BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1.Kerangka Teori 2.1.1. Ruang Publik (Public Sphere) Konsep ruang publik merupakan bagian vital dalam negara demokratis. Demokrasi dapat berjalan dengan baik jika dalam suatu negara terdapat ruang publik yang egaliter dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan menyampaikan idenya (Littlejohn, 2009). Dalam perkembangan demokrasi modern, egalitas mencakup seluruh individu warga negara dan tidak terfokus pada kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Ragam ide dan gagasan berhak mendapat porsi yang sama di masyarakat. Dalam prakteknya, banyak upaya pembungkaman yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat, terutama yang mayoritas atas ide-ide yang mereka anggap bertentangan dengan nilai yang mereka anut, terutama ide yang berasal dari kelompok minoritas. Aneka ragam pembungkaman tersebut berlangsung di ruang publik, tempat dimana terjadi percakapan antara kelompok maupun individu masyarakat, baik yang minoritas maupun mayoritas. Secara defenitif, ruang publik dapat didefenisikan sebagai “ruang yang terletak diantara komunitas ekonomi dan negara tempat publik melakukan diskusi yang rasional, membentuk opini mereka, serta menjalankan pengawasan terhadap pemerintah” (Habermas, dalam Saleh, 2004: 49). Habermas juga menekankan bagaimana “ruang publik dapat dilihat sebagai penyambung jaringan dan jarak yang berlapis” (Couldry, 2007: 80). Keberadaan ragam jaringan budaya yang
18 Universitas Sumatera Utara
19
semakin beragam dalam pertemuan masyarakat dunia dan publik, ditambah jarak yang sepertinya semakin terbatas dikarenakan perkembangan teknologi yang semakin maju menuntut hubungan yang berkualitas untuk menciptakan ketentraman dalam proses interaksi tersebut. Rouper, seperti dikutip oleh Toulouse (1998) mengungkapkan terdapat tiga prinsip utama dalam ruang publik, dalam (Saleh, 2004) yaitu: 1. Akses yang mudah terhadap informasi. Teknologi masa kini memungkinkan anggota masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap informasi. Pada masa awal ruang publik berkembang, akses ini hanya dimiliki oleh sebagian kecil kelompok masyarakat, dalam hal ini kaum borjuis. Keberadaan publik sphere kemudian semakin berkembang seiring dengan pesatnya perkembangan media massa. Media massa semakin memungkinkan setiap anggota masyarakat untuk menyampaikan ide maupun gagasannya untuk dibicarakan di forum-forum publik. Akan tetapi, keberadaan media massa dalam ruang publik kemudian memunculkan persoalan sendiri ketika kepemilikan media massa terkonsentrasi pada sekelompok kecil pengusaha media. Ditambah pula dengan kepentingan politik para pemilik media yang turut memberi warna dalam isi pemberitaannya. Hal ini lah yang kemudian membuat ketidaksetaraan dalam politik. Individu awam tidak memiliki akses yang sama seperti halnya kelompok elite tertentu. Perkembangan terkini dengan adanya internet, lebih
menjamin ketersediaan
informasi bagi masyarakat
serta
Universitas Sumatera Utara
20
meminimalisir kemungkinan pengaruh ideologi media dan pemiliknya dalam proses pembentukan opini dalam ruang publik. 2. Tidak ada perlakuan istimewa (privilege) terhadap peserta diskusi (partisipan). Tidak adanya privelege diartikan bahwa setiap anggota masyarakat memiliki kesetaraan dalam proses wicara. Tidak ada kelompok yang lebih dominan atas kelompok lainnya. Inilah yang kemudian akan dijelaskan dalam bagian berikutnya sebagai ekualitas. 3. Peserta/partisipan mengemukakan alasan rasional dalam berdiskusi mencari konsensus. Alasan rasional menjadi syarat penting terwujudnya ruang publik yang baik. Rasionalitas dalam debat akan menjamin bahwasanya debat yang berlangsung adalah debat yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sumber informasi yang benar dan tepat, sehingga dapat menghindarkan terjadinya debat kusir ataupun pertarungan emosional antar partisipan.
2.1.1.1.Sejarah dan Perkembangan Teori Public Sphere Publik sphere sendiri diperkenalkan oleh Jurgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman. Habermas lahir pada 18 Juni 1929 di Düsseldorf dan besar di Gummersbach, Jerman (Kuper, 1999). Habermas memutuskan untuk bekerjasama dengan Adorno dan Horkheimer karena ia meyakini bahwa kedua ilmuwan itu mampu membangun teori kritis mengenai masyarakat dengan dari pandangan Marxis dengan lebih kreatif dan inovatif.
Universitas Sumatera Utara
21
Kajian ini dimulai pasca holocaust di Jerman, dimana pada masa tersebut sedang terjadi perubahan politik di Jerman. Jerman pada masa itu sedang menuju masyarakat yang demokratis. Perubahan menuju Jerman yang lebih demokratis ini membutuhkan demokrasi yang memiliki legitimasi (Garnham, 2007). Habermas menilai bahwa demokrasi yang memiliki legitimasi tersebut tidak semata persoalan legitimasi oleh suara mayoritas, seperti yang umum diketahui sebagai demokrasi. Akan tetapi, lebih kepada adanya proses diskusi yang melalui pertimbangan dan alasan yang rasional. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Habermas pada tahun 1962 lewat bukunya The Structural Transformation of the Public Sphere. Buku ini menggambarkan “transformasi dan kehancuran virtual rasionalitas ruang publik yang tengah berkembang pada abad 19 dan 20 di Inggris, Perancis, dan Jerman” (Johnson, 2006: 19). Dalam pandangan Habermas, ruang publik yang berkembang pesat pada masa itu seharusnya mampu mengedepankan proses rasional. Akan tetapi, dalam kenyataannya justru terjadi pengekangan kebebasan dan dominasi. Inilah yang kemudian disebut sebagai ruang publik borjuis. Ruang publik ini dikuasai oleh sekelompok borjuis yang justru kemudian seolah mengambil alih ruang publik dari negara dan tidak memberikan kesempatan yang sama pada elemen masyarakat lainnya. Keberadaan public sphere ini sendiri sebenarnya sudah ada sejak 1700an. Masyarakat barat seperti Perancis dan Amerika mulai melakukan revolusi, dimana warga masyarakat biasa dilibatkan dalam berbagai proses diskusi publik dalam rangka pembuatan keputusan mengenai berbagai persoalan publik. Keberadaan warung-warung kopi di Inggris dan bar-bar di Perancis khususnya pada pra
Universitas Sumatera Utara
22
revolusi Perancis telah melahirkan masyarakat yang lebih melek terhadap berbagai persoalan kenegaraan di masa itu. Hal ini tentu bertolak belakang dengan situasi authoritarian yang sebelumnya diterapkan. “Gagasan mengenai ruang publik menunjukan kemajuan dari gagasan pencerahan yang mencoba membebaskan subjektifitas manusia dari batasan-batasan yang dibuat dalam tradisi autoritarian” (Pinter, 2004, 220). Dalam sistem authoritarian
maupun feodal, warga negara tidak punya akses untuk
pengambilan keputusan. Negara memutuskan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Seiring dengan perubahan sistem negara yang semakin liberal, maka kesetaraan menjadi poin penting yang harus dimiliki oleh setiap individu warga negara. Akan tetapi, Habermas melihat bahwa pada periode tersebut ruang publik hanya dikuasai oleh kelompok-kelompok borjuis. Dengan kata lain, tidak seluruh elemen warga negara memiliki suara yang setara. Dalam artian pula, tidak ada ekualitas pada warga negara. Untuk itulah kemudian Habermas merasa perlu untuk membuat konsep ruang publik yang lebih ideal untuk menciptakan kesetaraan ini. “Habermas ingin membuat maksud yang lebih eksplisit dari aturan normatif yang ideal dan dapat menggambarkan bagaimana ruang publik tersebut dapat berkontribusi sebagai kerangka yang esensial dalam masyarakat demokratis” (Johnson, 2006: 20).
