BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Pengertian ISPA Istilah ISPA mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernapasan dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Adapun saluran pernapasan adalah organ dimulai dari hidung sampai alveoli beserta organ adneksa seperti sinus-sinus, rongga telinga dan pleura. Istilah ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paruparu) dan organ adneksanya saluran pernapasan. Sedangkan infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes RI, 2002) Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyakit utama penyebab kematian bayi dan sering menempati urutan pertama angka kesakitan balita. Penanganan dini terhadap penyakit ISPA terbukti dapat menurunkan kematian. ISPA adalah penyakit saluran pernapasan akut dengan perhatian khusus pada radang paru (Pneumonia), dan bukan penyakit telinga dan tenggorokan. (Widoyono, 2008:155).
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Dan mempunyai gejala batuk, sesak napas, ronki, dan infiltrate pada foto rontgen. Terjadinya pneumonia pada anak sering kali bersamaan dengan 10
terjadinya proses infeksi akut pada bronchus. (Depkes RI, 2009:4) Menurut Suryana, Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan
dengan
proses
infeksi
akut
pada
bronkus
(biasa
disebut
bronchopneumonia). Gejala penyakit ini berupa nafas cepat dan nafas sesak, karena paru meradang secara mendadak. Batas nafas cepat adalah frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali permenit atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun. Pada anak dibawah usia 2 bulan, tidak dikenal diagnosis pneumonia. (2005:58) 2.1.2 Klasifikasi penyakit ISPA menurut Widoyono, (2008:155): 2.1.2.1 Bukan Pneumonia Mencakup kelompok pasien balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah kearah dalam. Contohnya adalah commond cold, faringitis, tonsillitis, dan otitis. 2.1.2.2 Pneumonia Didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran bernafas. Diagnosis gejala ini berdasarkan umur. Batas frekuensi napas cepat pada anak berusia 2
bulan sampai <1 tahun adalah 50 kali permenit dan untuk anak usia 1 sampai >5 tahun adalah 40 kali permenit.
2.1.2.3 Pneumonia berat Didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai sesak napas atau tarikan dinding dada bagian bawah kearah dalam (chest indrawing) pada anak berusia dua bulan sampai <5 tahun. Untuk anak berusia <2 bulan, diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah kearah dalam (severe chest indrawing). 2.1.3 Epidemiologi Penyakit ISPA 2.1.3.1 Distribusi dan Frekuensi Penyakit ISPA Epidemiologi penyakit ISPA yaitu mempelajari frekuensi, distribusi penyakit ISPA serta Faktor-faktor (determinan) yang mempengaruhinya. Dalam distribusi penyakit ISPA ada 3 ciri variabel yang dapat dilihat yaitu variabel orang (person), variabel tempat (place), dan variabel waktu (time). ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak-anak. Daya ahan tubuh anak sangat berbeda dengan orang dewasa karena sistem pertahanan tubuhnya belum kuat. Apabila di dalam satu rumah ada anggota keluarga terkena pilek, anak-anak akan lebih mudah tertular. Dengan kondisi anak yang masih lemah, proses penyebaran penyakit menjadi lebih cepat. ISPA merupakan penyebab utama kematian pada bayi dan balita di Indonesia. Menurut para ahli
