BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Minuman Beralkohol Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung etanol yang diproses
dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat. Minuman beralkohol dibuat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak. Pembuatan minuman beralkohol bisa ditambahkan bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan cara mencampur kosentrat dengan etanol atau dengan cara pengenceran minuman yang mengandung etanol (Kepres RI, 1997). Menurut keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 3 tahun 1997 tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol, produksi minuman beralkohol hasil industri di dalam negeri dan berasal dari impor digolongkan menjadi 3 golongan sebagai berikut: 1) Minuman beralkohol golongan A adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol (C2H5OH) 1% sampai dengan 5%, contoh bir bintang, green sand, anker bir, asahi, san miguel, dan aneka bir lainnya. 2) Minuman beralkohol golongan B adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol (C2H5OH) lebih dari 5 % sampai dengan 20%, contoh anggur malaga, anggur kolesom cap 39, kucing anggur ketan hitam, arak kolesom, anggur orang tua, shochu, crème cacao, dan jenis minuman anggur lainnya.
6
7
3) Minuman beralkohol golongan C adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol 20% sampai dengan 55%, contoh mansion house, scotch brandy, stevenson, tanqueray, dan minuman brandy lainnya. Minuman beralkohol golongan B dan golongan C adalah kelompok minuman keras yang diproduksi, pengedaran dan penjualannya ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan. Secara sederhana peminum alkohol dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok. Kelompok pertama adalah peminum ringan (light drinker) yaitu mereka yang mengonsumsi antara 0,28 s/d 5,9 gram alkohol per hari atau ekuivalen dengan minum 1 botol bir atau kurang. Kelompok kedua adalah peminum menengah (moderate drinker). Kelompok ini mengonsumsi antara 6,2 s/d 27,7 gram per hari atau setara dengan 1 s/d 4 botol birper hari. Kelompok terakhir adalah peminum berat (heavy drinker) yang mengonsumsi lebih dari 28 gram alkohol per hari atau lebih dari 4 botol bir sehari (Widianarkoet al., 2000). 2.1.1 Absorbsi dan distribusi etanol Etanol yang masuk ke dalam saluran pencernaan akan diabsorbsi sebagian besar (80%) di usus halus, sisanya diabsorbsi di kolon. Kecepatan absorbsi tergantung pada takaran dan konsentrasi alkohol dalam minuman yang mengisi lambung dan usus. Bila etanol diminum dan dimasukkan dalam lambung yang kosong maka kadarnya dalam darah telah dapat dideteksi pada 30 - 90 menit sesudahnya. Setelah diabsorbsi, etanol akan didistribusikan ke semua jaringan.
8
Sekitar 90 - 98% etanol yang diabsorbsi dalam tubuh akan mengalami oksidasi (Zakhari, 2006). Etanol mudah berdifusi dan distribusinya dalam jaringan sesuai dengan kadar air jaringan tersebut. Semakin hidrofil jaringan semakin tinggi kadar alkoholnya. Biasanya dalam 12 jam telah tercapai keseimbangan kadar alkohol dalam darah, usus, dan jaringan (Zakhari, 2006). 2.1.2 Metabolisme dan ekskresi etanol Etanol yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami serangkaian proses biokimia. Etanol yang dikomsumsi, 90% diantaranya akan dimetabolisme oleh tubuh terutama hati oleh alkoholdehirogenase (ADH) dan koenzim nikotinamid-adenindinokleotida (NAD) menjadi asetaldehid dan kemudian oleh aldehida dehidrogenase (ALDH) diubah menjadi asam asetat. Asam asetat dioksidasi menjadi CO2 dan H2O. Piruvat, levulosa (fruktosa), gliseraldehida, dan alanin akan mempercepat metabolisme etanol (Lieber, 1994). Metabolisme etanol disajikan pada Gambar 2.1.
Etanol C2H5OH
Alkohol dehidrogenase Asetaldehid
Aldehid dehidrogenase
CH3CHO
Asam Asetat CH3COOH Siklus krebs CO2 dan H2O
Gambar 2.1 Metabolisme Etanol (Lieber, 1994)
9
Metabolisme alkohol melibatkan 3 jalur, yaitu jalur sitosol, jalur peroksisom, dan jalur mikrosom (Gambar 2.2) adalah sebagai berikut: a.
