BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Kriminoogi Menurut Sutherland1 merumuskan: ”The Body of Knowledge regarding crime as social Phenomenon”; kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial. Menurutnya, kriminologi mencakup proses-proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum . sehingga olehnya dibagi menjadi tiga yaitu: sosiologi hukum, yaitu ilmu tentang perkembangan hukum, Etiologi hukum yaitu yang mencoba melakukan analisa ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan, penology yaitu yang menaruh perhatian atas perbaikan narapidana. Menurut Bonger2 membagi kriminologi menjadi 6 (enam) cabang yakni: 1. Criminal antropology, merupakan ilmu pengetahuan tentang manusia yag jahat (somatios), dan ilmu ini memberikan suatu jawaban atas pertanyaan tentang orang yang jahat dalam tubuhnya mempunyai tanda-tanda seperti apa, misalnya apakah ada hubungan antara suku bangsa dengan kejahatan; 2. Criminal sosiology, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat, pokok utama dalam ilmu ini adalah, sampai dimana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat;
1
Yesmil Anwar dan Adang,2010. Kriminologi, Bandung, PT Refika Aditama, hlm.xviii. Ibid.hlm. 7 dan 8
2
1
3. Criminal psychology, yaitu ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya; 4. Psikopatologi dan neuropatologi kriminal, yaitu suatu ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf; 5. Penologi, yaitu ilmu tentang berkembangnya hukuman dalam hukum pidana. Disamping Bonger membagi lima bagia cabang kriminologi, ia juga mengatakan bahwa ada “kriminologi terapan” dalam bentuknya dibagi menjadi 3 (tiga) bagian: 1. Higiene kriminal, yakni usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan; 2. Politik kriminal, yakni usaha penanggulangan kejahatan dimana suatu kejahatan telah terjadi; 3. Kriminalistik (Police scientific), merupakan ilmu tentang pelaksanaan penyelidikan teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan. Menurut Wolfgang, Savitz dan Johnston3 kriminologi yaitu sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan
menganalisa
secara
ilmiah
keterangan-keterangan,
keseragaman-
keseragaman, pola-pola, dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan
3
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2010. Kriminologi,Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, hlm.12
2
kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya. Jadi obyek studi kriminolgi melingkupi: a. Perbuatan yang disebut sebagai kejahatan; b. Pelaku kejahatan; dan c. Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun terhadap pelakunya. Secara luas, kriminologi4 diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mencakup semua materi pengetahuan yang diperlukan untuk mendapatkan konsep kejahatan
serta
bagaimana
pencegahan
kejahatan
dilakukan
termasuk
didalamnnya pemahaman tentang pidana atau hukuman. Bidang ilmu yang menjadi fokus kriminologi dan objek studi kriminologi, mencakup: Pertama: sosiologi hukum yang lebih memfokuskan perhatiannya pada objek studi kriminologi, yakni kejahatan, dengan mempelajari hal-hal; yang terkait dengan kondisi terbentuknya hukum pidana , peranan hukum dalam mewujudkan nilai-nilai sosial, serta kondisi empiris perkembangan hukum. Kedua: etiologi kriminal lebih memfokuskan perhatiannya pada objek studi kriminologi, yakni penjahat, yaitu mempelajari alasan seseorang melanggar hukum pidana, atau melakukan tindak kejahatan sementara orang lainnya tidak melakukannya. 4
Yesmil Anwar dan Adang.Kriminologi,Op.cit.Hlm.13
3
Ketiga: penologi lebih memfokuskan perhatiannya pada objek studi keriminologi, yakni reaksi sosial, dengan mempelajari hal-hal yang terkait dengan berkembangnya hukuman, arti dan manfaatnya yang berhubungan dengan “control of crime”. Keempat: viktimologi yang lebih memfokuskan perhatiannya pada objek studi kriminologi, yakni korban kejahatan, dengan mempelajari hal-hal yang terkait dengan kedudukan korban dalam kejahatan, interaksi yang terjadi antara korban dan penjahat, tanggung jawab korban pada saat sebelum dan selama kejahatan terjadi.5 Dari penjelasan diatas bahwa kriminologi dapat disimpulkan yaitu merupakan proses pembentukan hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi terhadap para pelanggaran hukum serta perbuatan melawan hukum yang tidak hanya mempelajari kejahatannya saja, tetapi juga mempelajari bagaimana hukum itu berjalan. 1.1.1. Arti Kriminologi bagi Hukum Pidana Hubungan kriminologi dengan hukum pidana sangat erat artinya hasilhasil penyelidikan kriminologi dapat membantu pemerintah dalam menangani masalah kejahatan, terutama melalui hasil studi dibidang etiologi kriminal dan penologi. Kriminologi khususnya sebagai pengaruh pemikiran kritis yang
5
Ibid.
