BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.0 Pengantar Para ahli bahasa yang berbicara tentang deiksis (seperti Levinson (1983, 2006a-b), Fasold (2006), Mey (2001), Bohnemeyer (2006), Yule (1996), Huang (2007)) tidak menjadikan deiksis sebagai bahan pembicaraan tanpa menyertakan pragmatik lebih dahulu di dalamnya. Hal demikian beralasan mengingat bahwa salah satu aspek mendasar dalam kajian deiksis, yakni, inferensi makna, dilakukan dengan memperhitungkan konteks. Perubahan konteks penggunaan tuturan, termasuk yang dinyatakan sebagai ekspresi deiksis, akan berimplikasi pada perubahan makna ekspresi tersebut. Peranan konteks yang menentukan, seperti itu, menyebabkan kajian deiksis digolongkan sebagai sub-bidang kajian pragmatik. Analogi untuk pemahaman lebih lanjut tentang kajian deiksis sebagai subbidang pragmatik, contohnya, adalah antara afiksasi dengan morfologi bahasa. Perubahan bentuk morfem, termasuk disebabkan proses afiksasi, adalah kajian morfologi. Oleh karenanya, afiksasi adalah sub-bidang kajian morfologi. Lalu, sebagai apa pragmatik itu?
2.1 Pengertian Pragmatik Pemahaman konseptual arti suatu istilah tidak selalu diperoleh dari satu definisi. Malah satu definisi, ada kalanya, terasa tidak memadai untuk memberi gambaran utuh tentang yang didefinisikan. Untuk memahami arti pragmatik, pada
Universitas Sumatera Utara
kesempatan ini, penulis tampilkan empat buah definisi yang merupakan esensi deskripsi singkat tentang pragmatik, yang dibuat oleh Yule. Dalam deskripsinya, Yule (1996:3) mengemukakan hal sebagai berikut. 1. Pragmatik berfokus pada pengkajian makna yang disampaikan oleh penutur dan ditafsirkan sesudahnya oleh mitra tutur. Pengkajian makna, di sini, lebih memperhatikan apa sesungguhnya yang penutur maksudkan dengan tuturannya daripada sekedar makna yang terdapat pada tuturan itu. Dari deskripsi singkat (1) diperoleh pengertian bahwa pragmatik adalah pengkajian makna yang dimaksudkan oleh penutur (Pragmatics is the study of speaker meaning). 2. Pengkajian makna menurut penutur (seperti tersebut pada poin (1)) merupakan upaya penafsiran atas apa yang penutur maksudkan dalam konteks tertentu, serta bagaimana konteks berpengaruh terhadap tuturan yang dihasilkan. Cara kerja pengkajian ini memperhatikan bagaimana penutur menyesuaikan apa yang hendak dituturkan dengan konteks yang melatarbelakanginya, seperti, siapa orang yang menjadi mitra tutur, di mana, kapan, dan dalam keadaan bagaimana tuturan dihasilkan. Dari deskripsi singkat (2) diperoleh pengertian bahwa pragmatik adalah pengkajian makna karena pengaruh konteks (Pragmatics is the study of contextual meaning).
Universitas Sumatera Utara
3. Melalui ancangan pragmatik menjadi pengamatan bagaimana mitra tutur menginferensi tuturan yang didengarnya, sehingga hasil tafsirannya terhadap tuturan itu sama dengan yang dimaksudkan oleh penutur. Pada pengkajian makna seperti ini, diperhatikan juga berbagai hal yang terkait dengan tuturan tetapi tidak terungkap dalam tuturan yang dihasilkan oleh penutur. Dengan cara pengkajian, seperti yang disebutkan, membuat kita mengenal adanya upaya pemahaman makna lain yang tidak terungkap dalam tuturan (invisible meaning). Dari deskripsi singkat (3) diperoleh pengertian bahwa pragmatik adalah pengkajian yang berupaya memperoleh informasi yang lebih banyak daripada sekedar yang diperoleh dari yang dituturkan ( Pragmatics is the study of how more gets communicated than is said). 4. Perspektif yang menyebut adanya informasi lain, di luar dari yang dituturkan, seperti yang disebut pada poin (3), ternyata memicu munculnya pertanyaan, apa sesungguhnya yang berperan dalam membuat adanya informasi lain di samping informasi yang diperoleh dari tuturan itu. Jawabannya, menurut Yule, menyangkut soal jarak (distance). Faktor kedekatan atau kejauhan secara fisik, sosial, ataupun konseptual, adalah bagian dari pengalaman manusia. Dengan memperhatikan kedekatan atau kejauhannya dengan mitra tutur, penutur dapat menentukan batasan terhadap apa yang perlu dituturkannya. Dari deskripsi singkat (4) diperoleh pengertian bahwa pragmatik adalah pengkajian terhadap ekspresi-ekspresi
Universitas Sumatera Utara
yang menyatakan jarak relatif (Pragmatics is the study of the expression of relative distance). Deskripsi singkat yang dituangkan melalui keempat definisi di atas memberi pengertian serta gambaran tentang ranah kajian bidang pragmatik.
2.2 Historiografi Singkat Pragmatik Hingga kini (2009) tercatat bahwa pragmatik, sebagai salah satu sub-bidang linguistik, usianya sudah mencapai empat dasawarsa. Kepesatan perkembangan serta minat ahli bahasa untuk mengakrapinya, terutama dalam dua dekade terakhir ini (Huang, 2007:3), adalah sesuatu yang mungkin luput dari perkiraan pada waktu sebelumnya. Salah satu indikasi peningkatan minat banyak ahli terhadap pragmatik, dari penjelasan Mey (2001:3-4), dapat dilihat pada semakin pesatnya penerbitan jurnal ataupun buku teks bertaraf internasional tentang pragmatik, seperti Journal of Pragmatics, Pragmatics, Concise Encyclopedia of Pragmatics, yang masing-masing diterbitkan sejak tahun 1977, 1991, 1998, dan masih berlangsung hingga kini (lihat juga Rahardi, 2006:45-51). Jawaban antisipatif terhadap sebab kepesatan perkembangan kajian pragmatik seperti itu, sebelumnya, telah diberikan oleh Leech (1983:1) yang menyatakan bahwa orang tidak akan mengerti bahasa secara benar apabila orang yang bersangkutan tidak mengerti pragmatik, yaitu, bidang linguistik yang mengkaji bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi. Dengan mengikuti penjelasan Huang (2007:2-5), aspek kesejarahan pragmatik, secara singkat, diketahui sebagai berikut.
Universitas Sumatera Utara
Pragmatik sebagai sub-bidang linguistik modern berawal dari adanya kajiankajian filosofis bahasa pada periode tahun 1930-an yang dilakukan oleh Charles Morris, Rudolf Carnap, dan Charles Pierce. Mendapat masukan dan atas pengaruh dari Pierce, Morris membuat adanya pembagian bidang semiotik (ilmu tentang tanda pada umumnya) atas tiga bagian, yaitu, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Menurut tipologi ini, sintaksis Morris maksudkan sebagai pengkajian terhadap hubungan formal antara sesama tanda. Artinya, bagaimana menyusun tautkan sesama bentuk-bentuk bahasa dan bentuk hasil susun taut mana yang berterima. Pengkajian semacam ini umumnya dilakukan tanpa memperhitungkan objek ril yang diacu atau orang yang menggunakannya. Semantik melakukan pengkajian terhadap hubungan tanda dengan acuannya, atau dapat juga dikatakan pengkajian hubungan antara bentuk-bentuk bahasa dengan maujud duniawinya. Pragmatik adalah pengkajian terhadap hubungan tanda dengan penutur atau penggunanya. Di antara ketiga bidang dalam trikotomi di atas, hanya pragmatik yang melibatkan manusia turut menjadi objek dalam kajiannya (lihat juga Yule, 1996:5). Terhadap trikotomi tersebut, Carnap, kemudian, membuat pengurutan atas dasar tingkat keabstrakan masing-masing. Sintaksis dan pragmatik masing-masing menempati posisi paling dan kurang abstrak, sedangkan semantik pada posisi antara keduanya. Hubungan hierarkis tersebut dimaknainya, bahwa sintaksis memberi masukan kepada semantik, yang selanjutnya, memberi masukan pula kepada pragmatik. Lalu, bagaimana respons ahli bahasa pada periode tahun 1930-an dan sesudahnya atas kehadiran trikotomi dari Charles Morris? Ternyata, dari penjelasan
Universitas Sumatera Utara
Leech, kehadiran pragmatik tahun 1930-an tidak serta merta menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Bagi mereka, seangkatan Bloomfield, misalnya, liputan ilmu bahasa itu hanya di seputar fonetik, fonemik, dan morfofonemik (morfologi); sementara sintaksis masih dianggap bidang yang terlalu abstrak untuk dipahami dan dipelajari. Perubahan sikap dalam merespons kehadiran trikotomi semiotik di atas baru terlihat pada akhir tahun 1950-an, seiring dengan berkembangnya teori linguistik Chomsky, yang memposisikan sintaksis sebagai prioritas dalam pengkajian bahasa. Namun, karena pengaruh latar belakang struktural mentalis yang kuat pada Chomsky, membuatnya berpandangan bahwa kajian makna masih merupakan hal yang belum perlu ditekuni. Pada perkembangan linguistik yang semakin pesat antara 1960 dan 1970-an, sikap Chomsky dalam pengkajian makna mendapat tantangan dari mahasiswanya sendiri. Mereka (seperti Katz, Fodor, Ross, Lakoff, Postal) menunjukkan rasa ketidakpuasan dan ketidaksetiaan mereka kepada Chomsky yang mengkaji bahasa dari aspek mental yang abstrak itu, dan mulai meninggalkan tradisi mentalis dalam mengkaji penggunaan bahasa. Ketika itu, mereka telah menemukan cara bagimana mengintegrasikan kajian makna ke dalam teori linguistik. Lakoff (1971) bersama rekan lainnya, yang merasa tertarik dengan kajian-kajian filosofis bahasa Austin dan kawankawan (yang menjadikan bahasa alami (ordinary language) sebagai objek kajiannya), telah siap dengan argumentasi bahwa sintaksis tidak dapat dipisahkan dari kajian penggunaan bahasa. Peristiwa itu tercatat sebagai mula terintegrasikannya pragmatik
Universitas Sumatera Utara
ke dalam peta kajian linguistik. Terintegrasikannya pragmatik ke dalam kajian linguistik memberi arti bahwa lingkup bidang linguistik tidak hanya sebatas aspek fisik bahasa, melainkan meluas dengan liputan bentuk, makna, dan konteks di dalamnya. Penyebutan nama banyak ahli dari Amerika pada uraian historis singkat di atas mungkin
dapat
memberi
kesan
bahwa
Amerika
merupakan
pionir
dalam
pemberhasilan pengintegrasian pragmatik ke dalam kerangka kajian bidang linguistik. Kesan semacam itu seyogianya tidak demikian apabila perkembangan linguistik dilihat dari wawasan kesejarahan yang lebih luas. Sepintas memang ada benarnya bahwa di antara banyak bidang kajian, linguistik banyak diwarnai oleh Amerika. Namun, perlu diingat pula bahwa tidak sedikit ahli bereputasi besar dari luar (aliran) Amerika yang relatif jauh sebelum tahun 1970-an telah menekankan perlunya kajian makna situasional dalam kajian linguistik. J.R. Firth, misalnya, adalah nama linguis kawakan dari Inggris yang memiliki pandangan seperti itu. Firth (1935) dengan jelas menyatakan bahwa semua ilmu bahasa adalah kajian tentang makna, dan semua makna merupakan fungsi dalam konteks (Halliday & Hasan, 1992:10). Demikian juga dengan Halliday (1969), secara komprihensif telah memaparkan teori sosialnya mengenai bahasa. Pelibatan teori sosial ke dalam pengkajian bahasa, seperti yang dikembangkan oleh Halliday, memberi kejelasan bahwa kajian makna bahasa tidak lepas dari – dengan memperhitungkan manusia dengan berbagai hal yang melatarbelakanginya. Nama-nama lain dari luar Amerika yang sudah cukup lama akrab dengan kajian pragmatik adalah, seperti: Austin, Searle, dan Grice. Malah, melalui perkenalan
Universitas Sumatera Utara
dengan teori kebahasaan merekalah terinspirasinya linguis Amerika, seperti Lakoff, Ross, untuk memasuki ranah kajian pragmatik sebelum tahun 1970-an. Ketertarikan minat orang untuk mengetahui lebih jauh ihwal pragmatik disertai pula dengan upaya-upaya pengkajian intens dalam bidang yang sama, seperti yang dilakukan oleh Horn, Fillmore, dan Gazdar pada tahun 1970-an. Tampil dan terbitnya buku teks Levinson (1983) yang berjudul Pragmatics, tercatat sebagai proklamasi sekaligus, yang menandai the coming of age of pragmatics discipline in its own right. Semenjak itulah, penelitian di bidang pragmatik berkembang pesat dan terus berlanjut (Huang, 2007:3). Dengan demikan, jangkauan linguistik yang semakin luas akibat bertambahnya bidang pragmatik di dalamnya, sekaligus membuat berubahnya pula persepsi orang akan hakikat maupun batasan bahasa. Hingga kini, bidang liputan linguistik, berdasarkan urutan kronologis kehadirannya dalam sejarah linguistik, adalah sebagai berikut, 1. fonetik/fonologi; 2. morfologi; 3. sintaksis; 4. semantik; 5. pragmatik.
