BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi saluran Pernapasan Akut 2.1.1. Pengertian ISPA Istilah ISPA mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernapasan dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Adapun saluran pernapasan adalah organ dimulai dari hidung sampai alveoli beserta organ adneksa seperti sinus-sinus, rongga telinga dan pleura. Istilah ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksanya saluran pernapasan. Sedangkan infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes RI, 2002). Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk, disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah/kedalam (Depkes RI, 2002).
xxiii Universitas Sumatera Utara
2.2. Epidemiologi 2.2.1. Distribusi dan Frekwensi ISPA Penyakit ISPA adalah penyakit yang dapat menyerang semua kelompok usia dari bayi, anak-anak dan sampai orang tua. Menurut WHO 1981, bahwa satu dari tiga penyebab kematian anak dibawah lima tahun adalah ISPA dengan pneumonia sebesar 75% dari semua jumlah kematian. Data CBS-UNICEF juga mengungkapkan bahwa pneumonia menyebabkan 28% kematian anak di dunia (Zairil, 2000). Penelitian yang dilakukan di Klaten tahun 1996 menemukan bahwa sebagian besar kasus ISPA terjadi pada kelompok umur 7 – 12 bulan (65,23%) dan sebagian besar kasus terjadi pada bayi laki-laki (73, 45 %). (Dewi, 1996). ISPA merupakan pembunuh utama bayi dan balita di Indonesia. Sebagian besar kematian tersebut diakibatkan oleh ISPA pneumonia, namun masyarakat masih awam dengan gangguan ini. Penderita cepat meninggal akibat pneumonia berat dan sering tidak tertolong. Lambatnya pertolongan ini disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang gangguan ini (DepKes RI., 2000). 2.2.2. Determinan ISPA Terjadinya infeksi saluran pernapasan pada anak balita disamping adanya bibit penyakit, juga dipengaruhi oleh faktor anak itu sendiri, seperti anak yang belum mendapat imunisasi campak dan kontak dengan asap dapur, serta kondisi perumahan yang ditempatinya. Secara umum faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu :
xxiv Universitas Sumatera Utara
a. Bibit Penyakit (Agent) ISPA disebabkan oleh berbagai infectious agent yang terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri, ricketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus, Stafilococcus,
Pneumococcus,
Haemofilus,
Bordetella,
dan
Corynebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain, golongan Paramyksovirus termasuk didalamnya virus Influenza, Parainfluenza, dan virus campak, adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain. Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri. Di negara berkembang yang tersering sebagai penyebab pneumonia pada anak ialah Streptococcus pneumonia dan Haemofilus influenza. Sedangkan di negara maju, dewasa ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus. b.
Pejamu (Host) Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang terserang bibit penyakit,
terutama faktor yang ada pada dirinya sendiri seperti : 1. Umur Terjadinya ISPA terutama pneumonia pada bayi dan pada anak balita dipengaruhi oleh faktor usia anak. Bayi yang berumur kurang dari 2 bulan mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan anak umur 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI., 1996). Hasil analisis faktor resiko membuktikan bahwa umur merupakan salah satu faktor resiko penyebab terjadinya kematian pada balita yang sedang menderita
xxv Universitas Sumatera Utara
pneumonia. Semakin tua usia balita yang sedang menderita pneumonia, semakin kecil resiko meninggal akibat pneumonia dibandingkan balita yang berusia muda (Djaja S, 1999). Insidens ISPA paling tinggi terdapat pada bayi dibawah satu tahun dan insidens menurun dengan bertambahnya umur (Kartasamita, 2000). Hasil penelitian Sukar dkk (1996) didapatkan bahwa anak yang berumur 1-2 tahun lebih peka 5 kali terkena ISPA dibandingkan dengan umur 5 tahun. 2.
Jenis Kelamin Menurut buku pedoman program pemberantasan penyakit ISPA untuk
penanggulangan pneumonia pada balita (1996), anak jenis kelamin laki-laki mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena ISPA dibandingkan dengan anak perempuan (Depkes RI., 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil bahwa proporsi kasus ISPA-pneumonia menurut jenis kelamin tidak sama, yaitu laki-laki 59% dan perempuan 41%, terutama pada anak usia muda. Hasil Survei Demografi & Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997, menunjukkan adanya perbedaan prevalensi 2 minggu pada balita dengan batuk dan napas cepat (yang merupakan ciri khas pneumonia) antara anak laki-laki dengan anak perempuan, dimana prevalensi untuk anak laki-laki adalah 9,4% sedangkan perempuan 8,5% (Depkes RI., 1997).
xxvi Universitas Sumatera Utara
3. Status Gizi Keadaan gizi buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk ISPA menurut Martin yang dikutip oleh Djaja (1999), membuktikan adanya hubungan antara gizi buruk dengan infeksi paru sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa malnutrisi merupakan faktor resiko penting untuk ISPA. Anak yang menderita malnutrisi berat dan kronis lebih sering terkena ISPA dibandingkan anak dengan berat badan normal. Anak balita yang mengkonsumsi makanan yang tidak cukup baik dapat mengakibatkan daya tahan tubuhnya melemah yang akan mudah diserang penyakit infeksi. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil bahwa status gizi kurang pada anak balita mempunyai resiko untuk terkena ISPA 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang bergizi baik. Dalam penelitian ini proporsi anak yang bergizi kurang lebih banyak pada kasus (41,03%) dari pada pembanding (25,64%). 3.
