10
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka Penelitian dalam bidang morfologi sudah banyak dilakukan oleh para linguis. Hal ini tentu saja akan sangat membantu dalam penelitian ini, antara lain dapat membuka wawasan tentang topik yang sama dan mengetahui sampai sejauh mana topik ini sudah diteliti. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa hasil penelitian yang berkaitan dengan morfologi bahasa Perancis khususnya masalah nominalisasi dengan menggunakan Teori Morfologi Generatif belum ada. Oleh sebab itu, dianggap perlu untuk meninjau beberapa karya tulis yang membahas masalah morfologi bahasa Perancis dan sejumlah penelitian Morfologi Generatif di luar bahasa Perancis. Jadi, pada bagian ini diuraikan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan Morfologi Generatif terutama dalam derivasi ataupun afiksasi. Dalam uraian berikut terkandung cakupan penelitian, teori yang digunakan, proses analisisnya, dan hasil yang diperoleh. Pramesti (2008) dalam tesisnya yang berjudul “Adjektiva Derivational dalam Bahasa Jepang : Sebuah Kajian Morfologi Generatif” mengkaji aturan dan proses pembentukan adjektiva dalam bahasa Jepang dengan afiks derivasional, termasuk menganalisis fungsi dan makna, serta mengidentifikasi perbedaan antara adjektiva turunan dan adjektiva bukan turunan dilihat dari distribusinya dalam kalimat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa adjektiva derivasional
10
11
dalam bahasa Jepang dapat dibentuk dengan menggunakan prefiks {fu-, ko-, dan ka-} dan sufiks {-(i)ta, -rashi, -ppo, dan –teki}. Adjektiva turunan dan adjektiva bukan turunan berbeda kontribusinya dalam kalimat. Adjektiva turunan hanya dapat muncul satu kali dalam sebuah kalimat, sedangkan adjektiva bukan turunan dapat muncul dan menduduki lebih dari satu fungsi sintaksis. Walupun tulisan ini membahas adjektiva bahasa Jepang, penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang proses derivasi dengan menggunakan teori morfologi generatif sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam penulisan penelitian ini. Simpen (2008) menulis sebuah artikel pada Jurnal Linguistika berjudul “Afiksasi Bahasa Bali : Sebuah Kajian Morfologi Generatif”. Kajian ini berangkat dari fenomena kebahasaan, khususnya bahasa Bali dalam bidang morfologi, di mana sebagian besar kajian morfologi menggunakan Teori Struktural yang dirasa kurang relevan untuk diterapkan dalam proses pembentukan kata. Misalnya untuk bentuk mebisan ‘berbus’ dan niyuk ‘menggunakan alat dengan tiyuk/ pisau’ tidak pernah digunakan dalam percakapan, sedangkan bentuk medokaran ‘berdelman’, mesepedaan ‘bersepeda’, numbeg ‘mencangkul’ sangat biasa digunakan dalam bahasa Bali.
Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini digunakan Teori
Morfologi Generatif, yaitu teori baru yang dianggap mampu memberikan penjelasan (explanation adequacy) terhadap fenomena yang ada. Dengan cara ini diharapkan tidak ada bias dalam proses afiksasi. Prinsip dasar dalam Morfologi Generatif adalah proses pembentukan kata dapat menghasilkan bentuk wajar, bentuk potensial, dan bentuk aneh. Mekanisme pembentukan kata biasa melalui idiosinkresi, penyaringan, dan pemblokan.
12
Teori ini juga mengenal adanya penutur yang ideal, yang secara intuitif berbekal kemampuan bahasa bawaan. Oleh karena itu, teori ini mampu menjelaskan bentuk-bentuk potensial dan bentuk-bentuk aneh sejenis niyuk; nyilet, memotlot, memensil. Halle (1973) dan Aronoff (1976) merupakan dua ahli yang memberi warna pada penelitian morfologi generatif. Di samping itu, Scalise (1984) dan Dardjowidjojo (1988) adalah dua ahli yang sangat berperanan dalam pemahaman teori morfologi generatif, khususnya yang berkembang di Indonesia. Walaupun bahasa yang digunakan sebagai objek penelitian dalam dua penelitian di atas tidak serumpun dengan bahasa yang menjadi objek penelitian penulis, penelitian-penelitian tersebut dapat dijadikan kajian pustaka yang memberi banyak sumbangan dalam penelitian penulis. Hal itu mengingat pembahasan proses afiksasi dengan menggunakan teori Morfologi Generatif dapat memberikan kontribusi dalam penelitian ini yang juga akan membedah proses nominalisasi adjektiva dengan menggunakan teori tersebut. Dubois dan Langane (1973: 120) dalam bukunya La Nouvelle Grammaire du Franais mengemukakan bahwa kata yang diperoleh setelah penambahan sufiks dan setelah melalui suatu proses transformasi kalimat disebut kata derivasional (mots dérivés). Mereka juga membahas sufiks yang digunakan dalam transformasi suatu bentuk dasar menjadi grup nomina dapat dibagi menjadi dua kelompok tergantung dari bentuk dasarnya apakah merupakan bentuk dasar adjektiva atau participe (suatu bentuk dalam sistem kata kerja bahasa Perancis). Sufiks-sufiks yang ditambahkan pada bentuk adjektiva, antara lain {-at, ce, -erie, -esse, -eur, -ie, -ise, -ité, -itude, -isme}, sedangkan sufiks-sufiks yang
13
digunakan pada bentuk participe atau kata kerja adalah {-age, -e, -ment, -tion, -ure}. Di dalam buku ini, sama sekali tidak dibahas tentang bagaimana proses pembentukan kata derivasional dengan menggunakan sufiks-sufiks tersebut, demikian pula dengan makna yang dihasilkan dari proses derivasi tersebut. Selain itu, juga tidak disinggung mengenai bentuk derivasi melalui proses konversi. Namun, buku ini telah memberikan kontribusi yang berarti dalam penelitian ini dan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam transformasi kalimat dan menentukan sufiks-sufiks pembentuk nomina. Kajian berikutnya adalah sebuah artikel pada jurnal Folia Linguistika dengan judul “The Nominalization of Adjectives in French: From Morphological Conversion to Categorial Mismatch” oleh Lauwers (2008). Penelitian ini membahas nominalisasi adjektiva yang terfokus hanya pada nominalisasi dengan zero derivation atau dengan tanpa penambahan afiks pada bentuk dasarnya. Contoh le bavard ‘si cerewet (orang)’, l’aveugle ‘si buta (orang), le faux ‘yang salah’, le vrai ‘kebenaran’. Hal seperti ini juga sering disebut dengan proses konversi, yaitu perubahan kelas kata tanpa pembubuhan afiks. Penelitian ini menggunakan pendekatan secara sintaksis dan dianalisis berdasarkan distorsi kategorial (distortion categorielle). Jadi, dalam penelitian ini tidak diuraikan mengenai
proses
nominalisasi
adjektiva
dengan
menggunakan
afiksasi.
