BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Moral disengagement Menurut Desmita (2005: 198) pengambilan keputusan (decision making) merupakan salah satu bentuk perbuatan berpikir, hasil dari perbuatan itu disebut keputusan. Ketika seorang remaja melakukan suatu keputusan maka dapat diketahui perkembangan pemikirannya. Remaja adalah masa dimana terjadi peningkatan pengambilan keputusan untuk melakukan sebuah keputusan-keputusan dimasa depannya. Pengambilan keputusan remaja yang lebih tua akan lebih kompeten daripada yang lebih muda, sekaligus lebih kompeten dari pada anak-anak. Remaja yang lebih muda cenderung menghasilkan pilihan-pilihan, menguji situasi dari berbagai perspektif, mengantisipasi akibat dari keputusan-keputusan, dan mempertimbangkan kredibilitas sumber-sumber, akan tetapi jika dibandingkan dengan remaja yang lebih tua remaja yang lebih muda memiliki kemampuan yang kurang dalam keterampilan pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan yang diambil oleh remaja meliputi faktor seperti hambatan waktu dan keterlibatan emosional. Perbuatan menyimpang seperti mabuk-mabukan kebut-bebutan di jalan dapat mengembangkan lebih banyak peluang bagi remaja untuk terlibat dalam permainan peran dan pemecahan masalah kelompok yang berkaitan dengan kondisi-kondisi semacam itu di sekolah. Tidak jarang seorang remaja terpaksa harus
12
13
mengambil keputusan yang salah karena dipengaruhi oleh orientasi masyarakat terhadap remaja dan kegagalannya untuk memberi remaja pilihanpilihan yang memadai. Seorang remaja harus tetap diawasi terutama oleh orang tua karena jika keputusan yang diambil seorang remaja buruk maka perlu diberikan pengarahan dengan memberi suatu pilihan yang lebih baik untuk mereka pilih. Bandura (1986) dalam Detert, Trevino & Sweitzer (2008: 374), menegaskan bahwa orang-orang dapat membuat keputusan tidak etis karena proses regulasi diri moralnya tidak aktif pada saat terjadi penggunaan mekanisme kognitif yang berkaitan secara bersama-sama. Ketidakaktifan regulasi diri moral ini disebut moral disengagement. Bandura pada (1999) mengembangkan catatan tentang moral disengagement. Teori kognitif sosial menawarkan suatu perspektif dalam tingkahlaku manusia dimana individu berlatih mengontrol pikiran dan tingkahlaku mereka melalui proses regulasi diri, termasuk mengontrol diri dalam tindakannya dan mengontrol reaksi diri untuk melakukan sesuatu berdasarkan standar moral internal. Banyak orang mengembangkan standar personal dari tingkah laku moralnya, tindakan tersebut memperlihatkan adanya peran dari regulasi diri. Standar ini akan menuntun untuk bertingkah laku baik dan menghindari tingkah laku buruk karena individu menggunakan standar personal mereka
untuk antisipasi,
mengontrol dan menilai tindakan mereka sendiri. Regulasi diri ini berfungsi dan akan beroperasi jika diaktifkan.
14
Bandura mengemukakan bahwa regulasi moral dapat diaktifkan dan tidak diaktifkan sesuai keinginan. Moral disengagement adalah kunci proses ketidakaktifan, individu membebaskan dari sangsi diri dan juga rasa bersalah yang terjadi pada saat tingah lakunya melanggar standar internal, dan akhirnya mereka membuat keputusan yang tidak etis. Bandura (1986) menyatakan bahwa regulasi diri moral dapat tidak aktif dengan melalui 8 mekanisme yang saling berkaitan, berikut penjelasannya: 1. Justifikasi moral merupakan suatu proses dimana seorang individu melakukan tindakan moral kepada diri sendiri atau orang lain, namun proses tindakan tersebut tampak dibenarkan secara moral. Misalnya seseorang mencuri dengan alasan karna ingin menghidupi keluarganya. 2. Penghalusan istilah, seseorang menggunakan bahasa verbal atau ungkapan yang lebih halus agar terlihat baik. Misalnya seorang dokter tidak “membunuh” pasiennya tetapi “menghilangkan penderitaan” pasiennya. 3. Perbandingan
yang
menguntungkan,
seseorang
membandingkan
pelanggaran moral dengan pelanggaran lain yang lebih berat, sehingga individu
tersebut
dapat
membenarkan
diri.