Berat Badan Lahir Berat badan lahir ditetapkan sebagai suatu berat lahir kurang dari 2500 gram.
Bayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) akan meningkatkan resiko kesakitan dan kematian karena bayi rentan terhadap kondisi-kondisi infeksi saluran pernapasan bagian bawah. Ibu yang sedang hamil harus mendapatkan asupan makanan yang
xxvii Universitas Sumatera Utara
cukup dengan gizi seimbang, kekurangan asupan gizi pada saat hamil dapat menyebabkan bayi yang dilahirkan berat badannya rendah. Penyakit anemia defisiensi zat besi pada ibu yang tengah hamil juga dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah atau bayi lahir prematur (Sulistyowati (1999). Status gizi ibu pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Menurut Thomson (1959) yang diikutip Pudjiadi (2000) membuktikan bahwa berat badan lahir bayi naik dan insiden BBLR menurun bila kandungan energi diet ibu bertambah. Jika ibu hamil menderita anemia berat, resiko morbiditas maupun mortalitas bagi ibu dan bayinya meninggi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan prematur lebih besar (Pudjiadi, 2000). Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat lebih dari 2500 gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya. ISPA adalah penyebab terbesar kematian akibat infeksi pada bayi yang baru lahir dengan berat rendah, bila dibandingkan dengan bayi yang beratnya diatas 2500 gram (Tuminah, S., 1999). 4.
Status ASI dan Makanan Tambahan ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan pada bayi tanpa tambahan cairan
lain (seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih), dan tanpa makanan tambahan (seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim). Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu sampai 6 bulan.
xxviii Universitas Sumatera Utara
Setelah bayi berumur 6 bulan, bayi mulai diberikan makanan pendamping secara bertahap dan bervariasi, dari mulai bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek, dan akhirnya makanan padat. Menyusukan bayi harus selalu dianjurkan bila bayi dan ibunya ada dalam keadaan sehat dan tidak terdapat kelainan-kelainan yang tidak memungkinkan untuk menyusukan, jika memungkinkan ASI diberi sampai 2 tahun (Roesli, 2001). Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sepuluh tahun terakhir ini menunjukkan bahwa ASI kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus. Terutama selama minggu pertama (4 sampai 6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal yang mengandung zat kekebalan (imunoglobin, komplemen, lisozim, laktoferin, dan sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Penelitian di beberapa negara sedang berkembang menunjukkan bahwa ASI melindungi bayi terhadap infeksi saluran pernapasan berat. Angka kematian kasus secara berarti lebih tinggi pada anak yang telah disapih daripada anak yang masih diberi ASI (Tuminah, S., 1999). Menurut Roesli (2001) yang mengutip pendapat Cunningham dan Howwie (1990) bahwa kematian akibat penyakit saluran pernapasan 2 – 6 kali lebih banyak pada bayi yang diberi susu formula daripada bayi yang mendapat ASI. Penelitian Gani (2004), menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA 5,3 kali tidak mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA.
xxix Universitas Sumatera Utara
Bila ASI cukup bayi tidak perlu diberikan makanan tambahan dengan makanan lain sampai usia 4 bulan atau bahkan 6 bulan. Namun bila ternyata bayi menangis karena lapar, dapat diberikan makan tambahan sejak kira-kira umur 2 bulan. Sejak 2 bulan dapat diberikan buah-buahan (pisang) atau biskuit, sedangkan pemberian makanan lumat sampai lembek (bubur susu) pada usia 3-4 bulan sesuai keperluan bayi masing-masing. Bayi akan lapar dan menangis terus bila ASI kurang memuaskan. Untuk mengawasi pertumbuhan, bayi perlu ditimbang secara berkala. Pada bulan ke empat biasanya mulai pemberian makanan padat bayi yang pertama, yaitu makanan lumat misalnya; bubur susu yang dapat dibuat dari tepung, susu dan gula (Roesli, 2001). 5.
Status Imunisasi Imunisasi berarti memberi kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Setiap
anak harus mendapatkan imunisasi dasar terhadap 7 penyakit utama sebelum usia 1 tahun yaitu imunisasi BCG, DPT, polio, campak dan hepatitis B. (Roesli, 2001). Imunisasi adalah cara untuk menimbulkan kekebalan terhadap berbagai penyakit. Anak yang belum pernah diimunisasi campak lebih berisiko terhadap terjadinya kematian karena pneumonia, terutama pada balita yang sedang menderita pneumonia (Djaja, S., 1999) Imunisasi yang tidak memadai merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan insidens ISPA, sehingga faktor anak yang diimunisasi sangat menentukan dalam tingginya angka insidens ISPA (Depkes RI., 1996).
