BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anak Usia Dini Masa kanak-kanak dibagi menjadi dua periode yang berbeda, yaitu masa awal dan masa akhir kanak-kanak. Periode awal berlangsung dari umur dua tahun sampai enam tahun dan periode akhir dari enam tahun sampai tiba saatnya anak matang secara seksual. Dengan demikian masa awal kanak-kanak dimulai sebagai penutup masa bayi, yaitu usia dimana ketergantungan secara praktis sudah dilewati dan diganti dengan tumbuhnya kemandirian anak serta berakhir di sekitar usia masuk sekolah dasar (Hurlock,1980). Anak usia dini (0-6 tahun) adalah individu yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan. Usia dini dapat dikatakan sebagai usia emas (golden age) yaitu usia yang sangat berharga dibanding usia-usia selanjutnya (Hurlock, 1980). Usia prasekolah dimaksudkan sebagai usia dimana anak belum memasuki suatu lembaga pendidikan formal seperti sekolah dasar (SD). Biasanya mereka tetap tinggal di rumah atau mengikuti kegiatan dalam berbagai bentuk lembaga pendidikan prasekolah seperti kelompok bermain, taman kanak-kanak atau taman pengasuhan anak (Seto, 2004). Menurut Hurlock (1980) anak dari kelompok sosial ekonomi yang lebih tinggi cenderung memperoleh gizi dan perawatan yang lebih baik sebelum dan sesudah kelahiran. Secara umum mereka akan mempunyai perkembangan tinggi, berat dan
Universitas Sumatera Utara
otot-otot badan cenderung lebih baik. Lingkungan sekolah dapat membentuk kebiasaan makan bagi anak-anak. Untuk anak taman kanak-kanak, biasanya mereka membawa bekal dari rumah kemudian makan bersama di kelas. Anak usia 3-6 tahun sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan dalam segala fungsi dan organ tubuh. Di usia ini merupakan masa pembelajaran yang menentukan siapa dirinya kelak dan juga merupakan masa mengembangkan kemampuan motoriknya. Selain itu, pada masa ini pertambahan berat badannya bertambah sekitar 1,81 kilogram dan tinggi badannya bertambah sekitar 5,08 sentimeter per tahun (Safitri, 2004). Usia 3-6 tahun merupakan masa yang penting untuk melatih kebiasaan yang sehat dalam segala aktivitas anak. Hal yang perlu diperhatikan dalam masa tumbuh kembang anak usia 3-6 tahun adalah pemberian gizi yang seimbang serta diiringi dengan olah raga dan tidur yang teratur. Karena selain faktor genetik, faktor lingkungan dengan ketiga hal tersebut juga sangat berpengaruh dalam tumbuh kembang anak. Tumbuh kembang anak yang normal tidak hanya secara fisik saja, namun juga secara mental. Oleh karena itu pada masa tumbuh kembang anak usia 3-6 tahun ini, orang tua juga harus membangun proses pengembangan mental spritualnya pula. Salah satunya membangun konsep diri positif serta mempersiapkannya menuju masa pubertas (Safitri, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.2. Program Pendidikan Anak Usia Dini Program ini bertujuan agar semua anak usia dini (usia 0-6 tahun), baik lakilaki maupun perempuan memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya, sesuai tahap-tahap perkembangan atau tingkat usia mereka. PAUD juga merupakan pendidikan persiapan untuk mengikuti jenjang pendidikan sekolah dasar. Secara lebih spesifik, program ini bertujuan untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan pendidikan melalui jalur formal seperti Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat, serta jalur pendidikan non-formal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA) atau bentuk lain yang sederajat, dan jalur informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. PAUD bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi anak (the whole child) agar kelak dapat berfungsi sebagai manusia yang utuh sesuai kultur, budaya, dan falsafah suatu bangsa. Anak dapat dipandang sebagai individu yang baru mulai mengenal dunia. Ia belum mengetahui tatakrama, sopan-santun, aturan, norma, etika, dan berbagai hal tentang dunia. Ia juga sedang belajar berkomunikasi dengan orang lain dan belajar memahami orang lain. Anak perlu dibimbing agar mampu memahami berbagai hal tentang dunia dan isinya. Ia juga perlu dibimbing agar memahami berbagai fenomena alam dan dapat melakukan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup di masyarakat. Interaksi anak dengan benda dan dengan orang lain diperlukan untuk belajar agar anak mampu mengembangkan kepribadian, watak, dan akhlak yang mulia. Usia dini merupakan saat yang amat berharga untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme, kebangsaan, agama, etika, moral, dan sosial
Universitas Sumatera Utara
yang berguna untuk kehidupannya dan strategis bagi pengembangan suatu bangsa (Departeman Pendidikan Nasional, 2007).