4
mengarahkan studinya pada proses-proses (kriminalitas), baik proses pembuatan
maupun
bekerjanya
Undang-undang,
dapat
memberikan
sumbangan besar dibidang sistem peradilan tentang penegakan hukum, akan dapat digunakan untuk memperbaiki bekerjanya aparat penegak hukum, seperti untuk memberikan perhatian terhadap hak-hak terdakwa maupun korban kejahatan, organisasi (birokrasi) penegakan hukum serta perbaikan terhadap Perundang-undangan itu sendiri.6 Menurut Paul Moedikdo7 bahwa dengan mempelajari kriminologi terutama untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap normanorma dan nilai, baik yang diatur dalam hukum pidana maupun yang tidak diatur, khususnya perilaku yang karena sifatnya sangat merugikan manusia dan masyarakat dan untuk memperoleh pemahaman reaksi sosial terhadap penyimpangan itu. Terhadap hukum pidana, kriminologi dapat berfungsi sebagai, tinjauan terhadap hukum pidana yang berlaku, dan memberikan rekomendasi guna pembaharuan hukum pidana. 2.1.1
Kejahatan dalam Masyarakat Pergeseran nilai-nilai dalam perkembangan studi kejahatan atau kriminologi. Pergeseran nilai-nilai dari studi kejahatan yang menitiberatkan pada aspek moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat abstrak, dilanjutkan kepada pandangan terhadap pentingnya unsure individu dan
6
Susanto, 2011. Kriminologi, Yogyakarta, Genta Publishing, hlm. 20 dan 21. Yesmil Anwar dan Adang, Kriminologi. Op.cit.hlm.56
7
5
peranan faktor kepribadian serta lingkungan dalam membentuk seseorang sebagai penjahat.8 Kejahatan sebagai suatu gejala adalah selalu kejahatan dalam masyarakat (crime in society), dan merupakan bagian dari keseluruhan prosesproses sosial produk sejarah dan senantiasa terkait pada proses ekonomi yang begitu mempengaruhi hubungan antar manusia. Secara yuridis, kejahatan diartikan sebagai setiap perbuatan yang yang melanggar Undang-undang atau hukum pidana yang berlaku dimasyarakat. Sedangkan secara kriminologis, kejahatan bukan saja suatu perbuatan yang melanggar Undang-undang atau hukum pidana tetapi lebih luas, yaitu yang mencakup perbuatan anti sosial, yang merugikan masyarakat, walaupun perbuatan itu belum atau tidak diatur oleh Undang-undang atau hukum pidana.9 Seperti yang tecantum dalam pasal 156 dan 172 KUHP tentang kejatahan terhadap ketertibann umum yang berbunyi: Pasal 162 Barangsiapa dimuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
8
Romli Atmasasmita. Teori dan Kapita Selekta Kriminolgi.Bandung. PT Refika Aditama,2010, hlm.13. 9 Yesmil Anwar dan Adang.Kriminologi,Op.cit. Hlm.15
6
Pasal 172 Barangsiapa dengan sengaja mengganggu ketenangan dengan mengeluarkan teriak-teriakan, atau tanda-tanda bahaya, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.
Dari kedua pasal diatas dapat disimpulkan bahwa banyaknya perilaku yang tidak bermoral yang terjadi dilingkungan masyarakat yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki perilaku yang menyimpang yang diakibatkan kurangnya tingkat kesadaran diri dari pelaku/penjahat tersebut. 2.2 Teori-teori Kriminologi Adapun teori-teori dalam kriminologi antara lain sebagai berikut: 2.2.1
Teori Kriminologi Klasik hingga Kontemporer Menurut Willians III dan Marilyn McShane10 teori kriminologi itu
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: a. Teori abstrak atau teori makro (macrotheories), pada asasnya teori ini mendeskripsikan korelasi antara kejahatan dengan struktur masyarakat; b. Teori-teori mikro (microtheories) yang bersifat lebih konkret, teori ini ingin menjawab mengapa seorang/kelompok orang dalam masyarakat melakukan kejahatan atau menjadi kriminal (etiology criminal). Konkretnya, teori-teori ini lebih bertendensi pada pendekatan psikologis dan biologis; 10
Ibid.Hlm.73
7
c. Beidgeng theories yang tidak termasuk kedalam kategori teori makro/mikro dan mendeskripsikan tentang struktur sosial dan bagaimana seseorang menjadi jahat. Selain klasifikasi diatas, Frank P.Williams III dan Marilyn McShane juga mengklasifikasikan berbagai teori kriminologi menjadi tiga bagian lagi yaitu: a. Teori klasik dan teori positvis, asasnya teori klasik membahas legal statutes, struktur pemerintahan dan hak asasi manusia (HAM). Teori positivis terfokus pada patologi kriminal, penanggulangan dan perbaikan perilaku kriminal individu; b. Teori struktural dan teori proses, teori struktural terfokus pada cara masyarakat diorganisasikan dan dampak dari tingkah laku, sementara teori proses membahas, menjelaskan dan menganalisis bagaimana orang menjadi penjahat; c. Teori konsensus dan teori konflik, teori konsensus menggunakan asumsi bahwa dalam masyarakat konsensus/persetujuan sehingga terdapat nilainilai bersifat umum kemudian secara bersama, sedangkan teori konflik mempunyai asumsi dasar yang berbeda yaitu dalam masyarakat hanya terdapat sedikit kesepakatan dan orang yang berpegang pada nilai pertentangan.11
11
Ibid.