xxx Universitas Sumatera Utara
Menurut The World Health Report 2005, angka kematian balita di Indonesia sebesar 46 per 1000 kelahiran hidup, penyebab utama kematian pada anak balita adalah penyakit infeksi saluran napasan akut, diare, penyakit yang ditularkan binatang dan penyakit-penyakit yang bisa dicegah melalui vaksinasi . UNICEF menyebutkan bahwa 27 juta anak balita dan 40 juta ibu hamil di seluruh dunia masih belum mendapatkan layanan imunisasi rutin. Akibat penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin ini diperkirakan menyebabkan lebih dari dua juta kematian tiap tahun, termasuk 1,4 juta anak balita yang meninggal karena tidak divaksin. Di Indonesia 2.400 anak meninggal setiap hari termasuk yang meninggal karena sebab-sebab yang seharusnya dapat dicegah dengan vaksin. Misalnya tuberculosis, pertusis, difteri dan tetanus (Francais, 2007). Penelitian yang dilakukan Dewi dkk (1996), diketahui bahwa ketidakpatuhan imunisasi (imunisasi tidak lengkap) mempengaruhi berkembangnya ISPA pada anak balita. Jumlah anak pada penelitian ini yang imunisasi tidak lengkap pada kasus 10,25% dan kontrol 5,13%. 6.
Vitamin A Pada anak-anak yang kekurangan vitamin A sering ditemukan berbagai
macam infeksi, namun asosiasi langsung antara kekurangan vitamin A dan infeksi tidak begitu jelas (Pudjiadi, 2000). Vitamin A mulai menarik perhatian para ilmuwan setelah beberapa laporan penelitian oleh Somar dkk mengenai pentingnya vitamin A. Sejak itu beberapa
xxxi Universitas Sumatera Utara
penelitian dilakukan untuk mengetahui efek suplementasi vitamin A terhadap morbiditas, mortalitas dan lamanya ISPA, akan tetapi hasilnya masih saling bertentangan (Zairil, 2000). Sampai saat ini satu hal mengenai suplementasi vitamin A yang diterima secara luas yang juga direkomendasikan oleh WHO adalah untuk memberikan vitamin A pada penderita campak, didaerah dimana angka kematian akibat penyakit campak (CFR) lebih dari 1%. Hasil penelitian prospektif yang pernah dilakukan menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna pada insiden dan derajat ISPA diantara anak yang mendapat vitamin A, juga tidak didapatkan perbedaan ISPA sebelum dan setelah pemberian vitamin A, hanya didapatkan lama ISPA agak lebih panjang pada anak yang tidak mendapat vitamin A (Kartasasmita, 2000). c. Lingkungan (environment) Faktor lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam menentukan terjadinya proses interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab dalam proses terjadinya penyakit. Secara garis besarnya lingkungan terdiri dari lingkungan fisik, biologis dan sosial. Keadaan fisik sekitar manusia berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung maupun tidak terhadap lingkungan-lingkungan biologis dan lingkungan sosial manusia. Lingkungan fisik (termasuk unsur kimia) meliputi udara, kelembaban, air, dan pencemaran udara. Berkaitan dengan ISPA, adalah tergolong air borne
xxxii Universitas Sumatera Utara
diasease karena salah satu penularannya melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan, maka udara secara epidemiologi mempunyai peranan yang besar pada transmisi penyakit infeksi saluran pernapasan. Salah satu gangguan yang mungkin disebabkan oleh pencemaran udara dalam ruangan (indoor) adalah infeksi saluran pernapasan akut. ISPA dapat meliputi bagian atas saja dan atau bahkan bagian bawah seperti laryngitis, tracheobronchitis, bronchitis dan pnemonia (Depkes RI, 1993). Secara garis besarnya, kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap dalam ruangan yang bersumber dari perokok, penggunaan bahan bakar kayu / arang / minyak tanah dan penggunaan obat nyamuk bakar. Disamping itu ditentukan oleh ventilasi, tata ruangan dan kepadatan penghuninya. 1. Asap Dalam Ruangan Pencemaran
udara
dalam
rumah
terjadi
terutama
karena
aktivitas
penghuninya, antara lain ; penggunaan bahan bakar biomasa untuk memasak maupun memanaskan ruangan, asap dari sumber penerangan yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya, asap rokok, penggunaan insektisida semprot maupun bakar. Disamping itu ditentukan juga oleh ventilasi, penggunaan bahan bangunan sintetis berupa cat dan asbes (Anwar, A., 1992). Penggunaan bahan bakar biomasa seperti kayu bakar untuk memasak, arang dan minyak tanah muncul sebagai faktor resiko terhadap terjadinya infeksi saluran pernapasan. Saat ini sebagian masyarakat pedesaan masih menggunakan bahan bakar
xxxiii Universitas Sumatera Utara
