BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
MENYIRIH
2.1.1 Pengertian Menyirih Menyirih merupakan salah satu bentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang ada di masyarakat yang secara turun temurun dilakukan. Sirih adalah jenis tumbuhan yang mirip dengan tanaman lada, dengan nama ilmiahnya adalah Piper Betle. L, dan ada beberapa daerah di Indonesia memberikan nama lain terhadap sirih yaitu Suruh, Sedah (Jawa), Seureuh (Sunda), Ranup (Aceh), Belo (Batak Karo), Cambai (Lampung), Uwit (Dayak), dan Afo (Nias) (Samura, 2009). Menyirih merupakan proses meramu campuran dari unsur-unsur yang telah terpilih yang dibungkus dalam daun sirih kemudian dikunyah dalam waktu beberapa menit. Menyirih dilakukan dengan cara yang berbeda dari satu negara dengan negara lainnya dan satu daerah dengan daerah lainnya dalam satu negara. Meskipun begitu komposisi terbesar relatif konsisten, yang terdiri dari biji buah pinang, daun sirih, kapur dan gambir (Hasibuan, dkk., 2003). Menyirih merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh berbagai suku di Indonesia. Kebiasaan ini merupakan tradisi yang dilakukan turun-temurun pada sebagian besar penduduk di pedesaan yang mulanya berkaitan erat dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. Pada mulanya menyirih digunakan sebagai suguhan kehormatan untuk orang-orang/tamu-tamu yang dihormati pada upacara pertemuan atau pesta pernikahan. Dalam perkembangannya menyirih menjadi kebiasaan memamah selingan di saat-saat santai. Beberapa pengkonsumsi sirih
Universitas Sumatera Utara
melakukan setiap hari sementara orang lain mungkin makan sirih sesekali. Frekuensi menyirih mungkin berkaitan dengan beberapa faktor, seperti: pekerjaan dan pertimbangan sosial ekonomi (Dentika, 2004 dalam Samura, 2009) Para pengunyah sirih memiliki alasan dan sebab mengapa kebiasaan tersebut dilakukan secara terus menerus. Dilaporkan bahwa mengunyah sirih memiliki beberapa pengaruh yang menjadi daya tarik pada para penggunanya seperti efek stimulant atau efek euphoria, efek untuk menstimulasi air ludah, obat untuk saluran pernapasan, menghilangkan rasa lapar serta kemungkinan memiliki efek untuk menguatkan gigi serta gusi dan sebagai penyegar nafas. Kepercayaan bahwa mengunyah sirih dapat melawan penyakit mulut kemungkinan telah benarbenar mendarah daging diantara para penggunanya (Prayitno, 2003 dalam Samura, 2009).
2.1.2 Bahan yang digunakan untuk Menyirih Bahan-bahan yang biasa digunakan untuk menyirih adalah daun sirih, gambir, kapur sirih dan buah pinang a.
Daun sirih Sirih termasuk jenis tumbuhan merambat dan bersandar pada batang
pohon lain. Bentuk daunnya pipih menyerupai jantung dengan ukuran panjang antara 8-12 cm, lebar antara 10-15 cm dan tangkai agak panjang. Daun sirih biasanya digunakan sebagai pembungkus untuk menyirih. Dulu, daun sirih digunakan juga sebagai obat kumur bagi yang sakit gigi, gargarisma bagi orang yang sakit tenggorokan dan bahkan obat cuci mata bagi orang yang sakit mata
Universitas Sumatera Utara
(Sundari,1992). Selain itu, dapat digunakan sebagai obat sariawan, abses rongga mulut, luka bekas cabut gigi dan penghilang bau mulut (Syukur dan Hernani, 1999 dalam Hermawan, 2007). Menurut Supartinah (1985) dalam Astuti (2007), komponen yang terurai dari daun sirih adalah eugenol (26,8%-42,5%), eugenol metir eter (8,2%-15,85%), kariofilen (6,2%-11,9%), kavikol (5,1%-8,2%) dan antifungi karvakol (4,8%). Daun sirih bersifat bakteriostatik terhadap S. mutans, yang merupakan salah satu bakteri penyebab karies dalam mulut. Efek bakteriostatik dari daun sirih disebabkan oleh komponen yang terurai yaitu kavikol yang memiliki efek lima kali lebih besar dari fenol (Astuti, 2007). Daun sirih mengandung phenolic yang menstimulasi katekolamin, sehingga mempengaruhi fungsi simpatik dan parasimpatik. Daun sirih juga memiliki manfaat sebagai bahan obat, antara lain sebagai obat batuk, menghilangkan bau badan, keputihan dan sebagainya. Bahkan, rebusan daun sirih juga sangat bermanfaat untuk obat sariawan, pelancar dahak, pencuci luka dan obat gatal-gatal (Sembiring, 2007). b.