8
2.2.2
Teori Differential Association
a. Antara Edwin H.Sutherland dan differential Association Sutherland12 berpendapat bahwa perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari di dalam lingkungan sosial, artinya semua tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara. Dia juga mendefinisikan Asosiasi Diferensial adalah sebagai “the contents of the patterns presentend in association would differ from individual to individual”. Hal ini tidaklah berarti bahwa hanya kelompok pergaulan dengan penjahat akan menyebabkan perilaku kriminal, akan tetapi yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi dengan orang lain. Sutherland juga memandang bahwa perilku menyimpang bersumber pada pergaulan yang berbeda (differential assosiation), artinya seorang individu mempelajari suatu perilaku menyimpang dan interaksinya dengan seorang individu yang berbeda latar belakang asal, kelompok atau budaya. b. Antara teori Asosiasi diferensial dengan learning theory Teori asosiasi diferensial merupakan “learning to know” adalah sebuah teori yang mengajarkan proses keterampilan tentang cara belajar dan berfikir , ia tidak hanya sebatas materi akademis saja akan tetapi juga meliputi pemahaman akan diri sendiri orang lain, serta wawasan untuk belajar hidup dalam kebersamaan.
12
Ibid. Hlm.74,75 dan 78
9
c. Penolakan teori asosiasi diferensial terhadap pandangan Robert K. Marton Robert K. Merton menggunakan istilah
‘Anomie’ untuk
menggambarkan keadaan deregulatin dalam masyarakat. Keadaan delegularation oleh Durkheim13 diartikan sebagai tidak ditaatinya aturanaturan yang terdapat dalam masyarakat dan orang tidak tahu apa yang diharapakan dari orang lain. Kondisi anomi menurut Merton adalah suatu keadaan masyarakat tanpa norma, dan keadaan ini mempermudah terjadinya penyimpangan tingkah laku. d. Teori Asosiasi diferensial dalam kritik kriminologi Landasan dari aliran kriminologi klasik ini adalah, bahwa individu dilahirkan bebas dengan kehendak bebas “free will”. Kehendak bebas tersebut tidaklah lepas pengaruh lingkungan. Secara singkat, aliran ini berpegangan teguh kepada faktor lingkungan yang dikuasai oleh hukum sebab akibat. 2.2.3
Teori Anomie
Anomie adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Emile Durkheim untuk menggambarkan keadaan yang kacau tanpa peraturan. Suatu keadaan, dimana dalam suatu masyarakat, tidak adanya kesempatan, adanya perbedaan struktur kesempatan untuk mencapai sebuah tujuan (cita-cita). Kedua faktor inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi frustasi, terjadi konflik, adanya ketidakpuasan sesama individu, maka 13
Ibid. Hlm.81
10
semakin dekat dengan kondisi hancur berantakan yang tidak didasarkan kepada norma yang berlaku.14 2.3 Teori-Teori Tentang Sebab-Sebab Kejahatan Adapun teori-teori tentang sebab-sebab kejahatan antara lain sebagai berikut: 2.3.1
Teori-teori yang mencari sebab kejahatan dari aspek fisik (biologi kriminal)
Menurut Cesare Lambroso15 kejahatan yaitu perbuatan yang melanggar hukum alam (natural law). Kejahatan juga merupakan penjahat mewakili suatu tipe keanaehan/keganjilan fisik, yang berbeda dengan non kriminal. Dia mengklaim bahwa para penjahat mewakili suatu bentuk kemerosotan
yang
tertermanifestasi
dalam
karakter
fisik
yang
merefleksikan suatu bentuk awal dari evolusi. Teori Lambroso tentang born criminal (penjahat yang dilakhirkan) menyatakan bahwa para penjahat adalah suatu bentuk yang lebih rendah dalam kehidupan, lebih mendekati nenek moyang mereka yang mirip kera dalam hal sifat bawaan dan watak dibanding mereka yang bukan penjahat. Menurut Ferri16 bahwa kejahatan dapat dijelaskan melalui studi pengaruh-pengaruh interaktif diantara faktor-faktor fisik (seperti ras, geografis, serta temperature), dan faktor-faktor sosial (seperti umur, jenis kelamin, variable-variabel psikologis). Dia juga mengklasfikasikan lima 14
Ibid. Hlm.82, 83, 86 dan 88. Topo Santoso dan Eva Achjani zulfa .Krimonologi.op.cit.hlm.38. 16 Ibid. Hlm.40. 15
11
kelompok penjahat: a). the born criminal dan instinctive criminals; b). the insane criminals (diintifikasi sebagai sakit mental); c). the passion criminals (melakukan kejahatan sebgai akibat problem mental atau keadaan emosional yang panjang serta kronis); d).the occasional criminals ( merupakan produk dari kondisi-kondisi keluarga dan sosial lebih dari problem fisik atau mental yang abnormal); e). the habitual criminals (memperoleh kebiasaan dari lingkungan sosial). 2.3.2
Teori-teori yang mencari tentang sebab kejahatan dari faktor Psikologis dan Psikiatris (psikologi kriminal)
Adapun sebab kejahatan dari faktor psikologi menurut Susanto17 yaitu adanya cacat mental yang dimiliki yang lebih ditekankan pada kekurangan intelegensia kepribadiannya, yaitu dilihat dari segi tinggi rendahnya IQ dan tingkat kedewasaan. Masalah cacat mental ini telah dibuktikan pada perbuatan kenakalan remaja yang menyatakan bahwa 8% menderita cacat mental. Menurut
Samuel Yochelson dan Stanton Samenow18 bahwa
kejahatan disebabkan oleh konflik Internal. Tetapi para penjahat itu samasama memiliki pola berfikir yang abnormal yang membawa mereka memutuskan untuk melakukan kejahatan, para penjahat adalah orang yang “marah”, yang merasa suatu sense superioritas, menyangka tidak
17
Susanto.kriminologi.Op.cit. hlm.64. Topo Santoso dan Evha Achjani Zulfa, Kriminologi, op.cit, Hlm.49 dan 50