hampir semua kematian ISPA pada bayi dan balita umumya disebabkan oleh ISPA bawah. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPA) mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah kecil, tetapi menyebabkan kecacatan seperti otitis media yang merupakan penyebab ketulian sehingga dapat mengganggu aktifitas belajar pada anak. Berdasarkan data SKRT 2001, menunjukkan bahwa proporsi ISPA sebagai penyebab kematian bayi < 1 tahun adalah 27,6% sedangkan proporsi ISPA sebagai penyebab kematian anak balita 22,68%. ISPA masih merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Dalam satu tahun rata-rata seorang anak di pedesaan dapat terserang ISPA tiga kali, sedangkan daerah perkotaan sampai enam kali. Dari pengamatan epidemiologi dapat diketahui bahwa angka kesakitan ISPA di kota cenderung lebih besar daripada di desa. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat kepadatan tempat tinggal dan pencemaran lingkungan di kota yang lebih tinggi daripada di desa. 2.1.3.2 Determinan Penyakit ISPA 1. Faktor Agent (Bibit Penyakit) Proses terjadinya penyakit disebabkan adanya interaksi antara agent atau faktor penyebab penyakit, manusia sebagai pejamu atau host dan faktor lingkungan yang mendukung (environment). Ketiga faktor tersebut dikenal sebagai trias penyebab penyakit. Berat ringannya penyakit yang dialami amat ditentukan oleh sifat- sifat dari mikroorganisme sebagai penyebab penyakit seperti : patogenitas, virulensi, antigenitas, dan infektivitas. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) seperti Faringitis dan Tonsilitis akut dapat disebabkan oleh
karena infeksi virus, bakteri ataupun jamur. Setengah dari infeksi ini disebabkan oleh virus yakni virus influenza, parainfluenza, adeno virus, respiratory sincytial virus dan rhino virus. 2. Faktor Host (Pejamu) 2.1 Umur Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih berat dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan anak balita umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara alamiah. Sedangkan orang dewasa sudah banyak terjadi kekebalan alamiah yang lebih optimal akibat pengalaman infeksi yang terjadi sebelumnya. Hasil survei kesehatan Rumah tangga (SKRT) menunjukkan prevalensi ISPA untuk bayi 42,4% dan anak umur 1-4 tahun 40,6% sedangkan Case Spesific Death Rate (CSDR) karena ISPA pada bayi 21% dan untuk anak 1-4 tahun 35%. 2.2 Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai negara termsuk Indonesia dan berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai faktor risiko yang meningkatkan insiden ISPA adalah anak dengan jenis kelamin laki-laki.
2.3 Status Gizi Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak adalah makanan dan penyakit infeksi yang mungkin diderita oleh anak. Anak yang mendapat makanan baik tetapi sering diserang penyakit infeksi dapat berpengaruh terhadap status gizinya. Begitu juga sebaliknya anak yang makanannya tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya pasti lemah dan akhirnya mempengaruhi status gizinya. Gizi kurang menghambat reaksi imunologis dan berhubungan dengan tingginya prevalensi dan beratnya penyakit infeksi. Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya penyakit infeksi. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Oleh karena itu, setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan gejala defisiensi yang ringan merupakan pertanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi. Hasil penelitian Calvin S di wilayah puskesmas Curug Kabupaten Tangerang (2004), dengan desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat menujukkan ada hubungan antara status gizi anak balita dengan penyakit ISPA diperoleh nilai p = 0,001 dan Ratio Prevalens 5,980 (CI 95%; 2,090-17,111). Artinya balita yang mempunyai status gizi tidak baik merupakan faktor resiko untuk terjadinya ISPA.