Jalur Sitosol Jalur sitosol adalah proses oksidasi dengan melibatkan alkohol dehidrogenase
(ADH). Proses oksidasi dengan menggunakan alkohol dehidrogenase terjadi di dalam hepar. Metabolisme alkohol oleh ADH akan menghasilkan asetaldehid yang merupakan produk yang sangat reaktif dan sangat beracun sehingga menyebabkan kerusakan beberapa sel atau jaringan (Zakhari, 2006). b.
Jalur Peroksisom Melalui katalase yang terdapat dalam peroksisom, hidrogen yang dihasilkan
dari metabolisme etanol dapat mengubah keadaan redoks dan pada pemakaian alkohol yang lama dapat mengecil. Perubahan ini dapat menimbulkan perubahan metabolisme lemak dan karbohidrat, yang menyebabkan bertambahnya jaringan kolagen dan dalam keadaan tertentu dapat menghambat sintesis protein (Zakhari, 2006). c.
Jalur Mikrosom Jalur ini juga sering disebut dengan Sistem Oksidasi Etanol Mikrosom
(SOEM) yang terletak dalam retikulum endoplasma, dengan pertolongan 3 komponen mikrosom (sitokrom P-450, reduktase dan lesitin) yang mengoksidasi etanol menjadi asetaldehid (Zakhari, 2006). Etanol dieliminasi melalui ginjal, paru-paru, dan minimal melalui keringat (Herfindal, 1988 dalam Wardjowinoto, 1998).
10
ETANOL
METABOLISME
SITOSOL
MIKROSOM
PEROKSISOM
Enzim Alkohol Dehidrogenase
Sitokrom Reduktase Lestin 7
Enzim Katalase Hidrogen
Hidrogen Asetaldehid
Asetaldehid
Redoks Mengecil
Asam Asetat
Kerusakan Struktur Sel
Meningkatkan Produksi ROS
Perubahan Metabolisme Lemak dan Karbohidrat
Pertumbuhan Jaringan Kolagen
Menghambat Sintesis Protein Gambar 2.2 Metabolisme etanol (Zakhari, 2006) Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan metabolisme dan penyerapan alkohol oleh tubuh manusia, antara lain:
11
1. Jumlah alkohol yang diminum Makin banyak alkohol yang diminum maka makin tinggi kadar alkohol yang dapat ditemukan dalam tubuh. 2. Keadaan mukosa lambung dan usus Adanya makanan dalam lambung saat mengonsumsi alkohol dapat mempengaruhi penyerapan.Jumlah alkohol yang dapat diserap tergantung pada seberapa cepat lambung mengosongkan isinya. Jika seseorang minum alkohol setelah makan (makanan yang mengandung karbohidrat, protein, dan lemak), maka kecepatan alkohol yang dapat diserap tubuh menjadi tiga kali lebih lambat daripada saat lambung dan usus kosong. 3. Jumlah kandungan air dalam tubuh Semakin besar tubuh manusia semakin banyak kandungan air di dalamnya karena hampir 2/3 dari berat badan manusia terdiri dari air. Alkohol dapat bercampur dengan air sehingga kepekatan alkohol dalam darah berkurang. 4. Berat badan manusia Respon tubuh terhadap alkohol antara orang kurus dan gemuk adalah berbeda. Hal ini disebabkan orang yang lebih kurus dan kecil mempunyai volume atau jumlah darah yang lebih sedikit dan organ hatinya juga lebih kecil. Oleh karena itu, kadar alkohol dalam darah yang mengalir ke organ hati akan lebih besar dan mungkin akan lebih besar lagi saat darah mengalir meninggalkan organ tersebut.