Kontribusinya dalam penulisan penelitian ini adalah tentang bentuk-bentuk konversi adjektiva menjadi nomina dan makna yang terbentuk dari proses tersebut sesuai dengan konteks dalam kalimat.
14
Kajian yang terakhir adalah “Nominalizations and the Structure of Adjectives” oleh Roy (2007). Dalam artikel ini dipaparkan mengenai struktur adjektiva dan implikasinya pada nominalisasi adjektiva. Ada dua sumber jenis adjektiva, yaitu predikatif dan atributif. Adjektiva predikatif adalah adjektiva yang dalam kalimat memerlukan kata kerja keadaan sebagai penghubung, sedangkan adjektiva atributif adalah adjektiva yang muncul sebagai modifier dari nomina yang diterangkannya, seperti diungkapkan pada contoh berikut. a. She is a beautiful dancer Adj.atributif ‘Dia adalah seorang penari cantik’ b. The dancer is beautiful Adj.predikatif ‘Penari itu cantik’ Selanjutnya dikatakan bahwa hanya struktur adjektiva predikatif yang dapat mengalami nominalisasi. Kemudian dipaparkan mengenai struktur sintaksis kedua tipe adjektiva tersebut. Setelah itu disebutkan bahwa ada dua kelas nomina yang dibentuk dari dasar adjektiva, yaitu sebagai berikut. 1. Nomina keadaan (State-nominals) La popularité de ses chansons m’impressionné DEF.f.sg popularitas PREP POSS.2pl. N.f.pl.lagu ku.memukau ‘Kepopuleran lagu-lagunya memukauku’
Nomina ini mendeskripsikan suatu keadaan dan memerlukan struktur argumen serta hanya dapat diderivasikan dari adjektiva predikatif.
2. Nomina kualitas (quality-nominals) La
fierté
l’
aveugle
15
DEF.f.sg kebanggan COD-dia buta ‘Kebanggaan membutakan dia’ Sebaliknya, nomina kualitas tidak memerlukan struktur argumen dan menggambarkan suatu kualitas. Secara umum penelitian ini cukup menarik terutama tentang struktur adjektiva dan implikasinya pada nominalisasi, sedangkan kelemahannya adalah penjelasan mengenai bagaimana proses pembentukan nomina dari adjektiva masih sangat kurang. Berdasarkan kajian-kajian di atas, dapat dikatakan bahwa penelitian mengenai derivasi dalam bahasa Perancis, terutama tentang nominalisasi adjektiva masih perlu dilakukan untuk menambah keragaman penelitian tentang kajian morfologi. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Dalam dua penelitian pertama, objek bahasanya jelas berbeda (bahasa Jepang dan bahasa Bali), namun sama-sama menggunakan Teori Morfologi Generatif untuk menggambarkan proses afiksasi sehingga dapat dijadikan acuan untuk menganalisis data pada penelitian ini. Pada tiga kajian berikutnya yang juga membahas proses nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis, sejauh ini hanya sebatas mendeskripsikan jenis-jenis afiks derivasional dan proses derivasi adjektiva menjadi nomina hanya digambarkan secara struktural. Di samping itu, teori Morfologi Generatif belum pernah diterapkan dalam proses analisis nominalisasi adjektiva oleh para linguis Perancis.
2.2 Konsep
16
Sebelum pemaparan teori yang akan digunakan dalam penelitian ini, disampaikan juga konsep dasar yang dianggap relevan sebagai pendukung untuk dapat lebih memahami topik dan bermanfaat untuk menyamakan persepsi terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep-konsep tersebut diuraikan berikut ini. 2.2.1 Leksem dan Kata Mengutip pendapat Lyon, Kridalaksana (1996) membedakan istilah kata dan leksem. Di dalam tulisannya, ia menggunakan leksem sebagai satuan dasar dalam leksikon dan dibedakan dari kata sebagai satuan gramatikal. Dengan perkataan lain, leksemlah yang merupakan “bahan dasar” yang telah mengalami “pengolahan gramatikal” menjadi kata dalam subsistem gramatika. Lyons (1977:23) menyatakan “lexemes are the words that a dictionary would list under a separate entry” yang berarti bahwa leksem merupakan kata yang menjadi entri dalam kamus. Dalam kamus, leksem
WALK
‘berjalan’ akan
dengan mudah ditemukan sebagai entri (leksem), sedangkan bentuk walked, walks, dan walking tidak akan ditemukan dalam entri yang terpisah karena katakata tersebut merupakan bentuk lain dari leksem
WALK.