Misalnya
seseorang
membandingkan antara pencuri kakao dengan kejahatan yang dilakukan oleh koruptor yang lebih besar. 4. Melemparkan tanggung jawab, perbuatan seorang individu yang tidak ingin disalahkan dari tanggung jawab karena ada seseorang yang lebih memiliki otoritas lebih tinggi. misalnya seorang siswa tidak melakukan
15
piket kelas menyalahkan ibunya yang tidak membangunkan sehingga kesiangan saat masuk kelas. 5. Mengaburkan tanggung jawab, seorang individu merasa bahwa kesalahan tidak hanya dilakukan oleh dirinya sendiri namun juga dilakukan oleh orang lain. misalnya seorang siswa tidak merasa bersalah saat melakukan tawuran karena dilakukan besama-sama dengan temannya. 6. Tidak menghargai atau sangat sedikit usaha untuk mengurangi akibat melukai orang lain. misalnya seorang ibu akan melakukan apapun demi anaknya dan tidak memikiran dirinya sendiri. 7. Selalu menyalahkan pihak lain tindakan seorang individu yang tidak ingin dirinya disalahkan sehingga selalu menyalahkan orang lain atas pelanggaran moral yang dilakukan. Misalnya seseorang melakukan tindakan pemerkosaan karena korbannya menggunakan pakaian dan berperilaku menggoda. 8. Dehumanisasi atau tidak bersikap manusiawi tindakan seseorang yang tidak manusiawi pada orang yang menjadi korban. Misalnya seorang anak yang berbadan besar mengejek, meminta uang pada orang yang lebih kecil, atau kakak kelas yang sering mengganggu adik kelasnya. Terdapat tiga mekanisme yaitu justifikasi moral, penghalusan istilah, perbandingan yang menguntungkan meliputi kesalahmengertian kognitif tentang tingkahlaku sebagai suatu cara untuk meningkatkan penerimaan moral. Mekanisme berikutnya adalah melemparkan tanggung jawab, mengaburkan atau memutar balikkan fakta efek dari tindakan yang
16
merugikan. Untuk dehumanisasi dan menyalahkan orang dapat terlepas dari sangsi moral dengan mengurangi identifikasi pada tujuan tindakan yang merugikan (Kurtinez & Gewirtz, 1991 : 71-93). 2. Orientasi Moral Menurut Soeparno (1992: 5) moral adalah ajaran atau prinsip dasar tentang nilai baik dan buruk atas perbuatan dan perilaku dalam kehidupan manusia di dalam lingkungan kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Moral mengandung makna integritas pribadi manusia yaitu harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan yang menjadi khalifah di muka bumi. Menurut al-Ghazali sebagaimana dikutip Muchson & Samsuri (2013: 1) mengemukakan bahwa pengertian akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dalam diri yang dilakukan secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya. Dari beberapa tinjauan diatas dapat disimpulkan, moral adalah prinsip dasar tentang baik dan buruk sebagai manusia yang menjadi watak atau tabiat yang menetap kuat dalam jiwa. Moral merupakan suatu kebutuhan penting bagi setiap orang, terutama remaja, moral merupakan sebuah pedoman untuk
menemukan
identitas
diri seorang remaja,
mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan menghindari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi seorang remaja. Moralitas menurut Pratiwi (2005) yaitu sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Yang berarti pula sikap dan perbuatan baik
17
yang betul-betul tanpa pamrih. Moralitas menurut mahasiswa dalam penelitian Quinn, Houts & Graesser (1994); Shaffer, (1994a) sebagaimana dikutip dalam Shaffer,( 2009: 532) menyebutkan sebagai kapasitas untuk : 1) membedakan antara salah dan benar; 2) tindakan yang berbeda dan 3) pengalaman bangga dalam tindakan baik dan rasa bersalah ada saat bertindak di luar norma standar. Menurut Frakena (Harris, 1976: 32) hal (cakupan) moralitas adalah penalaran (pertimbangan) berdasar aturan, prinsip, idealisasi yang menyatakan tindakan sebagai benar, salah, baik, buruk yang memiliki pengaruh pada perasaan, interes, idealisasi