18
12
bertanggung jawab atas tindakan yang meraka ambil, dan mempunyai harga diri yang sangat melambung. 2.3.3
Teori-teori yang mencari tentang sebab kejahatan dari faktor sosiologis
Teori-teori sosiologi tentang sebab kejahatan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: strain, cultur deviance (penyimpangan budaya) dan social control (kontrol sosial). Teori-teori strain dan penyimpangan budaya memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal, keduanya berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku kriminal berhubungan, tetapi berbeda dalam hal sifat hubungan tersebut. Teori strain, ini beranggapan bahwa seluruh anggota masyarakat mengikuti satu set nilai-nilai budaya
dari kelas menengah, dan teori
penyimpangan budaya mengklaim bahwa orang-orang dari dari kelas bawah memiliki satu set nilai-nilai yang berbeda, yang cenderung konflik dengan nilai dari kelas menengah. Sedangkan teori kontrol sosial yaitu yang berasumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan meruoakan bagian dari umat manusia dan mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga membuat aturan-aturannya efektif.
13
Menurut Durkheim19anomie(hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat dari hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai). Menurutnya bahwa jika sebuah masyarakat sederhana berkembang menuju satu masyarakat yang modern dan kota maka maka kedekatan (intimacy) yang dibutuhkan untuk melanjutkan satu set norma-norma umum (a common set of rules) akan merosot. Kelompok-kelompok menjadi terpisah-pisah, dan dalam ketiadaan satu set aturan-aturan umum, tindakan-tindakan dan harapanharapan orang disatu sector mungkin bertentangan dengan tindakan dan harapan orang lain. 2.4 Teori Penanganan Konflik Georg Simmel berpendapat bahwa konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang mendasar, berkaitan dengan sikap bekerja sama dalam masyarakat. Karl Marx mengatakan bahwa potensi-potensi terutama terjadi dalam bidang perekonomian, Ia pun memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik jga terjadi dalam bidang distribusi status dan kekuasaan politik. Nilai dan norma budaya sebagai ideologi yang mencerminkan usaha kelompok-kelompok dominan untuk membenarkan berlangsugnya dominasi mereka. Dalam pandangan terhadap konflik ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
19
Ibid. Hlm.99.
14
1. Penghindar konflik, yaitu kelompok tradisional yang selalu berusaha untuk menghindar konflik yang ada. Jika ada konflik, kelompok ini cenderung menghindarkan diri dari konflik yang ada; 2. Mengahadapi konflik, yaitu kelompok yang mengahadapi konflik, jika ada konflik yang terjadi, kelompok ini cenderung menghadapinya dan mengikuti irama konflik; 3. Pembuat konflik, yaitu kelompok pembuat konflik, orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk menjadi pembuat konflik, bisa membuat berkembangannya organisasi, baik organisasi perusahaan atau bentuk organisasi lainnya.20 2.5 Teori Bekerjanya Hukum dimasyarakat Kelompok sosial merupakan hal yang penting bagi hukum,
hukum
merupakan abstraksi dari interaksi social dinamis didalam kelompok-kelompok social tersebut. Masyarakat yang dinamis merupakan masyarakat yang mengalami berbagai perubahan yang cepat. Emile Durkheim21 menyatakan bahwa hukum merupakan refleksi dari solidaritas social dalam masyarakat di dalamnya masyarakat terdapat dua macam solidaritas yaitu yang bersifat mekanis (mechanical solidarity) dan yang bersifat organis (organic solidarity). Solidaritas yang mekanis terdapat pada masyarakat yang sederhana dan homogeny, dimana ikatan dari warganya didasarkan hubungan-hubungan pribadi serta tujuan yang 20
Yesmil Anwar dan Adang.Kriminologi,Op.cit.Hlm 123-125 Soerjono Soekanto, 2010. Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, PT.RajaGrafindo Persada, hlm.103 dan 104. 21
15
sama. Solidaritas yang organis terdapat pada masyarakat yang heterogen, terdapat pembagian kerja yang kompleks dimana ikatan dari masyarakat lebih banyak tergantung pada hubungan yang fungsional antar unsur-unsur yang dihasilkan oleh pembagian kerja. Hukum merupakan suatu aturan bersifat memaksa yang melambangkan suatu usaha untuk mendapatkan gagasan mengenai keadilan dalam lingkungan sosial (yakni, suatu usaha pendahuluan dan pada hakikatnya berupa variable perdamaian dari pertentangan nilai-nilai kerohanian yang terwujud dalam suatu struktur sosial), melalui peraturan atribut Imperatif
yang multilateral
berdasarkan perkaitanya yang sangat menentukan diantara tuntutan-tuntutan dan kewajiban-kewajiban; peraturan ini mendapatkan keabsahannya dari fakta-fakta normative yang akan memberikannya kefektifan dari suatu jaminan sosial dan bagaimana juga eksekusi itu harus memenuhi syarat-syarat paksaan lahiriah melalui cara yang seksama, tetapi tidak selamanya perlu mensyaratkannya.22 Kaidah agama maupun kaidah hukum yang bersumber pula dari kaidah sosial merupakan payung kehidupan masyarakat. Masyarakat yang tidak beradab adalah masyarakat yang tidak mempunyai kaidah agama maupun kaidah sosial, atau masyarakat yang mengingkari atau menyimpang dari kedua kaidah tersebut. Interaksi kehidupan manusia dalam masyarakat dalam sepanjang perjalanan hidup tidak ada yang berjalan lurus, mulus dan aman-aman saja.
