BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian pustaka 2.1.1 Stres kerja 2.1.1.1 Pengertian stres kerja Pengertian stres kerja yang terjadi di lingkungan pekerjaan yaitu dalam proses interaksi antara seorang karyawan dengan aspek-aspek pekerjaannya. Definisi stres kerja menurut Ivancevich dan Matteson (2006:275) yaitu suatu tekanan yang muncul dan disebabkan oleh faktor-faktor yang ada di lingkungan kerja. Stres kerja merupakan penghayatan akan perasaan tertekan yang dirasakan individu dalam lingkungan kerja yang dipersepsi negatif. Handoko (2008:201) Stres adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan. Sebagai hasilnya pada diri karyawan berkembang berbagai macam gejala stres yang dapat menggangu kinerja mereka. Rivai (2004:516) “Stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan psikis dan fisik, yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seorang karyawan.”
14
15
Mangkunegara (2005:157) “Stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan.” Hasibuan (2007:204) “Stres kerja adalah kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang.” Robbins (2006:793) “Stres adalah kondisi dinamik yang di dalamnya individu menghadapi peluang, kendala dan tuntutan yang terkait dengan apa yang sangat diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti tetapi penting.”
John Clark (2002:4) “Stres kerja adalah respon psikologi, fisiologi dan tingkah laku seorang individu ketika mereka manerima ketidaksetaraan antara tuntutan dengan kemampuan mereka untuk memenuhi tuntutan tersebut yang apabila dibiarkan dalam jangka waktu tertentu dapat mempengaruhi kesehatan. (Prof. Stephen Palmer PhD, Occupational Health)”
2.1.1.2 Faktor penyebab stres kerja Hasibuan
(2007:204)
mengemukakan
bahwa
faktor-faktor
yang
menyebabkan stres diantaranya : 1. Beban kerja yang terlalu berlebihan. 2. Tekanan dan sikap pimpinan yang kurang adil dan wajar. 3. Waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai. 4. Konflik antar pribadi dengan pimpinan atau kelompok kerja. 5. Balas jasa yang terlalu rendah. 6. Masalah-masalah keluarga seperti anak, istri, mertua dan lain-lain.
dapat
16
Faktor-faktor stres yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam pembangkit stres tetapi dari beberapa pembangkit stres. Pembangkti stres dipekerjaan merupakan pembangkit stres yang besar perannya terhadap kurang berfungsinya atau jatuh sakitnya seorang tenaga kerja. Hani Handoko (2003:201) mengemukakan
kondisi-kondisi yang
cenderung dapat menyebabkan stres disebut stresor. Meskipun stres dapat diakibatkan oleh hanya satu stresor, biasanya karyawan mengalami stres karena kombinasi stresor. Ada 2 kategori penyebab stres, “on the job” (dalm pekerjaan) dan “off the job” (diluar pekerjaan). Diantara kondisi-kondisi kerja tersebut adalah sebagai berikut : 1. Beban kerja yang berlebihan 2. Tekanan dan desakan waktu 3. Kualitas supervisi yang jelek 4. Iklim politis yang tidak aman 5. Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai 6. Wewenang yang tidak cukup untuk melaksanakan tanggung jawab 7. Role ambiguity (kemenduaan peranan) 8. Frustasi 9. Konflik antar pribadi dan antar kelompok 10. Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan 11. Berbagai bentuk perubahan
17
Di lain pihak stres karyawan juga dapat disebabkan masalah-masalah yang terjadi di luar perusahaan. Penyebab-penyebab stres “off the job” diantaranya adalah : 1. Kekuatiran financial 2. Masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak 3. Masalah-masalah fisik 4. Masalah-masalah perkawinan 5. Perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal John Clark (2002:76-77) mengemukakan beberapa faktor intrinsik penyebab stres kerja diantaranya: •
Kebisingan. Sedikit orang yang mengeluh tentang tempat kerja nya yg terlalu sunyi. Faktanya kebisingan bisa menjadi faktor utama stres kerja.
•
Pencahayaan. Kebutuhan akan pencahayaan yang memadai dalam memenuhi tuga pekerjaa sangat jelas dibutuhkan. Jika sinar matahari tidak cukup menerangi, maka harus diberi tambahan bagaimanapun caranya. Namun bagaimanapun juga yang paling harus diperhatikan tergantung pada jenis tugas dan individunya.
•
Layar computer yang menyilaukan. Mereka yang bekerja dengan computer untuk waktu yang lama harus mengedepankan masalah ini, terutama sejak diketemukannya fakta bahwa layar yang menyilaukan bertanggung jawab akan sakit kepala dan masalah penglihatan
18
•
Suhu yang tidak nyaman. Tempat bekerja harus memelihara suhu minimum ruangan dengan tujuan untuk kenyamanan karyawan. Efisiensi dan kenyamanan karyawan dapat berkurang drastis karena suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, hasil riset terbaru mengindikasikan bahwa fluktuasi suhu ruang kerja berhubungan dengan peningkatan stress yang dialami karyawan.
Selain itu ada beberapa faktor lainnya yang berhubungan dengan lingkungan kerja yang dapat mendorong timbulnya stres kerja, diantaranya: •
Kurangnya privasi. Tempat bekerja yang berada di tempat dimana dapat dilihat oleh semua orang yang lewat dan berlalu-lalang secara konstan untuk menggunakan mesin photo copy atau printer menjadi tekanan tersendiri dan dapat meningkatkan stres.
•
Kebiasaan jangka waktu yang panjang. Mulai lebih cepat dan selesai paling lambat, bekerja di akhir pekan dan mengerjakan pekerjaan di rumah dapat menjadi kebiasaan yang meningkatkan stres.
•
Bekerja Shift. Salah satu faktor yang mempengaruhi stres kerja adalah jadwal shift kerja yang harus ditaati oleh karyawan. Sebuah riset yang secara konsisten menemukan bahwa mengubah jadwal shift dapat mengacaukan keadaan fisik dan psikologis yang sehat.
•
Isolasi. Stres dapat diakibatkan karena bekerja tanpa ada kontak dengan orang lain. Hal ini tidak hanya terjadi pada mereka yang bekerja di pabrik atau kantor tetapi juga terjadi pada mereka yang bekerja di lapangan, dimana mereka harus berada di jalan menelepon pelanggan atau klien
19
dalam kesehariannya. Karena itulah “home based work” (pekerjaan yang dilakukan dari rumah) sekarang sangat populer, meskipun ada resiko bagi mereka yang bekerja di rumah untuk mengalami perasaan terisolasi karena mereka terhubung dengan perusahaan hanya melalui post, telepon, fax, email, atau intranet perusahaan. •
Ventilasi yang buruk, polusi udara, dan asap rokok. Menyusun kebijakan yang berhubungan dengan ventilasi dan asap rokok sangat penting karena sangat berhubungan dengan kenyamanan kerja karyawan.