Gambir Gambir merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan dan di tempat-
tempat lain yang bertanah agak miring dan cukup mendapatkan sinar matahari. Gambir yang kita kenal biasanya dalam bentuk ekstrak kering yang diambil dari daun dan ranting. Tanaman ini mengandung zat lemak yaitu catechin yang bersifat anti-oksidan (Andriyani, 2005). Pada masyarakat tradisional di berbagai daerah, gambir merupakan bahan tambahan untuk menyirih. Selain untuk
Universitas Sumatera Utara
menambah rasa, gambir juga memberi manfaat lain, yaitu untuk mencegah berbagai penyakit di daerah kerongkongan. Gambir juga digunakan untuk mencuci luka bakar dan luka pada penyakit kudis. Selain itu digunakan untuk menghentikan diare, tetapi penggunaan lebih dari 1 ibu jari bukan sekedar menghentikan diare tetapi akan menimbulkan kesulitan buang air besar selama beberapa hari. Gambir dapat mengakibatkan atrisi dan abrasi pada gigi karena adanya kandungan yang bersifat abrasif yaitu catechin (Katno, 2008 dalam Sinuhaji, 2010) c.
Kapur sirih Kapur atau curam (kapur mati) berwarna putih kilat seperti krim yang
dihasilkan dari cengkerang siput laut yang telah dibakar. Hasil dari debu cengkerang tersebut dicampur dengan air untuk memudahkan pada saat kapur disapukan keatas daun sirih (Andriyani, 2005). Penggunaan kapur sirih dapat menyebabkan penyakit periodontal. Penyebab terbentuknya penyakit periodontal adalah karang gigi akibat stagnasi saliva penguyah sirih karana adanya kapur. Gabugan kapur dan pinang mengakibatkan respon primer terhadap formasi oksigen reaktif dan mungkin mengakibatkan kerusakan oksidatif pada DNA di bukal mukosa penyirih (Chiba, 2001 dalam Sinuhaji, 2010) d.
Buah pinang Pinang adalah sejenis palma yang tumbuh di daerah Pasifik, Asia dan
Afrika bagian timur. Pinang terutama ditanam untuk dimanfaatkan bijinya, yang
Universitas Sumatera Utara
di dunia Barat dikenal sebagai betel nut. Biji ini dikenal sebagai salah satu campuran orang makan sirih, selain gambir dan kapur (Andriyani, 2005). Secara tradisonal, biji pinang (Areca catecu) sudah digunakan secara luas sejak ratusan tahun lalu. Penggunaan paling populer adalah kegiatan menyirih dengan bahan campuran biji pinang, daun sirih, dan kapur. Ada juga yang mencampurnya dengan tembakau. Sebelum dikonsumsi, pinang diproses terlebih dahulu dengan dibakar, dijemur, dan dipanaskan. Pinang diduga dapat menghasilkan rasa senang, rasa lebih baik, sensasi hangat di tubuh, keringat, menembah saliva, menambah stamina kerja, menahan rasa lapar. Selain tersebut di atas, pinang juga mempengaruhi sistem saraf pusat dan otonom (Gandhi, 2001 dalam Sinuhaji, 2010). Komponen penting dari pinang adalah tannin (11-26%) dan alkoloid (0,150,67%). Sedangkan komposisi kecilnya adalah arakaidin, guakin guvokalin, dan arekolidin (kandungan alkoloid terbesar), yang dapat digunakan sebagai obat cacing. Namun penggunaan pinang berlebihan justru membahayakan