BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Fraktur terbuka Fraktur terbuka adalah diskontinuitas struktur tulang yang mempunyai
hubungan dengan lingkungan luar melalui sebuah luka. Fraktur terbuka berhubungan dengan risiko infeksi yang tinggi akibat kontaminasi luka yang terjadi pada saat trauma. Oleh karena itu, selain penyembuhan dari fraktur dan mengembalikan fungsi ekstremitas, tujuan penanganan dari fraktur terbuka yang penting adalah adalah pencegahan infeksi (Gustilo, 1990). Kurang lebih 30% dari pasien dengan fraktur terbuka disertai dengan multiple-system injuries. Oleh karena itu, permasalahan yang mengancam nyawa harus diketahui dan ditangani sebelum penanganan operatif dari fraktur dimulai (Solomon, 2001).
2.1.1 Klasifikasi fraktur terbuka Menurut Gustilo, fraktur terbuka dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar berdasarkan mekanisme cedera, derajat kerusakan jaringan lunak, konfigurasi dari fraktur itu sendiri, dan derajat kontaminasi luka. Sehingga insiden infeksi luka, delayed-union dan non-union, amputasi, dan kecacatan fungsi ekstremitas sangat dipengaruhi oleh tipe fraktur. Pada fraktur terbuka tipe I, luka yang menghubungkan fraktur dengan lingkungan luar berukuran kurang dari 1 cm. Pada umumnya berupa luka tusuk
8
9
yang relatif bersih akibat tusukan fragmen tulang yang tajam melalui kulit. Kerusakan jaringan lunak pada tipe I ini ringan dan tidak ditemukan tanda-tanda crush injury. Konfigurasi frakturnya dapat berupa fraktur sederhana, transverse, atau short oblique dengan kominusi yang minimal (Gustillo, 1990). Pada fraktur terbuka tipe II, luka berukuran lebih dari 1 cm tanpa disertai dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, flap, maupun avulsi. Pada tipe ini juga ditemukan tanda-tanda crush injury ringan hingga sedang, dengan kontaminasi menengah. Konfigurasi frakturnya disertai dengan kominusi yang menengah (Gustillo, 1990). Fraktur terbuka tipe III ditandai dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi otot, kulit, dan struktur neurovaskuler. Konfigurasi fraktur pada tipe ini disertai dengan derajat kominusi yang berat. Fraktur terbuka pada tipe ini dapat dibagi menjadi tiga subtipe. Pada tipe IIIA, walaupun disertai dengan laserasi yang luas, pembentukan flap dan derajat kominusi fraktur yang berat, namun jaringan lunak masih dapat menutupi daerah faktur secara adekuat. Pada subtipe ini termasuk fraktur kominutif atau segmental akibat high energy trauma tanpa menghiraukan ukuran dari luka. Fraktur terbuka tipe IIIB berhubungan dengan cedera yang luas atau kehilangan jaringan lunak, disertai dengan periosteal stripping dan bone expose, kontaminasi yang masif, dan derajat kominusi yang berat. Setelah dilakukan debridement dan irigasi, segmen tulang masih terekspos dan membutuhkan flap untuk menutupinya. Pada tipe IIIC meliputi semua fraktur terbuka yang disertai dengan cedera vaskular yang harus diperbaiki, tanpa memperhatikan derajat cedera pada jaringan lunak (Gustillo, 1990).
