BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.
Kajian Literatur
2.1.1. Good Corporate Governance Good Corporate Governance (GCG) menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) adalah salah satu pilar dari sistem ekonomi pasar. Corporate Governance berkaitan erat dengan kepercayaan baik terhadap perusahaan yang melaksanakannya maupun terhadap iklim usaha di suatu negara. Penerapan GCG mendorong terciptanya persaingan yang sehat dan iklim usaha yang kondusif (Sulistyanto dan Lidyah, 2002). Good Corporate Governance secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (Value Added) untuk semua stockholder (Desai dan Dharmapala, 2007). Secara singkat, ada empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep Good Corporate Governance ini, yaitu Fairness, Transparancy, Accountability, dan Responsibility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapan prinsip Good Corporate Governance secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan (Beasly, 1996 dalam Sulistyanto dan Wibisono, 2003). Selain itu dalam Effendi (2009 : 3) menyatakan juga bahwa dalam good corporate governance terdapat salah satu prinsip yaitu pengungkapan dan transparansi. Semua kerangka yang dibangun dalam corporate governance harus menjamin adanya pengungkapan yang tepat waktu dan akurat untuk setiap permasalahan berkaitan dengan perusahaan. Pengungkapan tersebut mencakup 8
didalamnya mengenai informasi kondisi kinerja keuangan, kepemilikan, dan tata pengelolaan perusahaan. Untuk prinsip pengungkapan dan transparansi ini dapat dikaitkan dengan kualitas audit sebagai salah satu titik indikator pengukuran pengungkapan dan transparansi laporan keuangan. Objektivitas dalam kualitas audit itu sendiri memiliki manfaat sebagai berikut :
Meningkatkan kepekaan terhadap elemen vital dari kualitas audit
Memaksa para pemegang saham untuk selalu menemukan cara untuk meningkatkan kualitas audit
Memfasilitasi dialog yang lebih baik antara para pemegang saham berkaitan dengan topik
2.1.1.1. Kualitas Audit Kualitas Audit merupakan salah satu elemen penting dalam Corporate Governance adalah transparansi. Transparansi terhadap pemegang saham dapat dicapai dengan melaporkan hal-hal terkait perpajakan pada pasar modal dan pertemuan para pemegang saham. Peningkatan transparansi terhadap pemegang saham dalam hal pajak semakin dituntut oleh otoritas publik (Sartori, 2010). Alasannya adalah adanya asumsi bahwa implikasi dari perilaku pajak yang agresif, pemegang saham tidak ingin perusahaan mereka mengambil posisi agresif dalam hal pajak dan akan mencegah tindakan tersebut jika mereka tahu sebelumnya. Laporan keuangan yang diaudit oleh auditor KAP The Big Four menurut beberapa referensi dipercaya lebih berkualitas sehingga menampilkan nilai perusahaan yang sebenarnya, oleh karena itu diduga perusahaan yang diaudit oleh KAP The Big Four (PriceWaterhouseCooper - PWC, Deloitte Touche Tohmatsu, KPMG, Ernst & 9
Young-E&Y) memiliki tingkat kecurangan yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang diaudit oleh KAP non The Big Four. Pada umumnya sebuah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang besar (yang bekerja sama dengan KAP internasional) memiliki insentif yang kuat untuk menyelesaikan tugas audit lebih cepat demi mempertahankan reputasinya. KAP besar juga memiliki lebih banyak pengalaman yang membuat mereka dapat melakukan tugas audit lebih cepat. KAP ini dapat menjalankan audit secara lebih efisien dan efektif, serta memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dalam penjadwalan audit (Ratnawaty & Sugiharto,2005 dalam Kumalasari, 2010). 2.1.2. Karakteristik Perusahaan Dalam laporan keuangan, karakteristik perusahaan dapat ditetapkan dengan menggunakan tiga kategori, yaitu : Karakteristik yang berhubungan dengan struktur (structure), kinerja (performance), dan pasar (market) (Subiyantoro,1996). Struktur dalam karakteristik perusahaan termasuk didalamnya ukuran perusahaan (size) dan kemampuan perusahaan untuk melunasi kewajiban atau leverage. Sedangkan kinerja didalamnya termasuk kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba (profitabilitas perusahaan). Untuk karakteristik yang berhubungan dengan pasar dapat ditentukan dengan tipe industri atau tipe auditor. Corporate governance sendiri juga memiliki peran penting dalam karakteristik perusahaan dengan perannya sebagai suatu tatanan dalam penetapan tujuan perusahaan dan proses pengawasan atas suatu kinerja perusahaan.