biomasa untuk memasak (Charles dkk, 1996). Ditambah lagi dengan kebiasaan ibu yang membawa bayi/anak balitanya di dapur yang penuh asap sambil memasak akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk terkena ISPA dibandingkan dengan ibu yang tidak membawa bayi/anak balitanya didapur (Sukar dkk., 1997). Rumah dengan bahan bakar minyak tanah baik untuk memasak maupun sumber penerangan memberikan resiko terkena ISPA pada balita 3,8 kali lebih besar dibandingkan dengan bahan bakar gas (Soesanto, dkk, 2000). Keadaan dapur yang penuh dan lembab juga merupakan faktor resiko terjadinya infeksi pernapasan. (Charles, dkk.,1996) Rokok pada dasarnya merupakan pabrik bahan bakar kimia. Satu batang rokok dibakar akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia seperti nikotin, karbon monoksida, nitrogen oksida, hiydrogen cyanida, amoniak, acrolein, artcresor, peryline dan lain-lain. Secara umum bahan ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu komponen gas dan komponen padat atau partikel, sedangkan komponen padat atau partikel dibagi menjadi nikotin dan tar. Bila rokok dibakar maka asapnya akan berterbangan disekitar perokok. Asap yang berterbangan itu mengandung bahan yang berbahaya dan bila dihisap oleh orang yang berada disekitar si perokok, maka orang itu juga akan menghisap bahan kimia berbahaya didalam dirinya walau ia sendiri tidak merokok. Anak balita misalnya akan lebih berbahaya dibanding orang dewasa karena daya tahan tubuhnya masih rendah (Aditama, T.Y., 1996). Menurut Riyadina (1995), bahwa pada anak-anak paparan asap rokok (sidestream smoke) dapat menimbulkan gangguan pernapasan terutama mempererat xxxiv Universitas Sumatera Utara
timbulnya infeksi saluran pernapasan akut dan gangguan fungsi paru-paru pada waktu dewasanya nanti. Paparan asap rokok memperberat timbulnya ISPA, karena dari 1 batang rokok yang dinyalakan akan menghasilkan asap sampingan selama sekitar 10 menit, sementara asap utamanya hanya akan dikeluarkan pada waktu rokok itu dihisap dan biasanya hanya kurang dari 1 menit. Walaupun asap sampingan dikeluarkan dahulu ke udara bebas sebelum dihisap perokok pasif, tetapi karena kadar bahan berbahayanya lebih tinggi dari pada asap utamanya, maka perokok pasif tetap menerima akibat buruk dari kebiasaan merokok orang sekitarnya (Aditama, T. Y., 1996). Di negara maju, anak-anak yang orang tuanya merokok dalam rumah didapatkan memiliki suatu peningkatan resiko bronkitis dan pnemonia jika dibandingkan dengan anak-anak yang orang tuanya tidak merokok (Tuminah, 1999). 2. Ventilasi Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya O2 yang berarti kadar CO2 menjadi racun Fungsi kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2007). Pergantian udara bersih untuk orang dewasa adalah 33 m3/orang/jam, dengan kelembaban sekitar 60% optimum. Untuk memperoleh kenyaman udara seperti
xxxv Universitas Sumatera Utara
dimaksud diatas diperlukan adanya ventilasi yang baik. Luas lubang ventilasi insidentil (dapat buka tutup) minimum 5% dari luas lantai ruangan. Jumlah keduanya adalah 10% dari luas lantai ruangan (Sanropie, D., 1989). Udara yang bersih merupakan komponen utama didalam rumah dan sangat diperlukan oleh manusia untuk hidup secara sehat. Sirkulasi udara berkaitan dengan masalah ventilasi. Sebuah penelitian menunjukkan hubungan penyakit saluran pernapasan dengan kondisi ventilasi. Sebab itu kondisi ventilasi dapat dijadikan indikator rumah sehat (Achmadi, U.F., 1991). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (1996) diketahui bahwa rumah yang berventilasi buruk lebih banyak anggota keluarganya yang menderita ISPA dibandingkan dengan rumah yang ventilasinya memenuhi syarat kesehatan. 3.
Tata Ruang dan Kepadatan Hunian Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya.
Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar minimal jumlah ruangan. Sebuah rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi dan kakus. Hasil dari beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara kesehatan lingkungan dalam rumah dengan kejadian kesakitan. Studi terhadap kondisi rumah menunjukkan hubungan yang tinggi antara koloni bakteri dan kepadatan penghuni per meter persegi, sehingga adanya efek sinergi yang diciptakan dimana sumber pencemar mempunyai potensi menekan reaksi kekebalan, bersamaan
xxxvi Universitas Sumatera Utara
dengan terjadinya peningkatan bakteri patogen dengan kepadatan penghuni pada setiap keluarga. Dengan demikian kuman yang umumnya sebagai penyebab penyakit menular saluran pernapasan terdapat makin banyak, bila jumlah penghuni semakin banyak jumlahnya. Jadi ukuran rumah yang kecil dengan jumlah penghuni yang padat serta jumlah kamar yang sedikit akan memperbesar kemungkinan penularan penyakit melalui droplet kontak langsung (Poerno, K., 1983). Demikian halnya dengan Achmadi (1991) yang melaporkan bahwa anak yang tinggal dirumah yang padat (<10 m2 / orang) akan mendapat resiko ISPA sebesar 1,75 kali dibandingkan anak yang tinggal dirumah yang tidak padat. Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5 – 3 m2 untuk setiap anggota keluarga (Notoatmodjo, 2007). Untuk menilai kepadatan penghuni dalam rumah, konsep dari Fakultas Tehnik Universita Indonesia (FT UI) menggunakan luas rumah per penghuni, yang dibedakan dalam 5 kategori yaitu ≤ 3,9 m2 / orang, 4-5 m 2 / orang, 5-6,9 m2/ orang, 7-8 m2/ orang, dan ≥ 9 m2/ orang (FT UI., 1983). 4.