Dengan praktek ruang publik borjuis pada masa itu, keberadaan ruang publik berada dalam situasi yang berbahaya. Hal ini dikarenakan ruang publik justru memainkan peranan sentral dalam masyarakat yang semakin demokratis dan pembentukan opini publik.“Ruang publik merupakan ranah persepsidan
Universitas Sumatera Utara
23
percakapan mengenai isu publik yang diproduksi dan menopang publik” (Bimber, 2003: 244). Seiring dengan
perkembangan teknologi komunikasi, internet pun
kemudian turut memainkan peran penting dalam
perkembangan ruang
publik.Seperti diutarakan oleh Goode bahwa “Most discussions of the new mediascape and the publik sphere have highlighted the role of, say, the Internet as a publik sphere, focusing on how well or how poorly the practices it embodies live up to the values of Habermasian discourse ethics” (Goode, 2005: 114) Internet memungkinkan bagi setiap orang untuk mendapatkan akses terhadap informasi. “Internet menawarkan sebuah prototype bagaiman dunia maya dapat diaplikasikan meningkatkan proses demokrasi-untuk membuatnya lebih terbuka dan partisipatif” (Hague, 1999: 42). Setiap aktor politik yang ingin terlibat dalam proses politik di masyarakat pun dapat memperluas penyebaran informasi dengan lebih murah, dan terdesentralisasi. Terdesentralisasi dalam artian kepemilikan informasi tidak hanya terfokus pada sekelompok elite politik. Seperti yang disampaikan oleh Dahl: “Teknologi informasi menawarkan beberapa kekayaan untuk mengurangi ketidaksetaraan
dalam
politik.
Evolusi
dalam
teknologi
informasi
meningkatkan daya akses kepada informasi mengenai agenda politik, yang pada akhirnya akan meningkatkan partispasi publik. Teknologi baru juga meningkatkan peran penting warga negara untuk dapat berkontribusi pada proses politik. Teknologi komunikasi memperluas alur informasi dan komunikasi, yang membuat pemerintah lebih transparan, dan semakin
Universitas Sumatera Utara
24
transparan sebuah pemerintahan maka semakin kecil pula kepemilikan informasi yang hanya dimiliki oleh elite politik” (Bimber, 2003) Menuju public sphere yang ideal melalui dunia maya tentu bukannya tanpa usaha keras. Ada begitu banyak tantangan dalam mewujudkan ruang publik yang ideal. Terutama ketika masyarakat tidak cukup rasional dalam memberi argumentasi. Akan tetapi, “ketika warga masyarakat sudah memiliki keterampilan yang dibutuhkan, mereka dapat secara bebas memilih sendiri bagian dari pengetahuan yang mereka anggap penting, daripada bergantung pada pemerintah yang tradisional dan suplay informasi dari media massa” (Van Dijk, 2006: 104). Hal yang menjadi perhatian disini adalah persoalan perluasan ide ataupun gagasan yang lebih bebas jika dibandingkan dengan media massa. Persebaran gagasan yang sebelumnya terorganisir oleh media massa, menjadi lebih bebas dan liar. “Proses mental individu, dan kesamaan dengan bentuk visual eksternal yang dapat dimanipulasi, diproduksi secara massal, dengan standar yang dibuat oleh masing-masing orang. Apa yang sebelumnya hanya sebuah proses mental, sebagai pernyataan khas dari individu, kemudian menjadi bagian dari ruang publik” (Manovich, 2001: 60).
2.1.1.2.Ekualitas dalam Ruang Publik Dalam konteks ekualitas, ruang publik merupakan konsep yang bebas dari campur tangan negara. Ruang publik tidak dirancang oleh negara dan tidak pula dikelola oleh negara (McKee, 2005: 8). Dengan kata lain negara tidak memiliki wewenang untuk mengatur persoalan-persoalan apa saja yang harus menjadi perhatian. Publik memiliki kewenangan sepenuhnya untuk mengangkat persoalan maupun ide yang penting.Dengan kata lain negara tidak memiliki wewenang untuk mengatur persoalan-persoalan apa saja yang harus menjadi perhatian.
Universitas Sumatera Utara
25
Publik memiliki kewenangan sepenuhnya untuk mengangkat persoalan maupun ide yang penting. Hal ini tentu menunjukkan besarnya kewenangan yang berada di tangan publik. “Dalam analisis Habermas, ruang publik ada pada era publik yang dinamis dimana diskusi bebas jelas terlihat secara sosial” (Pinter, 2004: 222). Ekualitas merupakan hal mutlak dalam ruang publik modern dan merupakan gambaran humanis dari ruang publik. Dikatakan humanis karena,ruang publik merujuk pada proses konsensus yang rasional dan secara normatif terikat pada interpretasi mengenai demokrasi ke arah masa depan yang terbentuk dengan sendirinya dalam era yang egaliter dan plural (Johnson, 2006). Konsep ekualitas bagi Habermas sifatnya universal. Ekualitas bukanlah fondasi moral, akan tetapi menjadi “prinsip universal tentang keadilan, bentuk timbal balik dan kesetaraan hak-hak manusia, dan penghargaan terhadap martabat manusia sebagai individu” (Habermas, 1976, 77) Setiap partisipan berhak mendapatkan perhatian yang sama dalam pembicaraan publik. Perhatian yang sama dalam artian setiap partisipan mendapatkan
kebebasan
untuk
mendengarkan
maupun
menyampaikan
pemikirannya tanpa khawatir akan adanya paksaan maupun kontrol dari pihak lain.
2.1.1.3.Konsep Legitimasi dalam Ruang Publik Konsep legitimasi menjadi salah satu ciri penting penerapan ruang publik yang ideal. Demokrasi yang ideal dapat terwujud jika partisipan yang terlibat memiliki legitimasi. Menurut Habermas, “legitmasi berarti adanya argumentasi yang baik melalui klaim yang disampaikan yang sebagai suatu kebenaran. Dengan
Universitas Sumatera Utara
26
kata lain, legitimasi adalah sikap politik yang layak untuk diketahui” (Habermas, 1979: 179). Kelayakan sikap politik ini karena disampaikan beserta dengan kelengkapan fakta yang dapat diyakini kebenarannya. Dalam percakapan yang melibatkan dua pihak, keberadaan legitimasi menjadi sangat penting karena akan mempengaruhi kepercayaan atas pesan yang disampaikan. Apabila situasinya menunjukkan bahwa jika fakta yang disampaikan oleh salah satu pihak tidak terlegitimasi, maka dengan sendirinya akan meningkatkan legitimasi pihak yang berlawanan. Dalam percakapan sehari-hari kita akan menemukan banyaknya percakapan yang tidak terlegitimasi, yang menurut Habermas menjadi masalah permanen dalam interaksi di masyarakat. Apabila dikaitkan dengan konteks pemerintahan, persoalan legitimasi akan berkaitan dengan persoalan-persoalan yang penting dan prinsipil bagi hajat hidup orang banyak. Terganggunya sektor-sektor prinsipil ini akan mengganggu sektorsektor lainnya dan disebut sebagai krisis legitimasi. Apabila berkelanjutan, dapat memancing terjadinya revolusi. Habermas, sampai era 70-an masih meyakini bahwa legitimasi hanya berkaitan dengan persoalan politik dan pemerintahan. Akan tetapi,dalam perkembangannya ketika persoalan politik semakin tidak terbatas dalam artian tidak lagi hanya menjadi bahasan politisi ataupun elit negara melainkan menjadi bahasan berbagai elemen warga negara, legitimasi pun berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat tersebut. Warga negara biasa pun harus memiliki legitimasi untuk mendapatkan kepercayaan dari lawan wicaranya. Semakin luas dan bebas sebuah ruang publik, maka legitimasi juga harus ada dalam semua aspek ruang publik tersebut.