12
5. Jenis kelamin Metabolisme dan penyerapan alkohol pada wanita berbeda dengan pria. Wanita mempunyai konsentrasi alkohol darah lebih tinggi setelah mengonsumsi minuman beralkohol yang sama banyaknya dengan yang dikonsumsi oleh seorang pria. Kemampuan alkohol dalam tubuh wanita untuk memetabolisme ADH dalam perut lebih lemah daripada pria. Wanita juga memiliki kandungan air dalam tubuh lebih sedikit dari pria, sehingga konsentrasi alkohol dalam darah lebih besar jika minum dengan jumlah yang sama dan berat badan juga sama dengan seorang pria. 2.2
Radikal Bebas Radikal bebas adalah molekul yang mempunyai sekelompok atom dengan
elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas adalah bentuk radikal yang sangat reaktif dan mempunyai waktu paruh yang sangat pendek. Jika radikal bebas tidak segera dihentikan aktivitasnya, reaktivitasnya dapat
merusak
seluruh tipe
makromolekul seluler, termasuk karbohidrat, protein, lipid, dan asamnukleat (Winarsi, 2007). Mekanisme terbentuknya radikal bebas dapat dimulai oleh banyak hal, baik yang bersifat endogen maupun eksogen. Reaksi selanjutnya adalah peroksidasi lipid membran dan sitosol yang mengakibatkan terjadinya serangkaian reduksi asam lemak sehingga terjadi kerusakan membran dan organel sel (Winarsi, 2007). Peroksidasi (autooksidasi) lipid bertanggung jawab tidak hanya pada kerusakan makanan, tapi juga menyebabkan kerusakan jaringan in vivo karena dapat
13
menyebabkan kanker, penyakit inflamasi, aterosklerosis, dan penuaan. Efek merusak tersebut akibat produksi radikal bebas (ROO•, RO•, OH•) pada proses pembentukan peroksida dari asam lemak. Peroksidasi lipid merupakan reaksi berantai yang memberikan pasokan radikal bebas secara terus-menerus yang menginisiasi peroksidasi lebih lanjut. Proses secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Inisiasi ROOH + logam(n)ROO• + Logam(n-1)+ H+ X• + RH R• + XH 2) Propagasi R• + O2ROO• ROO• + RH ROOH + R• 3) Terminasi ROO• + ROO• ROOR + O2 ROO• + R• ROOR R• + R• RR 2.3
Stres Oksidatif Stres oksidatif adalah kondisi yang terjadi ketika keseimbangan antara
prooksidan dengan antioksidan bergeser ke arah reaktan (prooksidan), berpotensi menghasilkan kerusakan organik. Prooksidan adalah definisi dari radikal bebas, atom atau kelompok atom dengan elektron tunggal tidak berpasangan. Konsentrasi fisiologis pro-oksidan dapat ditentukan oleh faktor internal dan eksternal. Prooksidan
14
Reactive Oxygen Species (ROS), misalnya adalah produk normal metabolisme aerobik. Namun, di bawah kondisi patologis produksi ROS dapat meningkat, melebihi kapasitas detoksifikasi tubuh dan dengan demikian berkontribusi terhadap level molekul patologi organik. Sumber eksternal radikal bebas termasuk paparan terhadap racun lingkungan seperti radiasi pengion, ozon, dan nitrogen oksida, asap rokok (termasuk inhalasi pasif) dan logam berat, serta asupan makanan beralkohol berlebihan, lemak tak jenuh, dan bahan kimia lainnya dan senyawa hadir dalam makanan dan air (Sivonovaet al., 2004). Mekanisme terjadinya stres oksidatif pada berbagai makromolekul secara ringkas disajikan dalam Gambar 2.3. 1) Peroksidasi lemak Membran selkaya akan sumberpoly unsaturated fatty acid (PUFA), yang mudah dirusak oleh bahan-bahan pengoksidasi, proses tersebut dinamakan peroksidasi lemak. Hal ini sangat merusak karena merupakan suatu proses berkelanjutan. Pemecahan hidroperoksida lemak sering melibatkan katalisis ion logam transisi. LH + R L + RH L + O2 LOO LOO + L’H LOOH + L’ LOOH LO , LOO
, aldehid (Arief, 2012)
2) Kerusakan protein Protein lebih tahan terhadap radikal bebas daripada PUFA sehingga kecil kemungkinan dalam terjadinya reaksi berantai yang cepat. Serangan radikal bebas terhadap protein sangat jarang kecuali bila sangat ekstensif. Hal ini terjadi hanya jika
15
