak kepada informasi serta pengalaman yang mereka dapatkan sehingga hal tersebut dapat diinformasikan yang tentu berguna bagi wisatawan lainnya (5) Something to Learn Sebagai media pembelajaran baru sehingga memberikan informasi atau pengalaman yang lebih kepada wisatawan terhadap suatu objek atau daya tarik wisata yang dikunjungi Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik orang untuk berkunjung sehingga yang di dapatkan ketika berkunjung ialah keindahan dan kelestarian alamnya maupun keindahan budaya sejarah di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan, Kabupaten Gianyar. 2.2.2 Konsep Pariwisata Alternatif Pariwisata alternatif merupakan pariwisata yang kegiatannya peduli terhadap alam, sosial-budaya dan masyarakat serta adanya interaksi dan berbagi pengalaman anatar wisatawan dengan masyarakat lokal (Smith & Eadington, 1992:167). Kegiatan pariwisata ini muncul akibat dampak pariwisata masal terhadap kerusakan lingkungan alam, sosial-budaya dan tidak memperhatikan keberlanjutan dari destinasi itu sendiri. Dalam kegiatannya pariwisata alternatif memiliki tujuan dalam pengembangan diantaranya (Suansri dalam Damanik, 2006:82):
26
a. Menciptakan kesadaran wisatawan dengan masyarakat lokal tentang konservasi sumber daya alam, rencana pemanfaatan sumber daya wisata secara berkelanjutan dan membangun kriteria pencegahan dampak negatif lingkungan. b. Menciptakan rasa bangga masyarakat lokal terhadap budayanya. c. Mendistribusikan keuntungan wisata secara adil dan merata sehingga pendapatan masyarakat mengalami peningkatan d. Menjamin
partisipasi
masyarakat
lokal
dalam
pariwisata,
mengembangakan kemampuan mereka untuk mengelola usaha wisata dan menjadi pemandu wisata. Beberapa pengertian diatas, secara umum memiliki kesamaan yang merupakan terjemahan lebih lanjut dari pariwisata alternatif. Oleh karena itu, kegiatan pariwisata alternatif mampu memenuhi syarat tersebut apabila: 1. Secara ekologis alternatif, yaitu pengembangan dan pembangunan pariwisata di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan tidak menimbulkan efek negatif bagi ekosistem setempat. Selain itu, konservasi sumber daya pariwisata yang ada harus diupayakan untuk dilindungi sumberdaya alam, sosial-budaya dan lingkungan dari efek mass tourism. 2. Secara sosial dapat diterima, dengan mengacu kepada kemampuan masyarakat lokal dalam mengembangkan Ancient Track One di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan untuk menyerap aktivitas pariwisata tanpa menimbulkan konflik sosial.
27
3. Secara kultural pengembangan Ancient Track One di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan. Konsep yang dikembangkan dengan adanya Ancient Track One di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan dapat diterima oleh masyarakat lokal serta mampu beradaptasi dengan budaya wisatawan yang cukup berbeda (tourist culture). 4. Secara ekonomis menguntungkan, artinya pengembangan Ancient Track One di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan yang diperoleh dari kegiatan atraksi wisata tersebutr mampu mensejahterakan masyarakat lokal. 2.2.3 Konsep Desa Wisata Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti,1993:89). Penetapan suatu desa sebagai desa wisata harus memiliki persyaratan-persyaratan antara lain memiliki objek-objek yang menarik untuk ditawarkan
(attractions),
mudah
dijangkau
dengan
alat
transportasi
(accessibilities), dan tersedia sarana pariwisata (amenities) seperti akomodasi, restoran atau rumah makan sehingga perlu adanya dukungan dari masyarakat dan aparat desa, serta keamanan desa tersebut terjamin. Desa Wisata adalah dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam atau dekat dengan suasana tradisional, biasanya di desa-desa yang terpencil dan belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat (Inskeep, 1991:75). Maksud dari pengertian di atas adalah Desa Wisata merupakan suatu tempat yang
28
memiliki ciri dan nilai tertentuyang dapat menjadi daya tarik khusus bagi wisatawan dengan minat khusus terhadap kehidupan pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa daya tarik utama dari sebuah Desa Wisata adalah kehidupan warga desa yang unik dan tidakdapat ditemukan di perkotaan. “Village Tourism, where small groups of tourist stay in or near traditional, often remote villages and learn about village life and the local environment.”(Inskeep, 1991:75).