Status Ekonomi dan Kependidikan Keterbatasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan merupakan faktor
yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan, serta upaya pencegahan penyakit. Pada
xxxvii Universitas Sumatera Utara
kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah pada umumnya status ekonominya rendah pula. Mereka sulit untuk menyerap informasi mengenai kesehatan dalam hal penularan dan cara pencegahannya. Pendidikan yang rendah menyebabkan masyarakat tidak tahu cara untuk memilih makanan yang bergizi dan pengadaan sarana sanitasi yang diperlukan (Soewasti, dkk., 1997). Tingkat pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor resiko yang meningkatkan kematian ISPA terutama pnemonia. Kekurangpahaman orang tua terhadap pnemonia juga menyebabkan keterlambatan mereka mambawa anak mereka yang sakit pada tenaga kesehatan. Mereka beranggapan bahwa bayi/anak balita mereka hanya menderita batuk-batuk biasa, yang sebenarnya merupakan tanda awal pnemonia. Orang tua hanya memberikan obat batuk tradisional yang tidak memecahkan masalah (Tuminah, S., 1999). Dari hasil penelitian yang dilakukan Djaya (1999), ibu dengan pendidikan lebih tinggi akan lebih banyak membawakan anak berobat ke fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih banyak mengobati sendiri maupun berobat ke dukun ketika anaknya sakit. 2.3 Arah dan Kebijakan P2 ISPA Pelaksanaan pemberantasan penyakit ISPA ditujukan pada kelompok usia balita, yaitu bayi ( 0 - <1 tahun ) dan anak balita ( 1- <5 tahun ) dengan fokus penanggulangan pada penyakit pnemonia (Depkes RI,2002).
xxxviii Universitas Sumatera Utara
2.3.1. Kebijakan Untuk mencapai tujuan program pemberatasan penyakit ISPA balita maka dirumuskan kebijakan sebagai berikut : a. Melaksanakan promosi penanggulangan pnemonia balita sehingga masyarakat, mitra kerja terkait dan pengambil keputusan mendukung pelaksanaan penanggulangan pnemonia balita. b. Melaksanakan penemuan penderita melalui saran kesehatan dasar (pelayanan kesehatan di desa, Puskesmas Pembantu, Puskesmas dan Sarana Rawat Jalan Rumah Sakit) dibantu oleh kegiatan Posyandu dan Kader Posyandu. c. Melaksanakan tatalaksana standard penderita ISPA dengan deteksi dini, pengobatan yang tepat dan segera, pencegahan komplikasi dan rujukan ke sarana kesehatan yang lebih memadai. d. Melaksanakan surveilans kesakitan dan kematian pnemonia balita serta faktor resikonya termasuk faktor resiko lingkungan dan kependudukan. 2.3.2. Strategi Rumusan umum strategi pemberantasan penyakit ISPA adalah sebagai berikut: a. Promosi penanggulangan pnemonia balita melalui advokasi, bina suasana dan gerakan masyarakat. b. Penurunan angka kesakitan dilakukan dengan upaya pencegahan atau penanggulangan faktor resiko melalui kerjasama lintas program dan lintas sektor, seperti melalui kerjasama dengan program imunisasi, program bina kesehatan xxxix Universitas Sumatera Utara
balita, program bina gizi masarakat dan program penyehatan lingkungan pemukiman. c. Peningkatan penemuan melalui upaya peningkatan prilaku masyarakat dalam pencaharian pengobatan yang tepat. d. Melaksanakan tatalaksana kasus melalui pendekatan Manejemen Terpadu Balita sakit (MTBS) dan audit kasus untuk peningkatan kualitas tatalaksana kasus ISPA. e. Peningkatan sistem surveilans ISPA melalui kegiatan surveilans rutin, autopsi verbal dan pengembangan informasi kesehatan serta audit manejemen program. 2.4
Kegiatan Pokok P2 ISPA Dalam mencapai sasaran dan tujuan pemberantasan penyakit ISPA, maka
Strategi Pemberantasan Penyakit ISPA dijabarkan dalam 8 kegiatan pokok yaitu promosi penanggulangan pnemonia balita, kemitraan, peningkatan penemuan kasus, peningkatan kualitas tatalaksana kasus ISPA, peningkatan kualitas sumber daya, surveilans ISPA, pemantauan dan evaluasi dan pengembangan program ISPA. Dalam pelaksanaannya kegiatan P2ISPA mengacu kepada pendekatan Manajemen Pemberantasan Penyakit Menular Berbasis Wilayah atau dengan kata lain diarahkan menanggulangi secara komprehensif faktor-faktor yang berhubungan dengan ksakitan dan kematian balita termasuk faktor resiko lingkungan, faktor resiko kependudukan dan penanganan kasus yang dilakukan secara terpadu dengan mitra kerja terkait yang didukung oleh surveilans yang baik serta tercemin dalam perencanaan dan penganggaran kesehatan secara terpadu (P2KT).
