7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asam Urat Asam urat merupakan produk akhir dari katabolisme adenin dan guanin yang berasal dari pemecahan nukleotida purin. Asam urat adalah produk akhir metabolisme purin yang terdiri dari komponen karbon, nitrogen, oksigen, dan hidrogen dengan rumus molekul C5H4N4O3. Pada pH alkali kuat, asam urat membentuk ion urat dua kali lebih banyak dibandingkan pada pH asam (Spieker, et al., 2002). Purin yang berasal dari katabolisme asam nukleat dalam diet diubah menjadi asam urat secara langsung. Pemecahan nukleotida purin terjadi di semua sel, tetapi asam urat hanya dihasilkan oleh jaringan yang mengandung xantin oksidase terutama di hepar dan usus kecil. Rerata sintesis asam urat endogen setiap harinya adalah 300-600 mg per hari, dari diet 600 mg per hari lalu dieksresikan ke urin rerata 600 mg per hari dan ke usus sekitar 200 mg per hari (Lamb, et al., 2006). Dua pertiga total asam urat tubuh berasal dari pemecahan purin endogen, hanya sepertiga yang berasal dari diet yang mengandung purin. Pada pH netral urat dalam bentuk ion asam urat (kebanyakan dalam bentuk monosodium urat), banyak terdapat di dalam darah. Konsentrasi normal kurang dari 420 μmol/L (7,0 mg/dL). Kadar asam urat tergantung jenis kelamin, umur, berat badan, tekanan darah, fungsi ginjal, status peminum alkohol, dan kebiasaan memakan makanan yang mengandung diet purin yang tinggi. Kadar asam urat mulai meninggi selama
8
pubertas pada laki-laki tetapi wanita tetap rendah sampai menopause akibat efek urikosurik estrogen. Dalam tubuh manusia terdapat enzim asam urat oksidase atau urikase yang akan mengoksidasi asam urat menjadi alantoin. Defisiensi urikase pada manusia akan mengakibatkan tingginya kadar asam urat dalam serum. Asam urat dikeluarkan di ginjal (70%) dan traktus gastrointestinal (30%). Kadar asam urat di darah tergantung pada keseimbangan produksi dan ekskresinya (Signh, et al., 2010). Sintesis asam urat dimulai dari terbentuknya basa purin dari gugus ribosa, yaitu 5-phosphoribosyl-1-pirophosphat (PRPP) yang didapat dari ribose 5 fosfat yang disintesis dengan Adenosine triphosphate (ATP) dan merupakan sumber gugus ribosa. Reaksi pertama, PRPP bereaksi dengan glutamin membentuk fosforibosilamin yang mempunyai sembilan cincin purin. Reaksi ini dikatalisis oleh PRPP glutamil amidotranferase, suatu enzim yang dihambat oleh produk nucleotide inosine monophosphate (IMP), adenosine monophosphat (AMP) dan guanine monophosphate (GMP). Ketiga nukleotida ini juga menghambat sintesis PRPP sehingga memperlambat produksi nukleotida purin dengan menurunkan kadar substrat PRPP (Lamb, et al., 2006). Inosine monophosphat (IMP) merupakan nukleotida purin pertama yang dibentuk dari gugus glisin dan mengandung basa hipoxanthine. IMP berfungsi sebagai titik cabang dari nukleotida adenin dan guanin. AMP berasal dari IMP melalui penambahan sebuah gugus amino aspartat ke karbon enam cincin purin dalam reaksi yang memerlukan Guanosine triphosphate (GTP). Guanosine monophosphat (GMP) berasal dari IMP melalui pemindahan satu gugus amino
9
dari amino glutamin ke karbon dua cincin purin, reaksi ini membutuhkan ATP (Lamb, et al., 2006).
Gambar 2.1 Jalur Metabolisme Pembentukan Asam Urat (Ishikawa T, et al., 2013) AMP mengalami deaminasi menjadi inosin, kemudian IMP dan GMP mengalami defosforilasi menjadi inosin dan guanosin. Basa hipoxanthine terbentuk dari IMP yang mengalami defosforilasi dan diubah oleh xanthine oxidase menjadi xanthine serta guanin akan mengalami deaminasi untuk menghasilkan xanthine juga. Xanthine akan diubah oleh xanthine oxsidase menjadi asam urat. Asam urat diginjal akan mengalami empat tahap yaitu asam urat dari plasma kapiler masuk ke glomerulus dan mengalami filtrasi di glomerulus, sekitar 98-100% akan direabsorbsi pada tubulus proksimal, selanjutnya disekresikan kedalam lumen distal tubulus proksimal dan direabsorbsi kembali pada tubulus distal. Asam urat akan diekskresikan kedalam urine sekitar 6% - 12% dari jumlah filtrasi. Setelah filtrasi urat di glomerulus, hampir semua
10
direabsorbsi kembali di tubuli proksimal. pH urin yang rendah di traktus urinarius menjadikan urat dieksresikan dalam bentuk asam urat (Spieker, et al., 2002). Hiperurisemia didefinisikan sebagai peningkatan kadar asam urat dalam darah. Batasan hiperurisemia untuk pria dan wanita tidak sama. Seorang pria dikatakan menderita hiperurisemia bila kadar asam urat serumnya lebih dari 7,0 mg/dL. Sedangkan hiperurisemia pada wanita terjadi bila kadar asam urat serum di atas 6,0 mg/dL (Berry, et al., 2004; Hediger et al., 2005; Putra, 2006). Saat ini angka kejadian pasti hiperurisemia di masyarakat masih belum jelas. Prevalensinya di masyarakat dan berbagai kepustakaan barat sangat bervariasi antara 2,3 – 17,6%. Penelitian yang dilakukan oleh Indrawan (2005) pada penduduk kota Denpasar, Bali mendapatkan prevalensi hiperurisemia sebesar 18,2%. Asam urat sendiri merupakan hasil akhir dari metabolisme purin. Proses pembentukan asam urat sebagian besar berasal dari metabolisme nukleotida purin endogen, guanylic acid (GMP), inosinic acid (IMP), dan adenylic acid (AMP). Perubahan intermediate hypoxanthine dan guanine menjadi xanthine dikatalisis oleh enzim xanthine oxidase dengan produk akhir asam urat.
Asam urat
merupakan produk yang tidak dapat dimetabolisme lebih lanjut. Hanya 5% asam urat yang terikat plasma dan sisanya akan difiltrasi secara bebas oleh glomerulus. Dari semua asam urat yang difiltrasi, 99% akan direabsorpsi oleh tubulus proksimal. Kemudian 7-10% fraksi asam urat akan disekresi oleh tubulus distal (Vedercchia et al., 2000; Dincer et al., 2002; Berry et al., 2004).
11
Gambar 2.2 Metabolisme Urat (Riches PL, et al., 2009) Kadar asam urat pada tiap individu sangat bervariasi tergantung pada sintesis dan ekskresinya. Hiperurisemia terjadi bila kadar asam urat melebihi daya larutnya dalam plasma yaitu 6,7 mg/dL pada suhu 37°C. Kondisi ini dapat disebabkan karena ketidakseimbangan antara produksi yang berlebihan, penurunan ekskresi atau gabungan keduanya. Produksi yang berlebihan terjadi pada keadaan diet tinggi purin, alkoholisme, turn over nukleotida yang meningkat, obesitas, dan dislipidemia. Sedangkan penurunan ekskresi asam urat terjadi pada penyakit ginjal, hipertensi, penggunaan diuretik, resistensi insulin, dan kadar estrogen yang rendah (Johnson et al., 2003; Berry et al., 2004; Hediger et al., 2005).
12
Berdasarkan penyebabnya, hiperurisemia dapat diklasifikasikan menjadi hiperurisemia primer, sekunder, dan idiopatik. Hiperurisemia primer merupakan hiperurisemia yang tidak disebabkan oleh penyakit lain. Biasanya berhubungan dengan kelainan molekuler yang belum jelas dan adanya kelainan enzim. Sedangkan hiperurisemia sekunder merupakan hiperurisemia yang disebabkan oleh penyakit atau penyebab lain. Hiperurisemia jenis ini dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu kelainan yang menyebabkan peningkatan de novo biosynthesis, peningkatan degradasi ATP, dan underexcretion. Hiperurisemia idiopatik merupakan jenis hiperurisemia yang tidak jelas penyebab primernya dan tidak ada kelainan genetik, fisiologi serta anatomi yang jelas (Putra, 2009). Hiperurisemia (konsentrasi asam urat dalam serum yang lebih besar dari 7,0 mg/dL) dapat menyebabkan penumpukan kristal monosodium urat. Peningkatan atau penurunan kadar asam
urat serum
yang mendadak
mengakibatkan serangan gout. Apabila kristal urat mengendap dalam sebuah sendi, maka selanjutnya respon inflamasi akan terjadi dan serangan gout pun dimulai. Apabila serangan terjadi berulang-ulang, mengakibatkan penumpukan kristal natrium urat yang dinamakan tofus akan mengendap dibagian perifer tubuh seperti ibu jari kaki, tangan, dan telinga (Luke, 2005; Putra, 2007). Pada manifestasi sindrom gout mencakup atritis gout yang akut (serangan rekuren inflamasi artikuler dan periartikuler yang berat), tofus (endapan kristal yang menumpuk dalam jaringan artikuler, jaringan oseus, jaringan lunak serta kartilago), nefropati gout (gangguan ginjal) dan pembentukkan batu asam urat dalam traktus urinarius. Ada empat stadium penyakit gout yang dikenal :
13
hiperurisemia asimtomatik, arthritis gout yang kronis, gout interkritikal dan gout tofeseus yang kronik (Doherty, 2009). Ada 4 tahap penyakit gout yaitu : tahap asimptomatik, akut (serangan pertama mendadak dan memuncak, menyebabkan rasa nyeri yang hebat pada sendi yang terkena, disertai tanda peradangan, cepat berlalu, dan kembali lagi dalam waktu tertentu), tahap interkritikal (masa bebas serangan), dan tahap kronis (terdapat timbunan kristal asam urat dalam bentuk tofus, yang ditemukan pada jaringan lunak, tulang rawan, selaput diantara tulang dan tendon) ( Putra, 2009). Untuk memudahkan diagnosis gout arthritis akut, dapat digunakan kriteria dari American College Of Rheumatology tahun 1977 sebagai berikut : A. Ditemukannya kristal urat di cairan sendi, atau B. Adanya tofus yang berisi Kristal urat, atau C. Terdapat 6 dari 12 kriteria klinis, laboratoris, dan radiologis sebagai berikut : a. Terdapat lebih dari satu kali serangan arthritis akut b. Inflamasi maksimal terjadi dalam waktu 1 hari c. Arthritis monoartikuler d. Kemerahan pada sendi e. Bengkak dan nyeri pada metatarsophalangeal-1 (MTP-1) f. Arthritis unilateral yang melibatkan MTP-1 g. Arthritis unilateral yang melibatkan sendi tarsal h. Kecurigaan terhadap adanya tofus i. Pembengkakan sendi yang asimetris (radiologis)
14
j. Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis) k. Kultur mikroorganisme negatif pada cairan sendi 2.2 Asam Urat dan Penyakit Kardiovaskular Sebuah hubungan epidemiologi antara peningkatan kadar asam urat dan risiko kardiovaskular telah diketahui selama beberapa tahun belakangan ini. Sebuah penelitian observasional menunjukkan bahwa konsentrasi asam urat serum lebih tinggi pada pasien yang telah didiagnosis dengan penyakit jantung koroner dibandingkan dengan kontrol sehat. Peningkatan kadar asam urat tersebut juga ditemukan pada kedua orang tua pasien, sehingga menunjukkan kemungkinan adanya hubungan kausal. Namun demikian hiperurisemia juga juga berkaitan dengan faktor-faktor perancu yang mungkin berhubungan seperti peningkatan trigliserida dan kolesterol serum, glukosa darah, konsentrasi insulin puasa dan setelah pemberian karbohidrat, rasio pinggang-pinggul, dan indeks massa tubuh. Sekitar seperempat pasien hipertensi juga mengalami hiperurisemia dan pasien dengan hiperurisemi asimptomatik dapat diprediksi mengalami hipertensi di kemudian hari tanpa melihat fungsi ginjalnya (Waring, et a.l, 2000; Hsu, et al., 2013; Daria, et al., 2012). Diantara pasien yang telah tegak dengan hipertensi, peningkatan kadar asam
urat
berhubungan
secara
signifikan
dengan
peningkatan
risiko
kardiovaskular selama rerata 6,6 tahun periode follow up. Propotional hazard ratio untuk satu Standar Deviasi (SD) peningkatan dari asam urat (29,2 µmol/L) adalah 1,22 (Interval Konfidens (IK) 95% 1,11-1,35) lebih tinggi dibandingkan dengan satu SD elevasi dari glukosa darah (1,10, IK 95% 1,02-1,19), kolesterol
15
(1,18, IK 95% 1,09-1,29) atau tekanan darah sistolik (1,09, IK 95% 1,00-1,19). Terapi hipertensi dengan diuretik tiazid memberikan keuntungan pada pasien hipertensi dan memberikan reduksi yang signifikan dalam angka mortalitas akibat kardiovaskular dan semua sebab. The US National Health and Nutrition Survey (NHANES) III menunjukkan bahwa laju infark miokard dan stroke yang telah disesuaikan dengan umur lebih tinggi pada pasien hipertensi baik laki-laki dan perempuan yang memiliki kadar asam urat yang tinggi (Waring, et al., 2000).
