4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Jelly 1. Definisi Jelly Jelly adalah produk minuman semi padat yang terbuat dari sari buah-buahan yang dimasak dalam gula. Gula dalam pembuatan jelly berfungsi menurunkan tekanan osmotik, sehingga bakteri tidak dapat tumbuh dan produk ini dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama, disamping itu juga berfungsi sebagai pengendap pektin. Penambahan gula akan mempengaruhi keseimbangan pektin dalam air yang ada. Pektin akan menggumpal dan membentuk suatu serabut halus, struktur serabut tersebut mampu menahan cairan. Makin tinggi kadar pektin, makin padat stuktur serabut tersebut. Makin tinggi gula, makin berkurang air yang ditahan oleh struktur. Pektin adalah suatu struktur koloid yang reversibel dan dapat larut dalam air, diendapkan, dipisahkan dan dikeringkan. Pektin berasal dari perubahan protopektin selama proses pemasakan buah, kadar pektin kurang dari 1% cukup untuk membentuk struktur yang memuaskan. Buah-buahan dapat memperoleh karakteristik pembentuk jelly dari pektin tersebut. Disamping gula dan pektin, asam juga mempengaruhi kepadatan struktur jel. Kondisi pH optimum adalah 3,2. Tingkat keasaman yang terlalu rendah akan mengakibatkan jelly lemah atau hancur karena terjadi hidrolisa pektin, tetapi bila
4
5
tingkat keasaman terlalu tinggi, jelly tidak terbentuk karena jelly mengalami dehidrasi (Siti Aminah dan Nur Hidayah, 2004). 2. Proses Pembuatan Jelly Proses pembuatan jelly ada dua cara : a. Cara I : 1) Buah dibersihkan, dilakukan blanching, dihancurkan dengan blender penambahan air 1-2 bagian berat buah. 2) Dilakukan pemasakan 1 jam, angkat dan diamkan 30 menit sampai pektin yang terkandung didalam buah terekstraksi semua. 3) Dilakukan penyaringan, sampai diperoleh sari buah jernih. 4) Ditambahkan gula 65% dan asam sitrat atau sari jeruk nipis sampai pH 3,2. 5) Campuran tersebut dimasak sampai titik kekentalan jelly tercapai. 6) Tes dengan sendok atau garpu dan hand refraktometer, kadar gula 6568%. 7) Ditambahkan Na Benzoat 0,1%, kemudian ditambahkan zat pewarna secukupnya. 8) Dilakukan pembotolan dalam keadaan panas. 9) Dipasteurisasikan selama 30 menit. b. Cara II : 1) Buah dibersihkan, dilakukan blanching, Daging buah dipotong-potong kemudian dihancurkan dengan blender, tambahkan air 1:1, saring.
6
2) Sari buah ditambahkan gula dengan perbandingan 45:55 (bagian berat), tambahkan perasan air jeruk atau asam sitrat sampai mencapai pH 3,2. 3) Dipanaskan larutan hingga kadar gula 68%, untuk memperbaiki struktur dapat ditambahkan albedo. 4) Ditambahkan Na Benzoat 0,1%, kemudian ditambahkan zat pewarna secukupnya. 5) Dilakukan pembotolan. 6) Dipasteurisasikan selama 30 menit. (Siti Aminah dan Nur Hidayah, 2004).
B. Bahan Tambahan Makanan Menurut Permenkes RI No 722/MENKES/PER/IX/1988, yang disebut bahan tambahan makanan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredient khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk membantu pengolahan makanan (termasuk organoleptik) baik dalam proses pembuatan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk menghasilkan suatu komponen yang mempengaruhi sifat khas makanan tersebut. Macam- macam bahan tambahan makanan 1. Antioksidan Bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau menghambat oksidasi.
7
2. Antikempal Bahan tambahan makanan yang dapat mencegah mengempalnya makanan yang berupa serbuk. 3. Pengatur keasaman Bahan tambahan makanan yang dapat mengasamkan, menetralkan dan mempertahankan derajat keasaman makanan. 4. Pemanis Buatan Bahan tambahan makanan tanpa nilai gizi yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan. 5. Pemutih dan pematang tepung Bahan tambahan makanan yang dapat mematangkan dan mempercepat pemutihan tepung hingga dapat memperbaiki mutu. 6. Pengemulsi dan Pemantap Bahan tambahan makanan yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan sistem dispersi yang homogen pada makanan. 7. Pengawet Bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh jasad renik. 8. Pewarna Bahan tambahan makanan yang dapat memperkuat warna yang sudah ada, memberi keseragaman warna, mempertahankan warna yang hilang dan memberikan warna tertentu terhadap bahan pangan yang tidak berwarna.