2.1.2 Manajemen stres kerja 2.1.2.1 Pengertian manajemen stres kerja John Clark (2002:123) mendefinisikan manajemen stres kerja sebagai sekumpulan keterampilan yang memungkinkan seseorang unuk mengantisipasi, menghindari ,mengatur dan pulih dari keausan yang diakibatkan oleh ancaman yang diterima dan defisiensi tindakan penanggulangan. Beberapa kemampuan kompetensi stres tidak hanya berfokus pada keausan tetapi juga pada penilaian akan ancaman stres dan pengembangan sumber daya penanggulangan stres. Pengertian lain yang diberikan adalah bahwa manajemen stres mencakup seluruh teknik yang bertujuan untuk memberikan seseorang mekanisme penanggulangan yang efektif dalam menghadapi stres. Sedangkan stres sendiri dijelaskan sebagai respon psikologis seseorang terhadap stimulus internal maupun eksternal yang memicu respon tertentu. Manajemen stres efektif ketika seseorang
20
menggunakan strategi untung menanggulangi atau mengubah situasi yang dapat menimbulkan stres. 2.1.2.2 Peran manajer dalam menanggulangi stres John Clark (2002:123) menjelaskan sejumlah cara yang dapat dilakukan seorang manajer untuk dapat menyadari akan keberadaan stres. Seorang manajer tidak dapat membaca pikiran orang lain atau diharapkan dapat menyadari akan setiap hal yang mempengaruhi bawahan mereka saat bekerja atau saat di rumah. Tetapi terdapat beberapa sinyal stres yang dapat dilihat oleh seorang manajer yang baik. Tunjukan ketertarikan pada karyawan. Bukan mencampuri kehidupan mereka, tetapi berusaha mengetahui apa yang dalam kehidupan mereka yang yang pada akhirnya dapat memberikan dampak jangka panjang ataupun jangka pendek. Terdapat bukti-bukti yang kuat bahwa beberapa hal yang terjadi dalam kehidupan seseorang sedikit banyak secara keseluruhan memberikan dampak merugikan pada keadaan mental dan fisik mereka. Contohnya, adakah anggota keluarga yang mengalami penyakit serius, ataukah ada perubahan substansial dalam status marital mereka seperti perceraian atau perpisahan, apakah mereka menikah barubaru ini, ataukah mereka baru saja pindah rumah dan menggadaikan rumah. Pada beberapa kasus ada kehadiran seorang anggota keluarga baru. Diperlukan usaha dalam menentukan skala tingkatan poin pada berbagai peristiwa signifikan dalam kehidupan mereka. Tentu saja hal ini harus dilihat secara objektif, seperti yang kita tahu berbagai hal berbeda terjadi pada orang-orang yang berbeda dalam cara yang
21
berbeda pula. Masalah serius bagi seseorang bisa jadi hanya masalah kecil bagi seseorang yang telah mengalami hal tersebur sebelumnya dan bertahan. Bisa saja bagi beberapa orang kehilangan pekerjaan bisa jadi merupakan pukulan besar dibandingkan dengan meninggalnya keluarga dekat. Hal ini bisa saja terlihat sedikit aneh, tapi kehilangan pekerjaan dapat berarti penyesuaian dalam perubahan yang signifikan pada pendapatan yang mempengaruhi gaya hidup seseorang. Meskipun begitu, ada sedikit keraguan mengenai beberapa peristiwa memiliki efek signifikan pada kesehatan kita. Seorang manajer dapat mengukur stres yang ada pada karyawan dengan mengajukan beberapa pertanyaan berikut: •
Pengaturan waktu yang buruk. Apakah seorang individu lebih tidak tepat waktu dibandingkan biasanya?
•
Penurunan kualitas kerja. Apakah terdapat penurunan yang jelas pada standard kerja seseorang? Bandingkanlah dari waktu ke waktu sebelum mengambil kesimpulan.
•
Kelebihan atau kekurangn beban kerja. Apakah seseorang memiliki terlalu banyak pekerjaan untk diselesaikan? Apakah mereka bekerja lebih lama dari biasanya? Apakah mereka menjadi orang yang datang pertama dan pulang paling akhir dari kantor? Apakah mereka membawa pekerjaan ke rumah atau bekerja di akhir pekan? Apakah seseorang memiliki lebih sedikit pekerjaan dari sebelumnya?
•
Perilaku agresif atau pasif. Apakah seseorang dengan kepribadian yang seimbanga menjadi pasif atau agresif? Seperti menerima pekerjaan
22
meskipun mereka masih memiliki pekerjaan untuk dilakukan, atau bereaksi secara agresif. •
Meningkatnya absensi karena sakit. Apakah seseorang mengalami sakit dalam waktu yang lebih lama
daripada biasanya bagi mereka? Bagi
manajer yang tidak memiliki kontak personal dengan karyawan mereka karena sebagian besar karyawan mereka tersebar dalam area yang luas, seperti beberapa karyawan bekerja di rumah, maka sangat disarankan mereka secara tetap menyediakan waktu untuk menghubungi dengan karyawan-karyawan departemen untuk melihat adakah indikasi yang harus diperhatikan, seperti individu yang mengalami sakit lebih dari biasanya. •
Libur. Apakah karyawan enggan mengambil libur atau sama sekali tidak mengambil hak mereka untuk libur?
•
Komunikasi.
Apakah
karyawan
yang
biasanya
komunikatif
menguhentikan atau mengurangi tingkat komunikasi mereka untuk sebab yang tidak jelas? John Clark (2002:128) juga memaparkan peran manajer dalam usaha mengatasi dan menanggulangi stres kerja agar dapat melakukan tindakan pencegahan, diantaranya: 1. Peran manajerial Peran seorang manajer dalam kaitannya sebagai seorang karyawan membutuhkan perhatian khusus dari perusahaan. Hasil riset menunjukan ada perbedaan esensial yang membedakan seorang manajer dengan orang-orang yang bukan manajer. Perbedaan prinsipal terdapat pada karakteristik dan kompleksitas
23
dari peran seorang manajer. Peran seorang manajer sebagai seorang karyawan adalah untuk dapat menanggulangi stres kerja yang dialaminya sendiri. Kebanyakan perusahaan gagal dalam mendefinisikan peran dan tugas manajer secara spesifik. Hal ini menyebabkan munculnya ketidakpastian dan kegelisahan mengenai beberapa hal , yaitu: •
Apa yang harus mereka lakukan
•
Batasan tanggung jawab
•
Hubungan komunikasi baik itu dari dalam maupun dari luar organisasi
•
Kemampuan yang mereka butuhkan untuk dapat memenuhi tuntutan sebagai seorang manajer secara efektif
Bahkan ketika tugas dan peran seorang manajer telah didefinisikan dengan baik, seorang manajer sangat disaranakn untuk secara teratur meninjau ulang apa sajakah yang meliputi pekerjaan mereka, seperti diantaranya: •
Apa yang sebenarnya mereka lakukan dalam hubungannya dengan apa yang seharusnya mereka lakukan
•
Pada tingkat manakah peran dan tugas mereka mengalami perubahan
•
Kebutuhan akan pelatihan yang lebih lanjut dalam pengembangan diri untuk membuat mereka memiliki kemampuan lebih baik untuk mengatur peran dan tugas yang ada dan akan muncul di masa yang akan datang secara efektif.