2.3 Antara Semantik dan Pragmatik Hal yang perlu mendapat pembicaraan pada 2.3 ini adalah pembedaan antara semantik dan pragmatik. Keduanya merupakan sub-bidang linguistik yang memiliki
Universitas Sumatera Utara
keterkaitan bidang kajian yang bersifat komplementer. Masing-masing berurusan dengan pengungkapan makna, yang disampaikan melalui wahana bahasa. Untuk kejelasan perbedaan antara keduanya, dapat dilakukan, misalnya, dengan memperhatikan penggunaan pronomina persona dia dalam tuturan Sudah bangun dia? Setidaknya perlu dua hal terdapat pada mitra tutur (pendengar) agar dia disebut paham akan makna dia pada tuturan di atas. Pertama, mitra tutur mengetahui bahwa dia dalam tuturan bahasa Indonesia tersebut memiliki makna sebagai ‘orang ketiga tunggal yang diacu, bukan penutur ataupun mitra tutur’. Kedua, mitra tutur mengetahui siapa orang yang dimaksud dia oleh penutur pada tuturan tersebut. Dari kedua hal yang disebutkan, yang pertama adalah bagian dari pengetahuan semantik, dan yang kedua sebagai kompetensi pragmatik. Pada hal yang pertama, untuk sampai kepada mengetahui makna unsur bahasa (seperti dia saja), mitra tutur cukup dengan berbekal pengetahuan tentang aspek internal bahasa saja (dalam hubungan ini, semantik); sedangkan pada yang kedua, untuk sampai pada mengetahui yang dimaksudkan oleh penutur dalam menggunakan unsur bahasa (seperti untuk acuan dia yang tepat dalam tuturan tersebut), mitra tutur tidak cukup hanya dengan bermodalkan pengetahuan tentang aspek internal bahasa saja, melainkan juga dengan pengetahuan umum (encyclopaedic knowledge) dari luar bahasa. Pengetahuan umum itu, seperti, informasi yang diperoleh tentang yang dituturkan sebelum saat tuturannya (Saeed, 2000:17-19). Uraian dengan contoh penggunaan unsur bahasa (dia) di atas memberi pengertian bahwa mengkaji makna satuan lingual secara internal merupakan tugas
Universitas Sumatera Utara
bidang semantik, sedangkan pengkajian makna satuan lingual secara eksternal menjadi tugas bidang pragmatik. Pemberian makna dalam kajian semantik dapat dilakukan tanpa pelibatan memperhatikan konteks atau pengetahuan lain di luar pengetahuan tentang bahasa, sedangkan dalam kajian pragmatik, makna dapat ditentukan melalui pelibatan memperhatikan konteks atau pengetahuan lain di luar pengetahuan bahasa. Pengertian lain yang dapat diperoleh dari uraian di atas adalah bahwa pengkajian unsur bahasa dalam semantik ditujukan untuk mengetahui makna semata dari satuan lingual itu, sedangkan pengkajian unsur bahasa dalam pragmatik tujuannya untuk mengetahui maksud penutur dengan menggunakan unsur bahasa yang dituturkannya. Pembedaan antara semantik dan pragmatik di atas sejalan dengan pembedaan yang dibuat oleh Leech (1993:8-9). Menurutnya, perbedaan bidang semantik dengan prangmatik terletak pada perbedaan penggunaan verba to mean. Apabila to mean itu berasal dari unsur bahasa, berarti terdapat hubungan diadik (dyadic) antara unsur bahasa dengan maknanya, dan apabila to mean berasal dari penutur dalam menggunakan unsur bahasa, berarti terdapat hubungan triadik (triadic), yaitu, antara penutur, unsur bahasa, dan maknanya. Makna dalam hubungan diadik adalah makna unsur bahasa yang digunakan, lepas dari penafsiran kontekstual dari penuturnya. Apabila unsur bahasa yang digunakan diganti dengan X, misalnya, rumusan pertanyaan untuk memperoleh makna diadik, menurut Leech, adalah What does X mean? (Apakah makna X itu?).
Universitas Sumatera Utara
Makna dalam hubungan triadik adalah makna unsur bahasa yang diberi melalui pertimbangan kontekstual dari penuturnya. Rumusan pertanyaan untuk memperoleh makna triadik, dengan demikian, adalah What did you mean by X? (Apakah yang Anda maksudkan dengan X itu?). Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa ranah kajian semantik berada dalam lingkupan hubungan diadik, sedangkan kajian pragmatik berada dalam lingkupan hubungan triadik. Pengulangan kedua rumusan pertanyaan di atas, jika dikaitkan dengan pembedaan antara semantik dengan pragmatik, dapat diskemakan sebagai berikut.
(1)
What does X mean ?
=
semantik
=
pragmatik
(Apakah makna X itu?) (2)
What did you mean by X ? (Apakah yang Anda maksudkan dengan X itu?) (Bandingkan dengan Leech (1983))
Dengan demikian, rumusan terhadap masing-masing istilah, antara semantik dan pragmatik, dapat diturunkan dari pemahaman uraian di atas – sebagai berikut. Semantik adalah sub-bidang linguistik yang mengkaji tentang makna unsur bahasa lepas dari pemaknaan kontekstual penggunanya, sedangkan pragmatik adalah subbidang linguistik yang mengkaji tentang makna dalam hubungannya dengan konteks tuturan.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Konteks Tutur Penyebutan konteks tutur pemunculannya sering ditemukan dalam kajian bahasa (linguistik), terutama dalam kajian pragmatik. Membuat rumusan konteks tutur yang tepat untuk penggunaan yang luas tentu tidak mudah karena apa saja yang menjadi komponen konteks tutur itu dapat berbeda di antara para ahli. Namun, sebuah rumusan konteks tutur, yang penulis anggap bercorak relatif moderat, dimuat di sini. Secara umum dapat dikatakan bahwa konteks tutur adalah faktor lingkungan dinamis sekitar yang relevan terhadap pemilihan bentuk dan penafsiran satuan lingual yang digunakan. Bandingkan dengan Huang (2007:13) yang merumuskan konteks tutur sebagai “any relevant features of the dynamic setting or environment in which a linguistic unit is systematically used”. Tentang konteks tutur terdapat juga pembagiannya, seperti yang dikemukakan oleh Ariel (Huang, 2007:13-14). Melihat sumbernya, dia membagi konteks tutur atas tiga jenis. Yang pertama hingga yang ketiga, masing-masing adalah: (1) konteks fisik (physical context), (2) konteks lingual (linguistic context), dan (3) konteks pengetahuan umum (general knowledge context) seseorang. Konteks (1) adalah lingkungan dinamis yang melatari tuturan, seperi partisipan (penutur dan mitra tutur), lokasi, dan waktu tuturan (Gasser, 2003). Mitra tutur sebagai konteks fisik, yang berperan (relevan) dalam pemilihan bentuk dan penafsiran maknanya, dapat dilihat, misalnya, pada penggunaan pronomina persona orang kedua tunggal kau pada Jangan kau datang lagi! Terpilihnya bentuk kau (bukan Anda, Tuan, Ayah, dsb.) pada tuturan terakhir, di atas, telah melalui pertimbangan sebelumnya dari penutur, siapa orang
Universitas Sumatera Utara
yang menjadi mitra tuturnya. Penutur tidak akan menggunakan kau sebagai pilihan apabila orang yang menjadi mitra tutur, misalnya, ayahnya. Jadi, dalam hubungan ini, mitra tutur adalah konteks fisik di sekitar tuturan, yang melatari dan berpengaruh terhadap dipilihnya penggunaan kau oleh penutur untuk menyapa mitra tuturnya. Dari aspek pemaknaan, kau tidak dapat diberi atau ditentukan maknanya sebelum mengetahui siapa yang menjadi mitra tutur bagi penutur pada saat tuturan tersebut berlangsung (atau, siapa yang dimaksud oleh penutur dengan menggunakan kau dalam tuturannya). Dengan mengetahui siapa orang yang menjadi mitra tutur, misalnya Budi (konteks fisik), barulah dapat ditentukan makna bentuk unsur lingual kau. Konteks jenis (2) adalah unsur-unsur lain dari bahasa itu sendiri yang melatari bentuk lingual yang digunakan. Apa yang disebut sebelum saat tuturan, misalnya, berpengaruh dalam pemilihan dan penentuan makna unsur bahasa yang digunakan. Unsur bahasa dia pada tuturan tanya dari Budi kepada Ali berikut ini, misalnya, pilihan penggunaannya, oleh Budi (sebagai mitra tutur), didasarkan pada konteks lingual yang dihasilkan oleh Ali (sebagai penutur) sebelum saat tuturan dia oleh Budi. Pilihan Budi menggunakan dia (bukan engkau, saya, dsb.) dipengaruhi oleh pertimbangan bahwa bentuk lingual yang sesuai untuk mengacu orang ketiga tunggal (Mira) yang dituturkan oleh Ali adalah dia. Dalam penentuan makna terhadap dia, konteks lingual yang sama, yang dituturkan oleh Ali sebelumnya, juga memiliki pengaruh. Terhadap dia, yang dituturkan Budi (sebagai penutur) dapat ditentukan maknanya oleh Ali (sebagai mitra
Universitas Sumatera Utara
tutur) setelah mengetahui bahwa yang Budi maksudkan dengan dia adalah Mira, yang terdapat pada tuturan (konteks lingual) sebelumnya. Ali : Mira sudah datang. Budi : Mana dia ? Konteks jenis (3) merupakan latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur sebagai anggota dari masyarakat yang sama. Dengan kesamaan latar belakang pengetahuan itu penutur mengasumsikan bahwa mitra tutur akan dengan persepsi yang sama dengan penutur terhadap yang hendak dituturkan. Atau, dengan kata lain, apa yang hendak dituturkan oleh penutur diyakini akan dapat dimaknai mitra tutur sesuai dengan yang dimaksudkan oleh penutur. Terhadap uraian yang baru disebutkan, Gibbs (Saeed, 2000:185) membuat bentuk sebuah rumusan. Apabila S = Penutur (Speaker), P = Proposisi (proposition), dan A = Mitra Tutur (Addressee), rumusannya adalah sebagai berikut. “ S and A mutually know a proposition P, if and only if : S knows that P A knows that P S knows that A knows that P A knows that S knows that A knows that P, ....... and so on. “
Universitas Sumatera Utara
Sebagai bukti bahwa antara penutur dan mitra tutur memiliki latar belakang pengetahuan yang sama terhadap sebuah proposisi, dapat dilihat pada komunikasi antara A dengan B, yang Saeed contohkan sebagai berikut. A :
Shall we go and get some ice cream?
B :
I’m on a diet.
A :
Oh, okay.
Dapat dikatakan bahwa proposisi (P) yang diketahui secara bersama oleh penutur dan mitra tutur itu adalah, ‘Diet itu berpantang es krim (karena sarat lemak)’. Keberlangsungan komunikasi terakhir, di atas, menandakan bahwa B tahu akan proposisi itu, dan yakin bahwa A juga mengetahuinya. Oleh karena A dapat memaklumi alasan (penolakan) B, berarti A juga mengetahui proposisi itu. Lebih jauh adalah, A juga mengetahui bahwa B tahu bahwa A mengetahui P itu. Kesamaan latar belakang pengetahuan umum pada penutur dan mitra tutur, seperti yang disebutkan, berpengaruh terhadap keberlangsungan komunikasi antara partisipan tutur. Soal ada-tidaknya keberlangsungan komunikasi antara partisipan tutur, dalam bahasa populernya, masing-masing disebut dengan istilah “nyambung” dan “tidak nyambung”. Pada perkembangan selanjutnya, pengertian konteks tutur berupa latar belakang pengetahuan umum dibedakan oleh Clark (Huang, 2007:14) dengan membaginya kepada dua jenis pengetahuan, masing-masing, pengetahuan umum masyarakat (communal common ground) dan pengetahuan umum perorangan
Universitas Sumatera Utara
(personal common ground). Pengetahuan jenis pertama merupakan pengetahuan yang sama yang melatarbelakangi setiap anggota suatu masyarakat, sedangkan pengetahuan jenis kedua berupa pengetahuan yang melatarbelakangi anggota-angota tertentu dari suatu masyarakat, yang mereka peroleh dari pengalaman masa lalu mereka.
