20
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka Beberapa pustaka konseptual dekade terakhir yang membahas keberadaan cendana yang relevan digunakan sebagai acuan konsep, teori, dan pemahaman maupun sumber data sekunder antara lain; 1. Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni (2003) oleh Nezar Patria da Andi Arief. Buku ini mengemukakan pemikiran Gramsci tentang hegemoni dan hubungannya dengan kekuasaan negara. Konsep hegemoni dan kekuasaan negara digunakan sebagai acuan pemahaman konsep dan teori, khususnya konsep hegemoni yang berawal dari dialektikis dikotomi akan adanya kekuatan (force) dan persetujuan (consent). Menurut Gramsci, kelompok sosial akan memperoleh keunggulan atau supremasi melalui dominasi atau paksaan dan kepemimpinan intelektual moral (Patria dan Arif, 2003:119). Kepemimpinan intelektual dan moral ini dikenal sebagai konsep hegemoni yang sesungguhnya. Jadi, relevansi pandangan Gramsci terletak pada hegemoni negara atau peraturan pemerintah dalam penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan. 2. Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915 (2002) oleh I Gde Parimartha, menyinggung keberadaan cendana sebagai hasil hutan di daerah Nusa Tenggara Timur. Cendana telah menjadi mata perdagangan ke luar wilayah Pulau
21 Timor jauh sebelum kedatangan Bangsa Eropa. Perdagangan pada masa ini dilakukan dengan bangsa-bangsa Asia seperti Cina, India, Melayu, Jawa. Kemudian mengalami perkembangan lebih kompleks setelah kedatangan Bangsa Eropa. Buku ini memberi kontribusi pemahaman terkait perdagangan cendana di perairan Nusa Tenggara Timur dan sejarah perkembangan cendana pada masa kolonial. Buku ini relevan digunakan sebagai sumber data sekunder tentang pola penguasaan cendana pada masa kolonial. 3 Sejarah Pemerintahan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Studi tentang Pemerintahan Kabupaten Timor Tengah Selatan dari Masa ke Masa (2003) oleh Jacob Wadu, dkk. Buku ini relevan digunakan sebagai penunjang pemahaman konsep mengenai hubungan cendana dengan penguasa lokal pada zaman kerajaan, karena membahas sistem pemerintahan masyarakat Timor Tengah Selatan sejak awal zaman kerajaan lokal sampai dengan zaman reformasi. Sejak zaman kerajaan, cendana memiliki aspek penting dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan yang penguasaannya berada di tangan penguasa lokal. Selain itu, buku tersebut juga menyinggung keberadaan cendana sebagai komoditi perdagangan masa lampau menggunakan sistem barter. 4 Penataan Nusa Tenggara pada Masa Kolonial 1915-1950 (2005) oleh I Ketut Ardhana, mengemukakan bahwa Pulau Timor sudah dikenal sebagai daerah penghasil cendana, jauh sebelum kedatangan Bangsa Eropa. Orang Eropa yang terlibat paling awal dalam perdagangan cendana di Pulau Timor adalah bangsa Portugis. Setelah kedatangan Belanda terjadi perselisihan antara Portugis dengan
22 Belanda memperebutkan ekspor kayu cendana. Raja-raja lokal banyak diuntungkan dengan perdagangan cendana, namun setelah Belanda menanamkan kekuasaan di Pulau Timor keuntungan raja-raja berkurang hal ini menimbulkan gerakan anti Belanda. Buku ini memberi gambaran tentang kondisi sosial masyarakat terkait perdagangan cendana pada masa kolonial Di samping kajian pustaka konseptual yang digunakan sebagai acuan pemahaman konsep dan teori, beberapa buku dan hasil penelitian yang membahas keberadaan cendana dan masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan antara lain ; 1. Bingkai Budaya Timor Tengah Selatan Suatu Hasil Penelitian (1989) oleh Tim Penulis Pemerintah Daerah Tingkat II Timor Tengah Selatan. Dalam buku tersebut ditulis bahwa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Timor Tengah Selatan sering terjadi kasus pencurian. Terutama pencurian kayu cendana yang terjadi di hutan-hutan atau tanah negara. Relevansi hasil penelitian tersebut memberi gambaran umum tentang reaksi masyarakat yang muncul akibat adanya peraturan pemerintah dalam penguasaan cendana yang dianggap menghegemoni masyarakat. 2. Ekologi Persebaran Penduduk dan Pengelompokan Orang Meto di Timor Barat (1992) oleh H. Ataupah merupakan disertasi untuk memperoleh gelar doktor di bidang Ilmu Sosiologi Unversitas Indonesia. Orang Meto merupakan penduduk mayoritas di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang memanfaatkan kayu cendana sebagai komoditi dagang. Perdagangan cendana telah dilakukan sejak zaman kerajaan dan hanya boleh dikelola oleh para usif atau pemimpin lokal. Dengan
23 demikian, cendana diibaratkan “puteri rumah“ yang menebarkan aroma wangi bagi keindahan sebuah sonaf (istana raja). Hasil penelitian ini bermanfaat dan relevan untuk mengetahui posisi cendana sebagai mata dagangan yang menguntungkan penguasa atau raja-raja dan masyarakat lokal. 3. Cendana dan Dinamika Masyarakat Nusa Tenggara Timur (2000) oleh M. Widiyatmika, merupakan hasil penelitian Universitas Nusa Cendana bekerjasama dengan Arsip Nasional Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hasil penelitian tersebut memaparkan hubungan cendana dengan masyarakat Timor sejak zaman kerajaan lokal, zaman penjajahan, zaman kemerdekaan, dan setelah zaman kemerdekaan. Buku ini relevan digunakan sebagai sumber data sekunder tentang pola-pola penguasaan cendana sejak zaman kerajaan sampai zaman pasca kemerdekaan 4. Cendana (Santalum Album L.) Sumber Daya Daerah Otonomi Nusa Tenggara Timur Jurnal Ilmiah Berita Biologi Volume 5 Nomor 5 Agustus 2001 diterbitkan oleh Pusat Penelitian Biologi LIPI Jakarta. Jurnal tersebut merupakan kumpulan makalah ilmiah berupa ulasan maupun hasil penelitian berkaitan dengan keberadaan cendana di Nusa Tenggara Timur. Makalah-makalah yang ditampilkan terfokus pada kajian terhadap tanaman cendana sebagai komoditi utama perekonomian Propinsi Nusa Tenggara Timur maupun ulasan tentang cendana baik dari sudut ilmu ekonomi, sosial, biologi, maupun botani. Buku ini bermanfaat sebagai bahan rujukan dan sumber data sekunder tentang kondisi cendana saat ini.
24 5. Cendana, Deregulasi, dan Strategi Pengembangannya (2002) oleh Subekti Rahayu, Albertus Husein Wawo, Meine van Noordwick, dan Kurniatun Hairiah diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI Jakarta. Buku ini memuat pola-pola pengaturan penguasaan cendana sesuai dengan perubahan pola pemerintahan di Indonesia. Buku ini juga membahas faktor-faktor penghambat pengembangan cendana dan strategi pengembangan cendana berdasarkan teknik pembudidayaan moderen sesuai ilmu botani dan biologi. Buku ini bermanfaat sebagai sumber acuan dalam menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan kelangkaan populasi cendana dilihat dari sudut biologi dan botani (ilmu tumbuh-tumbuhan). 6. Timor Tengah Selatan Dalam Jangkauan Zaman (2006) oleh Tim Penyusun Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan, memaparkan bahwa cendana sebagai identitas Kabupaten Timor Tengah Selatan berada di ambang kepunahan. Kondisi demikian memunculkan kekhawatiranberbagai kalangan. Buku ini memberi gambaran praktis tentang kondisi cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan dewasa ini. Dengan demikian buku ini relevan digunakan sebagai sumber data sekunder. 7 Agroforestry Berbasisi Cendana Sebuah Paradigma Konservasi Flora Berpotensi di Lahan Kering NTT (2006) oleh Albert Husein Wawo dan Rochadi Abdulgani, diterbitkan oleh LIPI Press Jakarta. Buku ini membahas beberapa jenis tanaman lahan kering di NTT yang berpotensi ekonomi tinggi di antaranya, cendana yang dikenal sebagai tanaman endemik yang menjadi kebanggaan masyarakat NTT.