2.4 Berat Badan Lahir Rendah Semua bayi yang lahir dengan berat badan yang sama atau kurang dari 2500 gram disebut bayi berat badan lahir rendah (BBLR). BBLR dikelompokkan sebagai berikut. (Asrining,Siti,Heni,2003) a. Bayi berat lahir amat sangat rendah, yaitu bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 1000 gram. b. Bayi berat badan lahir sangat rendah adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 1500 gram. c. Bayi berat badan lahir cukup rendah adalah bayi yang lahir dengan berat badan 1501-2500 gram. Dahulu, bayi baru lahir yang berat badannya 2500 gram atau kurang disebut bayi premature. Ternyata morbiditas dan mortalitas neonatus tidak hanya bergantung pada berat badannya tetapi juga pada tingkat kematangan maturitas bayi tersebut. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa semua bayi baru lahir yang berat badannya kurang atau sama dengan 2500 gram disebut low birth weight infant (bayi berat badan lahir rendah, BBLR). Defenisi WHO tersebut dapat disimpulkan secara ringkas sebagai bayi berat badan lahir rendah adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang atau sama dengan 2500 gram. (Asrining,Siti,Heni,2003:30) Bayi premature dan berat badan lahir rendah mudah menderita sakit. Hal ini karena imunitas seluler dan humoral masih kurang. Bayi risiko tinggi lain juga mudah menderita sakit karena keterbatasan dan gangguan fungsi organ yang sudah ada pada mereka. (Asrining,Siti,Heni,2003:16)
2.5 Status ASI Eksklusif ASI adalah Air Susu Ibu yang mengandung zat kekebalam yang berguna bagi bayi. ASI yang pertama kali keluar banyak mengandung kolostrum, yang merupakan makanan paling baik untuk bayi. Banyaknya ASI yang dihasilkan ibu tergantung pada : a. Status gizi ibu b. Stress mental, dan c. Makan tambahan sewaktu hamil Zat-zat yang terkandung dalam ASI antara lain sebagai berikut. a. Laktobacilus Bifidus, yang berfungsi mengubah laktosa menjadi asam laktat dan asam asetat. Sehingga menjadikan saluran percernaan bersifat asam. Hal ini akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri E.Coli yang sering menyebabkan diare. b. Laktoferin, yaitu protein yang berikatan dengan zat besi. Bermanfaat untuk menghambat pertumbuhan kuman tertentu yaitu Stafilokokus dan E.Coli dan dapat menghambat pertumbuhan jamur canida. c. Antibodi. ASI yang pertama kali keluar disebut kolostrum yang mengandung immunoglobulin (zat kekebalan tubuh). d. Imunitas seluler. ASI mengandung sel-sel dimana sebagian sel tersebut berupa makrofag yang berfungsi membunuh mikroorganisme. ASI mempunyai keunggulan dari segi gizi, daya kekebalan tubuh, psikologi, dan ekonomi. Sedikitnya ada 10 keunggulan ASI yang dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Anti alergi. ASI tidak mengandung betalaktoglobulin yang dapat menyebabkan alergi. b. Imun, anti infeksi. ASI mengandung zat-zat kekbalan yang dapat mencegah berbagai penyakit berbahaya. Zat ini hanya terdapat pada ASI dan tidak ada pada susu buatan. c. Rasanya enak dan bergizi tinggi. ASI mengandung semua zat gizi dalam susunan dan jumlah yang cukup, untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi selama 3-4 bulan pertama, dalam bentuk yang mudah dicerna dan diserap. d. Segar, hangat dan bersih. ASI diminum bayi dalam keadaan segar, sehingga tidak ada zat makanan yang rusak dan bayi tidak mudah terserang penyakit infeksi seperti diare. ASI terjamin kebersihannya karena langsung disusukan kepada bayi. Tidak seperti susu buatan, ASI tidak mungkin terlalu panas atau terlalu dingin karena suhu ibu maupun bayinya sama. e. Utama untuk bayi. ASI tidak mungkin dapat ditiru oleh susu buatan untuk merk apapun karena ASI memang diciptakan khusus untuk bayi. Meskipun banyak kemajuan yang dicapai dalam ilmu gizi dan tegnologi, namun sampai kini susu buatan masih tidak dapat menyamai ASI f. Simple dan praktis. ASI langsung dapat diminumkan kepada bayi dan tidak perlu dibuat/dilarutkan dahulu seperti susu botol. ASI sangat praktis karena penyiapannya sederhana.