Pengembangan desa wisata diharapkan benar-benar mencerminkan suasana pedesaan. Oleh karena itu, konsep penggalian produk desa wisata diarahkan pada pengembangan interaksi budaya dari manusia ke manusia, dan dari manusia kealam desa. Dengan demikian, beragam atraksi wisata yang dapat dikembangkan antara lain kegiatan persawahan, ladang, kegiatan kesenian desa, kegiatan olah raga, kegiatan upacara, dan kegiatan-kegiatan lain seperti meditasi, pembangunan rumah, serta kegiatan adat lainnya. Dari berbagai definisi tersebut, pengembangan desa wisata lebih memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh suatu desa. Dalam penyediaan fasilitas wisata
juga
harus
mencerminkan
lingkungan
pedesaan.
Akan
tetapi,
pengembangan suatu desa wisata bukan hanya menyajikan potensi desa sebagadaya tarik wisata. Aspek-aspek lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat lokal juga harus mendapat perhatian. Masyarakat sebagai bagian dari struktur suatu desa memiliki peran penting dalam keberlanjutan desa wisata. Dalam pengembangan desa wisata masyarakat seringkali tidak diberikan kesempatan untuk berpartisipasi, sehingga kurang memberikan apresiasi. Kehidupan tradisional dengan berbagai tradisi unik menjadi daya tarik unggulan
29
dalam pengembangan beberapa desa wisata. Sebagai daya tarik wisata memang kehidupan tradisional eksistensinya perlu dijaga dan dilestarikan. Namun disisi lain, perkembangan jaman akan dapat mempengaruhi nilai ketradisionalan. 2.2.4 Konsep Wisata Situs Purbakala (Heritage Tourism) Sebagaian besar situs dan tinggalan arkeologi yang menjadi objek dan daya tarik wisata di Bali kini berada di dalam area pura. Tinggalan arkeologi tersebut dapat dikatakan sebagai living monument sehingga pemeliharaan dan pelestariannya dilakukan secara rutin dan berkesinambungan oleh masyarakat setempat atau pengemong pura bersangkutan (Ardika, 2007:39-40). Atraksi utama dalam wisata heritage adalah konteks (setting) kesejarahan dan kearifan lokal. Heritage bisa bersifat kongkrit (tangible heritage) seperti: pemandangan alam, tempat-tempat tinggalan arkeologi, pengetahuan dan pengalaman hidup sampai sekarang. Heritage juga bersifat abstrak (intangible heritage), seperti cerita rakyat (folklores), bahasa, tradisi, nilai-nilai yang diwarisi oleh suatu kelompok masyarakat (Isdaryono, 2013:67-68) Pasal 4, ayat 2 dalam Kode Etik Pariwisata Dunia antara lain menyebutkan bahwa kegiatan dan kebijakan pariwisata wajib diarahkan dalam rangka penghormatan terhadap warisan kekayaan seni, arkeologi dan budaya, yang harus dilindungi dan diserahkan kepada genersi penerus. Dalam pasal 5, ayat 1, kode etik tersebut dinyatakan pula bahwa penduduk setempat harus diikutsertakan dalam kegiatan ekonomis, sosial dan budaya yang mereka usakan. Penelitian ini terkait dengan wisata situs purbakala dimana wisatawan baik domestik dan mancanegara dapat mengetahui peninggalan arkeologi di Desa
30
Wisata Bedulu dan Desa Buruan yang dikemas dalam kegiatan atraksi wisata tracking dari Objek Wisata Goa Gajah hingga Pura Bukit Dharma Durga Kutri dengan nama kegiatan ancient track one dengan memiliki 12 potensi wisata situs purbakala. 2.2.5 Konsep Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism) Konsep CBT (Community Based Tourism) berkaitan erat dengan sustainable tourism development (pembangunan pariwisata berkelanjutan). Keduanya
memberikan
pengutamaan
pada
manfaat
pembangunan
bagi
masyarakat, khususnya manfaat ekonomi, sosial budaya dan lingkungan (Richards dan Hall, 2000:1). Istilah CBT (Community Based Tourism) pertama kali muncul tahun 1990an, bersamaan dengan konsep pro-poor tourism (pariwisata pro-orang miskin), rural tourism (pariwisata perdesaan), dan istilah lainnya yang dimaksudkan untuk membantu pembangunan masyarakat tertinggal secara ekonomi (Moscrado, 2008:39) Prinsip dasar CBT (Community Based Tourism) adalah membuka ruang dan peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pengembangan dan pengelolaan daya tarik di daerahnya sehingga mereka ikut mendapatkan share serta menjaga sumber daya pariwisatanya. Mitchell dan Ashley, (2010:54) menyatakan bahwa tujuan utama CBT (Community Based Tourism) adalah melibatkan komunitas untuk “fully owning and operating tourism facilities” dimana pengelolaannya fasilitas dimiliki langsung oleh masyarakat setempat.