10
2.1.2.1. Ukuran Perusahaan Machfoedz (1994) dalam Suwito dan Herawati (2005) menyatakan bahwa ukuran perusahaan adalah suatu skala yang dapat mengklasifikasikan perusahaan menjadi perusahaan besar dan kecil menurut berbagai cara seperti total aktiva atau total aset perusahaan, nilai pasar saham, rata-rata tingkat penjualan, dan jumlah penjualan. Ukuran perusahaan umumnya dibagi dalam 3 kategori, yaitu large firm, medium firm, dan small firm. Penentuan ukuran perusahaan didasarkan kepada total asset perusahaan. Semakin besar total asset maka menunjukkan bahwa perusahaan mempunyai prospek yang lebih baik dalam jangka panjang atau lain kata menggambarkan bahwa perusahaan memiliki kestabilan yang lebih dalam menghasilkan laba dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki total asset yang lebih sedikit. Sedangkan dalam Riyanto (2008 : 313) yaitu besar kecilnya perusahaan dilihat dari besarnya nilai ekuitas, nilai penjualan atau nilai aktiva. Definisi ini hampir sama dengan definisi sebelumnya dimana total asset dijadikan sebagai ukuran perusahaan yang menentukan suatu perusahaan termasuk perusahaan besar,menengah,atau kecil. Tahap kedewasaan perusahaan ditentukan berdasarkan total aktiva, semakin besar total aktiva menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek baik dalam jangka waktu yang relatif panjang. Hal ini juga menggambarkan bahwa perusahaan lebih stabil dan lebih mampu dalam menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan total aktiva yang kecil (Indriani, 2005 dalam Rachmawati dan Triatmoko, 2007). Watts dan Zimmerman (1986) dalam Achmad et al. (2007) menyatakan
11
bahwa manajer perusahaan besar cenderung melakukan pemilihan metode akuntansi yang menangguhkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode mendatang guna memperkecil laba yang dilaporkan. 2.1.2.2. Return on Asset ROA adalah suatu rasio keuangan yang menunjukkan berapa persentase profit yang diperoleh perusahaan dalam hubungan dengan pemanfaatan sumber dayanya. Umumnya ROA didefinisikan dengan total dari laba bersih dibagi dengan total asset keseluruhan. Laba bersih dalam proses akuntansinya berasal dari laporan keuangan dari sebuah perusahaan dimana laba bersih tersebut didapatkan setelah dikenakan pajak. Total asset sendiri didapatkan dari balance sheet yang didalamnya termasuk kas, dan item yang ekuivalen dengan kas seperti piutang, inventori, tanah, depresiasi perlengkapan, dan nilai lebih dari properti atau asset yang dikenal sebagai Patent. Biasanya perusahaan dengan nilai ROA yang tinggi akan semakin lebih baik, tetapi perhitungan ini akan lebih baik diterapkan dengan perusahaan dengan level kapitalisasi yang sama. Perusahaan yang memiliki tingkat intensifitas kapitalisasi yang lebih akan semakin sulit untuk mencapai nilai ROA yang tinggi seperti perusahaan manufaktur sebagai contoh yang membutuhkan sumberdaya yang banyak. ROA biasanya digunakan secara internal oleh perusahaan untuk memantau penggunaan asset dari waktu ke waktu, untuk memonitor performa perusahaan, dan untuk membedakan operasi atau divisi dengan membandingkan satu dengan yang lainnya. Beberapa penelitian terdahulu sering menggambarkan bahwa ROA berguna untuk mengukur sejauh mana efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan seluruh
12
sumber daya yang dimilikinya (Siahan, 2004). Sedangkan Dendawijaya (2003: 120) menyatakan bahwa ROA menggambarkan kemampuan manajemen untuk memperoleh keuntungan (laba). Semakin tinggi ROA, semakin tinggi keuntungan perusahaan sehingga semakin baik pengelolaan aktiva perusahaan. Menurut Lestari dan Sugiharto (2007: 196), ROA merupakan pengukur keuntungan bersih yang diperoleh dari penggunaan aktiva. Semakin tinggi rasio ini maka semakin baik produktivitas asset dalam memperoleh keuntungan bersih 2.1.2.3. Leverage Leverage dalam definisi dunia bisnis mengacu terhadap pemakaian asset dan sumber dana oleh perusahaan yang dimana dalam penggunaan asset atau dana tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan yang nantinya