Huruf capital kecil
digunakan untuk menunjukkan leksem yang membedakannya dengan kata (Boiij, 2007:3). Jadi, kita harus membedakan leksem dengan kata, yaitu leksem sebagai unit yang abstrak, sedangkan kata merupakan unit konkret yang digunakan dalam kalimat (Matthews, 1974:22). Kata sebagai satuan yang memiliki makna dan terdiri atas satu morfem atau lebih.
17
2.2.2 Infleksi dan Derivasi Menurut
Bauer
(1988:80),
dalam
buku
Introducing
Linguistic
Morphology, morfologi dipilah atas morfologi derivasional dan morfologi infleksional. Infleksi merupakan bagian dalam sintaksis karena bersifat melengkapi bentuk-bentuk leksem dan derivasi menjadi bagian dari leksis karena menyediakan leksem-leksem baru. Morfologi leksikal mengkaji kaidah-kaidah pembentukan kata yang menghasilkan kata-kata baru yang secara leksikal berbeda (beridentitas baru) dari kata yang menjadi dasarnya. Hal ini berbeda dengan morfologi infleksional yang mengkaji hasil-hasil pembentukan kata yang berasal dari leksem yang sama. Mathews (1974: 38) membedakan antara proses infleksi dengan proses pembentukan kata (word formation) yang mencakup derivasi dan komposisi Derivasi adalah proses pembentukan kata yang menghasilkan leksem baru (menghasilkan kata- kata yang berbeda dari paradigma yang berbeda); sedangkan infleksi menghasilkan bentukan kata-kata yang berbeda dengan paradigma yang sama. Pembentukan derivasi bersifat tidak dapat diramalkan, sedangkan pembentukan infleksi bersifat teramalkan (predictable). Misalnya, verba work ’bekerja’ otomatis akan dikenali works, worked, working (bentukan infleksional yang teramalkan); berbeda dengan contoh derivasi work ’bekerja’ worker ’pekerja’, apakah agree ’setuju’ agreer? Sehubungan dengan derivasi dan infleksi, Booij (1988:39) juga menyatakan bahwa afiks-afiks derivasional merupakan morfem terikat yang
18
digabungkan dengan base untuk mengubah kelas katanya (part of speech). Misalnya, kata-kata teach ’mengajar’, build ’membangun’, dan sweep ’menyapu’ adalah verba, tetapi jika ditambahkan afiks derivasional -er, akan menjadi nomina teacher ’pengajar’, builder pembangun’, dan sweeper ’tukang sapu’. Jika ditambahkan sufiks -ly pada adjektiva happy ’senang’, loud ’keras’, smooth ’lembut’, akan didapatkan adverbia happily ’dengan gembira’, loudly ’dengan keras (suara)’, smothly ’dengan lembut’. Haspelmath (2002:60--83) juga mengungkapkan hal yang sama mengenai infleksi dan derivasi dengan para pendahulunya, yaitu morfologi menggunakan terminologi yang berbeda untuk membicarakan infleksi dan derivasi. Dalam bukunya Understanding Morphology dipaparkan bahwa makna infleksi pada bahasa ditemukan sangat terbatas, banyak di antaranya muncul dari kata-kata inti yang umum dari nomor, kasus, aspek, mood, dan agreement ‘persetujuan’, sedangkan makna derivasi lebih bervariasi. Samsuri (1982: 198) di dalam buku Analisis Bahasa mengungkapkan pendapatnya tentang derivasi dan infleksi, yaitu bahwa derivasi ialah konstruksi yang berbeda distribusinya daripada dasarnya, sedangkan infleksi adalah konstruksi yang menduduki distribusi yang sama dengan dasarnya. Samsuri menyatakan bahwa di dalam bahasa-bahasa Eropa, utamanya Inggris, pengertian derivasi dan infleksi dapat dikenakan secara konsisten. Misalnya: books (dari book), stop, stopped, stopping (stop); prettier, prettiest (pretty); sebagai contoh infleksi. Sebaliknya, derivasi dicontohkan: runner (run), beautify (beauty). Semua bentuk, seperti book jika mendapat sufiks -s (plural), merupakan infleksi, seperti
19
car-cars, table-tables, dsb. Namun, di dalam bahasa Indonesia tidaklah demikian karena sistem afiks bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Inggris. Oleh sebab itu, masih merupakan persoalan, apakah pengertian infleksi dan derivasi dapat diterapkan secara konsisten di dalam bahasa Indonesia.
Lessard (1996) dalam
Introduction à la Linguistique Franaise juga membagi proses morfologi ke dalam dua jenis, yaitu la morphologie derivationnelle di mana proses tersebut menghasilkan suatu jenis kata yang baru (dengan menambahkan afiks) dan la morphologie flexionnelle yang tidak menghasilkan suatu kata yang baru (seperti penambahan penanda jamak dan penambahan akhiran dalam konjugasi verba). Dalam hal ini, afiks infleksional cenderung diletakkan setelah afiks derivasional, misalnya kata tristesses ‘kesedihan-kesedihan’. Pada kata itu terdapat tiga morfem, yaitu triste ‘sedih’, sufiks -esse yang memberi makna keadaan/kualitas seperti yang disebutkan pada bentuk dasar, dan –s yang merupakan penanda jamak. [triste] A + [-esse] [tristesse] N.sg (1) [tristesse] N + [-s] [tristesses] N.pl (2) Proses (1), akhiran –esse (afiks derivasional) dilekatkan terlebih dahulu untuk mengubah bentuk dasar adjektiva ‘triste’ menjadi sebuah nomina abstrak tunggal tristesse ‘kesedihan’. Setelah itu, baru mendapat akhiran –s untuk membuat nomina dalam bentuk jamak (afiks infleksional).