8
9. Pengeras Bahan tambahan makanan yang dapat memperkeras atau mencegah pelunakan makanan. 10. Sekuestran Bahan tambahan makanan yang dapat mengikat ion logam yang ada dalam makanan sehingga dicegah terjadinya oksidasi yang dapat menimbulkan perubahan warna dan aroma. 11. Enzim Bahan tambahan makanan yang berasal dari hewan, tanaman atau jasad renik yang dapat menguraikan makanan secara enzimatis. 12. Penambah gizi Bahan tambahan makanan yang berupa asam amino, mineral atau vitamin baik tunggal maupun campuran, yang dapat memperbaiki atau memperkaya nilai gizi makanan (Arpah, 1996).
C. Zat Pewarna Zat pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Penambahan zat pewarna pada makanan dimaksudkan untuk memperbaiki warna pada makanan yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan , untuk memperbaiki warna pada makanan yang tidak berwarna agar kelihatan lebih menarik ( F. G. Winarno, 1988).
9
Selain sebagai faktor yang ikut menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan. 1. Macam-macam zat pewarna a. Zat pewarna alami Adalah zat pewarna yang diperoleh dari sumber alami. Misalnya, Kurkumin (berasal dari kunyit), biksin (dari biji anato) dan antosianin (dari buah-buahan berwarna merah). b. Zat pewarna identik alami Adalah zat pewarna yang dibuat dengan cara sintetis kimia sehingga secara kimiawi indentik dengan zat pewarna yang ditemukan di alam. Misalnya, Betakarotin (kuning orange), dan Canthaxanthin (merah). c. Zat pewarna sintetis Adalah zat pewarna yang tidak ditemukan dialam dan dibuat melalui sintesa kimia. Misalnya, Sunset Yellow (jingga kekuningan), Tartrasin (kuning), Amarant (merah tua), Briliant Blue (biru). Zat pewarna yang diijinkan penggunaannya dalam makanan dikenal sebagai certified color (Muti Arintawati, 1996). Ada dua macam yang tergolong certified color yaitu: 1). Dyes Adalah zat pewarna bersifat larut dalam air tetapi tidak larut dalam lemak. Dyes tidak dapat larut hampir dalam semua pelarut organik. Jika yang akan dipakai mengandung air, zat pewarna ini
10
dapat dilarutkan dalam gliserin atau alkohol. Zat pewarna ini stabil penggunaannya dalam makanan. Dyes diperjualbelikan dalam bentuk serbuk, pasta butiran, maupun cairan yang penggunaannya tergantung dari kondisi bahan, kondisi proses dan zat pewarna sendiri. 2). Lakes Adalah zat pewarna yang dibuat melalui proses pengendapan dan absorbsi dyes pada bahan dasar substrat yang tidak dapat larut dalam air, alkohol dan tidak larut pada hampir semua pelarut. Lakes diijinkan pemakaiannya sejak tahun 1959 dan penggunaannya meluas dengan cepat. Lakes digunakan untuk produk makanan yang kadar airnya rendah sehingga tidak cukup untuk melarutkannya. Lakes mempunyai stabilitas yang tidak baik dari pada dyes ( F. G. Winarno, 1991) 2. Peraturan penggunaan zat pewarna Di Indonesia peraturan mengenai penggunaan zat pewarna yang diijinkan diatur dalam Permenkes RI No.722/MENKES/PER/IX/1988 mengenai bahan tambahan makanan dan zat pewarna sintetis yang dilarang penggunaannya
diatur
dalam
Permenkes
RI
No.