10
2.1.2 Prinsip penanganan fraktur terbuka Pada fraktur terbuka terdapat hubungan antara daerah fraktur dengan lingkungan luar melalui luka, hal ini menyebabkan risiko untuk terjadi infeksi menjadi sangat tinggi. Dengan demikian penanganan fraktur terbuka tidak hanya bertujuan untuk memicu penyembuhan fraktur dan pengembalian fungsi, namun juga bertujuan untuk mencegah infeksi (Salter, 1999). Fraktur terbuka termasuk kasus gawat darurat oleh karena itu beberapa prinsip dalam penanganannya harus diperhatikan untuk mencapai tujuan penatalaksanaan fraktur terbuka. 1) Pembersihan luka. Kontaminan yang dapat berupa tanah, material pakaian, maupun material lainnya harus diirigasi dengan larutan saline dalam jumlah besar. Material yang masih menempel setelah irigasi harus diambil hingga bersih (Salter, 1999). 2) Debridement. Jaringan yang telah kehilangan suplai darahnya dapat menghambat proses penyembuhan luka dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya kuman. Oleh karena itu, jaringan yang sudah mati seperti kulit, lemak subkutan, fasia, otot, dan fragmen tulang yang kecil harus dieksisi (Salter, 1999). Disarankan untuk mengambil bahan hapusan untuk kultur kuman pada tahap ini. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam tahap ini antara lain: a. Eksisi tepi luka. Tapi luka dieksisi hingga tepi kulit yang sehat. b. Ekstensi luka. Pembersihan luka yang baik membutuhkan pemaparan yang adekuat. Perlu diberhatikan dalam membuat ekstensi luka agar
11
tidak mengganggu rencana pembuatan flap untuk penutupan luka lebih lanjut. c. Pembersihan luka. Semua benda asing harus disingkirkan dari luka. Larutan saline dalam jumlah besar digunakan untuk mengirigasi luka. Hindari memasukan cairan irigasi melalui sebuah lubang kecil karena dapat mendorong benda asing lebih dalam. d. Pembuangan jaringan mati. Jaringan otot yang sudah mati harus dapat dikenali, ciri-cirinya antara lain warna keunguan dengan konsistensi lembek, otot gagal berkontraksi saat diberikan stimulus, dan tidak berdarah saat dipotong. e. Saraf dan tendon. Secara umum otot dan tendon yang terpotong dibiarkan begitu saja tanpa dimanipulasi hingga luka benar-benar bersih dan tenaga yang ahli tersedia, maka saraf dan tendon tersebut dapat disambung kembali. 3) Penanganan fraktur. Pada fraktur terbuka tipe I dengan luka yang kecil, fraktur dapat direduksi secara tertutup setelah luka dibersihkan, debridement, dan dibiarkan terbuka. Namun bila luka yang terjadi cukup besar, biasanya dibutuhkan traksi skeletal atau reduksi terbuka dengan fiksasi skeletal. Secara umum, fiksasi internal dapat digunakan bila tidak menyebabkan trauma lebih lanjut dan meningkatkan risiko infeksi (Salter,1999). 4) Penutupan luka. Bahkan bila kasus fraktur terbuka mendapatkan penanganan dalam 6 sampai 7 jam pertama dan dengan kontaminasi minimal, immediate primary closure merupakan suatu kontraindikasi. Setelah 4 hingga 7 hari, bila
12
tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dapat dilakukan delayed primary closure.Penumpukan darah dan serum di dasar luka dapat dicegah dengan membuat drainase luka yang baik (Olson, 2006; Salter, 1999). 5) Antibiotika. Agar efektif dalam mencegah infeksi, antibiotika harus diberikan sebelum, selama, dan setelah penanganan luka. Untuk fraktur terbuka tipe 1 dan tipe 2 direkomendasikan menggunakan cephalosporin generasi pertama. Sedangkan pada fraktur terbuka tipe 3 dengan derajat kontaminasi yang lebih tinggi, ditambahkan dengan aminoglikosida. Pada fraktur terbuka dengan kontaminasi organik, ditambahkan penisilin atau metronidazole (Fletcher, 2007). Namun demikian penggunaan antibiotika tidak dapat menjamin sepenuhnya luka akan bebas dari infeksi. Antibiotik sistemik sulit mencapai jaringan luka yang telah kehilangan suplai darahnya, oleh karena itu telah dikembangkan berbagai macam metode untuk memberikan antibiotik secara topikal (Olson, 2006; Salter, 1999). 6) Pencegahan tetanus. Semua pasien dengan fraktur terbuka membutuhkan pencegahan terhadap komplikasi yang jarang ditemui namun mematikan yaitu tetanus. Bila pasien telah mendapatkan imunisasi tetanus toxoid, dapat diberikan booster toxoid. Bila tidak didapatkan riwayat imunisasi tetanus sebelumnya, atau informasi mengenai imunisasi tetanus tidak jelas, harus diberikan imunisasi pasif dengan menggunakan human immune globulin tetanus 250 unit (Olson, 2006; Solomon, 2001).