2.5 Urgensi Deiksis Pada mulanya istilah deiksis (deixis), dari bahasa Yunani Kuno deiknymi (Saeed, 2000:173), dipersepsi sebagai ‘pengacuan dengan isyarat’.
Bagian dan
gerakan tertentu dari anggota tubuh penutur digunakan untuk mengacu sesuatu yang dimaksudkannya. Pengarahan (jari) tangan kepada sesuatu yang dimaksudkan adalah salah satu contoh cara pengacuan dengan menggunakan isyarat bagian tubuh. Pengacuan seperti itu, menurut Lyons (1995:303-304), boleh jadi merupakan cara alami manusia sejak dini (proto-form of reference (Bohnemeyer, 2006)) dalam mengidentifikasi apa yang dimaksudkannya. Ditambahkan bahwa cara pengacuan seperti itu dapat ditemukan dalam berbagai budaya dunia. Dengan mengambil analogi dari kenyataan di atas, Lyons sampai kepada satu kesimpulan bahwa setiap ekspresi lingual yang memiliki fungsi yang sama dengan fungsi mengacu yang terdapat pada isyarat anggota tubuh, seperti disebutkan di atas, sifatnya deiktis.
Bentuk-bentuk pronomina persona dan demonstrativa adalah
termasuk ke dalam jenis ekspresi lingual yang jelas memiliki kesamaan fungsi dengan penggunaan bagian tubuh, seperti (jari) tangan, untuk mengacu kepada sesuatu. Hal itu dapat dibuktikan, misalnya, dengan mengacukan tangan kita kepada diri sendiri sambil
Universitas Sumatera Utara
menyebut merasa puas, tanpa menyebutnya secara lengkap, yakni dengan Saya merasa puas. Untuk tidak menyebut Gambar itu kabur secara lengkap, kita dapat menyampaikan maksud yang sama dengannya, hanya dengan menyebut Gambar kabur, seraya mengacu dengan menggunakan jari telunjuk, misalnya, ke arah gambar tertentu yang tergantung di dinding. Dari Yule (1996:9) diperoleh juga penjelasan terkait dengan fungsi deiksis. Menurutnya, salah satu hal yang amat penting sehubungan dengan penggunaan bahasa adalah deiksis. Istilah deiksis, secara bersahaja, dia maknai sebagai ‘upaya pengacuan melalui penggunaan bahasa’ (pointing via language). Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa
setiap
bentuk
lingual
yang
memiliki
fungsi
demikian
(mengacu/menunjuk) disebut ekspresi deiksis. Kata itu dalam bentuk tuturan tanya Apa itu?, misalnya, adalah ekspresi deiksis, yang digunakan untuk mengacu kepada sesuatu yang relatif jauh dari penuturnya. Deiksis termasuk salah satu fenomena bahasa yang universal karena ekspresiekspresi deiksis dapat ditemukan pada semua bahasa manusia. Tentang mengapa demikian halnya dapat diperoleh jawabannya, misalnya dari Huang (2007:132), yang memberi penjelasan bahwa melakukan komunikasi melalui wahana bahasa di antara sesama penggunanya tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien tanpa kehadiran deiksis di dalamnya. Pendapat senada dengan Huang tentang urgensi deiksis dalam penggunaan bahasa terdapat juga dalam Bohnemeyer (2006). Guna menguat yakinkan orang akan urgensi tersebut, dia mengajak agar kita menentukan satu objek apa saja di sekitar kita,
Universitas Sumatera Utara
kemudian mencoba menjelaskannya kepada mitra tutur tanpa melibatkan penggunaan deiksis. Apabila dalam upaya menjelaskan tersebut ternyata mengalami kendala, hal itu memberi bukti bahwa pendapat di atas benar. Artinya, penggunaan bahasa untuk menjelaskan sesuatu (dunia) dapat terkendala, contoh pada 1.4, apabila tidak disertai pelibatan penggunaan deiksis di dalamnya. Urgensi pelibatan penggunaan deiksis demikian dalam komunikasi lingual terkait dengan fungsi deiksis itu sendiri. Setidaknya, menurut Bohnemeyer, deiksis memiliki tiga fungsi dalam penggunaan bahasa. Ketiganya adalah, (1) menghadirkan acuan yang dimaksud (dengan versi yang berbeda) ke dalam tuturan, (2) membuat spesifikasi di antara sejumlah kemungkinan acuan dalam konteks tutur, dan (3) menggiring perhatian mitra tutur kepada acuan yang dimaksudkan oleh penutur. Fungsi (1) adalah fungsi yang juga dapat ditemukan pada unsur lingual pada umumnya (termasuk yang non-deiktis). Namun, dua fungsi yang terakhir ((2), (3)) hanya terdapat pada unsur lingual yang bersifat deiktis saja.
2.6 Deiksis Dari Sejumlah Ahli Pengertian deiksis telah banyak diberikan oleh para ahli bahasa yang akrab dengan kajian pragmatik. Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan deiksis itu, sejumlah pengertian yang relevan dimuat pada bagian berikut ini. Dari penjelasan Levinson (1983:54) diperoleh pengertian bahwa sejatinya deiksis memperhatikan cara bahasa mengkodekan esensi konteks dan peristiwa tutur
Universitas Sumatera Utara
ke dalam gramatika. Selain itu, deiksis juga memperhatikan bagaimana memaknai tuturan melalui pengkajian konteks tuturan tersebut. Selengkapnya, penjelasan Levinson itu dikutip sebagai berikut. Essentially deixis concerns the ways in which languages encode or grammaticalize features of the context of utterance or speech event, and thus also concerns ways in which the interpretation of utterances depends on the analysis of that context of utterance (Levinson, 1983:54). Penjelasan Levinson di atas menunjukkan terdapatnya tiga tahapan proses dalam deiksis. Prosesnya, pada tahapan pertama, adalah mengkodekan lebih dahulu esensi konteks ataupun peristiwa tutur ke dalam bentuk gramatika. Esensi konteks itu adalah makna atau apa yang dipersepsi oleh penutur dari konteks. Pada tahapan kedua, bentuk gramatikal dengan muatan makna direalisasikan dalam wujud ekspresi lingual, yang selanjutnya, sebagai tahapan ketiga, dimaknai oleh mitra tutur menurut pemahamannya terhadap konteks yang melatari dihasilkannya ekspresi lingual tersebut. Pemaknaan berdasarkan pemahaman konteks tutur tidak berlangsung acak, melainkan dengan keharusan melakukannya secara bersistem (systematically). Penegasan akan hal itu dikemukakan kemudian oleh Levinson dalam definisi deiksisnya, yang di dalamnya ditegaskan sekaligus bahwa deiksis adalah fenomena lingual, whereby some linguistic expressions are systematically dependent on the context for their interpretation (Levinson, 2006a:2). Ketergantungan pemahaman konteks tutur secara sistematis untuk memaknai ekspresi lingual dicontohkannya
Universitas Sumatera Utara
dengan mengemukakan bentuk tuturan tulis Meet me here a week from now with a stick about this big. Dengan menemukan dan membaca tuturan tertulis itu saja, tanpa memahami konteks relevan dihasilkannya tuturan tersebut, kita tidak mengetahui siapa yang harus ditemui, di mana, kapan, serta sebesar apa tongkat yang harus dibawakan menurut orang yang menghasilkan tuturan itu. Demikian juga halnya dengan I ‘ll be back in an hour. Tanpa mengetahui kapan tuturan tulis itu dihasilkan (dituliskan), kita tidak dapat mengetahui kapan akan kembalinya orang yang membuat tuturan tulis tersebut. Saeed, yang juga melihat peranan urgensif dari pemahaman konteks tutur dalam memaknai ekspresi lingual, menjelaskan adanya keterikatan ekspresi dengan konteks. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa unsur lingual yang terikat konteks seperti itu sifatnya deiktis. Elements of language that are so contextually bound are called deictic (Saeed, 2000:173). Dari pejelasan Saeed di atas dapat dikatakan bahwa unsur lingual, seperti me/I, here, now, this, in an hour, pada dua contoh tuturan tulis terakhir adalah ekspresi deiksis karena untuk memaknai unsur-unsur lingual tersebut diperlukan bantuan informasi kontekstual (seperti, siapa yang menghasilkan tuturan, di mana dan kapan unsur-unsur lingual tersebut dihasilkan). Berkenaan dengan konteks tutur, faktor terkait dan menentukan di dalamnya, menurut Gasser (2003), pada pokoknya adalah penutur, pendengar, tempat, dan waktu. Untuk mengilustrasikan maksud konteks tuturan, Gasser mengambil kalimat bahasa Inggris I like it sebagai contoh, yang dalam hubungan ini, dia sebut sebagai tuturan
Universitas Sumatera Utara
yang berlainan apabila disampaikan pada saat yang berbeda. Hal ini memberi pengertian bahwa setiap penuturan memiliki konteks sendiri, dan pada setiap konteks yang berbeda – unsur lingual yang sama hadir dengan makna yang berbeda pula. Singkatnya, makna akan selalu berubah dari konteks tuturan yang satu ke konteks tuturan yang lain. Pemahaman konteks tuturan, Gasser permudah dengan membagankan faktor-faktor yang berperan dalam terbentuknya konteks tutur, sebagai berikut. Bagan 01: Konteks tutur Utterance
Form
Speaker
Hearer
Location
Time
Sumber: Gasser (2003)
Setiap bagian pada bagan 01, berupa kotak, pada bagan di atas adalah gatra peran (role) dalam konteks (lihat juga Jaszczolt, 2006) yang dapat ditempati oleh siapa atau apa saja dalam situasi yang berbeda-beda. Misalnya, gatra penutur ditempati oleh orang tertentu, dan gatra tempat oleh tempat tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Terkait dengan ihwal deiksis pada kalimat di atas ( I like it ), unsur I acuannya dapat ditentukan dari konteks tuturan, yang dalam hubungan ini, siapa yang mengisi kotak gatra peran penutur (speaker). Jika yang mengisi gatra tersebut, misalnya, Mara (pria), maka dapat ditentukan bahwa acuan unsur I adalah Mara. Acuan unsur I selanjutnya dapat juga berpindah, misalnya, pada Mawa (wanita), apabila yang mengisi kotak gatra peran pada bagian di atas adalah wanita dengan nama tersebut. Bergantinya acuan ekspresi lingual yang sama disebabkan perubahan konteks terdapat juga pada it. Acuan it dapat berupa benda atau hal yang tidak sama apabila pengisi gatra peran tempat (location) terdiri dari tempat yang berbeda secara bergantian. Dukungan peranan konteks dalam penentuan makna ekspresi lingual tidak terbatas hanya dari satu faktor konteks tuturan tertentu saja, melainkan dapat juga dari kombinasi dua faktor atau lebih. Untuk penentuan acuan ekspresi lingual it di atas, misalnya, dapat dilakukan dengan mengetahui faktor konteks berupa penutur dan tempat sekaligus, yang dalam hubungan ini, siapa yang menjadi penutur serta di mana penutur mengekspresikan it tersebut. Dari contoh pemaknaan I dan it, dalam kaitannya dengan konteks tutur, Gasser memadai penjelasannya dengan memberi pengertian tentang (ekspresi) deiksis. Ekspresi deiksis, menurutnya, adalah ekspresi yang maknanya diperoleh langsung dari konteks tuturan. Artinya, makna ekspresi dapat ditentukan setelah mengetahui faktor relevan yang diacu dalam konteks tutur, yang terdiri dari: penutur, mitra tutur, lokasi, dan waktu. Adapun istilah deiksis, adalah merupakan bentuk nomina dari deiktis.
Universitas Sumatera Utara
Tentang ekspresi deiksis dan istilah deiksis tersebut, Gasser menjelaskan sebagai berikut.