Gambar 2.3 Asam Urat dan Kardiovaskular (Jalal DI, et al., 2012). Beberapa penelitian menduga bahwa peran asam urat adalah bebas dan tidak dipengaruhi oleh faktor risiko perancu lainnya. Analisis multivariat data dari kohort 1.044 laki-laki menunjukkan hubungan yang signifikan antara peningkatan kadar asam urat dan mortalitas kardiovaskular, dan tidak berhubungan dengan indeks massa tubuh, konsentrasi kolesterol serum, hipertensi, penggunaan diuretik, konsumsi alkohol, dan kebiasaan merokok. Perbandingan antara
16
individu-individu pada kelompok dengan kadar asam urat yang tinggi (≥373 µmol/L) dibandingkan dengan pada kelompok dengan kadar asam urat yang lebih rendah (≥319 µmol/L) memberikan risiko infark miokard yang telah disesuaikan sebesar 1,7 (IK 95% 0,8-3,3) dan kematian oleh sebab kardiovaskular sebesar 2,2 (IK 95% 1,0-4,8) (Hsu, et al., 2013). Penelitian Gothenburg yang dilakukan secara prospektif pada 1.462 perempuan berusia antara 38 sampai 60 tahun juga menemukan risiko yang signifikan antara konsentrasi asam urat serum dan mortalitas total pada 12 tahun follow-up dan hasil ini tidak terkait dengan indeks massa tubuh, konsentrasi lipid serum, kebiasaan merokok, tekanan darah, dan usia. Asam urat juga memiliki unsur prediktif pada kelompok pasien dengan risiko tinggi. Contohnya pada diabetes mellitus sebagai faktor risiko yang kuat terhadap terjadinya penyakit kardiovaskular, dan sebuah penelitian prospektif pada 1.017 pasien yang tidak tergantung pada insulin menunjukkan bahwa konsentrasi asam urat serum > 295µmol/L memberikan hazard ratio sebesar 1,91 (IK 95% 1,24-2,94) dari stroke fatal atau non fatal selama 7 tahun follow-up (Waring, et al., 2000). Berlawanan dengan temuan-temuan tersebut, beberapa studi juga mengemukakan bahwa hubungan asam urat dan risiko kardiovaskular tidak bertahan setelah dilakukan koreksi terhadap faktor risiko lainnya. The British Regional Heart Study dari 7.688 laki-laki berusia antara 40-59 tahun menunjukkan hubungan yang signifikan antara peningkatan kadar asam urat dan penyakit koroner fatal dan non fatal selama 16,8 tahun. Namun hubungan ini menghilang setelah memperbaiki dari faktor risiko lainnya, terutama kadar
17
kolesterol serum. The Coronary Drug Project Research Group meneliti 2.789 laki-laki berusia 30 sampai 64 tahun, menemukan bahwa hubungan antara peningkatan risiko kardiovaskular dan peningkatan konsentrasi asam urat tidak signifikan setelah mempertimbangkan faktor risiko lainnya. Temuan yang serupa dikemukakan oleh Social Insurance Institution of Finland Study dan Framingham Heart Study (Hsu, et al., 2013; Jie Dong, et al., 2014). The Atherosclerosis Risk in Communities meneliti 11.488 laki-laki dan perempuan sehat dan menunjukkan adanya hubungan antara konsentrasi asam urat serum dan kejadian aterosklerosis arteri karotid dini, tetapi berkaitan dengan faktor risiko lainnya. Honolulu Heart Program juga mendapatkan hasil dimana peningkatan serum asam urat bukan merupakan faktor risiko independen dari hasil otopsi aterosklerotik aorta atau koroner pada populasi Jepang (Waring, et al., 2000; Hsu, et al., 2013). Sebaliknya pada Atherosclerotic Risk in Communities (ARIC) dan Framingham Heart Study, tidak ditemukan hubungan antara kadar asam uram serum dan insiden penyakit kardiovaskular. Kesulitan untuk menilai peran asam urat secara independen, terpisah dari faktor risiko tradisional lainnya dan perbedaan metodologi yang digunakan pada studi-studi epidemiologi tersebut mungkin merupakan penyebab perbedaan hasil untuk menilai hubungan antara kadar asam urat serum dan penyakit kardiovaskular (Adriana, et al., 2010). Dapat disimpulkan bahwa meskipun banyak terdapat bukti yang menunjukkan hubungan yang kuat antara peningkatan kadar asam urat serum dan peningkatan risiko kardiovaskular dan outcome yang buruk, penelitian prospektif
18
pada populasi sering dikelirukan oleh adanya faktor risiko lainnya, sehingga masih belum dapat dipastikan apakah kadar asam urat serum merupakan faktor risiko yang independen terhadap outcome kardiovaskular yang buruk (Waring, et al., 2000, Hsu, et al., 2013). 2.2.1 Asam Urat Sebagai Penanda Iskemik Subklinis Adenosin dibuat dan dilepaskan oleh miosit kardia dan vaskular. Ikatan dengan reseptor adenosin spesifik dapat menyebabkan relaksasi dari otot polos vaskular dan vasodilatasi arteriolar. Mekanisme antagonis kompetitif pada reseptor adenosin melalui methylxanthine, seperti teofilin, dapat mengurangi respon aliran darah terhadap iskemia. Dalam kondisi hipoksia dan iskemia jaringan, sintesis dan pelepasan adenosin meningkat dan menyebabkan peningkatan jumlah adenosin dalam sirkulasi yang signifikan. Iskemia kardiak dan viseral menyebabkan pembentukan adenosin sebagai mekanisme regulasi untuk memperbaiki aliran darah dan menghambat iskemik. Adenosin yang disintesis secara lokal oleh otot polos vaskular pada jaringan jantung dengan depat didegradasi oleh endotelium menjadi asam urat, yang kemudian dikeluarkan ke lumen vaskular karena pH intraselular yang rendah dan potensial membran yang negatif. Aktivitas Xanthine Oxidase (XO) dan sintesis asam urat meningkat secara in vivo dalam kondisi iskemia, sehingga peningkatan asam urat serum dapat menjadi penanda iskemia jaringan. Pada sirkulasi koroner manusia, hipoksia yang disebabkan oleh oklusi transien arteri koroner, menyebabkan peningkatan kadar asam urat dalam sirkulasi lokal (Waring, et al, 2000).
19
Pada penelitian potong lintang, pasien yang didiagnosis dengan penyakit jantung koroner memiliki kadar asam urat yang lebih tinggi. Namun beberapa penelitian lainnya tidak menemukan hubungan yang bebas antara kadar asam urat serum dan kejadian penyakit jantung koroner. Kadar asam urat serum juga berhubungan dengan beratnya kalsifikasi arteri koroner pada pasien dengan sindrom metabolik. Namun hal ini tidak ditemukan pada pasien tanpa sindrom metabolik atau pada pasien dengan riwayat keluarga hipertensi. Pada beberapa penelitian di populasi umum, peningkatan kadar asam urat berhubungan risiko morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular yang lebih tinggi. Sebaliknya, kadar asam urat serum bukan merupakan prediktor independen kejadian kardiovaskular pada penelitian Reykjavik. Pada penelitian Framingham, kadar asam urat serum tidak berhubungan secara independen pada populasi perempuan. Pada laki-laki, kadar asam urat serum berhubungan terbalik dengan kejadian penyakit jantung koroner. Pada beberapa penelitian yang menyertakan hanya lakilaki, kadar asam urat serum tidak berhubungan secara independen dengan penyakit jantung koroner. Sebaliknya, pada penelitian besar dengan 28.613 perempuan usia lanjut (rerata usia 62,3 tahun) yang diikuti selama median 15,2 tahun, kadar asam urat serum berhubungan dengan peningkatan mortalitas kardiovaskular. Pada sebuah meta analisis dari 16 penelitian prospektif pada populasi umum (9.458 kasus penyakit jantung koroner, dan 155.084 kontrol), peningkatan kadar asam urat berhubungan secara independen dengan kejadian penyakit jantung koroner pada kedua jenis kelamin. Namun hal ini ditemukan
20
tidak signifikan pada 8 penelitian setelah disesuaikan dengan faktor perancu lainnya (Tziomalos, et al., 2010). Gagal jantung berhubungan dengan peningkatan kadar asam urat serum. Selain itu, kadar asam urat serum juga berhubungan secara langsung dengan derajat keparahan dari gagal jantung. Hal tersebut mungkin disebabkan karena adanya aktivasi yang berlebihan dari XO pada sel-sel miokard yang mengalami cidera dan berkurangnya ekskresi ginjal dari asam urat. Beberapa penelitian juga menemukan hubungan yang independen pada besarnya risiko tranplantasi jantung dan mortalitas pada pasien gagal jantung yang memiliki kadar asam urat serum yang tinggi (Tziomalos, et al., 2010, Hsu, et al., 2013). Pada penelitian in vitro, asam urat menstimulasi produksi dari kemokin pro-inflamasi monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1) dari otot polos pembuluh darah tikus percobaan. Asam urat juga menginduksi produksi Creactive protein (CRP) dari otot polos pembuluh darah dan sel endotel. Pada penelitian dengan hewan percobaan, pemberian asam urat dapat menstimulasi sintesis dari tumor necrosis factor-α (TNF-α). Pada populasi umum, kadar asam urat serum berkorelasi dengan tingginya kadar high sensitivity CRP (hs-CRP) dan dengan kadar IL-6 dan TNF-α. Selain itu, sampel dengan kadar asam urat serum yang tinggi memiliki risiko yang lebih tingi mengalami peningkatan kadar hsCRP dan IL-6 (Tziomalos, et al., 2010). Penelitian secara in vitro menunjukkan bahwa asam urat juga menstimulasi proliferasi dan migrasi Vascular Smooth Muscle Cells (VSMC)
21
tikus percobaan dan manusia. Plak aterosklerosis mengandung lebih banyak asam urat dibandingkan dengan arteri normal (Tziomalos, et al., 2010). Kadar asam urat serum berhubungan negatif dengan kekakuan arteri pada orang dewasa sehat dan pada pasien stroke. Kekakuan arteri berhubungan dengan tingginya riksiko vaskular. Namun demikian, percobaan dengan memberikan infus asam urat tidak mempengaruhi elastisitas arterial. Asam urat berperan penting sebagai antioksidan serum. Percobaan dengan memberikan asam urat meningkatkan aktivitas antioksidan serum dan mengurangi intensitas stres fisik yang disebabkan oleh oksidan. Namun penelitian in vitro menunjukkan bahwa asam urat juga memiliki efek pro oksidan (Tziomalos, et al., 2010, Hsu, et al., 2013). 2.2.2 Hubungan Kadar Asam Urat Serum dengan Faktor Risiko Vaskular 2.2.2.1 Asam Urat dan Hipertensi Pada populasi umum, asam urat serum berkorelasi dengan tekanan darah dan lebih tinggi pada pasien dengan hipertensi. Peningkatan kadar asam urat serum secara independen berhubungan dengan aterosklerosis arteri pada beberapa penelitian pada pasien dengan hipertensi, tetapi hal ini tidak konsisten ditemukan pada semua penelitian. Kadar asam urat serum berhubungan dengan peningkatan risiko kejadian vaskular pada sampel laki-laki dan perempuan dengan hipertensi. Pada peneliltian Losartan Intervention For Endpoint in Hypertension (LIFE), kadar asam urat serum berhubungan dengan kejadian vaskular hanya pada wanita. Pada penelitian Systolic Hypertension in Europe (Syst-Eur), kadar asam urat serum tidak dapat memprediksikan kejadian vaskular pada kedua jenis kelamin.
