Tikus Sawah (Raftusargentiventer Rob. & Klo. ) Tikus sawah (Rattzts argentiventer) diklasifikasikan dalam filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Rodentia, famili Muridae, dan genus Rattus (Storer et al., 1979). Tikus sawah mempunyai mempunyai rambut bagian ventral benvarna putih kelabu dan pada bagian dorsal coklat. Panjang badan antara 130-210 mm dengan ekor yang lebih pendek dibandingkan panjang kepala dan badan (Rochman, 1986). Perkembang-biakannya sangat cepat karena masa bunting dan masa menyusui yang singkat. Perkembangan ini juga ditunjang oleh tersedianya jumlah dan jenis pakan yang bervariasi di tempat hidupnya. Tikus sawah akan berkembang lebih cepat bila di tempat hidupnya jumlah dan variasi makanannya banyak. Tikus mempunyai tempat hidup atau habitat di sawah dan sekaligus menjadi hama utama di sawah. Serangan hama tikus ini dapat menggagalkan panen tanaman padi. Tikus dapat merusak tanaman --
>
mulai dari awal pertanaman sampai pada penyimpanaw@~&nan --,--- 1992).
Pengendalian terhadap hama tikus sudah banyak dilakukan oleh petani untuk mengurangi jumlah kerugian akibat kerusakan yang disebabkan oleh tikus. Kesulitan pengendalian tikus ini juga diakibatkan kemampuan tikus yang sangat cepat menghasilkan keturunan Tikus mulai bunting pada akhir stadia primordia padi dan melahirkan di akhir stadia padi masak susu
Sampai panen tikus dapat melahirkan sampai
keturunan ketiga (Priyono, 1988). Tersedianya padi stadia malai setiap waktu akibat pola pertanaman yang tidak serentak, mendukung tingginya perkembangbiakan tikus (Boeadi, 1989). Kemampuan konsumsi individu tikus per hari tidak akan menyebabkan kerugian terlalu parah. Rata-rata konsumsi tikus per individu adalah 20 gram per hari.
5
Mes!dp'~r. Zerikia:: per;.!ah mpsgs:.t
pzdz tilnls 12% mp~yeb&kz ke~~sllrrm.
Kecepatan berkembang biak dan perilaku mengerat pada tikus, menyebabkan kerusakan yang diakibatkan menjadi lebih berat. Kerusakan yang diakibatkan oleh perilaku mengerat ini lima kali lebih parah dibandingkan kerusakan yang diakibatkan karena perilaku makan tikus (Brooks, 1987). Rochman (1991) menyebutkan bahwa banyak penelitian pengendalian dilakukan untuk menanggulangi masalah ini. Penelitian yang dilakukan, hasilnya cukup menyumbang pemecahan untuk permasalahan ini, terutama penelitian tentang pengendalian dan strategi pengendalian (Rochman, 1991). Meskipun demikian banyak hasil penelitian yang kurang efisien, sehingga kurang dikembangkan karena bahan baku yang mahal dan susah untuk mendapatkannya. Penggunaan bahan-bahan yang banyak tersedia di alam dibarapkan dapat meningkatkan tindakan efisiensi pengendalian tikus .
Bahan Tambahan Berupa Penyedap pada Umpan
Berbagai bahan tambahan pada umpan tikus baik berupa penyedap maupun penarik telah ditambahkan pada umpan tikus Upaya ini diakukan agar umpan yang diberikan pada tikus dapat lebih menarik, sehingga tikus dapat dengan cepat mengkonsumsinya Bahan-bahan tambahan yang digunakan untuk umpan dapat berasal dari olahan hewan ataupun tumbuhan Penggunaan bahan-bahan yang terdapat di alam dan mudah didapat mulai dikembangkan Diharapkan dengan penggunaan bahan-bahan yang berasal dari alam, biaya yang harus dikeluarkan tidak terlalu tinggi Mengingat perkembangbiakan tikus yang cepat dan akan membentuk populasi yang banyak bila makanan tersedia sepanjang waktu, maka bahan baku penyedap ataupun penarik pada umpan hams mudah didapat dan mudah dibuat
6
T i h s 2dd& h e w ~ pemalrac c segda Fltm om_ni~orzyacg ?t:engkonsi.!msi pzikan hewani maupun nabati. Selain merusak padi, tikus juga merusak tanaman perkebunan misalnya kelapa sawit, tebu dan kakao. Pada tikus yang dibedah untuk mengetahui jeNs makanan yang dimakan oleh tikus didapatkan pakan utama tanaman pangan atau perkebunan, ditemukan juga serangga-serangga kecil, siput-siputan dan keong-keongan sekitar 50% (Lembaga Biologi Nasional,1980). Pemberian pakan tambahan berupa tambahan h e w a ~telah dicobakan pada tikus, diantaranya adalah pemberian bahan tambahan berupa tepung yuyu pada umpan tikus. Akan tetapi usaha ini kurang berhasil karena sulit untuk mendapatkan yuyu dalam jumlah yang banyak. Pemberian bahan tambahan hewani lainnya adalah yang berasal dari belalang, semut, dan keong mas. Ternyata bahan tambahan hewani yang berasal dari keong mas juga disukai oleh tikus (Rochman, 1994). Selain tambahan sebagai penyedap yang dapat meningkatkan konsumsi tikus, juga dapat meningkatkan penampilan umpan menjadi lebih menarik, dan dengan demikian tikus dapat lebih cepat menemukan dan menyukainya (Sanchez dan Benigno, 1981).