25 Namun, upaya konservasi dan pengembangan cendana mengalami berbagai kendala. Buku ini menawarkan solusi melalui pola-pola konservasi konsep agroforestry dan memberi kontribusi data sekunder mengenai pola pengelolaan cendana yang bisa diterapkan di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
2.2 Konsep Konsep adalah penjelasan terhadap objek untuk memperoleh pemahaman terhadap komponen-komponen yang menjadi fokus kajian. Sejalan dengan topik penelitian tentang hegemoni dan kontra hegemoni dalam penguasaan cendana maka konsep yang digunakan sebagai kerangka berpikir dapat dijabarkan sebagai berikut;
2.2.1 Hegemoni Banyak yang berpandangan bahwa hegemoni memiliki makna beragam meliputi bidang-bidang sosial dan kultural dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hegemoni dipandang sebagai penetapan makna yang bersifat sementara menyokong kelas penguasa. Hegemoni juga disebut suatu situasi faksi (golongan, kumpulan orang-orang) penguasa menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinan pada kelas-kelas subordinat melalui kombinasi paksaan dan persetujuan secara sadar (Barker, 2005:513). Negara dan pemerintah menjadi pusat radiasi hegemoni karena dalam negara ada penguasa dan yang dikuasai (Patria dan Arif, 2003: 7). Menurut Gramsci, hegemoni adalah pemerolehan supremasi (kekuasaan tertinggi) melalui kepemimpinan intelektual dan moral atas dukungan kekuatan dan
26 persetujuan. Pemerintah memperoleh legitimasi dan otoritas berupa wewenang dan kekuasaan mengatur dan menjaga agar orang-orang berperilaku pada jalur yang benar sesuai peraturan undang-undang, dan ditaati seluruh warganya. Pemerintah juga berwewenang menetapkan aturan-aturan, menentukan keputusan-keputusan terkait masalah penting, serta menyelesaikan pertentangan-pertentangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Konsep hegemoni dalam penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak lepas dari pemikiran Gramsci bahwa kekuasaan pemerintah dalam penguasaan cendana diperoleh melalui persetujuan sekaligus pemaksaan. Dengan demikian, pemerintah selaku lembaga negara memiliki memiliki kekuasan dan hak legal meregulasi kehidupan masyarakat sesuai ide-ide dan gagasangagasan yang ditetapkan. Hegemoni terkait penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah wewenang dan kekuasaan pemerintah menguasai dan mengatur cendana yang terlegitimasi dalam bentuk peraturan pemerintah. Dalam hal ini pemerintah selaku pihak penghegemoni menggunakan otoritasnya untuk menguasai cendana secara total. Semua cendana yang tumbuh atau pun telah mati diwilayah tersebut, baik yang tumbuh di atas tanah negara maupun di lahan-lahan milik masyarakat, sepehunya dikuasai pemerintah. Ketetapan demikian berawal dari gagasan pemerintah untuk melestarikan cendana serta meningkatkan pendapatan daerah. Penguasaan cendana melibatkan Bupati Kabupaten Timor Tengah Selatan selaku penguasa wilayah beserta jajarannya (Dinas Kehutanan) memiliki wewenang dan kekuasaan mengatur penguasaan cendana di wilayah tersebut. Pemerintah sebagai penguasa tertinggi
27 mampu menggerakkan masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap objek dalam bidang-bidang sosial dengan jangkauan luas, di antaranya kemampuan untuk mengatur ruang gerak masyarakat. Pengawasan dan penggerakan masyarakat dilakukan berdasarkan otoritas dan legalitas baik secara paksaan maupun kerelaan. Dengan demikian hegemoni dalam penguasaan cendana merupakan wewenang pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan untuk melakukan pengawasan, menggerakkan, dan mengatur keberadaan segala bentuk cendana di wilayah tersebut. Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan selaku lembaga resmi negara memiliki kekuasaan dan wewenang untuk mengatur aktivitas kehidupan masyarakat termasuk penguasaan cendana sesuai aturan yang telah ditetapkan. Meskipun tidak lepas kemungkinan pemerintah selaku pihak penguasa dianggap memaksakan nilai, norma, dan aturan kepada masyarakat yang menimbulkan pembantahan masyarakat. Sesuai peraturan yang telah ditetapkan, pemerintah menguasai semua cendana baik berupa tumbuhan hidup atau mati, berupa potongan, belahan, lepingan, dan akar yang belum diolah yang ada di dalam maupun di luar kawasan hutan negara. Peraturan demikian oleh masyarakat dianggap menghegemoni bahkan mendominasi yang semata-mata menguntungkan pihak pemerintah sedangkan masyarakat harus tunduk dan mentataati peraturan yang telah ditetapkan. Apabila seseorang terbukti melanggar peraturan pemerintah maka si pelanggar mendapat hukuman sesuai peraturan yang berlaku. Peraturan pemerintah inilah yang menjadi titik pangkal hegemoni yang dijalankan pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan.
28 2.2.2 Kontra Hegemoni Kontra hegemoni adalah ketidaksetujuan atau penentangan atas pemerolehan keunggulan atau supremasi melalui kepemimpinan intelektual dan moral atas dukungan kekutan dan persetujuan. Kontra hegemoni merupakan bentuk perlawanan masyarakat atas peraturan yang ditetapkan pemerintah selaku aparat negara melalui perangkat negara represif maupun perangkat negara ideologis. Dalam hal ini, kontra hegemoni masyarakat dalam penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan reaksi ketidaksetujuan atau penentangan masyarakat atas peraturan yang ditetapkan pemerintah selaku aparat negara. Peraturan demikian oleh masyarakat dianggap menghegemoni bahkan mendominasi. Peraturan pemerintah inilah yang menjadi titik pangkal hegemoni penguasaan cendana, sehingga memunculkan kontra hegemoni atau ketidaksetujuan dan penentangan di kalangan masyarakat. Ketidaksetujuan dan penentangan tersebut diekspresikan secara manifes maupun simbolik misalnya menerabas anakan cendana, pencurian, keengganan membudidayakan cendana. Kontra
hegemoni
masyarakat
dilatarbelakangi
penghalangan
akses
memanfaatkan potensi alam (cendana) yang tumbuh di sekitarnya. Sesuai adat lokal, semua tumbuhan yang tumbuh di alam dianggap sebagai sumber makanan yang tidak pernah habis. Tumbuhan dan binatang hutan dan sekitarnya dapat diambil apabila persediaan pangan di kebun sudah habis, tetapi pengambilan hasil hutan harus mematuhi aturan adat. Sebaliknya pemerintah menghalangi pemanfaatan hutan sebagai sumber bahan makanan masyarakat. Pemerintah menetapkan hutan dan
29 daerah-daerah sekitarnya merupakan tanah milik negara yang penguasaannya sepenuhnya berada di tangan negara dan dimanfaatkan untuk kepentingan negara. Penghalangan pemanfaatan hasil alam dan hutan dianggap tidak sejalan dengan aturan adat dan masyarakat berhak menentang peraturan yang dianggap telah membentuk kondisi timpang dan tidak adil di wilayah tersebut. Jadi, konsep kontra hegemoni dalam penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan bentuk reaksi penentangan masyarakat atas peraturan pemerintah yang dianggap menghegemoni. Sebaliknya, pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan selaku lembaga resmi negara memiliki kekuasaan mengatur aktivitas kehidupan masyarakat termasuk menguasai cendana sesuai aturan yang telah ditetapkan. Pemerintah juga berhak menentukan hukuman bagianggota masyarakat yang terbukti melanggar peraturan pemerintah sesuai peraturan yang berlaku. Penghalangan memanfaatkan potensi alam dianggap sebagai penggusuran hak hidup yang memunculkan berbagai bentuk penentangan masyarakat. Kontra hegemoni masyarakat dalam penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan ketidaksetutuan, penentangan, atau reaksi atas pemberlakuan peraturan pemerintah yang bersifat menghegemoni. Masyarakat selaku pihak yang dihegemoni mengekspresikan ketidaksetujuannya melalui perilaku represif maupun simbolik. Dengan demikian, kontra hegemoni masyarakat dibatasi sebagai ketidaksetujuan kehidupan kolektif manusia yang tinggal di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Selaku masyarakat, mereka berinteraksi secara intensif berdasarkan pola ikatan tingkah laku khas yang diatur dalam sistem norma
30 dan corak budaya yang sama yakni budaya masyarakat Dawan. Jadi, kategori masyarakat yang terlibat dalam kontra hegemoni penguasaan cendana adalah sebagai berikut ; (1) Individu atau kelompok menetap di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan dan berada di bawah kekuasaan pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan. (2) Individu atau kelompok menetap di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan dan wajib mentaati peraturan pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan. (3) Individu atau kelompok yang menetap di wilayah tersebut dan terlibat langsung dengan keberadaan cendana.