22
Pada penelitian lainnya, hubungan antara kadar asam urat serum dan morbiditas vaskular dan mortalitas berbentuk J pada kedua jenis kelamin. Asam urat juga merupakan faktor risiko yang kuat untuk kejadian infark miokard dan stroke pada sampel normotensi dan sampel hipertensi (Tziomalos, et al., 2010). Data preklinis dan observasi menunjukkan bahwa asam urat dapat berperan dalam berkembangnya hipertensi. Pada hewan percobaan, hiperurisemia menyebabkan peningkatan tekanan darah. Beberapa penelitian prospektif menunjukkan bahwa kadar asam urat serum yang lebih tinggi dapat memprediksikan peningkatan tekanan darah dan timbulnya hipertensi pada sampel yang normotensi. Dilaporkan bahwa kadar asam urat yang tinggi berhubungan dengan peningkatan reabsorbsi natrium tubulus proksimal. Namun demikian, sebuah penelitian pada laki-laki usia lanjut tidak menemukan korelasi antara kadar asam urat serum dan kejadian hipertensi (Tziomalos, et al., 2010, Hsu, et al., 2013). Hubungan antara hipertensi arterial dan hiperurisemia adalah sangat umum dijumpai. Pada 25-40% pasien dengan hipertensi yang tidak diterapi dan lebih dari 80% pasien dengan hipertensi maligna memiliki kadar asam urat serum yang tinggi. Hiperurisemia lebih umum ditemukan pada hipertensi primer, terutama pada pasien hipertensi dengan onset yang baru dan pada pre-hipertensi yang mengalami mikroalbuminuria. Banyak mekanisme yang berperan dalam tingginya kadar asam urat serum pada pasien hipertensi. Reabsorpsi urat pada tubulus proksimal meningkat sebagai akibat dari berkurangnya aliran darah ke ginjal. Penyakit mikrovaskular renal menyebabkan iskemia jaringan dan peningkatan
23
regulasi dari NO sehingga meningkatkan produksi asam urat serum. Reduksi sekresi asam urat pada tubulus proksimal dan penggunaan diuretik dapat meningkatkan kadar asam urat (Adriana, et al., 2010, Daria, et al., 2012). Pada beberapa tahun terakhir, beberapa penelitian eksperimental mengindikasikan bahwa hiperurisemia dapat menginduksi hipertensi. Pada tikus percobaan, kadar asam urat serum yang tinggi dapat menyebabkan hipertensi setelah beberapa minggu. Hipertensi kemudian dapat menjadi normal setelah kadar asam urat dinormalkan dengan alupurinol atau dengan oabt urikosurik lainnya. Pada stadium awal, kadar asam urat yang tinggi menyebabkan vasokontriksi renal melalui aktivasi Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS), renal dan melalui berkurangnya NO akibat disfungsi endotel pada makula densa. Pada stadium ini, hipertensi yang terjadi bersifat resisten terhadap garam dan dapat diperbaiki dengan menurunkan kadar asam urat serum. Pada stadium akhir hiperurisemia kronik menyebabkan proliferasi sel otot vaskular dan aktivasi lokal dari RAAS melalui aktivasi mediator inflamasi. Penyakit mikrovaskular renal pogresif disebabkan karena arteriosklerosis aferen dan fibrosis interstisial. Perubahan histopatologik renal pada hiperurisemia kronik serupa dengan yang terjadi pada hipertensi (Adriana, et al., 2010). Beberapa penelitian menemukan bahwa hiperurisemia terjadi mendahului dan berhubungan dengan perkembangan hipertensi. Pada Framingham Heart Study, setiap peningkatan 1,3 mg/dL asam urat serum berhubungan dengan terjadinya hipertensi dengan odd ratio 1,17. Pada Multiple Risk Factor Intervention (MRFIT), laki-laki normotensi dengan kadar asam urat lebih dari 7
24
mg/dL meniliki risiko 80% lebih tinggi menderita hipertensi di kemudian hari. Hubungan antara asam urat dan hipertensi lebih sering ditemukan pada usia muda. Kadar asam urat yang tinggi ditemukan pada hampir 90% usia dewasa muda dengan hipertensi primer dan kadar asam urat serum berkorelasi dengan hipertensi sistolik maupun diastolik. Pada sebuah penelitian orang dewasa muda yang mengalami hipertensi dan hiperurisemia, reduksi dari asam urat serum sampai kurang dari 5 mg/dL dengan alupurinol dapat memperbaiki hipertensi pada 86% pasien (Adriana, et al., 2010). 2.2.2.2 Asam Urat dan Penyakit Ginjal PGK berhubungan dengan peningkatan risiko vaskular. Pada populasi umum, kadar asam urat serum berhubungan dengan kadar kreatinin serum dan berhubungan terbalik dengan estimated Glomerular Filtration Rate (eGFR). Kadar asam urat serum berhubungan dengan ekskresi albumin urin pada pasien dengan diabetes tipe 2 dan pada beberapa penelitian, pada pasien dengan hipertensi. Namun demikian, pada beberapa penelitian dengan pasien yang mengalami hipertensi atau normotensi, kadar asam urat serum tidak berhubungan dengan mikroalbuminuria (Tziomalos, et al., 2010; Jie Dong, et al., 2014). Dikatakan bahwa asam urat dapat berhubungan dengan perburukan dari PGK. Pada penelitian dengan hewan percobaan, hiperurisemia eksperimental berhubungan dengan peningkatan proteinuria, perburukan fungsi ginjal, glomerulosklerosis, fibrosis interstisial ginjal, dan vaskulopati preglomerular. Peningkatan ekspresi renin ginjal sepertinya merupakan implikasi dari efek samping hiperurisemia terhadap fungsi ginjal. Pada manusia, hiperurisemia juga
25
berhubungan dengan sistem renin angiotensin intrarenal yang teraktivasi. Beberapa penelitian pada populasi umum menunjukkan hubungan antara kadar asam urat serum dan peningkatan insiden pada PGK. Pada Cardiovascular Health Study, kadar asam urat serum tidak dapat memprediksi insiden PGK tetapi secara independen berhubungan dengan progresivitas dari PGK yang sudah terjadi (Tziomalos, et al., 2010, Hsu, et al., 2013). 2.2.2.3 Asam Urat Penanda dari Resistensi Insulin Sindrom resistensi insulin menyebabkan berkurangnya penggunaan glukosa yang dimediasi oleh insulin sehingga menimbulkan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular melalui beberapa jalur diantaranya melalui sistem saraf simpatis. Peningkatan serum asam urat adalah gambaran konsisten dari sindrom resistensi insulin, yang juga ditandai dengan peningkatan kadar insulin plasma puasa maupun setelah pemberian karbohidrat. Kadar glukosa darah, kadar trigliserida serum, peningkatan indeks massa tubuh, dan rasio pinggang-pinggul. Insulin bekerja secara fisiologis pada tubulus renalis, menyebabkan berkurangnya klirens dari natrium dan asam urat. Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin pada ginjal tetap baik, sehingga saat kadar insulin dalam plasma meningkat sebagai kompensasi dari resistensi, terjadi hiperurisemia. Hal ini yang menjadi dasar peningkatan kadar asam urat serum dapat memprediksikan terjadinya diabetes mellitus dan hipertensi, meski klirens kreatinin dan kadar glukosa plasma masih normal (Tziomalos, et al., 2010). Studi epidemiologi menemukan hubungan yang erat antara kadar asam urat serum yang tinggi dengan peningkatan prevalensi sindrom metabolik dan
26
semua komponennya (intolerasi glukosa, resistensi insulin, obesitas abdomen, dislipidemia atherogenik, dan hipertensi). Pada NHANES III, prevalensi dari sindrom metabolik adalah 18,9% pada kadar asam urat serum kurang dari 6 mg/dL, dan meningkat menjadi 70,7% pada kadar asam urat serum lebih dari atau sama dengan 10 mg/dL. Selain itu, hiperurisemia mungkin secara independen dapat memprediksi perkembangan dari masing-masing komponen dari sindrom metabolik (Adriana, et al., 2010, Daria, et al., 2012). Peningkatan kadar asam urat serum yang diobservasi pada sindrom metabolik terkait dengan hiperinsulinemia, karena insulin mengurangi eksresi asam urat melalui ginjal. Pada penelitian dengan hewan, hiperurisemia dapat menginduksi sindrom metabolik melalui dua mekanisme. Pertama, tingginya kadar asam urat menghambat ketersediaan nabati dari Nitric Oxide (NO) endotel. Insulin membutuhkan NO endotel untuk menstimulasi uptake glukosa oleh otot skelet, karenanya hiperurisemia mungkin berperan dari patogenesis terjadinya resistensi insulin. Kemudian, pada percobaan dengan hewan, hiperurisemia menginduksi perubahan oksidatif dan inflamasi pada adiposit, dan menginduksi sindrom metabolik pada tikus yang obese (Adriana, et al., 2010). 2.2.2.4 Efek Asam Urat Terhadap Fungsi Vaskular Endotelium memegang peranan sentral dalam mempertahankan tonus vaskular melalui sintesis dan pelepasan NO yang merupakan vasodilator poten. Berkurangnya kadar NO berperan penting dalam terjadinya aterosklerosis. Disfungsi endotel dan gangguan vasodilatasi terkait dengan endotelium dapat disebabkan oleh karena aktivitas radikal bebas yang berlebihan, yang
27
mengganggu sisntesis dan mempercepat degradasi NO. Karenanya, peningkatan stres oksidatif berperan penting terhadap perkembangan dan progresivitas aterosklerosis dan hal ini berkaitan dengan beberapa faktor risiko mayor seperti diabetes mellitus, hipertensi, hiperkolesterolemia, dan merokok. Kadar asam urat serum memiliki aktivitas antioksidan (60% dari aktivitas antioksidan dalam serum manusia). Asam urat berinteraksi dengan peroxynitrite dan membentuk donor NO yang stabil, sehingga menginduksi vasodilatasi dan mengurangi kerusakan oksidatif akibat peroxynitrite (Tziomalos, et al., 2010, Daria, et al., 2012). Namun demikian, asam urat juga diketahui menyebabkan oksidasi Low Density Lipoprotein (LDL) secara in vitro, sebuah tahap penting dalam terjadinya aterosklerosis, dan efek ini dihambat oleh vitamin C. Asam urat juga dapat menstimulasi perelengketan granulosit ke endotelium, dan liberasi radikal bebas peroksida dan superoksida. Peningkatan konsentrasi asam urat juga berhubungan secaa konstan dengan penanda inflamasi lainnya. Asam urat dapat melewati sel endotel yang mengalami kerusakan dan berakumulasi sebagai kristal dalam plak aterosklerosis. Kristal ini berperan menyebabkan inflamasi lokal dan progresivitas plak, dan diperkirakan bahwa akumulasi kristal akan terjadi lebih hebat pada kadar asam urat yang lebih tinggi (Tziomalos, et al., 2010). Meskipun asam urat berkontribusi secara signifikan sebagai antioksidan dalam serum, asam urat juga dapat menyebabkan kerusakan vaskular baik secara langsung maupun tidak langsung. Perlu diketahui bahwa terapi pasien gagal jantung kronik dengan alupurinol (sebuah penghambat xantin oksidase) untuk memperbaiki fungsi endotel. Hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan
28
kapasitas antioksidan serum, namun efek terkait dengan asam urat masih belum diteliti (Tziomalos, et al., 2010). Hubungan patofisiologi antara peningkatan kadar asam urat serum dan aterosklerosis adalah terkait dengan disfungsi endotel dan inflamasi. Reactive Oxygen Species (ROS) yang diproduksi oleh xantin oksidase dapat menyebabkan disfungsi endotel dengan mengurangi ketersediaan nabati dari NO. Asam urat serum, sebagai salah satu antioksidan dapat menghambat pembentukan ROS. Juga terdapat bukti pada penelitian hewan bahwa kadar asam urat serum yang tinggi mengganggu vasodilatasi yang terkait endotel. Hubungan yang independen antara kadar asam urat serum dan C Reactive Protein (CRP) dan penanda inflamasi lainnya (neutrofil darah, interleukin, TNF-α) juga telah dibuktikan. Peningkatan kadar asam urat serum dan kejadian aterosklerosis subklinis telah dibuktikan (Adriana, et al., 2010). Hubungan antara kadar asam urat serum dan penyakit arteri koroner dan penyakit serebrovaskular telah diteliti pada banyak penelitian. Pada penelitian NHANES I, ARIC, dan Rotterdam, kadar asam urat serum yang tinggi meningkatkan risiko terjadinya stroke. Pada NHANES I, terdapat 48% peningkatan dari stroke iskemia pada perempuan untuk setiap 1,01 mg/dL peningkatan kadar asam urat serum. Pada penelitian ARIC, terdapat hubungan yang independen dan hubungan yang positif antara kejadian stroke iskemik dan kadar asam urat serum (Adriana, et al., 2010, Daria, et al., 2012). Kadar asam urat serum sebagai salah satu faktor risiko terhadap perkembangan penyakit arteri koroner masih kotroversial. Pada penelitian
29