kesehatan. Karena arekolin merupakan senyawa alkoloid aktif yang mempengaruhi syaraf parasimpatik dengan merangsang reseptor muskarinik dan nikotinik sehingga harus digunakan dalam jumlah kecil. Sebanyak 2 mg arekolin murni sudah dapat menimbulkan efek stimulan yang kuat, sehingga dosis yang dianjurkan tidak melebihi 5 mg untuk sekali pakai. Penggunaan serbuk biji sebaiknya tidak lebih dari 4 kg untuk sekali pakai. Jika digunakan pada dosis 8 g, akan segera berakibat fatal karena arekolin bersifat sebagai sitoksik dan sastatik kuat. Secara in vitro (dalam tabung reaksi), penggunaan arekolin dengan konsentrasi 0,042 mM
Universitas Sumatera Utara
(milimol) mengakibatkan penurunan daya hidup sel serta penurunan kecepatan sintesis DNA dan protein. Arekolin juga menyebabkan terjadinya kegagalan glutationa, yaitu sejenis enzim yang berfungsi melindungi sel dari efek merugikan (Agusta, 2001 dalam Sinuhaji, 2010). Biji pinang juga mengandung senyawa golongan fenolik dalam jumlah relatif tinggi. Selama proses pengunyahan biji pinang di mulut, oksigen reaktif (radikal bebas) akan terbentuk senyawa fenolik itu. Adanya kapur sirih yang menciptakan kondisi pH alkali akan lebih merangsang pembentukan oksigen reaktif itu. Oksigen reaktif inilah salah satu penyebab terjadinya kerusakan DNA atau genetik sel epiteltial dalam mulut (Chiba, 2001 dalam Sinuhaji, 2010). Kandungan berbahaya lain pada biji pinang adalah senyawa turunan nitroso, yaitu N-nitrosoguvakolina, N-nitrosoguvasina, 3-(N-nitrosometilamino) propinaldehidida dan 3-(N-nitrosometillamino) propianitrile. Keempat turunan nitroso ini merupakan senyawa bersifat sitotosik (meracuni sel) dan geneositoksik (meracuni gen) pada sel ephithial buccal, dan dapat juka menyebabkan terjadinya tumor pada pankreas, paru-paru dan hati. Pada hewan percobaan, senyawa nitroso biji pinang juga terbukti dapat menyebabkan efek diabetogenik yaitu pemunculan diabetes secara spontan (Agusta, 2001 dalam Sinuhaji, 2010).
Daun sirih, gambir, kapur sirih dan buah pinang merupakan bahan-bahan yang lebih sering digunakan. Selain bahan-bahan tersebut, terkadang ditambahkan juga cengkeh (Eugenia Aromatica) atau kayu manis (Cinnamomum Seylanicum
Universitas Sumatera Utara
B1) dan tembakau (Nicotiana Tabaccum L) yang hanya digunakan sebagai sugi atau susur dan tidak dimasukkan dalam ramuan yang dikunyah (Andriyani, 2005).
2.1.3 Frekuensi dan Lama Menyirih Menyirih berkaitan dengan kebiasaan yang terdapat pada masyarakat tertentu. Kuantitas, frekuensi dan usia saat mulai menyirih bergantung oleh tradisi setempat. Beberapa pengunyah sirih melakukannya setiap hari, sementara orang lain mungkin menguyah sirih sesekali. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lim (2007) di Kecamatan Pancur Batu dijumpai kebiasaan menyirih sebagian besar dilakukan setiap hari (68,38%) dan dilakukan sesekali saja (37,34%). Frekuensi menyirih lima kali dalam sehari adalah sebesar 81,25%.