Universitas Sumatera Utara
27
Legitimasi berkaitan erat dengan dominasi politik. Semakin besar legitimasi, maka semakin besar pula dominasi politik yang dapat dimiliki. Hal ini dikarenakan legitimasi berkaitan erat dengan integritas. Hanya pihak yang berintegritas yang dapat meyakinkan orang lain untuk ‘tunduk’ pada klaim yang disampaikan. Dominasi ini yang berlangsung tidak secara paksaan. Habermas menyebutnya sebagai “kesediaan untuk mengikuti secara sukarela” (Habermas, 1976: 180).
2.1.1.4.Kritik terhadap Konsep Ruang Publik Gagasan mengenai ruang publik ini banyak mendapat tanggapan dari para ilmuan komunikasi. Habermas sendiri, sesuai dengan gagasan mengenai tindakan komunikatif sebagai bagian dari penerapan
ruang
publik
ideal yang
dikembangkannya menerima dengan baik beragam kritik tersebut. Kritik ini sendiri dianggap sebagai bagian dari pengembangan keilmuan ruang publik yang membangun gagasan tersebut kedepannya. Laclau mengkritik ruang publik sebagai “bentuk universalitas yang naif” (Garnham, 2007: 205). Pendapat Laclau ini didasari pandangan bahwa idealisme dalam ruang publik justru dapat memicu publik untuk memberi pendapat yang dianggap tidak merugikan/disukai dibandingkan dengan pendapat yang jujur tapi disampaikan dengan cara yang menyakitkan. Dengan kata lain, ruang publik ideal ini justru memicu kemunafikan dalam masyarakat itu sendiri. Kritik lain datang dari Peters Durnham yang menilai bahwa ruang publik ideal itu pun bukannya tanpa bias terhadap proses dialog yang juga menjadi persyaratan penting dalam masyarakat demokratis. Kritik lain muncul dari
Universitas Sumatera Utara
28
Garnham dan McKee, yang melihat bahwa gagasan mengenai ruang publik tidak berkontribusi secara langsung terhadap proses demokrasi itu sendiri. Hal ini dikarenakan “pandangan Habermas ini menunjukkan tidak adanya hubungan dengan politik di dunia nyata dan hanya membuat defenisi baru tentang demokrasi sebagai politik representasi dengan format yang santun” (Garnham, 2007: 207).
2.1.2. Teori Tindakan Komunikatif Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Tindakan Komunikatif (1981). Teori ini diperkenalkan oleh Jurgen Habermas, filsuf Jerman yang secara luas dikenal dengan konsep publik sphere nya. Habermas, yang merupakan generasi kedua dari Frankfurt School mengembangkan pendekatan kritis yang merupakan kritik terhadap teori kritis yang telah berkembang sebelumnya. Menurut Argyris dan Schon (1974), Habermas dikenal sebagai ilmuwan kritis yang “mampu menyediakan dasar teoritis yang menekankan pada penyebaran partisipasi publik, penyebaran informasi pada publik, dan upaya mencapai konsensus melalui dialog publik, daripada hanya menekankan pada persoalan mendapatkan kekuasaan” (Bolton, 2005: 2). Dalam konteks ini, Argyris dan Schon melihat bagaimana wacana yang berkualitas dalam dialog publik turut mengambil peran dalam proses demokrasi. Teori kritis yang dikembangkan Habermas tidaklah sebuah filosofi sejarah dengan tujuan praktis, akan tetapi merupakan titik poin dalam pengembangan teori komunikasi yang kompeten (Outhwaite, 2009). Teori yang dikembangkan
Universitas Sumatera Utara
29
Habermas lebih mengedepankan bagaimana komunikasi yang terjalin diantara anggota masyarakat merupakan bagian dari upaya pengembangan kompetensi komunikasi untuk mencapai pemahaman bersama. Tentunya ini berbeda dengan pandangan kritis seperti yang dikemukaan oleh ilmuwan kritis yang lebih melihat bahasa dalam sebuah relasi kuasa. Menurut Habermas, bahasa tidak hanya semata digunakan untuk manipulasi ataupun hal-hal negatif lainnya. Akan tetapi bahasa memiliki kemampuan mengkoordinasikan masyarakat dalam konteks konsensus (White, 1995). Meskipun teori tindakan komunikatif merupakan teori dalam pendekatan kritis, akan tetapi teori ini dapat dikembangkan dalam berbagai pendekatan keilmuan, baik konstruktivis maupun positivis. Dalam buku The Theory Communicative Action¸ Habermas memaparkan bagaimana pemikiran Durkheim yang dikenal secara luas sebagai ilmuwan positivis turut mempengaruhi kajian ini. Terutama berkaitan dengan persoalan moral yang menjadi landasan dalam teori ini. Habermas mengidentifikasikan persoalan perangkat kesadaran kolektif Durkheim untuk membahas mengenai persoalan karakter simbolis manusia dan bagaimana karakter simbolik tersebut dapat dikonstruksikan, dan mampu rekonstruksikan panduan perilaku secara normatif (Habermas, 1987). Durkheim menjabarkan bagaimana persoalan moral dapat dilihat secara empiris. Durkheim memandang perlunya membahas berbagai persoalan simbolis terutama pada halhal yang dianggap tabu di masyarakat. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh pemikirannya bahwa kesadaran kolektif manusia pada dasarnya dibentuk oleh seperangkat simbol, yang direpresentasikan secara kolektif. Kesadaran kolektif ini
Universitas Sumatera Utara
30
dapat dilihat dari apa yang ditampilkan dari perilaku, maupun dari tata cara berbicara, sikap-sikap yang ditampilkan dapat menunjukkan rasa hormat, rasa takut, dan digunakan untuk meningkatkan kuasa (Habermas, 1987) Dalam konteks dunia yang semakin pluralis, pemahaman mengenai tindakan komunikatif menjadi syarat penting untuk menciptakan interaksi masyarakat yang beretika. Etika inilah yang kemudian menjadi panduan bagi setiap anggota masyarakat dan menciptakan kesepahaman. Inilah yang kemudian menjadi salah satu ciri modernitas, bukan sekedar pengembangan secara ekonomi maupun infrastruktur namun juga pengembangan wawasan kemasyarakatan. Dengan kata lain, “teori ini menyediakan perspektif tentang bagaimana seharusnya kita memahami tentang modernitas” (White, 1995: 8). Dalam konteks ini pendekatan komunikatif membantu anggota masyarakat untuk melakukan kritisi mengenai aspek-aspek
tertentu
dalam
modernisasi
namun tetap
mengedepankan nilai-nilai yang dapat menciptakan ketentraman dalam proses diskusi terhadap kritik tersebut. Modernitas dalam pandangan Habermas harus dapat ditampilkan dalam dua konteks yaitu konteks “budaya modern”, dan “proses modernisasi” (White, 1995: 8). Budaya modern adalah budaya yang mampu menampilkan masyarakat yang terasionalisasikan dimana setiap partisipan secara konsisten memiliki validitas dalam wicaranya. Seiring dengan membaiknya budaya modern yang diterapkan oleh masyarakat akan berimbas pula pada perbaikan proses modernisasi di masyarakat itu sendiri. Akan semakin banyak interasi sosial yang menjadi lebih terbuka dan menciptakan kesepahaman antar masyarakat. Terciptanya kesepahaman ini pada akhirnya akan menciptakan solidaritas pada masyarakat pluralis tersebut. Teori ini tidak berpretensi untuk
Universitas Sumatera Utara
31
mempengaruhi, akan tetapi pada “kesepakatan dan saling pengertian dengan partisipan lain mengenai gagasan-gagasan tertentu di dunia” (Rush, 2004: 198). Teori Tindakan Komunikatif adalah teori tindakan yang bertujuan untuk mencapai kesepemahaman, dan untuk mencapainya harus ada perilaku berbicara yang komunikatif (Littlejohn, 2009). Habermas mengasumsikan bahwa pada hakikatnya masyarakat bersifat komunikatif. Sehubungan dengan sifatnya yang komunikatif tersebut, maka masyarakat berperan serta dalam perubahan sebagai bagian dari proses belajar. Tingkatan komunikatif ini akan menggambarkan rasionalitas dalam suatu masyarakat. Semakin komunikatif masyarakat, semakin rasional pula masyarakat tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin rasional masyarakat yang terlibat dalam ruang publik maka percakapan yang berlangsung akan semakin komunikatif pula. “Rasionalitas menjadi satu kesatuan dengan tindakan komunikatif. Hal ini berdasarkan pada pemikiran bahwa tindakan komunikatif haruslah senantiasa memiliki dasar/alasan. Dan rasionalitas dari orang-orang yang berpartisipasi dalam praktek komunikatif ini didasarkan pada alasan-alasan rasional yang mendasari ekspresi mereka” (Stteinhoff, 2009:4). Rasionalitas pada akhirnya akan menciptakan saling pengertian dari partisipan.