xl Universitas Sumatera Utara
Secara rinci kegiatan pokok ISPA dijabarkan sebgai berikut: 2.4.1. Promosi Penanggulangan Pnemonia Balita Promisi pemberantasan penyakit ISPA di Indonesia mencakup kegiatan advokasi, bina suasana dan gerakan masyarakat. Tujuan yang diharapkan dari kegiatan promosi balita secara umum adalah meningkatnya pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat dalam upaya dalam penanggulangan pnemonia balita. Sasaran promosi dalam P2 ISPA mencakup sasaran primer (ibu balita dan keluarganya), sasaran sekunder (petugas kesehatan dan petugas lintas program serta lintas sektor), dan sasaran tersier (pengambil keputusan). Pesan pokok, metode dan media yang digunakan sesuai dengan sasaran. 2.4.2. Kemitraan Merupakan
faktor
penting
untuk
menunjang
keberhasilan
program.
Pembangunan kemitraan dalam program P2 ISPA diarahkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat, peran serta lintas program dan lintas sektor terkait serta peran pengambil keputusan termasuk penyandang dana. Dengan demikian pembangunan kemitraan diharapkan pendekatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA khususnya pnemonia dapat terlaksana secara terpadu dan kompherensif. Dengan kata lain intervensi pemberantasan penyakit ISPA tidak hanya tertuju pada penderita saja, tetapi juga terhadap faktor resiko (lingkungan dan kependudukan) dan faktor lain yang berpengaruh melalui dukungan peran aktif sektor lain yang berkompeten.
xli Universitas Sumatera Utara
2.4.3. Peningkatan Penemuan dan Tatalaksana Kasus Kegiatan ini merupakan kegiatan terpenting, karena keberhasilan upaya penurunan kematian pnemonia pada balita ditentukan oleh keberhasilan upaya penemuan dan tatalaksana penderita ini. Dalam kebijakan dan strategi Program P2 ISPA maka penemuan dan tatalaksana penderita ini dilaksanakan di rumah tangga dan masyarakat (keluarga, kader dan posyandu), di tingkat pelayanan kesehatan swasta (praktek dokter, poliklinik swasta, RS swasta). Dengan demikian yang melaksanakan kegiatan secara langsung adalah tenaga kesehatan di sarana-sarana kesehatan tersebut dan kader posyandu di masyarakat. Adapun prosedur penemuan dan tatalaksana penderita ISPA di masing-masing sarana/tingkatan mengacu pada tatalaksana standar yang ditetapkan. Sedangkan tatalaksana kasus ISPA dilaksanakan melalui pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) disarana kesehatan dasar. Disamping itu perlu dilakukan audit kasus dalam upaya peningkatan kualitas tatalaksana kasus yang dilaksanakan dengan koordinasi tingkat kabupaten/kota. 2.4.4. Peningkatan Kualitas Sumber Daya a.
Sumber Daya Manusia (SDM) Sumber Daya Manusia yang terlibat dalam program P2 ISPA meliputi kader,
petugas kesehatan yang memberikan tatalaksana ISPA di sarana pelayanan kesehatan (Polindes, Pustu, Puskesmas, RS, Poliklinik), pengelola program ISPA di puskesmas,
xlii Universitas Sumatera Utara
kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Upaya peningkatan kualitas SDM P2 ISPA dilakukan di berbagai jenjang melalui kegiatan pelatihan, setiap pelatihan yang dilakukan perlu ditindaklanjuti dengan supervisi dan monitoring serta pembinaan di lapangan. Selanjutnya pelaksanaan pelatihan secara terpadu dengan program lain perlu dikembangkan, terutama pelatihan menyangkut aspek manajemen atau pengelola program P2 ISPA dilakukan pula melalui kegiatan magang, asistensi tatalaksana oleh dokter ahli, studi banding, seminar dan workshop sesuai dengan kebutuhan. b. Logistik Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan program P2 ISPA. Aspek logistik Pemberantasan Penyakit ISPA mencakup peralatan, bahan dan sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan. Sampai saat ini logistik kegiatan distandarisasi, dari logistik untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana penderita dan logistik untuk kegiatan komunikasi dan penyebaran informasi. Untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana penderita mencakup obat dan alat bantu hitung pernapasan (soundtimer). Untuk kegiatan komunikasi dan penyebaran informasi, logistik yang telah disediakan program meliputi media cetak dan elektronik. 2.4.5. Surveilans ISPA Untuk
melaksanakan
kegiatan
pencegahan,
pemberantasan
dan
penanggulangan penyakit termasuk ISPA secara efektif dan efisien, diperlukan data xliii Universitas Sumatera Utara
dasar (baseline) dan data program yang lengkap dan akurat. Upaya dalam mendapatkan data atau informasi tersebut diatas dilakukan melalui kegiatan surveilans epidemiologi
ISPA yang aktif dengan diferivikasi oleh survey atau