13
2.2
Infeksi pada fraktur terbuka Salah satu komplikasi yang berbahaya pada fraktur terbuka adalah infeksi.
Oleh karena itu, pencegahan infeksi merupakan salah satu tujuan utama dalam penanganan fraktur terbuka. Salah satu cara yang digunakan dalam pencegahan infeksi adalah penggunaaan antibiotika profilaksis baik secara sistemik maupun topikal. Dalam keadaan fisiologis, terdapat berbagai macam bakteria pada permukaan kulit. Biasanya mikroorganisme akan membentuk agregat mikroba dalam sebuah lapisan lendir dimana mikroorganisme tersebut menjadi resisten terhadap antagonisnya. Kolonisasi bakteri pada permukaan tidak selalu berhubungan dengan infeksi. Bakteria seperti Staphylococcus epidermidis, spesies Streptococcal, and kelompok Gram negatif secara fisiologis dapat ditemukan pada kulit, mukosa mulut, dan traktus gastrointestinal (Moholkar, 2006).
2.2.1 Patogenesis Bakteri yang tidak berkoloni atau berada dalam kelompok kecil, bersifat aktif secara metabolik dan rentan terhadap sistim imunitas inangnya maupun antibiotik yang sesuai. Kolonisasi bakteri baru akan terjadi bila bakteri tersebut menempel pada sebuah permukaan dan mengalami serangkaian proses yang kompleks dan teratur sehingga dapat bertahan terhadap sistim imunitas inangnya maupun faktor eksternal lainnya. Tulang yang rusak dapat berfungsi sebagai substrat yang baik untuk kolonisasi bakteri. Struktur tulang relatif aseluler dengan matriks organik yang
14
terdiri dari prolin, hidroksiprolin, glisin, dan alanin. Matriks organik tersebut dapat berfungsi sebagai ligand dalam proses adhesi dari bakteri terhadap permukaan tulang. Bakteri akan membentuk suatu lapisan glikoprotein pada permukaan non reaktif pada lingkungan biologis. Pada tahap awal kolonisasi, bakteri masih dapat dibunuh oleh inangnya. Namun terdapat beberapa kondisi dimana bakteri dapat bertahan yaitu, jumlah inokulum melebihi batasan sistim imunitas inang, rusaknya sistim imunitas inang, jaringan tempat bakteri berkoloni mengalami cedera maupun nekrosis, adanya benda asing, dan adanya permukaan yang aselular (tulang mati, tulang rawan, dan biomaterial). Bakteri sampai pada permukaan tulang atau permukaan biomaterial melalui berbagai macam cara seperti kontaminasi langsung, penyebaran kontinyu, atau secara hematogen. Proses mendekatnya bakteri terhadap permukaan jaringan akibat adanya gaya Van Der Waals. Keadaan ini memungkinkan bakteri untuk membentuk ikatan yang bersifat irreversibel terhadap permukaan tersebut (interaksi reseptor adhesin). Setelah melekat pada permukaan, bakteria mulai membentuk suatu lapisan lendir polisakarida dan akhirnya terbentuklah koloni bakteri yang diselubungi oleh lapisan biofilm. Pemahaman mengenai pembentukan lapisan biofilm oleh bakteri dapat menjelaskan sulitnya penyembuhan infeksi orthopaedi. Lapisan biofilm hanya akan terbentuk pada permukaan yang non reaktif atau non viabel. Antibiotik harus dapat menembus lapisan ini sebelum mencapai bakteri. Lapisan biofilm dapat digambarkan sebagai sekelompok bakteri yang dikelilingi olek matriks
15