2.2.3 Bentuk Dasar (Base)
20
Bentuk dasar adalah satuan, baik tunggal maupun kompleks, yang menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar (Ramlan, 1985:45). Pendapat lain menyatakan bahwa bentuk dasar atau dasar (base) biasanya digunakan untuk menyebut sebuah bentuk yang menjadi dasar suatu proses morfologis, artinya bisa diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi, bisa diulang dalam suatu proses reduplikasi, atau bisa digabung dengan morfem lain dalam suatu proses komposisi. Bentuk dasar tersebut berupa morfem tunggal, tetapi dapat juga berupa gabungan morfem (Chaer, 1994:159), contoh : kata berlayar terdiri atas morfem ber- dan layar, maka layar adalah bentuk dasar dari kata berlayar itu. Bentuk dasar dapat dibedakan menjadi bentuk dasar bebas dan bentuk dasar terikat. Ciriciri bentuk dasar adalah: (1) satuan bentuk lingual yang terkecil dalam sebuah kosakata, (2) satuan yang berperan sebagai masukan dalam proses morfologis, (3) merupakan bahan baku dalam bahan morfologis, (4) sebagai unsur yang diketahui adanya dari bentuk yang setelah dianalisis dari bentuk kompleks merupakan bentuk dasar yang lepas dari proses morfologis. Bentuk dasar dalam teori Morfologi Generatif termasuk dalam DM (daftar morfem) yang membedakan morfem dasar dan morfem terikat (Dardjowidjojo, 1998 :65). Morfem bebas adalah kata yang mampu berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi dan telah memiliki kategori tertentu, seperti kategori nomina, verba, adjektiva, adverbial, dan numeralia. Sebaliknya morfem terikat adalah bentuk yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi, belum memiliki makna tertentu, dan belum memiliki kategori leksikal. Jadi, morfem ini tidak dapat muncul dalam tuturan tanpa digabung dahulu dengan morfem lain. Dalam hal ini
21
semua afiks dikatakan sebagai morfem terikat. Perhatikan contoh dalam bahasa Perancis (BP) berikut : tables ‘meja’, grandes ‘besar’, maisons ‘rumah’, vendeur ‘penjual’, incomplete ‘tidak lengkap’. Bentuk-bentuk dalam tulisan cetak miring merupakan morfem bebas atau bentuk dasar karena dapat ditemukan berdiri sendiri dalam tuturan. Sebaliknya, bentuk -s, -es, - -eur, in- merupakan morfem terikat karena bentuk-bentuk tersebut adalah afiks yang harus digabungkan dengan bentuk lain agar dapat memiliki makna gramatikal.
2.2.4 Nominalisasi Sebelum beranjak pada istilah nominalisasi, ada baiknya dibahas tentang apa itu nomina. Dalam tata bahasa Indonesia, kata benda adalah nama dari semua benda dan segala yang dibendakan, yang menurut wujudnya dibagi atas kata benda konkret dan kata benda abstrak (Keraf, 1984: 63). Dalam bahasa Perancis, kata benda adalah bagian yang paling penting dalam suatu grup nomina, yang dibentuk dengan didahului oleh suatu determinan. Kata benda dapat berupa makhluk hidup (manusia, anjing, nama diri) ataupun benda-benda (mobil, rumah, buku, dll.). Selain itu, juga dapat bermakna suatu kualitas (kecantikan, kekuatan) ataupun suatu aksi (pembersihan, keberangkatan, dan sebagainya). Namun, yang paling penting dalam menentukan kelas nomina adalah melalui fungsi sintaksisnya dalam kalimat (Dubois, 1973: 39). Samsuri (1981 :87) mendeskripsikan nominalisasi secara terperinci berdasarkan kajian transformasi generatif bahwa nominalisasi adalah proses atau hasil perubahan bentuk kata menjadi bentuk-bentuk baru yang mempunyai
22
distribusi seperti nomina. Kridalaksana (1984:132) mengatakan “Nominalisasi itu adalah proses atau hasil membentuk nomina dari kelas kata lain dengan menggunakan afiks tertentu”. Dari pendapat para ahli bahasa di atas dapat disimpulkan bahwa istilah nominalisasi adalah penggunaan verba, ajektiva, ataupun adverbial sebagai bentuk dasar dalam pembentukan nomina, baik dengan maupun tanpa adanya tranformasi secara morfologi. Ada dua tipe nominalisasi dalam bahasa Perancis yang hampir
sama
dengan yang ada dalam bahasa Inggris. Yang pertama adalah nominalisasi yang memerlukan derivational afiks untuk membentuk nomina, seperti beau (ADJ.indah, tampan/cantik) + {-té} => la beauté (N.f. keindahan, kecantikan). Adjektiva beau berubah menjadi nomina dengan penambahan suffiks -té. Tipe yang kedua adalah nominalisasi dengan zero morfem. Proses ini juga dikenal dengan istilah konversi. Hal yang dimaksud adalah beberapa verba atau adjektiva dapat langsung digunakan sebagai nomina tanpa penambahan sufiks derivasional.