22
Alvin Jonhson. Sosiologi Hukum. Jakarta. PT Rineka Cipta, 2006, hlm.63.
16
Lawrence M. Friedman23 menyebutkan bahwa system hukum terdiri atas perangkat struktur hukum (berupa lembaga hukum), substansi hukum (peraturan perundang-undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya system hukum disuatu Negara. Secara realitas, keberadaan system hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik secara evolusi maupun revolusi. Beberapa teori dalam bidang sosiologi hukum yaitu sebagai berikut; 2.5.1
Teori klasik Menurut Eugen Ehrlich24 yang terkenal dengan konsep “living
law”-nya, yakni hukum yang hidup dalam masyarakat. Menurut teori klasik ini, tempat hukum dan berkembangnya hokum bukanlah dalam undang-undang doktrin (juristic science), melainkan dalam masyarakat. Dalam hal ini, studi tentang hukum dilakukan dengan menganalisis hubungan hukum dengan kelompok sosial dan masyarakat. 2.5.2
Teori makro Menurut Max Weber dan Durkheim25 adalah bahwa perlu di
dalami keterkaitan antara hukum dan bidang-bidang lain di luar hukum,seperti ekonomi, politik kekuasaan, dan budaya. Menurut teori makro ini, hukum mempunyai habitatnya dalam masyarakat sehingga 23
Saifullah, 2007. Sosiologi Hukum. Bandung,PT Refika Aditama, hlm.26. Munir Fuady,2007.Sosiologi Hukum Konteporer. Jakarta, PT Citra Aditiya Bakti, hlm.14. 25 Ibid. 24
17
kajian-kajian terhadap hukum tidak dapat dipisahkan dengan kajian dalam masyarakat secara keseluruhan. Disamping itu, seperti yang dikatakan oleh Durkheim, bahwa hukum tampil sebagai suatu institusi spesialis yang merupakan bagian dari proses perubahan yang terpolakan sebagai suatu diferensiasi sosial. 2.5.3
Teori empiris Menurut teori empiris dalam sosiologi hukum, hukum dapat
diamati secara eksternal hukum, dengan mengumpulkan berbagai data dari luar hukum, yang disebut dengan perilaku hukum (behavior of law), sehingga dapat memunculkan dalil-dalil tertentu tentang hukum, misalnya dalil-dalil hukum sebgai berikut; a) Jumlah hukum meningkat seiring dengan menurunya kontorl sosial diluar hukum; b) Hukum mempunyai korelasi dengan jarak sosial. Semakin lemah tingkat keintiman dalam masyarakat, semakin berperan sector hukum; c) Hukum berkolerasi dengan status orang yang menggunakan hukum. Semakin tinggi status orang yang menggunakan hokum terhadap lawannya yang berstatus sosial renda, semakin bereaksi hukumnya;
18
d) Jumlah peraturan bagi orang yang berstatus tinggi lebih tinggi dari pada mereka yang berstatus rendah.26 Menurut Talcott Parsons ada yang disebut dengan teori “sibernetika” yang tergolong kedalam teori yang bersifat structural dan fungsional, yang mengajarkan bahwa suatu system masyarakat ini terdiri atas berbagai subsistemsubsistem tersebut adalah; 1) Subsistem budaya; 2) Subsistem sosial; 3) Subsistem politik; 4) Subsistem ekonomi.27 2.6 Hubungan antara Perubahan-perubahan Sosial dengan Hukum Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat dapat terjadi oleh karena bermacam-macam sebab. Sebab tersebut dapat berasal dari masyarakat itu sendiri (sebab-sebab intern) yaitu misalnya pertambahan penduduk atau berkurangnya pendudduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan (conflict) dan terjadinya suatu revolusi, maupun dari luar masyarakat tersebut (sebab ekstern) yaitu yang berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, peperangan.