[ ....... ]
deictic expression, an expression that gets its meaning directly
from the utterance context, that make reference to one or more of the roles in the utterance context: the speaker, the hearer, the location, or the time. The noun form of the word is deixis (Gasser, 2003).
Ahli lain yang memberi pengertian tentang deiksis adalah Huang (2007:132). Dalam
bukunya
Pragmatics,
dinyatakan
bahwa
deiksis,
secara
langsung,
memperhatikan hubungan antara struktur bahasa dengan konteks penggunaannya. Dari pernyataan singkatnya Huang selanjutnya merumuskan deiksis sebagai fenomena yang menunjukkan bahwa esensi konteks atau peristiwa tutur dikodekan melalui bentuk leksikal ataupun satuan gramatikal lain dari suatu bahasa. Penjelasan singkat dan rumusan Huang itu selengkapnya dikutip sebagai berikut.
Deixis is directly concerned with the relationship between the structure of language and the context in which the language is used. It can be defined as the phenomenon whereby features of context of utterance or speech event are encoded by lexical and/or grammatical means in a language (Huang, 2007:132).
Universitas Sumatera Utara
Terdapat hal implisit dan eksplisit dalam penjelasan dan rumusan deiksis Huang di atas. Dari keimplisitannya, tidak terlihat adanya tahapan proses deiksis setelah pengkodean makna ke dalam bentuk gramatika. Setelah penggramatikalan makna, seyogianya terdapat proses perealisasian bentuk-bentuk gramatikal ke dalam wujud ekspresi lingual, yang selanjutnya diikuti oleh upaya pemaknaan berdasarkan pemahaman
konteks
tuturan
(bandingkan
dengan
Levinson,
1983:54).
Keeksplisitannya terdapat pada pembedaan kemungkinan pengkodean makna ke dalam bentuk leksikal di samping bentuk-bentuk gramatikal lain dari satuan bahasa. Hal terakhir memberi pengertian bahwa kedeiktisan ekspresi lingual dapat terjadi pada tataran kata atau frasa (Kridalaksana, 1982:98), dan mungkin juga pada tataran satuan lingual lainnya yang lebih tinggi, seperti kalimat. Pengertian mendasar yang dapat diambil dari penjelasan dan rumusan keempat ahli di atas, antara lain, adalah: (1) deiksis merupakan fenomena lingual, (2) dalam deiksis terdapat pelibatan konteks dalam pemilihan bentuk ekspresi lingual yang akan dituturkan, (3) dalam deiksis terdapat pelibatan pemahaman konteks dalam penentuan makna bentuk ekspresi lingual yang telah dituturkan, (4) pemilihan bentuk ekspresi lingual dan pemaknaannya berlangsung secara sistematis, (5) pemahaman konteks adalah dalam arti luas untuk menentukan makna ekspresi lingual yang dituturkan. Dari kelima pengertian yang menjadi ciri deiksis di atas masih terlihat belum adanya pembedaan yang jelas antara deiksis dengan referensi (reference) sebab kelima
Universitas Sumatera Utara
ciri yang terdapat dalam deiksis para ahli tersebut juga merupakan ciri yang dimiliki referensi. Oleh karena itu, untuk memperoleh rumusan deiksis atau ciri lain yang dapat dioperasikan sebagai penjaring ekspresi deiksis dari tuturan, perlu pembedaan lebih dahulu antara referensi dan deiksis.
2.7 Antara Referensi dan Deiksis Dalam kajian pragmatik, referensi dan deiksis dipandang sebagai fenomena pengacuan secara lingual terhadap sesuatu agar mitra tutur atau pembaca dapat mengidentifikasinya. Sebatas itu, antara referensi dengan deiksis, belum terlihat perbedaan. Letak perbedaan keduanya justru terdapat pada keluasan ranah pengacuan masing-masing. Referensi memiliki ranah pengacuan yang lebih luas, yang meliputi sesuatu yang tentu (definite referent), yang tidak tentu (indefinite referent), dan yang umum (generic referent); sedangkan deiksis pengacuannya terbatas hanya terhadap yang tertentu saja (Kreidler, 1998:130-144; Cruse, 2004:317-328). Dari penjelasan di atas terlihat bahwa deiksis adalah bagian dari pengacuan (reference). Benar demikian halnya, tetapi pengacuan dalam deiksis adalah pengacuan yang terikat kepada konteks penutur. Untuk memaknai atau mengetahui acuan ekspresi deiksis (deictic expression) yang digunakan sebagai pengacu sesuatu yang tertentu itu, perlu pemahaman konteks yang lebih luas, yakni konteks socio-personal maupun spatio-temporal-lingual penutur yang senantiasa dapat berubah (lihat juga Levinson, 1983:65). Dalam hubungan ini, dapat dimengerti jika terdapat sebutan bahwa makna
Universitas Sumatera Utara
ekspresi deiksis adalah makna menurut perspektif penutur yang dapat berubah-ubah menurut keberadaan penutur dalam konteks yang baru disebutkan. Untuk mengetahui makna atau acuan kata sapaan paman, misalnya, kita harus memperhatikan terlebih dahulu terhadap siapa penutur mengacukan kata sapaan tersebut pada saat dituturkan dalam konteks sosial penutur berada. Jika penutur mengacukan kata sapaan tersebut terhadap C pada saat tuturan, maka makna atau acuan kata sapaan paman
adalah C, dan jika penutur, pada kesempatan lain,
menggunakannya terhadap X, maka acuannya adalah X. Kata engkau juga demikian, acuannya dapat berubah-ubah sesuai maksud penutur menggunakannya dalam konteks antar-personalnya yang berbeda. Jika
mitra tutur atau orang kedua tunggal yang
diacunya dengan engkau adalah A, maka pada saat tuturan tersebut, acuannya adalah A, dan apabila pada kesempatan lain penutur menggunakannya terhadap Y, maka pada saat tuturan tersebut acuannya adalah Y. Adverbia sekarang, juga dapat berubah-ubah acuannya sesuai maksud penutur dalam konteks temporalnya. Apabila penutur, misalnya, menuturkan adverbia tersebut pada tanggal 14 Mei 2010, acuannya pada saat tuturan adalah hari yang sama atau waktu tertentu pada hari yang sama, dan jika penutur menggunakannya pada dua hari sesudahnya, acuannya adalah hari yang berbeda, yakni hari Ahad, tanggal 16 Mei 2010. Demikian seterusnya terhadap pemaknaan ekspresi deiksis dari jenis lain. Pemaknaannya tetap dengan memperhatikan maksud penutur pada saat menuturkan ekspresi deiksis tersebut dalam konteks penggunaan masing-masing.
Universitas Sumatera Utara
Adanya keharusan pemahaman konteks tutur untuk dapat ditetapkannya acuan suatu ekspresi memberi pengertian pula bahwa setiap ekspresi lingual yang acuannya dapat diketahui tanpa keharusan pemahaman konteks tutur sifatnya tidak deiktis, walaupun ekspresi pengacu yang digunakan tersebut termasuk ke dalam kategori ekspresi deiksis. Hal demikian yang terdapat, misalnya, pada demonstrativa ini pada tuturan Ini boleh Anda ambil. Unsur ini pada tuturan tersebut adalah ekspresi lingual yang bersifat deiktis karena untuk mengetahui acuannya perlu pemahaman konteks tuturnya. Dalam hubungan ini, perlu diketahui siapa penutur serta apa yang dimaksudkannya dengan ini pada saat menuturkan tuturan tersebut. Ekspresi yang sama dapat juga tidak deiktis. Hal demikian terjadi apabila, seperti yang disebutkan di atas, acuannya dapat diketahui tanpa pelibatan pemahaman konteks tuturnya, seperti terdapat pada Anak berparut di kening ini saya temukan di simpang jalan tadi. Tanpa pelibatan pemahaman konteks tuturnya dapat ditetapkan bahwa acuan ekspresi lingual ini pada tuturan terakhir tidak lain adalah anak berparut di kening. Dari pemahaman penggunaan ekspresi lingual ini pada dua tuturan di atas diperoleh informasi bahwa kedeiktisan suatu ekspresi tidak dapat ditetapkan hanya dari kategori atau kepotensialannya sebagai ekspresi deiksis saja. Ekspresi lingual yang dikategorikan sebagai ekspresi deiksis pun sifatnya dapat berubah menjadi non-deiktis karena acuannya dapat diketahui tanpa ketergantungan kepada pelibatan pemahaman konteks tutur, seperti yang terjadi pada ini dalam tuturan terakhir di atas.
Universitas Sumatera Utara
Hal lain yang membuat ekspresi deiksis dapat berubah sifat menjadi non-deitis, dengan mengikut penjelasan Levinson (1983:65-67), adalah, apabila ekspresi tersebut (1) tidak mengacu secara khusus kepada acuan tertentu, (2) tidak digunakan sebagai pengacu sesuatu. Atas dasar itu kedua ekspresi yang dikategorikan sebagai ekspresi deiksis dalam bahasa Inggris, you dan that, misalnya, masing-masing sifatnya nondeiktis, menurut Levinson, pada tuturan You can never tell what sex they are nowadays dan Oh, I did this and that. Pada tuturan pertama, unsur you tidak mengacu secara khusus kepada acuan tertentu, berupa mitra tutur tunggal, melainkan kepada semua orang. Oleh karenanya, you pada tuturan pertama tersebut bersifat non-deiktis. Pada tuturan kedua, unsur that tidak digunakan sebagai pengacu sesuatu yang berjarak relatif jauh kepada penutur, melainkan sebagai bagian dari rangkaian idiom this and that, yang menyatakan volume kerja atau tugas yang telah dilakukan oleh penuturnya. Oleh karenanya, that pada tuturan kedua, juga, non-deiktis sifatnya. Berbeda halnya dengan ekspresi you dan that pada kedua tuturan di atas, pada kedua tuturan What did you say ? dan That’s a beautiful view, masing-masing dari kedua unsur tersebut bersifat deiktis karena digunakan untuk mengacu secara khusus kepada sesuatu yang tertentu. You pada tuturan tanya di atas, oleh penuturnya, diacukan kepada orang kedua tunggal, yang menjadi mitra tutur baginya; sedangkan that pada tuturan terakhir penuturnya gunakan untuk mengacu yang tentu, yakni, pemandangan yang lokasinya relatif jauh dari penuturnya berada pada saat tuturan. Sejauh ini, tentang siapa orang kedua tunggal tertentu yang menjadi acuan you dan
Universitas Sumatera Utara
pemandangan tertentu mana yang diacu dengan that belum diketahui secara jelas. Hal itu disebabkan oleh berbagai kemungkinan acuan berupa orang dan pemandangan yang dapat diacu dengan masing-masing ekspresi tersebut. You dan that, dalam hubungan ini, adalah ekspresi yang acuannya dapat berpindah-pindah. Untuk mengetahui dan dapat menetapkan acuannya diperlukan pemahaman konteks lagi, yakni terhadap konteks tutur masing-masing. Untuk you termasuklah, di antaranya, siapa orang kedua tunggal yang dimaksudkan oleh penutur pada saat menuturkan ekspresi pengacu tersebut; sedangkan untuk that, pemandangan mana yang dimaksudkan oleh penutur pada saat menuturkannya. Ketergantungan kepada pemahaman konteks tutur untuk dapat menetapkan acuan yang jelas kedua ekspresi you dan that menguatkan alasan untuk mengatakan bahwa keduanya adalah ekspresi lingual yang bersifat deiktis pada masing-masing tuturan terakhir di atas. Jika dielaborasi, hal yang menjadi ciri deiksis dari penjelasan di atas adalah: (1) deiksis adalah fenomena pengacuan bersifat lingual, (2) dalam deiksis terdapat ekspresi pengacu (referring expression) terhadap acuan yang dimaksud, yang disebut ekspresi deiksis, (3) acuan ekspresi deiksis dapat berpindah-pindah, (4) perpindahan acuan ekspresi deiksis disebabkan oleh perubahan konteks sosio-personal maupun spasio-temporal, dan lingual penuturnya. Dari keempat ciri deiksis di atas penulis dapat mengambil satu kesimpulan berupa rumusan deiksis yang dapat dijadikan sebagai kriteria dasar dalam melihat deiktis-tidaknya ekspresi lingual. Rumusannya, deiksis adalah fenomena pengacuan
Universitas Sumatera Utara
secara lingual yang acuan ekspresi pengacunya dapat berpindah-pindah sesuai konteks sosio-personal maupun spasio-temporal-lingual penutur atau penulisnya. Berkenaan dengan keperluan akan kriteria penentuan deiktis-tidaknya ekspresi lingual, ciri lain deiksis yang dinilai relevan dan bermanfaat dalam penelitian ini, turut dimuat pada bagian berikut ini.