31
Melihat prinsip dasar tersebut maka dapat disimpulkan jika masyarakat setempat menikmati keuntungan (benefit) atau insentif ekonomi dari pengelolaan usaha wisata di daerahnya, mereka akan memiliki tanggung jawab moral untuk melestarikan sumber daya alam dan sumber daya budaya yang menjadi bagian utama dari daya tarik wisata tersebut. Terkait dengan definisi CBT (Community Based Tourism) maka dalam penelitian ini diharapkan pelibatan masyarakat yang berada di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan dapat berpartisipasi aktif dalam pengembangan potensi ancient track one, sehingga memperoleh tujuan serta harapan dimana segala pengelolaan dan potensi yang ada dapat rasakan langsung oleh masyarakat di desa tersebut. 2.3 Landasan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori yang dianggap relevan dan mampu memecahkan permasalahan sebagaimana dirumuskan pada Bab I yaitu Teori Evaluasi, Teori Pembangunan Pariwisata dan Teori Pengembangan Pariwisata. 2.3.1 Teori Evaluasi Evaluasi terkadang sering diartikan secara sempit dan bahkan tidak tepat. Masih banyak yang memandang evaluasi itu hanya didasarkan pada kegiatankegiatan atau program yang dianggap menonjol. Salah satu kesalahan yang terjadi, misalnya evaluasi hanya dipandang sebagai sekedar penilaian semata. Evaluasi adalah proses mengumpulkan informasi mengenai suatu objek, menilai suatu objek, dan membandingkannya dengan kriteria, standar dan
32
indikator (Lamsuri dkk, 2011). Konsep evaluasi menurut Lamsuri dapat dilihat pada Gambar 2.1. Objek riset evaluasi: Kebijakan Program Proyek Kinerja SDM Sistem Organisasi Manajemen Lain-lain
Kriteria: Manfaat Efektifitas Efisiensi Kesesuaian Standar: Kualitas Kuantitas
Hasil Riset Evaluasi: Informasi objek riset evaluasi dalam kaitannya dengan kriteria, standar dan indikatornya
Daya Guna Riset Evaluasi: Pengambilan Keputusan Mengenai Objek Riset Evaluasi
Indikator: Dampak Hasil, Dibandingkan Dengan
Gambar 2.1 Riset Evaluasi (Sumber: Wirawan dalam Lamsuri dkk, 2011)
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2006 tentang
Tata
Cara
Pengendalian
dan
Evaluasi
Pelaksanaan
Rencana
Pembangunan, evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan standar. Evaluasi dilakukan dengan maksud untuk dapat mengetahui dengan pasti apakah pencapaian hasil, kemajuan dan kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan rencana pembangunan dapat dinilai dan dipelajari untuk perbaikan pelaksanaan rencana pembangunan di masa yang akan datang. Di dalam pelaksanaannya, kegiatan evaluasi dapat dilakukan pada berbagai tahapan yang berbeda yaitu Evaluasi pada tahap perencanaan (ex-ante), Evaluasi pada tahap pelaksanaan (on-going) dan evaluasi pada tahan pascapelaksanaan (ex-post). Evaluasi pada Tahap Perencanaan (ex-ante), yaitu evaluasi dilakukan sebelum ditetapkannya rencana pembangunan dengan tujuan untuk
33
memilih dan menentukan skala prioritas dari berbagai alternatif dan kemungkinan cara mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Evaluasi pada Tahap Pelaksanaan (on-going), yaitu evaluasi dilakukan pada saat pelaksanaan rencana pembangunan untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan rencana dibandingkan dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Evaluasi pada Tahap Pasca-Pelaksanaan (ex-post) yaitu evaluasi yang dilaksanakan setelah pelaksanaan rencana berakhir, yang diarahkan untuk melihat apakah pencapaian (keluaran/hasil/dampak) program mampu mengatasi masalah pembangunan yang ingin dipecahkan. Ada