2.3. Konsumsi Pangan Anak Usia Dini Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Oleh karena itu, pangan harus selalu tersedia pada setiap saat dan tempat dengan mutu yang memadai. Pangan dengan nilai gizi yang cukup dan seimbang merupakan pilihan terbaik untuk dikonsumsi guna mencapai status gizi dan kesehatan yang optimal. Bagi tubuh nilai suatu bahan pangan ditentukan oleh isinya atau zat gizi apa yang dikandungnya. Zat gizi yang terkandung dalam pangan digunakan untuk memberikan energi pada tubuh, untuk pertumbuhan dan untuk memperbaiki jaringan tubuh yang telah rusak serta mengatur proses dalam tubuh. Jadi nilai gizi pangan menyangkut ketersediaannya secara biologis atau dapat tidaknya zat gizi tersebut digunakan tubuh. Pangan dengan kandungan gizi yang lengkap, dalam jumlah yang proporsional mempunyai potensi yang besar untuk menjadi pangan yang bergizi tinggi. Tinggi rendahnya nilai gizi suatu pangan merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk menilai mutu pangan tersebut. Selain nilai gizi, mutu pangan juga ditentukan oleh keadaan fisik, mikrobiologis serta penerimaan secara indrawi (Rimbawan, 1999). Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan konsumsi pangan adalah untuk memperoleh zat gizi yang diperlukan tubuh. Kebiasaan
Universitas Sumatera Utara
mengonsumsi pangan yang baik akan menyebabkan status gizi yang baik pula, dan keadaan ini dapat terlaksana apabila telah tercipta keseimbangan antara banyaknya jenis-jenis zat gizi yang dikonsumsi dengan banyaknya gizi yang dibutuhkan tubuh (Suhardjo, 1990). Anak usia dini merupakan golongan yang berada dalam masa pertumbuhan yang pesat. Dalam usia dini memerlukan asupan gizi yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya. Dalam mengonsumsi pangan, anak sangat tergantung pada konsumsi pangan keluarga/kebiasaan konsumsi pangan keluarga. Kekurangan konsumsi pangan di tingkat keluarga akan dapat menurunkan asupan gizi anak, dan ini ditandai dengan menurunnya kemampuan fisik, terganggunya pertumbuhan, perkembangan, dan kemampuan berfikir serta adanya angka kesakitan dan kematian yang tinggi (Winarno, 1990). Konsumsi makanan anak usia dini harus memenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan yaitu zat gizi esensial (energi, protein, vitamin, mineral dan air) dalam jumlah yang cukup (Pudjiadi, 1999). Suhardjo (2003) berpendapat bahwa seseorang tidak dapat menghasilkan energi yang melebihi dari apa yang diperoleh dari makanan kecuali jika meminjam atau menggunakan cadangan energi dalam tubuh, namun kebiasaan meminjam ini akan dapat mengakibatkan keadaan yang gawat, yaitu kekurangan gizi khususnya energi. Kartasapoetra dan Marsetyo (2001) juga berpendapat bahwa dalam usaha menciptakan manusia yang sehat pertumbuhannya, penuh semangat dan penuh kegairahan dalam kerja, serta tinggi daya cipta dan
Universitas Sumatera Utara
kreatifitasnya, maka sejak anak usia dini harus dipersiapkan. Untuk itu energi harus benar-benar diperhatikan, harus tetap selalu berada dalam serba kecukupan. Suhardjo (2003) menyatakan bahwa status gizi atau tingkat konsumsi pangan merupakan bagian terpenting dari status kesehatan seseorang. Tidak hanya status gizi yang mempengaruhi kesehatan seseorang, tetapi status kesehatan juga mempengaruhi status gizi. Hal ini sejalan dengan pendapat Sediaoetama (2000) yang menyatakan bahwa tingkat kesehatan gizi sesuai dengan konsumsi pangan, tingkat kesehatan gizi terbaik adalah kesehatan gizi optimum. Tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai daya kerja dan efisiensi yang sebaik-baiknya, serta mempunyai daya tahan setinggitingginya. Untuk menjamin kebutuhan zat gizi anak usia dini dengan mutu gizi yang baik, maka makanan yang biasa dikonsumsi anak usia dini harus mengandung zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur. Oleh karena itu sangat dianjurkan untuk memberi makanan yang beraneka ragam, diantaranya sumber tenaga seperti serealia, sumber protein seperti bahan pangan hewani dan kacang-kacangan serta sumber zat pengatur, misalnya sayuran dan buah-buahan (Krisnatuti & Yenrina, 2000).
