BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Organizational Citizenship Behavior (OCB)
2.1.1 Definisi OCB Huang et al. (2012) mengemukakan tiga kategori perilaku pekerja, yaitu: (a) berpartisipasi, terikat dan berada dalam suatu organisasi; (b) harus menyelesaikan suatu pekerjaan dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh organisasi; serta (c) melakukan aktivitas yang inovatif dan spontan melebihi persepsi perannya dalam organisasi. Kategori terakhirlah yang sering disebut sebagai organizational citizenship behavior (OCB) atau the extra-role behavior (Huang et al., 2012). Menurut Organ (1988), OCB didefinisikan sebagai perilaku individu yang bersifat bebas (discretionary), yang tidak secara langsung atau eksplisit mendapat penghargaan dari sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan mendorong keefektifan fungsi-fungsi organisasi. Manifestasi dalam sebuah organisasi dari jenis perilaku ini dikenal sebagai organizational citizenship behavior atau "sindrom prajurit yang baik" (Organ, 1990), yang diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti kesetiaan, kepatuhan organisasi, relawan dan kesediaan membantu orang lain (Podsakoff et al., 2000). OCB (Organizational Citizenship Behavior) mengacu pada konstruk dari extra-role
behavior
(ERB),
yang
didefinisikan
sebagai
perilaku
yang
menguntungkan organisasi dan atau berniat untuk menguntungkan organisasi yang langsung dan mengarah pada peran pengharapan (Robbins et al., 2013).
10
11
Menurut Podsakoff et al. (2000), OCB mempengaruhi keefektifan organisasi karena beberapa alasan: (a) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas rekan kerja; (b) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas manajerial; (c) OCB dapat membantu mengefisienkan penggunaan sumber daya organisasi untuk tujuan-tujuan produktif; (d) OCB dapat menurunkan tingkat kebutuhan akan penyediaan sumber
daya organisasi
secara
umum untuk tujuan-tujuan
pemeliharaan karyawan; (e) OCB dapat dijadikan sebagai dasar yang efektif untuk aktivitas-aktivitas koordinasi antar anggota-anggota tim dan antar kelompokkelompok kerja; (f) OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk mendapatkan dan mempertahankan sumber daya manusia yang handal; (g) OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja organisasi; (h) OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi secara lebih efektif terhadap perubahanperubahan lingkungannya. 2.1.2 Dimensi OCB Smith et al. (1983) membagi konsep OCB ke dalam dua dimensi, yaitu altruisme (perilaku yang ditargetkan khusus untuk membantu individu) dan kepatuhan umum (perilaku yang mencerminkan kepatuhan terhadap aturan umum, norma dan harapan). Organ (1988) mengidentifikasi OCB ke dalam lima dimensi yaitu, altruism, courtesy, civic virtue, conscientiousness dan sportsmanship, dan menjelaskan kelima dimensi tersebut sebagai berikut : 1) Altruism yaitu, perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan pada tugas-tugas yang berkaitan erat dengan operasi-operasi organisasional.
12
2) Civic
virtue
yaitu,
perilaku
yang
mengindikasikan
karyawan
ikut
bertanggungjawab, berpartisipasi dan memperhatikan kehidupan organisasi, diwujudkan dengan tindakan individu dalam memberikan saran yang membangun tentang bagaimana memperbaiki efektivitas kinerja tim, termasuk kehadiran secara aktif untuk berpartisipasi dalam kegiatan kegiatan yang diadakan organisasi. Perilaku Civic virtue ini menunjukkan partisipasi sukarela dan dukungan terhadap fungsi-fungsi organisasi baik secara professional maupun sosial alamiah. 3) Concientiousness yaitu, perilaku yang memenuhi atau melebihi syarat minimal peran yang dikehendaki oleh organisasi, diwujudkan dengan datang tepat atau di awal waktu, tidak menghabiskan waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak perlu, bekerja dengan ketelitian tinggi, dan sebagainya. 4) Courtesy yaitu, perilaku yang bertujuan untuk mencegah terjadinya masalah kerja dengan rekan sekerja atau dalam organisasi, diwujudkan dengan sikap karyawan yang mempertimbangkan nasehat atau pertimbangan dari karyawan lain maupun atasan sebelum bertindak atau mengambil keputusan serta pemberian informasi-informasi penting dalam rangka penyelesaian masalah. 5) Sportmanship yaitu, sikap/perilaku yang lebih memandang organisasi ke arah yang positif daripada ke negatif, diwujudkan dengan tidak mengeluh terhadap kondisi-kondisi sementara yang kurang ideal tanpa melakukan pengaduan yang dapat menjatuhkan organisasi di mata masyarakat.