2. Peran manajemen Seorang manajer memiliki peran dalam mengelola stres karyawan selaku bagian dari manajemen perusahaan, yaitu:
24
•
Peran sebagai pemimpin kelompok. Bertanggung jawab dalam mengatur sekelompok orang
•
Peran sebagai pemecah masalah. Memecahkan masalah yang muncul di dalam kelompok serta memutuskan dan menjalankan program untuk dijalankan oleh kelompok
•
Peran sebagai penghubung. Bekomunikasi dengan kelompok dan individu-individu lain atas nama kelompok
•
Peran sebagai tempat berbagi informasi. Fungsi yang sangat vital dan terkadang diabaikan dan distribusi informasi diperoleh dari dalam kelompok sendiri.
•
Peran sebagai pengumpul informasi. Akuisisi informasi dari kelompok dan dari bagian-bagian lain organisasi.
•
Peran sebagai juru bicara. Menampilkan organisasi ke dunia luar.
•
Peran sebagi innovator. Mendorong dan mendukung akan adanya pengembangan ide-ide baru.
•
Peran sebagai delegator. Menentukan setiap tugas yang akan diambil oleh kelompok.
•
Peran sebagai pengendali masalah. Merespon dan menangani konflik dan masalah kedisiplinan baik itu di dalam ataupu di luar kelompok. Riset menunjukan konflik interpersonal memiliki presentasi yang paling tinggi sebanyak 33% dalam bertanggung jawab mengenai masalah dalam bekerja.
25
•
Peran sebagai negosiator. Berunding dengan individu baik yang berasal dari dalam kelompok ataupun luar kelompok.
•
Peran
sebagai
mendiskusikan
penimbang kinerja
kinerja.
individual
Bermusyawarah
dengan
untuk
karyawan-karyawan
bawahan dengan dasar yang teratur dan direncanakan. •
Peran
sebagai
pelatih.
Terlibat
dengan
perkembangan
dan
implementasi program pelatihan dari karyawan. 2.1.2.3 Pencegahan stres kerja John Clark (2002:169) mengemukakan bahwa cara paling efektif dalam menghadapi stres kerja adalah mengidentifikasi penyebab apa yang menjadi faktor utama stres dan menentukan tingkatan resiko bagi individu-individu dan perusahaan secara keseluruhan. Cara terbaik untuk mencapai hal ini adalah dengan melaksanakan risk asesmen yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: •
Apa yang menjadi sumber utama stres dan tingkatan stres yang dialami?
•
Bagaimana stres mempengaruhi kesehatan karyawan?
•
Bagaimana stres mempengaruhi kinerja di tempat kerja?
•
Seberapa banyak karyawan diinformasikan mengenai mengatur stres (managing stress)?
•
Dukungan seperti apa yang dibutuhkan oleh karyawan yang mengalami stres? Tindakan penanggulangan harus merangkum perbaikan dalam cara
mengatur karyawan dan juga memberikan masukan kepada karyawan mengenai
26
bagaimana mereka dapat mengatur tingkatan stres mereka sendiri. Di banyak perusahaan penilaian (assessment) resiko ini seringkali dilakukan oleh stres audit. Jika ingin stres audit berhasil dilakukan maka ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, diantaranya: •
Semua staff ikut ke dalam latihan yang dilakukan
•
Tim audit harus terbiasa dengan budaya organisasi perusahaan
•
Tim audit sebaiknya berasal dari agensi luar untuk menjamin kepercayaan dan kesetaraan bagi semua partisipan Hal lain yang dapat dilakukan perusahaan tanpa keterlibatan tim audit
diantaranya: •
Memonitor absensi
•
Memonitor keterlambatan, apakah normal ataukah perilaku yang tidak biasa?
•
Memonitor turnover karyawan
•
Terbuka terhadap segala masukan yang mungkin dapat diberikan karyawan mengenai bagaimana sesuatu bisa dikembangkan, karena mereka lah yang paling dipengaruhi oleh pekerjaan yang mereka lakukan National Safety Council (NSC) (StressManagement:27) manyebutkan
bahwa untuk mengatasi stres kerja secara efektif diperlukan sebuah strategi koping (penanggulangn). Stratgei koping yang paling tidak efektif adalah strategi penolakan. Strategi koping yang efektif dilakukan untuk mendapatkan resolusi damai. Seiring dengan meningkatnya jumlah dan intensitas stressor kita strategi
27
koping yang rutin seringkali gagal melakukan tugas nya secara efektif akibatnya secara fisik kita akan merasa lelah, lumpuh mental, dan secara emosi tersia-sia. Semua faktor tersebut mengakibatkan produktivitas kerja yang buruk. Terdapat 4 komponen yang harus dimiliki oleh strategi koping untuk dapat berhasil menjalankan tugasnya, yaitu: •
Peningkatan kesadaran akan masalah. Fokus objektif yang jelas dan perspektif yang utuh terhadap situasi yang tengah berlangsung.
•
Pengolahan informasi. Suatu perbedaan yang mengharuskan anda mengalihkan persepsi sehingga ancaman dapat diredam. Pengolahan informasi yangmeliputi pengumpulan informasi dan pengajian semua sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah.
•
Pengubahan perilaku. Tindakan yang dipilih secara sadar, dilakukan bersama sikap yang positif, dapat meringankan, meminimalkan, atau menghilangkan stressor
•
Resolusi damai. Suatu perasaan bahwa situasi telah teratasi. Teori lainnya yang mengemukakan mengenai pencegahan stres yang
diambil dari jurnal online tentang teori stres dari Terry Looker dan Olga Gregson yang dapat diakses melalui: http://cikicikicik.multiply.com/journal/item/82?&show_interstitial=1&u=%2Fjour nal%2Fitem (14Oktober2011)
28
Teori tersebut mengemukakan langkah-langkah pencegahan stres sebagai berikut: •
Mengubah ancaman menjadi tantangan Ketika situasi stres masih mungkin dikontrol, pendekatan terbaik untuk mengatasinya adalah menjadikan ancaman menjadi sebuah tantangan sehingga kita bisa lebih focus pada cara bagaimana kita mengontrolnya.
•
Membuat situasi yang mengancam menjadi tidak terlalu mengancam Ketika situasi stres sulit dikontrol pendekatan lain harus diambil karena hal yang sangat mungkin untuk mengontrol dan mengubah penilaian seseorang tentang sebuah situasi, melihat dengan cara berbeda untuk kemudian menyesuaikan perilakunya.
•
Mengubah tujuan utama Ketika berhadapan dengan situasi yang tidak bisa dikontrol adalah sesuatu yang masuk akal untuk mengubah tujuan yang lebih realistis dan praktis untuk dilakukan.
•
Melakukan aksi nyata Sekarang ini banyak cara bagi seseorang untuk meredakan stres baik medis maupun psikologis. Lakukanlah pengobatan dan pencegahan stres secara nyata, seperti penggunaan obat-obatan dengan resep dokter, diet, olahraga, dan relaksasi.