2.1.4 Faktor Pendorong, Tujuan Menyirih dan Kebersihan Rongga Mulut Penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2007) di Kecamatan Berastagi dijumpai kebiasaan menyirih diperoleh dari orangtua, keluarga maupun teman sejawat. Sirih digunakan pada acara pertunangan dan pernikahan sebagai lambang kehormatan dan komunikasi. Suku Karo juga menganggap bahwa menyirih mempuyai dampak positif yang lebih banyak dari pada dampak negatif. Dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan kapur, gambir dan tembakau hanyalah berupa stein dan iritasi mukosa mulut. Tujuan mengunyah sirih paling banyak adalah untuk menenangkan pikiran, mengurangi rasa sakit gigi, agar gigi kuat dan sehat dan sekedar kebiasaan saja. Sebagian besar penguyah sirih menggunakan tembakau untuk
Universitas Sumatera Utara
menggosok gigi setelah menyirih, rongga mulut kemudian dibersihkan dengan cara menggosok gigi dan kumur-kumur dengan air (Lim, 2007).
2.1.5 Efek Menyirih Terhadap Kesehatan Rongga Mulut Kebiasaan menyirih menyebabkan perubahan atau pengaruh pada kesehatan rongga mulut. Perubahan terjadi pada gigi, gingiva dan mukosa mulut. a.
Efek menyirih terhadap gigi Efek positif dari kebiasaan menyirih adalah terhambatnya proses
pembentukan plak atau karies. Daya antibakteri daun sirih terutama minyak atsiri disebabkan oleh senyawa fenol dan senyawa chavicol yang memiliki daya bakterisida. Sementara efek negatifnya adalah terbentuknya stein atau perubahan warna menjadi merah yang terjadi karena oksidasi polifenol dari buah pinang dalam lingkungan alkalis. Selain itu, gigi juga mengalami atrisi dan abrasi yang kemungkinan besar disebabkan oleh gambir dan kapur (Andriyani, 2005). b.
Efek menyirih terhadap gingiva Gingiva juga mengalami perubahan warna atau terbentuknya stein yang
diakibatkan oleh penggunaan yang lama dan tetap. Kebiasaan menyirih akan menimbulkan masalah periodontal. Freud dkk (1964) menyatakan bahwa gigi menjadi coklat, terjadi penimbunan kapur pada gigi, leher gigi terpisah dari gusi dan gigi dapat tanggal akibat menyirih (Samura, 2009). Penyakit periodontal terjadi karena adanya karang gigi yang terdapat pada bagian subgingiva. Karang gigi terbentuk karena stagnasi saliva dan adanya kapur Ca(OH)2 di dalam saliva (Andriyani, 2005).
Universitas Sumatera Utara
c.
Efek menyirih terhadap mukosa mulut Menyirih menyebabkan terjadinya lesi-lesi di mukosa mulut. Faktor yang
mendukung timbulnya kelainan pada mukosa mulut antara lain zat-zat dalam bahan ramuan sirih, iritasi yang terus-menerus dari bahan ramuan sirih pada selaput lendir rongga mulut serta kemungkinan tingkat kebersihan rongga mulut. Menyirih juga menyebabkan oral higiene yang buruk akibat lapisan kotor yang didapat dari menyirih (Andriyani, 2005). Selain itu, mukosa mulut mengalami kekeringan, adanya atropi papila di lidah serta lobul pada seluruh maupun sebagian dari dorsum lidah (Hasibuan, 2003).
2.2
LANSIA
2.2.1
Definisi Lansia Lanjut usia (lansia) dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada
daur kehidupan manusia (Keliat, 1999 dalam Maryam, 2008). Menurut UndangUndang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Sementara itu WHO menyatakan bahwa lanjut usia mulai dari usia pertengahan (45-59 tahun) (Nugroho, 2008).
2.2.2 Batasan Lansia Menurut WHO, lansia digolongkan menjadi empat tahap berdasarkan usia, yaitu usia pertengahan (middle age) antara 45 sampai 59 tahun, lanjut usia
Universitas Sumatera Utara
(elderly) antara 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) antara 75 sampai 90 tahun dan usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.