2.4. Pola Makan dan Status Gizi Anak Tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh kualitas makanan dan gizi yang dikonsumsi. Karyadi (1985) menyatakan bahwa makanan merupakan kebutuhan fisiologis maupun psikologis untuk anak dan orang tua. Oleh karena itu, perlu diciptakan situasi pemberian makan kepada anak yang memenuhi kebutuhan (a)
Universitas Sumatera Utara
fisiologis, yaitu memenuhi kebutuhan zat gizi untuk proses metabolisme, aktivitas dan tumbuh kembang anak; (b) psikologis, yaitu untuk memberikan kepuasan kepada anak dan untuk memberikan kenikmatan lain yang berkaitan dengan anak serta (c) edukatif, yaitu mendidik anak terampil mengkonsumsi makanan dan untuk membina kebiasaan dan perilaku makan, memilih dan menyukai makanan yang baik, dan dibenarkan oleh keyakinan atau agama orang tua masing-masing (Samsudin, 1993). Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Kondisi status gizi baik dapat dicapai bila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang akan digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja untuk mencapai tingkat kesehatan optimal (Depkes RI, 2003). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Munawaroh (2006) di Kabupaten Pekalongan yang menyatakan bahwa balita dengan pola makan tidak baik mempunyai risiko untuk mengalami status gizi kurang 8,1 kali lebih besar daripada balita dengan pola makan baik. Hasil penelitian Adi (2005) di Semarang juga menyatakan bahwa besarnya resiko terjadinya KEP ringan dan sedang pada balita yang mengkonsumsi protein <80% AKG sebesar 6,9 kali dari konsumsi protein pada balita yang >80% AKG. Menurut Sayogya (1996) gizi kurang pada anak dapat menyebabkan anak menjadi kurus dan pertumbuhan terhambat, terjadi karena kurang zat sumber tenaga dan kurang protein (zat pembangun) yang diperoleh dari makanan. Zat tenaga dan zat pembangun diperlukan anak dalam membangun badannya yang tumbuh pesat. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kualitas
Universitas Sumatera Utara
hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan hidangan dan perbandingannya yang satu terhadap yang lain (Santoso, 2004).
2.5. Kebutuhan Gizi Anak Usia Dini Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat konsumsi zat gizi yang terdapat pada makanan sehari-hari. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam suatu susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain. Kualitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Kalau susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, maka tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan gizi yang sebaik-baiknya, disebut konsumsi adekuat. Kalau konsumsi baik dari kuantitas dan kualitasnya melebihi kebutuhan tubuh, dinamakan konsumsi berlebih, maka akan terjadi suatu keadaan gizi lebih. Sebaliknya konsumsi yang kurang baik kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi kurang atau kondisi defisit (Sediaoetama, 2000). Makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Sebaliknya, bila makanan tidak dipilih dengan baik, tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu. Zat-zat gizi yang dapat memberikan energi adalah karbohidrat, lemak dan protein. Oksidasi zat-zat gizi ini menghasilkan energi yang diperlukan tubuh untuk melakukan aktivitas (Almatsier, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Bahan pangan penghasil zat pembangun adalah protein. Ada protein metabolik yang dibutuhkan dalam proses metabolisme tubuh dan protein struktural sel. Kelompok rawan seperti bayi, balita, anak yang sedang tumbuh maupun ibu hamil dan ibu menyusui membutuhkan protein dalam jumlah besar sehingga kebutuhan juga meningkat (Sudiarti dan Indrawani, 2007). Kebutuhan zat gizi tidak sama bagi semua orang, tetapi tergantung banyak hal, antara lain umur (Soekirman, 2000). Di bawah ini adalah angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan pada bayi dan balita (per orang per hari). Tabel 2.1. Kebutuhan Zat Gizi Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) Rata-Rata Per Hari No. Umur (tahun) Energi (kkal) Protein (gr) 1. 1-3 1000 25 2. 4-6 1550 39 Sumber : Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII, Jakarta, 2004
Pola makanan anak yang dianjurkan berdasarkan bentuk makanan dan banyaknya makanan dalam ukuran rumah tangga dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.2. Pola Makanan Anak Per Hari Berdasarkan Bentuk Makanan Dan Banyaknya Makanan dalam Ukuran Rumah Tangga Umur Bentuk Makanan 1-3 piring nasi/pengganti