MRFIT, hiperurisemia dan gout memiliki hubungan yang independent terhadap risiko terjadinya infark miokard setelah disesuaikan dengan faktor risiko lain. Pada penelitian Apolipoprotein Mortality Risk Study (AMORIS), peningkatan yang bermakna dari kadar asam urat serum berhubungan dengan peningkatan insiden miokard infark, stroke, dan gagal jantung pada subyek tanpa penyakit kardiovaskular sebelumnya. Penelitian lainnya (ARIC, Framingham,dan Austrian Study) tidak menemukan hubungan yang independen antara kadar asam urat serum dan peningkatan risiko penyakit arteri koroner (Adriana, et al., 2010). 2.2.2.5 Asam Urat Serum dan Gagal Jantung Hiperurisemia adalah suatu kondisi umum dtemukan pada gagal jantung kronik. Prevalensinya meningkat seiring dengan progresivitas penyakit. Pada sebuah penelitian potong lintang, didapatkan data 51% pasien dengan gagal jantung kronik mengalami hiperurisemia. Kadar asam urat serum lebih tinggi pada pasien dengan stadium akhir gagal jantung kronik dan pada pasien yang mengalami cachexia. Kadar asam urat serum berhubungan terbalik dengan kelas fungsional NYHA dan konsumsi oksigen maksimal dan berhubungan secara signifikan dengan keparahan fungsi diastolik (Adriana, et al., 2010). Hiperursemia juga merupakan penanda prognostik gagal jantung akut dan kronik. Pada sebuah penelitian validasi kadar asam urat serum merupakan prediktor yang kuat pada harapan hidup untuk pasien dengan gagal jantung kronik berat (NYHA kelas III atau IV) pada pasien dengan kadar asam urat serum (>9,5 mg/dL), dengan risiko relatif kematian 7,4. Pada penelitian dengan gagal jantung akut dan disfungsi sistolik dengan kadar asam urat yang tinggi berhubungan
30
dengan risiko kematian yang lebih tinggi dan kejadian rawat inap berulang. Hiperurisemia juga merupakan prediktor yang indepanden dari kematian oleh berbagai sebab pada pasien yang dirawat karena gagal jantung akut (Adriana, et al., 2010). Saat ini hiperurisemia berhubungan dengan gagal jantung pada komunitas dewasa. Pada Cardiovascular Health Study, insiden dari gagal jantung terjadi pada 21% partisipan dengan hiperurisemia dan 18% pada partisipan tanpa hiperurisemia. Untuk setiap 1 mg/dL peningkatan kadar asam urat serum berhubungan dengan 12% peningkatan insiden gagal jantung. Pada penelitian potong lintang Framingham Offspring, insiden dari gagal jantung adalah 6 kali lipat di antara pasien dengan kadar asam urat tinggi (>6.3 mg/dL) dibandingkan dengan kadar asam urat serum yang rendah (<3,4 mg/dL). Hiperurisemia dapat merupakan faktor risiko yang independen terhadap terjadinya gagal jantung (Adriana, et al., 2010). Ada beberapa mekanisme yang terkait dalam gagal jantung yang diinduksi oleh hiperurisemia. Peningkatan produksi asam urat serum dapat disebabkan karena peningkatan substrat NO (pemecahan ATP menjadi adenosin dan hipoxantin) dan peningkatan regulasi dan peningkatan aktivitas XO. Setelah dilepaskan dari jaringan nekrotik, asam urat dapat menyebabkan efek samping pada sistem kardiovaskular dan dapat memediasi respon imun. Pada gagal jantung, hiperurisemia adalah penanda dari aktivasi XO (Adriana, et al., 2010). Beberapa penelitian menunjukkan reduksi dari kadar asam urat serum dapat berhubungan dengan penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.
31
Pada penelitian LIFE,penurunan kadar asam urat serum akibat pemberian Losartan berhubungan dengan reduksi 29% outcome penelitian (kematian kardiovaskular, miokard infark fatal dan non fatal, serta stroke fatal dan non fatal). Allopurinol dan oxipurinol adalah penghambat XO yang digunakan sebagai terapi hiperurisemia. Berkurangnya kadar asam urat serum pada hipertensi dengan menggunakan penghambat XO menurunkan tekanan darah pada orang usia muda dengan hipertensi awitan awal. Penelitian lain menunjukkan adanya peran penghambat XO pada gagal jantung. Pada gagal jantung kronik allupurinol memperbaiki disfungsi endotel, kapasitas vasodilatasi perifer dan energi miokardium dengan menurunkan penanda stres oksidatif. Pada penelitian Oxypurinol Therapy for Congestive Heart Failure (OPT-CHF) oxypurinol meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan memperbaiki klinis dari pasien gagal jantung kronik pada pasien dengan kadar asam urat serum yang tinggi (Adriana, et al., 2010). 2.2.3 Paradoksikal Asam Urat Asam urat memiliki beberapa fungsi biologi dapat menguntungkan atau bahkan merugikan. Asam urat serum adalah antioksidan yang sangat kuat dan melindungi tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas bersama dengan asam askorbat. Asam urat serum bereaksi dengan berbagai oksidan dan mencegah pembentukan peroksinitrit dan inaktivasi nitrit oksida melalui anion superoksida. Pada pasien dengan hiperurisemia, kapasitas total antioksidan plasma meningkat. Hal ini menimbulkan sugesti bahwa hiperurisemia dapat merupakan mekanisme
32
kompensasi untuk mengatasi kerusakan akibat stres oksidatif berkaitan dengan aterosklerosis (Adriana, et al., 2010). Paradoks ini termasuk fakta tingginya kadar asam urat serum, yang memiliki aktivitas antioksidan tinggi, pada peningkatan risiko kardiovaskular. Beberapa teori juga mengemukakan kemungkinan perubahan potensi asam urat yang merupakan antioksidan pada kadar rendah, menjadi pro-oksidan pada kadar yang tinggi. Kadar asam urat serum yang berlebih dapat menyebabkan disfungsi endotel, proliferasi dari otot polos pembuluh darah, meningkatkan adhesi platelet, oksidasi dari kolesterol LDL, dan peroksidasi lipid. Seluruh proses patologis ini dapat menyebabkan aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular (Adriana, et al., 2010). 2.3 Penyakit Ginjal Kronik Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). Kriteria PGK : 1. Kelainan ginjal berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan manifestasi klinis dan kerusakan ginjal secara laboratorik atau kelainan pada pemeriksaan radiologi, dengan atau tanpa penurunan fungsi ginjal (penurunan LFG) yang berlangsung > 3 bulan.
33
2. Penurunan LFG < 60 mL/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal (National Kidney Foundation, 2002). Umumnya PGK disebabkan oleh penyakit ginjal intrinsik difus dan menahun. Hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan berakhir dengan PGK. Umumnya penyakit di luar ginjal, seperti nefropati obstruktif dapat menyebabakan
kelainan ginjal intrinsik dan berakhir dengan PGK (Sukandar, 2006). Menurut data yang sampai saat ini dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut: glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008). Klasifikasi PGK didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi derajat penyakit, dikelompokkan atas penurunan faal ginjal berdasarkan LFG sesuai rekomendasi NKF-KDOQI: Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (National Kidney Foundation, 2002)
34
2.3.1 Penatalaksanaan Penatalaksanaan PGK terbagi menjadi penatalaksanaan konservatif dan terapi pengganti ginjal. Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006). Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak bermanfaat (Suwitra, 2006). Perencanaan tatalaksana PGK sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat di tabel berikut : Tabel 2.2 Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya (KDOQI,2000)
35
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien PGK. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra, 2006). 2.3.2 Terapi pengganti ginjal Terapi pengganti ginjal dilakukan pada PGK stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 mL/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien PGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa
yang
termasuk
dalam
indikasi
absolut,
yaitu
perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006). Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel
36
(hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006). Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) kini menjadi semakin populer di pusat pengembangan penyakit ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien PGK dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik yang disertai berbagai komorbiditas dan komortalitas. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan secara mandiri, dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006). Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Menurut (Sukandar, 2006) pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu: 1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah 2. Kualitas hidup normal kembali 3. Masa hidup (survival rate) lebih lama 4. Komplikasi terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan. 5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
37
2.4 Hemodialisis 2.4.1 Definisi Hemodialisis merupakan suatu tindakan medik terapi pengganti ginjal dengan menggunakan selaput membran semi permiabel (dialiser), yang berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa pada pasien PGK (Black, 2005). Hemodialisis perlu dilakukan untuk menggantikan fungsi ekskresi ginjal sehingga tidak terjadi gejala uremia yang lebih berat. Pada pasien dengan fungsi ginjal yang minimal, hemodialisis dilakukan untuk mencegah komplikasi membahayakan yang dapat menyebabkan kematian (Pernefri, 2003). 2.4.2 Indikasi Hemodialisis Konsensus Dialisis Pernefri (2003) menyebutkan bahwa indikasi dilakukan tindakan dialisis adalah pasien PGK dengan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) <15 mL/menit, pasien dengan Tes Klirens Kreatinin (TKK)/LFG <10 mL/menit dengan gejala uremia, atau TKK/LFG <5 mL/menit walau tanpa gejala. Pada TKK/LFG <5 mL/menit, fungsi ekskresi ginjal sudah minimal sehingga mengakibatkan akumulasi zat toksik dalam darah dan komplikasi yang membahayakan bila tidak dilakukan tindakan dialisis segera. 2.4.3 Komponen Hemodialisis a. Mesin hemodialisis Mesin hemodialisis merupakan mesin yang dibuat dengan sistem komputerisasi yang berfungsi untuk pengaturan dan monitoring yang penting untuk mencapai adekuasi hemodialisis.
38
b. Dialiser Merupakan komponen penting yang merupakan unit fungsional dan memiliki fungsi seperti nefron ginjal. Berbentuk seperti tabung yang terdiri dari 2 ruang yaitu kompartemen darah dan kompartemen dialisat yang dipisahkan oleh membran semi permeabel. Di dalam dialiser cairan dan molekul dapat berpindah dengan cara difusi, osmosis, ultrafiltrasi, dan konveksi. Dialiser yang mempunyai permebilitas yang baik mempunyai kemampuan yang tinggi dalam membuang kelebihan cairan, sehingga akan menghasilkan bersihan yang lebih optimal (Black, 2005). c. Dialisat Merupakan cairan yang komposisinya seperti plasma normal dan terdiri dari air dan elektrolit, yang dialirkan ke dalam dialiser. Dialisat digunakan untuk membuat perbedaan konsentrasi yang mendukung difusi dalam proses hemodialisis. Dialisat merupakan campuran antara larutan elektrolit, bikarbonat, dan air yang berperan untuk mencegah asidosis dengan menyeimbangkan kadar asam basa. Untuk mengalirkan dialisat menuju dan keluar dari dialiser memerlukan kecepatan aliran dialisat yang disebut Quick of Dialysate (Qd). Untuk mencapai hemodialisis yang adekuat Qd yang disarankan adalah 400-800 mL/menit (Daugirdas, 2007). d. Akses vaskular Akses vaskular merupakan jalan untuk memudahkan pengeluaran darah dalam proses hemodialisis untuk kemudian dimasukkan lagi ke dalam tubuh pasien. Akses yang adekuat akan memudahkan dalam melakukan penusukan dan
39
memungkinkan aliran darah sebanyak 200-300 mL/menit untuk mendapatkan hasil yang optimal. Akses vaskular dapat berupa kanula atau kateter yang dimasukkan ke dalam lumen pembuluh darah seperti sub klavia, jugularis, atau femoralis. Akses juga dapat berupa pembuluh darah buatan yang menyambungkan vena dengan arteri yang disebut Arterio Venosus Fistula/Cimino (Pernefri, 2003; Daugirdas,2007). e. Quick of blood (Qb) Qb adalah banyaknya darah yang dapat dialirkan dalam satuan menit dan merupakan salahsatu faktor yang mempengaruhi bersihan ureum. Peningkatan Qb akan mengakibatkan peningkatan jumlah ureum yang dikeluarkan sehingga bersihan ureum juga meningkat. Dasar pengaturan kecepatan aliran (Qb) rata-rata adalah 4 kali berat badan pasien. Qb yang disarankan untuk pasien yang menjalani hemodialisis selama 4 jam adalah 250-400 mL/menit. Ketidak tepatan dalam pengaturan dan pemantauan Qb akan menyebabkan tindakan hemodialisis yang dilakukan menjadi kurang efektif (Daugirdas, 2007; Gatot, 2003). 2.4.4 Proses Hemodialisis Proses hemodialisis dimulai dengan pemasangan kanula inlet ke dalam pembuluh darah arteri dan kanula outlet ke dalam pembuluh darah vena, melalui fistula arteriovenosa (Cimino) yang telah dibuat melalui proses pembedahan. Sebelum darah sampai ke dialiser, diberikan injeksi heparin untuk mencegah terjadinya pembekuan darah. Darah akan tertarik oleh pompa darah (blood pump) melalui kanula inlet arteri ke dialiser dan akan mengisi kompartemen 1 (darah).