2.2.3 Penguasaan Penguasaan adalah proses, cara-cara, perbuatan mengatur suatu aktivitas atau kegiatan, termasuk sebagai proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan pencapaian tujuan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007:534). Penguasaan sebagai suatu proses atau cara-cara untuk mengatur, menggerakkan, dan melakukan pengawasan, erat kaitannya dengan adanya kekuasaan. Di dalam kekuasaan itu sendiri didukung pihak-pihak yang berkuasa dan pihak-pihak yang dikuasai. Kekuasaan yang diberikan masyarakat kepada pihak penguasa tidak dipergunakan untuk mencapai tujuan sosial malah digunakan untuk menekan kepentingan masyarakat yang relatif tidak mempunyai kekuasaan (Berry, 2003:204-211; Soekanto, 200:268). Kekuasaan mempunyai jangkauan cukup luas meliputi kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, kemampuan untuk memerintah, kemampuan untuk
31 memberi keputusan, serta memengaruhi tindakan pihak lain. Birokrasi merupakan sumber kekuasaan tertinggi umumnya berada pada organisasi yang disebut negara atau pemerintah. Secara formal, negara atau pemerintah mempunyai hak untuk melaksanakan kekuasaan, bila perlu dengan kekuatan dan pemaksaan. Dalam kaitan ini, kekuasaan diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak pemegang kekuasaan tersebut. Kekuasaan dilihat sebagai suatu sumber untuk mencapai tujuan sosial yang seringkali memunculkan reaksi masyarakat. Konsep penguasaan terkait hegemoni dan kontra hegemoni antara masyarakat dengan pemerintah dalam penguasaan cendana meliputi kekuasaan pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam meregulasi pelaksanaan kebijakan dan pencapaian tujuan terkait keberadaan cendana di wilayah tersebut. Dalam hal ini, kekuasaan pemerintah bersumber dari peraturan normatif dalam menata kehidupan sosial masyarakat, selanjutnya dibarengi dengan penggunaan kekuasaan untuk menguasai semua cendana dalam segala bentuk baik yang ada di tanah negara maupun di lahan-lahan milik masyarakat. Pola-pola penguasaan demikian pada awalnya dipertahankan guna memenuhi usaha pemerintah dalam melestarikan populasi cendana. Disamping itu, pemerintah juga memanfaatkan cendana sebagai komoditas untuk meningkatkan pendapatan daerah. Pemerintah selaku penguasa menggunakan kekuasaan dan wewenang untuk menguasai cendana secara total. Tidak terkecuali cendana yang tumbuh di lahan negara maupun di lahan milik masyarakat. Sebaliknya masyarakat selaku anggota negara yang berada di bawah kontrol
32 pemerintah memiliki hak untuk menguasa potensi alam sekitar untuk melanjutkan kelangsungan hidupnya. Terutama memanfaatkan potensi alam termasuk cendana di lahan-lahan yang mereka garap secara turun-temurun. Perbedaan ide antara pemerintah dengan masyarakat memunculkan sengketa penguasaan cendana. Di satu sisi pemerintah berupaya memanfaatkan cendana untuk meningkatkan pendapatan daerah dan melestarikan populasi cendana, sebaliknya masyarakat menuntuk hak mereka sebagai anggota masyarakat untuk memanfaatkan potensi alam sekitar untuk kebutuhan hidupnya. Perbedaan ide, gagasan, dan kepentingan antara pihak pemerintah selaku penguasa dan masyarakat selaku yang dikuasai inilah yang memunculkan konsep hegemoni dan kontra hegemoni dalam penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
2.2.4 Cendana Cendana merupakan salah satu jenis tumbuhan yang tumbuh secara alami di Pulau Timor. Nama Latin cendana adalah santalum album. Secara fisik, cendana memiliki pohon kecil sampai sedang dapat mencapai tinggi 20 m. Batang cendana bertajuk ramping, batang bulat agak berlekuk-lekuk berdiameter diameter 40 cm. Daun cendana merupakan daun tunggal yang relatif jarang, berwarna hijau, berukuran sekitar 4-8 x 2-4 centimeter. Bentuk daun bulat memanjang dengan ujung dan dasar daun lancip. Cendana merupakan salah satu marga dari 25 suku Santalaceae yang penyebarannya mulai dari Malaysia bagian Timur, Australia sampai di sebelah timur kepulauan Polynesia. Beberapa pakar meyakini bahwa Santalum album L. berasal
33 dari kepulauan Indonesia di sebelah Tenggara terutama wilayah Nusa Tenggara Timur di antaranya Pulau Timor kemudian menyebar ke daerah-daerah lain. Cendana dapat tumbuh di daerah tepi laut hingga daerah pegunungan dengan tekstur tanah kering berkapur. Kondisi tanah yang sesuai untuk pertumbuhan cendana adalah lahan kering berdrainase baik, bertekstur lempung, batu pasir gamping, batu lanau (tanah yang mengandung batu) maupun endapan vulkanik (endapan batu lahar). Lahan berbatu dengan lapisan tanah yang dangkal merupakan lahan ideal untuk areal pertumbuhan cendana. Pada kondisi tanah demikian cendana tumbuh sangat lambat, diameter batang kecil, inti kayu yang dihasilkan pun sedikit, namun menghasilkan kayu dengan kualitas terbaik dengan aroma wangi optimal. Sebaliknya, cendana yang tumbuh di daerah dengan curah hujan tinggi secara vegetatif tumbuh subur tetapi tidak menghasilkan kayu berkualitas. Cendana memiliki nama lokal yang hampir mirip pada beberapa daerah di Indonesia. Di daerah Sumatera khususnya di Minangkabau kayu cendana disebut tindana, sedangkan orang Dayak di Kalimantan menyebutnya sindana, di Tanah Sunda kayu ini di sebut candana, dan di Bali disebut cenana. Orang Timor sendiri khususnya orang Dawan yang menjadi penduduk mayoritas di Kabupaten Timor Tengah Selatan menyebutnya dengan sebutan hau femoni (kayu wangi) dan hau meni (kayu arwah), dan beberapa istilah lain terkait keberadaan kayu cendana sebagai kayu milik pemerintah (hau plenat), yang mendatangkan permasalahan (hau mamalasi)
34 dalam kehidupan masyarakat Suku Dawan. Dalam dunia perdagangan internasional kayu cendana dikenal dengan nama sandalwood. Santalum album atau cendana adalah tumbuhan berupa pohon mencapai tinggi maksimal 20 meter dengan diameter mencapai 50 centimeter. Kulit kayu cendana bertekstur kasar, berwarna coklat kelabu, daun relatif kecil, dan mudah gugur terutama di musim kemarau. Cendana tumbuh baik pada iklim panas, tanah kering dan berkapur. Batang kayu cendana memiliki kualitas maksimal dengan tekstur kayu teras (inti kayu) yang padat, kuat, dan beraroma wangi setelah berumur di atas 20 tahun. Bagian teras memiliki kandungan minyak atsiri yang bermanfat sebagai bahan dasar obat-obatan, kosmetik, dan upacara keagamaan. Sebagai bahan obat-obatan dan kosmetik minyak atsiri yang diperoleh dari penyulingan kayu cendana mempunyai khasiat alami untuk mengurangi rasa sakit, mengatasi insomnia, relaksasi, dan menghalangi karsinogenik (Agusta dan Jamal dalam Berita Biologi Vol.5 No.5 Tahun 2001:561).
2.2.5 Hegemoni dan Kontra Hegemoni Penguasaan Cendana Hegemoni dan kontra hegemoni penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah suatu realitas perbedaan ide antara pemerintah dengan masyarakat terkait proses penguasaan, pengaturan, dan pengawasan cendana sehingga memunculkan ketidaksetujuan dan penentangan masyarakat. Hegemoni maupun kontra hegemoni bersumber dari peraturan pemerintah yang menguasai seluruh cendana dalam segala bentuknya di wilayah tersebut. Sedangkan masyarakat selaku
35 warga negara diharuskan menyetujui dan tunduk pada aturan tersebut. Masyarakat menganggap ide-ide dan peraturan pemerintah dalam meregulasi cendana dianggap berat sebelah, menguntungkan pihak pemerintah semata, dan tidak memberi peluang penguasaan kepada masyarakat. Perbedaan ide antara pemerintah dengan masyarakat inilah yang memunculkan konsep hegemoni dan kontra hegemoni dalam penguasan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dalam hal ini pemerintah berposisi sebagai pihak penguasa yang menghegemoni sebaliknya, masyarakat berposisi sebagai pihak yang dihegemoni dan melakukan kontra hegemoni. Konsep hegemoni dan kontra hegemoni dalam penguasan cendana melibatkan dua komponen negara yakni pemerintah dan masyarakat. Pemerintah selaku lembaga tinggi yang memiliki wewenang mengatur pola kehudupan masyarakat menetapkan peraturan penguasaan kayu cendana sedangkan masyarakat sebagai anggota negara yang berada di bawah kekuasaan pemerintah diharapkan mentaati peraturan pemerintah. Masyarakat menilai peraturan tersebut tidak memperhatikan ide, gagasan, dan kepentingan masyarakat. Padahal masyarakat memiliki kepentingan dan hak atas alam berdasarkan aturan-aturan adat. Perbedaan sudut pandang memunculkan hegemoni dan kontra hegemoni antara pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah nenetapkan aturan bertujuan untuk melestarikan
cendana dan
meningkatkan pendapatan daerah. Peningkatan pendapatan daerah digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur daerah yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Ide pemerintah tidak sejalan dengan ide masyarakat, terutama masyarakat primer cenderung lebih mementingkan kebutuhan hidup dalam usaha
36 memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Pemenuhan kebutuhan hidup diperoleh dari usaha mereka memanfaatkan potensi alam. Perbedaan sudut pandang tersebut pemerintah menganggap masyarakat sebagai cikal bakal kepunahan kayu cendana. Sebaliknya, masyarakat menganggap pemerintah sebagai pihak penguasa telah memaksa masyarakat untuk mematuhi peraturan yang cenderung memonopoli penguasaan cendana tanpa memberi hak kepemilikan kepada masyarakat.