g. Upaya penuh kasih saying. Memberikan ASI berarti pula membina hubungan yang hangat dan penuh kasih saying antara ibu dan bayi. h. Irit, hemat. Ibu tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membeli susu buatan. Pemberian ASI akan sangat ekonomis karena tidak usah membeli. i. Mencegah kehamilan dan kanker payudara. Memberikan ASI berarti menjarangkan kelahiran dan mencegah kanker payudara. j. Upaya untuk mempercantik ibu. Memberikan ASI berarti mempercepat pengecilan kandungan ibu sesudah bersalin sehingga ibu cepat tampak langsing kembali. Kelangsingan tubuh dan penerapan fitrahnya sebagai ibu membuatnya tampak cantik alami lahir dan batin.(Ratna,2011:121123) Seperti sudah diterangkan terlebih dahulu ASI mengandung macammacam substansi anti infeksi yang melindungi bayi terhadap infeksi, terutama bilamana kebersihan lingkungannya tidak lengkap. Zat-zat anti infeksi dapat digolongkan dalam golongan spesifik dan non-spesifik. Responsi imunitas spesifik pada umumnya memerlukan kerja sama dengan zat non spesifik untuk menyingkirkan kuman atau anti virus dari tubuh. Faktor-faktor proteksi terdiri atas berbagai macam immunoglobulin, lisozim, laktoperoksidase, faktor pertumbuhan laktobasilus, substansi antistreptokokus, laktoferin, makrofag, dan lemak. Mengingat terdapatnya berbagai faktor resistensi disebut tadi, maka ASI dapat melindungi bayi dari berbagai infeksi hingga dapat menurunkan
angka sakit dan angka kematian, terutama dari golongan sosio-ekonomi rendah yang hidup dalam lindungan yang kurang bersih. (Solihin,2003:14-15). Berdasarkan hasil penelitian Agustama (2008) di Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang (2005) dengan desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat antara status ASI eksklusif dengan penyakit ISPA diperoleh nilai p=0,000, Ratio Prevalens 0,2 (di Kota Medan) sedangkan di Kabupaten deli Serdang RP=0,5. Artinya ASI Eksklusif bukan merupakan faktor resiko untuk terjadinya ISPA. 2.6 Status Imunisasi Imunisasi berasal dari kata “immune” artinya kebal. Imunisasi berarti mengebalkan, memberi kekebalan pasif (diberi antibodi) yang sudah jadi Hepatitis B Imunoglobulin pada bayi yang lahir dari ibu dengan hepatitis b. sedangkan vaksinasi berasal dari kata “vaccine” yaitu zat yang dapat merangsang timbulnya kekebalan aktif seperti BCG, Polio, DPT, Hepatitis B dan lain-lain. Berikut ini adalah macam-macam vaksin yang lazim digunakan, antara lain: a) Vaksin DPT (Difteria, Pertusis dan Tetanus) b) Vaksin DtaP (Difteria, Tetanus, dan Acelluler Pertusis) c) Vaksin MMR (Campak, Gondok dan Rubela) d) Vaksin Polio hidup oral (OPV) e) Vaksin Polio tidak aktif (IPV) f) Vaksin Hepatitis B g) Vaksin Hib
h) Vaksin Varicellazostrer (cacar air) i) Vaksin Cacar Praktek vaksinasi yang hampir selalu dilakukan pada bayi dan balita adalah Hepatitis B, BCG, Polio dan DPT. (Sunarti,2012:9-12) Begitu bayi lahir, oleh bidan atau tenaga medis bayi sudah akan mendapatkan buku yang akan mencatat perjalanan imunisasinya. Program imunisasi diharapkan dapat mengurangiu atau mencegah penyakit. Terutama penyakit infeksi yang sudah menunjukkan hasilnya, demikian menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Vaksinansi tidaklah melindungi 100%, tetapi memperkecil resiko tertular dan memperingan dampak bila terjadi infeksi. (Sunarti, 2012:43). Berdasarkan penelitian Munjiah di Kecamatan Inderalaya Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan (2002) dengan desain case control, berdasarkan analisis bivariat menunjukkan ada hubungan antara status imunisasi dengan penyakit ISPA diperoleh p = 0,047 dan OR 3,67 (CI 95%; 0,596-14,070) yang berarti bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi tidak lengkap kemungkinan untuk mendapatkan penyakit gangguan saluran pernafasan 3,67 kali dibandingkan dengan bayi dan balita dengan status imunisasi lengkap. 3. Faktor Lingkungan (Environment) 3.1. Kepadatan Hunian Berdasarkan KepMenkes RI No.829 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak
dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Di daerah perkotaan, kepadatan merupakan salah satu masalah yang dialami penduduk kota. Hal ini disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan mahalnya harga tanah di perkotaan. Salah satu kaitan kepadatan hunian dan kesehatan adalah karena rumah yang sempit dan banyak penghuninya, maka penghuni mudah terserang penyakit dan orang yang sakit dapat menularkan penyakit pada anggota keluarga lainnya. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya oksigen didalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti ISPA. Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan CO2 ruangan dan dampak peningkatan CO2 ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan. Hasil penelitian Calvin S di wilayah puskesmas Curug Kabupaten Tangerang (2004), dengan desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis
bivariat menujukkan ada hubungan antara kepadatan hunian ruang tidur anak balita dengan penyakit ISPA diperoleh nilai p = 0,004 dan Ratio Prevalens 4,930 (CI 95%; 1,682-14,451). Artinya balita yang tinggal dalam rumah dengan padat penghuni merupakan faktor resiko untuk terjadinya ISPA. 3.2. Penggunaan Anti Nyamuk Bakar Penggunaan anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk
dapat
menyebabkan
gangguan
saluran
pernafasan
karena
menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan. Hasil penelitian Calvin S di wilayah puskesmas Curug Kabupaten Tangerang (2004), dengan desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat menujukkan ada hubungan antara Pemakaian anti nyamuk bakar dengan penyakit ISPA pada anak balita diperoleh nilai p = 0,000 dan Ratio Prevalens 4,930 (CI 95%; 1,342-16,115). Artinya balita yang tinggal dalam rumah yang menggunakan obat nyamuk bakar merupakan faktor resiko untuk terjadinya ISPA. 3.3. Bahan Bakar Untuk Memasak Bahan bakar biomassa, termasuk kayu, limbah kayu dan gergajian, kotoran hewan, dan bahan tumbuhan yang mengandung rumput, daun-daunan, sisa tanaman, dan limbah pertanian. Bahan bakar biomassa memiliki kelebihan sebagai sumber energy yang dapat diperbaharui.
Hampir separuh dari populasi seluruh dunia terutama atau sepenuhnya tergantung pada bahan bakar biomassa untuk keperluan enerji setiap hari. Bahan bakar tersebut pada umumnya dibakar diapi terbuka atau ditungku tanah liat atau logam sederhana. Tungku tersebut sering diletakkan diatas lantai sehingga menambah risiko kecelakaan, khususnya kebakaran pada anak-anak, dan mengganggu hygiene makanan, sering tidak dilengkapi dengan cerobong. Didaerah dingin (termasuk didaerah pegunungan di Negara tropik), kombinasi pembakaran api secara terbuka atau tungku yang tidak efisien, tanpa cerobong asap, dan ventilasi yang jelek telah mengakibatkan polusi udara dalam rumah sehingga mengganggu kesehatan. Bayi dan anak-anak mungkin sangat terpapar oleh asap karena mereka berada bersama ibu-ibu mereka selama penyiapan api di tungku dan memasak. Pemaparan ini jika disertai malnutrisi dapat memperlambat pertumbuhan dan menimbulkan paru-paru yang lebih kecil serta prevalensi lebih tinggi bronchitis kronik. (Sri Widiati & Hari Kusnanto, 2001:226-228) Hampir separuh dari penduduk dunia menggunakan bahan bakar biomassa (kayu bakar, arang dll) untuk kebutuhan sehari-hari umumnya dibakar ditempat terbuka atau menggunakan tungku yang tidak layak. Setiap hari wanita dan anak-anak terpapar dari asap dapur mereka melebihi ambang batas yang diperkenankan. Beberapa studi dinegara berkembang dilaporkan bahwa ada hubungan antara keterpaparan polusi dalam rumah dengan Pneumonia, infeksi saluran pernafasan atas dan infeksi telinga tengah (WHO,2005) dalam Depkes RI,2009.