26
Ibid. Ibid.hlm.16
27
19
Suatu perubahan sosial lebih mudah terjadi apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakat lain atau telah mempunyai system pendidikan yang maju. System lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen serta ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan yag tertentu, dapat pula memperlancar proses perubahan-perubahan sosial. Adapun faktor yang menghambatnya seperti sikap masyarakat yang mengangungagungkan masa lampau (tradisionalisme), adanya kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat (vested-interest), prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing. Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum atau perubahan-perubahan hukum dan perubahan-perubahan sosial tidak selalu berlangsung
bersama-sama,
artinya,
pada
keadaan-keadaan
tertentu
perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsure-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya. Maka, terjadilah social lag, yaitu suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan dalam perkembangan lembagalembaga
kemasyarakatan
yang
mengakibatkan
terjadinya
kepincangan-
kepincangan. Tertinggalnya perkembangan hukum oleh unsure-unsur sosial lainnya, atau sebaliknya terjadi karena pada hakikatnya suatu gejala wajar di dalam suatu masyarakat, bahwa terdapat perbedaan antara pola-pola perikelakuan
20
yang diharapkan oleh kaidah-kaidah dengan pola perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah sosial lainnya.28 2.7 Pengertian Tawuran Menurut kamus bahasa indonesia tawuran adalah perkelahian beramairamai atau perkelahian massa.Teori konflik yang dapat menerangkan tentang Tawuran/perkelahian massa, kerusuhan sosial adalah teori konflik mikro. Diantara asumsi-asumsi kaum behaviors yang paling penting adalah keyakinan bahwa akar penyebab perang itu terletak pada sifat dan perilaku manusia, dan keyakinan bahwa ada hubungan yang erat/penting antara konflik intrapersoanal dan konflik
yang merambah tata sosial eksternal. Variabel-variabel khusus
mengenai konflik intrapersonal dan generasi mengenai konflik interpersonal (antar individu) dan internasional (antar bangsa), dimana teori-teori mikro ini mebicarakan mengenai perilaku hewani
(animal behavior), teori agresi
bawaan/instinktif (instinc or innate theories of aggression), teori agresi frustasi, teori pembelajaran sosial dan teori identitas sosial. Perilaku hewani (animal behavior), yaitu manusia dan hewan itu adalah fenomena yang kompleks meliputi
faktor-faktor
pendorong
(motivational)
seperti
“kewilayahan
(territoriality), dominasi, seksualitas, dan kelangsungan hidup (survival). O’connell29 berpendapat
bahwa manusia terlibat bermacam-macam/banyak
28
Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm. 113 dan 115 Yesmil Anwar dan Adang, Kriminologi,op.cit. hlm.416
29
21
sekali konflik dengan berbagai motivator yang memaksanya melakukan konflik, unsur lain konflik manusia adalah aspek material. Teori pembelajaran sosial (social learning theory) berdasar hipotesa bahwa agresi bukanlah sifat dasar bawaan (innate) atau naluri/insting (instinctual) melainkan hasil pembelajaran melalui proses sosialisasi. Hipotesa ini adalah pendirian/pendirian pernyataan seville (seville statement). Seseorang memperoleh sifat agresi dengan mempelajarinya dari rumah, sekolah, dan dari interaksinya dilingkungan pada umumnya. Teori identitas sosial (TIS) dikembangkan oleh ahli psikologi, Henri Tajfel30, Teori ini memberikan wawasan tentang fenomena konflik, dimana teori ini berdasar pada proses-proses psikologi normal yang yang beroperasi dalam semua keadaan, tidak hanya dalam kondisi-kondisi konflik antar kelompok. Menurut Le Bon31 ciri-ciri penting dalam kelompok massa yang dapat melakukan kejahatan yaitu sebagai berikut: 1. Dengan memasuki kelompok massa, individu anggota-anggotanya secara psikis dan moral berubah dalam kepribadian dan dalam cara berfikir dan perasaan dan tindakannya; 2. Perubahan tersebut meliputi intelektual dan penurunan moral serta kehilangan nilai-nilai penghargaan sebelumnya;
30
Ibid.hlm. 417 Susanto, 2011.Kriminologi, Yogyakarta, Genta publishing, hlm.106 dan 107.