beberapa hal yang merupakan pokok-pokok pengertian evaluasi di antaranya mencakup: pertama, evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk mengamati dan menganalisis suatu keadaan, peristiwa, gejala alam, atau sesuatu objek; kedua, membandingkan segala sesuatu yang diamati dengan pengalaman atau pengetahuan yang telah diketahui dan atau miliki; dan ketiga, melakukan penilaian atas segala sesuatu yang diamati, berdasarkan hasil perbandingan atau pengukuran yang dilakukan. Evaluasi pada Tahap Pelaksanaan (on-going), yaitu evaluasi dilakukan pada saat pelaksanaan rencana pembangunan untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan rencana dibandingkan dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.Evaluasi pada Tahap Pasca-Pelaksanaan (ex-post) yaitu evaluasi yang dilaksanakan setelah pelaksanaan rencana berakhir, yang diarahkan untuk melihat apakah pencapaian (keluaran/hasil/dampak) program mampu mengatasi masalah pembangunan yang ingin dipecahkan.
34
Ada beberapa hal yang merupakan pokok-pokok pengertian evaluasi di antaranya mencakup: pertama, evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk mengamati dan menganalisis suatu keadaan, peristiwa, gejala alam, atau sesuatu objek; kedua, membandingkan segala sesuatu yang diamati dengan pengalaman atau pengetahuan yang telah diketahui dan atau miliki; dan ketiga, melakukan penilaian atas segala sesuatu yang diamati, berdasarkan hasil perbandingan atau pengukuran yang dilakukan. Dari pengertian-pengertian tentang evaluasi yang telah dikemukakan, dalam penelitian ini, evaluasi yang dimaksud yaitu sebuah proses atau kegiatan yang dilakukan untuk mengamati dan menganalisis suatu keadaan untuk diketahui sejauhmana pelaksanaan kegiatan tersebut berjalan, kendala-kendala yang dihadapi serta dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan tersebut. Evaluasi merupakan salah satu komponen penting dari sistem manajemen. Adanya evaluasi ini, maka akan diketahui bagaimana kondisi suatu objek yang dievaluasi baik dari program, pelaksanaan maupun hasilnya. Kegiatan evaluasi merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari kegiatan perencanaan program. Tujuan evaluasi harus selaras dengan tujuan yang ingin dicapai yang telah dinyatakan dalam perencanaan programnya. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, tujuan evaluasi adalah untuk melihat seberapa jauh tujuan porgram yang telah dapat dicapai, dan seberapa jauh telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan program dibanding dengan perencanaannya. Penjelasan terhadap evaluasi di suatu kegiatan, dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa jenis model evaluasi. Tayibnapis, 2008 (dalam Mardikanto
35
dan Soebiato, 2013:91), mengemukakan bahwa model evaluasi ada beberapa macam di antaranya model evaluasi CIPP (context, input, process, product), evaluasi model UCLA, model Brinkerhoff, model stake atau model countenance. Model CIPP (context, input, process, product) membagi evaluasi menjadi empat macam yaitu context evaluation to server planning decision, input evaluation structuring decision, process evaluation to serve implementing decision, dan product evaluation to serve recycling decision. Evaluasi model UCLA, diperkenalkan oleh Alkin, 1969:51 yang membagi evaluasi menjadi lima macam
yaitu
System
Assessment,
Programme
Planning,
Programme