•
Menyiapkan diri sebelum stres terjadi Inoculation (menyiapkan diri sebelum stres terjadi) mempersiapkan seseorang untuk menghadapi pengalaman stres (baik secara fisik maupun emosi) dengan cara memberikan penjelasan dan informasi sebanyak dan
29
sedetail mungkin tentang kejadian sulit yang kemungkinan akan dihadapi. Elemen penting dari metode ini bukanlah terletak pada kejadiannya sendiri,
tetapi
kepada
bagaimana
menyiapkan
diri
bersangkutan agar mempunyai strategi yang lebih jernih
orang
yang
dan objektif
dalam menghadapi situasi stresnya. Kemampuan menghadapi stres orangorang yang sebelumnya mendapatkan informasi tentang stressor akan lebih baik daripada orang-orang yang tidak mendapatkannya. 2.1.2.4 Langkah penanggulangan stres kerja Menurut John Clark (2002:171) ada beberapa langkah yang dapat diambil perusahaan dan manajer perusahaan sendiri dalam usaha mengatasi stres kerja , yaitu: 1. Mengembangkan kebijakan mengenai stres Hal pertama untuk dilakukan adalah mengembangkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan stres kerja. Hal ini merupakan komponen terpenting dari keseluruhan pendekatan sebelum memutuskan tindakan apa yang akan diambil untuk menghadapi stres. Ketika kebijakan mengenai stres telah sempurna hal ini menggambarkan bahwa perusahaan menganggap masalah stres dengan sungguhsungguh dan siap mengambil tindakan untuk menghadapi masalah-masalah stres. Kebijakan atau sikap perusahaan harus menanamkan rancangan tindakan untuk mengidentifikasi apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam memerangi stres. Kebijakan tersebut haruslah dengan jelas menetapkan mengenai: •
Sebuah kesepakatan akan definisi stres.
30
•
Tanggung jawab perusahaan.
•
Tangung jawab karyawan.
•
Apa yang dapat disediakan oleh perusahaan dalam menghadapi stres kerja.
Untuk memstikan bahwa kebijakan yang dibuat berjalan dengan efektif, sangat
penting
untuk
melibatkan
sebanyak
mungkin
orang
dalam
mengembangkan kebijakan-kebijakan tersebut. 2. Primary level – berunding dengan karyawan Jalan alternatif untuk berunding dengan karyawan adalah
dengan
memiliki kepercayaan diri dan melakkukan diskusi tanpa direkam yang seringkali lebih efektif untuk mengetahui apa yang sebenarnya orang pikirkan mengenai stres kerja. Langkah selanjutnya adalah menentukan apa yang harus dilakuakan dengan hal tersebut. Selanjutnya adalah dengan melihat apa yang menyebabkan stres dan berfokus pada cara penyelesaianya. Pada primary level (tingkat dasar) ditekankan pada menghilangkan atau meminimalisasi penyebab stres sehingga karyawan akan tidak akan menerima terlalu banyak tekanan yang dapat menyebabkan stres. Tingkat dasar berfokus pada peningkatan lingkungan kerja sehingga karyawan dapat mengerjakan pekerjaan mereka dengan lebih efektif dan efisien dan tidak merugikan kesehatan fisik serta mental mereka. 3. Secondary level – menanggulangi stres kerja
31
Tingkat ini befokus dalam mengubah pandangan orang dan merespon sumber-sumber stres kerja. Tujuan nya di sini adalah untuk memungkinkan individu-individu mengenali gejala-gejala stres dan membantu mereka untuk mengambil tindakan dengan masalah –masalah yang berhubungan dengan stres kerja yang mereka temui. Tindakan yang dapat diambil untuk mengatasi gejala-gejala stres diantaranya: •
Menghindari beban kerja yang berlebihan dan menyita waktu
•
Memberanikan diri untuk mengambil rehat sejenak dan keluar dari tempat kerja
•
Meminimumkan lembur
•
Memastikan semua karyawan mengambil hak libur mereka
•
Menghindari karyawan nutuk bekerja di rumah baik itu di malam hari ataupun di akhir pekan
•
Memiliki kebijakan yang terbuka mengenai masalah yang terkait stres kerja.
4. Tertiary level – membantu kembali bekerja Tingkat ini berfokus dalam mengembalikan kesehatan dari individuindividu yang telah terpengaruh, terganggu dan tertekan karena stres di tempat kerja. Tujuan perusahaan adalah membantu individu-individu tersebut dalam menangani dan pulih dari masalah-masalah yang berkenaan dengan stres kerja.
32
Teori lainnya yang mengemukakan mengenai penanggulangan stres yang diambil dari jurnal online tentang teori stres dari Terry Looker dan Olga Gregson yang dapat diakses melalui: http://cikicikicik.multiply.com/journal/item/82?&show_interstitial=1&u=%2Fjour nal%2Fitem (14Oktober2011) jurnal tersebut mengemukakan teori penanggulangan stres sebagai berikut: •
Ringkasan penilaian diri Mengidentifikasi tanda dan gejala yang muncul dari aktivitas respon stres akan membantu memonitor reaksi anda terhadap tekanan dan tuntutan yang akan dihadapi. Tanda dan gejala ini akan menjadi indikator untuk mengatasi stres.
•
Mengembangkan kemampuan antisipasi masalah Di dalam bekerja kita mengukur apa yang akan terjadi selanjutnya dan beban serta tuntutan apa yang menyebabkan stres bagi anda, dari pengalaman kerja anda dapat melakukan antisipasi untuk mengatasi masalah anda. Selanjutnya anda harus menysusun rencana untuk mengatasi setiap masalah dengan mempertimbangkan akibat yang diterima dari tuntutan.
•
Mengubah tuntutan Mengubah tuntutan dapat dilakukan dengan mengurngu tuntutan atau meningkatkan tuntutan. Hal ini dilakukan berdasarkan pengalaman terdahulu yang menyebabkan anda stres.