31
22
3. Berubahnya secara psikis dan moral dari anggotanya dalam cara berfikir dan bertindak, seperti menghilangnya nilai-niai sehingga membuat tindakan mereka seolah-olah tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan dapat berbahaya. 2.8 Faktor Penyebab Terjadinya Tawuran atau Perkelahian Massa Adapun
faktor
penyebab
terjadinya
Tawuran
atau
perkelahian
massa/kelompok antara lain sebagai berikut:
2.8.1
Faktor internal
Faktor internal atau faktor endogen berlangsung lewat proses internalisasi diri yang keliru oleh anak-anak remaja dalam menanggapi milieu disekitarnya dan semua pengaruh dari luar. Tingkah laku mereka itu merupakan reaksi yang salah atau irrasional dari proses belajar,
dalam
bentuk ketidakmampuan mereka melakukan adaptasi terhadap lingkungan sekitar, dengan melakukan mekanisme pelarian diri dan pembelaan diri yang salah atau tidak rasional dalam wujud kebiasaan maladaptif, agresi, dan pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan hukum formal. Diwujudkan dalam bentuk kejahatan, kekerasan, kebiasaan berkelahi massal dan sebagainya. Adapun yang menjadi faktor penyebabnya antara lain sebagai berikut: 1. Reaksi frustasi negatif 23
Semua pola kebiasaan dan tingkah laku patologis, sebagi akibat dari pemasakan konflik-konflik batin sendiri secara salah, yang menimbulkan mekanisme reaktif/respon yang keliru atau tidak cocok (menggunakan escape mechanism dan defence mechanism). Semakin pesatnya usaha pembangunan, modernisasi, urbanisasi dan industrialisasi yang berakibat semakin kompleksnya masyarakat sekarang, semakin banyak pula anak remaja yang tidak mampu melakukan penyesuaian diri terhadap berbagai perubahan sosial. 32 Sehingga menimbulkan banyak kejutan, frustasi, konflik terbuka baik eksternal maupun internal, ketegangan batin dan gangguan kejiawaan. 2. Gangguan pengamatan dan tanggapan pada anak-anak remaja Tanggapan anak tidak merupakan pencerminan realitas lingkungan yang nyata, tetapi berupa pengolahan batin yang keliru, sehingga timbul interprestasi dan pengertian yang salah sama sekali, sebabnya ialah semua itu diwarnai harapan yang terlalu muluk, dan kecemasan yang berlebihan, dunia dan masyarakat tampak mengerikan dan mengandung bahaya laten dimata anak. 3. Gangguan berfikir dan intelegensi pada diri remaja
32
Kartini Kartono, 2011. Patologis Sosial 2 Kenakalan remaja, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, hlm.109
24
Berfikir mutlak perlu bagi kemampuan orientasi yang sehat dan adaptasi wajar terhadap tuntutan lingkungan dan upaya memecahkan kesulitan dan permasalahan hidup sehari-hari. Intelegensi atau kecerdasan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan secara tepat, cermat, efisien alat-alat bantu berfikir guna memecahkan masalah dan adaptasi diri terhadap tuntutan baru.
4. Gangguan perasaan/emosional pada anak-anak remaja Adapun gangguan-gangguan fungsi perasaan ini antara lain berupa: a) Inkontinensi emosional ialah tidak terkendalinya perasaan yang meletup-letup eksplosif, tidak bisa dikekang;33 b) Labilitas emosional ialah suasana hati yang terus menerus berganti dan tidak tetap; c) Ketidakpekaan dan menumpulnya perasaan, disebabkan oleh karena sejak kecil anak-anak tidak pernah diperkenalkan dengan kasih sayang, kelembutan, kebaikan dan perhatian; d) Ketakutan dan kecemasan, merupakan bentuk ketakutan pada hal-hal yang tidak jelas, tidak rill, dan dirasakan sebagai ancaman yang tidak bisa dihindari; e) Perasaan rendah diri (inferior) dapat melemahkan fungsi berfikir, intelektual, dan kemauan anak. 33
Ibid.
25
2.8.2
Faktor eksternal Faktor eksternal atau eksogen dikenal pula sebagai pengaruh alam
sekitar, faktor sosial atau faktor sosiologis adalah semua perangsang dan pengaruh luar yang menimbulkan tingkah laku tertentu pada anak remaja (tindak kekerasan, kejahatan, perkelahian massa dan seterusnya). Adapun yang menjadi faktor penyebabnya antara lain sebagai berikut:34 1. Faktor keluarga Adapun faktor penyebabnya dalam keluarga antara lain: a) Rumah tangga berantakan; b) Perlindungan lebih dari orang tua; c) Penolakan orang tua; d) Pengaruh buruk dari orang tua. 2. Faktor milieu Milieu atau lingkungan sekitar tidak selalu baik menguntungkan bagi pendidikan dan perkembangan anak. Lingkungan adakalnya dihuni oleh orang dewasa serta anak muda kriminal dan anti sosial, yang bisa merangsang timbulnya reaksi emosianal buruk pada anak-anak puber dan adolenses yang masih labil jiwanya. Kelompok orang dewasa yang kriminal dan asusila tersebut biasanya terdiri atas orang-orang
34
Ibid.
26
gelandangan, tidak punya rumah dan pekerjaan yang tetap, malas bekerja namun berambisi besar untuk hidup mewah dan bersenag-senang.35 2.9 Dimensi Yuridis tentang Tawuran/Perkelahian Massa dan Perilaku Remaja/Kenakalan Remaja Dalam
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana
tak
dikenal
pertanggungjawaban kolektif, Sanksi lebih ditujukan pada individu. Menjatuhkan sanksi pada kelompok secara merata hampir sangat tak mungkin. Melihat sifat kolektif tawuran yang begitu rumit dan khas, perlu tindakan yang bersumber dari peranti hukum pidana berupa sanksi yang adil dan efektif. Adapun aturan-aturan dalam hukum pidana yang dapat digolongkan dalam perbuatan terhadap kasus Tawuran atau Kekerasan kelompok dalam KUHP antara lain: Pasal 169 ayat 1 “turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan, atau turut serta dalam perkumpulan lainnya yang dilarang oleh aturan-aturan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Pasal 170 (1) Barang siapa terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Yang bersalah diancam 1. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang diguanakan mengakibatkan luka; 2. Dengna pidana penjaran paling lama sembian tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat; 35
Ibid.