Implementation, Programme Improvement, dan Programme Certification. Model Brinkerhoff, diperkenalkan oleh Brinkerhoff & C.s, (1983:131) dimana mengemukakan tiga golongan evaluasi yaitu fixed and emergent evaluation, formative vs sumative evaluation, dan esperimental dan Quasi experimental design vs natural/unobstrusive inquiry. Model Stake atau model Contenance, yang menekankan dua dasar evaluasi yaitu desciption dan judgement serta adanya tiga tahap program yaitu antecedents (context), transaction (process) dan outcomes (output). Penelitian ini, menggunakan model evaluasi yaitu model evaluasi CIPP (context, input, process, product). Model evaluasi ini dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam, 2003:57. Model ini banyak digunakan oleh para evaluator karena model evaluasi ini lebih komprehensif jika dibandingkan dengan model evaluasi lainnya. Model evaluasi ini dalam perkembangannya telah disempurnakan dan
36
digunakan oleh berbagai disiplin ilmu. Stufflebeam, 2003 (dalam Zhang, dkk, 2011:61) menyebutkan bahwa: CIPP (context, input, process, product) evaluation models is a comprehensive framework for conducting formative and summative evaluations of projects, personnel, products, organizations, and evaluation systems
Model evaluasi CIPP (context, input, process, product) merupakan kerangka kompreherensif untuk melakukan evaluasi formatif dan evaluasi sumatif terhadap proyek, personil, produk, organisasi maupun evaluasi sistem. Taylor (dalam Mardikanto, 2013:89) menyebutkan bahwa evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilaksanakan terhadap program atau kegiatan yang telah dirumuskan, sebelum program atau kegiatan itu sendiri dilaksanakan. Evaluasi sumatif merupakan kegiatan evaluasi yang dilakukan setelah program selesai dilaksanakan. CIPP merupakan singkatan dari context, input, process dan product. Keempat model evaluasi tersebut merupakan satu rangkaian yang utuh tetapi dalam
pelaksanaannya
seorang
evaluator
tidak
harus
menggunakan
keseluruhannya. Hal yang menjadi unik dari model tersebut adalah pada setiaptahap evaluasi terdapat perangkat pengambilan keputusan dan operasi sebuah program. Wirawan (2012), menguraikan keempat aspek model CIPP(context, input, process, product) sebagai berikut : 1) Evaluasi konteks (Context) Berisi tentang analisis kekuatan dan kelemahan obyek tertentu. Dengan kata lain evaluasi konteks (context evaluation) memberikan informasi bagi
37
pengambil keputusan dalam perencanaan suatu program yang akan dilaksanakan. 2) Evaluasi masukan (Input) Merupakan evaluasi yang bertujuan untuk menyediakan informasi bagaimana menggunakan sumber daya yang tersedia, sarana dan fasilitas yang
dimiliki
serta
alternatif-alternatif
strategi
yang
harus
dipertimbangkan untuk mencapai suatu program. 3) Evaluasi proses (Process) Evaluasi ini digunakan untuk melihat apakah pelaksanaan program sudahsesuai dengan strategi yang telah dilaksanakan. 4) Evaluasi produk (Product) Evaluasi ini merupakan evaluasi mengukur keberhasilan pencapaian tujuan. Tahap evaluasi ini bertujuan untuk mengukur, menginterpretasikan dan menilai pencapaian program.
Penelitian ini, teori evaluasi model CIPP (context, input, process, product) digunakan untuk memberikan Gambaran tentang pelaksanaan pengembangan potensi wisata ancient track one di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan sebagai salah satu wisata alternatif di Kabupaten Gianyar. Pelaksanaan tersebut sudah sejalan atau menyimpang dari kegiatan yang telah ditetapkan dan pelaksanaan pengembangan potensi wisata tracking melihat sudah terealisasi atau belum, maka dapat diketahui dengan analisis melalui teori ini.