3.4. Keberadaan Perokok Perokok kebanyakan kurang memiliki pengetahuan tentang bahaya merokok. Mereka tidak menyadari bahwa merokok akan menurunkan kualitas hidup dan penampilan. Rokok mengandung sekitar 4000 bahan kimia yang merugikan organ tubuh. Semua organ tubuh dapat diserang zat berbahaya dan memberikan gangguan seperti kanker paru-paru, sesak nafas, batuk, bronchitis, dan gangguan pada otak.(Tresna, 2009:216). Merokok terus menerus mempercepat kehilangan fungsi paru terkait usia yang normal dan terjadinya hiper-reaktivitas jalan napas. (Jeremy, Jane, Richard, Charles, 2007:83). Menurut Archer (1990), resiko terjadinya PPOM bagi non perokok didaerah yang udaranya tercemar sebesar 15%. Juga didapatkan adanya peningkatan insiden penyakit saluran pernapasan pada perokok pasif didaerah yang udara
ambiennya
tercemar
oleh bahan
bakar
oksidan.(dalam
Mukono,2008:132). Polusi udara seperti asap rokok merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pneumonia. (Depkes RI, 2009. 3.5. Kondisi Fisik Rumah Faktor lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam menentukan terjadinya proses interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab dalam proses terjadinya penyakit. Secara garis besarnya lingkungan terdiri dari lingkungan fisik, biologis dan sosial.
Keadaan fisik sekitar manusia berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung maupun tidak terhadap lingkungan-lingkungan biologis dan lingkungan sosial manusia. Lingkungan fisik (termasuk unsur kimia) meliputi udara, kelembaban, air, dan pencemaran udara. Berkaitan dengan ISPA, adalah tergolong air borne diasease karena salah satu penularannya melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan, maka udara secara epidemiologi mempunyai peranan yang besar pada transmisi penyakit infeksi saluran pernapasan. a. Pengertian Rumah Sehat Rumah adalah tempat untuk berlindung dari pengaruh keadaan alam sekitarnya (misalnya ; hujan; matahari dan lain-lain) serta merupakan tempat untuk beristirahat setelah bertugas memenuhi kebutuhan seharihari. Definisi perumahan (housing) menurut WHO adalah : suatu struktur fisik di mana orang menggunakannya untuk tempat berlindung, di mana lingkungan dari struktur tersebut termasuk juga semua fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani, rohani dan keadaan sosial yang baik untuk keluarga dan individu. Menurut WHO rumah adalah suatu struktur fisik yang dipakai orang atau manusia untuk tempat berlindung, di mana lingkungan dari struktur tersebut termasuk juga fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosial yang baik untuk keluarga dan individu. Untuk mewujudkan rumah dengan fungsi di atas, rumah
tidak harus mewah/besar tetapi rumah yang sederhanapun dapat dibentuk menjadi rumah yang layak huni. Rumah disamping merupakan lingkungan fisik manusia sebagai tempat tinggal, juga dapat merupakan tempat yang menyebabkan penyakit, hal ini akan terjadi bila kriteria rumah sehat belum terpenuhi. Menurut angka statistik kematian dan kesakitan paling tinggi terjadi pada orang-orang yang menempati rumah yang tidak memenuhi syarat dan terletak pada tempat yang tidak sanitar. Bila kondisi lingkungan buruk, derajat