7
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Rabies Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang dapat menular ke manusia (bersifat zoonosis) (WHO, 2010). Rabies disebabkan oleh virus rabies dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae (Jallet et al., 1999). Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan terinfeksi dan ditularkan melalui luka gigitan atau jilatan. Rabies sangat penting artinya bagi kesehatan masyarakat, karena apabila penyakit tersebut menyerang manusia dan tidak sempat mendapat perawatan medis akan mengakibatkan kematian dengan gejala klinis yang mengharukan dan bersifat fatal (Adjid et al., 2005; Bingham, 2005; Dietzschold et al., 2005; Miah, 2005; Rupprecht et al., 2001).
2.1.1 Masa Inkubasi dan Gejala Klinis Rabies Masa inkubasi dan gejala klinis rabies bervariasi pada spesies satu dengan lainnya. Menurut Hiswani (2003), masa inkubasi rabies pada anjing dan kucing berkisar antara 10 hari sampai 8 minggu. Pada sapi, kambing, kuda, dan babi berkisar antara satu sampai tiga bulan. Peneliti lain mengemukan bahwa masa survival anjing penderita rabies kurang dari 10 hari (Tepsumethanon et al., 2004; 2008). Masa inkubasi rabies pada manusia juga bervariasi. Masa inkubasi rabies pada manusia kurang dari 30 hari ditemukan sebanyak 25%, 30 hari sampai 90 hari sebanyak 50%, 90 hari sampai satu tahun sebanyak 20%, dan lebih dari satu
8
tahun sebanyak 5% (Transfuzion, 2009). Peneliti lain mengemukakan bahwa masa inkubasi rabies pada manusia berkisar antara 30 hari sampai 90 hari, dan cenderung lebih singkat pada gigitan di muka dari pada di tungkai (WHO., 2010). Gejala klinis rabies pada anjing dan kucing hampir sama. Triakoso (2007), mengemukakan bahwa gejala klinis rabies dikenal dalam dua bentuk yaitu bentuk ganas dan bentuk diam. Pada rabies bentuk ganas (furious rabies) masa eksitasi panjang, kebanyakan akan mati dalam dua sampai lima hari setelah tanda-tanda rabies terlihat. Sedangkan pada rabies bentuk diam atau dungu (dumb rabies) terjadi kelumpuhan (paralisa) sangat cepat menjalar keseluruh anggota tubuh dan masa eksitasi pendek. Perjalanan penyakit rabies pada anjing dan kucing dibagi dalam tiga tahap/fase (Triakoso, 2007) yaitu fase prodormal, dilanjutkan ke fase eksitasi, dan fase paralisa. Pada fase prodormal hewan mencari tempat dingin dan menyendiri, tetapi dapat menjadi lebih agresif dan nervous, pupil mata melebar, dan sikap tubuh kaku (tegang). Fase ini berlangsung selama satu sampai tiga hari. Pada fase eksitasi hewan menjadi ganas dan menyerang siapa saja yang ada di sekitarnya dan memakan barang yang aneh-aneh. Selanjutnya mata menjadi keruh dan selalu terbuka serta tubuh gemetaran, kemudian masuk ke fase paralisa. Pada fase paralisa hewan mengalami kelumpuhan pada semua bagian tubuh dan berakhir dengan kematian. Gejala klinis rabies pada hewan pemamah biak adalah gelisah, liar, adanya rasa gatal pada seluruh tubuh, kelumpuhan pada kaki belakang, dan akhirnya hewan mati. Pada hari pertama atau kedua gejala klinis biasanya temperatur
9
normal, anoreksia, ekspresi wajah berubah dari biasanya, dan sering menguak (Hiswani, 2003).
2.1.2 Karakteristik Virus Rabies Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam ordo Mononegavirales, famili Rhabdoviridae (CDC, 2007). Genus virus yang termasuk dalam famili Rhabdoviridae antara lain genus Lyssavirus, genus Ephemerovirus, genus Vesiculovirus,
genus
Cytorhabdovirus,
genus
Dichorhabdovirus,
genus
Novirhabdovirus, dan genus Nucleorhabdovirus. Virus yang termasuk dalam Genus Lyssavirus adalah virus rabies, lagos bat virus, mokola virus, Duvenhage virus, European bat virus 1 & 2 dan Australian bat virus (Gould et al., 1998; Guyat et al., 2003; Sissoe et al., 2005; CDC., 2007; Metlin et al.,2007; Zee et al., 2004; Triakoso, 2007, Tagueha dan Susetya, 2012). Virus rabies memiliki bentuk seperti batang peluru (silindris) dengan salah satu ujungnya berbentuk kerucut. Virus rabies berukuran diameter 75 nm dan panjang 180 nm, memiliki panjang genom sekitar 12 kilo base (Suwarno, 2005; Bourhy et al., 2008). Peneliti lain mengemukakan ukuran virus rabies mempunyai diameter 45 nm sampai 100 nm, panjang 100 nm sampai 430 nm, dan panjang genom 11,9 kb (Tranfuzion, 2009). Virus rabies memiliki lima jenis protein yang berbeda, yaitu dua protein berada pada amplop yakni glikoprotein (G) dan matrik protein (M), tiga pada nukleokapsid yakni nukleoprotein (N), phospoprotein (P), dan RNA-dependent RNA polymerase (RdRp, L) (Metlin et al.,2007). Berat molekul masing-masing
10
protein adalah glikoprotein 64 kD sampai 68 kD, matrik protein 24 kD sampai 25 kD, nukleoprotein 60 kD, phospoprotein 40 kD sampai 45 kD dan RNA-dependent RNA polymerase 190 kD. Panjang nukleotida (nt) masing-masing protein adalah glikoprotein 1575 nt, matrik protein 805 nt, nukleoprotein 1424 nt, phospoprotein 991 nt dan RNA-dependent RNA polymerase 6475 nt (Coll, 1995; Nagaraja, et al., 2006; Nagaraja et al., 2008; Suwarno, 2005; Tomar et al.,2010; Warrell, 2009).