33
Mengurangi tuntutan 1. Tetap waspada terhadap peristiwa dalam kehidupan 2. Belajar untuk berkata ”tidak” 3. Mengukur hidup anda 4. Membuat prioritas 5. Menjadi realistis apa yang anda capai 6. Menghindari perfeksionis 7. Mendelegasikan 8. Mencari bantuan ketika cobaan semakin kuat 9. Menemukan pekerjaan yang sesuai dengan pribadi anda 10. Belajar untuk bekerja efektif 11. Menghindari ketidakpastian Meningkatkan tuntutan 1. Melakukan hobi 2. Ikut kelas malam 3. Bergabung dengan organisasi sukarela 4. Menghargai pekerjaan anda 5. Melakukan relaksasi untuk meningkatkan sumber daya antisipasi 2.1.3
Prestasi kerja
2.1.3.1 Pengertian prestasi kerja Kelangsungan hidup suatu perusahaa sangat tergantung pada prestasi kerja karyawannya, karena karyawan merupakan unsur perusahaan terpenting yang harus mendapatkan perhatian. Pencapaian tujuan daripada organisasi akan sangat dipengaruhi oleh kualitas daripada karyawannya. Apabila karyawan yang ada dalam perusahaan banyak yang berkualotas sehingga suplai internal dapat terjamin tidak perlu lagi untuk merekrut karyawan
34
berasal dari luar yang akan mengakibatkan biaya kepegawaian yang semakin besar. Maka perusahaan harus mempunyai program-program yang diikuti dengan pendidikan dan pelatihan bagi karyawan agar karyawan mampu melaksanakan program-program perusahaan yang akan berpengaruh terhadap prestasi kerja karyawan. Prestasi kerja karyawan akan mempengaruhi kelangsungan hidup karyawan karena karyawan yang memiliki prestasi baik maka ia akan mendapatkan kompensasi dan jabatan yang lebih tinggi dalam perusahaan, begitu juga dengan sebaliknya. Ada beberapa pengertian mengenai prestasi kerja menurut para ahli, namun pada dasarnya beberapa pendapat tersebut mempunyai maksud yang sama. Menurut Mangkunegara (2001:67) “Prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.” Dari definisi di atas menjelaskan bahwa seorang karyawan dituntut untuk selalu meningkatkan kinerjanya agar dapat ikut membantu meningkatkan kinerja perusahaan dengan memperhatikan mutu kerja yang baik dan kuantitas yang diseusaikan dengan target yang harus dicapai. Menurut Hasibuan (2007:94) prestasi kerja adalah “suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan
tugas-tugas
yang
dibebankan
kepadanya
kecapakan,pengalaman dan kesungguhan serta waktu.”
didasarkan
atas
35
Dari definisi di atas menjelaskan bahwa prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang yang dapat dinilai perkembangannya melalui evaluasi yang sistematis oleh pihak-pihak yang berwenang melakukannya, seorang pegawai yang berprestasi baik akan membantu perusahaan untuk mencapai tujuannya 2.1.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi kerja Menurut Mangkunegara (2001:67) faktor yang mempengaruhi prestasi kerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). 1. Faktor Kemampuan Secara psikologi, kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill), artinya pegawai yang memiliki IQ di atas rata-rata (IQ 110-120) dengan pendidikan yang memadai dengan jabatan dan terampil dalam mengerjakan sehari-hari, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan. 2. Faktor Motivasi Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggrakan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja). Dari uraian diatas maka terlihat bahwa seseorang bekerja karena dirinya terdapat suatu kemampuan untuk bekerja dan adanya dorongan bekerja. Masalah kemampuan bersumber dari diri, sedangkan masalah dorongan untuk bekerja
36
dapat timbul dari hasil interaksi antara seseorang dengan lingkungan nya terutama lingkungan kerja. Ditinjau dari faktor-faktor yang berperan terhadap prestasi kerja menurut Flippo (2000:250) sebagai berikut: 1. Mutu kerja, meliput ketetapan, keterampilan dan ketelitian. 2. Kuantitas dari pekerjaan, meliputi keluaran tugas-tugas reguler. 3. Ketangguhan (Dependability), meliputi inisiatif, kehadiran dan tanggung jawab. 4. Sikap (Attitude). Meliputi kerja sama. Mutu kerja dapat diukur berdasarkan ketepatan waktu penyelesaian pekerjaan, tingkat keterampilan seseorang dalam menghasilkan pekerjaan dan tingkat keterampilan seseorang dalam menghasilkan pekerjaan dan tingkat ketelitian seseorang dalam menghasilkan pekerjaan yang baik. Kuantitas kerja dapat diukur melalui tingkat kualitas pekerjaan yang dapat diselesaikan seorang pegawai atau kecepatan seorang pegawai dalam menyelesaikan pekerjaan. Ketangguhan dapat diukur melalui tingkat tanggung jawab pegawai dalam melaksanakan pekerjaan yang diperintahkan oleh atasan, tingkat inisiatif pegawai dalam menghasilkan ide-ide baru yang bermanfaat bagi pekerjaannya dan tingkat kehadiran pegawai dalam bekerja. Sikap pegawai dapat diukur melalui tingkat kemampuan pegawai dalam menjalin hubungan yang harmonis dengan rekan sekerja dalam tim kerja.
37
Prestasi kerja sangat mempengaruhi karyawan, apabila tanpa prestasi kerja yang memuaskan maka sukar bagi seorang karyawan untuk diusulkan oleh pemimpinnya untuk dipromosikan dalam suatu jabatan yang lebih tinggi untuk masa yang akan datang. Oleh karena itu agar terbuka kemungkinan bagi seseorang untuk mewujudkan rencana karier dalam pekerjaannya. Prestasi kerja merupakan strandar yang telah ditentukan, akan tetapi sedapat mungkin dapat digunakan sebagai bukti bahwa karyawan telah berusaha maksimal mungkin sekaligus merupakan indikator bahwa karyawan yang bersangkutan memiliki potensi yang dapat dikembangkan dalam rangka mempersiapkan memikul tugas dan tanggung jawab yang lebih besar di masa yang akan datang. Prestasi kerja erat kaitannya dengan cara mengadakan penilaian terhadap seseorang sehingga perlu ditetapkan standar prestasi kerja guna dijadikan tolak ukur dalam mengadakan perbandingan antara apa yang telah dilakukan dengan yang diharapkan, kaitannya dengan pekerjaan atau jabatan yang telah dipercayakan seseorang. 2.1.3.3 Tujuan prestasi kerja Di dalam perusahaan untuk dapat ditingkatkannya efisiensi kerja maka perusahaan tersebut harus secara kontinue mempertahankan prestasi kerja karyawannya. Adapun tujuan dari prestasi kerja menurut Supriyanto (1998:8) yaitu:
38
1. Mengetahui keadaan keterampilan dan kemampuan setiap karyawan secara rutin. 2. Untuk digunakan sebagai dasar perencanaan bidang personalia, khususnya penyempurnaan kondisi kerja, peningkatan mutu dan hasil kerja. 3. Dapat digunakan sebagai dasar pengembangan dan pendayagunaan karyawan
secara
optimal
sehingga
dapat
diarahkan
jenjang
karirnya/perencanaan karir, kenaikan pangkat atau kenaikan jabatan. Berdasarkan uraian diatas bahwa prestasi kerja dapat mengetahui kelemahan dan kelebihan para karyawan, sehingga dapat memberikan pelatihan bagi karyawan-karyawan yang memiliki kelemahan agar menjadi lebih berpotensi. Dengan adanya prestasi kerja dapat mengetahui karyawan yang berpotensi agar diberi tanggung jawab yang lebih besar yang akan menaikan jabatan karyawan untuk masa yang akan datang sehingga tujuan dari pada karyawan pun akan dapat tercapai. Apabila telah menjadi karyawan yang berpotensi maka akan menaikan kompensasi yang seimbang antara pekerjaan yang telah ditugaskan kepadanya. Adapun peninjauan prestasi menuju kepada peninjauan potensi, yang harus menjawab dua (2) pertanyaan menurut Dessler (2004:223) yaitu: 1. Apakah potensi yang dipunyai oleh seorang individu yang dapat dikembangkan dari atas tingkat tanggung jawab yang sekarang?