13
Organ (1990) mengembangkan lima dimensi OCB dengan menambahkan dua dimensi lagi, yaitu peacekeeping dan cheerleading, sehingga dimensi dari OCB menjadi tujuh dimensi. Podsakoff dan MacKenzie (1997) menyatakan hasil yang senada dengan hasil studi Organ (1988), yang menganggap perilaku suka menolong, sportivitas dan civic virtue cukup signifikan dalam menjelaskan OCB. Hannam dan Jimmieson (2002), juga menyatakan bahwa OCB menjadi fungsi kepatuhan organisasi dan inisiatif individu bersama dengan tiga dimensi yang lainnya yaitu altruism , conscientiousness dan civic virtue. Penelitian-penelitian tentang OCB selanjutnya lebih banyak mengadopsi dimensi OCB yang dikembangkan oleh Organ (1988), diantaranya, Chiang dan Hsieh (2012), Dargahi (2012), Khan dan Rashid (2012), Hadjali dan Salimi (2012), Darsana (2013), Magdalena (2014), Pavalache-Ilie (2014). 2.1.3 Variabel Yang Mempengaruhi OCB Chahal dan Mehta (2011) mengungkapkan dalam hasil penelitiannya bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi OCB dari persepektif komprehensif adalah kejelasan peran (role clarity), kepemimpinan, komitmen organisasional, keadilan organisasional dan sifat-sifat individu (individual traits), yang akan sangat mempengaruhi kinerja organisasi. Hutahayan et al. (2013) dalam studinya pada karyawan industri manufaktur menyatakan bahwa beberapa faktor yang berpengaruh secara langsung pada OCB karyawan adalah adanya penghargaan (rewards) dan budaya organisasional dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh kepemimpinan transformasional melalui budaya organisasional.
14
Sesen dan Basim (2012) yang melakukan studi pada para guru di beberapa sekolah di Turki, menyatakan bahwa kepuasan kerja dan komitmen para guru pada institusinya sangat mempengaruhi peran ekstra (OCB) guru. 2.2
Budaya Organisasional
2.2.1 Definisi Budaya Organisasional Luthans (1998) mendefinisikan bahwa budaya organisasional merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi, sehingga setiap anggota akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku, agar diterima oleh lingkungannya. Schein (2009) mengemukakan teori bahwa budaya organisasi adalah nilai-nilai dan perilaku orang-orang yang dianggap sebagai alat mengarah ke keberhasilan pencapaian tujuan organisasi umum, yang dapat ditemukan dalam tiga tingkatan, yaitu a) tingkatan asumsi, yaitu, asumsi dasar dimana budaya diterima begitu saja sebagai reaksi yang bermula dari nilainilai yang didukung, b) nilai, dan c) artefak, dimana budaya bersifat kasat mata namun sering kali tidak dapat diartikan. Hofstede (1990) menyatakan bahwa budaya melibatkan nilai (values), di mana sistem nilai merupakan inti dari budaya, nilai-nilai akan meliputi konsep menyeluruh dari symbol, heroes, dan ritual. Model budaya Denison (1990) menghadirkan saling keterkaitan antara budaya organisasi, praktek-praktek manajemen, kinerja dan efektifitas, dan model ini mampu menjelaskan pentingnya hubungan praktik-praktik manajemen dengan asumsi dasar dan kepercayaan dalam menilai efektivitas budaya organisasi, yang memiliki dampak yang mendalam pada kinerja karyawan yang dapat
15
menyebabkan peningkatan dalam produktivitas dan meningkatkan kinerja organisasi (Shahzad et al., 2012). 2.2.2 Dimensi Budaya Organisasional Teori budaya organisasional dari Denison (1990) secara implisit menjelaskan ciri-ciri kinerja budaya organisasional, dimana kinerja manajemen praktis sebagai dasar dari praktek manajemen sumber daya manusia, mendukung pandangan terhadap manfaat yang diperoleh karyawan dan manajer dari pemahaman budaya organisasional sebagai faktor kontekstual. Yilmaz dan Ergun (2008) menyatakan bahwa inti model Denison (1990) itu adalah keyakinan yang mendasari dan asumsi yang mewakili tingkat terdalam dari budaya organisasional. Model budaya organisasional Denison didasarkan pada empat ciri-ciri budaya yakni, keterlibatan, konsistensi, adaptasi, dan misi yang telah ditunjukkan dalam literatur memiliki pengaruh terhadap kinerja organisasi (Denison, 1990; Denison and Mishra, 1995). Empat ciri budaya organisasi yang menjadi dimensi dalam kerangka Denison (1990) adalah sebagai berikut: 1) Involvement (keterlibatan) yaitu, kemampuan organisasi yang efektif memberdayakan orang-orang mereka, membangun organisasi mereka di sekitar tim, dan mengembangkan kemampuan manusia di semua tingkatan. Menurut Lawler dan McDermott (2003), dalam konsep keterlibatan ini, eksekutif, manajer, dan karyawan berkomitmen untuk pekerjaan mereka dan merasa bahwa mereka merupakan bagian dari organisasi.