terhadap orang lain atau
pengalaman tertentu, misalnya sebagai tukang masak, pemain bulu tangkis atau penceramah, melainkan baik buruknya sebagai manusia (Suseno, 1987:19). Moralitas menurut Syamsu Yusuf (2009: 132) merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral seperti a) seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan b) larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi. Seseorang dapat dikatan bermoral jika perilaku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Moralitas adalah orang yang bertindak berdasarkan tindakannya atas penilaian baik buruknya sesuatu. Moral dianggap dekat dengan kata etika (Bertens, 1993:4-5), karena etimologi antara etika dan moral sama, yaitu berarti adat kebiasaan, hanya etika berasal dari bahas Yunani bentuk tunggal ethos, dan bentuk jamak ta
18
etha. Sedangkan moral berasal dari bahasa latin bentuk tunggal mos, bentuk jamaknya mores. Selanjutnya etika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Bertens menegaskan bahwa moral berarti nilainilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Persamaan antara etika dan moral dalam arti bahwa keduanya merupakan nilai-nilai norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Moral didefinisikan oleh ahli-ahli ilmu sosial (Barstein & Lamb, 1992:445-447) yaitu : 1. Morality as respect for social rules Moral dalam hal ini diartikan sebagai penghargaan terhadap aturanaturan sosial, yang dalam hal ini dikemukakan oleh Piaget, sedang bagi Durkheim, nilai-nilai moral ada dalam masyarakat, sehingga aturan sosial dalam hal ini menjadi instrumen utama untuk komunikasi moral dalam dan antar generasi. 2. Morality as a justice Hal ini ada pada teori Kohlberg, yang mendefinisikan moral sebagai struktur keadilan, dimana akhir dari semua tindakan moral, petunjuk dan sangsi harus menjamin keadilan bagi individu. Konsep moral sebagai
19
justice
berarti
menekankan
kondisi manusia seperti kesetaraan,
kebebasan, timbal balik dan menghargai kehidupan. Kebenaran bagi semua orang bersifat universal. Moral merupakan prioritas melebihi berbagai kumpulan norma sosial, aturan atau konvensi. 3. Morality as a care Pemikiran ini dikenakan ada pemikir feminis, seperti Gilligan, Chodorow, yang menyatakan bahwa ada asosiasi empiris antara perkembangan perempuan dan orientasi kepedulian. Ada cara-cara yang berbeda pada remaja perempuan dan remaja laki-laki tentang pengertian ‘diri’. Remaja perempuan membangun identitas awal mereka berkaitan dengan diri sendiri dan ibunya (biasanya sebagai pengasuh pertama), sementara remaja laki-laki mengidentifikasi diri mereka dengan memisahkan diri dari jenis kelamin yang berlawanan, yaitu ibu. Dalam prosesnya, remaja perempuan berorientasi menuju hubungan dan kepedulian, sedang reaja laki-laki berorientasi menuju pemisahan, hakhak individu dan butuh melindungi hak-hak melakukan aturan-aturan dan undang-undang. Moral seorang daam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh lingkungannya.
Seorang
anak
memperoleh
nilai-nilai
moral
dari
lingkungannya, terutama dari keluarga atau orang tuanya. Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan moral menurut Syamsu Yusuf (2009:133) a) konsisten dalam mendidik anak, tingkah laku anak yang dilarang oleh orang tua pada suatu waktu harus juga dilarang apabila dilakukan kembali
20