27
3. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut. Pasal 358 “mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian dimana terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam: 1. Dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika akibat penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat; 2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika akibatnya ada yang meninggal. Dari uraian penjelasan beberapa Pasal diatas dapat disimpulkan bahwa peraturan mengenai tawuran atau perkelahian kelompok orang, ada terdapat beberapa pasal yag tidak menyebutkan kelompok, karena kata barangsiapa hanya tertuju pada satu orang saja, hanya kata yang mengatakan “tenaga bersama dan perkumpulan” dalam Pasal 169 dan 170 sudah bisa digolongkan dalam perbuatan yang dilakukan oleh kelompok. Kasus tawuran atau perkelahian massa ini dilakukan oleh masyarakat pada umumnya, hanya saja yang banyak berperan adalah anak-anak remaja. Menurut Zakiah daradjat bahwa remaja adalah masa peralihan dari anak menjelang dewasa/remaja adalah suatu tingkatan umur, dimana anak-anak tidak lagi disebut anak, akan tetapi belum dapat dipandang dewasa. Jadi remaja adalah umur yang menjembatani antara umur anak-anak dan umur dewasa, Adapun yang dikatakan dewasa sudah berumur 21 tahun akan tetapi sudah atau sudah pernah
28
menikah dan apabila masih berumur 17 tahun sudah menikah tidak lagi disebut anak.36 Selanjutnya menurut Wagiati Soetedjo mengemukakan bahwa masa remaja atau masa pubertas bias dibagi menjadi 4 (empat) fase yaitu: 1. Masa awal pubertas sebenarnya, disebut pula sebagai masa pueral/prapubertas; 2. Masa menetang kedua, fase negative, trozalter kedua, periode verneinung; 3. Masa pubertas sebenarnya, mulai kurang lebih 14 tahun. Masa pubertas pada anak wanita umumnya berlangsung lebih awal daripada masa pubertas lakilaki; 4. Fase adolescence, mulai kurang lebih usia 17 tahun sampai sekarang sekitar 19 tahun hingga 21 tahun.37 Menurut Badan Koordinasi dan Pelaksana (Bakolak) inpres No. 6 tahun 1971, menyatakan bahwa batas usia remaja adalah umur 12-18 tahun (belum menikah), karena dianggap sebagai masa penghubung atau masa peralihan terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial. Perilaku remaja atau dapat dikatakan sebagai kenakalan remaja menurut Menurut Bimo Walgito merumuskan arti selengkapnya dari juvenile delinquency sebagai berikut : tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang 36 37
Yesmil Anwar dan Adang, Kriminologi, Op.cit.hlm.381 Ibid.
29
dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi merupakan perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh anak, khususnya anak remaja. Sedangkan, menurut
Fuad Hasandefinisi juvenile delinquency (kenakalan remaja) yaitu
perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bilamana dilakukan orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan. Dari kedua pakar tersebut subyek bergeser dari kualitas anak menjadi remaja/anak remaja. Bertititk tolak pada konsepsi dasar inilah, maka juvenile Delinqency atau kenakalan remaja ialah perbuatan/kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anak remaja yang bersifat melawan hukum, anti sosial, anti susila, dan menyalahi norma-norma.38 Sedangkan kenakalan anak menurut R. Kusumanto Setyonegoro kenakalan anak yaitu tingkah laku individu yag bertentangan dengan syarat dan pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik, oleh lingkungan masyarakat yang berkebudayaan tertentu.39 Adapun pengertian anak menurut UU antara lain sebagai berikut: 1. Pasal 1 ke-1 Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yaitu anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan; 2. Pasal 1 ke-1 Undang-undang No.3 tahun1997 tentang pengadilan anak yaitu bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah 38
Sudarsono 2008.Kenakalan Remaja. Jakarta, PT Rineka Cipta, hlm. 11. Nashriana, 2011.Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, Jakarta, PT.RajaGrafindo Persada, hlm.28 39
30
mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah; 3. Pasal 45 KUHP yaitu dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun. Purnianti
mendefinisikan kenakalan remaja berdasarkan presfektif
sosiologis, dalam 3 kategori yaitu; 1) Definisi hukum, menekankan pada tindakan/perlakuan yang bertentangan dengan norma yang diklasifikasikan secara hukum; 2) Definisi peranan, dalam hal ini penekanannya pada pelaku, remaja yang peranannya diindentifikasikan sebagai kenakalan; 3) Definisi masyarakat, perilaku ini ditentukan oleh masyarakat.40 Penentu utama dalam kenakalan remaja adalah hukum pidana. Dalam kaitan ini pembatasan dari para ahli hukum Anglo saxon dapat diterima, bahwa; a. Juvenile delinquency berarti perbuatan dan tingkah laku yang merupakan perbuatan perkosaan terhadap norma hukum pidana dan pelnggaranpelanggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh anak-anak remaja;
40
Marlina,2009.Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, PT Refika Aditama, hlm.40.
31
b. Juvenile deliqency adalah offenders (pelaku pelanggaran) yang terdiri dari “anak” (berumur dibawah 21 tahun=fubertas), yang termasuk yuridiksi pengadilan anak (juvenile court).
32