radikal tersebut mampu berakumulasi (jarang pada sel normal) atau bila kerusakannya pada daerah tertentu dalam protein. Salah satu penyebab kerusakan terfokus adalah jika protein berikatan dengan ion logam transisi (Arief, 2012). 3) Kerusakan DNA Kerusakan pada DNA terjadi bila ada lesi (kerusakan pada jaringan) pada susunan molekul, apabila tidakdapat diatasi, dan terjadi sebelum replikasi maka akan terjadi mutasi. Radikal oksigen dapat menyerang DNA jika terbentuk disekitar DNA seperti pada radiasi biologis (Arief, 2012). DNA sangat sensitif terhadap reaktivitas radikal bebas karena teroksidasinya DNA akan mengawali sejumlah besar derivat teroksidasi. Biomarker DNA teroksidasi
dapat
diukur
dari
8-hidroksideoksiguanosin
(8-OHdG)
dalam
urin.Pertama-tama radikal hidroksil berinteraksi dengan basa guanin membentuk radikal 8-hidroksiguanin yang merupakan oksidasi lesi mutagenik. Kemudian cincin guanin akan terbuka sehingga terjadi penghentian replikasi DNA, yang menimbulkan kesalahan enzim DNA repair (Winarsi, 2007). Radikal bebas juga dapat menimbulkan berbagai perubahan pada DNA, seperti hidroksilasi basa timin dan sitosin, pembukaan inti purin dan pirimidin, serta terputusnya rantai fosfodiester pada DNA. Kerusakan yang tidak begitu parah dapat diperbaiki oleh sistem DNA repair, namun bila cukup parah misalnya rantai DNA terputus di berbagai tempat, kerusakan tidak dapat diperbaiki akibatnya proses replikasi sel terganggu (Winarsi, 2007).
16
Kerusakan DNA yang disebabkan oleh ROS terutama diperankan oleh radikal hidroksil, akan meningkatkan radiolisis air melalui radiasi ion atau bahan kimia. Dalam hal ini terbentuk radikal oksil yang berikatan dengan logam, dan merupakan intermediate aktif dalam reaksi DNA-cleaved. Mekanisme ini mengawali terbentuknya produk degradasi. Efek biologis dari kerusakan DNA ini dapat menyebabkan mutagenesis sehingga menyebabkan kanker (Winarsi, 2007). Paparan ROS pada DNA mitokondria ditemukan pada penderita berbagai penyakit degeneratif yang berkaitan dengan aging. Akibatnya adalah penurunan fungsi mitokondria bahkan kerusakan pada DNA mitokondria. Kerusakan DNA juga dapat digunakan sebagai biomarker penyakit-penyakit degeneratif yang diakibatkan oleh ROS seperti kanker, infeksi, penyakit jantung koroner, rheumatoid, penyakit respiratorik, katarak, dan liver (Winarsi, 2007). Mekanisme masuknya radikal ke DNA dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Radikal OH menyerang DNA
17
Sumber endogen
Sumber lingkungan
Kebocoran mitokondria
Asap rokok
Ledakan respirasi
Polutan
Reaksi enzimatik
Sinar UV
Reaksi autooksidasi
Radiasi ionisasi Xenobiotik
Produksi Radikal Bebas Enzim antioksidan O2, H2O2
.OH
Peroksidasi lipid
Modifikasi basa DNA
Kerusakan sel/jaringan
Gangguan protein
Perbaikan
Gambar 2.4 Mekanisme terjadinya stres oksidatif (Harliansyah, 2009) 2.4
Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau
reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi
18
berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan cara mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya, kerusakan sel dihambat (Winarsi, 2007). Berkaitan dengan reaksi oksidasi di dalam tubuh, status antioksidan merupakan parameter penting untuk memantau kesehatan seseorang. Tubuh manusia memiliki antioksidan untuk menangkal reaktivitas radikal bebas, yang secara kontinyu dibentuk oleh tubuh. Bila jumlah antioksidan dalam tubuh kurang dari jumlah radikal bebas, kelebihannya akan menyerang komponen lipid, protein, maupun DNA hingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang disebut stres oksidatif. Namun demikian, reaktivitas radikal bebas dapat dihambat melalui 3 cara berikut (Winarsi, 2007): a. Mencegah atau menghambat pembentukan radikal bebas baru b. Menginaktivasi atau menangkap radikal dan memotong propagasi (pemutusan rantai) c. Memperbaiki (repair) kerusakan oleh radikal Antioksidan dapat berupa enzim (misalnya superoksida dismutase atau SOD, katalase, dan glutation peroksidase), vitamin (misalnya vitamin E,C,A, dan beta karoten), dan senyawa lain (misalnya flavonoid, albumin, bilirubin, seruloplasmin, dan lain-lain). Antioksidan enzimatis merupakan sistem pertahanan utama (primer) terhadap kondisi stres oksidatif. Enzim-enzim tersebut merupakan metaloenzim yang aktivitasnya sangat tergantung pada adanya ion logam. Aktivitas SOD bergantung