kesehatan akan rendah demikian sebaliknya. Oleh karena itu kondisi lingkungan pemukiman harus mampu mendukung tingkat kesehatan penghuninya. Rumah yang sehat menurut Winslow dan APHA harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain : a. Memenuhi Kebutuhan physiologis a) Pencahayaan yang cukup, baik cahaya alam maupun buatan. Pencahayaan yang memenuhi syarat sebesar 60 – 120 lux. Luas jendela yang baik minimal 10 % - 20 % dari luas lantai. b) Perhawaan (ventilasi) yang cukup untuk proses pergantian udara dalam ruangan. Kualitas udara dalam rumah yang memenuhi syarat adalah bertemperatur ruangan sebesar 180 – 300 C dengan kelembaban udara sebesar 40 % - 70 %. Ukuran ventilasi yang memenuhi syarat yaitu 10 % luas lantai. Ventilasi alami adalah penggantian udara secara alami (tidak melibatkan peralatan mekanis, seperti mesin penyejuk udara
yang dikenal dengan air conditioner atau AC). Ventilasi alami menawarkan ventilasi yang sehat, nyaman, dan tanpa energi tambahan. Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan
O2
tetap
terjaga,
karena
kurangnya
ventilasi
menyebabkan kurangnya O2 yang berarti kadar CO2 menjadi racun Fungsi kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteribakteri, terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2007). c) Tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari dalam maupun dari luar rumah. d) Cukup tempat bermain bagi anak-anak dan untuk belajar. b. Memenuhi Kebutuhan phychologis a) Tiap anggota keluarga terjamin ketenangannya dan kebebasannya
(privacy). b) Memenuhi ruang tempat berkumpul keluarga. c) Lingkungan yang sesuai, homogen, tidak terdapat perbedaan tingkat
yang drastis di lingkungannya. d) Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan dengan umur dan
jenis kelaminnya. Ukuran tempat tidur anak yang berumur lebih kurang 5 tahun minimal 4.5 m2 dan yang lebih dari 5 tahun minimal 9 m2. Kepadatan hunian ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi jumlah penghuni (sleeping density), yaitu :
1) Baik, bila kepadatan lebih atau sama dengan 0,7 2) Cukup, bila kepadatan antara 0,5 - 0,7 3) Kurang, bila kepadatan kurang dari 0,5. e) Mempunyai WC dan kamar mandi f) Mempunyai halaman yang dapat ditanami pohon. g) Hewan atau ternak peliharaan kandangnya terpisah dari rumah.
c. Pencegahan Penularan Penyakit a) Tersedia air minum yang cukup dan memenuhi syarat kesehatan b) Tidak memberi kesempatan nyamuk, lalat, tikus dan binatang lain
bersarang di dalam dan di sekitar rumah. c) Pembuangan kotoran/tinja dan air limbah memenuhi syarat kesehatan. d) Pembuangan sampah pada tempatnya. e) Luas kamar tidur minimal 8.5 m2 perorang dan tinggi langit-langit
2.75 m. f) Tempat
masak,
menyimpan
makanan
hendaknya
bebas
dari
pencemaran atau gangguan binatang serangga atau debu. d. Pencegahan terjadinya Kecelakaan a) Cukup ventilasi untuk mengeluarkan gas atau racun dari dalam ruangan dan menggantinya dengan udara segar. b) Cukup cahaya dalam ruangan agar tidak terjadi kecelakaan. c) Jarak antara ujung atap dengan ujung atap tetangga minimal 3 m. d) Rumah dijauhkan dari pohon besar yang rapuh atau mudah runtuh. e) Jarak rumah dengan jalan harus mengikuti peraturan garis rooi.