pada waktu lain b) sikap orang tua dalam keluarga, sebaiknya orang tua memiliki sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah, dan konsisten dalam mendidik anaknya c) penghayatan dan pengamalan agama yang dianut, orang tua menjadi panutan seorang anak untuk menciptakan iklim religious dalam keluarga dengan cara membimbing tentang nilai-nilai agama kepada anak agar mengalami perkembangan moral yang baik d) sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma, orang tua harus memberikan contoh yang baik bagi anaknya. Jika lingkungan memberikan pengaruh, ajaran dan contoh yang baik bagi seorang anak maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik. a. Perkembangan Penalaran Moral Menurut John W. Santrock perkembangan moral (2011: 5) adalah perkembangan yang melibatkan pikiran, perasaan, dan perilaku mengenai aturan-aturan dan penemuan tentang apa yang harus dilakukan ornag dalam interaksi mereka dengan orang lain. Desmita (2005: 206) moral erat kaitannya dengan hubungan interpersonal namun sejak lama telah menjadi wilayah pembahasan dalam filsafat. Lawrence Kohlberg menempatkan moral sebagai fenomena kognitif dalam kajian psikologi. Menurut Kohlberg yang disebut dengan moral adalah bagian dari penalaran (reasoning) sehingga ia pun menamakannya dengan penalaran moral (moral reasoning). Penalaran atau pertimbangan tersebut berkenaan dengan keluasaan wawasan mengenai relasi antara diri dan orang lain, hak dan kewajiban. Relasi diri dengan orang lain didasarkan
21
atas prinsi equality yang artinya orang lain sama derajatnya dengan diri, sehingga antara diri sendiri dengan orang lain dapat dipertukarkan, ini disebut dengan prinsip reciprocity. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral dalam dirinya namun didalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk di kembangkan, berinteraksi dengan orang lain seorang anak akan belajar memahami tentang perilaku mana yang patut di tiru, boleh dilakukan dan dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk. b. Orientasi Moral Kepedulian Teori Kohlberg tentang perkembangan moral cukup banyak mendapat kritikan, antara lain dari Gilligan, yang pernah menjadi asisten Kohlberg. Kritikannya terhadap teori Kohlberg adalah bahwa teori Kohlberg tidak memadai untuk menggambarkan moral dari remaja perempuan dan perempuan. Perempuan yang diukur dengan alat ukur Kohlberg skornya lebih rendah dari laki-laki. Studi Haan, Smith & Block, (1968) Holstein, (1976) sebagaimana dikutip dalam Kusdwiratri (1982) ditemukan bahwa pada tahap 3 proporsi wanita lebih besar daripada laki-laki. Ciri-ciri tahap 3 adalah mengutamakan antar individu, berlaku baik dan mengutamakan harapan orang lain. ciri tahap 3 sesuai dengan ciri-ciri peran perempuan sebagai ibu rumah tangga/istri. Perempuan sampai usia remaja tengah atau akhir sama dengan atau lebih cepat perkembangan moralnya dari laki-laki, namun tuntutan peran perempuan menyebabkan menetapnya penalaran moral perempuan seolah berhenti pada tahap 3, sedangkan pada
22
laki-laki berkembang terus. Gilligan berdasarkan temuannya tersebut kemudian menyimpulkan, bahwa: a) enam tahap dari Kohlberg diperoleh dari studi selama 20 tahun dengan subjek anak laki-laki saja; b) perempuan tidak termasuk yang dipelajari; c) ilmu sosial pada waktu penelitian tersebut (tahun 1970-an) tidak membedakan laki-laki dan perempuan. kontroversi terhadap teori Kohlberg dicetuskan oleh Gilligan dengan menyebut teori perkembangan moral Kohlberg bila diterapkan pada perempuan bisa adanya. Gilligan memulai studi dan mempertanyakan kembali tentang perkembangan perempuan karena kurangnya perhatian terutama riset dibidang psikologi terhadap perempuan dan remaja perempuan. Gilligan menemukan suatu perasaan mendalam dari kesakitan dan keputusan yang melingkupi yang tidak berkaitan dengan apa yang ingin mereka kemukakan. Gilligan menemukan juga ada beberapa elemen kunci dalam mempelajari perempuan dan perasaannya: 1) Perempuan dan remaja perempuan merasakan suatu rasa mendalam tentang keterpisahan, kekurangan perhatian. 2) Tidak ada persesuaian antara kehidupan perempuan dengan kultur Western 3) Pertanyaan perempuan adalah mengapa mereka berada berbalik dengan yang lain atau malah ‘hilang’ diantara yang lain secara individual.