19
pada logam Fe, Cu, Zn, dan Mn, enzim katalase bergantung pada Fe, dan enzim glutation peroksidase bergantung pada logam Se. Antioksidan enzimatis bekerja dengan cara mencegah terbentuknya senyawa radikal bebas baru (Winarsi, 2007). Disamping antioksidan yang bersifat enzimatis, ada juga antioksidan nonenzimais yang dapat berupa senyawa nutrisi maupun non-nutrisi.Kedua kelompok antioksidan non-enzimatis ini disebut juga antioksidan sekunder karena dapat diperoleh dari asupan bahan makanan, seperti vitamin C, E, A dan beta karoten.Glutation, asam urat, bilirubin, albumin, dan flavonoid juga termasuk dalam kelompok ini.Senyawa-senyawa tersebut berfungsi menangkap senyawa oksidan serta mencegah terjadinya reaksi berantai.Komponen-komponen tersebut tak kalah penting perannya dalam menginduksi status antioksidan (Winarsi, 2007). Mekanisme antioksidan memiliki 2 fungsi, fungsi pertama merupakan fungsi utama yaitu sebagai pemberi atom hidrogen.Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal (R•, ROO•) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A•) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipid (Winarsi, 2007), dengan reaksi sebagai berikut: AH + OH• H2O + A• Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme di luar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipid ke bentuk lebih stabil. Radikal-radikal
20
antioksidan (A•) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul lipid lain membentuk radikal lipid baru (Winarsi, 2007). -
-
Inisiasi : R• + AH RH + A• (Radikal lipid) (antioksidan primer) (radikal antioksidan) Propagasi : ROO• + AH ROOH + A• Terminasi A• + A• AA
Antioksidan dapat menangkap radikal hidroksil dengan mendonorkan atom hidrogen sehingga dapat menurunkan kadar 8-OHdG akibat serangan radikal, sesuai Gambar 2.5.
Ket: A-H = antioksidan Gambar 2.5 Mekanisme antioksidan menangkap radikal OH*
21
Gambar 2.6 merupakan skema yang menunjukkan mekanisme perbaikan kerusakan DNA melalui daur redoks sel oleh antioksidan vitamin C. (AA = ascorbic acid, DHA= dehydro ascorbic acid, LOO· = lipid peroxyl radical, NER = nucleotide excision repair, TCR = transcription coupled repair)
Gambar 2.6 Mekanisme perbaikan DNA oleh antioksidan (Harliansyah, 2011)
Antioksidan mampu menurunkan ekspresi enzim nitrit oksida sintase (iNOS), α-TNF dan NFκB yang merupakan faktor transkripsi. Di sisi lain, dapat pula menekan proliferasi sel kanker melalui pengaktifan sitokrom C dan kaspase sehingga terjadi peningkatan ekspresi protease pengaktif faktor-1 (Apaf-1) untuk menginduksi kematian sel. Peranan antioksidan ditunjukkan melalui kemampuannya menghambat oksidasi biologi dan tahap inisiasi guna mencegah aktivasi karsinogen (blocking
22
agent) serta menghambat tahap promosi dan progresi dengan cara menekan proliferasi (Harliansyah, 2011). 2.5
Senyawa 8-hidroksi-2’-deoksiguanosin (8-OHdG) ROS sendiri sangat reaktif dan memiliki waktu paruh yang sangat pendek,
penentuan langsung dari ROS dalam jaringan atau cairan tubuh umumnya tidak praktis. Oleh karena itu, pengukuran oksidatif DNA, protein, lipid, dan gula dalam sampel biologis telah diharapkan sebagai senyawa penanda untuk mendeteksi penyakit yang diakibatkan oleh ROS (Ogino and Wang, 2007). Senyawa 8-hidroksi-2’-deoksiguanosin (8-OHdG) adalah hasil oksidasi guanin oleh ROS. Dengan teroksidasinya guanin pada untai DNA, maka untai DNA akan kehilangan nukleotida guanin. Jumlah hilangnya guanin tergantung kadar ROS (Ozawa, 1995 dalam Sudjarwo, 2004). Struktur 8-OHdG dan 2’deoksiguanosin disajikan dalam Gambar 2.7 dan 2.8, untuk mekanisme terbentuknya 8-OHdG dari 2’deoksiguanosin disajikan dalam Gambar 2.9.