239/MENKES/PER/VI/1985 ( F. G. Winarno, 1994). 3. Hubungan antara kesehatan dengan penggunaan zat pewarna sintetis Warna merupakan komponen yang sangat penting dari suatu bahan pangan atau makanan. Penambahan zat pewarna sintetis dimaksudkan untuk
11
memperkuat
warna
mempertahankan
yang
warna
yang
ada,
memberi
hilang
akibat
keseragaman pengolahan,
warna, sehingga
memperoleh warna yang menarik dan seragam dari bahan aslinya serta sebagai indikator visual untuk kualitas. Warna disamping menguntungkan dalam suatu bahan pangan dapat juga merugikan kesehatan konsumen, yaitu apabila penggunaanya melebihi ketentuan yang diijinkan. Penambahan dalam bahan makanan yang melebihi ketentuan dapat menyebabkan berbagai penyakit, diantaranya yaitu perubahan gen dan penyakit syaraf kanker (Srie Woelans, 1982).
D. Pemeriksaan Zat Pewarna Dengan Metode Kromatografi 1. Definisi Kromatografi Kromatografi adalah suatu metode fisika untuk pemisahan dimana komponenkomponen yang akan dipisahkan didistribusikan antara dua fase, selah satu fase merupakan lapisan stasioner dengan permukaan yang luas, dan fase berupa zat alir (fluid) yang mengalir lambat menembus atau sepanjang lapisan stasioner itu. Fase stasioner dapat berupa zat padat atau cair dan fase geraknya dapat berupa cairan atau gas. Cara-cara kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat-sifat dari fase tetap, yang dapat berupa zat padat atau zat cair. Jika fase tetap berupa zat padat maka
cara
tersebut
dikenal
sebagai
kromatografi
serapan
(absorbtion
chromatography), jika zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi (Partition chromatography). Karena fase gerak dapat berupa zat cair atau gas maka semua
12
ada empat macam sistem kromatografi. Keempat macam sistim kromatografi tersebut adalah: a. Kromatografi cairan-padat/ kromatografi serapan meliputi: kromatografi lapisan tipis, kromatografi penukar ion. b. Kromatografi cairan-cairan/ kromatografi partisi meliputi: kromatografi kertas. c. Kromatografi gas-padat meliputi: kromatografi gas padat. d. Kromatografi gas-cairan meliputi: Kromatografi gas cair (Hardjono Sastrohamidjojo, 1985). 2. Macam Kromatografi Ada beberapa cara dalam mengelompokkan teknik kromatografi. Kebanyakan berdasarkan pada fase yang digunakan (fase gerak - fase diam). Cara pengelompokan lainnya berdasarkan mekanisme yang membuat distribusi fase. Dalam metode kromatografi sebagian dikelompokkan berdasarkan macam fase yang digunakan dan sebagian lain berdasarkan pada mekanisme dan distribusi fase, yaitu sebagai berikut: a. Kromatografi cairan-padat atau kromatografi serapan Ditemukan oleh Tswett dan dikenalkan kembali oleh Kuhn dan Lededer pada tahun 1931. Kromatografi didasarkan pada retensi zat tertentu oleh absorbsi permukaan. Teknik ini sangat luas untuk analisis organik dan biokimia. Pada kromatografi ini suatu substrat padat bertindak sebagai fase diam. Pada umumnya sebagai isi kolom adalah silica gel atau alumina, yang
13
mempunyai angka banding luas permukaan terhadap volume sangat besar (Sudjadi, 1988) b. Kromatografi cairan-cairan atau kromatografi partisi Dikenalkan oleh Martin dan Synge pada tahun 1941, dalam kromatografi ini suatu pemisahan dipengaruhi oleh distribusi sampel antara fase cair diam dan fase cair bergerak dengan membatasi kemampuan pencampuran zat yang dilarutkan akan terdistribusi dengan sendirinya diantara dua fase zat cair (tetap dan bergerak) sesuai dengan koefisien partisinya (S. M. Khopkar, 1990). c. Kromatografi gas-padat Digunakan sebelum tahun 1800 untuk memurnikan gas. Dasar kerjanya adalah absorbsi (serapan). Kromatografi ini sangat sukar digunakan secara berulang dengan hasil yang sama. Hal ini disebabkan bahwa aktifitas dari penyerapan
bergantung
pada
cara
pembuatannya.