≥ 3 tahun
2-3 potong
lauk hewani
1-2 potong
lauk nabati
1-1½ mangkuk
sayur
2-3 potong
buah-buahan
1-2 gelas
susu
Sumber : DepKes RI, 2002
Universitas Sumatera Utara
2.6. Status Gizi Status Gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2002). Menurut Jellife (1989) status gizi adalah keadaan tubuh individu atau masyarakat yang dapat mencerminkan hasil dari makanan
yang
dikonsumsi,
kemudian
dicerna,
diserap,
didistribusikan,
dimetabolisme dan selanjutnya sebagian disimpan dalam tubuh ataupun dikeluarkan. Keadaan gizi seseorang yang dapat dinilai untuk mengetahui apakah seseorang itu normal atau bermasalah. Gizi salah adalah gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan atau kelebihan atau ketidakseimbangan zat-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, kecerdasan, aktivitas, dan produktivitas (Depkes RI, 2001). 2.6.1 Pengukuran Antropometri Penilaian status gizi bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum mengenai metode penilaian status gizi, memberikan penjelasan mengenai keuntungan dan kelemahan dari masing-masing metode yang ada, dan memberikan gambaran singkat mengenai pengumpulan data, perencanaan, dan implementasi untuk penilaian status gizi (Hartriyanti dan Triyanti, 2007). Penilaian status gizi anak prasekolah dapat dilakukan berdasarkan penilaian antropometri, yaitu BB menurut umur dan jenis kelamin yang kemudian dibandingkan dengan rujukan atau baku standar. Berdasarkan SK. Menteri Kesehatan RI tahun 2002, ditetapkan penilaian status gizi berdasarkan antropometri, khususnya
Universitas Sumatera Utara
untuk indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB dengan membandingkan hasilnya pada sebaran normal (Standar Deviasi/SD). 2.6.2 Kelebihan Antropometri Antropometri adalah ukuran dari tubuh dan sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan energi dan protein. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa, 2002). Kelebihan antropometri gizi antara lain: relatif murah, cepat, dapat dilakukan pada populasi yang besar, objektif, tidak menimbulkan rasa sakit pada responden, dan dapat dikategorikan menjadi ringan, sedang, atau berat (Jelliffe , 1989). 2.6.3 Kelemahan Antropometri Beberapa keterbatasan antropometri antara lain adalah: membutuhkan data referensi yang relevan. Dalam pengukuran antropometri bisa terjadi beberapa kesalahan seperti kesalahan pada peralatan yang belum dikalibrasi, kesalahan pada pengukur seperti kesalahan pengukuran, pembacaan, pencatatan, tidak dapat memperoleh informasi karena defisiensi zat gizi mikro, dan hanya mendapatkan data pertumbuhan, obesitas, malnutrisi karena kurang energi dan protein (Jelliffe, 1989). Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) (Supariasa, 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.6.4 Indikator Berat Badan menurut Umur (BB/U) Salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh adalah berat badan. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi (Supariasa, 2002). Dalam keadaan normal dimana kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal terdapat dua kemungkinan yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Gibson, 1995). 2.6.5 Indikator Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Antropometri yang menggambarkan pertumbuhan skeletal adalah tinggi badan. Tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Bila dalam keadaan normal dan dalam jangka waktu yang pendek kurang sensitif terhadap kekurangan zat gizi sehingga apabila terjadi defisiensi zat gizi akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Kelebihan indeks TB/U adalah baik untuk menilai status gizi masa lampau dan ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa, sedangkan kelemahan indeks TB/U adalah pengukuran relatif lebih sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya dan ketepatan umur sulit didapat (Supariasa, 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.6.6 Indikator Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB ) Berat badan mempunyai hubungan linear dengan tinggi badan. Perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini dan indeks ini tidak tergantung kepada umur (Jelliffe, 1989). Kelebihan indeks BB/TB yaitu tidak memerlukan data umur dan dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal, dan kurus), sedangkan kelemahan indeks BB/TB adalah membutuhkan dua macam alat ukur, pengukuran relatif lebih lama, membutuhkan dua orang untuk melakukannya, sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran terutama bila dilakukan oleh kelompok non professional, dan tidak dapat memberikan gambaran anak pendek, cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan menurut umur karena faktor umur tidak diperhitungkan, serta sering mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang badan maupun tinggi badan pada kelompok balita (Supariasa, 2002). 