1. Ekspresi deiksis pemaknaannya bergantung konteks (Levinson, 1983:66). 2. Ekspresi deiksis bersifat speaker-oriented. Makna atau acuannya adalah yang dimaksudkan oleh penutur (Huang, 2007:11). 3. Ekspresi deiksis tidak dapat diparafrasekan (Levinson, 2006b:14) 4. Ekspresi deiksis dapat digunakan untuk mengacu dengan zero complement (Cruse, 2004:338).
2.8 Kajian Sebelumnya Pengkajian deiksis telah tergolong lama. Tercatat bahwa sejak periode Yunani deiksis sudah menjadi objek kajian, utamanya oleh bidang filsafat. Namun, sebagai objek kajian ilmiah dari perspektif linguistik, deiksis baru beroleh tempat pada periode Buhler (1930). Mulanya, terdapat tiga jenis deiksis
liputan yang oleh Buhler
(Calcagno, 2003) dipandang sebagai jenis deiksis utama (main kinds of deixis). Ketiga
Universitas Sumatera Utara
jenis deiksis itu, masing-masing, adalah deiksis tempat (spacial deixis), deiksis waktu (temporal deixis), dan deiksis persona (personal deixis). Dalam perkembangan selanjutnya, Levinson (1983:85-94) memperkenalkan dua lagi jenis deiksis, yang masing-masing berupa deiksis sosial (social deixis) dan deiksis wacana (teks) (discourse (text) deixis) (Imai, 2003:6). Di Indonesia, sejauh pengamatan penulis, hingga periode tahun sembilan puluhan, liputan kajian deiksis masih berada pada seputar tiga jenis deiksis, berupa deiksis orang (personal deixis), deiksis tempat (spatial deixis), dan deiksis waktu (temporal deixis). Kenyataan itu terindikasi pada dua hasil penelitian tentang deiksis yang masing-masing dilakukan oleh Purwo (1984) dan Rahyono (1992). Pada hasil penelitian Purwo, yang termuat dalam disertasinya Deiksis Dalam Bahasa Indonesia, dan Rahyono dalam tesisnya Makna Invarian Ekspresi Deiktis Dalam Bahasa Jawa, bahasan yang dilakukan pada pokoknya masih berada pada seputar tiga jenis deiksis pertama yang tersebut di atas. Antara Purwo dengan Levinson, yang menunjukkan bahwa yang pertama tampil kurang lebih setahun kemudian setelah yang kedua, dapat memberi tafsiran, seyogianya dalam disertasi Purwo tersebut terliput juga hasil kajian tentang dua jenis deiksis terakhir (deiksis sosial dan deiksis wacana) yang termuat dalam Levinson (1983). Namun, tidak terdapatnya Levinson (1983) dalam rujukan pustaka Purwo (1984) menguatkan alasan untuk mengatakan bahwa dua jenis deiksis terakhir belum
Universitas Sumatera Utara
dikenal, atau informasinya tidak selengkap untuk tiga jenis deiksis pertama di masa Purwo (1984). Adapun yang menyusul kemudian, Rahyono (1992) dalam penelitian tesisya, tampak belum seutuhnya menambahkan kedua jenis deiksis terakhir yang disebutkan ke dalam liputan kajiannya, sekalipun dalam daftar kepustakaan tesisya tersebut tercantum Levinson (1983). Dalam hubungan ini, menurut hemat penulis, tidak terintegrasikannya kedua jenis deiksis terakhir sebagai liputan pengkajian dalam Rahyono (1992) tidak lagi disebabkan oleh tidak ada atau minimnya informasi tentang keduanya, tetapi oleh pengambilan sikap yang termotivasi oleh disertasi Purwo (1984) -- untuk menerapkannya dalam penulisan semantik bahasa Jawa (Rahyono, 1992:2). Dua jenis deiksis tambahan Levinson yang disebutkan dapat dikatakan penerapannya tergolong relatif masih baru dalam literatur kajian linguistik Indonesia. Hal itu dapat dilihat setelah tahun dua ribuan, seperti pada yang dilakukan oleh Harahap dalam penelitian tesisnya yang berjudul Analisis Deiksis dalam Bahasa Jerman, di bawah bimbingan Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. dan Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.. Pada tesisnya tersebut, Harahap telah memasukkan deiksis sosial dan deiksis wacana sebagai bagian integral dari liputan penelitiannya. Hingga sekarang ini pengintegrasian kedua jenis deiksis tersebut ke dalam kajian deiksis secara menyeluruh bersama ketiga jenis deiksis yang disebut sebelumnya, atau dengan menetapkan salah satu di antaranya sebagai objek kajian belum pernah dilakukan dalam wujud penelitian disertasi. Dalam penelitian ini penulis menyertakan semua dari kelima jenis deiksis yang disebutkan di atas sebagai objek
Universitas Sumatera Utara
penelitian dalam bahasa Mandailing. Penulis tidak membatasinya hanya pada tiga jenis deiksis liputan, yang oleh Buhler dipandang sebagai main kinds of deictics atau sebagai basic categories of deixis (Huang, 2007:136), yakni deiksis persona, deiksis tempat, dan deiksis waktu, tetapi terliput juga di dalamnya deiksis sosial dan deiksis wacana. Dari kedua jenis deiksis
yang tergolong masih baru tersebut, di samping
deiksis wacana, pengintegrasian deiksis sosial dalam kerangka penelitian ini sifatnya tampak amat relevan. Aspek sosial bahasa Mandailing dengan keunikannya, terutama yang menyangkut sistem sapaan,
adalah ranah yang cukup menarik untuk dikaji
melalui deiksis tersebut. Di samping penggunaan kata ganti persona sebagai kata sapaan pada umumnya, dalam bahasa Mandailing, ditemukan juga jenis kata sapaan lain yang dapat menunjukkan sekaligus relasi sosial atau pertalian kekerabatan yang terdapat antara penutur dengan sesama orang yang disapa. Penggunaan kata sapaan demikian dapat terlaksana sedemikian rupa, sehingga peserta yang terlibat dalam komunikasi pertuturan mengetahui posisi masing-masing dalam konstalasi sistem sosial yang berlaku. Selain itu, dengan memahami penggunaan kata sapaan tertentu, masing-masing peserta yang terlibat dalam pertuturan akan dapat menjadikannya sebagai dasar untuk bersikap tertentu pula terhadap sesama peserta tutur yang lain. Implikasi penggunaan kata sapaan semacam itu pada kenyataannya tidak terhenti dan terbatas hanya pada saat komunikasi percakapan, melainkan berlanjut sampai kepada kegiatan atau upacara
Universitas Sumatera Utara
lain yang bernuansa sosial. Bagi masyarakat penutur bahasa Mandailing unsur bahasa yang demikian adalah termasuk sesuatu yang syarat ideologi, karena kata sapaan mengandung nilai atau pengetahuan tertentu yang dapat dipedomani dalam kehidupan sosial, baik di luar maupun dalam lingkup keluarga (lihat juga Poynton, 1985:17; Kress, 1985:82-84). Dengan demikian, jenis deiksis liputan serta urutannya dalam penelitian ini dapat diperjelas melalui bagan 02. Penelitian ini berada pada tataran kata atau frasa dengan fokus perhatian, bagaimana masing-masing digunakan.
Bagan 02: Jenis deiksis liputan penelitian
DEIKSIS
DEIKSIS PERSONA
DEIKSIS TEMPAT
DEIKSIS WAKTU
DEIKSIS SOSIAL
DEIKSIS WACANA
1
2
3
4
5
2.9 Kerangka Teori Kerangka teori yang digunakan untuk masing-masing jenis deiksis pada subbagian (2.9.1 s/d 2.9.5) dimaksudkan sebagai perangkat bantu dalam memandu penulis dalam proses mewujudkan hasil penelitian ini. Kerangka teorinya berciri eklektif, tidak
Universitas Sumatera Utara
berasal dari satu sumber yang sama. Hal demikian penulis lakukan mengingat bahwa kumulasi ilmu atau teori tentang deiksis, yang dapat diperoleh, bukan merupakan sumbangan kiprah ilmiah seorang ahli atau peneliti. Kerangka teori dari masingmasing jenis deiksis pada sub-bagian 2.9 dan definisi deiksis pada 2.7 beserta ciri-ciri deiksis dari para ahli yang dimuat di bawahnya saling terkait dan berinteraksi dalam penelitian ini. Tentang ekspresi lingual mana yang dapat digolongkan ke dalam kategori masing-masing jenis deiksis penentuannya dapat juga dilakukan, antara lain, melalui pemahaman penjelasan ahli relevan untuk itu. Sebelum sampai ke bagian teori masing-masing jenis deiksis ada baiknya penulis kemukakan lebih dahulu pendapat Kearns (2000:272-273) yang menyebutkan bahwa ekspresi deiksis adalah ekspresi-ekspresi yang penentuan acuannya dilakukan melalui pemahaman konteks tuturnya secara sistematis.
Indexical expressions, also called deictic expressions are expessions which depend on the context of utterance in some systematic way for their inerpretation (Kearns, 2000:272).
Ihwal terkait menurutnya yang perlu diperhatikan dalam pemahaman konteks tutur adalah informasi tentang penutur, mitra tutur, waktu dan tempat penuturan, serta posisi sang penutur; karena masing-masing bagian konteks tutur tersebut merupakan titik taut terhadap acuan yang dimaksud dalam tuturan. Artinya, untuk mengetahui acuan ekspresi lingual dilakukan dengan cara menautkannya dengan titik taut tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Demikianlah yang terjadi dalam penentuan acuan terhadap ekspresi lingual, seperti: I, here, this, yesterday. Untuk menentukan dengan tepat acuan masing-masing dari keempat ekspresi tersebut diperlukan penautan terhadap titik taut yang relevan. Ekspresi I, misalnya, titik tautnya adalah penutur. Dengan demikian, acuan I adalah siapa orang yang menuturkannya pada saat tuturan. Dengan here dan this, titik taut keduanya adalah tempat penutur berada pada saat tuturan; karena itu, acuan kedua ekspresi lingual tersebut masing-masing adalah tempat dan objek yang dekat kepada penutur pada saat menuturkannya. Yesterday, bertitik taut kepada hari penutur menuturkan ekspresi tersebut. Oleh karena itu, acuannya adalah hari terdekat sebelum hari terdapatnya saat tuturan. Terdapatnya kesesuaian antara maksud rumusan Kearns dengan cara yang ditempuh dalam menetapkan acuan masing-masing contoh ekspresi lingual di atas dapat menjadi dasar untuk mengatakan bahwa I, here, this, dan yesterday adalah ekspresi deiksis. Dalam hubungan ini, untuk memaknai atau menetapkan acuan keempat ekspresi lingual tersebut dengan benar terdapat ketergantungan terhadap pemahaman konteks tuturnya secara sistematis (dengan berupaya mengetahui siapa penutur, tempat dan waktu ekspresi lingual relevan dituturkan). Ketergantungan pemahaman konteks tutur dalam memaknai unsur lingual, seperti yang dilakukan terhadap keempat contoh ekspresi lingual di atas, berlaku juga terhadap ekspresi lain yang tergolong ke dalam kelas masing-masing dari keempat ekspresi lingual tersebut, yang terdiri dari pronomina persona, adverbia tempat,
Universitas Sumatera Utara
demonstrativa, dan adverbia waktu. Oleh karena itu, ekspresi-ekspresi lingual yang tergolong ke dalam masing-masing kelas tersebut, menurut Kearns, potensial sebagai ekspresi deiksis. Selain itu, menurut Huang (2007:169), yang juga potensial sebagai ekspresi deiksis adalah bentuk sapaan berupa istilah kekerabatan, nama jabatan dan kepangkatan. Informasi dari Kearns dan Huang, pada 2.9, tentang unsur lingual yang potensial sebagai ekspresi deiksis memberi kejelasan kepada penulis dalam menetapkan unsur lingual mana sajakah yang menjadi objek pemerian pada setiap jenis deiksis dalam laporan penelitian ini. Objek pemerian pada deiksis persona adalah ekspresi lingual yang tergolong ke dalam pronomina persona, seperti: I, you, we, he/she dengan bentuk perubahannya dalam bahasa Inggris. Pada deiksis tempat, yang menjadi objek pemerian adalah adverbia tempat dan demonstrativa. Dalam demonstrativanya, baik yang bersifat pronominal, adjektival, dan yang adverbial. Pada deiksis waktu, objek yang diperikan adalah adverbia waktu. Pada deiksis sosial, objek pemeriannya berada pada seputar bentuk-bentuk sapaan; sedangkan pada deiksis wacana diperikan tentang adverbia tempat dan waktu, serta demonstrativa.