Gambar 2.7 Struktur 8-OHdG (Ogino and Wang, 2007)
Gambar 2.8 Struktur kimia 2’-deoksiguanosin (Ogino and Wang, 2007)
23
O N
HN
H H2N
N
N OH
O
C4-OH-adduct radical O
N
HN
H H2N
dR
N
HN
N
N
OH
OH
+
H
OH H2N
O H
H
H
H
H OH
N
N
dR
C5-OH-adduct radical O
dR = 2'-deoxyribose N
HN
H2N
OH H
N
N
dR
C8-OH-adduct radical
O
O N
HN
H2N
OH H
N
N
H N
HN
e , H H2N
N
N
dR
dR
C8-OH-adduct radical
7-Hydro-8-hydroxy-2'-deoxyguanosine
e , -H
O
O H N
HN
OH H
N
HN
OH
O H2N
N
N dR
8-oxodG
H2N
N
N dR
8-OHdG
Gambar 2.9 Mekanisme oksidasi 2’-deoksiguanosin menjadi 8-OHdG oleh ROS (Valavanidis et al., 2009)
24
Produk yang paling representatif yang dapat dihasilkan dari kerusakan oksidatif pada sel DNA adalah 8-hidroksi-2’-deoksiguanosin (8-OHdG), sebuah produk oksidatif basa guanin pada DNA. ROS menyerang atom C nomor 8 pada basa nukleotida. Meskipun basa nukleotida yang lain juga dapat bereaksi dengan ROS dengan cara yang sama, namun hasil dari oksidasi guanosin menjadi 8-OHdG hasilnya paling melimpah karena relatif mudah terbentuk promutagenik (Valavanidis et al., 2009). Peningkatan kadar 8-OHdG telah ditemukan dalam serum dan miokardium pasien dengan gagal jantung dan dalam urin pasien dengan penyakit Parkinson. Banyak metode seperti HPLC-ECD, GC-MS, LC-MS, dan immunoassay telah dilakukan untuk mengukur 8-OHdG dalam spesimen biologi dan ditelaah secara rinci dalam beberapa artikel (Ogino and Wang, 2007). 2.6
Buah Kakao (Theobroma cacaoL.) Kakao (TheobromacacaoL.)
merupakan tumbuhan berwujud pohon yang
berasal dari Amerika Selatan. Biji tumbuhan ini dihasilkan produk olahan yang dikenal sebagai kakao (Plant Database, 2012). Pohon kakao memiliki tinggi 12-25 kaki, serta cabang di bagian puncaknya. Batangnya tegak, lurus dan panjang 1,5-2 meter. Kayunya terang dan putih, kulit kayunya tipis, halus, dan kecoklatan. Benihnya banyak berukuran 2,5 cm, bagian luarnya berwarna merah kecoklatan, bagian dalam kakao gelap dan dibungkus dengan
25
lapisan putih, manis serta berminyak (Ide, 2008). Bentuk buah kakao disajikan dalam Gambar 2.10.