2.2.3
Teori Penuaan Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo, 1994 dalam Nugroho, 2008) Teori Biologis Teori biologi mencoba untuk menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk perubahan fungsi dan struktur, pengembangan, panjang usia dan kematian. Perubahan-perubahan dalam tubuh termasuk perubahan molekular dan seluler dalam sistem organ utama dan kemampuan tubuh untuk berfungsi secara adekuat dan melawan penyakit. Teori biologis juga mencoba untuk menjelaskan mengapa orang mengalami penuaan dengan cara yang berbeda dari waktu ke waktu dan faktor apa yang mempengaruhi umur panjang, perlawanan terhadap organisme dan kematian atau perubahan seluler. Teori biologi mencakup teori genetika, teori wear and tear (dipakai dan rusak), teori lingkungan, teori imunitas dan teori neuroendokrin (Stanley, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Teori Psikososial Teori psikososial memusatkan perhatian pada perubahan sikap dan perilaku yang menyertai peningkatan usia, sebagai lawan dari implikasi biologi pada kerusakan anatomis. Teori psikososial mencakup teori kepribadian, teori tugas perkembangan, teori disengagement (pemutusan hubungan), teori aktivitas, teori kontinuitas dan teori ketidakseimbangan sistem (Stanley, 2006)
2.3
Status Kesehatan Rongga Mulut Lansia Lansia mengalami proses penurunan fungsi alamiah yang tidak dapat
dihindari oleh setiap manusia, dimana terjadi perubahan jaringan tubuh yang sangat kompleks. Proses ini juga mempengaruhi keadaan rongga mulut pada lansia (Hasibuan, 1998). Pada lansia biasanya terjadi penurunan higiene mulut, berkurangnya jumlah gigi dan penurunan sensitivitas mukosa rongga mulut terhadap iritasi. Selain itu juga terjadi kelemahan pada jaringan penyangga gigi sehingga kemampuan mengunyah berkurang.
Infeksi serta keganasan sering
terjadi dalam rongga mulut sehubungan dengan proses penuaan. Status kesehatan gigi dan mulut pada lansia berbeda dengan orang muda. Pada lansia terjadi perubahan-perubahan dalam rongga mulutnya yang mencakup perubahan pada jaringan keras (gigi, tulang dan sendi rahang), jaringan lunak (mukosa mulut, lidah, kelenjar saliva dan otot-otot pengunyahan) dan jaringan periodontal (Winasa, 1995).
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Gigi Pada lansia gigi berubah menjadi lebih rapuh dan lebih kering serta adanya abrasi. Warna gigi kelihatan lebih tua dengan migrasi gigi kearah apikal. Dalam pulpa terjadi peningkatan jaringan kolagen, sel adontoblast berkurang, terbentuk rangka jaringan ikat dan sel pulpa menjadi berkurang. Disamping itu terbentuknya sekunder dentin dan pengapuran pada saluran akar yang mempersempit ruang saluran akar. Foramen apikal menjadi sangat kecil yang disebabkan oleh peningkatan sel semen. Karies yang sering terjadi pada lansia adalah karies sekunder dan karies pada akar (Winasa, 1995). Selain itu, terjadi kehilangan substansi gigi akibat atrisi yang disebabkan oleh karena pemakaian gigi terusmenerus. Hal ini tergantung konsistensi makanan dan kekerasan gigi (Carranza, 1986 dalam Hasibuan, 1998)
2.3.2 Tulang, Sendi Rahang dan Otot-Otot Wajah Ditemukan adanya atrofi senilis tulang alveolar maxilla dan mandibula. Pada beberapa kasus, tulang rahang berada di bawah alveolar berubah menjadi lebih padat. Pada keadaan yang lain dapat dijumpai pula adanya osteoporosis senilis secara bersamaan yang terlihat pada bagian tulang lainnya (Winasa, 1995). Sendi rahang dapat mengalami berbagai perubahan seseuai dengan bertambahnya usia. Pada usia lanjut dijumpai adanya pengerasan dan berkurangnya elastisitas ligamen kapsul dan diskus interartikularis. Zona artikulasi berubah menjadi bertambahnya fibrous. (Kaplan, 1997 dalam Winasa, 1995). Otot wajah yang berfungsi menelan, mengunyah dan berbicara mengalami atropi, menurunnya
Universitas Sumatera Utara
tonus otot dan kadang dijumpai fibrosis otot. Akibatnya fungsi mengunyah dan menelan menjadi berkurang (Lynch, 1984 dalam Hasibuan, 1998).