2.9.1 Deiksis Persona Kehadiran kategori gramatikal berwujud deiksis persona menggambarkan sekaligus peran serta (participant role) yang berbeda-beda dari setiap orang yang terlibat dalam peristiwa tuturan, atau sebagai apa orang yang terlibat (participant)
Universitas Sumatera Utara
dalam peristiwa tuturan. Konsep pemikiran ini memberikan pengertian bahwa orang digramatikalkan secara berbeda menurut peranan yang dimilikinya pada saat bertutur. Boleh jadi yang satu terhadap yang lainnya berperan sebagai penutur (speaker), mitra tutur (addressee), atau sebagai yang lain (other). Peranan setiap orang yang terlibat dalam pertuturan dapat berganti. Menurut Levinson (1983:68, 2000b), hal itu disebabkan oleh adanya pergantian giliran berbicara bagi yang lain. Pergantian semacam itu akan dengan sendirinya menjadi sebab terhadap berpindahnya origo ‘ground zero’ (istilah Buhler (1934) dalam Levinson, 2006b) untuk pusat konteks pengacuan berupa
penutur pada tempat dan waktu bertutur, yang dalam
menginterpretasi maksud tuturan selalu didasarkan pada apa yang dimaksudkannya). Dengan demikian memungkinkan bahwa saya si A adalah engkau atau kamu bagi si B, atau sini si A adalah situ si B, dan seterusnya. Pengkategorian gramatikal lazimnya membedakan deiksis persona atas persona pertama, kedua, dan persona ketiga. Persona pertama (first person) merupakan penggramatikalan pengacuan yang dilakukan oleh penutur terhadap dirinya, persona kedua (second person) sebagai penggramatikalan pengacuan yang dilakukan oleh penutur terhadap satu atau dua orang mitra tutur; sedangkan persona ketiga dimaksudkan sebagai penggramatikalan pengacuan penutur terhadap orang atau maujud lain selain penutur dan mitra tutur pada saat berlangsungnya tuturan. Dapat juga ditambahkan, menurut Levinson (1983:69), bahwa persona ketiga tidak dapat disamakan dengan persona pertama dan kedua dalam pertuturan. Persona pertama dan
Universitas Sumatera Utara
kedua adalah orang yang terlibat dalam peristiwa tutur (masing-masing sebagai penutur dan mitra tutur), sedangkan persona ketiga tidak terlibat di dalamnya (lihat juga Yule, 1996:10; LaPolla, 2006).
Tentang dasar apa yang digunakan dalam
pembedaan persona atas tiga dalam sistem pronomina persona seperti yang sudah terpola di atas terlihat tidak menjadi bagian dalam pembicaraan Levinson. Namun, dinyatakannya bahwa sistem pembagian pronomina persona dalam setiap bahasa tidak tertutup kemungkinan pengembangannya atas dasar dimensi tertentu, berupa jumlah, jender, dan sebagainya. Terkait masih dengan ihwal pronomina persona, Levinson menambahkan bahwa dalam sejumlah bahasa terdapat kemungkinan adanya dua jenis pronomina persona pertama jamak. Yang pertama bersifat inklusif, dan yang kedua eksklusif. Keinklusifan (we-inclusive-of-addressee) terjadi apabila penutur menyertakan orang kedua (mitra tutur) terliput dalam pronomina persona pertama jamak yang dituturkannya, sedangkan keeksklusifan (we-exclusive-of-addressee) terjadi apabila penutur tidak mengikut sertakan orang kedua dalam liputan pronomina persona pertama jamak yang dituturkannya. Yang lain dan tidak kurang pentingnya dalam pengkajian pronomina persona adalah kemungkinan terdapatnya perubahan bentuk dalam hal di luar hubungan peran peserta (participant role), seperti untuk kasus akusatif, posesif, maupun klitisasi. Levinson (1983), sejahuh ini, terlihat tidak membicarakannya, tetapi untuk yang
Universitas Sumatera Utara
disebutkan terakhir (klitisasi) kita diingatkan akan kemungkinan itu dalam LaPolla (2006). Pengetahuan sebatas dapat mengidentifikasi bentuk-bentuk lingual yang dapat diklasifikasikan ke dalam kelas pronomina persona (personal pronouns) dapat dikatakan belum memadai. Lazimnya setiap bahasa memiliki pronomina persona dalam jumlah tertentu, dan jumlah tersebut tidak tunggal sebab belum ada bahasa ditemukan dengan kepemilikan pronomina persona dengan jumlah hanya satu saja. Hal lanjut yang penting diketahui dari sejumlah pronomina persona dalam setiap bahasa adalah, bagaimana masing-masing pronomina persona dalam bahasa yang sama dapat berbeda atau dibedakan dari yang lainnya. Setidaknya, pertanyaan ini menyiratkan akan pentingnya kriteria tertentu yang dapat dijadikan dasar dalam membedakan setiap pronomina persona yang terdapat dalam bahasa yang sama. Alternatif yang dikemukakan oleh Gasser (2003) terkait dengan keharusan adanya kriteria dasar dalam membedakan masing-masing pronomina persona, walau tidak sepenuhnya, dapat dijadikan sebagai bagian dari kerangka teoretis dalam pengkajian terhadap pronomina persona bahasa Mandailing yang penulis lakukan. Dalam penerapan alternatif yang dikemukakannya ke dalam bahasa Inggris, Gasser bertolak dengan berpedoman kepada lima dimensi yang diperlukan dalam membedakan pronomina persona, yaitu: dimensi (1) persona (person), (2) semantik (semantics), (3) jumlah (number), (4) formalitas (formality) dan (5) jender (gender). Yang dimaksud dimensi di sini oleh Gaser adalah a kind of scale along which concepts
Universitas Sumatera Utara
can vary. Kelanjutan jabarannya, setiap konsep yang berbeda pada dimensi tertentu memiliki satu nilai (value) terhadap dimensi itu. Dari dimensi persona bahasa Inggris, misalnya, terdapat konsep yang berbeda antara yang disebut sebagai orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga. Dengan perbedaan konsep itu diperoleh dasar dalam membedakan antara I dan we sebagai pronomina persona orang pertama (first person), you dan you guys sebagai pronomina persona orang kedua (second person), dan she, he, it, serta they sebagai pronomina persona orang ketiga (third person). Dalam bahasa Inggris, menurut Gasser, hanya ketiga nilai itu saja yang diperlukan sebagai dasar untuk membedakan setiap anggota kelas pronomina dari dimensi personanya. Selanjutnya dinyatakan bahwa persona bukan satu-satunya dimensi konseptual dalam mempersepsi perbedaan yang terdapat dalam pronomina persona karena dimensi semantik (semantic dimension) terdapat juga di dalamnya. Alasannya, karena unsur lingual dengan konsep yang berbeda pada dimensi persona diwujudkan dalam bentuk lingual yang berbeda pula. Sama halnya dengan kata, dari dimensi semantiknya, dia memiliki bentuk dan makna, atau dapat juga disebut sebagai perwujudan bentuk dan makna. Dari bentuk, misalnya, terdapat dan dapat dibedakan antara I dan you, sedangkan dari segi maknanya masing-masing sebagai ‘penutur’ dan ‘mitra tutur’. Dari dimensi semantik jugalah diperoleh jumlah (number) dalam membedakan I dan we, masing-masing sebagai pronomina persona tunggal (singular) yang mengacu kepada satu orang dan pronomina persona jamak (plural) yang acuannya terhadap lebih dari satu orang.
Universitas Sumatera Utara
Tentang jumlah dalam pronomina persona pada setiap bahasa, termasuk bahasa Inggris, Gasser selanjutnya menjelaskan bahwa ditemukan hanya ada empat kemungkinan, yaitu: tunggal (singular), dua (dual), tiga (trial), dan kegandaan yang belum tentu jumlahnya (plural). Dengan menjadikan persona dan jumlah sebagai dasar pembeda pronomina persona bahasa Inggris baru dapat hasil pengklasifikasian seperti terlihat pada bagan 03 berikut.
Bagan 03: Gambaran Sementara Pronomina Persona
1 st Person 2 nd Person 3 rd Person
Singular
Plural
I you she, he, it
we you, you guys they
Pronomina persona orang ketiga tunggal she, he, dan it masih terdapat dalam kelompok yang sama yang justru masih memerlukan pembedaan lanjut; sedangkan untuk pronomina persona orang ketiga jamak tidak lagi diperlukan pembedaan karena pronomina personanya dalam kelompok itu hanya satu, yaitu they. Yang rada kompleks dari gambaran yang terlihat dari gambaran sementara pronomina persona pada bagan 03 adalah perihal pronomina persona orang keduanya. Dalam situasi berbicara dan menulis yang relatif formal yang digunakan adalah you, baik untuk yang jumlah orangnya tunggal maupun dalam jumlah jamak. Namun, pada dialek tertentu bahasa Inggris dapat juga ditemukan you guys sebagai pronomina
Universitas Sumatera Utara
persona orang kedua jamak. Itu sebabnya Gasser menempatkan you dan you guys dalam satu kelompok yang sama. Apa yang masih dapat dibaca dari bagan 03 di atas adalah bahwa masih diperlukan dimensi lain selain persona dan jumlah sebagai dasar untuk membedakan sesama anggota kelas pronomina persona pada dua kelompok, yaitu, yang terdapat pada kelompok pronomina persona orang kedua jamak dan pada kelompok pronomina persona orang ketiga tunggal. Pada kelompok pronomina persona orang kedua jamak masih terdapat dua pronomina persona yang harus dibedakan, dan ditambah tiga lagi pada kelompok pronomina persona orang ketiga tunggal. Menyangkut ihwal pembedaan pronomina persona jamak you dan you guys terlihat bahwa formalitas, yang juga sebagai sub-dimensi semantik, dapat berperan sebagai dasar dalam membedakan kedua pronomina persona tersebut. Dalam hubungan ini formalitas sebagai dimensi hanya memiliki dua nilai. Yang pertama formal, dan yang kedua adalah informal. Pada situasi yang relatif formal, seperti berbicara di arena khalayak publik atau berbicara kepada atasan, yang muncul dalam penggunaan adalah you, sedangkan you guys pada situasi yang informal. Keperluan akan dimensi lain masih dirasa perlu dalam menyelesaikan ihwal pembedaan kelompok pronomina persona orang ketiga tunggal pada bagan 03. Pemilihan dimensi jender sebagai dasar pembeda sesama anggota kelas pronomina persona orang ketiga pada bagan 03 di atas, menurut Gasser, adalah tepat karena dimensi jender dengan muatan konsep wanita (feminine), pria (masculine), dan netral (neuter) telah memadai dalam membedakan ketiga pronomina persona tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, diperoleh sebuah perangkat konseptual yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam membedakan di antara sesama anggota kelas pronomina persona bahasa Inggris. Wujud gambaran pembedaan itu, jika dibagankan, akan terlihat seperti yang terdapat pada bagan 04 berikut ini.
Bagan 04: Pronomina persona
Singular
Plural
I
we
1 st Person
2 nd Person
you
Fem.
Masc.
Neut.
she
he
it
Formal
Informal
you
you guys
3 rd Person they
(Sumber: Gasser (2003))
Universitas Sumatera Utara
2.9.2 Deiksis Tempat Levinson (1983:62-79, 1992, 2006b) pernah memberi gambaran fungsional deiksis tempat. Dari gambaran yang dibuatnya diperoleh pengertian bahwa deiksis tempat berkenaan dengan ihwal penentuan lokasi sesuatu atau objek dalam hubungannya dengan titik taut (anchorage point) pada saat tuturan. Titik taut itu dapat berupa objek atau titik pengacuan yang penentuannya dengan skala ukuran yang pasti. Disebutkan bahwa penentuan objek pada tempat deiktis sifatnya apabila ditautkan dengan lokasi partisipan berada pada saat tuturan. Partisipan yang dimaksud (dengan memperhatikan contoh yang diberikannya (Kabul is four hundred miles West of here)) adalah penutur – dengan alasan bahwa jarak 400 mil yang dimaksud pada contoh tersebut merupakan jarak antara, apabila Kabul ditautkan dengan here yang merupakan lokasi penutur berada pada saat tuturan (lihat juga Huang, 2007:149). Oleh karenanya, terkait dengan ihwal tempat, yang menjadi pusat adalah lokasi tempat penutur berada pada saat tuturan. Lokasi penutur merupakan titik tumpuan dalam menginformasikan lokasi sesuatu atau objek yang dimaksudkan. Penentuan lokasi sesuatu berpedoman pada cara dengan menautkannya pada lokasi
penutur berada pada saat tuturan.