40
Sedangkan cairan dialisat akan dialirkan oleh mesin dialisis untuk mengisi kompartemen 2 (dialisat). Setelah terjadi proses hemodialisis di dalam dialiser, maka darah akan dikembalikan ke dalam tubuh melalui kanula outlet vena. Sedangkan cairan dialisat yang telah berisi zat toksin yang tertarik dari darah pasien akan dibuang oleh mesin dialisis oleh cairan pembuang yang disebut ultrafiltrat. Semakin banyak zat toksik atau cairan tubuh yang dikeluarkan maka bersihan ureum yang dicapai selama hemodialisis akan semakin optimal (Depkes, 1999; Black, 2005). 2.4.5 Adekuasi Hemodialisis Adekuasi hemodialisis merupakan kecukupan dosis hemodialisis yang direkomendasikan untuk mendapatkan hasil yang adekuat pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis (NKF-K/DOQI, 2000). Pencapaian adekuasi hemodialisis diperlukan untuk menilai efektivitas tindakan hemodialisis yang dilakukan. Hemodialisis yang adekuat akan memberikan manfaat yang besar dan memungkinkan pasien PGK tetap bisa menjalani aktivitasnya seperti biasa. Terdapat hubungan yang kuat antara adekuasi hemodialisis dengan morbiditas dan mortalitas pasien PGK. Pourfarziani et al (2008) telah meneliti adekuasi 338 pasien hemodialisis di Iran, dan dari hasil penelitian disimpulkan bahwa bersihan urea yang tidak optimal pada hemodialisis yang tidak adekuat akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien hemodialisis. Hemodialisis yang tidak adekuat juga dapat mengakibatkan kerugian material dan menurunnya produktivitas pasien hemodialisis.
41
Hemodialisis yang tidak adekuat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti bersihan ureum yang tidak optimal, waktu dialisis yang kurang, dan kesalahan dalam pemeriksaan laboratorium (ureum darah). Fink (2001) mengemukakan bahwa adekuasi dipengaruhi oleh tipe akses vaskular, blood flow (Qb), dialyzer urea clearance, dan waktu dialisis. Li (2000) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa adekuasi hemodialisis dipengaruhi oleh tipe akses vaskular, jenis membran dialisis, blood flow (Qb), dan dialyzer clearance. Dewi (2010) dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara Quick of blood (Qb) dengan adekuasi hemodialisis (p = 0,225). Penelitian ini juga menyebutkan tidak ada hubungan yang bermakna antara usia, jenis kelamin, dan pendidikan terhadap adekuasi hemodialisis. Untuk mencapai adekuasi hemodialisis, maka besarnya dosis yang diberikan harus memperhatikan hal-hal berikut :(Pernefri, 2003; Daugirdas, 2007) a. Time of Dialysis Adalah lama waktu pelaksanaan hemodialisis yang idealnya 10-12 jam perminggu. Bila hemodialisis dilakukan 2 kali/minggu maka lama waktu tiap kali hemodialisis adalah 5-6 jam, sedangkan bila dilakukan 3 kali/minggu maka waktu tiap kali hemodialisis adalah 4-5 jam. Lama waktu hemodialisis sangat penting dalam usaha untuk mencapai adekuasi hemodialisis. Semakin panjang durasi/waktu sesi hemodialisis akan makin mengoptimalkan bersihan ureum sehingga adekuasi dapat tercapai dan kualitas hidup pasien meningkat. Nilai Kt/V yang rendah dapat disebabkan karena jumlah mesin yang tidak memadai dan durasi hemodialisis yang <4 jam (Gatot, 2003).
42
b. Interdialytic Time Adalah waktu interval atau frekuensi pelaksanaan hemodialisis yang berkisar antara 2 kali/minggu atau 3 kali/minggu. Idealnya hemodialisis dilakukan 3 kali/minggu dengan durasi 4-5 jam setiap sesi, akan tetapi di Indonesia dilakukan 2 kali/minggu dengan durasi 4-5 jam, dengan pertimbangan bahwa PT ASKES hanya mampu menanggung biaya hemodialisis 2 kali/minggu (Gatot, 2003). c. Quick of Blood (Blood flow) Adalah besarnya aliran darah yang dialirkan ke dalam dialiser yang besarnya antara 200-600 mL/menit dengan cara mengaturnya pada mesin dialisis. Pengaturan Qb 200 mL/menit akan memperoleh bersihan ureum 150 mL/menit, dan peningkatan Qb sampai 400mL/menit akan meningkatkan bersihan ureum 200 ml/menit. Kecepatan aliran darah (Qb) rata-rata adalah 4 kali berat badan pasien, ditingkatkan secara bertahap selama hemodialisis dan dimonitor setiap jam. Penelitian pada 36 pasien hemodialisis yang ditingkatkan Qb-nya 15% pada pasien dengan berat badan <65 kg dan 20% pada pasien dengan berat badan >65 kg. Hasilnya menunjukkan bahwa peningkatan Qb 15-20% secara bertahap dapat meningkatkan adekuasi hemodialisis. Peningkatan Qb dapat meningkatkan pencapaian adekuasi hemodialisis, yang telah dibuktikan oleh Borzou (2009) yang meneliti 42 pasien hemodialisis yang dibagi menjadi 2 kelompok dengan pengaturan Qb yang berbeda, yaitu 200 mL/menit dan 250 mL/menit. Hasilnya pada pasien dengan Qb 200 mL/menit sebanyak 16,7% pasien mencapai Kt/V >1,3 dan URR >65%, sedangkan pada
43
pasien dengan Qb 250 mL/menit sebanyak 26,2% pasien mencapai Kt/V >1,3 dan URR >65%. Penelitian Gatot (2003) menyebutkan bahwa salah satu faktor penting dalam proses hemodialisis adalah pengaturan dan pemantauan Qb Hal itu menunjukkan bahwa peningkatan Qb dapat meningkatkan pencapaian adekuasi hemodialisis. d. Quick of Dialysate (Dialysate flow) Adalah besarnya aliran dialisat yang menuju dan keluar dari dialiser yang dapat mempengaruhi tingkat bersihan yang dicapai, sehingga perlu di atur sebesar 400-800 mL/menit dan biasanya sudah disesuaikan dengan jenis atau merk mesin. Daugirdas (2007) menyebutkan bahwa pencapaian bersihan ureum yang optimal dapat dipengaruhi oleh kecepatan aliran darah (Qb), kecepatan aliran dialisat (Qd), dan koefisien luas permukaan dialiser. e. Clearance of dialyzer Klirens menggambarkan kemampuan dialiser untuk membersihkan darah dari cairan dan zat terlarut, dan besarnya klirens dipengaruhi oleh bahan, tebal, dan luasnya membran. Luas membran berkisar antara 0,8-2,2 m². KoA merupakan koefisien luas permukaan transfer yang menunjukkan kemampuan untuk penjernihan ureum. Untuk mencapai adekuasi diperlukan KoA yang tinggi yang diimbangi dengan Qb yang tinggi pula antara 300-400 mL/menit (Daugirdas, 2007). f. Tipe akses vaskular Akses vaskular cimino (Arterio Venous Shunt) merupakan akses yang paling direkomendasikan bagi pasien hemodialisis. Akses vaskular cimino yang
44
berfungsi dengan baik akan berpengaruh pada adekuasi dialisis. Wasse (2007) menyatakan adanya hubungan antara akses vaskular dengan adekuasi hemodialisis dan berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien hemodialisis. g. Tekanan transmembran Adalah besarnya perbedaan tekanan hidrostatik antara kompartemen dialisis (Pd) dan kompartemen darah (Pb) yang diperlukan agar terjadi proses ultrafiltrasi. Nilainya tidak boleh kurang dari -50 dan Pb harus lebih besar daripada Pd serta dapat dihitung secara manual dengan rumus : TMP = (Pb – Pd) mmHg Hemodialisis dinilai adekuat bila mencapai hasil sesuai dosis yang direncanakan. Untuk itu, sebelum hemodialisis dilaksanakan harus dibuat suatu peresepan untuk merencanakan dosis hemodialisis, dan selanjutnya dibandingkan dengan hasil hemodialisis yang telah dilakukan untuk menilai keadekuatannya. Adekuasi hemodialisis diukur secara kuantitatif dengan menghitung Kt/V yang merupakan rasio dari bersihan urea dan waktu hemodialisis dengan volume distribusi urea dalam cairan tubuh pasien (Eknoyan, 2000 ; Owen, 2000 ; Cronin, 2001; Jindal, 2006). Konsensus Dialisis Pernefri (2003) menyatakan bahwa di Indonesia adekuasi hemodialisis dapat dicapai dengan jumlah dosis hemodialisis 10-15 jam perminggu. Pasien yang menjalani hemodialisis 3 kali/minggu diberi target Kt/V 1,2, sedangkan pasien yang menjalani hemodialisis 2 kali/minggu diberi target Kt/V 1,8. K/DOQI (2006) merekomendasikan bahwa Kt/V untuk setiap
45
pelaksanaan hemodialisis adalah minimal 1,2 dengan target adekuasi 1,4. Penghitungan Kt/V dapat dilakukan dengan menggunakan rumus NKF-KDOQI sebagai berikut : Kt/V = -ln (R–0,008t) + (4–3,5R)
(BB pre dialisis – BB post dialisis)/BB post dialisis
Keterangan : K : Klirens dialiser yaitu darah yang melewati membran dialiser dalam mL/menit Ln : Logaritma natural R : Ureum post dialisis/Ureum pre dialisis t : lama dialisis (jam) V : volume cairan tubuh dalam liter (laki-laki 65% BB/berat badan dan wanita 55% BB/berat badan) Konsensus Dialisis Pernefri (2003) menyatakan bahwa adekuasi hemodialisis diukur secara berkala setiap bulan sekali atau minimal setiap 6 bulan sekali. Secara klinis hemodialisis dikatakan adekuat bila keadaan umum pasien dalam keadaan baik, merasa lebih nyaman, tidak ada manifestasi uremia dan usia hidup pasien semakin panjang. (Black, 2005). 2.5 Hiperurisemia pada Penyakit Ginjal Kronik 2.5.1 Metabolisme Asam Urat pada PGK dan Hemodialisis Peningkatan kejadian kardiovaskular telah secara luas didokumentasikan pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir, yang mencakup populasi