2.1.2.1. Rasionalitas dan Kekuatan Illocutionary Rasionalitas Habermas adalah sebuah rasionalitas yang komunikatif. Dikatakan komunikatif karena rasionalitas ini menekankan pentingnya suasana yang komunikatif yang mampu mewujudkan saling pengertian pada partisipan yang terlibat (illocutionary). Saling pengertian ini diperoleh dari kemampuan
Universitas Sumatera Utara
32
mengolah seni berbicara dari setiap partisipan. Setiap perilaku wicara haruslah mampu menciptakan saling pengertian yang baik, barulah dapat dikatakan bahwa telah berlangsung rasionalitas yang komunikatif. Habermas menekankan pentingnya kekuatan illocutionary dalam sebuah tindakan komunikatif. Kekuatan illocutionary oleh Habermas diartikan sebagai kekuatan untuk membentuk interpersonal seperti yang dimaksudkan oleh penutur (McCarthy, 2006). Kekuatan illocutionary ini menekankan pada bagaimana suatu percakapan dapat diterima oleh pihak yang terlibat. Kemampuan illocutionary penutur akan menentukan apakah suatu informasi ataupun argumen dapat diterima atau ditolak oleh partisipan lain. Kemampuan illocutionary lahir ketika seorang penutur bersedia untuk menerima konsekuensi yang muncul dari percakapan yang berlangsung. Konsekuensi dapat berupa menutup persoalan ketika partisipan lain telah memberikan jawaban yang memuaskan, bersedia menerima situasi ketika pernyataan yang disampaikannya ternyata keliru dan bersedia menerima kebenaran yang disampaikan pihak lain, atau bersedia menerima nasehat yang disampaikan oleh orang lain dalam percakapan tersebut. Secara ideal, kemampuan ini seharusnya dimiliki oleh setiap orang yang terlibat dalam percakapan. Hal ini dikarenakan setiap orang pada dasarnya suatu saat harus berperan sebagai penutur, namun di saat tertentu juga berperan sebagai pendengar. Kekuatan illocutionary dikatakan berhasil ketika pihak-pihak yang terlibat bersedia menerima pandangan lain yang mungkin berbeda dengannya.
Universitas Sumatera Utara
33
Bahasa, menjadi alat untuk melakukan tindakan komunikasi. Dalam tindakan komunikasi, berlangsung pembicaraan (speech) dari setiap partisipan. Pembicaraan ini tidak dilihat sekedar sebuah pembicaraan, namun selaku tuturan. Kemampuan bahasa selaku penutur ini lah yang kemudian dilihat sebagai kompetensi komunikatif. Dalam konsep tindakan komunikatif, “bahasa menjadi medium dalam mencapai saling pengertian’ (Goldkuhl, 2000: 172). Dalam pemikiran Habermas bahasa harus dipahami dalam struktur wacana.Wacana menurut Hawthorn (1992) seperti dikutip oleh Eriyanto merupakan “komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran diantara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal dimana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya” (Eriyanto, 2001: 2). Struktur wacana ini menggambarkan bagaimana masyarakat mengambil sikap terhadap situasi tertentu, seperti dinyatakan oleh Charles Taylor bahwa Habermas berusaha memahami masyarakat dari sudut pandang bahasa. Dengan kata lain, “masyarakat akan dijelaskan dengan merujuk kepada struktur wacana” (Honneth, 1991: 23). Bahasa bertutur adalah bahasa yang mengikuti aturan-aturan gramatikal dan mampu mengucapkannya dengan cara-cara yang dapat diterima. Tanpa melihat dari mana sumber tuturan tersebut berasal, disampaikan dalam bahasa apa, serta konteks yang melatari penuturan tersebut. Kesepahaman atau konsensus membutuhkan tiga syarat penting, (Griffin, 2003) yaitu: 1. Akses yang sama Setiap orang, bahkan yang memiliki standar minimum dalam kompetensi komunikasi memiliki kesempatan yang sama untuk
Universitas Sumatera Utara
34
berpartisipasi. Sepanjang masing-masing orang menggunakan bahasa yang sama-sama dimengerti, maka setiap orang bebas menggunakan akses mendengar ataupun berbicara yang dimilikinya. 2. Kebebasan berargumentasi Setiap orang haruslah diberi kebebasan dalam menyampaikan ide, mempertanyakan ide-ide lainnya, dan menunjukkan sikap secara jujur, menyampaikan hasrat maupun kebutuhannya. 3. Justifikasi Setiap orang yang berpartisipasi haruslah memiliki komitmen pada standar universalitas. Dalam artian, penerimaan tidak hanya terhadap orang-orang yang bersepakat namun juga terhadap siapa saja yang terkena efek dari proses partisipasi yang terjadi.
2.1.2.2. Tindakan Komunikatif sebagai Wacana Moralitas Secara lebih luas, teori ini dilihat sebagai bagian dari upaya penilaian moral atas suatu situasi sosial, karenanya disebut juga sebagai teori wacana moralitas. Moralitas sendiri menekankan pentingnya persoalan etika dalam wacana. “Wacana etik ini dapat digambarkan sebagai bagian dan untuk modernitas itu sendiri” (Johnson, 2006: 63). Modernitas pada akhirnya memperbesar terjadinya pluralitas di masyarakat, karenanya diperlukan sebuah etika pluralitas untuk mengakomodir berbagai kepentingan tersebut secara rasional. Tujuan utama dari Habermas adalah untuk melihat bagaimana teori moral dapat membantu memberi jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang muncul
Universitas Sumatera Utara
35
dalam teori sosial (Finlayson, 2005). Secara lebih spesifik, teori ini seperti dikutip oleh Chigona dari Forester (1983) dapat digunakan untuk: 1. Analisis interpretif mengenai makna. 2. Analisis empiris mengenai interaksi yang komunikatif dan setting struktural yang menyertainya. 3. Analisis normatif mengenai distorsi yang terjadi secara sistematis dan pelanggaran yang terjadi dalam wacana bebas yang terjadi secara implisit dalam aktivitas komunikasi. Teori ini mengantisipasi berbagai persoalan moralitas yang dapat muncul dari berbagai wacana di masyarakat. Dalam artian antisipasi antara apa yang ditampilkan sebagai fakta dan norma yang seharusnya menyertainya. “Menurut Habermas, wacana praktis harus menaruh perhatian pada pertanyaan apakah norma-norma perilaku yang seharusnya telah diadopsi dalam praktek wacana tersebut” (Steinfoff, 2009: 78). Persoalan moralitas dalam wacana mengedepankan klaim kebenaran. Klaim kebenaran diperoleh melalui validitas atas kebenaran itu sendiri. Dalam pandangan Habermas, konflik meningkat ketika klaim kebenaran ditolak oleh partisipan (Finlayson, 2005). Untuk meyakinkan masing-masing partisipan akan klaim kebenaran yang disampaikan, pelaku komunikasi harus mampu memberi informasi yang komprehensif pada lawan wicaranya sehingga apa yang disampaikannya diterima sebagai kebenaran bagi lainnya. “Setiap orang yang terlibat dalam percakapan dan ingin meningkatkan validitas klaim harus mempersiapkan alasaan klaim tersebut, terutama jika muncul kritisi/pertentangan” (Morris, 2001: 102)
Universitas Sumatera Utara
36
Dalam proses wicara, besar kemungkinan terjadi pertentangan pada setiap partisipan. Hasilnya, akan ada partisipan yang tersinggung dengan perkataan dari partisipan lain yang bertentangan dengannya, dan akan ada upaya menuntut argumentasi terhadap pernyataan yang disampaikan oleh pihak yang dianggapnya jahat. Untuk mengatasi berbagai pertentangan itu, maka diperlukan norma bersama yang dapat dimengerti dan diterima oleh setiap partisipan. Teori dari Habermas dianggap sebagai petunjuk bagi setiap partisipan untuk membangun kompetensi komunikasi sehingga klaim yang disampaikannya diterima sebagai sebuah kebenaran. Habermas menekankan pentingnya proses pemahaman dari setiap anggota masyarakat sebagai bagian dari proses interaksi manusia. Tugas utama dari teori ini adalah untuk mengidentifikasi dan merekonstruksi syarat universal bagi kemungkinan adanya pemahaman (McCarthy, 2006). Bagi Habermas, tindakan komunikatif adalah landasan segala kehidupan sosiokultural dan landasan seluruh ilmu pengetahuan manusia (Ritzer, 2003:188). Tindakan komunikatif juga merupakan kunci bagi sebuah pemhaman yang komprehensif mengenai tindakan social (Morris, 2001: 5).