Namun, menurut Levinson (1983:64), di luar kelaziman itu penitiktautan dapat juga terjadi kepada partisipan selain penutur. Dalam kajian deiksis tempat, penutur sendiri adalah pusat deiksis (deictic centre). Artinya, sesuatu yang menyangkut konsep tempat didasarkan pada perspektif dengan menjadikan penutur sebagai pusat orientasi (egocentric way (Levinson,
Universitas Sumatera Utara
1983:63), egocentric system (Huang, 2007:149)). Pendasaran perspektif semacam itu, menurut Levinson (1983:82-4, 2006b), perlu dibedakan dengan perspektif yang menjadikan objek (seperti televisi, mobil) sebagai pusat orientasi tempat (objectcentred way). Berbeda dengan cara pertama, yang dijadikan sebagai pusat orientasi pada cara terakhir adalah objek yang memiliki konsep tempat bawaan (intrinsic features), seperti behind, left – sebagaimana halnya terdapat pada penutur. Kesamaan konsep tempat yang diwujudkan dalam leksem yang sama dari kedua perspektif tersebut dapat menjadi sumber ketaksaan (ambiguity) dalam menentukan status kedeiktisannya. Hal semacam itu terlihat, misalnya, dalam penggunaan ekspresi tempat behind pada tuturan The cat is behind the television. Terdapat dua kemungkinan penafsiran tentang maksud behind pada tuturan tersebut. Yang pertama adalah bahwa ‘kucing’ yang dimaksud berada di belakang televisi pada posisi yang berlawanan dengan layarnya; dan yang kedua adalah, ‘kucing’ yang dimaksud berada di belakang televisi pada posisi yang berlawanan dengan bagian depan penutur di sebelah manapun penutur berada pada sekeliling televisi. Dari kedua kemungkinan tafsiran terhadap maksud leksem behind pada tuturan di atas, tafsiran pertama, menurut Levinson (1983:82-3, 2006b), tidak bersifat deiktis (non-deictic), sedangkan tafsiran kedua bersifat deiktis (deictic). Pandangan Levinson serta kemungkinan tafsiran seperti yang telah dikemukakannya dikuatkan oleh pendapat senada dari Cruse (2004:338-9) yang menyatakan bahwa ada kalanya certain locative expressions can be used either
Universitas Sumatera Utara
deictically or non-deictically. Leksem tempat yang memiliki kemungkinan mendapat penafsiran ganda seperti itu, secara garis besarnya, dapat ditemukan dalam Lyons (1977). Dengan penempatan manusia pada posisi titik nol pada dimensi vertikalhorizontal, Lyons (1977:690-6) membagi tempat atas enam konsep yang berbeda. Keenam konsep tersebut berupa leksem yang lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjukkan lokasi atau arah gerakan suatu objek. Dari dimensi vertikalnya, dengan mengikut dua arah berlawanan, diperoleh dua konsep tempat, masing-masing adalah konsep atas dan bawah. Dimensi horizontal, yang dibedakannya atas horizontal asimetris dan horizontal simetris, menghasilkan empat konsep tempat. Dari yang pertama (horizontal yang asimetris) diperoleh konsep tempat muka dan belakang; sedangkan dari yang kedua (horizontal yang simetris) diperoleh kanan dan kiri. Ekspresi tempat seperti yang dihasilkan dari pembagian Lyons pada dasarnya, oleh Levinson (1983:82), dikategorikan ke dalam ekspresi tempat yang nondeiktis. Ekspresi-ekspresi tempat seperti itu akan bersifat deiktis apabila digunakan menurut perspektif penutur, atau dengan menjadikan penuturnya sendiri sebagai pusat deiksis. Ihwal lanjut yang diperoleh dari pengamatan terhadap penjelasan Levinson adalah bahwa pengekspresian deiksis tempat terjadi dalam lingkup demonstrativa (yang terdiri dari demonstrativa pronominal, demonstrativa adjektival, demonstrativa adverbial) dan verba gerak (motion verbs). Dengan demonstrativa, relevansinya yang jelas terkait dengan penginformasian jarak jauh-dekatnya sesuatu (proximal-distal
Universitas Sumatera Utara
dimension) kepada partisipan tutur, sedangkan verba gerak bertalian dengan penginformasian arah gerakan dalam hubungannya dengan partisipan tutur pada saat tuturan. Namun, tidak semua bahasa memiliki pembagian yang sama dalam sistem demonstrativanya untuk mengungkapkan perbedaan jarak sesuatu kepada partisipan. Di antaranya ada yang membaginya, misalnya, atas dua, tiga, sampai kepada empat perbedaan jarak yang masing-masing dengan istilah yang berbeda. Bahasa yang membedakannya atas dua kategori, di antaranya, ialah bahasa Inggris, Cina, Prancis. Pembedaan atas tiga, seperti bahasa Spanyol, Arab Klasik, Inggris Klasik, Soto Selatan, sedangkan yang sampai kepada empat kategori, seperti bahasa Hausa, Samal, Wray (Saeed, 2000:174-6; Huang, 2007:152-5). Di samping pembedaan atas dimensi jarak jauh-dekat, ada juga bahasa yang membedakan demonstrativanya atas sejumlah kategori berdasarkan dimensi lain, seperti dimensi vertikal atas-bawah (elevation), kelihatan-takkelihatan (visibility) (Cruse, 2004:332-4; Levinson, 2006b:42-3; Huang, 2007:152-5). Fenomena lain sehubungan dengan ihwal tempat adalah kemungkinan adanya penggunaan ekspresi deiksis yang bersifat derivatif (derivative usage). Pada kasus seperti ini penutur, secara psikologis (psychologically), memposisikan dirinya pada posisi partisipan lain sehingga titik tumpuan yang menjadi dasar penentuan orientasi tempat menjadi berpindah (shifted) (lihat juga Lyons, 1977:579; Yule,1996:12-13; Gasser 2003). Hal demikian, menurut Yule, membuat penutur yang sudah berada jauh, dalam berkomunikasi, masih menggunakan here dengan maksud lokasi tempat
Universitas Sumatera Utara
tinggalnya, seolah-olah sang penutur masih berada di tempat itu secara fisikis (physically). Demikian juga halnya penutur dalam menuturkan I’ll come later, seolaholah sang penutur telah hadir lebih dahulu di lokasi lain (lokasi mitra tutur) sebelum dia benar-benar berada di lokasi yang akan dia tuju. Kenyataan seperti terdapat pada kedua contoh tersebut menguatkan Yule untuk mengingatkan bahwa dalam kajian tentang deiksis tempat kemungkinan lokasi menurut perspektif penutur dapat juga terjadi secara psikologis di samping secara fisikis.
2.9.3 Deiksis Waktu Ketentuan menjadikan penutur sebagai pusat deiksis, sebagaimana yang berlaku pada dua jenis deiksis sebelumnya (deiksis personal dan deiksis tempat), berlaku juga pada deiksis waktu. Artinya, terkait dengan ihwal penginformasian lokasi waktu suatu peristiwa, yang menjadi pusat (central time) adalah lokasi waktu bagi penutur dalam menghasilkan tuturannya. Lokasi waktu semacam itu lazim juga disebut saat tuturan. Tentang saat tuturan sebagai pusat orientanasi waktu, pada bagian penjelasannya, Levinson (1983:63-64) menyebutkan: “ [ ..... ] That is, if (for the purposes of semantic or pragmatic interpretation) we think of deictic expression as anchored to specific points in the communicative event, then the unmarked anchorage point, constituiting the deictic centre, are typically assumed to be as follows: (i) the central person is the speaker, (ii) the central time is the time at which the speaker produces the utterance, (iii) the central place is the speaker’s location at utterance time or CT, ....].”
Universitas Sumatera Utara
Dari penjelasan Levinson di atas, menjadikan saat tuturan sebagai pusat deiksis waktu mengimplikasikan bahwa saat tuturan juga merupakan titik taut dalam menginformasikan waktu suatu peristiwa atau kejadian. Setiap ekspresi lingual yang mengungkapkan konsep waktu deiktis sifatnya apabila waktu peristiwa yang diacu oleh ekspresi tersebut ditautkan dengan lokasi waktu saat dituturkannya ekspresi tersebut. Ekspresi lingual, seperti: tadi, sekarang, nanti, kemarin, besok, hari ini, adalah ekspresi waktu yang tidak menginformasikan lokasinya dalam garis waktu sebelum ditautkan dengan lokasi waktu saat masing-masing ekspresi tersebut dituturkan. Hal demikian menguatkan pengertian bahwa ekspresi lingual yang digunakan untuk menyatakan waktu, baru memiliki makna temporal yang jelas apabila ditautkan kepada satu titik pengacuan. Titik pengacuan yang dimaksud adalah saat tuturan itu sendiri, yang posisi temporalnya setiap saat dapat berpindah. Apabila saat tuturan itu berpindah, muatan semantis ekspresi waktu akan ikut berubah. Ekspresi waktu yang lokasi acuannya dalam garis waktu dapat berubah disebabkan berpindahnya saat tuturan, oleh Lyons (1977:682-683), disebut ekspresi yang bersifat deiktis atau dinamis. Menjadikan saat tuturan sebagai pusat deiksis waktu mengimplikasikan bahwa lokasi waktu suatu peristiwa berada sesudah, bersamaan, atau sebelum saat tuturan. Kejelasan di mana lokasi saat tuturan akan memberi kejelasan lokasi waktu setiap peristiwa dalam garis waktu. Lokasi waktu dengan muatan peristiwa yang terjadi sesudah, bersamaan, dan yang menyusul setelah saat tuturan membuat kita mengenal adanya pembagian waktu yang digramatikalkan dalam sistem kala, yang pada
Universitas Sumatera Utara
pokoknya terdiri dari pengacuan waktu lampau (past), waktu kini (present), dan waktu mendatang (future). Dengan demikian, bentuk-bentuk gramatikal yang mencirikan pembedaan lokasi waktu acuan dalam sistem kala juga bersifat deiktis (lihat juga Hoed, 1992:38-39). Kebalikannya, oleh Lyons, disebut bersifat non-deiktis atau statis apabila saat tuturan tidak berperan dalam menentukan lokasi acuan ekspresi waktu tersebut dalam garis waktu. Hal seperti itu terjadi apabila pengungkapan waktu dilakukan berdasarkan penggunaan jam, siklus waktu karena planet bumi yang berotasi, seperti: pukul sembilan pagi, tahun 2005, 14 Desember 2009, Senin, November, 17 Ramadan 2009 (cf. Levinson, 1983: 73). Waktu, sebagaimana Fillmore (Huang, 2007:144) nyatakan, memiliki dimensi tunggal (one-dimensional) dan bersifat searah (unidirectional). Antara peristiwa dengan waktu, jika dikaitkan dengan gerak, secara metaforis dapat dijelaskan sebagai berikut: (i) waktu dipandang sebagai sesuatu yang diam, dan “dunia” (penutur (Yule, 1996:14)) bergerak melaluinya dari waktu yang lalu ke waktu yang akan datang, (ii) “dunia” dipandang sebagai sesuatu yang diam, dan waktu bergerak melalui “dunia”. Penggambaran “dunia” yang bergerak pada (i) menempatkan waktu berada di depan, sehingga
memungkinkan
terbentuknya
frasa-frasa
adverbia
temporal
yang
menggunakan ‘depan’ sebagai komponennya, seperti: hari depan, minggu depan, bulan depan, tahun depan. Penggambaran pada (ii) menempatkan “dunia” sebagai yang didatangi oleh waktu yang bergerak ke arahnya. Dari gambaran itu dibentuk frasa-frasa adverbial yang menggunakan ‘mendatang’ atau ‘yang akan datang’, seperti tahun mendatang, abad mendatang, periode yang akan datang, masa mendatang.