ekstraselular glikokaliks. Permukaan yang bersifat non reaktif seperti jaringan nekrotik, implan, dan debris lainnya merupakan media yang baik bagi bakteri untuk membentuk koloni dan lapisan biofilm. Lapisan biofilm ini dibentuk oleh eksopolisakarida bakteri ekstrakapsular yang melekat pada permukaan dan memperkuat agregasi antar bakteri. Karena implan dan material yang digunakan dalam bidang orthopaedi dapat mengurangi respon kekebalan tubuh, koloni bakteri tersebut menjadi semakin resisten. Setelah terbentuk koloni, bakteri menjadi semakin resisten terhadap sistim pertahanan inangnya dan aktivitas antibiotik. Tubuh akan berusaha untuk mengendalikan kolonisasi bakteri dengan membatasi ruang gerak bakteri, sehingga terbentuklah involucrum atau abses. Sebuah sinus juga dapat ditemukan, sehingga terdapat saluran untuk mengeluarkan sisa jaringan dan bakteri. Pada akhirnya akan terbentuk sebuah keseimbangan dalam bentuk infeksi kronis. Biasanya ditemukan riwayat gejala yang intermiten dan drainase yang merespon terhadap antibiotik. Manifestasi klinis yang berbahaya dari infeksi umumnya disebabkan oleh karena masuknya bakteri ke dalam aliran darah, pelepasan toksin, dan pelepasan enzim oksidatif oleh sel inang. Meskipun bakteri tersebut cenderung rentan terhadap sistim pertahan tubuh dan antibiotik, namun jumlah bakteri dan masuknya bakteri secara kontinyu ke dalam aliran darah, atau adanya penurunan sistim pertahanan tubuh, memungkinkan manifestasi klinis terus berlangsung. Dengan demikian infeksi dapat terjadi, menyebar dan bertahan dalam lingkungan ini (Moholkar, 2006).
16
2.2.2 Mikroorganisme dalam fraktur terbuka Keberadaan bakteria pada luka terbuka tidak cukup untuk menimbulkan infeksi. Sekitar 60 hingga 70 % dari seluruh kasus fraktur terbuka terkontaminasi oleh bakteria, tetapi hanya sebagian kecil yang menimbulkan infeksi. Risiko terjadinya infeksi juga berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan lunak. Pada fraktur terbuka tipe 3B, dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, infeksi dapat terjadi hingga 40% kasus. Selain itu, infeksi juga dapat disebabkan oleh kuman rumah sakit seperti Staphylococcus aureus atau basil Gram-negatif (termasuk Pseudomonas aeruginosa). Bakteri lain yang harus diperhatikan pada cedera di lingkungan tertentu seperti Clostridium perfringens bila terdapat kontaminasi tanah, Pseudomonas dan Aeromonas hydrophilia pada cedera di air tawar, dan Vibrio dan Erysipelothrix pada cedera di air laut (Olson, 2006). Pada sebuah penelitian prospektif mengenai infeksi pada fraktur terbuka didapatkan 78,7 % dari seluruh kasus fraktur terbuka terkontaminasi oleh bakteri. Tingkat infeksi ini berkorelasi langsung dengan jenis fraktur menurut Gustillo, 24,5 % pada fraktur terbuka tipe I dan 86,8 % pada fraktur terbuka tipe 3C (Seekamp, 2000). Infeksi biasanya disebabkan oleh berbagai bakteri yang didominasi oleh Staphylococcus aureus (52,8 %), Escherichia coli dan Enterobacter (32,5 %), Streptococcus (26,0 %), Pseudomonas (17,1%) dan Proteus (1,6%) (Seekamp, 2000). Dalam penelitian lain dengan 60 sampel kasus fraktur terbuka didapatkan kultur hapusan luka awal positif pada 41 kasus. Mikroorganisme yang paling sering ditemukan adalah Staphylococcus aureus (Ojo, 2010).
17
2.3
Antibiotik Perkembangan obat-obat antibiotika berperan penting dalam kemajuan
teknologi pengobatan, baik dalam mengendalikan atau menyembuhkan infeksi maupun mencegah dan mengobati komplikasi infeksi dari modalitas terapi lainnya seperti kemoterapi pada pengobatan kanker dan pembedahan. Obat antibiotik seringkali digunakan sebelum patogen penyebab dari suatu penyakit diketahui. Penggunaan obat seperti ini dikenal sebagai terapi empiris dan didasarkan atas pengalaman klinis. Biasanya, gejala dan tanda dari infeksi telah berkurang pada saat hasil tes mikrobiologi selesai dan diagnosis mikrobiologis yang spesifik dapat ditegakkan. Pada saat organisme patogen teridentifikasi, terapi empiris dapat diganti dengan terapi definitif dengan spektrum antibiotik yang lebih sempit dengan durasi yang sesuai dengan uji klinis (Lampiris, 2009).