2.2.5 Adjektiva Kejelasan kriteria mengenai adjektiva beserta ciri-cirinya sangat penting diketahui untuk memahaminya dengan baik dan benar. Secara tradisional, adjektiva dikenal sebagai kata yang mengungkapkan kualitas atau keadaan suatu benda. Alwi (2003: 171) berpendapat bahwa adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat.
23
Pendapat lain yang hampir sama menyatakan bahwa adjektiva atau kata sifat adalah kata yang melekat pada kata benda untuk menggambarkan atau mendeskripsikan kualitas kata benda tersebut seperti bentuk, warna, ukuran, tampilan, dan lain-lain (Dubois, 1973 : 105). Adjektiva bahasa Perancis memiliki keunikan yang berbeda dengan adjektiva bahasa Inggris, terutama dalam dua hal berikut : 1. Adjektiva bahasa Perancis harus sesuai dengan nomina yang dimodifikasi sehingga suatu adjektiva akan mempunyai sampai dengan empat bentuk adjektiva yang sesuai dengan gender dan number, misalnya untuk kata petit ’kecil’ akan mempunyai bentuk petit (untuk menerangkan nomina maskulin tunggal), petite (feminin tunggal), petits (maskulin jamak), petites (feminin jamak). Namun, ada pula yang mempunyai dua bentuk saja, seperti kata pauvre ’miskin’. Perubahan bentuknya hanya pauvre (maskulin/feminin tunggal) dan pauvres (maskulin/feminin jamak). 2. Adjektiva bahasa Perancis tidak seperti adjektiva bahasa Inggris yang posisi adjektivanya berada sebelum nomina. Namun, adjektiva bahasa Perancis dapat berada sebelum atau sesudah nomina yang diterangkan, tergantung dari jenis dan maknanya.
2.2.6 Morfologi Generatif Prinsip dasar dalam morfologi generatif adalah proses pembentukan kata dapat menghasilkan bentuk wajar, bentuk potensial, dan bentuk aneh. Teori ini
24
memiliki perangkat kaidah untuk membentuk kata-kata baru atau kalimat-kalimat baru dengan kaidah transformasi. Bentuk potensial dalam kajian ini mengacu pada pendapat Halle, Aronoff, Scalise, dan Dardjowidjojo, yaitu bentuk yang secara gramatikal atau morfologis berterima, tetapi bentuk-bentuk itu tidak ada atau belum lazim digunakan secara empiris. Mekanisme pembentukan kata biasa melalui idiosinkresi, penyaringan, pemblokan, dan penyesuaian. Teori ini juga mengenal adanya penutur yang ideal, yang secara intuitif berbekal kemampuan bahasa bawaan. Oleh karena itu, teori ini mampu menjelaskan bentuk-bentuk potensial dan bentuk-bentuk aneh yang tidak lazim ditemukan dalam tuturan sehari-hari.
2.3
Landasan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini secara umum mengacu pada
teori Morfologi Generatif. Pemilihan teori ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu (1) teori Morfologi Generatif belum pernah digunakan dalam penelitian morfologi bahasa Perancis; (2) bertolak dari hasil penelitian yang telah ada, sebagian besar dari penelitian tersebut bersifat deskriptif murni sehingga tidak mampu menjelaskan kendala-kendala yang ditemukan. Dari beberapa penulis yang disebutkan di atas, Halle (1973) dan Aronoff (1976) merupakan dua ahli yang memberi warna pada penelitian morfologi generatif. Di samping itu, Scalise (1984) dan Dardjowidjojo (1988) adalah dua ahli yang sangat berperan dalam pemahaman teori Morfologi Generatif, khususnya yang berkembang di Indonesia.
25
2.3.1 Teori Morfologi Generatif Tulisan pertama Halle tentang Morfologi Generatif berjudul Morphology in Generative Grammar (1972), kemudian mengalami perubahan judul menjadi Prolegomena to a Theory of Word Formation pada tahun 1973. Menurut Halle (1973:3), penutur asli suatu bahasa mempunyai kemampuan yang dinamakan intuisi untuk tidak hanya mengenal kata-kata dalam bahasanya, tetapi juga mengetahui bagaimana kata dalam bahasa itu dibentuk. Morfologi terdiri atas tiga komponen yang saling terpisah. Ketiga komponen itu adalah sebagai berikut. (1) List of morphemes (daftar morfem, selanjutnya disingkat DM) (2) Word formation rules (kaidah/aturan pembentukan kata, selanjutnya disingkat APK atau KPK) (3) Filter (saringan, penapis, tapis) (Halle,1973:3--8) Dalam DM ditemukan dua macam anggota, yaitu akar kata (yang dimaksud adalah dasar) dan bermacam-macam afiks, baik afiks derivasional maupun infleksional. Bentuk dasar adalah satuan, baik tunggal maupun kompleks yang menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar (Ramlan, 1985:45). Bentuk dasar tersebut berupa morfem tunggal, tetapi dapat juga berupa gabungan morfem (Chaer, 1994:159). Bentuk dasar ini sering kali berupa morfem bebas,
yaitu kata yang mampu berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi dan telah memiliki kategori tertentu, seperti kategori nomina, verba, adjektiva, adverbial, dan numeralia.