2.3 Landasan Teori Cendana yang menjadi identitas Kabupaten Timor Tengah Selatan kini berada di ambang kepunahan. Hal ini disebabkan berbagai faktor, di antaranya ekstraksi dan penebangan secara terus menerus tanpa usaha pelestarian yang memadai. Kondisi demikian memunculkan intervensi pemerintah selaku penguaasa daerah untuk melindungi keberadaan cendana dan memanfaatkan untuk kepentingan negara. Intervensi pemerintah direalisasikan dalam pola pengaturan penguasaan cendana melalui peraturan pemerintah. Namun peraturan tersebut dianggap hanya memberi kewenangan penguasaan kepada pemerintah semata tanpa memberi hak kepemilikan kepada masyarakat. Perbedaan pandangan antara masyarakat dengan pemerintah memuncuklan konsep hegemoni dan kontra hegemoni antara pemerintah dengan masyarakat. Sehubungan dengan latar belakang dan permasalahan hegemoni dan kontra hegemoni, penelitian ini mengacu pada Teori Hegemoni dan Dominasi, Teori Kekuasaan dan Pengetahuan, dan Teori Interaksionisme Simbolik.
37 2.3.1 Teori Hegemoni dan Dominasi Hegemoni adalah suatu penetapan makna yang bersifat sementara yang menyokong kelompok penguasa. Di dalamnya termasuk proses penciptaan, pemeliharaan, dan reproduksi perangkat makna pengatur dalam suatu kebudayaan. Hegemoni juga menyangkut situasi faksi (golongan, kumpulan orang-orang) penguasa menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinan pada kelas-kelas subordinat melalui kombinasi paksaan dan persetujuan secara sadar. Dengan demikian, hegemoni tergolong menjadi dua jenis yakni hegemoni sebagai paksaan dan hegemoni sebagai kerelaan. Bahkan banyak yang berpandangan bahwa hegemoni memiliki makna beragam, bukan semata-mata terdapat dalam konteks kepemimpinan dan politik tetapi meliputi bidang-bidang sosial dan kultural dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (Barker, 2005:514; Strinati, 2007:188). Konsep hegemoni Gramsci berawal dari dialektiktis dikotomi pemikiran politik tradisional Italia tentang adanya kekutan (force) dan persetujuan (consent). Bagi Gramsci, kelompok sosial akan memperoleh keunggulan atau supremasi mealui dua cara yakni; 1) dominio (dominasi) atau coercion (paksaan) dan 2) cara kepemimpinan intelektual dan moral (Patria dan Arif, 2003 :119). Selanjutnya, cara kepemimpinan intelektual dan moral inilah disebut hegemoni dan lebih dikenal sebagai konsep hegemoni yang sesungguhnya, sedangkan cara kepemimpinan paksaan cenderung disebut dominasi. Meskipun demikian, Gramsci tetap mengakui bahwa dalam kehidupan masyarakat selalu ada pihak yang memerintah dan pihak yang diperintah, ada pihak dominan dan subordinan. Guna melindungi yang
38 memerintah dan yang diperintah serta menghormati hukum-hukum yang berlaku di masyarakat, maka fungsi kedua kelompok tersebut hanya dapat dibatasi dan dijalankan oleh kekuatan negara. Maka, dalam konsep hegemoni tersebut, negara menjadi pusat penyebaran proses hegemoni (Patria dan Arif, 2003 : 138). Negara bagi Gramsci terdiri atas masyarakat politik dan masyarakat sipil yang dilindungi kekerasan bersenjata disebut negara integral. Negara integral merupakan perpaduan antara sumber coersion (paksaan) dalam masyarakat dan tempat kepemimpinan hegemonik. Negara integral ini merupakan hegemoni yang dilapisi selubung kekuasaan koersif disebut dominasi. Dominasi dalam perspektif Gramscian pada hakekatnya adalah menegaskan kembali hakikat negara sebagai alat kekerasan untuk mejaga kekuasaan kelas dominan (Patria dan Arief, 2003:144). Di dalamnya ada alat-alat kekerasan (means of coercion) dan alat penegakan kepemimpinan hegemonis (means of estabilishing hegemonic leedership). Maka, hegemoni seringkali disebut bekerja pada lapangan budaya dan di tingkat moral atau kesadaran. Meskipun demikian, aparat koersif tetap aktif bekerja, bahkan antara hegemoni dan koersi (dominasi) berjalan secara berdampingan. Baik hegemoni maupun dominasi sebagai kekuasaan tertinggi mampu menggerakkan dan melakukan pengawasan terhadap objek dalam bidang-bidang sosial dengan jangkauan luas, di antaranya kemampuan untuk mengatur ruang gerak. Di samping penggunaan otoritas secara paksaan maupun kerelaan, hegemoni menurut Gramsci adalah kepemimpinan kultural yang dilaksanakan oleh kelas penguasa. Ia membedakan hegemoni atau kepemimpinan kultural menjadi dua jenis yakni
39 hegemoni yang dijalankan secara tulus dan hegemoni dengan paksaan (Ritzer dan Goodman, 2004:178). Hegemoni bersifat tulus diwujudkan melalui intervensi kebijakan bersifat lebih halus dan mendapat persetujuan massa. Hegemoni yang bersifat paksaan lebih menekankan pada aspek ekonomi serta penggunaan kekuasaan negara untuk mendapat manfaat untuk kesejahteraan. Terkait hegemoni yang bersifat paksaan, Louis Althusser juga menganggap teori hegemoni Gramsci tidak terlepas dari praktek-praktek dominasi. Menurut Althusser, hegemoni adalah salah satu bentuk dominasi yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam beberapa kasus bersifat umum mendasar dan solusi teoretis yang luar biasa dalam memberikan garis besar masalah penetrasi silang antara ekonomi dan politik. Penekanannya terletak pada fungsi beberapa kelompok sosial dalam kekuasaan negara melalui penggunaan perangkat negara represif maupun perangkat negara ideologis. Aparatus negara represif berfungsi melalui kekerasan, sementara aparatus negara ideologis berfungsi melalui ideologi (Chilcote, 2004 : 496; Althusser, 2008 : 21). Selain Althusser, Horkheimer dan Adorno menyebut bahwa hegemoni yang bersifat represif atau memaksa dengan menggunakan kekuasaan disebut dominasi. Konsep hegemoni Horkheimer dan Adorno pada awalnya mengacu pada kegemaran Bangsa Barat yang membutuhkan makanan, pertanian, dan industri dengan menguasai alam dan melakukan dominasi atas alam. Eksistensi alam semata-mata sebagai objek yang harus dikuasai bagi kemanfaatan manusia (Agger, 2008:170). Secara umum, hegemoni dan dominasi dianggap sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan.