f) Lantai rumah yang selalu basah (kamar mandi, kamar cuci) jangan sampai licin atau lumutan. g) Didepan pintu utama harus diberi lantai tambahan minimal 60 cm. h) Bangunan yang dekat api atau instalasi listrik harus terbuat dari bahan tahan api. i) Bahan-bahan beracun disimpan rapi, jangan sampai terjangkau anakanak. j) Rumah jauh dari lokasi industri yang mencemari lingkungan. k) Bebas banjir, angin ribut dan gangguan lainnya. 2.1.4 Gejala dan tanda 2.1.4.1 Gejala dari ISPA Ringan Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut : a) Batuk b) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara
(misalnya pada waktu berbicara atau menangis) c) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung d) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370C
2.1.4.2 Gejala dari ISPA Sedang Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut : a) Pernafasan cepat (fast breating) sesuai umur yaitu : untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih dan
kelompok umur 2 bulan - <5 tahun : frekuensi nafas 50 kali atau lebih untuk umur 2 – <12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan – <5 tahun. b) Suhu lebih dari 390C (diukur dengan termometer) c) Tenggorokan berwarna merah d) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak e) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga f) Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur) 2.1.4.3 Gejala dari ISPA Berat Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejalgejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut : a. Bibir atau kulit membiru b. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun c. Pernafasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah d. Sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas e. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba f. Tenggorokan berwarna merah 2.1.5 Pencegahan Lakukan tindakan berikut untuk mencegah munculnya penyakit ini. a. Berikan ASI kepada bayi/anak usia 0-2 tahun b. Jauhkan anak anda dari penderita batuk
c. Bersihkan lingkungan rumah. Usahakan ruangan memiliki udara bersih dan ventilasi cukup. d. Lakukan imunisasi atau vaksinasi lengkap e. Jauhkan bayi dari asap, debu atau asap dari tungku, asap dari obat nyamuk bakar, asap kenderaan bermotor, dan udara tercemar lainnya. 2.1.6 Program Penanggulangan ISPA Penanggulangan penyakit Pneumonia menjadi fokus kegiatan program P2ISPA (Pemberantasan Penyakit Infeksi Sakuran Pernafasan Akut). Program ini mengupayakan agar istilah Pneumonia lebih dikenal masyarakat, sehingga memudahkan
kegiatan
penyuluhan
dan
penyebaran
informasi
tentang
penanggulangan pneumonia. (Suryana, 2005 : 59). Sesuai dengan tantangan yang dihadapi saat ini, ruang lingkup program P2 ISPA meliputi : (Depkes RI 2009) a. Pengendalian Pneumonia Balita b. Kesiapsiagaan dan respon terhadap Pandemi Influenza penanggulangan episenter pandemic
influenza,
yaitu
penanggulangan
epidemic/wabah dan penanggulangan pandemic influenza. c. Pengembangan program P2 ISPA yaitu diarahkan pada pengendalian ISPA diatas umur 5 tahun, ISPA akibat polusi udara sesuai dengan perkembangan dan kemampuan program.
2.2 Kerangka Berfikir 2.2.1 Kerangka Teori Determinan Penyakit ISPA pada Balita
Faktor Agen (Bibit Penyakit)
Faktor Host (Pejamu)
1. Virus
1. Umur
2. Bakteri
2. Jenis Kelamin
3. Jamur
3. Status Gizi 4. BBLR
Faktor Lingkungan (Environtment)
1. Kepadatan Hunian 2. Penggunaan Anti Nyamuk Bakar 3. Bahan Bakar Untuk Memasak 4. Keberadaan Perokok
5. Status ASI Esklusif 6. Status Imunisasi
Faktor Risiko
ISPA PADA BALITA
Gambar 1. Kerangka Teori
5. Kondisi Fisik Rumah -
Luas Ventilasi
-
Jenis Lantai
-
Kondisi Dinding
2.2.2 Kerangka Konsep
Kepadatan Hunian
Kebiasaan Merokok dalam Status Imunisasi Faktor Risiko Penderita ISPA ASI Esklusive
Kondisi Fisik Rumah 1. Luas Ventilasi rumah 2. Kondisi Dinding rumah 3. Jenis Lantai Rumah
Gambar 2. Kerangka Konsep