39
2. Apa yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa dia telah memanfaatkan potensinya oleh perusahaan, manajernya dan dirinya sendiri? Akhirnya peninjauan dan potensi ini memberikan petunjuk dalam menaikan gaji. Beberapa karyawan keberatan dengan adanya hubungan yang langsung antara peninjauan prestasi kerja dengan upah, sebab menurut mereka faktor mengalahkan uang pertimbangan perbaikan prestasi yang sebenarnya lebih penting. 2.1.3.4 Penilaian prestasi kerja Pada umumnya yang berkecimpung dalam manajemen sumber daya manusia sependapat bahwa prestasi kerja para karyawan merupakan bagian penting dari seluruh proses kerja karyawan yang bersangkutan. Dengan penilaian prestasi kerja berarti kita melakukan pengukuran prestasi berarti kita melakukan pengukuran prestasi yang mampu dicapai karyawan pada suatu saat tertentu guna mengetahui kelebihan maupun kekurangan. Dengan demikian kita dapat menyusun langkah pengembangan yang perlu dilakukan guna meningkatkan prestasi kerja dimasa yang akan datang. Menurut Hasibuan (2007:87) menjelaskan bahwa penilaian prestasi kerja adalah kegiatan manajer untuk mengevaluasi perilaku prestasi kerja karyawan serta menetapkan kebijaksanaan selanjutnya. Pengertian lain mengenai penilaian prestasi kerja dikemukakan oleh Andrew F.Sikula (Hasibuan, 2007:87)
mengemukakan bahwa penilaian prestasi kerja
40
adalah evaluasi yang sistematis terhadap pekerjaan yang telah dilakukan oleh karyawan dan ditunjukan untuk pengembangan. 2.1.3.5 Kriteria prestasi kerja Seorang karyawan memiliki karakteristik prestasi kerja yang tinggi, menurut pendapat Mangkunegara (2001:68) yaitu: 1. Memiliki tanggung jawab prestasi tinggi 2. Berani mengambil resiko 3. Memiliki tujuan yang realities. 4. Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasikan tujuannya. 5. Memanfaatkan umpan balik (feedback) yang kongkrit dalam kegiatan kerja yang dilakukannya. Berdasarkan uraian diatas bahwa karyawan akan mampu mencapai prestasi kerja yang maksimal jika ia memiliki motif berprestasi tinggi. Motif berprestasi yang dimiliki karyawan harus ditumbuhkan dari dalam diri sendiri selain dari lingkungan kerja. Dalam menyelesaikan pekerjaannya seorang karyawan harus bertanggung jawab menyelesaikannya sesuai target pekerjaan yang telah diberikan perusahaan kepada karyawan. Selain itu karyawan harus berani mengambil resiko, agar karyawan tidak selalu tergantung pada perusahaan dalam hal menyelesaikan pekerjaannya. Karyawan harus memiliki tujuan yang jelas dalam melakukan pekarjaannya agar pekerjaan yang dihasilkan dapat memuaskan perusahaan.
41
Karyawan memiliki rencana yang menyeluruh dan berusaha untuk merealisasikan tujuannya sehingga dari perusahaan dapat tercapai dan perusahaan akan memperoleh keuntungan. Apabila telah melakukan pekerjaan dengan baik maka akan adanya umpan balik dari pekerjaan tersebut sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan oleh karyawan. Selain itu juga agar mendapatkan prestasi yang baik maka mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan oleh perusahaan, rencana yang telah diprogramkan perusahaan dapat tercapai. Hal ini karena motif berprestasi yang ditumbuhkan dari diri sendiri akan membentuk suatu kekuatan diri dan jika situasi lingkungan kerja turut menunjang maka pencapaian prestasi kerja akan lebih mudah. 2.1.4
Stres Kerja dan Prestasi Kerja
2.1.4.1 Hubungan Stres Kerja dan Prestasi Kerja Stres dapat membantu atau fungsional, tetapi dapat juga berperan salah atau merusak prestasi kerja. Secara sederhana hal ini berarti bahwa stres mempunyai potensi untuk mendorong atau mengganggu pelaksanaan kerja, tergantung seberapa besar tingkat stres. Gambar berikut menyajikan model stresprestasi kerja yang menunjukan hubungan antara stres dan prestasi kerja.
42
Prestasi kerja
Tinggi
Rendah
Rendah
Tinggi
STRES
Sumber : Hani Handoko (2008:202) Gambar 2.1 Hubungan Stres Kerja dengan Prestasi Kerja Bila tidak ada stres, maka tantangan-tantangan kerja juga tidak ada dan prestasi kerja cenderung rendah. Sejalan dengan meningkatnya stres prestasi kerja cenderung naik, karena stres membantu karyawan untuk mengerahkan segala sumber daya dalam memenuhi persyaratan atau kebutuhan pekerjaan. Adalah suatu rangsangan sehat untuk mendorong agar para karyaawan agar memberikan tanggapan terhadap tantangan-tantangan pekerjaan. Bila stres telah mencapai puncak, yang dicerminkan kemampuan pelaksanaan kerja harian karyawan, maka stres tambahan akan cenderung tidak menghasilkan perbaikan prestasi kerja. Handoko (2008:202) Mengemukakan bahwa bila akhirnya stres menjadi terlalu besar prestasi kerja akan mulai menurun karena stres menjadi pengganggu pelaksanaan
pekerjaan.
Karyawan
akan
kehilangan
kemampuan
untuk
mengendalikannya, menjadi tidak mampu untuk mengambil keputusan-keputusan
43
dan perilakunya menjadi tidak teratur. Akibat paling ekstrim adalah prestasi kerja menjadi nol karena karyawan menjadi sakit dan tidak kuat bekerja lagi, putus asa, keluar atau melarikan diri dari pekerjaan, dan mungkin diberhentikan. 2.1.5
Persepsi
2.1.5.1 Pengertian Persepsi Kotler (2000:138) menjelaskan persepsi sebagai proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Mangkunegara (dalam Arindita, 2002:243) berpendapat bahwa persepsi adalah suatu proses pemberian arti atau makna terhadap lingkungan. Dalam hal ini persepsi
mecakup
penafsiran
obyek,
penerimaan
stimulus
(Input),
pengorganisasian stimulus, dan penafsiran terhadap stimulus yang telah diorganisasikan dengan cara mempengaruhi perilaku dan pembentukan sikap. Robbins (2003:274) mendeskripsikan persepsi dalam kaitannya dengan lingkungan, yaitu sebagai proses di mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Leavitt (dalam Rosyadi, 2001:113) membedakan persepsi menjadi dua pandangan, yaitu pandangan secara sempit dan luas. Pandangan yang sempit mengartikan persepsi sebagai penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu. Sedangkan pandangan yang luas mengartikannya sebagai bagaimana seseorang
44
memandang atau mengartikan sesuatu. Sebagian besar dari individu menyadari bahwa dunia yang sebagaimana dilihat tidak selalu sama dengan kenyataan, jadi berbeda dengan pendekatan sempit, tidak hanya sekedar melihat sesuatu tapi lebih pada pengertiannya terhadap sesuatu tersebut. Persepsi berarti analisis mengenai cara mengintegrasikan penerapan kita terhadap hal-hal di sekeliling individu dengan kesan-kesan atau konsep yang sudah ada, dan selanjutnya mengenali benda tersebut. Untuk memahami hal ini, akan diberikan contoh sebagai berikut: individu baru pertama kali menjumpai buah yang sebelumnya tidak kita kenali, dan kemudian ada orang yang memberitahu kita bahwa buah itu namanya mangga. Individu kemudian mengamati serta menelaah bentuk, rasa, dan lain sebagainya, dari buah itu secara saksama. Lalu timbul konsep mengenai mangga dalam benak (memori) individu. Pada kesempatan lainnya, saat menjumpai buah yang sama, maka individu akan menggunakan kesan-kesan dan konsep yang telah kita miliki untuk mengenali bahwa yang kita lihat itu adalah mangga (Taniputera, 2005:143). Dari definisi persepsi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi merupakan suatu proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi dan pengalaman-pengalaman yang ada dan kemudian menafsirkannya untuk menciptakan keseluruhan gambaran yang berarti.