penelitian yang sesuai. Surveilans epidemiologi ISPA diarahkan untuk mendapatkan data dan informasi yang dapat digunakan sebagai landasan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan program pemberantasan ISPA secara efektif dan efisien serta mampu mengantifikasi kecenderungan-kecenderungan yang bakal muncul. Data dan informasi dimaksud meliputi data dan informasi kesakitan dan kematian pnemonia, sumber penularan, faktor resiko yang berhubungan dengan pnemonia (faktor resiko lingkungan dan kependudukan) dan data yang berhubungan dengan kinerja program. Untuk itu mulai tahun 2002 dikembangkan kegiatan autopsi verbal kematian balita akibat pnemonia dan audit kasus pnemonia. Dalam pelaksanaanya di lapangan, kegiatan surveilans dapat disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan setempat, baik mekanisme kerja maupun bentuk instrumennya. Namun demikian secara umum pelaksanaan surveilans Program P2 ISPA
mengikuti
langkah-langkah
surveilans
epidemiologi
pada
umumnya,
sebagaimana diuraikan berikut: a. Tujuan Surveilans ISPA Menyediakan informasi tentang situasi dan besarnya masalah penyakit ISPA khususnya kejadian pnemonia balita dan kematian balita akibat pnemonia di
xliv Universitas Sumatera Utara
masyarakat beserta faktor resikonya dan informasi lain yang diperlukan bagi upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA secara efektif sehingga angka kesakitan dan kematian balita akibat pnemonia dapat diturunkan sesuai tujuan pemberantasan penyakit ISPA. b. Kegiatan 1. Pengumpulan data Data penyakit ISPA termasuk pnemonia balita dikumpulkan di sarana kesehatan tingkat pertama (rawat jalan rumah sakit, Puskesmas, Pustu dan Posyandu, serta pelayanan kesehatan swasta) dengan menggunakan formulir, kartu atau buku khusus. Selanjutnya kasus pnemonia dari sarana tersebut dilaporkan ke puskesmas yang menangani wilayah kerja dari sarana kesehatan yang bersangkutan, secara aktif (melaporkan sendiri) maupun pasif (puskesmas menjemput laporan dari sarana kesehatan di wilayah kerjanya) dengan menggunakan instrumen standar yang dibuat oleh puskesmas. Puskesmas selanjutnya meneruskan laporan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Untuk laporan kasus pnemonia dari rumah sakit, laporan langsung ke Dinas Kesehatan (Subdin P2M). 2. Pengolahan dan Analisa Data Data yang telah terkumpul, baik dari institusi sendiri maupun dari luar selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisa. Pengolahan dan analisa data dilaksanakan baik oleh puskesmas, Kabupaten/kota maupun Propinsi. xlv Universitas Sumatera Utara
3. Penyajian Data Umpan Balik Sebagai bahan atau dasar bagi kepentingan pelaksanaan kegiatan atau perbaikan pelaksanaan kegiatan, hasil kerja survailans ISPA perlu disajikan dan disebarluaskan atau diumpanbalikan kepada pihak-pihak yang memerlukannya secara teratur, baik kalangan internal maupun eksternal. 4. Peningkatan Jaringan Informasi Jaringan informasi antara Kabupaten/Kota, Provinsi dan pusat sangat diperlukan untuk membangun sistem informasi kesehatan yang handal sehingga mampu meningkatkan koordinasi dan keterpaduan pelaksanaannya pemberantasan penyakit ISPA antar berbagai jenjang dari mulai perencanaan sampai dengan evaluasi program. 2.4.6. Pemantauan dan Evaluasi Kegiatan pokok ini terdiri dari dua kegiatan penting, yaitu pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi). a. Pemantauan Pemantauan Pemberantasan Penyakit ISPA (monitoring) dimaksudkan untuk memantau secara teratur kegiatan dan pelaksanaan program agar dapat diketahui apakah kegiatan program dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan digariskan oleh kebijaksanaan program. Pelaksanaan pemantauan Pemberantasan Penyakit ISPA dapat memanfaatkan kegiatan
supervisi
dan
bimbingan
tehnis,
Pencatatan
Pelaporan
xlvi Universitas Sumatera Utara
Pemberantasan Penyakit ISPA, dan Pemantauan program P2M&PL di Kabupaten/kota. b. Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah pencapaian hasil kegiatan telah memenuhi target yang diharapkan, mengidentifikasi masalah dan hambatan yang dihadapi serta menyusun langkah-langkah perbaikan selanjutnya termasuk perencanaan dan penganggaran. Kegiatan evaluasi dilaksanakan di berbagai jenjang administrasi kesehatan, baik ditingkat pusat, provinsi maupun Kabupaten/Kota. 2.4.7. Peningkatan Manajemen Program Aspek manajemen program P2 ISPA yang masih memerlukan perhatian terus ditingkatkan diantaranya aspek perencanaan, pembiayaan,dan administrsi. Aspek manajemen tersebut diatas merupakan beban kerja terbesar untuk unit yang mengelola Pemberantasan Penyakit ISPA baik di tingkat pusat, provinsi maupun Kabupaten/Kota. Kegiatan ini juga dilaksanakan di berbagai tingkat administrasi kesehatan. Peningkatan manajemen program pada aspek perencanaan dilakukan melalui penerapan perencanaan dan penganggaran kesehatan terpadu (P2KT) dalam perencanaan kegiatan program P2 ISPA. Penerapan P2KT dalam pelaksanaan program P2ISPA akan efektif bila didukung kinerja surveilans yang mampu memberikan informasi yang lengkap dan akurat sehingga menghasilkan perencanaan program P2 ISPA berdasarkan fakta (evidence based palanning).