16
2) Consistency (konsistensi). Organisasi juga cenderung efektif karena mereka memiliki budaya kuat yang sangat konsisten, terkoordinasi dengan baik, dan terintegrasi dengan baik. Konsistensi menciptakan budaya yang kuat yang didasarkan pada sistem keyakinan, nilai, dan simbol yang dibagi dan dipahami secara luas oleh anggota organisasi (Darsana, 2013). 3) Adaptability (kemampuan beradaptasi) merupakan kemampuan perusahaan untuk menerjemahkan permintaan lingkungan bisnis ke dalam tindakan. Denison dan Mishra (1995) selanjutnya menyebutkan ada tiga aspek adaptability yang berdampak pada efektivitas organisasi, yaitu:
(a)
kemampuan untuk mempersepsikan dan merespon lingkungan eksternal, (b) kemampuan untuk merespon pelanggan internal tanpa memperhatikan tingkatan, departemen, atau fungsi, dan (c) kapasitas untuk merestrukturisasi dan melakukan reinstitutionalize serangkaian perilaku dan proses yang mengijinkan organisasi untuk beradaptasi. 4) Mission (misi) yang merupakan arahan jangka panjang yang bermakna bagi organisasi. Organisasi yang sukses memiliki tujuan dan arah yang jelas mendefinisikan organisasi tujuan dan sasaran strategis dan mengekspresikan visi tentang bagaimana organisasi akan lihat di masa depan. Hofstede (2001) dalam Darsana (2013) mengembangkan dimensi budaya organisasi menjadi lima dimensi, yaitu: (a) Affectivity (kebutuhan penghargaan) versus affective neutrality (bertahan); (b) Self orientation vs collectivity orientation; (c) Universalism (menerapkan standar umum) versus particularism
17
(mengambil hubungan khusus untuk kasus atau kondisi tertentu); (d) Ascription (menghakimi mereka apa adanya) versus achievement (penerimaan hasil yang diperoleh sesuai dengan apa yang dikerjakan); (e) Specificity (membatasi hubungan dengan orang lain dalam suasana khusus) versus diffisiveness (tidak memprioritaskan adanya pembatasan dalam hubungan yang alami). 2.3 Kepuasan Kerja 2.3.1 Definisi Kepuasan Kerja Teori utama tentang kepuasan kerja yang sering diadopsi dalam studi-studi tentang kepuasan kerja adalah teori dua faktor dari Herzberg (Robbins et al., 2013). Herzberg et al., (1959) membagi kebutuhan karyawan menjadi dua yaitu, hygiene dan motivator, dimana faktor-faktor hygiene memuaskan karyawan dalam kondisi tertentu seperti pengawasan, hubungan interpersonal, kondisi kerja fisik, gaji, tunjangan, dan lain-lain, sedangkan yang menjadi faktor motivator seperti prestasi karyawan, tanggung jawab serta perkembangan hasil kerja. Kepuasan terhadap kebutuhan hygiene dapat mencegah ketidakpuasan dan kinerja yang buruk, sedangkan kepuasan terhadap faktor-faktor motivasi akan memberikan peningkatan produktivitas organisasi (Herzberg et al., 1959). Studi tentang kepuasan kerja ditemukan menjadi faktor penting untuk mengembangkan kemampuan kerja karyawan dan masih sangat dipengaruhi kualitas layanan (Babakus et al., 2003). Menurut Locke (1969), kepuasan kerja, yang merupakan salah satu hal yang paling banyak dipelajari dalam literatur dan studi-studi yang relevan, dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan emosi menyenangkan yang
18
dihasilkan dari penilaian pekerjaan seseorang sebagai pencapaian atau fasilitas prestasi terhadap nilai-nilai pekerjaan seseorang. Kepuasan kerja dibentuk oleh faktor kepuasan intrinsik dan ekstrinsik, dimana faktor intrinsik terkait dengan pemanfaatan kemampuan, aktivitas, prestasi, otoritas, kemerdekaan, nilai-nilai moral, tanggung jawab, keamanan, kreativitas, pelayanan sosial, status sosial anggota organisasi (Furnham et al., 2002). Faktor kepuasan kerja ekstrinsik adalah kemajuan, kebijakan perusahaan, kompensasi, pengakuan, hubungan pengawasan sumber daya manusia, dan pengawasan teknis (Herzberg et al., 1959). Levy dan Montmarquette (2004) menyatakan bahwa kepuasan kerja menggambarkan perasaan pekerja yang didasari atas pengalaman kerjanya. 