45
2.1.5.2 Proses Persepsi dan Sifat Persepsi Alport (dalam Mar’at, 2001:199) proses persepsi merupakan suatu proses kognitif yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, dan pengetahuan individu. Pengalaman dan proses belajar akan memberikan bentuk dan struktur bagi objek yang ditangkap panca indera, sedangkan pengetahuan dan cakrawala akan memberikan arti terhadap objek yang ditangkap individu, dan akhirnya komponen individu akan berperan dalam menentukan tersedianya jawaban yang berupa sikap dan tingkah laku individu terhadap objek yang ada. Walgito (dalam Hamka, 2002:202) menyatakan bahwa terjadinya persepsi merupakan suatu yang terjadi dalam tahap-tahap berikut: 1) Tahap pertama, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses kealaman atau proses fisik, merupakan proses ditangkapnya suatu stimulus oleh alat indera manusia. 2) Tahap kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan proses fisiologis, merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh reseptor (alat indera) melalui saraf-saraf sensoris. 3) Tahap ketiga, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses psikologik, merupakan proses timbulnya kesadaran individu tentang stimulus yang diterima reseptor. 4) Tahap ke empat, merupakan hasil yang diperoleh dari proses persepsi yaitu berupa tanggapan dan perilaku.
46
Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dikemukakan, bahwa proses persepsi melalui tiga tahap, yaitu: 1) Tahap penerimaan stimulus, baik stimulus fisik maupun stimulus sosial melalui alat indera manusia, yang dalam proses ini mencakup pula pengenalan dan pengumpulan informasi tentang stimulus yang ada. 2) Tahap
pengolahan
stimulus
sosial
melalui
proses
seleksi
serta
pengorganisasian informasi. 3) Tahap perubahan stimulus yang diterima individu dalam menanggapi lingkungan melalui proses kognisi yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, serta pengetahuan individu. Menurut Newcomb (dalam Arindita, 2003:134), ada beberapa sifat yang menyertai proses persepsi, yaitu: 1) Konstansi (menetap): Dimana individu mempersepsikan seseorang sebagai orang itu sendiri walaupun perilaku yang ditampilkan berbeda-beda. 2) Selektif: persepsi dipengaruhi oleh keadaan psikologis si perseptor. Dalam arti bahwa banyaknya informasi dalam waktu yang bersamaan dan keterbatasan kemampuan perseptor dalam mengelola dan menyerap informasi tersebut, sehingga hanya informasi tertentu saja yang diterima dan diserap. 3) Proses organisasi yang selektif: beberapa kumpulan informasi yang sama dapat disusun ke dalam pola-pola menurut cara yang berbeda-beda.
47
2.1.6
Penelitian Terdahulu Penggalian dari wacana penelitian terdahulu dilakukan sebagai upaya
memperjelas tentang variabel-variabel dalam penelitian ini, sekaligus untuk membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Umumnya kajian yang dilakukan
oleh
peneliti-peneliti
dari
kalangan
akademis
dan
telah
mempublikasikannya pada beberapa jurnal cetakan dan jurnal online (internet). Penelitian mengenai penilaian prestasi kerja dan kepuasan kerja yang dilakukan peneliti terdahulu antara lain: Ade Nina Hidayat (2008), Ilyas Fitriani (2008), Siti Nurhendar (2007), European Journal of Social Sciences (2009), dan Original Rticle of Medical and Health dari W.F Swee, Anza E, dan Noor Hasim (2007). Ade Nina Hidayat (2008) melakukan penelitian skripsi dengan judul Hubungan Manajemen Stres dengan Kinerja Karyawan pada PT Mutiara Qolbun Salim Bandung. Dalam penelitian tersebut variabel bebas yang diteliti adalah dua, yaitu manajemen stres dan kinerja karyawan dan penelitian tersebut lebih menekankan pada pembuktian bahwa penilaian manajemn stres dianggap bermasalah oleh responden. Hasil penelitian tersebut menghasilkan korelasi Rank Spearman (rs) dengan nilai sebesar 0,61(61%) dimana hubungan variable X dan Y berada pada kategori kuat. Illyas Fitriani (2008) melakukan penelitian dengan judul Peran Gaya Kepemimpinan dan Manajemen Stres pada Bagian SDM PT Pikiran Rakyat Bandung. Dari hasil penelitian diperoleh hasil perhitungan regresi Y=22,06+0,82x dengan koefisien determinasi 20,34%. Hal ini berarti menunjukan besar peran gaya kepemimpinan dan manajemen stres sebesar 20,34%.
48
Siti Nurhendar (2007) dalam skripsinya melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Stress Kerja dan Semangat Kerja terhadap Kinerja Karyawan bagian produksi (Study Kasus pada CV. Aneka Ilmu Semarang). Hasil penelitian menyatakan variabel X1 (manajemen stres) tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja dengan t hitung 1,968 dan probabilitas 0,053. Nilai R sebesar 0,586 menunjukan hubungan X dan Y kuat. European Journal of Social Sciences (2009) melakukan penelitian menyeluruh di Malaysia dengan judul Study of Job Stress and Job Satisfaction Among University Staff in Malaysia (Studi Mengenai Stres Kerja dan Kepuasan Kerja pada Staff Universitas di Malaysia). Penelitian yang dilakukan memberikan hasil korelasi antara stres kerja dengan kepuasan kerja sebesar 0,327 berada pada kategori rendah. W.F Swee, Anza E, dan Noor Hasim (2007) melakukan penelitian dengan judul Work Stress Prevelance Among the Management Staff in an International Tobaco Company in Malaysia yang bertujuan membandingkan stres kerja yang mungkin dapat dialami manajer dengan eksekutif perusahaan tersebut. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan taraf signifikansi 0,0,5 dengan hasil dimana tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara stres kerja yang dialami manajer dengan eksekutif perusahaan dengan hasil perhitungan stres yang dialami manajer sebesar 67,8& dan stres yang dialami eksekutif sebesar 68,2%. Berikut adalah tabel yang menunjukan penelitian terdahulu mengenai Stress Kerja dan Prestasi kerja.