2.3.1 Kombinasi antibiotik Pada umumnya, infeksi harus diterapi dengan satu jenis antibiotik. Meskipun terdapat indikasi untuk mengkombinasi antibiotik, umumnya kombinasi tersebut digunakan secara berlebihan. Penggunaan kombinasi antibiotik yang berlebihan dapat meningkatkan toksisitas dan biaya. Tidak jarang, kombinasi antibiotik justru menurunkan efikasi obat akibat antagonisme obat yang dikombinasi (Lampiris, 2009). Oleh karena itu, kombinasi antibiotik harus didasarkan pada salah satu dari beberapa tujuan berikut ini. 1. Untuk memberikan terapi empiris berspektrum luas 2. Untuk mengobati infeksi polimikrobial
18
3. Untuk menurunkan munculnya strain resisten 4. Untuk menurunkan toksisitas yang berhubungan dengan dosis 5. Untuk meningkatkan kemampuan antibiotik dalam menghambat atau membunuh mikroorganisme
2.3.2 Golongan Aminoglikosida Yang termasuk dalam golongan aminoglikosida adalah streptomisin, neomisin, kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomisin, netilmisin, dan lainnya. Aminoglikosida aktif terhadap bakteri enterik gram negatif, terutama pada bakteremia dan sepsis. Aminoglikosida mempunyai
cincin heksose,
baik streptidin (pada
streptomisin) atau 2-deoksistreptamin (pada aminoglikosida lainnya), dimana berbagai gula amino terikat oleh ikatan glikosidik. Bersifat larut dalam air, stabil dalam bentuk larutan, dan lebih aktif dalam pH basa daripada asam (Chambers, 2009a). Aminoglikosida merupakan inhibitor irreversibel terhadap sintesis protein, namun mekanisme aktivitas bakterisidalnya masih belum diketahui secara mendetail. Obat ini akan mengalami difusi pasif melalui porin, kemudian mengalami transport aktif untuk masuk ke dalam sitoplasma melalui proses yang tergantung pada oksigen. Proses ini mendapatkan energi dari gradien elektrokimia transmembran dan transport dipasangkan dengan pompa proton. pH ekstraseluler yang rendah dan kondisi anaerob akan menurunkan transport dengan menurunkan gradien. Proses transport dapat diperkuat dengan antibiotik yang aktif terhadap
19
dinding sel seperti penisilin atau vancomisin. Didalam sel, aminoglikosida akan berikatan dengan ribosom subunit 30S tertentu. Sintesis protein dihambat dengan tiga mekanisme, (1) mengganggu kompleks inisiasi pembentukan peptida, (2) kesalahan baca dari mRNA, yang menyebabkan pemnggabungan asam amino yang salah pada rantai peptida yang telah terbentuk dan menghasilkan protein yang nonfungsional bahkan bersifat toksik, dan (3) pemecahan polisom menjadi monosom yang nonfungsional. Aktivitas tersebut terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan dan efeknya irreversibel terhadap sel (Chambers, 2009a). Neomisin bersifat aktif terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negatif serta beberapa jenis mikobakteri. Namun pseudomonas dan streptococcus bersifat resisten terhadap neomisin. Saat ini penggunaan neomisin hanya dibatasi pada penggunaan topical dan oral saja karena neomisin terlalu toksik bila digunakan secara parenteral. Larutan yang mengandung neomisin dalam konsentrasi 1 – 5 mg/mL digunakan untuk irigasi pada permukaan yang terinfeksi atau diinjeksikan ke dalam ruang sendi, ruang pleura, maupun abses di mana terdapat proses infeksi. Jumlah total obat yang diberikan dengan cara seperti tersebut diatas dibatasi hingga 15 mg/kgBB/hari karena pada dosis yang lebih tinggi, sejumlah obat yang diserap cukup banyak untuk menimbulkan efek toksis sistemik (Chambers, 2009a).