2.2 Diagnosa Rabies Prosedur diagnosis rabies dilakukan pada umumnya jika terdapat laporan kasus gigitan terhadap manusia atau secara potensial terdapat kasus yang menyebabkan rabies. Proses diagnosis pemeriksaan post mortem adalah pemeriksaan paling umum dilakukan dalam proses diagnosis rabies. Proses pemeriksaan post mortem memberikan kontribusi yang paling besar dalam proses diagnostik selain berbagai metode lain untuk menunjang proses diagnosis dan gejala klinis dari hasil pengamatan serta riwayat penyakit adalah penunjang lain dalam proses diagnosis (Trimarchi dan Smith, 2002). Temuan badan negri telah menjadi hal yang paling sering menjadi acuan dalam proses diagnosa selama lebih dari 100 tahun semenjak ditemukan pertama kali oleh Adelchi Negri pada tahun 1903. Dengan perkembangan teknologi saat ini berbagai prosedur diagnosis lain berkembang dengan tingkat spesifitas dan sensitivitas yang lebih tinggi dengan melakukan deteksi pada virion dari virus, protein spesifik pada virus, dan genome RNA pada virus. Hal ini dapat dilakukan
11
dengan cara pengamatan langsung partikel virus, deteksi protein virus dengan visualisasi adanya reaksi antara antibodi yang telah dilabel dan sebagainya.
2.3 Program Pengendalian dan Pemberantasan Rabies Strategi pengendalian dan pemberantasan rabies pada hewan umumnya dilakukan melalui program vaksinasi massal. Rabies dapat diberantas dengan cakupan vaksinasi yang memadai pada anjing berpemilik dan pengendalian populasi anjing jalanan (stray dog). Jepang berhasil bebas dari rabies sejak tahun 1957 dengan melakukan kontrol legislasi yang kuat, termasuk sistem karantina dan vaksinasi pada anjing setiap tahun (Inoue, 2003). Kunci utama dalam menangani rabies adalah mencegah pada sumbernya yaitu hewan penular rabies (HPR). Sesuai dengan pedoman pengendalian rabies terpadu, metoda pemberantasan rabies dilakukan dengan a) vaksinasi dan eliminasi dilakukan pada anjing, kucing, dan kera dengan fokus utama pada anjing, b) vaksinasi dilakukan terhadap anjing dan kera berpemilik, dan c) eliminasi dilakukan terhadap anjing tidak berpemilik dan anjing berpemilik yang tidak divaksinasi/diliarkan (Direktorat Kesehatan Hewan, 2006). Upaya untuk mengendalikan rabies dengan vaksinasi dan eliminasi anjing yang tidak optimal tidak banyak memberikan hasil, bahkan didaerah-daerah tertentu kasus rabies semakin meningkat (Adjid et al., 2005). Demikian juga halnya yang terjadi di Bali, terbukti dengan semakin luasnya wilayah yang terkena rabies. Dari pengujian laboratorium seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali sudah tertular rabies sejak bulan Juni 2010. Hal ini mungkin disebabkan karena cakupan
12
vaksinasi yang rendah (kurang dari 70%) atau vaksin yang digunakan hanya mampu memberikan kekebalan dalam waktu yang relatif singkat. Cakupan vaksinasi minimal 70% telah dibuktikan di banyak negara berhasil mencegah terjadinya wabah. Namun demikian pemberantasan rabies tidak hanya tergantung pada masalah anjing, tetapi juga menyangkut masalah manusia. Pada dasarnya keberhasilan pengendalian dan pemberantasan rabies bergantung kepada tingkat kesadaran masyarakat. Perlu ada perubahan perilaku yang membuat masyarakat dapat menerima dan mematuhi berbagai kewajiban sesuai aturan yang berlaku. Kewajiban yang dimaksud antara lain mengandangkan atau mengikat anjing yang dimiliki, merawat dan menjaga kesehatannya, serta memvaksinnya secara rutin. Hal ini akan membantu petugas pengendali rabies menjadi lebih mudah mengatasi keadaan.