2.1.2.3. Validitas Kebenaran Dalam rangka mencapai saling pengertian, maka setiap partisipan yang terlibat harus memiliki validitas kebenaran. “Pandangan Habermas ini berakar dari pemikirannya tentang komunikasi sebagai usaha yang rasional” (Goldkuhl, 2000: 173). Untuk menjadi rasional, maka setiap partisipan harus memiliki alasan
Universitas Sumatera Utara
37
ataupun latar belakang yang baik untuk setiap tindakannya. Inilah yang kemudian menjadi kunci dasar dari validitas kebenaran. Ketika terlibat dalam perbincangan, setiap partisipan berusaha meningkatkan jumlah validitas kebenaran yang tentu saja dapat dibantah oleh lawan bicaranya. Bantahan ini tentunya juga harus memiliki validitas kebenaran agar dapat diterima dengan baik oleh partisipan lainnya. Teori ini memiliki tiga fondasi utama, yang dikenal sebagai “konsep tigadunia”, fondasi pertama adalah dunia objektif, yang terdiri atas kebenaran universal. Fondasi kedua adalah dunia subjektif yang merangkum kepercayaan internal seseorang. Fondasi terakhir adalah dunia sosial yang menunjukkan perilaku yang diinginkan, misalnya dalam wujud kebenaran normatif. Ketiga fondasi ini membantu untuk menjabarkan validitas kebenaran yang menjadi ciri khas dari analisa wacana yang dikembangkan oleh Habermas ini. Dalam validitas kebenaran ini terdapat dua kompetensi yang menjadi rujukan apakah pihak yang terlibat dalam percakapan layak untuk diperhatikan, yaitu kompetensi linguistik dan kompetensi komunikasi. Kompetensi komunikasi berkenaan dengan isi dari pesan komunikasi, sementara kompetensi linguistik berhubungan dengan pengucapan baik dari sudut pandang semantik maupun sintaksis. Kompetensi
linguistik,
atau
disebut
juga
validitas
kejelasan/komprehensibilitas mewakili kompetensi linguistik. Pengucapan yang jelas, pemilihan semantik maupun sintaksis yang baik akan memudahkan pendengar untuk memahami maksud dari komunikator. Cara paling sederhana dan empiris untuk mengujinya adalah dengan memeriksa kelalaian atau penghilangan
Universitas Sumatera Utara
38
kata atau kalimat yang dilakukan oleh komunikator, termasuk di dalamnya juga apabila terdapat kesalahan penggunaan huruf dikarenakan kesalahan dalam pengetikan. Kompetensi komunikasi dapat dilihat dari tiga validitas, yaitu kebenaran, legitimasi, dan ketulusan. Seorang pembicara dapat dikatakan menyampaikan kebenaran ketika apa yang mereka ucapkan tersebut merupakan gambaran lengkap dari suatu persoalan. Inilah yang kemudian dilihat sebagai bagian dari “kebenaran” atau konsep universalitas. Klaim kebenaran disini dapat dilihat dari kebohongan yang disampaikan, penghilangan informasi yang dilakukan dengan sengaja, terutama apabila pandangan yang berlawanan tersebut dilatarbelakangi oleh dukungan terhadap pembicara. Proses validasi ini tidak hanya melihat konteks dari informasi yang disampaikan, namun juga menganalisis keseluruhan teks yang ada. Hal ini dikarenakan analisis terhadap satu artikel saja dapat menimbulkan bias. Menganalisa keseluruhan teks dapat membantu untuk memahami persoalan yang terjadi pada satu teks. Sebuah ucapan dikatakan memiliki legitimasi jika dapat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang diterima bersama. Sebuah komunikasi dikatakan tidak memiliki distorsi apabila setiap argumen yang muncul memiliki kesempatan yang sama untuk didengarkan. Tidak ada satu suara pun yang dapat dikatakan lebih istimewa dibandingkan dengan pendapat yang lain sehingga dapat mendominasi perbincangan. Bentuk distorsi dapat dilihat dari apakah ada satu pendapat yang mendapatkan keistimewaan sementara pendapat lain ‘dibisukan’.
Universitas Sumatera Utara
39
Untuk mendapatkan keistimewaan agar didengar, seorang komunikator sering menggunakan pendapat dari ahli, tokoh ataupun sumber yang dianggap sebagai alat untuk mendapatkan legitimasi. Seorang politikus dapat menggunakan pendapat politikus yang lebih senior darinya sebagai bahan referensi. Strategi lain untuk mendapatkan legitimasi adalah dengan menggunakan daya tarik emosional. Para pembicara sering melibatkan persoalan keluarga, patriotisme, maupun nilai-nilai keagamaan dalam debat. Dengan strategi ini, komunikan yang terlibat dalam debat akan lebih mengedepankan nilai-nilai emosionalnya dibandingkan rasionya. Seorang
pembicara dikatakan tulus dan
jujur
apabila apa
yang
disampaikannya adalah sesuatu yang otentik. Dalam konteks Habermas, ketulusan merupakan hal yang berbeda dengan kejujuran. Suatu tindakan bisa saja jujur, namun belum tentu tulus. Untuk mengetahui ketulusan dari pembicara, dapat dilakukan pengujian klaim ketulusan. Klaim ketulusan ini merupakan pengujian yang sulit dan hanya dapat diduga saja. Dugaan atas ketulusan dapat dilakukan dengan menaksir apakah fakta, baik yang nyata maupun yang diasumsikan, konsisten dengan kandungan wacana. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat gaya bahasa yang digunakan sebagai bagian sinyal dari yang tak terkatakan.penggunaan jargon-jargon maupun metafora dapat dilihat sebagai bagian dari ketidaktulusan karena mampu mempengaruhi sifat dasar dari wacana itu sendiri. Keempat validitas ini menjadi standar ideal dari suatu perbincangan di ruang publik. Kurangnya salah satu validitas dapat mengakibatkan munculnya perdebatan pada komunikator ataupun komunikan.Dalam situasi seperti ini, maka
Universitas Sumatera Utara
40
para pelaku komunikasi harus mencari cara untuk mencapai saling pengertian atas situasi yang terjadi sehingga akhirnya terdapat kesepakatan diantara pihak-pihak yang terlibat. Kesepakatan yang terjadi dapat berupa “sepakat untuk sepakat”, atau bahkan “sepakat untuk tidak sepakat”. Berikut adalah tabel klaim validitas yang disarikan oleh Chigona: Tabel2.1.3.3. Klaim Validitas Kompetensi
Dunia
Linguistik
Objektif
Komunikasi
Objektif
Subjektif
Sosial
Klaim
Penjelasan
Komprehensibilitas Percakapan yang terjadi haruslah menggunakan pilihan semantik dan sintaksis yang jelas. Kebenaran Percakapan yang berlangsung harus sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Ketulusan Dilakukan dengan mencari tahu maksud dari komunikator. Ketulusan tidak dapat diobservasi, hanya dapat diduga. Legitimasi Percakapan yang dilakukan harus sesuai dengan normanorma sosial yang disepakati di masyarakat.