38
2.3.2 Teori Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Pariwisata berkelanjutan adalah sebuah proses dan sistem pembangunan pariwisata yang dapat menjamin keberlangsungan atau keberadaan sumber daya alam, kehidupan sosial-budaya dan ekonomi hingga generasi yang akan datang. Pada
prinsipnya,
pariwisata
berkelanjutan
adalah
pariwisata
yang
aktivitasnya tetap memperhatikan keseimbangan alam, lingkungan, budaya dan ekonomi agar pariwisata tersebut terus berlanjut. Maka pengelolaannya harus memberikan keuntungan secara ekonomi bagi seluruh pihak terkait baik itu pemerintah, sektor swasta, serta masyarakat setempat. Pariwisata
berkelanjutan
merupakan
terjemahan
lebih
lanjut
dari
pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan, menurut The World Commissions for Environmental and Development (WCED) didefinisikan sebagai: meeting the needs of the present, without compromising the ability of future generations to meet their own needs
Pembangunan berkelanjutan menurut pemahaman WCED merupakan pembangunan yang dapat “menjamin pemenuhan kebutuhan generasi sekarang tanpa mempertaruhkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri” (Arida, 2009:16). Ada beberapa kriteria atau syarat yang harus dipenuhi agar kegiatan wisata dianggap berkelanjutan (Sunaryo, 2013:40) yaitu pertama, mampu berlanjut secara lingkungan yaitu pembangunan pariwisata tidak menimbulkan efek negatif bagi ekosistem setempat. Selain itu, konservasi merupakan kebutuhan yang
39
harusdiupayakan untuk melindungi sumberdaya alam dan lingkungan dari efek negatifkegiatan wisata (environmentally sustainable). Kedua, secara sosial dan kultural dapat diterima yaitu mengacu kepada kemampuan masyarakat lokal untuk menyerap aktivitas pariwisata tanpa menimbulkan konflik sosial dan masyarakat lokal mampu beradaptasi dengan budaya wisatawan yang cukup berbeda (socially and culturally acceptable). Ketiga, secara ekonomis menguntungkan dan layak, artinya keuntungan yang diperoleh dari kegiatan pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (economically viable). Keempat, memanfaatkan teknologi yang layak atau pantas untuk diterapkan di wilayah lingkungan tersebut (technologically appropriate). Secara ringkas, pemahaman mengenai kegiatan pariwisata berkelanjutan dapat diGambarkan ke dalam model ilustrasi sebagai berikut:
Gambar 2.2 Model ilustrasi parameter sustainable development (Sumber: Sunaryo, 2013:45)
40
Ilustrasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembangunan pariwisata berkelanjutan pada intinya berkaitan dengan usaha menjamin agar sumber daya alam, sosial dan budaya dengan menggunakan teknologi yang pantas dimanfaatkan untuk pembangunan pariwisata pada generasi ini agar dapat dinikmati untuk generasi yang akan datang. Seperti yang disebutkan dalam Piagam Pariwisata Berkelanjutan, bahwa Pembangunan pariwisata berkelanjutan, adalah pembangunan yang dapat didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat (Sunaryo, 2013:58). Pembangunan berkelanjutan adalah upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan. Penelitian
ini,
mengaplikasikan
teori
pembangunan
pariwisata
berkelanjutan untuk menganalisis kendala-kendala yang terjadi sebagai akibat pengembangan Ancient Track One di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan. Konsep yang dikembangkan dengan adanya Ancient Track One di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan merupakan bentuk dari pariwisata alternatif dengan menerapkan prinsip-prinsip pengembangan pariwisata budaya berbasis kerakyatan dan berkelanjutan. 2.3.3 Teori Pengembangan Destinasi Pariwisata. Pengembangan pariwisata merupakan suatu rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya pariwisata mengintegrasikan segala bentuk aspek di luar pariwisata yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung akan kelangsungan pengembangan pariwisata.
41
Pengembangan suatu daerah untuk menjadi suatu daerah tujuan wisata, agar menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan potensial, maka harus memiliki tiga syarat (Mariotti, 1985 dan Yoeti, 1987 dalam Sunaryo, 2013), yaitu: pertama, daerah tersebut harus mempunyai apa yang disebut dengan “Something to see”. Maksudnya, destinasi tersebut harus mempunyai daya tarik khusus yang bisa dilihat oleh wisatawan, di samping itu juga harus mempunyai atraksi wisata yang dapat
dijadikan
sebagai
“entertainments”
bila
orang
datang
untuk
mengunjunginya. Kedua, daerah tersebut juga harus mempunyai “something to do”. Artinya, harus disediakan juga beberapa fasilitas rekreasi atau amusements dan tempat serta wahana yang bisa digunakan oleh wisatawan untuk beraktivitas seperti olahraga, kesenian maupun kegiatan yang lain yang dapat membuat wisatawan menjadi betah tinggal lebih lama. Ketiga, daerah tersebut juga harus mempunyai“something to buy”. Di tempat tersebut harus tersedia barang-barang cinderamata (souvenir) seperti halnya kerajinan rakyat setempat yang bisa dibeli wisatawan sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke tempat asal wisatawan. Keempat, “something to share” dimana daerah juga memiliki sebuah kegiatan atraksi yang menyuguhkan pengalaman kepada wisatawan sehingga ada keinginan kembali (repeat) ke objek atau daya tarik yang mereka kunjungi serta yang Kelima, “something to learn” daerah atraksi sebagai media pembelajaran baru sehingga memberikan informasi atau pengalaman yang lebih kepada wisatawan terhadap suatu objek atau daya tarik tersebut.