23
4) Ada polarisasi antara suara internal dengan kemampuan untuk berbicara secara verbal. 5) Perempuan merasakan bahwa suara dari dalam dirinya tidak dapat dibawa ke dalam hubungan-hubungan dengan orang lain. 6) Perempuan juga merasakan bahwa pikiran-pikiran mereka kurang dibanding yang lain dan akan menjadi buruk bila diekspresikan kepada orang lain. Berdasarkan penelitiannya, Gilligan menemukan bahwa perempuan lebih menekanan aspek relasi (hubungan) dibandingkan laki-laki. Dari temuan inilah Gilligan membuat kerangka kerja tentang ‘suara yang berbeda’, hal ini juga mengubah perbindangan dalam moral. Gilligan mengemukakan metafora ‘suara’ yang ada dalam orientasi dan teori ini sebagai: a) sesuatu yang kongkrit dan khusus, b) menuju keharmonisan tanpa memaksakan persamaan, c) bukan kompetitif atau serangan, namun kerjasama, d) kombinasi antara emosi dan isi hati, e) suara ini mungkin dapat direntangkan dalam perbendaharaaan kata yang luas yang tidak bersifat benar salah, e) suara ini dapat berbeda dengan tidak mengesampingan yang lain (Lecture 19, 1999). Penalaran moral dibatasi dengan “....dua perspektif yang mengorganisasikan pikiran dengan cara-cara berbeda: Pada laki-laki, definisi moral ada dalam istilah keadilan (justice), sedangkan perempuan, mendefinisikan moral bukan dalam istilah, hak, namun lebih banyak pada
24
istilah tanggung jawab (responsibility) dan kepedulian (care) Gilligan (1998). Dari dua yang berbeda tersebut, maka disimpulkan : a. Ada perbedaan kerangka kerja dan pemecahan persoalan pada laki-laki dan perempuan; b. Suara
perempuan
berkaitan
dengan
koneksi,
kedamaian,
kepedulian dan tanggung jawab, suara laki-laki berkaitan dengan kesetaraan, hubungan timbal balik, keadilan dan kebenaran; c. Dua suara model ini berbeda cara dalam memandang dunia; d. Perbedaan dua suara dalam gender ini tidak berarti bahwa satu suara lebih superior dari suara yang lain (Nelson, dalam Gilligan 1999). Penelitian Gilligan dalam penalaran moral mencakup pertanyaan bagaimana orang menetapkan masalah moral
dan pengalaman-
pengalaman apa yang dapat ditetapkan sebagai suatu persoalan konflik moral dalam kehidupan mereka. Gilligan yakin bahwa masalah moral bagi perempuan muncul dari adanya konflik tanggung jawab bukannya membandingkan
mana
yang
benar.
Pemecahan
masalah
moral
menimbulkan pernyataan bahwa pikiran perempuan lebih bersifat kontekstual dan naratif, bukannya bersifat abstrak dan formal. Konsepsi moralitas yang berpusat pada pemahaman tentang tanggung jawab dan keterkaitan, sama halnya dengan konsep moralitas yang berdasarkan pemahaman hak-hak dan aturan. Alasan penting tentang gagalnya
25
perempuan
dalam sistem pengukuran Kohlberg mungkin karena
bebedanya laki-laki dan perempuan dalam mengkonstruksi masalah moral (Serena 1999). Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam perkembangan moral karena
perempuan
mengidentifikasikan
dirinya
melalui
koneksi
(hubungan) dan takut akan pemisahan (separation), sementara laki-laki mengidentifikasikan diri melalui pemisahan dan takut akan hubungan. Perempuan lebih sensitif terhadap kebutuhan orang lain yang dapat menjadi kelemahan. Perempuan melihat moralitas dalam istilah kepedulian, tanggung jawab dan hubungan, sedangkan laki-laki melihat moralitas dalam hak-hak mereka tanpa mengganggu hak orang lain. perempuan tidak hanya menetapkan dirinya dekat dengan hubungan kemanusiaan namun juga menilai dirinya memiliki kemampuan untuk peduli.
Peduli
berarti
aktifitas
hubungan,
memperhatikan
dan
bertanggung jawab atas kebutuhan, mempedulikan dunia dengan cara berhubungan sehingga tak satupun tertinggal sendirian. Kematangan moral bagi perempuan adalah kemampuan untuk menyeimbangkan kepeduliannya pada orang lain dan kepeduliannya pada diri sendiri. Peremuan menjelaskan moralitas moralitas sebagi suatu ketegangan konstan antara menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dan sekaligus sebagai suatu keseluruhan entitas diri dan mereka melihat kemampuan untuk hidup dengan ketegangan merupakan suatu sumber karakter dan kekuatan moral. Berdasarkan hal-hal tersebut, Gilligan mengemukakan
26
urutan perkembangan moral yang beorientasi kepedulian sebagai berikut (Gilligan, 1997: 112) Tabel 1. Tingkat Perkembangan Moral ber Orientasi Kepedulian 1 Tingkat 1 Orientasi of Individual Survival ( memfokuskan ada apa yang terbaik bagi dirinya) 2 Transisi 1 Dari selfishness ke respnsibility 3 Tingat 2 Goodness as Self Sacrifice (memfokuskan konsekuensikan tindakan pada kebutuhan orang lain) 4 Transisi 2 Dari goodness ke truth 5 Tingkat 3 Morality of Nonviolence ( memfokuskan pada perintah/keputusan tentang apakah hal yang dilakukan membahayakan atau tidak membahayakan orang lain, termasuk diri sendiri).