xlvii Universitas Sumatera Utara
Dalam meningkatkan manajemen pembiayaan, diupayakan penggalian potensi sumber biaya masyarakat, swasta, organisasi non pemerintah, dan lembaga-lembaga donor, mengingat kemampuan pemerintah dalam penyediaan biaya untuk program cukup terbatas. Pembiayaan dipusat terutama bersumber pada APBN dengan sumber dana tambahan dari sumber dana lain seperti dana kerjasama Pemerintah RI dengan organisasi internasional, dana bantuan pinjaman luar negeri. Di provinsi pembiayaan terutama bersumber dari APBN dan Dana Alokasi Umum (DAU) provinsi disamping sumber dana lain. Begitu pula di tingkat Kabupaten/Kota sebagian besar masih bertumpu pada APBN disamping DAU Kabupaten/Kota, sedangkan potensi sumber dana dari masyarakat atau swasta belum teralokasi dengan baik. Untuk itu dalam mewujudkan pembiayaan program P2ISPA yang memadai di berbagai jenjang administrasi kesehatan, perlu diupayakan secara terus-menerus penggalian potensi sumber biaya non pemerintah. 2.4.8. Pengembangan Program Dalam upaya pencapaian tujuan pemberantasan penyakit ISPA khususnya pnemonia, perlu dilakukan pengembangan program sesuai dengan tuntutan perkembangan di masyarakat. Pengembangan program P2 ISPA dilakukan diantaranya melalui kegiatan penelitian, uji coba konsep-konsep intervensi baru seperti pendekatan tatalaksana penderita ISPA, pencegahan dan penanggulangan faktor resiko baik dilingkungan maupun kependudukan, peningkatan kemitraan,
xlviii Universitas Sumatera Utara
peningkatan manajemen dan sebagainya serta kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya seperti pertemuan kajian program, seminar, workshop dan sebagainya. 2.5 Landasan Teori Menurut John Gordon bahwa timbulnya suatu penyakit dipengaruhi oleh adanya pengaruh faktor pejamu (host) dan lingkungan (Environment) yang digambarkan dengan model tuas (gambar 2.1.). Agent suatu penyakit meliputi agent biologis dan non-biologis, misalnya agent fisik, kimia. Faktor host adalah faktorfaktor intrinsik yang dapat mempengaruhi kerentanan pejamu terhadap faktor agent. Sedangkan faktor lingkungan adalah elemen-elemen ekstrinsik yang dapat mempengaruhi keterpaparan pejamu terhadap faktor agent.
Host
Agent Environment
Gambar 2.1. Neraca keseimbangan model terjadinya gangguan kesehatan atau penyakit termasuk didalamnya “kejadian ISPA”. Berdasarkan hasil penelitian di berbagai negara, termasuk Indonesia dan berbagai publikasi ilmiah dilaporkan berbagai faktor resiko yang meningkatkan kejadian (morbiditas) ISPA yang akan dijelaskan berikut, yaitu: a. Host (pejamu) Manusia yang keberadaannya dipengaruhi oleh ; umur, jenis kelamin, status ASI, status gizi, berat badan lahir, status imunisasi, pemberian vitamin A dan pemberian makanan tambahan.
xlix Universitas Sumatera Utara
b. Agent (Infectious agent) Faktor penyebab penyakit tersebut meliputi bakteri, virus, dan parasit (infection agent) c. Environment (lingkungan) Faktor di luar penderita yang akan mempengaruhi keberadaan host yang terdiri dari lingkungan biologis, fisik dan sosial. Dalam penelitian ini yang berperan sebagai faktor lingkungan meliputi ; Bakteri, virus dan parasit (infectious agent), polusi udara (asap rokok dan dapur) dan kepadatan tempat tinggal. Konsep di atas adalah suatu konsep yang dinamis, setiap perubahan dari ketiga lingkungan tersebut akan menyebabkan bertambah atau berkurangnya kejadian suatu penyakit. Untuk itu guna menurunkan kesakitan/kejadian ISPA. Maka dirumuskan suatu upaya pemberantasan penyakit dengan pendekatan terhadap faktor resiko yang berhubungan melalui kerjasama dengan program imunisasi, program bina kesehatan balita, program bina gizi masyarakat dan program penyehatan lingkungan pemukiman (Depkes RI., 2002).
l Universitas Sumatera Utara
2.6 Kerangka Konsep Penelitian
Determinan
Faktor internal : - Status Gizi - Status ASI - BBL
Kasus Ispa Bukan Ispa
Faktor External: - Asap Rokok - Asap Dapur - Kepadatan hunian - Status imunisasi - Vitamin A - Pemberian makanan tambahan
Gambar.2.2. Kerangka konsep penelitian
Kerangka konsep penelitian pada gambar 2.2 terlihat bahwa ISPA pada anak balita dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam yaitu status gizi, status ASI dan berat badan lahir sedangkan faktor dari luar yaitu asap rokok, asap dapur, kepadatan hunian, status imunisasi, vitamin A dan makanan tambahan dini.
li Universitas Sumatera Utara