pasien
dengan
peritoneal
dialisis
dan
hemodialisis. Kejadian
kardiovaskular masih menyumbangkan 40%mortalitas per tahun pada pasien
46
dialisis. Meskipun banyak faktor risiko, yang dikategorikan menjadi faktor risiko tradisional telah dipublikasikan pada beberapa tahun belakangan ini, serial meta analisis yang dilakukan belum mampu mendemonstrasikan efek yang signifikan dari
modifikasi
beberapa
faktor
risiko
seperti
hiperlipidemia,
hiperhomosisteinemia, stres oksidatif, dan hiperfosfatemia pada hasil akhir dari pasien pada kelompok dengan risiko tinggi ini. Karenanya menemukan faktor risiko yang baru dan dapat dimodifikasi untuk kejadian kematian oleh semua akibat dan akibat kardiovaskular sangat penting (Dong, et al., 2014; Busuioc, et al., 2007; Cirillo, et al., 2006). Asam urat adalah salah satu faktor risiko baru yang menjadi perhatian pada tahun-tahun ini. Pada populasi umum, beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa asam urat berhubungan erat dengan hipertensi, penyakit arteri koroner dan PGK. Asam urat tinggi juga dapat secara independen memprediksi kejadian kardiovaskular dan mortalitas pada pasien dengan penyakit kronik termasuk pada pasien PGK. Untuk populasi dialisis, beberapa penelitian menemukan hubungan yang tidak konsisten antara asam urat dan hubungannya dengan mortalitas yang bervariasi dari tidak berhubungan atau hubungan berbentuk J terhadap mortalitas oleh semua sebab dan oleh sebab kardiovaskular. Tidak ada data yang spesifik pada populasi pasien yang menjalani peritoneal dialisis (Dong, et al., 2014; Short dan Tuttle, 2005). Keseimbangan antara produksi asam urat dan ekskresinya menentukan kadar asam urat serum. Ginjal bertanggung jawab terhadap ekskresi dari duapertiga kadar asam urat setiap hari dan sepertiga lainnya diekresikan melalui
47
traktus gastrointestinal. Lebih dari 90% dari seluruh kasus hiperurisemia terjadi akibat gangguan dari ekskresi asam urat oleh ginjal (Cain, et al., 2010). Prevalensi dari hiperurisemia meningkat secara paralel dengan penurunan laju filtrasi glomerulus, sehingga kejadian hiperurisemia dapat ditemukan pada 40-60% pasien PGK stadium 1 sampai 3, dan 70% pada pasien PGK stadium 4 dan 5. Pada pasien yang menjalani hemodialisis, prevalensi hiperurisemia juga meningkat paralel seiring dengan lamanya menjalani hemodialisis. Berdasarkan beberapa penelitian epidemiologi, rata-rata kadar asam urat serum berkisar antara 5,2 sampai 6,9 mg/dL pada pasien PGK stadium 1 sampai 3 (rerata 5,9 mg/dL), 5,9 sampai 7,8 mg/dL pada pasien PGK stadium 4 dan 5 (rerata 6,8 mg/dL), dan 6,7 sampai 8,6 mg/dL pada pasien yang menjalani dialisis (rerata 7,6 mg/dL). Kadar asam urat serum pada pasien yang menjalani hemodialisis (HD) dan pasien yang menjalani peritoneal dialisis (PD) adalah sama. Kurang dari 5% pasien yang menjalani hemodialisis memiliki kadar asam urat serum<5,5 mg/dL dan hampir 20% dengan kadar asam urat serum>8,5 mg/dL. Pasien Asia yang menjalani hemodialisis memiliki kadar asam urat serum yang lebih tinggi (rerata 8,4 mg/dL) dibandingkan dengan pasien dari Amerika atau Eropa (rerata 8,1 mg/dL) (Mariana,2012; Satirapoj, et al., 2010; Hag, et al., 2010). Hiperurisemia umum ditemukan pada penyakit ginjal karena berkurangnya klirens asam urat. Meskipun demikian, peran hiperurisemia terhadap progresivitas penyakit ginjal masih diperdebatkan. Awalnya kondisi hiperurisemia ini diduga sebagai penanda dari kerusakan ginjal dan secara sekunder sebagai faktor risiko independen terhadap perburukan penyakit ginjal dan progresivitasnya. Dari
48
beberapa penelitian terakhir, asam urat juga memiliki kontribusi terhadap penyakit kardiovaskular (Filiopoulos, et al., 2011; Busuioc, et al., 2007). Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya hiperurisemia pada pasien PGK, diantaranya adalah hilangnya filtrasi asam urat sebagai akibat dari
berkurangnya laju filtrasi glomerulus, penurunan sekresi tubular asam urat karena penyakit tubulointerstisial, dan terapi dengan diuretik. Peningkatan kadar asam urat sudah mulai terlihat pada stadium awal PGK (laju filtrasi glomerulus antara 90-100 mL/min) (Mariana, 2012; Feng, et al., 2013; Malinda dan Bonnie, 2008). 2.5.2 Asam Urat dan Klirens pada Dialisis Asam urat memiliki berat molekul yang kecil (168 Da) yang bersifat sangat hidrofilik dan memiliki konstan difusi yang tinggi antara kompartemen intraselular dan ekstraselular. Lebih dari 95% asam urat tidak berikatan dengan albumin. Klirens asam urat dengan hemodialisis hampir sama dengan klirens urea, yaitu mendekati 70% sampai 80% ekstraksi. Klirens yang terjadi adalah sama pada hemodialiser yang low-flux maupun yang high-flux (Cain, et al., 2010; Satirapoj, et al., 2010). Pada setiap sesi hemodialisis, kadar asam urat serum berkurang antara 1,1 dan 2,4 mg/dL. Kadar peningkatan kembali (rebound) asam urat setelah hemodialisis belum dapat dievaluasi. Dibandingkan dengan hemodialisis standar (3x4 jam per sesi per minggu), hemodialisis yang dilakukan setiap hari dengan waktu singkat (6x2 jam per sesi per minggu) memiliki 10% reduksi pada kadar asam urat predialisis. Pada pasien yang menerima dialisis, hiperurisemia berhubungan dengan adanya hipertensi predialisis dan tidak berhubungan dengan
49
volume, nutrisi, dan berat badan dari pasien pediatri (Feng, 2013; Kang, et al., 2002). 2.5.3 Asam Urat dan Risiko Mortalitas pada Hemodialisis Serupa dengan hasil yang ditemukan pada populasi umum, bukti terhadap hubungan asam urat dengan kejadian kardiovaskular dan mortalitas pada pasien dengan penyakit ginjal masih menjadi kontroversi. Pada pasien dengan PGK, asam urat menunjukkan gambaran yang linear atau berbentuk J dalam hubungannya
dengan
mortalitas
oleh
semua
sebab
atau
oleh
akibat
kardiovaskular, meskipun pada beberapa penelitian hubungan ini tidak menunjukkan signifikansi atau tidak berhubungan setelah disesuaikan dengan kadar proteinuria atau laju filtrasi glomerulus. Pada populasi dialisis, penelitian menunjukkan hasil yang berbeda, dari hubungan berbentuk J sampai hubungan terbalik antara kadar asam urat dan mortalitas. Namun demikian, hubungan terbalik antara kadar asam urat yang tinggi dengan rendahnya angka kematian oleh semua sebab dan akibat kardiovaskular pada populasi dialisis diperkirakan berhubungan dengan status nutrisi yang lebih baik pada pasien hemodialisis dengan kadar asam urat yang lebih tinggi (Feng, et al., 2013). Penyakit kardiovaskular adalah penyebab utama kematian pada populasi pasien hemodialisis. Tingginya insiden dan prevalen penyakit kardiovaskular pada pasien yang menjalani hemodialisis berhubungan dengan tekanan darah tinggi, gangguan
metabolisme
lipid,
stres
oksidatif,
mikroinflamasi,
hiperhomosisteinemia, anemia, hiperparatiroidisme sekunder, dan aliran pintas vaskular sebagai akses hemodialisis sebagai faktor risiko. Angka mortalitas
50
tahunan oleh sebab kardiovaskular pada pasien adalah 9% dengan hipertrofi ventrikel kiri, penyakit jantung iskemik, dan gagal jantung kongestif sebagai penyebab yang sering ditemukan (Petrovic, et al., 2011). Pasien yang menjalani hemodialisis juga berisiko tinggi mengalami kematian jantung mendadak karena hipertrofi ventrikel kiri, gangguan sirkulasi koroner, berkurangnya cadangan pembuluh darah koroner, peningkatan aktivitas simpatik dan konsentrasi angiotensin II plasma, dan perubahan elektrolit yang cepat selama dialisis (kalium, kalsium, dan magnesium) (Petrovic, et al., 2011; Busuioc, et al., 2007). Selain angka mortalitas, morbiditas kardiovaskular pada pasien yang menjalani dialisis juga memiliki prevalensi yang tinggi. Rata-rata 75% pasien mengalami hipertrofi ventrikel kiri yang ditentukan lewat echocardiography. Rata-rata prevalensi dari penyakit arteri koroner atau gagal jantung kongestif pada pasien yang menjalani dialisis adalah 40%. Tingginya risiko morbiditas dan mortalitas pada pasien yang menjalani hemodialisis berhubungan dengan tinggi prevalensi dari faktor risiko yang sudah diketahui sebelumnya untuk penyakit kardiovaskular pada populasi umum (hipertensi, diabetes, dan dislipidemia). Sebagai tambahan, karakteristik khusus pada pasien hemodialisis juga memiliki peran yang penting, diantaranya adalah adanya kondisi komorbid multipel, kondisi kelebihan cairan, dan gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Selain itu, PGK sendiri adalah salah satu faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular (Busuioc, et al., 2007; Jager, et al., 2009; Cirillo, et al., 2006).