42
Menurut Rev Ron O’Grady (dalam Suwantoro, 2004), pengembangan pariwisata harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu : 1) Decision making about the form of tourism in any place must be made in consultation with the local people and be acceptable to them. 2) A reasonable share of the profits derived from tourism must return to the people. 3) Tourism must be based on sound enviromental and ecological principles, be sensitive to local cultural and religious traditions and should not place any members of the host community in a position of inferiority. 4) The number of tourism visiting any area should not be such that they overshelm the local population and deny the posibility of genuine human encounter.
Mengembangkan sebuah destinasi pariwisata, seorang perencana (tourism planner) paling tidak harus memperhatikan dua lingkup pengembangan yang saling melengkapi, yaitu lingkup pengembangan spasial dan tingkatan pengembangan dari destinasi tersebut. Memperhatikan lingkungan pengembangan spasial dalam pengertian ini adalah seorang perencana pengembangan destinasi harus memahami dan memperhatikan latar belakang kontekstual dan lingkungan makro dari destinasi yang akan dikembangkan menurut Sunaryo, (2013:168) Secara visual, strategi pengembangan destinasi yang berbasis pada kesesuaian dengan lingkungan makro dalam pengembangan kepariwisataan dapat diilustrasikan dalam Gambar 2.3 berikut ini: The Destinastion
Strategy
Macro Environment Industry Environment
Gambar 2.3 Strategi Kesesuaian Destinasi dengan Lingkup Makro Sunaryo, (2013)
43
Keberhasilan tingkat pengembangan destinasi didasarkan pada beberapa aspek yaitu pengembangan suatu destinasi harus dapatditerima oleh masyarakat lokal dan bahkan keterlibatannya sangat diharapkan. Keterlibatan dimaksud lebih pada pemanfaatan tenaga lokal dalam setiap kegiatan sehingga masyarakat lokal merasakan dampak ekonomi dari pengembangan destinasi tersebut.Selain itu, pengembangan tersebut harus memperhatikan aspek-aspek lingkungan yang ada. Jangan sampai pengembangan destinasi malah memberikan efek negatif terhadap lingkungan alam yang ada termasuk lingkungan sosial masyarakat sekitar. Kondisi
ini
tentu
dapat
dijadikan
indikator
akan
keberhasilan
pengembangan suatu destinasi. Sebagaimana disampaikan oleh Suwantoro (2004), bahwa pengembangan destinasi dapat dikatakan berhasil jika memenuhi beberapa kriteria kelayakan, yaitu kelayakan finansial, kelayakan sosial ekonomi regional, layak teknis, dan layak lingkungan. Kelayakan finansial berarti kelayakan ini menyangkut perhitungan secarakomersial dari pembangunan objek wisata tersebut. Perkiraan keuntungan dan kerugian sudah harus diperkirakan dari awal dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan modal yang telah digunakan. Kelayakan sosial ekonomi regional dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pengembangan destinasi ini mampu memberikan dampak sosial ekonomi secara regional. Artinya dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan penerimaan devisa, dapat meningkatkan penerimaan sektor yang lain seperti pajak, perindustrian dan perdagangan, pertanian dan lain-lainnya. Dalam hal ini, tidak hanya semata-mata komersial tetapi juga memperhatikan dampak secara lebih luas.