40 Realisasi hegemoni dan dominasi tampak dalam hubungan sosial antara pihak dominan dengan pihak subordinan yang memposisikan pihak dominan sebagai penguasa yang berhasil membuat pihak lain yang tersubordinasi tunduk pada aturanaturan yang telah ditetapkan (Berry, 2003:2). Menurut Max Weber, kekhasan hegemoni dan dominasi adalah pihak yang berkuasa mempunyai wewenang sah untuk berkuasa sesuai peraturan yang berlaku sehingga pihak yang dikuasai wajib mentaati kehendak penguasa. Suatu hegemoni dan dominasi memerlukan keabsahan (legitimacy) yakni pengakuan dan atau pembenaran masyarakat terhadap kekuasaan tersebut, agar penguasa dapat melaksanakan kekuasaannya secara sah. Dalam hal ini hegemoni maupun dominasi merupakan suatu paksaan yang lebih menekankan pada aspek ekonomi serta penggunaan kekuasaan negara untuk mendapat manfaat kesejahteraan. Lebih lanjut, Weber membedakan tiga jenis dominasi yakni dominasi karismatik, dominasi tradisional, dan dominasi legal rasional. 1) Dominasi karismatik adalah dominasi yang keabsahannya didasarkan atas kepercayaan bahwa pihak penguasa mempunyai kemampuan luar biasa. Sang penguasa menjalankan kekuasaannya bukan atas dasar peraturan yang berlaku tetapi atas dasar peraturan yang dibuat sendiri dan kesetiaan bawahan mentaati aturan tersebut. 2) Dominasi tradisional, merupakan perkembangan dominasi kharismatik yang telah mengalami pergeseran. Dalam dominasi tradisional penguasa menjalankan tradisi yang telah ditegakkan oleh pemimpin karismatik sebelumnya dan legitimasi kepemimpinan didasarkan pada tradisi sebelumnya. Biasanya dominasi demikian merupakan
41 kelanjutan dominasi sebelumnya. 3). Dominasi legal rasional kekuasaan pemimpin didasarkan atas aturan hukum yang dibuat secara sengaja atas dasar pertimbangan rasional. Keabsahan penguasa didasarkan pada hukum, pemimpin dipilih atas dasar hukum yang berdasarkan kriteria tertentu, dan pemimpin wajib menjalankan kekuasaan berdasarkan aturan hukum pula (Sunarto, 2004:74). Di Indonesia, fenomena kekuasaan yang mendapat persetujuan total berdasarkan konsep hegemoni Gramsci tidak dapat berkembang maksimal. Pluralitas masyarakat di Indonesia telah menghambat jalannya hegemoni penguasa dalam menjalankan kekuasaan. Beberapa peraturan yang ditetapkan umumnya kurang mendapat persetujuan masyarakat, sehingga dalam menjalankan kekuasaannya pemerintah harus memadukan hegemoni dengan dominasi. Dominasi politik yang besar oleh negara terhadap masyarakat sipil merupakan fenomena yang selalu terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ketidaktepatan kepeminpinan hegemoni dan dominasi mseringkali memunculkan kontra hegemoni di kalangan masyarakat. Misalnya, pada masa pemerintahan Orde Baru pemerintahan hegemoni yang cenderung berbentuk dominasi dan menggunakan aparatus koersif untuk penegakan kekuasaan. Ini dapat terbaca melalui pola tindakan yang diambil terhadap masyarakat yang melakukan oposisi politik secara terbuka. Para buruh, mahasiswa, dan intelektual sering berhadapan secara frontal dengan aparat kekerasaan negara seperti militer, polisi, dan penjara dalam setiap kali menyuarakan pendapat yang beroposisi dengan hegemoni politik penguasa (Patria dan Arief, 2003:185). Hal ini menunjukkan adanya praktek-
42 praktek hegemoni dan dominasi pihak penguasa dalam menjalankan roda pemerintahan di Indonesia yang dijawab dengan kontra hegemoni oleh masyarakat. Di Indonesia, kepemimpinan hegemonik yang cenderung dominan bukan hanya menyangkut kebijakan politik negara, tetapi juga menyangkut kebijakan terkait pemanfaatan sumber daya alam. Dalam kaitan ini, praktek-praktek hegemoni seringkali dibarengi dominasi atau koersif. Apabila penggunaan kepemimpinan hegemonik secara kultural moral tidak berhasil, maka kepemimpinan dominasi atau koersif digunakan untuk mencapai tujuan. Kondisi demikian tampak jelas dalam praktek hegemoni dan kontra hegemoni penguasaan cendana di Nusa Tenggara Timur. Pola-pola penguasaan cendana menerapkan prinsip-prinsip hegemoni bahkan cenderung dominan. Hegemoni dan dominasi tertuang melalui peta politik penguasaan cendana khususnya peraturan pemerintah yang menetapkan bahwa semua tumbuhan cendana yang ada di wilayah Nusa Tenggara Timur (termasuk Kabupaten Timor Tengah Selatan) baik hidup atau pun mati, kayu gelondongan, batang, maupun akar adalah milik pemerintah. Peraturan pemerintah tersebut merupakan ekspresi pemerintahan hegemonik. Secara ideal, peraturan pemerintah pada dasarnya disusun untuk melindungi dan melestarikan cendana, tetapi di dalamnya juga terdapat aspek koersif (kekerasan) yang bersifat mendominasi penguasaan cendana oleh penguasa (pemerintah). Pemerintah menguasai semua cendana di wilayah kekuasaannya dan masyarakat harus mentaati semua aturan tersebut. Bagi masyarakat yang tidak mentaati aturan tersebut alat-alat kekerasan (means of coercion) dan alat penegakan kepemimpinan
43 hegemonis (means of estabilishing hegemonic leedership) berupa sangsi hukuman penjara berjalan berdampingan dengan aturan tersebut. Kepemimpinan hegemonik pihak penguasa (pemerintah) terkait penguasaan cendana di Pulau Timor telah berlangsung sejak masa lampau. Pola-pola demikian terus berlanjut seiring dengan realitas sosial dan dinamika masyarakat selanjutnya. Menyesuaikan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat, beberapa peraturan pemerintah tentang penguasaan cendana mulai direvisi, namun kendali penguasaan tetap berada di tangan pemerintah. Hegemoni penguasa atau pemerintah tetap tampak dalam peraturan tersebut yang cenderung tidak memberi ruang gerak penguasaan kepada masyarakat. Masyarakat tidak memperoleh hak untuk menguasai cendana meskipun cendana yang tumbuh di lahan milik pribadi. Tanpa memandang dinamika masyarakat, kewenangan penguasaan cendana tetap berada di tangan pemerintah, dan pemerintah tetap memiliki hak meregulasi penguasaan cendana yang harus ditaati oleh masyarakat. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk hegemoni represif pemerintah selaku penguasa wilayah. Kepemimpinan hegemonik dalam penguasaan cendana menjadi absah berkat legitimasi kekuasaan pemerintah selaku lembaga negara. Peraturan yang diciptakan berada dalam posisi strategis untuk meregulasi, mendesak atau memaksa pihak yang dikuasai (masyarakat) menerima dan mentaati aturan-aturan pemerintah selaku penguasa wilayah. Masyarakat selaku pihak yang dikuasai dan berada pada posisi tersubordinasi memandang peraturan tentang penguasaan cendana tersebut hanya menguntungkan pihak pemerintah semata. tanpa memberi hak kepemilikan kepada
44 masyarakat. Hal tersebut disikapi dengan perilaku kontra hegemoni. Kontra hegemoni di sini cenderung berupa perilaku represif maupun simbolik sebagai ekspresi ketidaksetujuan dan penentangan masyarakat. Dengan demikian, Teori Hegemoni dan Dominasi merupakan teori payung yang relevan digunakan membahas semua permasalahan hegemoni dan kontra hegemoni dalam penguasaan cendana. Terutama menyangkut hegemoni pemerintah yang menjadi bentuk-bentuk dan faktor pendukng munculnya kontra hegemoni yang akan di bahas pada bab V dan VI. Teori hegemoni juga digunakan untuk membahas permasalahan bab VII mengenai dampak yang timbul bagi pemerintah, masyarakat, dan cendana akibat adanya hegemoni dan kontra hegemoni.
2.3.2 Teori Kekuasaan dan Pengetahuan Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri sekaligus menerapkan tindakan-tindakan sesuai kemauannya terhadap pihak lain. Adanya kekuasaan sangat tergantung hubungan antara pihak yang memiliki kemampuan melancarkan pengaruh dengan pihak lain yang menerima pengaruh tersebut baik secara sukarela maupun terpaksa. Dengan demikian, kekuasaan mempunyai aneka macam bentuk dan beragam sumber. Birokrasi merupakan salah satu sumber kekuasaan yang tertuang dalam organisasi negara sebagai sumber kekuasaan tertinggi. Secara formal negara mempunyai hak untuk melaksanakan kekuasaan tertinggi, kalau perlu dengan pemaksaan (Soekanto, 2003:268). Negara atau pemerintah mempunyai hak sebagai