2.3.3 Golongan Polipeptida Kelompok ini terdiri dari polimiksin B, polimiksin E (kolistin), basitrasin dan gramisidin, yang bercirikan struktur polipeptida siklis dengan gugusan amino
20
bebas. Berlainan dengan antibiotika lainnya yang diperoleh dari jamur, obat-obat ini dihasilkan oleh sejenis bakteri. Basitrasin merupakan campuran peptida siklik yang dihasilkan oleh Bacillus subtilis strain Tracy pada tahun 1943. Antibiotika ini bersifat aktif terhadap mikroorganisme gram positif. Basitrasin menghambat pembentukan dinding sel dengan mengganggu proses defosforilasi pada siklus pembawa lipid yang memindahkan subunit peptidoglikan pada dinding sel yang sedang tumbuh. Basitrasin tidak memiliki resistensi silang dengan antibiotik lainnya (Chambers, 2009b). Kerjanya tidak tergantung dari keadaan membelah tidaknya kuman, maka dapat dikombinasi dengan antibiotika bakteriostatis, seperti kloramfenikol dan tetrasiklin. Penggunaan antibiotika ini sangat toksis bagi ginjal. Oleh karena hal inilah penggunaan parenteralnya pada infeksi Pseudomonas kini sudah ditinggalkan dengan adanya antibiotika lain yang lebih aman, seperti gentamisin dan sefalosporin. Resorpsinya dari usus praktis nihil, maka kini terutama digunakan secara topikal pada infeksi kulit, mata dan telinga, sering kali bersama antibiotika lain atau kortikosteroid (Chambers, 2009b). Salep basitrasin dengan konsentrasi 500 unit/gram digunakan untuk mengurangi flora bakteri pada permukaan lesi kulit, luka maupun pada membran mukosa. Larutan basitrasin dalam saline dengan konsentrasi 100 – 200 unit/mL dapat digunakan untuk irigasi luka, sendi, dan kavum pleura (Chambers, 2009b).
21
2.3.4 Penggunaan larutan antibiotik untuk irigasi Tidak semua jenis antibiotik dapat digunakan sebagai larutan untuk irigasi luka karena memiliki sifat farmakokinetik dan farmakodinamik serta mekanisme kerja yang berbeda-beda. Beberapa antibiotik bekerja dengan mengganggu beberapa aspek fisiologis, dan antibiotik ini hanya bekerja pada sel yang sedang aktif membelah diri. Antibiotik lainnya bekerja dengan cara langsung merusak membran sel. Sebelumnya penisilin, sefalosporin, dan aminoglikosida sering ditambahkan pada larutan untuk irigasi, namun saat ni antibiotik topikal yang sering ditambahkan pada larutan untuk irigasi adalah basitrasin, polimiksin, dan neomisin (Crowley, 2007). Efektifitas antibiotik topikal pertama kali diteliti secara in vitro pada media agar. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kombinasi basitrasin dan neomisin dapat membunuh koloni bakteri pada media agar darah (Benjamin, 1984). Pada penelitian lainnya yang dilakukan pada anjing, irigasi dengan menggunakan larutan basitrasin menurunkan proporsi kultur kuman positif secara signifikan dibandingkan dengan irigasi dengan menggunakan larutan saline (Rosenstein, 1989). Namun pada penelitian yang dilakukan pada tikus dengan luka yang telah dikontaminasi dengan Staphylococcus aureus atau Pseudomonas aeruginosa, irigasi dengan menggunakan larutan basitrasin tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan irigasi dengan menggunakan larutan saline (Conroy, 1999). Setidaknya ada tiga tiga hal yang perlu diperhatikan dalam hal penggunaan larutan antibiotik untuk irigasi luka. Yang pertama adalah keselamatan pasien.
22
Telah dilaporkan terjadinya reaksi anafilaksis setelah irigasi dengan menggunakan larutan basitrasin. Yang berikutnya adalah masalah biaya yang tinggi memberikan irigasi dengan larutan basitrasin dalam jumlah yang cukup. Dan yang terakhir adalah kemungkinan terjadinya resistensi bakteri (Anglen, 2001).