44
Layak
teknis
artinya
pengembangan
destinasi
ini
harus
dapat
dipertanggungjawabkan secara teknis dengan melihat daya dukung yang ada. Begitu halnya dengan layak lingkungan, artinya analisis mengenai dampak lingkungan dapat digunakan sebagai acuan kegiatan pengembangan suatu destinasi. Pengembangan destinasi yang menyebabkan rusaknya lingkungan harus dihentikan pembangunannya. Pengembangan destinasi bukanlah merusak lingkungan namun harus dapat besinergi serta dapat memanfaatkan sumber daya alam untuk kebaikan manusia dan meningkatkan kualitas hidup manusia sehingga menjadi keseimbangan, keselarasan dan keserasian hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan alam dan manusia dengan Tuhan. Teori
ini
digunakan
untuk
menganalisis
layak
atau
tidaknya
pengembangan ancient track one di Desa Wisata Bedulu disebut sebagai daya tarik wisata alternatif di Kabupaten Gianyar. Hal ini mengacu pada potensi yang dimiliki oleh Desa Wisata Bedulu dengan adanya pengembangan ancient track one yang belum dimiliki oleh desa-desa lainnya di Kabupaten Gianyar 2.4 Model Penelitian Guna menjawab rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, memerlukan sebuah model penelitian atau kerangka konsep berpikir. Penelitian ini diawali dengan pemahaman bahwa pariwisata di Bali merupakan salah satu sektor unggulan selain sektor pertanian dan sektor industri kecil dan menengah. Pariwisata yang dikembangkan adalah pariwisata berbasis budaya. Namun, pengembangan pariwisata di Bali pada umumnya cenderung dilakukan semata-
45
mata untuk kepentingan ekonomi dan mengabaikan kelestarian lingkungan dankepentingan masyarakat lokal. Melihat kondisi tersebut, setiap daerah berupaya untuk mengembangkan pariwisata alternatif. Berbagai wisata alternatif muncul untuk menjamin keberlanjutan pariwisata itu sendiri. Salah satunya yaitu upaya yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar dalam bukunya yang berjudul “Gianyar Historical and Archaeological Guide To The Pakerisan and Petanu Rivers” berupaya mengembangkan Ancient Track One (Tracking Situs Budaya) di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan sebagai daya tarik wisata alternatif di Kabupaten Gianyar dan diharapkan mampu menjadi daya tarik wisata unggulan. Pada kenyataannya, dalam perkembangannya kondisi fisik dan lingkungan sekitar tracking ini dapat dikatakan kurang terawat dan belum mampu berkembang dengan optimal. Terdapat fasilitas-fasilitas yang terbengkalai dan tidak termanfaatkan kembali maka untuk itulah perlu dilakukan evaluasi kembali terkait pengembangan tracking tersebut. Melihat
permasalahan
tersebut,
maka
digunakanlah
konsep
untuk
memberikan batasan terhadap penelitian ini. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, konsep potensi wisata dan daya tarik wisata, konsep desa wisata, konsep wisata purbakala (heritage tourism) dan pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism). Teori yang digunakan untuk menjawab dan menganalisis permasalahan dalam penelitian ini yaitu teori-teori yang dianggap relevan diantaranya teori evaluasi, teori pembangunan pariwisata berkelanjutan dan teori pengembangan destinasi pariwisata.
46
Mengacu pada teori tersebut, maka diharapkan pengembangan potensi Ancient Track One di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan sebagai wisata alternatif di Kabupaten Gianyar yang dianalisis dengan model CIPP (Context, Input, Process, Product) dapat dievaluasi dengan jelas. Selain itu, kendalakendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pengembangan Ancient Track One di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan dengan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pengembangan tracking ini, maka akan didapatkan suatu rekomendasi yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan sebagai daya tarik wisata alternatif di Kabupaten Gianyar. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diGambarkan kerangka konsep atau model penelitian mengenai evaluasi pengembangan potensi wisata ancient track di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan sebagai salah satu wisata alternatif di Kabupaten Gianyar, seperti pada Gambar 2.4. berikut ini
47
Pariwisata Alternatif Wisata Tracking Situs Budaya Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan Konsep: Konsep Potensi Wisata Dan Daya Tarik Wisata Konsep Desa Wisata Konsep Daya Tarik Wisata Alternatif Konsep Wisata Situs Budaya (Heritage Tourism) Konsep Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism)
Evaluasi Pengembangan Ancient Track One Wisata Tracking Situs Budaya Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan
Pelaksanaan Pengembangan
Teori: Teori Evaluasi Teori Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Teori Pengembangan Destinasi Pariwisata
Kendala-kendala pengembangan
Analisis Hasil Penelitian Rekomendasi Gambar 2.4 Model Penelitian