Pada tingkat pertama, perhatian awal mengenai kepedulian pada diri sendiri untuk menjamin kelangsungan hidup diikuti oleh tahap peralihan, pada tingkat ini ada penilaian egois. Pada tahap transisi 1 ada suatu pemahaman mengenai hubungan antara diri sendiri dan orang lain yang diungkapkan dengan kosep tanggung jawab ( Gilligan, 1997: 112). Pada tingkat kedua, kebaikan moral disamakan dengan kepedulian pada orang lain. namun dalam tahap ini dapat tercipta suatu ketidakseimbangan yang melahirkan peralihan kedua. Pada tingkat berpusat pada dinamika relasi dan menghapus ketegangan antara egoisme dan tanggung jawab melalui suatu pemahaman baru tentang hubungan timbal balik antara orang lain dan diri sendiri. Kepedulian menjadi prinsip penilaian moral yang dipilih sendiri. Prinsip ini tetap bersifat psikologis dalam kaitan dengan relasi dan sikap tanggap, namun menjadi prinsip
27
universal dalam mengutuk setiap sikap yang menindas dan merugikan orang lain (Gilligan, 1997: 113). Penelitian Anna vonder Lippe dan Eva S. Skoe (1999, Makalah Ringkasan Penelitian) diperoleh hasil pada penelitiannya tentang etik kepedulian, etik keadilan dan perkembangan ego pada 168 orang di Norwegia yang berusia 15-65 tahun (80 perempuan dan 83 laki-laki), bahwa etik kepedulian berkaitan sangat signifikan dengan perkembangan ego daripada etik keadilan pada perempuan saja, sehingga kepedulian secara jelas berkaitan dengan ego dan perkembangan moral pada perempuan. Lippe dan Skoe (1999) menggunakan alat ukur The Ethic of Care Interview (ECI) untuk mengukur tingkatan moral berdasar kepedulian berdasarkan kepedulian berdasarkan teori Gilligan; The Defining Issues Test (DIT) dari Rest (1979) untuk mengukur moral berdasarkan teori perkembangan moral Kohlberg. Laki-laki dan perempuan tedapat perbedaan orientasi (penalaran) moral (Gilligan,1997). Menurut Gilligan, remaja perempuan lebih banyak berada di tahap yang lebih rendah perkembangan moralnya dibandingkan laki-laki. Gilligan pernah mengkritik teori Kohlberg bahwa teori Kohlberg
tidak
memadai
untuk
menggambarkan
moral
remaja
perempuan. Kematangan moral perempuan adalah kemampuan untuk menyeimbangkan kepeduliannya kepada orang lain dan diri sendiri. Gilligan mengemukakan urutan perkembangan moral yang berorientasi kepedulian sebagai berikut ; tingkat 1 yaitu orientation of individual
28
survival (memfokuskan pada apa yang terbaik bagi dirinya), tingkat 2 yaitu goodness as self sacrifince (memfokuskan konsekuensi tindakan pada kebutuhan orang lain, serta tingkat 3 yang merupakan morality of nonviolence (memfokuskan pada perintah atau keputusan tentang apakah yang dilakukan membahayakan bagi diri sendiri atau orang lain (Gilligan, 1997: 113). Menurut Gilligan teori tingkat perkembangan moral Kohlbergh tidak memadai untuk menggambarkan moral remaja perempuan. Perempuan yang diukur dengan alat ukur Kohlbergh skornya lebih rendah dari laki-laki, dan hanya akan berhenti pada tahap ketiga yaitu goodboy/goodgirl.