(Sumber: Chigona, 2008:47)
2.1.3. Media Sosial Media sosial menjadi trend baru pada kalangan menengah perkotaan. Dengan media sosial, setiap orang dapat menyatakan pendapatnya secara terbuka tanpa ada sensor dari orang lain. Setiap partisipan bebas membuat status, ataupun memberi komentar terhadap status orang lain.
Universitas Sumatera Utara
41
Selama beberapa dekade, media yang sifatnya one to many telah menguasai aktivitas di ruang publik. Dengan situasi ini public sphere sering kali berkembang sesuai dengan kepentingan media, bukan kepentingan publik. Media cenderung mengangkat persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepentingan bisnis (iklan) ataupun kepentingan politisnya masing-masing. Media sosial pun kemudian
menjadi salah satu transformasi dalam
penerapan public sphere. Media sosial telah memungkinkan setiap warga untuk berpartisipasi dalam berbagai wacana di forum publik. Setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan agendanya sendiri, memberikan komentar, maupun argumentasi. Setiap orang memiliki keinginan untuk menyuarakan peristiwa dengan versinya masing-masing. Kemudahan akses pada media sosial telah memungkinkan setiap orang untuk memiliki medianya sendiri. Tidak sepenuhnya sempurna seperti halnya interaksi tatap muka tentunya, akan tetapi mampu memberikan bentuk-bentuk baru dalam interaksi yang membawa orang dalam konteks pribadi yang tidak dapat dilakukan oleh media konvensional (Junaedi, 2011) Banyak akademisi pun mulai berpandangan bahwa era ruang publik secara tatap muka kini telah tergantikan oleh layanan dunia maya. Seperti dituliskan oleh Poster, yang dikutip oleh Martin Lister, dkk bahwasanya era public sphere sebagai percakapan tatap muka jelas telah berakhir. Pertanyaan-pertanyaan mengenai demokrasi mulai sekarang harus memperhitungkan wacana yang tampil dalam format baru (Lister, 2003).
Universitas Sumatera Utara
42
Format baru ini, memungkinkan terjadinya hubungan yang interaktif. Hubungan inilah yang sulit untuk diperoleh melalui format media lainnya seperti media massa. Fenomena interaktivitas ini menurut Howard Rheingold muncul sebagai akibat dari meningkatnya “electronic agora”. Situasi ini dimulai ketika teknologi telepon telah memungkinkan terjadinya dialog langsung antara individu dalam jarak yang jauh, sementara media massa
bekerja secara
monolog
yang
sehingga
memiliki
banyak
keterbatasan. Sementara itu, “teknologi digital baru mampu melampaui berbagai batasan tersebut serta implikasi dari “anti demokrasi” yang muncul dari teknologi analog seperti media massa. Teknologi digital ini menandai lahirnya besarnya jaringan yang tidak terbatas dimana setiap pengirim dan penerima yang identitasnya samar dapat berkomunikasi secara bebas baik secara horizontal maupun vertikal (warga negara kepada warga negara, dan warga negara kepada institusi). Ini merupakan masa pencerahan dalam dialog, munculnya ‘warung kopi elektronik’ yang mungkin dapat memunculkan seni berbicara, debat, dan pengujian klaim satu sama lain secara diskursif. Kelompok elite maupun industri media massa yang narsis kini harus berjuang untuk mempertahankan aura otoritas mereka dan akan kehilangan daya sebagai gerbang pengetahuan, budaya, dan agenda publik (Goode, 2005) Interaktifitas sendiri dipahami sebagai “urutan aksi dan reaksi” (Van Dijk, 2006: 6). Interaktivitas terjadi ketika berlangsung komunikasi dua sisi atau dapat pula disebut komunikasi multilateral. Komunikasi multilateral inilah yang kemudian memungkinkan terjadinya percakapan antara partisipan di dunia maya,
Universitas Sumatera Utara
43
dan bukan sebuah monolog yang hanya berlangsung dari satu sisi. Percakapan memungkinkan terjadinya saling tukar menukar informasi dari pihak-pihak yang terlibat, sehingga sebuah informasi yang dianggap penting dan perlu mendapat dukungan dari partisipan akan lebih tersebar luas. Akan tetapi, interaktivitas dalam internet juga bukannya tanpa masalah. Internet, yang menghadirkan lingkungan online memungkinkan setiap partisipan untuk berinteraksi secara penuh dengan seluruh isi dan partisipan yang terlibat di dunia maya. Setiap partisipan bebas untuk
mengunduh,
mengunggah,
menyebarluaskan link di media, bahkan hingga mengolah data di internet dengan versinya sendiri. Dan semuanya dilakukan seperti apa yang dikatakan oleh Stromer-Galley (2000) sebagai “bahkan tanpa berkomunikasi secara langsung dengan orang lain” (Bucy, 2004: 55). Ragam defenisi media sosial
sendiri banyak ditemukan, salah satunya
diutarakan oleh Jhon Blossom (Blossom, 2009) yang membuat kategorisasi defenisi dari berbagai sudut pandang. Adapun defenisi tersebut adalah: 1. Skala dan akses terhadap media sosial dapat beragam, baik dari sisi teknologi ataupun khalayak yang menggunakannya. Media sosial menggunakan teknologi dalam skala besar dan dapat diakses melalui media sosial. kemampuan media sosial untuk menjangkau khalayak dalam skala besar telah digunakan untuk berbagai kepentingan, terutama kepentingan bisnis seperti dalam publikasi. Dalam waktu singkat, jutaan orang dapat terpapar publikasi yang disampaikan melalui media sosial. Teknologi yang kini marak digunakan, yaitu format 2.0 bahkan mampu menjangkau skala yang lebih besar lagi, dimana publikasi menjadi lebih
Universitas Sumatera Utara
44
mudah, lebih murah (tak jarang malah gratis), dan dapat dilakukan oleh siapa saja. 2. Media sosial memungkinkan individu untuk berkomunikasi dengan kelompok maupun individu-individu lainnya. Khalayak dalam media sosial biasanya saling terhubung satu dengan lainnya, dimana hubungan yang terjalin pada khalayak ini sifatnya setara. Berbeda dengan media massa yang sifatnya “satu untuk banyak”, media sosial bersifat “banyak untuk banyak”. Dalam konteks komunikasi yang “satu untuk banyak”, seseorang atau kelompok tertentu mendesain pesan untuk didistribusikan kepada orang/kelompok lain. Dengan kata lain, kelompok penyebar informasi ini mempunyai otoritas untuk memilah dan membagi informasi apa yang layak dan perlu dikonsumsi oleh khalayak banyak. Sebaliknya, khalayak banyak ini tidak memiliki akses ataupun otoritas untuk menyebarluaskan informasi yang dianggapnya penting dan layak diketahui oleh orang lain. Format seperti ini kita lihat pada media massa, dimana ada sekelompok anggota dewan redaksi yang kemudian memutuskan informasi apa yang layak dibaca ataupun ditonton oleh khalayak. Informasi yang dianggap tidak penting ataupun tidak sesuai dengan agenda redaksi tidak akan disebarluaskan di media yang bersangkutan. Berbeda halnya dengan format “banyak untuk banyak’, dimana setiap individu bisa saja menyebarluaskan informasi yang dianggapnya penting dan
layak
kepada
orang
lain
secara simultan.