2.7. Metode Penilaian Konsumsi Makanan Salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perseorangan atau kelompok adalah survey konsumsi makanan. Penilaian konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Tujuan penilaian konsumsi makanan adalah untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat individu, kelompok, dan rumah tangga serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut (Supariasa, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan jenis data yang diperoleh maka pengukuran konsumsi makanan terdiri dari dua jenis yaitu: 1. Metode kualitatif yang diantaranya adalah frekuensi makan, dietary history, metode telepon, dan pendaftaran makanan (food list). 2. Metode kuantitatif diantaranya adalah metode recall 24 jam, perkiraan makanan, penimbangan makanan metode food account, metode inventaris (inventory method) dan pencatatan (household food records). Sedangkan metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu antara lain : 1. Metode recall 24 jam. 2. Estimated food records. 3. Metode penimbangan makanan (food weighing). 4. Metode dietary history. 5. Metode frekuensi makanan (food frekuensi) (Supariasa, 2002). 2.7.1 Metode Food Recall 24 Jam Dalam metode ini, responden, ibu atau pengasuh (bila anak masih kecil) disuruh menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu (kemarin). Biasanya dimulai sejak dia bangun pagi kemarin sampai dia istirahat tidur malam harinya, atau dapat juga dimulai dari waktu saat dilakukan wawancara mundur ke belakang sampai 24 jam penuh. Misalnya, petugas datang pada pukul 07.00 ke rumah responden, maka konsumsi yang ditanyakan adalah mulai pukul 07.00 (saat itu) dan mundur ke belakang sampai pukul 07.00, pagi hari sebelum-nya. Wawancara
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh petugas yang sudah terlatih dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Untuk mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan individu ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat ukuran rumah tangga (sendok, gelas, piring dan lain-lain) atau ukuran lainnya yang biasa dipergunakan sehari-hari. Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makanan individu. Oleh karena itu, recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturutturut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Sanjur, 1997). 2.7.2 Food Frequency Questionnaire (FFQ) Food Frequency Questionnaire adalah metode untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Dengan food frequency dapat diperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif, tapi karena periode pengamatan lebih lama dan dapat membedakan individu berdasarkan rangking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi (Supariasa, 2002). Untuk memperoleh asupan gizi secara relatif atau mutlak, kebanyakan FFQ sering dilengkapi dengan ukuran khas setiap porsi dan jenis makanan. Karena itu
Universitas Sumatera Utara
FFQ tidak jarang ditulis sebagai riwayat pangan semikuantitatif (semiquantitative food history). Asupan zat gizi secara keseluruhan diperoleh dengan jalan menjumlahkan kandungan zat gizi masing-masing pangan. Sebagian FFQ justru memasukkan pertanyaan tentang bagaimana makanan biasanya diolah, penggunaan makanan suplemen, serta makanan bermerek lain (Arisman, 2004).
2.8. Kerangka Konsep Penelitian Konsumsi pangan : − Jenis makanan − Frekuensi makan − Konsumsi energi dan protein
Status gizi anak usia dini
Gambar 1. Kerangka konsep penelitian Bagan di atas menjelaskan bahwa konsumsi pangan anak usia dini yang meliputi jenis makanan, frekuensi makan dan jumlah konsumsi energi dan protein dapat menggambarkan keadaan status gizi anak berdasarkan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)..
Universitas Sumatera Utara