Jika di paralelkan dengan teori orientasi moral
Gilligan, khususnya remaja perempuan berada di tahap dua yaitu berkorban demi orang lain. Hal tersebut berimplikasi bagi Gilligan, bahwa perempuan memiliki ‘suara’ lain yang tidak pernah atau jarang di dengarkan laki-laki. Gilligan membedakan orientasi moral laki-laki sebagai orientasi pada keadilan (justice) yang berbeda dengan orientasi perempuan sebagai orientasi pada kepedulian dan tanggung jawab (care & responsible). (Gilligan, 1997). Menurut Sugihartono (2007:35) istilah jenis kelamin dan gender sering dipertukarkan dan dianggap sama. Jenis kelamin menunjuk pada perbedaan biologis dari laki-laki dan perempuan, sedangkan gender merupakan aspek psikososial dari laki-laki dan perempuan. Perbedaan gender termasuk dalam peran, tingkah laku, kecenderungan, sifat, dan
29
atribut yang lain menjelaskan arti menjadi seorang laki-laki atau perempuan dalam kebudayaan yang ada. Perbedaan-perbedaan tersebut muncul dari apa yang diajarkan. Menurut Ickes, Gesn, & Graham sebagaimana dikutip Taufik (2012 : 119) penelitian mereka tentang hubungan gender dan akulturasi empati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akulturasi empati perempuan lebih baik daripada laki-laki, tetapi ini hanya dalam kondisi-kondisi tertentu. Mereka membuat catatan bahwa akulturasi empati perempuan lebih tinggi ketika partisipan sadar bahwa empati mereka sedang diukur atau ketika stereotip gender ditonjolkan, yaitu akurasi empati partisipan perempuan lebih tinggi terhadap target empati berjenis kelamin perempuan. Temuan-temuan itu berimplikasi kepada motivasi, dan tidak menunjukkan akurasi yang lebih tinggi bilamana target empati berbeda jenis kelamin dari dirinya. Desmita (2005: 77) jenis kelamin anak yang ditentukan pada saat pembuahan secara langsung tau pun tidak langsung akan mempengaruhi pola perilaku dan pola kepribadian sepanjang hidup individu yang bersangkutan. Menurut Desmita ada tiga alasan mengapa jenis kelamin individu penting bagi perkembangan selama hidupnya, pertama setiap tahunnya anak-anak mengalami peningkatan tekanan-tekanan budaya dari para orang tua, guru, kelompok teman sebaya dan lingkungan yang mempengaruhi perkembangan pola-pola sikap perilaku yang dipandang sesuai bagi kelompok jenis kelamin mereka. Anak-anak yang belajar berjalan berperilaku sesuai dengan apa yang dianggap wajar bagi jenis
30
kelamin mereka akan menerima dukungan sosial, sebaliknya jika mereka gagal menyesuaikan diri maka akan di kritik dan bahkan dapat dikucilkan oleh masyarakat. Kedua, pengalaman belajar ditentukan oleh jenis kelamin individu, disekolah, dirumah dan didalam kelompok bermain anak-anak belajar apa yang dianggap pantas dilakukan sesuai dengan jenis kelamin mereka. Jika anak laki-laki belajar memainkan permainan perempuan maka akan disebut “banci” jika anak perempuan suka dengan permainan anak laki-laki disebut dengan “tomboy”. Ketiga, sikap orang tua dan anggota keluarga penting lainnya terhadap individu sehubungan dengan jenis kelamin yang disukai menunjukkan bahwa anggapan tradisional yang lebih menyukai anak laki-laki sebagai anak pertama. Kuatnya pemilihan jenis kelamin tertentu akan mempengaruhi sikap orang tua yang pada gilirannya mempengaruhi perilaku mereka terhadap anak dan hubungan mereka dengan anak. B. Penelitian yang Relevan 1. Penelitian yang dilakukan oleh Eta Lia Purwanti dan Muhari pada tahun 2013 dengan judul Hubungan antara Tingkat Penalaran Moral pada Remaja dengan Perilaku Seks Pranikah di Kost “AD”. Penelitian ini dilakukan pada 30 orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penalaran moral pada remaja denga perilaku seks pranikah, yang artinya semakin tinggi tingkat penalaran moral pada remaja maka semakin rendah perilaku seks pranikahnya, dan begitu pula sebaliknya semakin rendah tingkat penalaran moralnya maka semakin tinggi perilaku
31
seks pranikahnya., penelitian ini menggunakan metode teknik analisis korelasi product moment. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu terletak pada variabel dan instrument penelitian. Peneliti menggunakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan ex post facto. Persamaan dengan
penelitian yang