45 pengguna kekuasaan serta adanya pihak-pihak yang berkuasa dan dikuasai sebagai cuatu ciri khas dalam organisasi sosial suatu masyarakat. Dalam kaitan ini, negara atau pemerintah memiliki kekuasaan sah sebagai suatu otoritas untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat. Terkait birokrasi negara atau pemerintah sebagai salah satu sumber kekuasaan tertinggi, Michael Foucault mengatakan bahwa sistem negara feodal dan monarki yang berkembang pada abad ke-18, pemimpin negara atau raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Pada masa itu, hukuman fisik terhadap tahanan yang melanggar aturan negara menjadi alat kontrol kekuasaan negara. Hukuman dan penyiksaan fisik terhadap tahanan sangat kasar, vulgar, dan menjadi tontonan publik sebagai bentuk legalitas bahwa negara memiliki kekuatan dan kebenaran. Hal ini memunculkan kegelisahan penonton, kerusuhan, dan ketidaksetujuan publik. Maka, tidak berselang lama hukuman berjalan lebih halus, hukuman mulai dirasionalisasikan, dan dibirokratisasikan. Penyiksaan dan kekejaman hukuman mulai dikurangi dengan berbagai cara yang menguntungkan tahanan dan masyarakat luas (Ritzer, 2008 :95). Meskipun demikian, sistem baru dirancang bukan semata-mata untuk pertimbangan manusiawi tetapi untuk memperhalus kekerasan serta menyisipkan kekuasaan sampai ke tubuh masyarakat. Keadilan diselaraskan pada pemetaan hukum yang lebih dekat dengan tubuh masyarakat. Kekuasaan disipliner demikian dirancang untuk melakukan kontrol terhadap tubuh-tubuh manusia kemudian melahirkan tubuhtubuh yang patuh. Realisasi pendisiplinan pun terjadi di berbagai ruang, tidak hanya terjadi di penjara namun juga di sekolah, rumah sakit, militer, maupun di tempat kerja
46 sebagai produk teknologi kekuasaan disipliner. Sehingga teknologi disipliner didistribusikan kepada individu-individu ke dalam ruang-ruang yang kompleks dan hirarkis yang menyerupai instrumen pendisiplinan cara militer. Salah satu instrumen kekuasaan pendisiplinan adalah kemampuan aparatus negara untuk mengawasi semua yang dikontrol dengan sebuah pengawasan tunggal yang merujuk dari konsep panopticon. Teori kekuasaan yang berkaitan dengan hal tersebut dikemukakan oleh Michael Foucault dalam buku Discipline and Punish: The Birth of Prison yang banyak membahas tentang disiplin dan hukuman. Panoptikon mengacu pada sebuah konsep arsitektural yang dikemukakan Jeremy Bentham menjelang akhir abad ke-18 tentang desain penjara yang menempatkan sebuah menara di posisi tengah-tengah bangunan penjara, sehingga dari menara itu dapat mengawasi semua sel dan bangunan lain. Panoptikon merupakan metafora kekuasaan dan pengawasan yang kerap dihubungkan dengan Foucault yang mendukung aparatus negara melakukan observasi dan pengawasan secara menyeluruh dan konstan. Di sel-sel yang berbentuk melingkar semua tahanan akan terus-menerus diawasi dan tahanan itu sendiri merasa diawasi dari menara sentral. Dengan demikian secara bertahap para tahanan akan mulai mengawasi perilakunya sendiri dan berperilaku disiplin (Barker, 2004 : 108; Sarup, 2008 : 104 ; Ritzer, 2008:102). Panoptikon merupakan teknologi kekuasaan disipliner yang digunakan bukan hanya di penjara tetapi diberbagai bidang yang memerlukan kedisiplinan seperti instansi pemerintah, rumah sakit, sekolah, mall, keluarga, militer, dan sebagainya. Di wilayah ini terjadi proses pembentukan disiplin manusia sebagai individu-individu
47 yang taat dan patuh pada aturan. Kemudian secara langsung di sini terbentuk praktik diskursif kekuasaan yang dikonstruksi oleh badan-badan pengawasan. Sejalan dengan pemikiran Foucault yang mengkategorikan relasi kekuasaan sebagai suatu praktek sosial dan meliputi semua bentuk perilaku sosial, maka kekuasaan bisa saja meliputi seluruh kehidupan dan ditemukan dalam berbagai bidang kehidupan manusia sebagi individu maupun masyarakat. Menurut Foucault, setiap praktik sosial tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan yang melandasinya serta relasi kekuasaan yang beroperasi di baliknya. Kekuasaan bersifat plural, terdistribusi dalam relasi-relasi sosial, bersifat produktif memunculkan subjek-subjek kekuasaan yang berperan melahirkan kekuatan dan memberi tatanan (Piliang, 2006:223). Setiap kelompok masyarakat, etnik, maupun negara memiliki sistem politik yang di dalamnya mencakup permainan kekuasaan (power), kekerasan (coercion), dan keabsahan (legitimacy). Kekuasaan merupakan wujud kemampuan untuk memaksa atau mempengaruhi kelompok atau orang lain untuk mengikuti keinginannya. Mampu menggerakkan dan melakukan pengawasan terhadap objek dalam bidang-bidang sosial dengan jangkauan luas, di antaranya kemampuan untuk mengatur ruang gerak. Kekuasaan identik dengan kekerasan baik kekerasan simbolik (tidak nyata) maupun kekerasan manifes atau represif (nyata). Keberhasilan penguasa melakukan kekerasan simbolik maupun manifes memunculkan kepatuhan sehingga kekuasaan terlegitimasi. Relasi kekuasaan yang membentuk jaringan meliputi seluruh kehidupan manusia menyebar luas, maka kekuasaan terdistribusi dalam relasi-relasi sosial dan tidak dapat direduksi dalam bentuk-bentuk dan penentu-penentu ekonomik yang
48 terpusat. Kekuasaan membentuk lapisan kapiler yang terajut dalam serat-serat tatanan sosial. Lebih jauh lagi, kekuasaan tidak semata-mata represif tetapi juga produktif. Kekuasaan memunculkan subjek-subjek yang berperan penting dalam melahirkan kekuatan (force), menundukkanya, dan menghancurkannya (Barker, 2005:108). Kekuasaan sebagai bentuk hubungan pihak yang menguasai dengan pihak yang dikuasai, maka akan selalu ada riak-riak ketidaksetujuan (kontra hegemoni) terhadap penggunaan kekuasaan serta keputusan-keputusan yang telah ditetapkan pihak penguasa. Sehingga memunculkan penentangan terhadap penggunaan kekuasaan yang dianggap sebagai hegemoni dan kontra hegemoni antara penguasa dengan yang dikuasai. Apabila kelompok penguasa memaksakan kepentingannya terhadap kelompok yang tidak berkuasa maka akan terjadi perlawanan terhadap penggunaaan kekuasaan. Dalam kaitan ini, kekuasaan semata-mata berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dan menjadi sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan dengan hegemoni dan kontra hegemoni. Pada ranah kekuasaan selalu disertai praktek-praktek hegemoni dan dominasi yang seringkali menunculkan kontra hegemoni, sebaliknya hegemoni, dominasi, dan kontra hegemoni selalu muncul sebagai ekspresi kekuasaan. Penjabaran teori kekuasaan dalam kepemimpinan hegemoni dan kontra hegemoni penguasaan kayu cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang melibatkan pemerintah selaku penguasa dan
masyarakat selaku yang dikuasai,
sejalan dengan konsep dasar kekuasaan dan ide-ide panopticon. Bahwa kekuasaan mempunyai aneka macam bentuk dan beragam sumber. Kekuasaan juga berfungsi
49 untuk mengatur ketertiban masyarakat. Birokrasi negara (pemerintah) merupakan salah satu sumber kekuasaan tertinggi yang memiliki otoritas untuk meregulasi keberadaan cendana. Di samping itu, kekuasaan merupakan wujud kemampuan untuk menggerakkan dan melakukan pengawasan terhadap objek dalam bidang-bidang sosial dengan jangkauan luas, di antaranya kemampuan untuk mengatur ruang gerak, mempengaruhi, dan memaksa sesuai keinginan penguasa negara. Kemampuan menggerakkan, mempengaruhi, dan memaksa terwujud melalui intervensi kebijakan pemerintah secara lebih halus sekaligus bersifat memaksa. Di sini tampak jelas bahwa jabatan dan kekuasaan mempunyai kedudukan dan arti sosial yang penting. Dengan jabatan dan kekuasaan seseorang memiliki kekuasaan dan dapat menikmati keuntungan-keuntungan ekonomi dari sumber-sumber alam yang ada di wilayah kekuasaannya. Sebaliknya dengan keuntungan dan peningkatan ekonomi pengaruh dapat ditanamkan kemudian kekuasaan dapat ditingkatkan (Parimartha, 2000 : 173). Hegemonitas penguasa dalam penguasaan cendana yang bersifat plural dan produktif di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan telah berlangsung sejak masa lampau sampai sekarang. Pada masa lampau, usif selaku penguasa wilayah beserta perangkat pemerintahan adat lainnya memiliki hak mengatur penguasaan cendana. Kekuasaan usif dan pemerintahan adat menghegemoni semua unsur kehidupan manusia terutama sistem sosial menyangkut kekuasaan dan wewenang untuk menjamin ketertiban sosial. Pola kekuasaan hegemoni demikian memungkinkan penguasa lokal (usif) beserta perangkat pemerintahan adat menghegemoni dan
50 menguasai sumber daya alam termasuk memanfaatkan cendana yang tumbuh di wilayah kekuasaannya. Masa selanjutnya, bangsa-bangsa asing menjadikan cendana sebagai ajang perebutan
kekuasaan.