2.3.2 Dimensi Kepuasan Kerja Robbins et al. (2013) menyatakan terdapat tiga dimensi dari kepuasan kerja, yaitu: 1) kepuasan kerja merupakan respons emosional terhadap situasi dan kondisi kerja; 2) kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai memenuhi atau melampaui harapan; 3) kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan. Herzberg et al. (1959) menyatakan bahwa pekerjaan karyawan memiliki faktor-faktor tertentu yang terkait dengan kepuasan atau ketidakpuasan kerja. Lima faktor yang memfasilitasi kepuasan kerja adalah prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, dan kemajuan; sedangkan lima faktor yang sebagai penentu ketidakpuasan pekerjaan adalah kebijakan dan administrasi, pengawasan, gaji, hubungan interpersonal, dan kondisi kerja (Herzberg et al., 1959). Faktor penentu kepuasan dikategorikan
19
sebagai faktor intrinsik dan faktor penentu ketidakpuasan kerja dikategorikan sebagai faktor ekstrinsik kepuasan kerja (Zeinabadi, 2010). Cano dan Castilo (2004) mengembangkan konsep teori dua faktor Herzberg dengan mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan kepuasan dan ketidakpuasan kerja, yaitu: (a) pengakuan (recognition), (b)
pencapaian
(achievement), (c) kesempatan berkembang (possibility of growth), (d) kemajuan (advancement), (e) gaji (salary), (f) hubungan antar pribadi (interpersonal relations), (g) pengawasan (supervision), (h) tanggung jawab (responsibility), (i) administrasi dan kebijakan (policy and administration), (j) kondisi kerja (working condition), (k) pekerjaan itu sendiri (work it self). Dimensi kepuasan kerja yang sering digunakan dan dikembangkan dalam berbagai studi kepuasan kerja adalah dimensi intrinsik dan ekstrinsik kepuasan kerja (Furnham et al., 2009). Dimensi intrinsik yang merupakan karakteristik dari faktor motivator (Herzberg et al., 1959), terdiri dari: (a) pencapaian (achievement), (b) kesempatan berkembang (development), (c) tanggung jawab (responsibility), (d) pengakuan (recognition), dan (e) pekerjaan itu sendiri (work it self). Dimensi ekstrinsik yang merupakan karakteristik dari faktor hygiene (Furnham et al., 2009; Herzberg et al., 1959), terdiri dari: (a) pengawasan (supervision), (b) kondisi kerja (working condition), (c) kebijakan perusahaan (company policy), (d) gaji (salary), dan (e) hubungan dengan rekan kerja (relations with co-worker). Azeem (2010) dan Robbins et. al. (2013) mengungkapkan lima komponen pengukur kepuasan kerja, yaitu:
20
1) Pembayaran (pay), yaitu sejumlah upah yang diterima dan dianggap pantas sesuai dengan beban kerja yang mereka dapatkan. Para karyawan juga akan membandingkan apakah dengan beban kerja yang sama, para karyawan tersebut mendapatkan gaji yang sama atau berbeda dengan karyawan yang lainnya. 2) Pekerjaan (job), yaitu pekerjaan yang dianggap menarik dan memberikan kesempatan untuk pembelajaran bagi karyawan serta kesempatan untuk menerima tanggung jawab atas pekerjaan. Karyawan akan merasa senang dan tertantang bila diberikan pekerjaan yang dapat membuat mereka mengerahkan semua kemampuannya. 3) Kesempatan promosi (promotion opportunities), yaitu adanya kesempatan bagi karyawan untuk maju dan berkembang dalam organisasi, misalnya: kesempatan untuk mendapatkan promosi, penghargaan, kenaikan pangkat serta pengembangan individu setiap karyawan. 4) Atasan (supervisor), yaitu kemampuan atasan untuk menunjukkan minat dan perhatian kepada karyawan, memberikan bantuan teknis, serta peran atasan dalam memperlakukan karyawan akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam pekerjaannya sehari-hari. 5) Rekan kerja (co-worker), yaitu sejauh mana rekan kerja pandai secara teknis, bersahabat, dan saling mendukung dalam lingkungan kerja. Peranan rekan kerja dalam interaksi yang terjalin diantara pegawai mempengaruhi tingkat kepuasan yang dirasakan pegawai.