Gambar 2.10 Buah KakaoTheobroma cacao L. (Plant Database, 2012) Klasifikasi buah kakao (Plant database, 2012): -
Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
-
Subkingdom
: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
-
Super Divisi
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
-
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
-
Kelas
: Magnoliopsida (Berkeping dua/dikotil)
-
Subkelas
: Dilleniidae
-
Ordo
: Malvales
-
Famili
: Sterculiaceae
-
Genus
: Theobroma
-
Spesies
: Theobroma cacao L.
26
Antioksidan utama dalam kakao merupakan anggota dari sub-grup flavonoid yang disebut katekin. Selain sebagai antioksidan, katekin yang memberikan warna pada biji kako. Biji kakao langsung difermentasi setelah di panen dari buah kakao supaya aroma bijinya keluar (Ide, 2008). 2.7
Tikus Wistar Hewan coba merupakan hewan yang dikembangbiakkan untuk digunakan
sebagai hewan uji coba. Tikus sering digunakan pada berbagai macam penelitian medis selama bertahun-tahun. Hal ini dikarenakan tikus memiliki karakteristik genetik yang unik, mudah berkembang biak, murah serta mudah untuk mendapatkannya. Tikus merupakan hewan yang melakukan aktivitasnya pada malam hari (nocturnal) (Ardhiansyah, 2012). Gambar tikus wistar disajikan dalam Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Tikus Wistar(Ardhiansyah, 2012) Sebuah galur atau strain yang mengacu pada tikus adalah sebuah kelompok yang semua anggotanya secara genetik mempunyai ciri yang identik. Pada tikus, ciri ini dicapai melalui perkawinan sedarah dengan memiliki populasi jenis ini mungkin
27
untuk dilakukan percobaan pada peran gen, atau melakukan percobaan yang mengecualikan variasi dalam genetika sebagai faktor. Sebaliknya, outbred strain digunakan ketika identik genotip tidak diperlukan atau populasi acak diperlukan, dan lebih didefinisikan sebagai leluhur pembanding strain (Estina, 2011). Tikus wistar merupakan tikus albino spesies Rattus norvegicus. Jenis galur ini dikembangkan di Institut Wistar pada tahun 1906 untuk digunakan dalam biologi dan penelitian medis. Jenis Tikus ini merupakan galur tikus pertama yang dikembangkan sebagai model organisme (Estina, 2011). Tikus Wistar saat ini menjadi salah satu tikus paling populer yang digunakan untuk penelitian laboratorium.Ciri tikus ini adalah mempunyai kepala lebar, telinga panjang, dan memiliki ekor panjang (tidak melebihi panjang tubuhnya). Galur tikus Sprague Dawley dan Long-Evans dikembangkan dari tikus galur Wistar. Tikus Wistar lebih aktif daripada jenis lain seperti tikus Sprague dawley (Estina, 2011). 2.7.1 Konversi manusia ke tikus Konversi dosis pada manusia dengan berat badan 70 kg ke tikus Wistar dengan berat badan 200 gram adalah 0,018 (Indrapraja, 2009). Konversi usia manusia ke tikus adalah usia 10 tahun pada manusia sama dengan 1 bulan (4 minggu) pada tikus wistar (Umami, 2012). 2.8
Ekstraksi Ekstraksi dapat diartikan sebagai proses penarikan keluar senyawa-senyawa
yang terdapat pada tumbuhan atau hewan dengan menggunakan suatu pelarut. Pelarut
28
yang digunakan sebaiknya memiliki sifat kepolaran yang mirip dengan senyawa yang akan diekstrak, tidak toksik, tidak mudah menguap, dan harganya murah (Iskandar, 2000). Maserasi merupakan metode ekstraksi yang paling sederhana dalam proses penarikan bahan dalam suatu komponen sampel. Sejumlah sampel yang telah dihaluskan direndam selama 2 hingga 14 hari dengan pelarut organik dalam suatu wadah atau toples tertutup dan dilakukan pengocokan beberapa kali (Lenny, 2006). Banyaknya pelarut yang digunakan umunya ditentukan sesuai kebutuhan untuk merendam sampel 2 hingga 3 cm di atas permukaan sampel yang direndam. 