Teknologi web
memungkinkan setiap orang membagi informasi dalam waktu bersamaan. Secara lebih luas, keberadaaan media sosial memfasilitasi kesetaraan bagi
Universitas Sumatera Utara
45
setiap individu/ kelompok untuk membagi informasi, dan bercerita sesuai versinya tanpa ada pengaruh kelompok kepentingan tertentu. Tidak ada kontrol dari kelompok-kelompok berkuasa dalam media sosial, karena setiap individu/kelompok yang terlibat dalam komunikasi memiliki otoritas yang sama atas informasi yang dimilikinya. 3. Media sosial memungkinkan terjadinya pengaruh. Akan tetapi, pengaruh yang diperoleh oleh setiap orang tidak dapat diprediksikan. Besar kecilnya pengaruh sebuah informasi di media sosial bergantung pada seberapa penting informasi tersebut bagi khalayak. Sebuah gagasan atau informasi bisa saja diadopsi oleh banyak orang karena persebarannya di dunia maya sangat luas. Akan tetapi bisa saja sebuah gagasan lainnya tidak memiliki pengaruh
luas
karena
kurangnya
ketertarikan
khalayak
terhadap
gagasan/informasi tersebut. Melihat situasi ini, sebenarnya dapat dikatakan bahwa khalayak pada media sosial lebih digdaya dibandingkan dengan khalayak pada media massa, karena mampu memilah sendiri informasi yang penting untuk disebarluaskan. Media sosial merupakan media online, dimana pengguna media ini dapat berpartisipasi secara interaktif dengan peserta lain, berbagi, maupun menciptakan isi melalui blog, jaringan sosial, maupun forum. (Junaedi, 2011). Keberadaan media sosial dapat dengan mudah ditemukan di internet. Pengguna dapat memilih media mana yang ingin digunakan sesuai dengan kebutuhannya. Keberadaan media sosial telah menjadi bagian dari presentasi diri penggunanya. Pengguna media sosial memanfaatkan medium ini sebagai bagian
Universitas Sumatera Utara
46
pengungkapan diri, maupun pemikirannya. Lebih jauh, media sosial menjadi bagian penting dalam upaya rekonstruksi identitas dirinya. Akan tetapi, tidak semua konstruksi diri yang dilakukan pengguna adalah konstruksi yang positif. Salah satu konstruksi diri yang dilakukan oleh pengguna media sosial adalah intimidasi. Pengguna strategi ini menggunakan intimidasi untuk memperoleh kekuasaan. Seperti yang diutarakan oleh Jones (1990), karakteristik umum yang dimiliki adalah ancaman, pernyataan kemarahan, dan kemungkinan ketidaksenangan (Ardianto, 2007). Pola intimidasi yang dilakukan misalnya
dengan
menggunakan
kalimat-kalimat
tertentu
yang
dapat
mengekspresikan kemarahannya, ataupun menggunakan emoticon-emoticon tertentu yang juga dipahami sebagai ekspresi kemarahan.
2.1.3.1. Bentuk-bentuk Media Sosial Bentuk media sosial masa kini sangat beragam yang menawarkan keistimewaan masing-masing. Dari berbagai fitur media sosial di internet, yang dikategorikan sebagai sosial media adalah (Poynter, 2010): 1. Blog Blog adalah aplikasi media sosial dimana penggunanya bebas untuk mengungkapkan pengalaman, perasaan, ataupun pemikirannya dalam laman di internet. Pengguna bebas mengaktifasi akun blog dan memperbaharuinya setiap saat tanpa ada batasan karakter. Salah satu aplikasi yang paling populer adalah blogspot. 2. Micro blogging (twitter) akun microblogging merupakan akun media sosial yang memungkinkan penggunanya untuk memperbaharui informasi setiap waktu, namun
Universitas Sumatera Utara
47
dengan karakter yang terbatas. Umumnya terbatas hanya 200 karakter. Akun mikroblogging yang paling populer saat ini adalah Twitter, meskipun bukan pelopor mikro blogging. 3. Sosial networking (facebook, mixi, cyworld) Sosial networking memungkinkan setiap partisipan untuk menjalin relasi sosial dengan banyak orang tanpa dipengaruhi oleh batasan negara. Salah satu akun sosial networking paling polular saat ini adalah facebook, yang dirancang oleh Mark Zukerberg. Sebelumnya, friendster sempat merajai sebelum popularitasnya dikalahkan oleh facebook. Selain itu terdapat pula Linkedin, dimana para penggunanya tidak hanya menjalin pertemanan baru, namun dapat mencari kerja ataupun menjalin relasi profesional dengan partisipan lain. 4. Wiki (wikipedia, collaborative encyclopaedia) Wikipedia adalah sejenis ensiklopedia online yang memuat beragam informasi. Wikipedia dijalankan dalam berbagai bahasa, dan sifatnya terbuka. Dengan sifatnya yang terbuka, maka siapa saja dapat mengakses maupun menambah informasi pada wikipedia. 5. Sosial bookmarking (delicious, digg) Sosial bookmarking adalah media sosial yang layanan online yang memungkinkan
pengguna
untuk
menambahkan,
menambahkan
keterangan, mengedit, dan membagi bookmark dari dokumen di web. 6. Photo sharing (flickr) Fitur-fitur dalam media sosial ini memungkinkan pengguna untuk membagi momen-momen pentingnya di dunia maya. Pengunjung
Universitas Sumatera Utara
48
kemudian dapat memberi komentar pada foto-foto yang diposting tersebut. Selain flickr, instagram juga masuk dalam kategori ini. 7. Video sharing (YouTube) Fitur
video
sharing
memungkinkan
setiap
penggunanya
untuk
mengunggah video-video favorit mereka ke internet. Fitur ini kemudian tidak hanya digunakan untuk video-video musik artis dunia, akan tetapi banyak juga pengguna yang mengunggah video-video pengalaman seharihari mereka. Siapa saja bebas menonton video-video ini, sementara pemilik akun dapat memberi komentar terhadap video yang diunggah. 8. Voice networking (Skype) Voice networking memungkinkan setiap partisipan untuk melakukan video conference dengan orang lain yang jaraknya berjauhan. 9. Music sharing (Last FM) Media sosial ini memungkinkan setiap partisipan untuk memposting musik-musik favoritnya, menshare musik-musik favoritnya di akun media sosial lainnya. Selain Last FM, situs yang dikenal secara luas adalah Jango, Reverb Nation, dll. 10. Product dan service review (TripAdvisor) Fitur yang disajikan dalam media sosial ini adalah fitur-fitur yang berisi informasi mengenai suatu produk ataupun layanan jasa. Situs-situs sejenis ini secara aktif menyediakan referensi tentang berbagai produk yang dapat diakses oleh siapa saja. Partisipan juga dapat mengunggah foto mengenai layanan ataupun jasa yang pernah diperolehnya dan dikomentari oleh pengguna lainnya.
Universitas Sumatera Utara
49
11. Virtual worlds (Second Life, Warcraft) Umumnya dikenal sebagai game online yang memungkinkan setiap pemainnya untuk terlibat dalam
permainan bersama. Tidak hanya
memainkan game, setiap peserrta dapat melakukan live chat, baik chat pribadi, dan chat grup. 12. Multiplayer Games (Farmville) Fitur dalam media sosial ini hampir mirip dengan virtual worlds, hanya saja setiap pemain tidak dapat melakukan live chat, namun tetap dapat berkomunikasi
lewat
pesan
yang
terkoneksi dengan situs
yang
menaunginya. Umumnya, multiplayer games ini terkoneksi dengan situs media sosial lainnya seperti facebook. Selain farmville, multiplayer games yang dikenal luas adalah The Sims Sosial, Café World, Criminal Case, dan sebagainya.