dilakukan adalah menggunakan metode analisis korelasi product moment, dan meneliti tentang penalaran moral remaja. 2. Penelitian oleh Patria Anggara Nur pada tahun 2009 dengan judul Hubungan antara Pemakaina Bahasa Karma Locus of Control dengan Penalaran Moral pada Penutur Bahasa Brama. Penelitian ini dilaksanakan di kalurahan Baluwartim pasar kliwon Surakarta. Subjek penelitian pada 90 orang menggunakan teknik analisis regresi ganda, dari hasil penelitian ini terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara pemakainan bahasa karma dengan penalaran moral. Perbedaan penelitian ini adalah pada metode indikator dan subjek, peneliti menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan pendekatan ex post facto dan subjek penelitian pada siswa SMA seKabupaten Sleman. 3. Penelitian oleh Qudsyi Hazhira & Gusniarti Uly pada tahun 2007 dengan judul Hubungan antara Keberfungsian Keluarga dengan Penalaran Moral pada Anak Usia Akhir. Subjek penelitian ini adalah 94 siswa SD kelas V pada sekolah dasar negeri Perumnas Condong Catur. Metode yang digunakan adalah korelasi product moment hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara keberfungsian keluarga dengan penalaran
32
moral pada anak usia akhir, yaitu jika semakin tinggi tingkat keberfungsian keluarga maka semakin tinggi pula tingkat penalaran moral pada anak usia akhir namun sebaliknya jika semakin rendah tingkat keberfungsian anak pada usia akhir. Perbedaan penelitian ini adalah pada subjek, indikator dan metode penelitian, peneliti menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan pendekatan ex post facto dan subjek penelitian adalah siswa SMA seKabupaten Sleman. C. Kerangka Berpikir Setiap orang dapat mengambil keputusan, terutama dalam persoalanpersoalan yang berkaitan dengan moral (dilema moral), dalam hal ini regulasi diri moral yang tidak aktif (moral disengagement) dapat memfasilitasi pengambilan keputusan yang tidak etis. Moral disengagement terbentuk dengan dukungan aspek-aspek atau faktor-faktor personal yang berasal dari pikiran (kognisi) moral, serta reaksi diri afektif dan faktor lingkungan yang semuanya saling berinteraksi dengan tindakan moral seseorang. Orientasi moral adalah salah satu dari aspek kognisi moral. Orientasi moral adalah suatu konsep tentang kerangka atau perspektif yang berbeda untuk menyusun atau memahami domain moral. Moral disengagement merupakan salah satu aspek yang memfasilitasi terjadinya tindakan moral yang buruk oleh seseorang. Orientasi moral kepedulian oleh Gilligan merupakan sebuah kritikan terhadap Kohlberg, bahwa teori dari Kohlberg tidak memadai untuk menggambarkan moral remaja perempuan dan perempuan, ketika perempuan diukur dengan alat ukur Kohlberg skornya lebih rendah dari laki-laki. Dari
33
penelitian terdahulu diperoleh hasil adanya hubungan yang positif antara orientasi moral kepedulian dengan tindakan moral, moral disengagement dapat memfasilitasi pengambilan keputusan atau terjadinya tindakan khususnya tindakan moral yang buruk, maka diduga orientasi moral kepedulian memiliki hubungan dengan moral disengagement. Orientasi moral kepedulian merupakan aspek yang terkait dengan moral disengagement, jika seseorang memiliki orientasi kepedulian maka moral disengagement akan rendah, sebaliknya jika orientasi kepedulian moral seseorang rendah atau buruk maka moral disengagement akan tinggi. Siswa umumnya berada dalam usia remaja, setiap siswa diharapkan dapat menjadi warga negara yang baik yang memiliki civic skill (keterampilan), civic knowledge (pengetahuan), civic disposition (sikap). Memiliki karakter yang baik di dalam dirinya agar dapat menjadi good citizen (warga negara yang baik), sehingga negara Indonesia tidak mengalami krisis moral karena banyaknya remaja yang melakukan tindakan buruk. Rendahnya moral disengagement dapat menjadikan siswa bersikap lebih etis dalam berperilaku. Secara garis besar dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut. Gambar 1. Skema Penelitian Orientasi Mortal Kepedulian
Moral disengagement
Tindakan moral
yang buruk
34
D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan deskripsi teori dan kerangka berfikir yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut, Ada hubungan yang negatif antara orientasi moral kepedulian terhadap moral disengagement pada siswa SMA Se-Kabupaten Sleman.