26
Anggota kedua dari DM adalah afiks. Afiks ini merupakan morfem terikat, yaitu bentuk yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi, belum memiliki makna tertentu, dan belum memiliki kategori leksikal. Jadi, morfem ini tidak dapat muncul dalam tuturan tanpa digabung dahulu dengan morfem lain. Dalam hal ini semua afiks dikatakan sebagai morfem terikat. Perhatikan contoh dalam bahasa Perancis berikut : tables ’meja’, grandes ’besar’, maison ’rumah’, vendeur ’penjual’, incomplete ’tidak penuh’. Bentuk-bentuk dalam tulisan italique merupakan morfem bebas atau bentuk dasar karena dapat ditemukan berdiri sendiri dalam tuturan. Sementara itu bentuk -s, -es, - -eur, in- merupakan morfem terikat karena bentuk-bentuk tersebut adalah afiks yang harus digabungkan dengan bentuk lain agar dapat memiliki makna leksikal. Butir leksikal yang tercantum dalam DM tidak hanya diberikan dalam bentuk urutan segmen fonetik, tetapi harus dibubuhi beberapa informasi gramatikal yang relevan. Komponen kedua adalah APK / KPK, yaitu komponen yang mencakup semua kaidah tentang pembentukan kata dari morfem-morfem yang ada pada DM. APK bersama DM menentukan bentuk-bentuk potensial dalam bahasa. Oleh karena itu, APK menghasilkan bentuk-bentuk yang memang merupakan kata dan bentuk-bentuk potensial yang belum ada dalam realitas. Bentuk-bentuk potensial sebenarnya dihasilkan dari kemungkinan penerapan APK dan DM, tetapi bentuk-bentuk itu belum lazim digunakan. Komponen ketiga, yaitu komponen saringan berfungsi menyaring bentukbentuk yang dihasilkan oleh APK dengan memberikan beberapa idiosinkresi, seperti idiosinkresi fonologis, idiosinkresi leksikal, atau idiosinkresi semantik.
27
Idiosinkresi merupakan keterangan yang ditambahkan pada bentuk-bentuk yang dihasilkan APK yang dianggap ‘aneh’. Idiosinkresi fonologis misalnya pada kata mempunyai, menurut kaidah bahasa Indonesia konsonan /p/ di awal kata mendapat prefiks {mN-}, maka konsonan /p/ akan luluh. Bandingkan dengan kata memukul dan meminjam, berasal dari kata dasar pukul dan pinjam. Idiosinkresi semantik dapat dicontohkan pada kata perjuangan memiliki makna kegiatan yang bertarap nasional. Demikian juga kata wafat, gugur, mangkat, berpulang dalam bahasa Indonesia. Idiosinkresi leksikal adalah kata-kata bentukan melalui KPK tidak menyalahi kaidah namun dalam kenyataan tidak pernah muncul dalam pemakaian bahasa sehari-hari. Kata-kata tersebut dimasukkan ke dalam kata-kata potensial seperti kata *mencantik, *tanyaan, *serahan, dan *memperbetuli. Secara garis besar, pandangan Halle tentang morfologi dapat dilihat pada diagram di bawah ini.
List of Morphemes
Word Formation Rules
Output
Filter
Dictionary of Word
Phonology
Syntax
Diagram I Pandangan Morfologi Halle
28
Sesungguhnya KPK yang diusulkan Halle memakai morfem sebagai bentuk minimal yang digunakan sebagai landasan penurunan kata sehingga sering disebut morpheme based approach. Akan tetapi, pengertian morfem yang diajukan Halle sangat berbeda dengan yang lumrah dimengerti orang. Menurut Halle (1973:3), kata transformational dianggap terdiri atas lima morfem, yaitu trans-form-at-ion-al. Meskipun Halle mencantumkan kamus dalam diagramnya, ia tidak menganggap bahwa kamus merupakan bagian integral dari morfologi generatif. Kamus memiliki peranan dalam pembentukan kata karena APK dapat memanfaatkan leksikon yang tersimpan dalam kamus. Selain itu, kamus juga menampung bentuk-bentuk yang lolos saringan. Hal ini selaras dengan saran Dardjowidjojo (1988:57). Bentuk-bentuk
potensial
menurut
Halle
tidak
dimasukkan ke kamus dan tidak diberi penjelasan di mana bentuk itu ditampung. Saringan atau penapis dengan beberapa idionsinkresi dapat memberikan informasi mengapa bentuk tertentu dapat diterima dan mengapa bentuk lain tidak. Hal itu merupakan langkah maju dalam analisis morfologi yang selama ini hanya diterangkan sebagai perkecualian atau dihindari sama sekali. Meskipun pandangan Halle memiliki kelemahan, seperti apa yang telah dipaparkan di depan, Dardjowidjojo berpendapat bahwa model Halle lebih mudah diterapkan. Aronoff (1976) juga membicarakan morfologi generatif. Pendapatnya tertuang dalam tulisannya yang berjudul “Word Formation in Generatif Grammar”. Pendapat Aronoff berbeda dengan Halle, terutama dalam KPK (Kaidah Pembentukan Kata). Menurut Halle seperti yang telah disebutkan di depan, morfem sebagai bentuk minimal dan sebagai penurunan pembentukan kata,
29
sehingga dikenal dengan istilah morpheme based approach. Sementara itu, Aronoff menganggap bahwa kata adalah bentuk minimal yang dipakai sebagai landasan pembentukan kata. Kata yang dimaksud harus diartikan leksem, sehingga teori Aronoff dikenal dengan lexem based approach karena leksem merupakan bentuk dasar dalam penurunan kata. Teori Morfologi Generatif model Aronoff menyatakan bahwa kata sebagai unit minimal penurunan kata. Kata yang dimaksud harus memenuhi persyaratan (1) dasar pembentukan kata adalah kata, (2) kata yang dimaksud adalah kata yang benar-benar ada dan bukan hanya merupakan bentuk potensial, (3) aturan pembentukan kata (WFR’s) hanya berlaku pada kata tunggal dan bukan kata kompleks atau lebih kecil daripada kata (bentuk terikat), (4) baik masukan maupun keluaran dari (WFR’s) harus termasuk dalam kategori sintaksis yang utama (Aronoff, 1976:40). Pembentukan kata dalam teori Morfologi Generatif model Aronoff dilakukan dengan memanfaatkan leksikon yang ada dalam komponen kamus dengan komponen Kaidah Pembentukan Kata. Komponen kamus memuat leksikon yang memiliki informasi kategorial (nomina, verba, ajektiva, dan lainlain). Sementara itu, Kaidah Pembentukan Kata memuat afiks yang memiliki informasi relasional. Maksudnya, afiks itu memiliki kemampuan untuk bergabung dengan bentuk tertentu dalam proses pembentukan kata baru atau kata turunan (Aronoff ,1976:40).