Masing-masing
penguasa
berkeinginan
menanamkan
kekuasaan dalam perdagangan cendana. Bangsa Portugis misalnya, mencoba melakukan pendekatan terhadap raja-raja lokal dan berhasil mengadakan kerjasama serta mengusai perdagangan cendana. Kemudian, pada masa pemerintahan kolonial Belanda, cendana sepenuhnya dikuasai pemerintah Belanda sekalu penguasa di wilayah tersebut. Penguasaan sumber-sumber alam (termasuk cendana) menjadi target utama pemerintah kolonial Belanda untuk memperoleh keuntungan dan peningkatan ekonomi. Pola-pola penguasaan hegemonik masa kolonial masih berlangsung sampai sekarang yang menempatkan cendana sebagai target peningkatan pendapatan ekonomi pemerintah daerah. Ide-ide Foucault tentang kekuasaan dan kedisiplinan juga berlangsung sejak masa kekuasaan raja lokal, masa kolonial, masa kemerdekaan, masa ode baru, sampai dengan masa reformasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak pernah lepas dengan hegemoni pemerintah yang mengkonstruksi penerapan disiplin dan hukuman. Konsrtuksi penerapan disiplin demikian sejalan dengan konsep panoptikon untuk menerapkan kedisiplinan dan hukuman bagi orang-orang yang melanggar peraturan. Upaya penerapan disiplin dalam konsep panoptikon mengacu pada tiga agenda utama yakni ; 1) Kemampuan aparatus untuk mengawasi semua dengan pandangan tunggal. 2)
51 Kemampuan untuk menghukum orang-orang yang melanggar aturan. 3) Pemeriksaan untuk menyelidiki subjek (Ritzer, 2008:98). Pemerintah selaku penguasa daerah memegang hak kuasa penuh (menghegemoni) penguasaan cendana sesuai aturan yang tercantum dalam peraturan pemerintah dan peraturan daerah. Berdasarkan peraturan tersebut, pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengawasi keberadaan cendana termasuk kekuasaan untuk memberi hukuman bagi masyarakat yang melanggar. Panoptikon
sebagai
metafora
kekuasaan
dan
pengawasan
disiplin
memungkinkan aparatus pemerintah melakukan observasi dan pengawasan secara menyeluruh melalui peraturan pemerintah yang telah terlegitimasi secara hukum. Mengacu pada aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan pemerintah, masyarakat akan mulai mengawasi perilakunya sendiri dan berperilaku disiplin untuk tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan. Dalam kondisi seperti ini, penguasa atau pemerintah tetap mempertahankan otoritas penguasaan cendana sekaligus melakukan kontrol terhadap masyarakat yang menentang. Termasuk kekuasaan mengontrol, menangkap, dan menghukum anggota masyarakat yang mengambil cendana tanpa izin pemerintah, sehingga masyarakat lokal menyebut cendana sebagai kayu bermasalah (hau mamalasi) atau pun kayu milik pemerintah (hau plenat). Di sini tampak jelas telah terjadi proses pembentukan disiplin manusia sebagai individu-individu dan anggota masyarakat yang taat dan patuh pada aturan yang dikonstruksi oleh badan-badan pengawasan pemerintah. Pengawasan didukung aparatus hukum yang bergerak melakukan pemaksaan aktif berupa sangsi maupun hukuman penjara. Hukuman kurungan (penjara) dan denda sejumlah uang dijatuhkan
52 bagi pelanggar adalah bentuk kekuasaan hegemoni represif yang diterapkan dalam penguasaan cendana. Dengan demikian, teori kekuasaan menjadi landasan dalam menganalisis permasalahan bab V tentang bentuk-bentuk hegemoni terutama permasalahan yang menyangkut otoritas pemerintah dalam mengeksploitasi dan mengekstaksi cendana, pemanfaatan cendana sebagai komoditi perdagangan, usaha pelestarian cendana, peningkatan ekonomi daerah, dan pemberlakuan peraturan pemerintah.
2.3.3 Teori Interaksionisme Simbolik Teori Intersksionisme Simbolik pada prinsipnya mengacu pada teori bihaviorisme sosial, khususnya paham pragmatisme dan behaviorisme psikologis. Pragmatisme adalah pemikiran filsafat yang mempengaruhi orientasi sosiologis bahwa realitas diciptakan secara aktif saat bertindak dalam dunia nyata. Manusia mengingat dan membentuk pengetahuan mengenai dunia nyata apabila terbukti berguna bagi mereka. Manusia mendefinisikan objek sosial dan fisik menurut kegunaanya. Jika ingin memahami aktor harus memahami hal-hal yang dikerjakan dalam dinia nyata. Sedangkan behaviorisme merupakan faham tentang perilaku dibedakan menjadi behaviorisme sosial dan behaviorisme radikal. Behaviorisme radikal memusatkan perhatian pada perilaku yang dapat diamati khususnya stimuli atau perilaku yang mendatangkan respon. Behaviorisme sosial dipengaruhi oleh bihaviorimme psikologis mengakui arti penting perilaku tersembunyi yang ada di balik perilaku yang dapat diamati. Berdasarkan pahan
53 tersebut, interaksionisme simbolik menjadi sebuah teori yang menggunakan pendekatan terhadap tingkah laku manusia. Dengan demikian, interasionisme simbolik membahas simbol, makna terhadap tindakan dan interaksi manusia yang menjadi objek langsung kajian sosiologi perilaku. Sosiologi perilaku memusatkan perhatian pada hubungan antara pengaruh perilaku seorang aktor terhadap lingkungan dan lingkungan terhadap perilaku aktor. Hubungan ini adalah dasar untuk pengkondisian proses belajar yang melaluinya. Lingkungan tempat munculnya perilaku, entah itu berupa sosial atau fisik, dipengaruhi oleh perilaku dan selanjutnya bertindak kembali dengan berbagai cara. Reaksi ini, entah posistif, negatif, atau netral mempengaruhi perilaku aktor berikutnya. Bila reaksi telah menguntungkan, perilaku yang sama mungkin akan diulang di masa depan dalam situasi serupa. Teori interaksionisme Simbolik yang dikemukakan George. H. Mead mengakui
arti penting perilaku yang dapat diamati berupa stimulus yang
mendatangkan reaski, tetapi di balik stimuli dan reaksi tersebut terdapat proses mental yang tersembunyi yang terjadi ketika stimuli dipakai dan respon dipancarkan. Menurut Mead, Interaksionisme Simbolik adalah tindakan yang terdiri dari aspek tersembunyi dan yang membuka tindakan manusia. Di dalam tindakan itu semua kategori psikologi tradisional dan ortodoks menemukan tempatnya. Perhatian, persepsi, imajinasi, alasan, emosi, dan sebagainya, dilihat sebagai bagian dari tindakan. Oleh karenanya, tindakan meliputi keseluruhan proses yang terlibat dalam aktivitas manusia (Ritzer dan Goodman, 2004 : 268)
54 Gagasan-gagasan dasar terori interaksionisme simbolik menyangkut beberapa perilaku dan tindakana sosial antara lain; (1) Sifat masyarakat berada dalam tindakan dan harus dilihat dari segi tindakan pula. Apapun yang berorientasi empiris pada masyarakat manusia harus memperhatikan kenyataan bahwa masyarakat manusia itu terdiri dari orang-orang yang bersama-sama dalam sebuah aksi sosial. (2) Sifat interaksi sosial masyarakat merupakan bentukan dari interaksi antarindividu. Interaksi sosial berperan penting sebagai penyebab ekspresi tingkah laku manusia. Interaksi sosial terbagi menjadi interaksi simbolis (menggunakan simbol-simbol penting) dan non simbolis (menggunakan percakapan langsung). (3) Ciri-ciri objek kehidupan manusia dan masyarakat terdiri dari objek atau benda-benda hasil kreasi sosial yang diciptakan. (4) Manusia sebagai makhluk bertindak mampu berinteraksi, merespon, bertindak, dan beraksi berdasarkan perhitungan. (5) Sifat aksi manusia dan tindakan manusia muncul berdasarkan interpretasinya. (6) Pertalian aksi bersama menyajikan pertalian horosontal dan vertikal dengan aksi sebelumnya (Suprapto, 2002 : 143). Ide-ide dasar teori interaksi simbolik tentang perilaku manusia dipertajam oleh Mead dalam bukunya berjudul Mind, Self, and Society bahwa perilaku atau tindakan manusia diawali dengan stimulus (rangsangan), selanjutnya memunculkan response (tanggapan). Mead mengidentifikasi empat basis dan tahap tindakan manusia yang saling berhubungan secara dialektis yakni; (1) Impuls, merupakan tahap awal tindakan manusia yang didasarkan atas dorongan hati. Impuls ini meliputi stimulasi (rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat indera) dan reaksi terhadap rangsangan tersebut. Aktor secara spontan memberi reaksi atas impuls,
55 tetapi manusia cenderung memikirkan reaksi tepat atas pertimbangan pengalaman masa lalu untuk mengantisipasi akibat dari tindakan itu di masa depan. (2) Persepsi, adalah tahap kedua dari tindakan manusia dimana aktor menyelidiki dan bereaksi terhadap rangsangan yang berhubungan dengan impuls. Persepsi melibatkan citra mental yang ditimbulkan stimulus. Aktor biasanya berhadapan dengan banyak rangsangan yang berbeda dan mereka memiliki kapasitas untuk memilih hal-hal yang perlu diperhatikan atau diabaikan. (3) Manipulasi, proses mengambil tindakan yang digunakan setelah ada impuls dan objek dipahami. Manusia menggunakan anggota tubuhnya
yang memungkinkannya melakukan manipulasi atau tindakan secara