akan diperoleh bagi para stakeholder perusahaan. Leverage pada perusahaan ada dua macam, yaitu Operating Leverage dan Financial Leverage (Martono dan Harjito, 2006:295). Operating Leverage yaitu kemampuan perusahaan dalam menggunakan biaya operasi tetap untuk memperbesar pengaruh dari perubahan volume penjualan terhadap Earning Before Interest and Taxes (EBIT) (Syamsudin, 2007:107). Sedangkan menurut Rajan and Zingales (1995) dalam Djebali and Belanis (2012:181) Financial Leverage didefinisikan sebagai rasio dari hutang (baik hutang jangka panjang maupun jangka pendek) terhadap total aktiva. Adhikari, Derashid and Zhang (2006:584) juga mendefinisikan leverage sebagai rasio dari total hutang dibagi dengan total aktiva. Sedangkan menurut Sartono (2002) Leverage menunjukkan penggunaan hutang untuk membiayai investasi. Leverage merupakan rasio yang mengukur seberapa jauh perusahaan menggunakan utang. Leverage
13
menggambarkan hubungan antara total asset dengan modal saham biasa atau menunjukkan penggunaan utang untuk meningkatkan laba (Husnan, 2002). Menurut Kurniasih dan Sari (2013 : 63) leverage adalah rasio yang mengukur kemampuan hutang baik jangka pendek untuk membiayai aktiva perusahaan. Leverage menjadi sumber pendanaan perusahaan dari pihak eksternal dengan hutang. Dalam hal ini hutang yang dimaksud adalah hutang jangka panjang. Beban Bunga secara jangka panjang akan mengurangi beban pajak yang ada. Perusahaan yang menggunakan hutang akan menimbulkan adanya bunga yang harus dibayar. Pada peraturan perpajakan, yaitu pasal 6 ayat 1 huruf angka 3 UU nomor 36 tahun 2008 tentang PPh, bunga pinjaman merupakan biaya yang dapat dikurangkan (deductible expense) terhadap penghasilan kena pajak. Beban bunga yang bersifat deductible akan menyebabkan laba kena pajak perusahaan menjadi berkurang. Laba kena pajak yang berkurang pada akhirnya akan mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar perusahaan 2.1.2.4. Sales Growth Penjualan memiliki pengaruh yang strategis bagi sebuah perusahaan, karena penjualan yang dilakukan harus didukung dengan harta atau aktiva dan bila penjualan ditingkatkan maka aktiva pun harus ditambah (Weston dan Brigham, 1991). Pertumbuhan penjualan (Sales growth), menunjukkan perkembangan tingkat penjualan dari tahun ke tahun. Oleh karenanya perkembangan tersebut bisa meningkat atau menurun. Pertumbuhan penjualan memiliki peranan penting dalam manajemen modal kerja. Dengan kita mengetahui seberapa besar pada pertumbuhan penjualan kita mampu memprediksi seberapa besar profit yang akan
14
diperoleh. Pertumbuhan penjualan diukur dengan cara penjualan akhir periode dikurangi dengan penjualan awal periode dibagi dengan penjualan awal periode (Brad Badertscher at al., 2009) 2.1.3. Tax Avoidance Tax avoidance atau penghindaran pajak merupakan suatu tindakan dimana seorang individual merencanakan keuangan mereka sedemikian rupa dengan asumsi dan pengurangan yang ada dalam hukum perpajakan secara legal digunakan untuk memperkecil jumlah pajak yang dibayarkan. Mortenson dalam Zain (1998) menyatakan bahwa Tax avoidance merupakan pengaturan untuk meminimumkan atau menghilangkan beban pajak dengan mempertimbangkan akibat pajak yang ditimbulkannya. Suandy (2008 : 7) menyebutkan bahwa penghindaran pajak merupakan rekayasa “Tax Affairs” yang masih tetap dalam bingkaian ketentuan perpajakan (lawful). Dalam konteks industry Khurana dan Moser (2009) menyebutkan penghindaran pajak (tax avoidance) yang dilakukan oleh manajemen suatu perusahaan dilakukan untuk meminimalisasi kewajiban perpajakan perusahaan. Upaya tax avoidance ini merupakan salah satu bentuk upaya dalam Tax Planning. Tax Planning itu sendiri merupakan salah satu upaya legal yang bisa dilakukan wajib pajak karena penghematan pajak dilakukan dengan cara tidak melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku. Sehingga secara teoritis, Tax Planning merupakan bagian dari fungsi-fungsi manajemen pajak, yang terdiri dari planning, implementation, dan control (Lumbantoruan, 1996).