51
Konsep yang dianut saat ini adalah tingginya mortalitas pada pasien yang menjalani dialisis secara garis besar dapat dijelaskan oleh karena peningkatan mortalitas oleh sebab kardiovaskular. Angka harapan hidup pada populasi pasien ini dikatakan memendek sebagai konsekuensi akibat kematian kardiovaskular yang prematur (Jager, et al., 2009). 2.6 Status Nutrisi pasien Hemodialisis Ada beberapa cara menilai status nutrisi, diantaranya adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik, antropometri, laboratorium, dan penilaian komposisi tubuh dengan Dual Energy X-ray Reabsorptiometry (DEXA) dan Bioelectric Impedance Analysis (BIA). Pada pemeriksaan fisik, gejala dan tanda dari malnutrisi sulit diketahui secara dini karena baru timbul bila dalam keadaan lanjut. 2.6.1 Pemeriksaan Antropometri Pada pasien dialisis, berat badan ataupun IMT merupakan alat skrining yang berguna dalam mengevaluasi status nutrisi. IMT dihitung dengan rumus berat badan dalam kg dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat. IMT dibagi atas: < 18,5 kg/m2 (berat badan kurang/ underweight),18,5-22,9 kg/m2 (normal), 23-27,4 kg/m2 (berat badan lebih/ overweight), >27,5 kg/m2 (obese). IMT dilakukan berdasarkan berat badan setelah dialisis atau berat badan kering (dry weight) untuk meminimalkan efek berat air sehubungan dengan retensi cairan (Schmidt dan Sahaludeen, 2007; Jaeger dan Mehta, 1999). Beberapa studi menggunakan IMT sebagai petanda nutrisi melaporkan IMT yang rendah dan IMT >30 kg/m2 pada pasien HD berhubungan dengan peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas. IMT tidak dapat dipakai untuk
52
membedakan massa otot dan jaringan lemak (Beddhu, et al, 2003). Pasien yang mengalami IMT yang rendah atau penurunan IMT, perlu diperiksa komposisi tubuhnya untuk mengidentifikasi dan mengobati secara dini hilangnya Fat Free Mass (FFM), demikian juga pada IMT normal untuk meyakinkan bahwa FFM masih normal (Schmidt dan Salahudeen, 2007). Lingkar lengan atas dan Triceps Skinfold Thickness (TST) juga dapat mengukur status nutrisi pada pasien PGK. Pengukuran dilakukan setelah dialisis pada pasien saat berat badan kering, dilakukan pada lengan kanan atas kecuali merupakan akses HD, luka atau stroke. Posisi lengan paralel dengan tubuh dan siku membentuk sudut 90o, Dengan pita yang fleksibel lingkar lengan atas tengah diukur dengan pendekatan 0,1 cm. Nilai normal untuk laki-laki 25-27 cm, untuk perempuan 21-23 cm. TST diukur di tengah sisi belakang dari lengan atas kanan dengan posisi lurus paralel dengan tubuh, kaliper pengukur dijepitkan ke kulit dan subkutan (jangan mengenai otot). Nilai dicatat dengan pendekatan 0,1 cm. Nilai normal untuk laki-laki 12,5 cm, untuk perempuan 16,5 cm (Howell, 1998; Moran, 1989). Pengukuran Lingkar Lengan atas dan TST berguna untuk\ menilai perubahan jaringan lemak subkutan dalam jangka lama, pengukuran bisa salah pada perubahan akut cadangan glikogen, lemak, dan adanya edema (Howell, 1998). 2.6.2 Laboratorium Pemeriksaan seperti prealbumin, albumin, kreatinin, ferritin dan transferin serum dapat digunakan untuk menilai status nutrisi (Fleischmann, et al., 1999). Pada studi Fleischmann dkk (1999) nilai prealbumin, albumin, kreatinin dan
53
transferin dijumpai lebih tinggi pada pasien berat badan lebih (overweight) dan paling rendah pada berat badan kurang (underweight). Hipoalbuminemia pada pasien dialisis tidaklah harus menunjukkan malnutrisi. Transferin serum merupakan petanda yang lebih sensitif dibanding albumin untuk menilai status nutrisi (sehubungan dengan waktu paruhnya yang singkat), tetapi interpretasi transferin sering sulit karena meningkatnya kebutuhan zat besi yang diinduksi oleh perdarahan kronik dan terapi eritropoetin (Wolfson, 1999; Saxena, 2004). Feritin serum dijumpai lebih tinggi secara statistik bermakna pada pasien yang memiliki berat badan kurang dibandingkan dengan berat badan normal (Fleischmann, 1999). Rendahnya kadar kreatinin serum menunjukkan asupan protein yang rendah dan atau hilangnya massa otot skelet dan ini berhubungan dengan meningkatnya mortalitas. Tetapi kreatinin serum sebagai indikator malnutrisi belumlah dipastikan (Saxena, 2004). 2.6.3 Dual Energy X Ray Absorptiometry (DEXA) DEXA merupakan metode akurat, non invasif dan sensitif untuk menilai 3 komponen komposisi tubuh yaitu FM, FFM, mineral dan densitas tulang. DEXA menggunakan sumber sinar x. Keterbatasan alat ini adalah tidak dapat membedakan antara cairan intra dan ekstraseluler, paparan radiasi, mahal dan tidak mudah dilakukan pada bed side sehingga tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan reguler (Halim, et al., 2007; Saxena, 2004). 2.6.4 Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) BIA ditemukan di awal tahun 1960, merupakan metode pengukuran komposisi tubuh yang cocok untuk klinis dan lapangan. BIA bekerja berdasarkan
54
sifat konduksi jaringan tubuh. BIA telah dipakai secara luas untuk menilai komposisi cairan tubuh dan status nutrisi pada pasien-pasien HD (Saxena, 2004). BIA adalah metode noninvasif dalam mengevaluasi komposisi cairan tubuh, sederhana, aman, murah, mudah digunakan, hasil segera didapat, dapat dibawa kemana-mana, dan banyak dipakai di unit HD. BIA menganalisis komposisi cairan tubuh secara tidak langsung dengan mencatat perubahan impedance arus listrik segmen tubuh (Guida, et al., 2001; Woolard, 2009). Prinsip BIA adalah mengukur perubahan arus listrik jaringan tubuh yang didasarkan pada asumsi bahwa jaringan tubuh adalah merupakan konduktor silinder ionik dimana lemak bebas ekstraselular dan intraseluler berfungsi sebagai resistor dan kapasitor. Arus listrik dalam tubuh adalah jenis ionik dan berhubungan dengan jumlah ion bebas dari garam, basa dan asam, juga berhubungan dengan konsentrasi, mobilitas, dan temperatur medium. Jaringan terdiri dari sebagian besar air dan elektrolit yang merupakan penghantar listrik yang baik, sementara lemak dan tulang merupakan penghantar listrik yang buruk (Shumei, et al., 2001; Russel dan Mc Adams, 1998; Kyle, et al., 2004). 2.6.5 Subjective Global Assessment Subjective Global Assessment (SGA) adalah alat yang digunakan oleh petugas kesehatan untuk menilai status nutrisi, dan membantu memprediksikan outcome klinis akibat status nutrisi tersebut, seperti pada kondisi infeksi pasca operasi, dan atau mortalitas. Alat ini memiliki banyak keunggulan setelah dinilai pada berbagai penelitian klinis, alat ini murah, mudah, dan dapat dilakukan dengan cepat. Beberapa penelitian juga menemukan bahwa SGA dapat
55
direproduksi, valid, dan reliabel. Karena keunggulan-keunggulan tersebutlah, NKF-KDOQI merekomendasikan penggunaan SGA untuk menilai status nutrisi pada populasi dialisis dewasa (K/DOQI, 2000; Jones, et al., 2004; Coper, et al., 2002). Destky, et al., mempublikasikan alat menilai status nutrisi yang disebut SGA, yang awalnya ditujukan untuk menilai status nutrisi pasien pasca operasi dan memprediksikan infeksi pasca operasi. SGA kemudian banyak digunakan pada populasi lainnya seperti pada populas geriatri, populasi pasien dengan kanker atau yang menjalani tranplantasi hati, dan pasien dewasa yang menjalani hemodialisis reguler. Formulir SGA yang asli, terdiri dari 5 komponen anamnesis (perubahan berat badan, intake nutrisi, gejala gastrointestinal, kapasitas fungsional, penyakit dan hubungannya dengan kebutuhan nutrisi), 3 komponen pemeriksaan fisik singkat (tanda-tanda penurunan massa lemak dan massa otot, perubahan dalam keseimbangan cairan yang terkait dengan nutrisi). Pasien kemudian dikelompokan menjadi nutrisi baik (kelompok A), malnutrisi sedang (kelompok B), dan malnutrisi berat (kelompok C). SGA banyak dimodifikasi untuk memenuhi beberapa tujuan tertentu, seperti misalnya Patient Generated SGA (PG-SGA) yang dibuat untuk meminimalkan bias pada anamnesis dengan mempermudah skoring anamnesis sehingga dapat diisi sendiri oleh pasien (Detsky, et al., 1987; Kalantar, et al., 2004) Hirsch, et al., memvalidasi SGA pada 175 pasien gastroenterologi pada tahun 1990 dan penelitiannya membuktikan adanya perbedaan yang signifikan pada kelompok A SGA (nutrisi baik), dan kelompok B dan C (malnutrisi sedang
56
dan berat) dengan parameter serum albumin, berat badan, MAMC, dan tebal triceps (Hirsch, et al., 1991). Malnutrition-Inflammation Score (MIS) dikembangkan oleh KalantarZadeh dan merupakan alat pengembangan dari 7 komponen SGA dan dilengkapi dengan 3 komponen tambahan (BMI dan konsentrasi albumin serum dan TIBC). Masing-masing komponen dari MIS memiliki 4 derajat keparahan dari 0 (normal) sampai 3 (sangat berat). Jumlah dari 10 komponen MIS berkisar antara 0 sampai 30, menunjukkan derajat beratnya malnutrisi. Pada tahun 2001, sebuah penelitian prospektif dengan 83 pasien hemodialisis membandingkan antara MIS dan SGA, dengan parameter kuantitatif antropometri, persentase lemak dengan sinar infrared, parameter laboratorium mencakup CRP, dan angka hospitalisasi dan mortalitas dalam 12 bulan secara prospektif dan menemukan bahwa MIS memiliki korelasi yang lebih tinggi dibandingkan SGA dalam memprediksi outcome (Lawson, et al., 2001). 2.7 Malnutrisi dan Kematian pada Penyakit Ginjal Kronik Malnutrisi didefinisikan sebagai gangguan yang disebabkan diet abnormal atau tidak adekuat (Mitch, 2006). Malnutrisi adalah berkurangnya cadangan protein tubuh dengan atau tanpa deplesi lemak atau hilangnya kapasitas fungsional, yang disebabkan asupan nutrisi yang tidak adekuat dibanding kebutuhan nutrisi dan atau keadaan tersebut membaik dengan replesi nutrisi (Sadeh, et al., 2003). Pada pasien dialisis, ada beberapa penyebab malnutrisi. Tidak hanya diet yang tidak adekuat yang dapat menyebabkan berat badan menurun, massa otot
57
berkurang dan hipoalbuminemia pada pasien dialisis, tetapi juga proses inflamasi, uremia, asidosis metabolik, respons insulin yang tidak adekuat, kehilangan darah (perdarahan gastrointestinal, pengambilan sampel darah yang berulang, darah terbuang saat HD) dan proses dialisis itu sendiri (Saxena dan Sharma, 2004). Asupan makanan yang tidak adekuat ini bisa sekunder akibat sindroma uremia, tidak selera karena perubahan rasa, dan depresi. Asidosis metabolik menstimulasi degradasi protein di otot (Mitch, 2006). Perubahan kecil pada metabolisme protein ini akan menyebabkan kehilangan cadangan protein yang nyata bila berlangsung berminggu-minggu, karena laju sintesis dan degradasi protein akan jauh berbeda (Mitch, 2006). Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang kuat antara nutrisi dan hasil akhir dari pasien yang menjalani hemodialisis. Diantara parameter laboratorium yang dapat digunakan untuk menilai status nutrisi,
pengukuran
kadar albumin serum merupakan prediktor yang kuat terhadap kejadian mortalitas dan morbiditas. Penelitian ini menilai pentingnya status nutrisi dan inflamasi dan faktor komorbid lainnya sebagai prediktor terjadinya mortalitas pada pasien yang menjalani hemodialisis. Status nutrisi dievaluasi pada 128 pasien yang menjalani hemodialisis dengan menggunakan Subjective Global Nutritional Assessment (SGNA) dan dengan melakukan pengukuran antropometrik (berat badan aktual, persentase berat badan aktual terhadap berat badan yang diinginkan, lingkar lengan atas, tebal lipatan kulit triceps), serum albumin, insulin plasma, seperti insulin growth factor-1 (IGF-1) sebagai penanda inflamasi, kadar CRP serum. Mortalitas dalam 36 bulan dianalisis menurut umur,jenis kelamin, penyakit
58