Tetapi
dalam
perkembangannya kromatografi padatan gas lebih penting yaitu setelah ditemukannya penyerap - penyerap yang lebih baik (S. M. Khopkar, 1990). d. Kromatografi gas-cairan Metode ini menjadi popular setelah tahun 1995. Dalam kromatografi gas, fase bergeraknya adalah gas dan zat terlarut terpisah sebagai uap. Pemisahan tercapai dengan partisi sampel antara fase gas bergerak dan fase diam berupa cairan dengan titik didih tinggi (tidak mudah menguap) yang terikat pada zat padat penunjangnya. Alat kromatografi cairan gas sangat mudah dioperasikan, interprestasi langsung dari data yang diperoleh dapat dikerjakan dan harga dari alat tersebut relatif murah (S. M. Khopkar, 1990).
14
3. Kromatografi Kertas Berbagai jenis pemisahan yang sederhana dengan kromatografi kertas telah dikerjakan dimana proses dikenal sebagai “Analisa Kapiler’’. Metode-metode seperti ini sangat bersesuaian dengan kromatografi serapan dan sekarang kromatografi kertas dipandang sebagai perkembangan dari sistem partisi. Mula-mula telah dilakukan pemisahan asam-asam amino dan peptida-peptida yang merupakan hasil hidrolisa protein wool dengan suatu cara dimana kolom yang berisi bubuk diganti dengan lembaran kertas dan kemudian diletakkan dalam bejana tertutup yang berisi uap jenuh larutan. Pada kromatografi kertas peralatan yang dipakai tidak perlu alat-alat yang teliti atau mahal. Hasil-hasil yang baik dapat diperoleh dengan peralatan dan materi-materi yang sangat sederhana. Senyawa-senyawa yang terpisahkan dapat dideteksi pada kertas dan dapat segera diidentifikasikan. a. Kertas untuk kromatografi Pekerjaan dalam kromatografi kertas dilakukan dengan menggunakan kertas saring Whatmann no.1. Kertas dalam pemisahan mempunyai pengaruh pada kecepatan aliran pelarut. Efek-efek serapan disebabkan oleh sifat polar dari gugus-gugus hidroksi dimana ini kemungkinan sangat penting dan sejumlah kecil dari gugus karboksil dalam selulosa dapat menaikkan terhadap efek-efek pertukaran ion. Kecepatan aliran naik dengan penurunan kekentalan dari pelarut (dengan kenaikan dalam suhu), tetapi aliran pelarut pada suhu tertentu ditentukan oleh kerapatan dan tebal dari kertas. Kertas-kertas yang lebih tebal biasanya
15
digunakan untuk pemisahan pada jumlah yang lebih besar, karena mereka dapat menampung lebih banyak cuplikan tanpa menaikkan area dari noda mula-mula (Hardjono Sastrohamidjojo, 1985). b. Identifikasi dari senyawa-senyawa Dalam
mengidentifikasi
noda-noda
dalam
kertas
sangat
lazim
menggunakan harga Rf (Retordation Factor) yang didefinisikan sebagai:
Jarak yang digerakkan oleh senyawa Rf = Jarak yang digerakkan oleh permukaan pelarut
c. Faktor yang mempengaruhi harga Rf yaitu: 1) Pelarut Disebabkan pentingnya koefisien partisi, maka perubahan-perubahan yang sangat kecil dalam komposisi pelarut dapat menyebabkan perubahan-perubahan harga Rf. 2) Suhu Perubahan dalam suhu merubah koefisien partisi dan juga kecepatan aliran. 3) Ukuran dari bejana Volume dari bejana mempengaruhi homogenitas dari atmosfir jadi mempengaruhi kecepatan penguapan dari komponen-komponen pelarut dari kertas. Jika bejana besar digunakan, ada tendensi perambatan lebih lama, seperti perubahan-perubahan komposisi
16
pelarut sepanjang kertas, maka koefisien partisi akan berubah juga. Dua faktor yaitu penguapan dan komposisi mempengaruhi harga Rf. 4) Kertas Pengaruh utama kertas pada harga-harga Rf timbul dari perubahan ion dan serapan, yang berbeda untuk macam-macam kertas. Kertas-kertas mempengaruhi kecepatan aliran, ia akan juga mempengaruhi pada keseimbangan partisi. 5) Sifat dari campuran Berbagai senyawa mengalami partisi diantara volume-volume yang sama dari fase tetap dan bergerak. Mereka hampir selalu mempengaruhi karakteristik dari kelarutan satu terhadap lainnya hingga
terhadap
Sastrohamidjojo,1985).
harga-harga
Rf
mereka
(Hardjono