15
Tax avoidance itu sendiri biasanya dipicu dengan factor-faktor seperti besarnya jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak sehingga semakin besar jumlah pajak yang dibayarkan maka semakin tinggi resiko terjadinya penghindaran pajak itu sendiri. Hal ini dimungkinkan untuk meningkatkan laba bersih perusahaan dari tahun ke tahun dalam hal kaitannya dengan hubungan dengan para investor. Selain itu tax avoidance juga dimungkinkan resiko terjadinya lebih besar ketika adanya celah dalam hukum pajak itu sendiri yang memungkinkan resiko terdeteksinya penghindaran pajak lebih kecil untuk dideteksi. Hal ini juga mampu memicu timbulnya penghindaran pajak. Penelitian yang dilakukan oleh Uppal (2005) tentang kasus penghindaran pajak di Indonesia mengemukakan bahwa banyak di negara-negara berkembang terjadi kasus penghindaran pajak yang dilakukan dengan cara tidak melaporkan atau tidak melaporkan secara sesuai jumlah pendapatan yang dikenakan pajak. 2.2.
Review Penelitian Terdahulu Berbagai penelitian Mengenai Pengaruh Return on Asset, leverage, Size,
Sales Growth dan Kualitas audit telah banyak dilakukan sebelumnnya dan memberikan hasil yang beragam. Berbagai penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai dasar dan kerangka acuan dalam penelitian ini. Annisa dan Kurniasih (2012) melakukan penelitian mengenai hubungan antara Corporate Governance terhadap Tax Avoidance, menggunakan 200 sample perusahaan yang terdaftar di BEI periode tahun 2008. Variabel independen yang digunakan adalah Kepemilikan institusional, dewan komisaris, kualitas audit, dan komite audit. Variable dependen yang digunakan adalah Tax Avoidance yang
16
dihitung dengan Book Tax Gap. Hasil penelitian dengan analisis regresi linier berganda menunjukkan kepemilikan institusional dan dewan komisaris tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tax avoidance yang dihitung menggunakan Book Tax Gap. Sedangkan variable komite audit dan kualitas audit berpengaruh positif signifikan terhadap tax avoidance yang dihitung menggunakan Book Tax Gap. Keberadaan komisaris independen dalam suatu perusahaan membuat proses pelaporan keuangan perusahaan akan termonitor dengan baik.
Komisaris
independen akan memastikan bahwa perusahaan menerapkan prinsip-prinsip akuntansi yang akan menghasilkan informasi keuangan perusahaan yang akurat dan berkualitas melalui penggunaan prinsip konservatisme yang lebih tinggi dalam proses pelaporan keuangan perusahaan (Prena, 2012). Jaya, Arafat, dan Kartika (2012) melakukan penelitian mengenai Corporate Governance dan Konservatisme Akuntansi terhadap Penghindaran Pajak, dengan menggunakan sample sebanyak 178 dari perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2007-2011. Variabel independen yang digunakan adalah Corporate Governance yang diukur menggunakan komposisi kepemilikan saham institusional, kualitas audit, dan ukuran dewan direksi, sedangkan variable independen lainnya diukur menggunakan Konservatisme Akuntasi. Variable dependen yaitu penghindaran pajak diukur dengan Tax Shelter. Hasil penelitian dengan analisis regresi logistik karena variable dependen bersifat dikotomi menunjukkan semua variable tidak menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap penghindaran pajak. Dalam penelitian kualitas audit sebagai variable independen tidak menunjukkan hasil yang signifikan dan tidak konsekuen dengan penelitian Annisa
17
dan Kurniasih (2012). Hal ini disebabkan karena praktik penghindaran pajak yang dilakukan lebih ditentukan oleh moral-etika pajak yang dimiliki oleh perusahaan atau dalam hal
ini
pihak manajemen perusahaan dan mereka tidak
mempertimbangkan hasil audit laporan keuangan perusahaan sebagai pertimbangan utama sebelum memutuskan melakukan penghindaran pajak. Semakin tinggi moraletika pajak, maka akan semakin rendah niat wajib pajak untuk melakukan penghindaran pajak. Penelitian lain dilakukan oleh Kurniasih dan Sari (2013) mengenai Pengaruh Return On Asset, Leverage, Corporate Governance, Ukuran perusahaan, dan Kompensasi Rugi Fiskal pada Tax Avoidance diukur dengan metode CETR (Cash Effective Tax Rates). Penelitian dilakukan dengan mengambil sample sebanyak 169 perusahaan manufaktur yang terdaftar BEI pada periode 2007-2010. Hasil penelitian menggunakan regresi linier berganda menunjukkan bahwa variable Leverage, Komposisi Komisaris Independen dan Komite Audit tidak berpengaruh terhadap Tax Avoidance sedangkan variable ROA, Ukuran Perusahaan dan Kompensasi Rugi Fiskal berhubungan signifikan secara parsial terhadap Tax Avoidance. Variable leverage dalam hal ini menunjukkan hasil yang tidak konsisten terhadap penelitian Budiman dan Agung (2010) yang menunjukkan adanya hubungan signifikan negatif antara variable Leverage dan Tax Avoidance. 2.3.