kardiovaskukar, SGNA, serum albumin, CRP, dan beberapa faktor dengan menggunakan analisis multivariat (Qureshi, et al., 2002; Ebrahimzadehkor, et al., 2014; Salim, et al., 2007). Meskipun terapi dialisis untuk PGK tahap akhir sudah digunakan selama hampir 40 tahun, angka mortalitas pada pasien yang menjalani hemodialisis tetap tinggi. Beberapa faktor risiko sebagai penyebab hal tersebut sudah diidentifikasi seperti, usia lanjut, penyakit kardiovaskular, dan diabetes melitus. Penyakit kardiovaskular menyebabkan lebih dari 50% kematian pada pasien yang menjalani hemodialisis reguler, selain itu infeksi merupakan penyebab tersering kedua (kurang lebih 15%) (Qureshi, et al., 2002; Jones dan Bengt, 1999; Afsar, et al., 2006). Peran nutrisi sebagai faktor yang berperan dalam mortalitas pada pasien yang menjalani hemodialisis belum jelas karena beberapa faktor yang meningkatkan risiko perburukan pada pasien hemodialisis juga menyebabkan malnutrisi. Dari beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai status nutrisi, kadar albumin serum merupakan prediktor mortalitas yang paling kuat. Namun demikian, meskipun albumin selain merupakan indeks dari status nutrisi dan menggambarkan cadangan protein viseral, pembentukan, distribusi, dan eliminasinya dipengaruhi oleh beberapa faktor non-nutrisi, seperti hidrasi, permiabilitas kapiler, eliminasi melalui urin dan dialisis, infeksi, inflamasi, dan malignansi (Qureshi, et al.,2002; Ebrahimzadehkor, et al., 2014). Pada tahun 1998,sebuah penelitian potong lintang status nutrisi yang dilakukan pada 128 pasien hemodialisis dengan tujuan untuk menentukan faktor
59
yang dapat memprediksikan terjadinya malnutrisi. Peneliti menemukan bahwa 65% sampel mengalami malnutrisi yang ditentukan melalui SGNA. Pasien-pasien yang mengalami malnutrisi berusia lebih tua, memiliki kadar albumin serum, plasma IGF-1, dan kreatinin serum yang lebih rendah dibandingkan dengan sampel dengan status nutrisi yang normal. Gejala dari malnutrisi lebih sering ditemukan
pada
pasien
hemodialisis
dengan
penyakti
kardiovaskular
dibandingkan dengan sampel tanpa penyakit kardiovaskular. Inflamasi, yang digambarkan oleh kadar CRP lebih sering ditemukan pada pasien malnutrisi dibandingkan dengan pasien dengan status nutrisi yang baik, dan kadar CRP berkorelasi negatif dengan kadar albumin serum (Jonas dan Bengt, 1999; Qureshi, et al., 2002). 2.7.1 Status Nutrisi dan Outcome Klinis Penelitian yang dilakukan mengkonfirmasi bahwa status nutrisi dapat memprediksikan mortalitas pada pasien yang menjalani hemodialisis. Malnutrisi yang dinilai berdasarkan SGNA, antropometri, dan parameter biokimia lainnya, lebih sering ditemukan pada pasien yang meninggal dibandingkan dengan yang bertahan hidup. Lebih lanjut, setelah dilakukan analisis, ditemukan bahwa masing-masing faktor tersebut merupakan prediktor yang signifikan terhadap terjadinya mortalitas (Afsar, et al., 2006). 2.7.2 Malnutrisi dan Penyakit Kardiovaskular Pada banyak penelitian, penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian tersering pada pasien yang menjalani hemodialisis (kurang lebih 50%), diikuti dengan infeksi (15 sampai 20%), meskipun malnutrisi atau kakeksia bukan
60
merupakan penyebab kematian yang sering dijumpai, malnutrisi berperan sebagai prediktor mortalitas yang kuat. Foley, et al melaporkan bahwa hipoalbuminemia berhubungan dengan kejadian baru dan perburukan dari gagal jantung dan penyakit jantung iskemik pada pasien hemodialisis dan pada pasien yang menjalani continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), hal inilah yang mensugestikan adanya hubungan antara malnutrisi dan penyakit kardiovaskular meskipun kadar albumin serum bukan merupakan indikator yang ideal menggambarkan status gizi (Jonas dan Bengt, 1999; Qureshi, et al.,2002). Beberapa penelitian pada pasien tanpa PGK menunjukkan pada bahkan gagal jantung ringan dapat menyebabkan malnutrisi, hal ini mungkin disebabkan oleh peran sitokin proinflamasi yang menstimulasi katabolisme protein dan menimbulkan anoreksia. Inflamasi juga merupakan faktor penting dalam terjadinya malnutrisi dan penyakit kardiovaskular. Malnutrisi dapat memperberat gagal jantung dengan menginduksi perburukan morfoloagi dan fungsi miokardium pada penelitian eksperimental (Qureshi, et al.,2002, Salim, et al., 2007). Penelitian ini menunjukkan bahwa malnutrisi adalah prediktor independen yang signifikan terhadap mortalitas pada pasien hemodialisis. Malnutrisi pada penelitian ini menyebabkan outcome yang fatal, karena memperberat efek dari penyakit kardiovaskular yang sudah ada sebelumnya dan dengan meningkatkan kerentanan akan infeksi (Ebrahimzadehkor, et al., 2014). Pada beberapa penelitian, ditemukan bahwa kadar albumin serum yang rendah adalah prediktor mortalitas yang kuat. Namun tidak ditemukan hubungan yang independen, sehingga masih dapat berhubungan dengan faktor lainnya sperti
61
umur, adanya penyakit kardiovaskular sebelumnya, dan infeksi atau inflamasi, yang mungkin dapat memberikan efek secara langsung terhadap kematian (Qureshi, et al.,2002). 2.7.3 Inflamasi sebagai Faktor Risiko Mortalitas Pada sebuah penelitian potong lintang yang dilakukan ditemukan bahwa terutama pada pasien dengan usia tua atau dengan penyakit kardiovaskular sebelumnya, memiliki kadar CRP serum yang tinggi (≥10 mg/dL). Beberapa penelitian juga mengkonfirmasi bahwa inflamasi yang digambarkan dengan peningkatan kadar CRP atau sitokin proinflmasi adalah faktor risiko independen yang signifikan sebagai prediktor terjadinya mortalitas pada pasien hemodialisis. Inflamasi dapat berperan dalam terjadinya malnutrisi atau hipoalbuminemia dan terhadap terjadinya aterosklerotik. Sitokin proinflamasi dapat mempengaruhi status nutrisi dengan menginduksi proteolisis otot, meningkatkan pemakaian energi, dan mengurangi nafsu makan. Karenanya inflmasi dapat merupakan penyebab terjadinya malnutrisi pada pasien hemodialisis. Penelitian ini juga menemukan bahwa CRP berkorelasi negatif dengan kadar albumin serum, menunjukkan terjadinya hipoalbuminemia sebagai bagian dari respon akut inflamasi (Afsar, et al., 2006; Salim, et al., 2007). Beberapa penelitian pada populasi umum menemukan bahwa inflamasi, yang dilihat dari peningkatan kadar CRP serum dan sitokin proinflamasi plasma, berhubungan
dengan
perburukan
dari
aterosklrerotik
pada
penyakit
kardiovaskular. Stenvinkel, et al., menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara aterosklerosis, malnutrisi, dan peningkatan kadar CRP pada pasien
62
PGK tanpa dialisis. Pasien yang mengalami malnutrisi juga memiliki kadar lipoprotein (a) dan fibrinogen, dua reaktan fase akut yang diperkirakan merupakan faktor aterogenik independen pada populasi umum. Simmermann et al melaporkan bahwa inflamasi (kadar CRP yang tinggi) pada pasien hemodialisis berhubungan dengan hipoalbuminemia dan peningkatan kadar lipoprotein (a) dan fibrinogen. Pada sebuah analisis multivariat, umur dan CRP tetap merupakan prediktor independen kuat terhadap kejadian kematian oleh semua sebab dan kematian oleh sebab kardiovaskular. Hal ini menunjukkan bahwa inflamasi, yang dimediasi oleh sitokin proinflamasi, mungkin berperan sentral sebagai penyebab terjadinya malnutrisi dan penyakit kardiovaskular pada PGK stadium akhir, sehingga juga berperan terhadap tingginya mortalitas (Qureshi, et al., 2002). Sumber inflamasi pada pasien yang menjalani hemodialisis reguler masih belum jelas. Infeksi bakteri kronik atau infeksi viral dan inflamasi lainnya mungkin menyebabkan peningkatan sitokin. Berkurangnya fungsi ginjal juga memegang peranan penting, dimana pada pasien PGK yang belum menjalani dialisis terjadi peningkatan kadar sitokin proinflamasi dan inhibitor spesifiknya seiring dengan berkurangnya LFG (Qureshi, et al., 2002). Temuan utama dari penelitian ini adalah bahwa mortalitas pada 90 hari setelah memulai hemodialisis tetap tinggi, dan merupakan 34,7% dari seluruh kematian dalam satu tahun pertama pada dialisis. Peningkatan usia dan penyakit kardiovaskular adalah prediktor dari outcome yang buruk. Sebuah penelitian juga mengidentifikasi faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada periode awal dimana angka mortalitasnya tinggi pada pasien yang menjalani hemodialisis. Penggunaan
63
kateter vena sentral, indeks massa tubuh (IMT) yang rendah (penanda malnutrisi), dan ketidakpatuhan menjalani hemodialisis adalah beberapa faktor risiko yang menyebabkan hal tersebut (McQuillan, et al., 2012). Pasien yang menjalani hemodialisis reguler memiliki prevalensi yang tinggi mengalami protein energi malnutrisi (PEM) dan inflamasi. Karena kedua hal tersebut sering terjadi pada pasien hemodialisis reguler, maka kondisi ini sering disebut sebagai Malnutrition-Inflammation Complex Syndrome (MICS), atau sindrom malnutrisi-inflamasi aterosklerosis (MIA) untuk menggambarkan komplikasi aterosklerosis dari kondisi ini (Kamyar, et al., 2004; Jonas dan Bengt, 1999). MIA juga berhubungan dengan hasil akhir yang buruk, diantaranya adalah penurunan kualitas hidup, anemia refrakter, dan angka hospitalisasi yang lebih tinggi, dan mortalitas pada pasien hemodialisis reguler. Karenanya MIA dapat merupakan suatu gejala epidemiologi terbalik dari risiko penyakit kardiovaskular pada pasien hemodialisis reguler (Kamyar, et al., 2004). Nafsu makan, keinginan subjektif untuk mengkonsumsi makanan, hilang pada sebagian besar pasien hemodialisis. Namun penyebab dan derajat berkurangnya nafsu makan ini belum dapat diketahui secara pasti. Anoreksia mungkin berhubungan dengan elemen dari MIA, terutama inflamasi. Anoreksia dapat merupakan elemen kunci yang menyebabkan PEM, inflamasi, dan MIA pada pasien. Nafsu makan yang sangat rendah dapat menyebabkan hasil yang buruk pada pasien dengan hemodialisis reguler seperti respon yang kurang baik pada pemberian eritropoietin, kualitas hidup yang buruk, dan peningkatan
64
mortalitas dan hospitalisasi (Salim, et al., 2007; Afsar, et al., 2006; Kamyar, et al., 2004). Penelitian menunjukkan bahwa nafsu makan yang buruk berhubungan dengan kurangnya asupan protein dan inflamasi. Konsentrasi serum dari penanda inflamasi seperti CRP, dan dua sitokin proinflamasi (IL-6 dan TNF-α), lebih tinggi pada pasien dialisis reguler yang mengalami anoreksia. Selain itu, nafsu makan yang rendah berhubungan dengan peningkatan kebutuhan eritropietin sehingga memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami anemia refrakter. Namun demikian, penanda dari komposisi tubuh seperti indeks massa tubuh, persentasi lemak tubuh, dan tebal lipatan lengan atas, dan lingkar otot tidak berhubungan dengan intensitas nafsu makan. Pasien yang menjalani hemodialisis reguler juga melaporkan kualitas hidup yang lebih buruk secara subjektif, dan hospitalisasi dan mortalitas lebih tinggi secara signifikan pada pasien anoreksia (Salim, et al., 2007; Kamyar, et al., 2004). Penelitian ini menemukan hubungan yang kuat dan konsisten antara kurangnya nafsu makan dan kadar penanda inflamasi yang tinggi. Pasien yang menjalani hemodialisis reguler memiliki prevalensi inflamasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. MISC juga dilaporkan berhubungan dengan outcome yang buruk, termasuk berkurangnya kualitas hidup, anemia refrakter, dan angka hospitalisasi dan mortalitas yang lebih tinggi. Karenanya fenomena MICS merupakan epidemiologi yang terbalik dari faktor risiko kardiovaskular pada pasien yang menjalani hemodialisis reguler (Kamyar, et al., 2004).
65
Pada penelitian dengan 331 pasien yang menjalani hemodilisis reguler menemukan bahwa nafsu makan secara signifikan berhubungan dengan inflamasi dan status nutrisi. Nafsu makan yang rendah berhubungan dengan asupan protein yang rendah dan inflamasi. Kadar penanda inflamasi pada serum seperti CRP, IL6,dan TNF-α ditemukan lebih tinggi pada pasien hemodialisis reguler yang mengalami anoreksia. Selain itu juga ditemukan hubungan antara penanda dari nutrisi seperti normalized Protein Nitrogen Appearance (nPNA), Total IronBinding Capacity (TIBC), dan anoreksia (Kamyar, et al., 2004). Pasien dengan PGK memiliki prevalensi yang tinggi terhadap kejadian malnutrisi. Beberapa survei melaporkan malnutrisi protein kalori yang terjadi pada sampai 40% dari pasien PGK. Malnutrisi pada PGK disebabkan oleh multifaktor, namun banyak penelitian yang secara konsisten melaporkan kurangnya asupan oral sebagai faktor mayor yang berperan penting terhadap malnutrisi pada populasi pasien ini (Krenitsky, et al., 2004). Indikator dari status nutrisi, di antaranya adalah berkurangnya asupan nutrien dan massa otot secara terpisah berhubungan dengan peningkatan mortalitas dalam 12 bulan. Keluhan yang terkait dengan gastrointestinal sering terlihat pada populasi pasien ini dan sangat mungkin berhubungan dengan asupan dan malnutrisi. Penelitian-penelitian saat ini sedang dilakukan untuk menentukan bahwa apakah dengan memperbaiki status nutrisi akan memperbaiki outcome dari pasien-pasien dengan PGK (Krenitsky, et al., 2004).