2.1.4. Kajian Terdahulu Penelitian ini merupakan penelitian yang mengaplikasikan teori kritis dengan pendekatan paradigma positivis. Teori tindakan komunikatif merupakan teori yang dikembangkan oleh Jurgen Habermas dengan pendekatan kritis. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan untuk menganalisis adalah analisis isi yang secara luas dikenal sebagai konsep wacana dalam paradigma positivis. Model penelitian yang mengkombinasikan kedua pendekatan ini sebenarnya masih menjadi perdebatan karena perbedaan akar paradigma diantara keduanya. Akan
tetapi,
beberapa
ilmuwan
terutama
ilmuwan
luar
negeri
mulai
mengaplikasikan pendekatan ini secara lebih luas. Selain itu, beberapa pakar
Universitas Sumatera Utara
50
komunikasi berpandangan bahwa teori tindakan komunikatif ini sendiri dapat diaplikasikan baik pada paradigma kritis, konstruktivis maupun positivis. Dalam konteks paradigma kritis fokus utama tindakan komunikatif adalah pada penyebaran partisipasi, penyebaran informasi dan upaya mencapai konsensus melalui dialog publik. Sementara itu dalam paradigma konstruktivis tindakan komunikatif dapat dilihat pada bagaimana perilaku partisipan yang terlibat didalam percakapan memiliki keunikan yang lahir sebagai proses berpikir manusia. Seperti yang dikatakan oleh Neuman bahwa kehidupan sosial berdasarkan interaksi sosial yang kemudian membentuk sistem pemaknaan. Paradigma positivis melihat dari konteks yang berbeda, bahwasanya manusia memiliki kesadaran kolektif yang dibentuk oleh seperangkat simbol dan dapat dilihat secara empiris McKee melihat bahwa pendekatan Habermas mengenai teori tindakan komunikatif seharusnya dilihat dari “seberapa baik model alternatif ini dapat mengukur berbagai persoalan yang muncul dalam politik demokrasi kontemporer dan media” (Garnham, 2007: 207). Konsep wacana Habermas yang dijabarkan melalui Teori Tindakan Komunikatif merupakan salah satu konsep dalam pendekatan kritis yang tidak hanya mampu menggambarkan persoalan relasi kuasa di masyarakat, namun juga berusaha memberikan solusi mengenai persoalan kemasyarakatan tersebut. Beberapa
peneliti
telah
mencoba
menggunakan
pendekatan
ini
untuk
menggambarkan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat. Salah satunya dilakukan oleh Agnes Chigona dan Wallace Chigona. Keduanya meneliti tentang distorsi yang terjadi pada pengguna Mxit, yang merupakan aplikasi mobile instant messaging di Afrika Selatan. Keduanya menemukan bahwa banyak terjadi distorsi pada wacana yang berlangsung di aplikasi tersebut. Selain itu, mereka juga menemukan bahwa “kelompok pengguna
Universitas Sumatera Utara
51
dewasa mendominasi wacana yang berkembang, sementara remaja yang merupakan target sasaran dari aplikasi ini tidak mendapat kesempatan yang sama untuk berpendapat. Temuan ketiga adalah adanya kepanikan moral ketika partisipan yang terlibat menggunakan aplikasi tersebut”(Chigona, 2008: 42). Teori tindakan komunikatif juga dapat digunakan untuk penelitian pemasaran, seperti yang dilakukan oleh Joachim Kernstock. Kemstock menggunakan TCA untuk meneliti keuntungan dari konsep interaksi dalam pengembangan merk. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali pandangan mengenai interaksi yang ideal dari merk berdasarkan teori Habermas. Kernstock menemukan bahwa Teori Tindakan Komunikatif mampu menggambarkan berbagai bentuk perilaku manusia. Temuan dalam penelitian ini adalah: “The social theory of German social-philosopher Jurgen Habermas provides certain starting point for classifying interactions. The paper introduces Habermas’s proposed forms of human action. Furthermore, it relates to the cognitive, moral expressive and aesthetic-expresive knowledge interest areas, Habermas validity claims of communicative actions as well as context and world relations” (Kernstock, 2009: 2) Ilmuwan lain yaitu Alan McKee melakukan penelitian tentang teori tindakan komunikatif dengan menggunakan pendekatan positivis. McKee mencoba menjembatani perdebatan yang muncul berkenaan dengan ruang publik ini adalah validitas dari konsep wacana etik dan rasionalitas komunikatif sebagai pengujian normatif mengenai komunikasi yang tidak terdistorsi. Untuk mengetahuinya, McKee justru menggunakan pendekatan dengan paradigma positivis berdasarkan fakta dan logika (Garnham, 2007). McKee menjadi ilmuwan
Universitas Sumatera Utara
52
pertama yang menggunakan paradigma ini untuk membuat kajian publik sphere yang secara paradigmatik berbasis kritis. Penelitian lain dilakukan oleh Leanne Chang dan Thomas Jacobson (2010). Penelitian ini berjudul “Dialogue in Public Information Campaigns: A Communicative Action Approach to Evaluating Citizen Voice”. Penelitian ini mengaplikasikan teori tindakan komunikatif untuk mengevaluasi dialog dalam kampanye program kesehatan. Kegiatan kampanye bisa saja banyak menggunakan dialog ataupun sebaliknya. Proses dialog terjadi ketika ada komunikasi dua arah. Komunikasi dua arah inilah yang menurut Chang merupakan wujud dari tindakan yang komunikatif yang pada akhirnya akan membantu proses saling memahami. Penelitian berkaitan dengan media sosial dan wacana juga saat ini tengah dilakukan oleh Prof. Dr. Thorsten Quandt dkk dari University of Mϋnster, Jerman. Penelitian yang berjudul “Analysis of Discourse in Social Media” ini dilakukan mulai Mei 2012 hingga April 2015. Tujuan penelitian Quandt adalah mengembangkan proses analisis media sosial serta melakukan evaluasi terhadap proses yang berlaku.
2.2.Hipotesis Dalam penelitian ini, peneliti membuat empat hipotesis untuk mengetahui tentang kualitas penerapan ruang publik di media sosial mengenai Pemilukada Sumatera Utara tahun 2013. Pengujian hipotesis dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian ketiga dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui perbedaan kualitas kompetensi komunikasi pada akun grup pendukung GANTENG dan ESJA. Keempat hipotesis ini merujuk pada 4 klaim dalam tindakan komunikatif. Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
53
Hipotesis 1 (H1) H0:
Tidak terdapat perbedaan kualitas penerapan klaim komprehensibilitas pada kedua akun grup pendukung
Ha:
Terdapat perbedaan kualitas penerapan klaim komprehensibilitas pada kedua akun grup pendukung
Hipotesis 2 (H2) H0:
Tidak terdapat perbedaan kualitas penerapan klaim kebenaran pada kedua akun grup pendukung
Ha:
Terdapat perbedaan kualitas penerapan klaim kebenaran pada kedua akun grup pendukung
Hipotesis 3 (H2) H0:
Tidak terdapat perbedaan kualitas penerapan klaim ketulusan pada kedua akun grup pendukung
Ha:
Terdapat perbedaan kualitas penerapan klaim ketulusan pada kedua akun grup pendukung
Hipotesis 4 (H2) H0:
Tidak terdapat perbedaan kualitas penerapan klaim legitimasi pada kedua akun grup pendukung
Ha:
Terdapat perbedaan kualitas penerapan klaim legitimasi pada kedua akun grup pendukung
Universitas Sumatera Utara