49
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Mengenai Manajemen Stress dan Prestasi Kerja No
1
2
3
4
5
Peneliti Ade Nina Hidayat FPIPS, UPI Bandung Skripsi, 2008 Iliyas Fitriani FPIPS UPI Bandung Skripsi, 2008
Siti Nurhendar Universitas Diponegoro Skripsi, 2007
European Journal of Social Sciences Jurnal, 2009 W.F Swee, Anza.E, Noor Hasim Original Article Medical and Health, 2007
Judul penelitian Hubungan Manajemen Stres dengan Kinerja Karyawan pada PT Mutiara Qolbun Salim Bandung
Hasil penelitian Dari hasil korelasi Rank Spearman (rs) diperoleh nilai korelasi sebesar 0,61 (61%) dimana hubungan variable X dan Y berada pada kategori kuat. Peran Gaya Diperoleh Y=22,06+o,82x Kepemimpinan dan dengan koefisien determinasi Manajemen Stres pada 20,34% dimana berarti besar Bagian SDM PT Pikiran peran gaya kepemimpinan dan Rakyat Bandung manajemen stres sebesar 20,34% Pengaruh Stres Kerja Variable X1 (manajemen stres dan Semangat Kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap Kinerja terhadap kinerja dengan t hitung Karyawan bagian 1,968 dan probabilitas0,053. produksi (Study Kasus Nilai R sebesar 0,586 pada CV. Aneka Ilmu menunjukan hubungan X da nY Semarang) kuat Study of Job Stress and Hasil korelasi antara stres kerja Job Satisfaction Among dengan kepuasan kerja sebesar University Staff in 0,327 berada pada kategori Malaysia rendah Work Stress Prevelance Among the Management Staff in an International Tobaco Company in Malaysia
Perhitungan dengan menggunakan software SPSS 11.5 dengan taraf signifikansi 0,05 dengan hasil dimana tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara stres yang dialami manajer dengan eksekutif perusahaan dengan hasil perhitungn stres yang dialami manajer sebesar 67,8% dan stres yang dialami eksekutif sebesar 68,2%
50
2.2
Kerangka Pemikiran Dalam melakukakn aktivitas organisasi mausia bisa saja mengalami stress
kerja, hal ini dapat terjadi jika terdapat ketidakseimbangan antara tuntutan dengan kemampuan yang dimiliki. Stres kerja muncul ketika ada tuntutan pada diri seseorang yang menyalahi dan melampaui sumber daya penyesuaian dalam bekerja. Menurut John Clark (2002:123) dalam mencegah stres kerja pada karyawan dibutuhkan peran manajer dalam mengatur pekerjaan dan peran manajer dalam manajemen organisasi agar tidak berdampak stres pada karyawan. •
Peran manajer meliputi: 1. Pengaturan waktu 2. Penentuan beban kerja 3. Agresifitas 4. Absensi 5. Penentuan hari libur 6. Komunikasi 7. Tanggung jawab
•
Peran manajemen meliputi: 1. Kepemimpinan kelompok 2. Pemecah masalah 3. Penghunbung 4. Pembagi informasi 5. Pengendali masalah 6. Negosiator
51
Sedangkan dalam menanggulangi stres kerja menurut John Clark (2002:171) terdapat beberapa langkah, diantaranya: •
Kebijakan stres, meliputi: 1. Pemahaman mengenai stres kerja 2. Tanggung jawab perusahaan 3. Tanggung jawab karyawan 4. Penanganan stres yahg diberikan perusahaan
•
Primary level, meliputi diskusi dan peningkatan lingkungan kerja karyawn
•
Secondary level meliputi kemampuan mengenali stres kerja
•
Tertiary level meliputi pemulihan karyawan dari stres. Stress yang dialami manusia tidak dapat terlihat, tetapi akibat atau dampak
dari munculnya stress pada seseorang lah yang dapat dilihat sehingga orang tersebut dapat dikatakan sebagai orang yang mengalami stress kerja. Terlalu besarnya target pamasaran yang harus dikerjakan menyebabkan karyawan menjadi terburu-buru dan melakukan banyak kesalahan dalam bekerja, jam kerja yang bertambah membuat karyawan sering merasa lelah dan sulit tidur. Hal ini berakibat pada kurangnya gairah dan sulit berkonsentrasi, cepat marah dan mudah tersinggung, berkurangnya motivasi atas pekerjaan yang melampaui kemampuannya yang disertai pengurangan prestasi dari karyawan yang mengalami stress tersebut. Menurut Hasibuan (2007:87) prestasi kerja didefinisikan sebagai suatu hasil kerja yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Prestasi kerja dapat dikontrol dan diukur perkembangannya agar
52
senantiasa mampu diadaptasikan dengan kebutuhan perusahaan dalam mencapai tujuan strategisnya. Seperti yang dibahas dalam halaman sebelumnya ada empat faktor kriteria pokok dimana prestasi kerja dapat diukur menurut Flippo (2001:250),
yaitu
mutu
kerja,
kuantitas
dari
pekerjaan,
ketangguhan
(Dependability), dan sikap (Attitude).
Tabel 2.2 Kerangka Pemikiran
Manajemen stress kerja
Prestasi kerja
(X)
(Y)
1. Pencegahan stres
1. Mutu kerja 2. Kuantitas
2. Penanggulangan stres 3. Ketangguhan 4. Sikap Sumber:John Clark (2002:123-171)
sumber: Edwin B. Flippo
(2000:250)
2.3
Asumsi dan Hipotesis Berdasarkan teori-teori yang diajukan dalam penelitian ini, maka dapat
ditarik beberapa asumsi, diantaranya adalah manajemen stres kerja dapat memiliki hubungan yang kuat dengan prestasi kerja karyawan apa bila masing-masing personel dalam perusahaan secara keseluruhan mengetahui tugas-tugas serta kewenangan dari masing-masing personel. Selain itu manajemen stres kerja dapat memiliki hubungan yang kuat dengan prestasi kerja dengan asumsi bahwa
53
perusahaan telah memiliki aturan-aturan dan regulasi yang jelas mengenai beberapa hal berikut, diantaranya: 1. Pengaturan jam kerja yang baik dan tidak berubah-ubah, sesuai dengan kemampuan karyawan. 2. Perusahaan memiliki aturan mengenai target kerja yang jelas dan diketahui derta dimengerti oleh setiap personel di dalam perusahaan. 3. Terdapat prosedur yang jelas dan dimengerti oleh seluruh personel perusahaan. Dengan adanya asumsi-asumsi tersebut maka manajemen stres kerja dapat bekerja dengan efektif dan memiliki hubungan yang erat dengan prestasi kerja karyawan. Hipotesis diartikan sebagai jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian (Sugiyono, 2007:183). Berdasarkan kajian teoritis dan kerangka pemikiran di atas, maka dapat disusun hipotesis debagai berikut : “Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara manajemen stress kerja dengan prestasi kerja karyawan”.