21
2.4 Komitmen Organisasional 2.4.1 Definisi Komitmen Organisasional Komitmen organisasional umumnya didefinisikan sebagai ketertarikan karyawan serta hubungan seorang dengan organisasi (Huang et al., 2012). Karyawan yang berkomitmen untuk perusahaan mereka cenderung untuk mampu mengidentifikasi tujuan dan sasaran organisasi dan berkeinginan untuk tetap dalam organisasi mereka. Menurut Tolentino (2013), komitmen mengacu pada dedikasi seseorang kepada orang, pekerjaan atau organisasi yang tercermin dalam niat seseorang untuk bertekun dalam suatu tindakan.
Robbins et al. (2013)
mendefinisikan komitmen organisasional sebagai suatu keadaan di mana karyawan teridentifikasi dengan organisasi tertentu dan tujuannya, dan berkeinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Allen dan Meyer (1990) menyatakan dan percaya bahwa komitmen organisasi yang kuat menyebabkan karyawan untuk bekerja lebih keras untuk mencapai tujuan organisasi. Mowday et al. (1979) mendefinisikan komitmen secara umum sebagai kekuatan relatif dari individu dengan identifikasi dan keterlibatan dalam organisasi tertentu yang dapat ditandai dengan setidaknya tiga dimensi yang terkait, yaitu: adanya keyakinan yang kuat dan penerimaan tujuan serta nilai-nilai organisasi, kesediaan untuk mengerahkan cukup usaha atas nama organisasi dan keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Meyer dan Allen (1990; 1991) mengembangkan konsep komitmen organisasional dengan mengidentifikasi tiga dimensi penting dari komitmen karyawan, yaitu:
22
affective, continuance dan normative commitment. Berbagai studi tentang komitmen organisasional telah banyak dilakukan dengan mengadopsi konsep yang dikembangkan oleh Meyer dan Allen (1990, 1996; 1991; 2002), seperti misalnya studi yang dilakukan oleh Khan dan Rashid (2012), Huang et al. (2012), Acar (2012), Harwiki (2013), Tolentino (2013), ChĂȘnevert et al. (2013). 2.4.2 Dimensi Komitmen Organisasional Dimensi komitmen organisasional dikembangkan semakin luas sebagai pengembangan dari konsep komitmen organisasional Mowday et al. (1979), dengan mengadopsi dimensi yang diperkenalkan oleh Allen dan Meyer (1990) , yaitu: (1) Komitmen afektif (affective comitment) Komitmen afektif adalah keterikatan emosional, identifikasi serta keterlibatan seorang karyawan pada suatu organisasi. Komitmen afektif menggambarkan keinginan individu untuk tinggal dengan organisasi yang memberinya keterikatan emosional untuk terus bekerja bagi suatu organisasi karena ia memang
setuju
dengan
organisasi
itu
dan
memang
berkeinginan
melakukannya. (2) Komitmen berkelanjutan (continuance commitment) Komitmen berkelanjutan merupakan komitmen karyawan yang didasarkan pada pertimbangan apa yang harus dikorbankan bila meninggalkan organisasi atau kerugian yang akan diperoleh karyawan jika tidak melanjutkan pekerjaannya dalam organisasi.
23
(3) Komitmen normatif (normative commiment) Komitmen normatif merupakan komitmen karyawan terhadap organisasinya yang
mencerminkan
perasaan
seseorang
terhadap
kewajiban
untuk
mempertahankan keanggotaan organisasinya, karena karyawan percaya secara moral dan etis untuk tetap setia dan bertahan di dalam organisasi.