2.9 Partisi Partisi bertujuan untuk memisahkan senyawa-senyawa kimia dalam ekstrak kasar berdasarkan kepolarannya. Senyawa-senyawa nonpolar akan larut ke dalam pelarut nonpolar dan senyawa-senyawa polar akan larut kedalam pelarut polar. Pada umunya partisi dimulai dengan pelarut nonpolar seperti n-heksana atau petroleum eter untuk menarik senyawa-senyawa nonpolar. Partisi dilanjutkan dengan menggunakan pelarut semipolar seperti kloroform, etil asetat, atau aseton untuk menarik senyawa semipolar. Terakhir, partisi dilakukan dengan menggunakan pelarut polar seperti metanol atau n-butanol untuk menarik senyawa-senyawa polar (Underwood, 2002). Teknik yang paling umum digunakan untuk metode ini adalah menggunakan corong pisah dengan menggunakan 2 pelarut yang saling tidak bercampur. Untuk senyawa-senyawa yang berwarna partisi dihentikan bila ekstrak terakhir tidak
29
berwarna. Sedangkan untuk senyawa tidak berwarna dihentikan setelah 3 hingga 4 kali penggantian pelarut (Underwood, 2002). 2.10 Uji Aktivitas Antioksidan secara in vitro dengan Metode DPPH Metode DPPH
digunakan untuk mengevaluasi kemampuan antioksidan
untuk mengikat radikal bebas yang merupakan faktor utama dalam kerusakan biologis
yang disebabkan oleh reaksi oksidasi. Uji ini memberikan informasi
mengenai kemampuan antioksidan dari senyawa yang diujikan. DPPH merupakan radikal bebas yang stabil pada suhu kamar dan sering digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstra bahan alam (Suhanya, 2009). Struktur molekul radikal DPPH dapat dilihat pada Gambar 2.12.
Gambar 2.12 Struktur 2,2-diphenil-1-picrylhidrazyl (DPPH) (Suhanya, 2009) Mekanisme reaksi yang terjadi adalah proses reduksi senyawa DPPH oleh antioksidan yang menghasilkan pengurangan intensitas warna dari larutan DPPH. Pemudaran warna akan mengakibatkan penurunan nilai absorbansi sinar tampak. Reaksi yang terjadi adalah pembentukan α,α-diphenyl-β-picrylhidrazine, melalui
30
kemampuan antioksidan menyumbang hidrogen. Semakin pudarnya warna DPPH setelah direaksikan dengan antioksidan menunjukkan kapasitas antioksidan yang semakin besar pula (Suhanya, 2009).Gambar 2.13 berikut adalah salah satu contoh reaksi radikal DPPH dengan senyawa antioksidan.
DPPH-ungu
antioksidan
DPPH tereduksi-kuning
Gambar 2.13 Reaksi antioksidan dengan DPPH (Suhanya, 2009) 2.11 Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Teknik ELISA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1972 oleh Engval dan Perlman. Teknik ini dapat digunakan untuk mendeteksi zat antibodi atau antigen. Prinsip dari uji ELISA adalah reaksi kompleks antigen-antibodi dengan melibatkan peran enzim konjugasi anti spesien imunoglobulin dan substrat sebagai indikator dalam reaksi. ELISA kit untuk penanda kerusakan DNA teroksidasi adalah pengembangan immunoassay berdasarkan enzim kompetitif untuk mendeteksi dan kuantisasi 8OHdG dalam urin, serum, dan sel atau jaringan sampel DNA secara cepat. Sejumlah sampel 8-OHdG ditentukan dengan membandingkan absorbansi sampel dengan kurva
31
standar.ELISA kit 8-OHdG memiliki batas deteksi antara 100 pg/mL hingga 20 ng/mL. Setiap kit terdapat reagent untuk analisis hingga 96 well termasuk kurva standar dan sampel (Cell Biolabs, Inc). Prinsipnya, sejumlah sampel yang mengandung 8-OHdG atau standar pertama kali ditambahkan pada 8-OHdG/BSA konjugat yang sebelumnya telah ada dalam microplate.Kemudian setelah dilakukan inkubasi awal, antibodi 8-OHdG monoklonal ditambahkan, selanjutnya ditambahkan HRP sebagai antibodi kedua.Senyawa 8OHdG yang terdapat dalam sampel ditentukan dengan membandingkannya dengan kurva standar 8-OHdG (Cell Biolabs, Inc).