cerdik. (4) Konsumasi, tahap pelaksanaan tindakan yang memuaskan dorongan hati yang sebenarnya (Ritzer dan Goodman, 2004: 271-276). Lebih lanjut Mead menyatakan bahwa perilaku manusia terbagi menjadi perilaku lahiriah dan perilaku tersembunyi. Perilaku lahiriah adalah perilaku sebenarnya atau perilaku nyata yang dilakukan seseorang aktor, sedangkan perilaku tersembunyi adalah proses berpikir yang melibatkan simbol dan arti. Simbol dan arti memberikan ciri-ciri khusus pada tindakan sosial manusia (yang melibatkan aktor tunggal) dan interaksi sosial manusia (yang melibatkan dua aktor atau lebih). Tindakan sosial itu sendiri adalah tindakan ketika individu bertindak dengan orang lain dalam kerangka pikiran. Sebagian besar tindakan manusia melibatkan dua perilaku ini meskipun dalam beberapa hal ada tindakan atau perilaku tidak melibatkan proses berfikir yang melibatkan simbol dan arti. Dalam melakukan tindakan, seseorang pelaku atau aktor mencoba menaksir pengaruhnya pada aktor lain yang
56 terlibat. Meski mereka sering terlibat dalam perilaku tanpa berfikir berdasarkan kebiasaan, namun mereka mempunyai kapasitas untuk terlibat dalam tindakan sosial. Proses reaksi dan interaksi sosial manusia secara simbolik mengkomunikasikan arti terhadap orang lain, sedangkan orang lain mengorientasikan tindakan balasan berdasarkan penafsiran mereka (Ritzer dan Goodman, 2004 : 293). Jadi, aksi, reaksi, dan interaksi sosial manusia tindakan meliputi keseluruhan proses yang terlibat dalam aktivitas manusia.dan selalu berada pada situasi saling mempengaruhi. Peraturan pemerintah terakumulasi dalam persepsi masyarakat yang melibatkan citra mental akibat stimulasi penetapan aturan tersebut. Peraturan pemerintah yang menguasai segala bentuk cendana telah mengebiri hak kepemilikan cendana pada masyarakat. Berhadapan dengan kondisi demikian, masyarakat memiliki kapasitas untuk memilih hal-hal yang perlu diperhatikan atau diabaikan, kemudian mengambil tindakan yang digunakan sebagai bentuk tanggapan nyata maupun tidak nyata atas rangsangan yang telah menyentuh pikirannya untuk memuaskan dorongan hati sebenarnya. Masyarakat menganggap peratutan tersebut bersifat berat sebelah hanya menguntungkan pihak pemerintah dan merugikan masyarakat. Peraturan tersebut memunculkan berbagai bentuk response atau reaksi baik reaksi verbal maupun non verbal di kalangan masyarakat yang dapat disebut tindakan kontra hegemoni. Bentuk-bentuk reaksi dan perilaku masyarakat sejalan dengan ide-ide Mead bahwa perilaku masyarakat didasari atas tindakan yang terdiri dari aspek-aspek lahiriah maupun aspek-aspek tersembunyi. Aspek-aspek lahiriah dan
57 tersembunyi membuka tindakan manusia dan berperan sebagai ekspresi tingkah laku manusia baik menggunakan simbol-simbol penting maupun praktek langsung. Perilaku tersembunyi maupun perilaku lahiriah masyarakat terdiri atas orangorang yang melakukan reaksi tertentu sebagai bentukan dari interaksi antarindividu. Perilaku tersembunyi maupun perilaku lahiriah cenderung bersifat negatif karena masyarakat tidak merasakan keuntungan ekonomi langsung dari keberadaan cendana tersebut. Perilaku simbolik tampak dari reaksi nonverbal yakni sikap acuh, masa bodoh, dan keengganan masyarakat menanam cendana. Padahal dari sudut pandang ekonomi, cendana mendatangkan kontribusi ekonomis memadai dengan harga jual relatif tinggi. Sedangkan perilaku lahiriah (reaksi verbal) tampak dari perilaku menerabas anakan cendana, penebangan liar, pencurian, dan perdagangan gelap akibat adanya stimulasi (peraturan pemerintah) yang dianggap berat sebelah dan tidak memberi kontribusi keuntungan bagi masyarakat. Perilaku verbal maupun non verbal dianggap sebagai reaksi atas kegagalan pemerintah dalam menetapkan langkahlangkah politis penguasaan cendana. Terutama kegagalan mengakomodir kepentingan masyarakat yang menyebabkan mereka merasa tidak mendapat kesempatan untuk turut menikmati dan memanfaatkan cendana yang tumbuh di sekitarnya. Termasuk tidak dapat menikmati hasil panen cendana yang tumbuh di ladang mereka sendiri. Hal ini mengakibatkan masyarakat tidak puas dan melakukan reaksi penentangan dan tidak setuju (kontra hegemoni) baik secara aktif (represif) maupun pasif (simbolik). Gagasan-gagasan teori interaksionisme simbolik menjadi kerangka acuan dalam membahas permasalahan bab V dan VII tentang bentuk-bentuk kontra
58 hegemoni masyarakat menyangkut reaksi dan perilaku masyarakat atas pemberlakuan peraturan pemerintah dalam penguasaan cendana serta dampak yang ditimbulkannya. Adanya reaksi masyarakat diawali dengan stimulus (rangsangan) dari pihak pemerintah, kemudian memunculkan response (tanggapan) atau reaksi di kalangan masyarakat. Response atau reaksi masyarakat muncul karena perbedaan pemahaman antara masyarakat dengan pemerintah yang diekspresikan dalam perilaku manifes maupun simbolik yang menyebabkan dampak positif maupun negatif terhadap cendana, masyarakat, maupun pemerintah.
2.4 Model Penelitian Model penelitian merupakan abstraksi kerangka berfikir serta sintesa antara teori dengan permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk gambar atau bagan. Model penelitian terkait hegemoni dan kontra hegemoni dalam penguasaan cendana didasari atas adanya kepemimpinan hegemoni dari pihak pemerintah yang memunculkan kontra hegemoni di kalangan masyarakat. Hegemoni dan kontra hegemoni diekspresikan dalam bentuk-bentuk hegemoni dan kontra hegemoni, faktor-faktor yang mendukung munculnya hegemoni dan kontra hegemoni, dampak hegemoni dan kontra hegemoni terhadap pemerintah, masyarakat, dan keberadaan cendana. Kerangka berfikir terkait hegemoni dan kontra hegemoni penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan digambarkan dengan bagan berikut;
59
Masyarakat
Pemerintah
Sudut Pandang Pemerintah dan Sudut Pandang Masyarakat
Budaya dan Tradisi lokal
Peraturan Pemerintah
Hegemoni dan Kontra Hegemoni Penguasaan Cendana
Bentuk-Bentuk Hegemoni dan Kontra Hegemoni
Faktor-Faktor Pendukung Hegemoni dan Kontra Hegemoni
Dampak Hegemoni dan Kontra Hegemoni
Simpulan dan Saran
Keterangan : Berhubungan langsung Menyebabkan, menghasilkan, memunculkan Berhubungan tidak langsung
1. Masyarakat merupakan individu-individu yang bermukim di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan dan berinteraksi langsung dengan alam sekitar. Mereka tinggal dan menetap dalam batas-batas wilayah tertentu dan saling mempengaruhi satu sama lain.
60 2. Pemerintah selaku lembaga negara dan penguasa daerah berwewenang meregulasi kehidupan masyarakat, termasuk mengatur penguasaan cendana. Dalam hal ini pemerintah berposisi sebagai pembuat aturan sedangkan masyarakat menjadi sasaran pelaksana aturan pemerintah. 3. Budaya dan tradisi lokal merupakan produk keseluruhan aktivitas dan ekspresi masyarakat terkait interaksi dengan lingkungan alam yang telah berlangsung secara turun-temurun. Menurut pemahaman budaya lokal, semua hasil dan potensi alam termasuk cendana dianggap tanaman anugerah yang dimanfaatkan untuk kesinambungan hidup manusia. 4. Peraturan pemerintah merupakan produk kekuasan dan wewenang pemerintah. Menurut pandangan pemerintah, ekploitasi (pengusahaan dan pendayagunaan) cendana oleh masyarakat ditengarai menyebabkan kemerosotan populasi. Maka, pemerintah merasa berkewajiban menetapkan peraturan guna melindungi kepunahan cendana serta memanfaatkannya untuk meningkatkan perekonomian pemerintah daerah. 5. Sudut pandang pemerintah dan sudut pandang masyarakat merupakan perbedaan ide antara pemerintah dengan masyarakat. Masyarakat menganggap cendana anugerah alam untuk kesejahteraan sedangkan pemerintah menganggap cendana adalah aset negara yang dimanfaatkan untuk kepentingan negara. 6. Hegemoni dan kontra hegemoni dalam penguasaan cendana disebabkan perbedaan ide, gagasan, dan pemahaman antara masyarakat dengan pemerintah.
61 Praktek-praktek hegemoni dilakukan oleh pemerintah, kemidian ditanggapi dengan praktek-praktek kontra hegemoni di kalangan masyarakat. 7. Bentuk-bentuk hegemoni dan kontra hegemoni. Baik pemerintah maupun masyarakat mengekspresikan hegemoni dan kontra hegemoni secara represif maupun simbolik. 8. Faktor-faktor yang mendukung adanya hegemoni dan kontra hegemoni dalam penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan disebabkan tiga faktor meliputi faktor genetikl cendana itu sendiri, faktor budaya, dan faktor sosial. 9.
Hegemoni dan kontra penguasaan cendana menyebabkan dampak positif maupun dampak negatif terhadap cendana, masyarakat, dan pemerintah.
10. Simpulan dan saran direkomendasikan untuk mencapai pemecahan masalah yang bersinergi antara cendana, pemerintah, maupun masyarakat.