Keong Mas (Pornaceacanaliculata Lamarck) Keong mas adalah hewan air yang merupakan hewan asli Amerika Selatan (Saxena, Lara, dan Justo, 1987). Keong mas disebut juga sebagai siput murbei karena telurnya -bemama merah jambu dan tersusun bergerombol seperti buah murbei. Hewan ini disebut juga sebagai "golden snail", karena cangkang yang berwarna kuning keemasan. Keong mas termasuk dalam filum Mollusca dan famili Ampullariidae atau
7 n.1.
ruldae, geiliis iiiii$?ii~~Gi'itiitiitc i i*iiip2iI!ai'i2ix, sekngga naza !r,?ya
n&!& AxnlJr -.-
larizrm i ? ~ s ~ i l mdan ~ mAmpullaria crmnliculatn (Mochida, 1987). Siput murbei merupakan siput yang indah yang semula diharapkan dapat menjadi komoditas ekspor sama seperti bekicot (Achatinnfilica). Akan tetapi akhirakhir ini akibat cara budidaya yang kurang benar, perkembangbiakannya menjadi sangat cepat. Pada awalnya keong dipelihara di tambak-tambak ikan petani, tetapi menjadi pesat pekembangannya sehingga memasuki sawah petani. Di sawah-sawah petani, keong mas ini m e ~ s a ktanaman padi yang masih muda (Soenajo, 1989). Masuknya keong mas ke Indonesia awalnya dibudidayakan orang untuk dikonsumsi. Kemudian keong tersebut lepas dari kolam-kolam pemeliharaan dan masuk areal persawahan dan ditunjang pemeliharan keong mas yang sangat mudah dan cepat berkembangbiak (Susanto, 1992). Di daerah Lampung keong mas yang awalnya dipelihara di kolam-kolam ikan rakyat, tetapi karena perkembangbiakan yang cepat, keong mas sampai dapat memenuhi aliran air untuk sawah irigasi dan masuk ke sawah. Selain berkembang di saluran irigasi dan terbawa aliran air masuk ke sawah, peranan manusia secara sengaja juga mempengaruhi penyebaran keong mas ini di sawah. Adanya sistem pemeliharaan ikan di sawah menyebabkan beberapa petani dengan sengaja memelihara keong mas di sawah (Soenaqo,1989). Keong mas indah benvama keemasan ini yang dewasa berukuran panjang 22-26 mm dan berat 10-20 gram per ekornya. Siklus hidup atau lama waktu dari telur sampai telur kembali hanya membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Siklus hidup keong mas lebih pendek dari siklus hidup bekicot (enam atau tujuh bulan). Keong mas mempunyai kepridian tinggi, yaitu sekitar 300-500 butir per individu betina dewasa. Susunan telurnya bergerombol, bertumpukan, benvarna merah jambu dan menempel pada kayu, tepi pematang atau
.+.;,.-
8
.,.
lr,.l*-
5k:a::
ke!cxp~k telzz izi ~ z z j m gh CIT-, !~b2r2 SIT-
(I_=
tebz! !C
~ tetqi I
ukuran ini dapat lebii atau kurang bergantung pada ukuran tubuh induk betina (Soenarjo, Panudju, dan Syam 1989). Akibat perkembangbiakan ini keong mas menjadi potensial sebagai hama di pertanaman padi sawah. Di negara Filipina pada tahun 1988 keong mas sudah dinyatakan sebagai hama utama pada tanaman padi dan mendapat perhatian pengendalian yang khusus (Soenarjo, 1989). Di Indonesia pada tahun 1988 serangan keong mas telah terjadi di propinsi Jawa Tengah dan Lampung. Akhir-akhir ini propinsi Sumatera Utara, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur sudah terserang hama keong mas ini (Susanto, 1992). Usaha-usaha pengendalian yang sudah dilakukan baik secara mekanis dengan membuat parit di sekeliling pematang sawah, maupun secara kimiawi menggunakan moluskisida. Pembuatan parit di s e k e l i g pematang sawah bertujuan agar petani mudah mem&t
keong. Pengendalian yang umum adalah memungut
keong mas secara langsung dari rumpun padi, akan tetapi cara ini sangat tidak efisien. Pengendalian secara kimiawi sangat berbahaya, karena penggunaan moluskisida dapat membahayakan ikan yang berada di sawah dan juga hewan lain yang masuk ke sawah misalnya itik. Moluskisida membahayakan itik yang semula dijadikan sebagai agen pengendali hayati untuk keong mas (Mochida, 1987). Pemanfaatan keong mas sebagai makanan yang diolah untuk manusia pernah diusahakan di Taiwan, Jepang dan Filipina. Akan tetapi orang yang mengkonsumsi makanan olahan keong mas ini dalam jumlah banyak akan merasa pusing. Rasa daging yang kurang enak dibanding dengan daging bekicot menyebabkan usaha ini tidak berhasil. Akhir-akhir ini keong mas diusahakan sebagai makanan tambahan bagi hewan petemakan seperti itik, sapi dan kambing (Kompiang, 1979).