2.4 Pemetaan Kasus Rabies Pemetaan kasus penyakit hewan seperti rabies dengan menggunakan Geographic Information System (GIS) tidak sepopuler penyakit pada manusia, misalnya tuberkulosis. Dengan GIS data yang diperoleh akan lebih nyata dan adekuat sehingga keputusan untuk menanggulangi penyakit dapat dibuat seempiris mungkin (Ruswanto, 2010). Namun baru sedikit penelitian yang benarbenar bertujuan memetakan kasus rabies untuk menganalisis faktor risiko. Hal-hal yang menjadi hambatan dalam penggunaan GIS untuk kepentingan surveilans kesehatan hewan antara lain adalah keterbatasan personel yang mampu
13
mengoperasikan dan menginterpretasi data, keterbatasan software untuk pengolahan data, kesalahan dalam memasukkan data seperti adanya data yang berulang, hilang dan lain-lain. Selain itu, ketidakteraturan sistem pendataan alamat juga mempengaruhi keakuratan data (Durr dan Gatrell, 2004). Pemetaan penyakit dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan pengambilan data sekunder dilanjutkan dengan pemetaan lapangan langsung secara manual atau dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS) yang kemudian dianalisis dengan GIS seperti pada penelitian ini (Prahasta, 2014).
2.5 Geographic Information System (GIS) dan Analisis Spasial Penggunaan Geographic Information System (GIS) meningkat tajam sejak tahun 1980-an. Peningkatan pemakaian sistem ini terjadi di kalangan pemerintah, militer, akademisi atau bisnis terutama peranannya dalam perkembangan penggunaan GIS dalam berbagai bidang, hal ini dikarenakan teknologi GIS banyak mendasarkan pada teknologi digital sebagai alat analisis (Prahasta, 2014). GIS merupakan sebuah sistem yang saling berangkaian satu dengan yang lainnya, sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personel yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi lingkungan dan geografi. Dengan demikian, basis analisis dari GIS adalah data spasial dalam bentuk digital yang diperoleh melalui data satelit
14
atau data lain terdigitasi. Analisis GIS memerlukan interpreter, perangkat keras komputer dan software pendukung (Nuarsa, 2004; Prahasta, 2014). Mengingat sumber data sebagian besar berasal dari data penginderaan jauh baik satelit maupun terrestrial (uji lapangan) terdigitasi, maka teknologi GIS erat kaitannya dengan teknologi penginderaan jauh, namun demikian penginderaan jauh bukanlah satu-satunya ilmu pendukung bagi sistem ini. Data spasial dari penginderaan jauh dan survei terrestrial tersimpan dalam basis data yang memanfaatkan teknologi komputer digital untuk pengelolaan dan pengambilan keputusan (Indarto dan Arif, 2013). Secara teknis GIS mengorganisasikan dan memanfaatkan data dari peta digital yang tersimpan dalam basis data. Dalam GIS, dunia nyata dijabarkan dalam data peta digital yang menggambarkan posisi dari ruang dan klasifikasi, atribut data dan hubungan antar item data. Kerincian data dalam GIS ditentukan oleh besarnya satuan pemetaan terkecil yang dihimpun dalam basis data. Dalam bahasa pemetaan kerincian itu tergantung dari skala peta dan dasar acuan geografis yang disebut sebagai peta dasar. Dari dunia nyata diambil tiga hal penting seperti diuraikan di atas yaitu; posisi dan klasifikasi, atribut serta hubungan antar variabel tersebut. Ketiga hal tersebut diolah sebagai dasar analisis sistem spasial dalam GIS (Nuarsa, 2004; Prahasta, 2014). Analisis spasial itu sendiri adalah teknik/proses yang melibatkan sejumlah hitungan dan evaluasi logika matematis dalam rangka menemukan hubungan atau pola yang terdapat di antara unsur-unsur spasial. Fungsi analisis spasial dapat memberikan informasi spesifik mengenai peristiwa yang terjadi pada suatu area
15
beserta kecenderungan kejadian di dalamnya pada periode tertentu (Prahasta, 2014).
2.6 Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Rabies di Bali Kajian epidemiologi pada dasarnya menggunakan pendekatan holistik untuk mencari, mengumpulkan dan menganalisis data kejadian penyakit serta faktorfaktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor lingkungan, hospes dan agen disidik untuk melihat kemungkinan yang bertindak sebagai penyebab penyakit (Martin et al., 1987). Kajian epidemiologi dapat memberikan informasi secara komprehensif yang diperlukan untuk mencegah terjadinya penyakit pada populasi melalui pengendalian faktor-faktor yang berpengaruh (Sumiarto, 1997). Asosiasi antara faktor penyebab dan kejadian penyakit diukur dengan perhitungan chi-square dan dilanjutkan odds ratio (OR) untuk mengetahui kekuatan asosiasi. Menurut Budiharta (2002), faktor yang memberikan OR lebih besar dari 1, berefek positif terhadap kejadian kasus. Nilai OR sama dengan 1 dinyatakan tidak mempunyai efek terhadap kejadian kasus, sedangkan OR kurang dari 1 dinyatakan sebagai efek sparing. Thrusfield, (2005) menyatakan, faktor dengan OR tertinggi merupakan faktor penyebab yang paling mungkin.