30
Kaidah Pembentukan Kata oleh Aronoff sangat peka, baik terhadap ciri sintaksis maupun pembatasan seleksional. Aronoff (1976:65) memberikan contoh: pembubuhan sufiks {-ness} hanya dapat dilakukan pada adjektiva, seperti redness ‘merah’, porousness ‘keropos’, sedangkan sufiks {-ee} hanya dapat diletakkan pada verba transitif, seperti employee ’memperkerjakan’, paye ’membayarkan’. Selanjutnya, Aronoff mengajukan konsep blocking ‘perlindungan’ dengan tujuan untuk membendung munculnya suatu kata karena telah ada kata lain yang mewakilinya (Aronoff, 1976:43). Dalam bahasa Perancis dapat dilihat dalam pembubuhan sufiks {-âtre} yang hanya dapat dilakukan pada adjektiva kualifikatif yang menyatakan warna, seperti rougeâtre ‘kemerah-merahan’, blancheâtre ‘keputih-putihan’. Pada mulanya analisis Morfologi Generatif yang dikemukakan oleh Aronoff
tidak
disertai
diagram.
Selanjutnya,
Scalise
menggambarkannya seperti diagram berikut ini.
Lexical Component Dictionary
WFR’s
Diagram II Organisasi dari Komponen Leksikal
(1984:43)
31
Berikutnya, Aronoff juga mengajukan aturan atau kaidah yang kemudian diberi nama Adjusment Rules ‘Kaidah Penyesuaian’ yang disingkat menjadi AP (Aronoff, 1976:105--132). Dalam pembentukan kata tidak semua kata dapat secara langsung masuk ke komponen kamus. Menurut Aronoff, pembubuhan afiks, baik prefiks, sufiks, maupun konfiks, memerlukan adanya perubahan bentuk, baik bentuk dasar maupun bentuk afiks itu sendiri. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris sufiks {-ee} memenggal morfem dari kata dasar, nominate ‘nominasi’ menjadi nominee ‘nominator’, evacuate ‘evakuasi’ menjadi evacuee ‘evakuator’. Dari kedua data di atas terjadi kaidah pemenggalan atau Truncation Rules. Di samping itu, ada juga kaidah alomorfi atau Allomorphy Rules (1974:116--118). Sebagai contoh, penambahan sufiks {-ation} dalam bahasa Inggris memiliki empat atau lima bentuk, yaitu {-a tion}, {-i tion}, {-u tion}, {ion}, {-tion}. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh data berikut. fascinate
fascination
realize
realization
*relazion
*realization
educate
*educatation
education
*educatition
resolve
*resolvation
*resolvion
resolution
AP seperti yang dikemukakan oleh Aronoff tersebut juga dapat dilihat dalam bahasa Perancis, misalnya sufiks {-ence} memenggal leksem dari dasar adjektiva patient ‘sabar’ menjadi patience ‘kesabaran’, puissant ’kuat’ menjadi puissance ‘kekuatan’. Dari contoh tersebut dapat dilihat kaidah pemenggalan atau Trancation Rules. Sementara itu Allomorphy Rules ‘Kaidah Alomorfi’ dapat
32
dilihat pada sufiks {-ité} memiliki tiga bentuk, yaitu {-ité}, {-eté}, dan {-té} yang mengubah adjektiva menjadi nomina, seperti pada daftar leksem berikut. BRUTAL
brutalité
SÛR
*sûrité
sûreté
MAJESTUEUX
*majestité
*majesteté
majesté
Dengan adanya AP, Scalise (1984:168) menggambarkan proses APK sampai kepada AP seperti berikut ini. Lexical Component Dictionary
WFR’s
RR’s
(TR’s, AR’s)
OUTPUT Diagram III Organisasi dari Komponen Leksikal II Teori Morfologi Generatif yang dikemukakan oleh Halle perlu disesuaikan untuk menelaah proses derivasi dalam bahasa Perancis. Hal itu disesuaikan dengan pendapat Dardjowidjojo bahwa diagram yang diajukan oleh Scalise, ternyata masih belum sempurna. Oleh karena itu, Dardjowidjojo merombak diagram itu menjadi diagram seperti berikut ini.