2.3.3 Mukosa Mulut Mukosa mulut manusia dilapisi oleh lapisan sel epitel yang berfungsi sebagai barrier terhadap pengaruh dari dalam dan luar mulut. Pada lansia, lapisan tersebut mengalami penipisan, berkurangnya keratinasi, berkurangnya supali darah dan serabut kolagen yang terdapat pada lamina propia mengalami penebalan. Akibatnya, mukosa mulut menjadi lebih pucat, tipis dan kering, proses penyembuhan menjadi lebih lambat, mukosa mulut lebih mudah iritasi (Pedersen dan Loe, 1986 dalam Winasa, 1995). Selain itu, perubahan yang sering dijumpai pada mukosa mulut adalah atrofi dengan warna yang pucat dan jaringan yang kering. Populasi sel pada lamina propia jumlahnya mengalami penurunan, terutama sel fibrolas menjadi menyusut dengan inti yang memadat dan memanjang. Semua perubahan tersebut merupakan proses degenerasi yang menyebabkan menurunnya resistensi mukosa. Mukosa menjadi mudah terluka oleh karena makanan yang keras dan diperberat karena mulut kering akibat menurunnya produksi saliva (Winasa, 1995).
2.3.4
Lidah Sering dijumpai bentuk lidah yang melebar karena tidak adanya tahanan
oleh lengkung geligi. Lidah mengalami proses kehilangan tonus otot dan penurunan serabut otot tetapi bersifat tidak konstan. Jumlah papila berkurang dan
Universitas Sumatera Utara
terjadi penurunan di dalam sensitivitas perasa terhadap rasa manis, asam, pahit dan asin. Berkurangnya jumlah putik pengecap disertai menurunnya produksi saliva dapat mengakibatkan menurunnya nafsu makan pada lansia (Winasa, 1995).
2.3.5 Kelenjar Saliva Perubahan morfologi kelenjar saliva pada lansia berupa meningkatnya infiltrasi kelenjar parenkim oleh jaringan lemak dan jaringan penyambung. Akumulasi granula autophagik, didapatinya sel oncosit dan perubahan sel-sel yang jinak. Akibatnya terlihat kelenjar saliva minor yang terdapat di rongga mulut dengan beberapa acini yang masih berfungsi. Pada usia 45 tahun keatas ditemukan pula adanya infiltrasi sel limfosit yang tersebar pada lebih dari 70% kelenjar. Penurunan fungsi pada kelenjar saliva ini menimbulkan mulut kering yang bersifat absolut atau relatif (Winasa, 1995).
2.3.6 Otot-otot Pengunyahan Seperti halnya yang terjadi pada otot-otot skeletal, otot di daerah orofasial mengalami proses atrofi, menurunnya tonus dan kadang-kadang dijumpai fibrosis otot. Kekuatan gigit otot pengunyahan menurun dari 300 lb per inchi kuadrat menjadi 50 lb per inchi kuadrat (Kaplan,1971 dalam Winasa,1995).
Universitas Sumatera Utara
2.3.7 Jaringan Periodontal Penyakit periodontal sebagian besar bersifat inflamatif dengan penyebab utamanya plak dan bakteri didukung oleh faktor lokal dan faktor sistemik. Kadang-kadang sulit membedakan kerusakan fisiologik dengan kerusakan patologik suatu jaringan pada usia lanjut. Tanda-tanda klinis yang berhubungan dengan dengan jaringan periodontal pada usia lanjut adalah atrisi, resesi, migrasi, kegoyangan gigi, pedalaman poket, supurasi dan tanggalnya gigi (Winasa, 1995).
Universitas Sumatera Utara