2.4
Antiseptik Antiseptik telah digunakan secara luas di rumah sakit maupun dalam
kehidupan sehari-hari. Berbagai jenis zat kimia telah digunakan selama beberapa ratus tahun sebagai antiseptik maupun desinfektan antara lain alkohol, fenol, iodin, dan klorin. Antiseptik adalah zat aktif yang dapat menghancurkan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada jaringan hidup. Sedangkan yang membedakannya dengan desinfektan adalah desinfektan digunakan pada benda mati (McDonnel, 1999). Dari berbagai jenis macam antiseptik yang ada, diantaranya adalah larutan povidon iodin.
2.4.1 Iodin dan Iodophor Iodin secara umum bersifat bakterisidal, fungisidal, tuberculosidal, virusidal, dan sporisidal. Larutan iodin dalam air maupun alkohol telah digunakan sejak kurang lebih 150 tahun yang lalu, dimana larutan tersebut mempunyai sifat iritatif dan pewarnaan yang berlebihan. Selain itu, larutan iodin dalam air juga bersifat sangat tidak stabil. Untuk mengatasi masalah tersebut, dikembangkan iodophor yang merupakan suatu agen pengikat iodin. Iodophor merupakan suatu kompleksiodin dan agen pelarut yang berperan sebagai reservior iodin bebas yang
23
bersifat aktif. Walaupun efek germisidal dari iodophor dapat dipertahankan, namun efek fungisidal dan sporisidalnya lebih rendah bila dibandingkan dengan iodin yang larut dalam air maupun dalam alkohol (McDonnel, 1999). Aktivitas antimikrobial dari iodin bersifat cepat, bahkan pada konsentrasi yang rendah, namun mekanisme yang pasti mengenai cara kerjanya masih belum diketahui. Iodin secara cepat masuk ke dalam mikroorganisme dan menyerang protein, nukleotida, dan asam lemak sehingga berakhir dengan kematian mikroorganisme tersebut. Aktivitas iodin terhadap virus lebih tidak diketahui, namun virus nonlipid dan parvovirus kurang sensitif dibandingkan virus yang diselubungi oleh lipid. Mirip dengan mekanismenya terhadap bakteria, iodin menyerang protein pada permukaan virus dan merusak membran asam lemak dengan bereaksi terhadap ikatan karbon yang tidak jenuh. (McDonnel, 1999)
2.4.2 Penggunaan antiseptik untuk irigasi Beberapa jenis penelitian telah dilakukan baik pada binatang maupun pada manusia untuk mengetahui efektifitas penggunaan antiseptik (Conroy, 1999; Anglen, 2001; Crowley, 2007; Owens, 2009). Salah satu antiseptik yang sering diteliti adalah penggunaan povidon iodin. Antiseptik bersifat aktif terhadap bakteri dengan spektrum yang luas, jamur, dan virus, oleh karenanya antiseptik digunakan untuk menghilangkan atau mengurangi patogen pada luka. Dengan mengurangi jumlah bakteri pada luka, diharapkan dapat membantu sistem pertahanan tubuh untuk mencegah terjadinya infeksi (Crowley, 2007).
24
Namun sifat dari antiseptik itu sendiri yang toksik terhadap leukosit, eritrosit, fibroblast, keratinosit, dan osteosit dapat menghambat proses penyembuhan luka (Anglen, 2001). Pada percobaan in vitro, povidon iodin, sodium hipoklorida dan hidrogen peroksida dengan konsentrasi yang tinggi dapat membunuh seluruh sel fibroblast manusia. Namun pada konsentrasi 1 banding 1000, povidon iodin tetap memiliki aktivitas bakterisidal tanpa menyebabkan kerusakan pada fibroblas (Lineaweaver, 1985). Pada percobaan dengan menggunakan kelinci, menunjukkan bahwa semua jenis antiseptik mempunyai efek negatif terhadap aliran darah mikrovaskuler dan integritas endotel (Brennan, 1985). Dalam penggunaannya sebagai larutan untuk irigasi, povidon iodin masih menunjukkan hasil yang bervariasi. Oleh karena itu bila dihubungan sifat toksisitasnya terhadap jaringan yang berisiko menghambat penyembuhan luka, irigasi luka dengan menggunakan larutan antiseptik tidak direkomendasikan (Anglen, 2001).