33
DM
Kata Dasar
KPK
SARINGAN
KAMUS
a
b Bebas
cc
Terikat
c
g
d i a f i k s
e
h
j
f k
Diagram IV Model Pembentukan Kata Menurut Dardjowidjojo (1988:57) Dengan merombak diagram Scalise, Dardjowidjojo mengemukakan adanya empat komponen integral dalam teori morfologi generatif. Keempat komponen tersebut adalah DM, KPK, Saringan, dan Kamus. Dalam komponen DM, Dardjowidjojo memisahkan bentuk bebas dan bentuk terikat, tujuannya adalah untuk menampung bentuk terikat seperti morfem prakategorial. Penerapan model ini merupakan bentuk bebas yang ada dalam komponen DM, seperti baju, makan, dan minum dapat melalui jalur (a) tanpa mengalami hambatan pada
34
komponen saringan. Pada jalur (b), bentuk bebas setelah mengalami proses afiksasi andaikata tidak mengalami idionsinkresi, maka langsung dapat masuk ke komponen kamus dan kalau dikenai idionsinkresi, bentuk itu akan melalui jalur (c). Untuk bentuk potensial yang tidak ada dalam pemakaian bahasa sehari-hari, akan melalui jalur (d) dan (g), kemudian disimpan dalam komponen kamus dengan memberikan tanda asterik (*). Untuk bentuk-bentuk yang mustahil seperti *berjalani, melalui jalur (d) dan (h) dan tidak bisa masuk komponen kamus, tetapi tertahan pada komponen saringan. Jalur (f) pecah menjadi jalur (j) untuk bentuk yang tidak mendapatkan idionsinkresi dan jalur (k) untuk bentuk yang mengalami idionsinkresi. Berangkat dari pemahaman terhadap teori Morfologi Generatif di atas, dalam penelitian ini digunakan komponen dalam teori model Halle yang disempurnakan dengan teori morfologi generatif model Aronoff. Dalam penelitian ini kata dijadikan bentuk minimal atau dasar yang dijadikan landasan dalam pembentukan kata baru. Selain itu, dengan adanya kaidah penyesuaian, baik Kaidah Pemenggalan maupun Kaidah Alomorfi dalam pembentukan kata baru sangat tepat dibahas dalam transformasi adjektiva menjadi nomina dalam bahasa Perancis. Dalam proses pembentukan kata, biasanya tidak bisa lepas dari perubahan makna. Sebuah kata dapat mempunyai makan leksikal dan makna gramatikal. Makna leksikal dikatakan sebagai makna yang tertera dalam kamus, sedangkan makna gramatikal
makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah
leksem di dalam kalimat (Pateda, 1989:58--59). Misalnya leksem
MATA
yang
35
bermakna leksikal ‘indra’ yang terdapat pada tubuh dan berfungsi untuk ‘melihat’ bila ditempatkan dalam sebuah kalimat “Hei mana matamu”, maka tidak lagi menunjuk pada indra mata, tetapi menunjuk pada makna penglihatan, cara melihat, mencari, dan mengerjakan. Pandangan Fries yang dikutip Lyons (1995:427--428) membedakan adanya makna leksikal dan makna struktural. Makna leksikal terkait dengan kelaskelas utama, sedangkan makna struktural terkait dengan pembedaan antara subjek dan objek kalimat, oposisi-oposisi ketertentuan, kala dan jumlah, dan pertanyaan serta perintah. Chaer (2002:62) mengemukakan pandangan senada dengan Lyons bahwa ia mempertentangkan atau mengoposisikan antara makna gramatikal dan makna leksikal. Makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat adanya proses gramatika, seperti proses afiksasi, reduplikasi, dan proses komposisi. Di sisi lain, makna leksikal dinyatakan berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referensinya. Berikut contoh makna gramatikal dari proses nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis, baik melalui proses afiksasi maupun konversi. a. Tous
les
hommes
sont charmé par sa
semua DEF.pl N.m.laki-laki PAS.terpukau
beauté
oleh POSS3.sg. N.f. kecantikan
‘Semua lelaki terpukau pada kecantikannya’. b. Le
beau
de
cette
image
est
sa
simplicité
DEF.m.sg ADJ.cantik PART DEM.f.ini N.f.gambar adalah POSS3.sg N.f.kesederhanaan
‘Indahnya gambar ini adalah kesederhanaannya’.
36
Dari contoh di atas, diketahui bahwa sufiks {té} yang ditambahkan pada adjektiva beau ‘cantik/indah’ akan membentuk kelas kata nomina beauté ‘kecantikan’ dengan mengandung makna mempunyai kualitas seperti yang disebutkan dalam kata dasarnya. Sebaliknya, makna gramatikal dari nominalisasi adjektiva dalam bentuk konversi dengan kata dasar adjektiva yang sama yaitu beau menjadi nomina le beau akan memiliki makna sesuatu yang indah. Uraian yang disampaikan Chaer di atas memberikan inspirasi terhadap tulisan ini. Dengan demikian, pandangan-pandangan di atas, yang telah diformulasikan oleh Chaer ke dalam suatu pandangan bahwa makna gramatikal tidak hanya terbatas pada struktur sintaksis, tetapi juga struktur morfologis, dijadikan acuan dalam analisis makna pada tulisan ini.
2.4. Model Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk menemukan kaidah-kaidah dalam proses nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis serta makna gramatikal yang terbentuk dari proses tersebut. Analisis terhadap data menggunakan teori Morfologi Generatif sehingga dapat menjelaskan proses nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis. Adapun model penelitian ini adalah sebagai berikut.
37
Bahasa Perancis
Data
Nominalisasi adjektiva
Afiksasi
Konversi
Analisis Morfologi Generatif - afiks pembentuk - kaidah nominalisasi adjektiva - fungsi dan makna
Temuan
Diagram V Model Penelitian