Universitas Sumatera Utara
Pembedaan selanjutnya yang dapat dilakukan terhadap peristiwa dalam waktu, menurut Fillmore (Huang, 2007:144), adalah antara ekspresi waktu yang mengacu kepada titik waktu (time points), seperti pukul delapan; dan periode waktu (time periods), seperti besok sore. Peristiwa dalam periode waktu adalah peristiwa temporal berdurasi yang memiliki titik awal dan titik akhir waktu. Durasi dalam setiap periode dapat berbeda, sehingga memungkinkan untuk membandingkan lama suatu periode dengan periode yang lain. Di antaranya ada yang berdurasi singkat, dan ada pula yang berdurasi lama. Waktu periodik seperti itu, dalam banyak bahasa, tampil dengan mendasarkannya pada periode siang dan malam, minggu, bulan, tahun – yang berulang. Ada yang menggunakannya dengan cara berpedoman pada sistem kalenderis (calendrical), di samping yang non-kalenderis (non-calendrical). Pada sistem kalenderis, lama periode setiap satuan waktu (seperti Ramadan, Juli) serta titik tautnya telah ditentukan dan tidak berubah (absolut); sedangkan pada yang non-kalenderis, lama periode setiap satuan waktu digunakan hanya sebagai satuan ukuran waktu relatif (seperti nanti malam) terhadap titik taut tertentu yang setiap saat dapat berpindah. Dalam hal yang menyangkut adverbia temporal, menurut Levinson (1983:7475), terdapat di antaranya yang “murni” sebagai ekspresi deiksis waktu, seperti kata bahasa Inggris now, then, soon, dan recently. Disebut “murni” karena dalam penggunaannya tidak terlihat adanya keterkaitan masing-masing dengan komponen lingual pengungkap waktu yang non-deiktis, seperti Monday, year, afternoon dalam konstruksi last Monday, next year, this afternoon. Tiga frasa adverbial terakhir,
Universitas Sumatera Utara
menurut Levinson, adalah adverbia temporal kompleks karena masing-masing merupakan bentuk gabungan yang menunjukkan adanya interaksi (interaction) antara komponen deiktis (last, next, this) dengan komponen kalenderis yang tidak deiktis (Monday, year, afternoon). Menurut Levinson, ada juga adverbia temporal deiktis, seperti today, tomorrow, yesterday, yang tidak bebas dari pengertian waktu absolut atau yang kalenderis. Pembuktiannya, bahwa ketiga kata bahasa Inggris tersebut masing-masing dapat dimaknai sebagai ‘periode 24 jam sejak pukul 12.00 tengah malam yang meliputi saat tuturan, ‘periode 24 jam setelah hari saat tuturan’, dan ‘periode 24 jam sebelum hari saat tuturan’. Kedeiktisan ketiga adverbia tersebut terlihat pada fungsi penunjukan masingmasing terhadap waktu kini, waktu mendatang, dan waktu lampau; sedangkan kenondeiktisan atau corak kekalenderisannya terlihat pada periode absolut masingmasing, yang terdiri dari 24 jam sejak pukul 12.00 malam. Adverbia today, tomorrow, dan yesterday, dinyatakan dalam Levinson (1983:75), Cruse (2004:335), Huang (2007:146), mendapat prioritas penggunaan (pre-empt) untuk tidak digunakannya nama-nama hari absolut atau kalenderis terhadap hari acuan yang relevan. Penjelasan Cruse tentang hal itu, terlihat sebagai berikut. “ If the proper name of a period of time is used, additional restrictions come into play. Take first the names of days. The lexical items today, yesterday, and tomorrow have priority, so that for instance this Wednesday can not be uttered on Tuesday, Wednesday, or Thursday. Last Wednesday can not be uttered on Thursday to refer to previous day, but may be used to refer to the Wednesday of the preceding week. “
Universitas Sumatera Utara
Sebagai contoh dalam bahasa Indonesia, dari penjelasannya, adverbia Rabu ini (this Wednesday) tidak untuk digunakan pada hari dituturkannya adverbia tersebut karena hari yang sama masih dapat diacu dengan mendahulukan penggunaan hari ini (today).
2.9.4 Deiksis Sosial Deiksisi sosial dapat dipahami sebagai bidang linguistik yang membicarakan pengkodean perbedaan-perbedaan status sosial relatif di antara partisipan, terutama yang menyangkut aspek hubungan sosial yang terdapat antara penutur dengan mitra tutur ataupun antara penutur dengan acuan lainnya (Levinson, 1983:63; Huang, 2007:163). Tentang pengkodean hubungan sosial yang dimaksud, oleh Levinson (2006b), dijelaskan lagi bahwa hal itu terealisasi dalam wujud ekspresi lingual, yang diacukan, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap status sosial atau peran partisipan pada saat tuturan. Selengkapnya, penjelasan Levinson tersebut dikutip sebagai berikut. Social deixis involves the marking of social relationships in linguistic expression, with direct or obligue reference to the social status or role of participants in the speech event (Levinson, 2006b:119). Selanjutnya, ekspresi-ekspresi lingual yang merepresentasikan deiksis sosial, menurut Huang (2007:166) dapat wujud dalam bentuk pronomina persona (personal
Universitas Sumatera Utara
pronouns), bentuk sapaan (forms of address), bentuk terikat (bound forms), dan dalam bentuk pilihan kata (the choice of vocabulary). Pronomina persona dapat dikategorikan ke dalam deiksis sosial Huang dasarkan pada kenyataan bahwa pronomina persona potensial untuk menunjukkan berbagai aspek deiksis sosial, seperti penanda rasa hormat, atau pun penanda hubungan kekerabatan. Ke dalam bentuk sapaan terliput, di antaranya, nama akhir seseorang, istilah kekerabatan, nama jabatan, dan kepangkatan. Bentuk-bentuk terikat yang dimaksudkannya meliputi, berupa afiks, klitika, dan partikel. Pada pilihan kata, yang dimaksudkannya adalah terdapatnya upaya penggantian unsur lingual tertentu dengan kata pilihan lain yang menginformasikan aspek deiksis sosial. Terkait dengan penanda hormat melalui penggunaan pronomina persona, Huang mengemukakan tipe pembedaan antara bentuk biasa dan bentuk hormat untuk persona kedua tunggal (dari Brown & Gilman, 1960). Dalam bahasa-bahasa di Eropah pembedaan dengan cara tersebut dikenal dengan sebutan tipe pembedaan T/V. Masingmasing huruf merupakan perepresentasian dari pronomina persona bahasa Prancis tu dan vous. Bentuk tu adalah pronomina persona biasa untuk persona kedua tunggal, sedangkan vous merupakan pronomina persona tidak biasa yang digunakan untuk persona kedua tunggal yang dihormati. Pemilihan satu di antara kedua bentuk pronomina persona tersebut, secara tidak langsung, merupakan penggambaran tentang pandangan penutur terhadap hubungannya dengan orang yang menjadi mitra tutur. Dalam tiga bahasa asing lain, misalnya, pembedaan dengan tipe T/V tersebut dapat
Universitas Sumatera Utara
ditemukan sebagaimana terlihat pada bagan 05 (yang dimodifikasi dari Huang, 2007:166) berikut. T V -------------------------------------Jerman du Sie Belanda
je
U
Spanyol tu’ Usted -------------------------------------Bagan 05: Tipe pembedaan T/V
Pronomina persona sebagai penanda hubungan kekerabatan dapat ditemukan, misalnya, dalam penggunaan tiga bentuk pronomina persona yang berbeda dalam bahasa Parnkalla (Australia) yang masing-masing digunakan untuk mengacu kepada persona pertama dual yang memiliki perbedaan hubungan sosial kekerabatan. Pada bahasa tersebut, untuk mengacu persona pertama dual pada umumnya digunakan pronomina persona nadli, untuk persona pertama dual, yang terdiri dari ibu dan anaknya atau paman dan kemanakannya digunakan pronomina persona nadlaga; dan narrine untuk mengacu kepada persona pertama dual yang terdiri dari seorang ayah bersama satu orang anaknya.
2.9.5 Deiksis Wacana Dalam wacana, baik lisan maupun bentuk tulisan, dapat ditemukan adanya saat-saat tertentu bagi penutur atau penulis untuk melakukan pengacuan terhadap
Universitas Sumatera Utara
bagian-bagian wacana yang sama. Bagian yang diacu ada kalanya berada sebelum saat pengacuan dilakukan, seperti tergambar pada tuturan, (a) sebagaimana disebutkan sebelumnya, dan boleh jadi bagian yang diacu itu terdapat setelah saat pengacuan, sebagaimana yang diisyaratkan melalui tuturan (b) pada bab berikut, atau (c) Anda pasti belum pernah mendengar cerita ini. Penggunaan adverbia sebelumnya pada tuturan (a) mengisyaratkan adanya bagian wacana yang lebih dahulu dihasilkan sebelum saat pengacuan, sedangkan adverbia berikut pada (b) dan demonstrativa ini pada (c) mengisyaratkan adanya bagian wacana yang akan hadir setelah saat pengacuan (Levinson, dalam Laurence R. Horn & Gregory Ward (ed.), 2006:118). Levinson selanjutnya menambahkan, oleh karena wacana berada dalam rentang waktu, istilah-istilah deiksis waktu pun (seperti sebelumnya, berikut) lazim digunakan untuk menunjukkan hubungan antara bagian wacana yang diacu dengan lokasi temporal saat tuturan atau bagian kalimat yang lagi dituturkan. Tidak terkecuali dengan istilah-istilah deiksis tempat, seperti terdapat pada tuturan dalam artikel ini atau pada dua alinea di bawah, ada kalanya juga digunakan. Dinyatakannya, lebih lanjut, bahwa hal penting pada pengacuan terhadap bagian-bagian wacana yang membuatnya berciri deiktis adalah diperlukannya pemahaman konteks untuk mengetahui acuan (berupa bagian wacana) yang dimaksud. Dalam hubungan ini, presisi hasil interpretasi pengacuan terhadap bagian-bagian wacana dapat diperoleh hanya dengan mengetahui lokasi di mana pusat pengacuan berada. Pusat pengacuan itu lokasinya dinyatakan berada pada bagian yang lagi dituturkan atau dituliskan yang digunakan untuk mengacu bagian tertentu dari wacana yang sama. Diketahuinya di
Universitas Sumatera Utara
mana pusat pengacuan akan memberi penjelasan posisi bagian-bagian wacana yang dimaksudkan. Pemahaman lanjut tentang deiksis wacana diperoleh dari rumusan Huang (2007:172) yang menyebutkan bahwa pengacuan ada juga kemungkinannya terhadap bagian wacana yang sedang dituturkan. Dengan informasi tambahan dari Huang tersebut dikenal adanya tiga bagian wacana dalam kaitannya dengan pusat pengacuan. Yang pertama dan yang kedua, seperti yang diperoleh dari pendapat Levinson di atas, adalah adanya bagian wacana sebelum dan sesudah saat pengacuan, sedangkan yang ketiga adalah bagian wacana yang padanya terdapat saat pengacuan. Kejelasan tentang adanya ketiga bagian wacana tersebut dapat ditemukan pada rumusan Huang tentang deiksis wacana, sebagai berikut. Discourse deixis is concerned with the use of the linguistic expression within some utterance to point to the current, preceding or following utterances in the same spoken or written discourse (Huang, 2007:172). Sehubungan dengan adanya bagian wacana pada posisi sebelum saat pengacuan, sejumlah ahli, seperti Levinson (1983:87, 2006b), Cruse (2004:337), Huang (2007:175), menunjukkan bahwa terdapat unsur lingual tertentu yang dapat menginformasikan adanya bagian wacana tersebut. Unsur lingual tertentu semacam itu Cruse spesifikasi sebagai adverbia dalam kalimat, sedangkan letaknya, menurut Huang, berada pada posisi awal suatu tuturan. Di antaranya, dalam bahasa Inggris, adalah therefore, furthermore, anyway, but. Adverbia pertama (therefore) dan kedua (furhermore), misalnya, masing-masing dapat dimaknai dengan ‘karena itu’ dan
Universitas Sumatera Utara
‘selanjutnya’, yang menunjukkan adanya hubungan antara tuturan terdapatnya masingmasing dari kedua adverbia tersebut dengan bagian wacana yang dihasilkan sebelum saat penuturannya. Tentang status daripada unsur lingual seperti itu tidak satupun di antara ketiga ahli di atas yang menyebutnya secara tegas sebagai ekspresi deiksis, melainkan sebagai penanda wacana (Levinson, 2006b), atau unsur deiksis wacana (Cruse, 2004:337).
Universitas Sumatera Utara