Pengembangan Hipotesis
2.3.1
Pengaruh Kualitas Audit terhadap Tax Avoidance Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya telah menunjukkan
hubungan antara kualitas audit terhadap Tax Avoidance masih beragam. Penelitian 18
Annisa dan Kurniasih (2012) tentang Pengaruh Corporate Governance terhadap Tax Avoidance menunjukkan kualitas audit memiliki hubungan signifikan positif terhadap Tax Avoidance. Sedangkan Penelitian Jaya, Arafat dan Kartika (2013) tentang Corporate Governance, Konservatisme Akuntansi, dan Tax Avoidance menunjukkan kualitas audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Tax Avoidance. Dengan pentingnya transparansi pelaporan terhadap kepentingan pemegang saham terkait, otoritas publik semakin menuntut manajemen untuk lebih meningkatkan kualitas informasi yang dikeluarkan oleh pihak manajemen. Selain itu pemegang saham juga mengasumsikan bahwa implikasi dari perilaku pajak agresif dapat memberikan resiko ke depan untuk perusahaan. Mereka tidak ingin perusahaan untuk mengambil tindakan perilaku pajak agresif jika mereka tahu dan akan mencegah jika mereka tahu sebelumnya. Semakin bagus manajemen perusahaan biasanya menunjukkan sikap transparansi publik yang lebih dapat dipercaya. Perusahaan besar pada umumnya memanfaatkan jasa KAP auditor yang lebih memiliki sentimen positif dimata publik untuk memberikan transparansi laporan keuangan yang semakin mampu dipercaya oleh publik. Publik sendiri lebih menilai positif perilaku perusahaan yang mempercayakan laporan keuangan mereka untuk diaudit oleh kantor KAP yang berkualitas dikarenakan kehandalan, kehati-kehatian, dan keterpercayaan informasi yang mereka keluarkan. Beberapa referensi terpercaya memberikan asumsi bahwa ketika laporan keuangan diaudit oleh auditor KAP The Big Four maka informasi keuangan yang tersampaikan menjadi lebih berkualitas. Semakin besar KAP maka akan semakin
19
besar pengalaman yang membuat mereka dapat bertindak dan melakukan tugas audit yang lebih cepat. Dalam proses pengauditannya dapat dilakukan secara lebih efisien dan efektif serta mereka memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dalam penjadwalan audit karena KAP yang lebih besar memiliki lebih banyak sumber daya dan lebih banyak klien sehingga mereka tidak tergantung pada satu atau beberapa klien saja. KAP The Big Four ini terdiri dari PriceWaterhouseCooper, Deloitte Touche Tohmatsu, KPMG, dan Ernst & Young. Berdasarkan asumsi ini maka hipotesis yang diajukan adalah : H1 : Kualitas Audit Berpengaruh Negatif terhadap Tax Avoidance 2.3.2. Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Tax Avoidance Keseluruhan total asset merupakan salah satu proksi dalam mengukur suatu ukuran perusahaan. Lanis (2007) menyatakan bahwa semakin besar perusahaan maka akan semakin rendah CETR yang dimilikinya, hal ini dikarenakan perusahaan besar lebih mampu menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk membuat suatu perencanaan pajak yang baik (Political Power Theory). Namun Watss dan Zimmerman (1986) dengan Political Cost Theory – nya menguraikan bahwa perusahaan tidak selalu dapat menggunakan power yang dimilikinya untuk melakukan perencanaan pajak karena adanya batasan berupa kemungkinan menjadi sorotan dari keputusan regulator. Dengan adanya perilaku pajak agresif ini maka semakin besar perusahaan maka akan memiliki resiko yang lebih besar untuk melakukan perilaku pajak agresif karena resiko terhadap publik akan semakin besar yang mampu menyebabkan runtuhnya keterpercayaan publik ketika publik sebagai pengguna laporan keuangan yang bersangkutan mengetahui adanya tindakan pajak
20
agresif. Hal ini menyebabkan manajemen akan lebih berhati-hati dalam perencanaan perpajakan mereka. Berdasarkan penjelasan diatas, maka dirumuskan hipotesis yang diajukan adalah : H2 : Ukuran perusahaan berpengaruh negatif pada Tax Avoidance 2.3.3. Pengaruh Return on Asset terhadap Tax Avoidance Dalam kaitannya dengan memaksimalkan jumlah profitabilitas perusahaan, manajemen sebagai pihak pengambilan keputusan akan mempertimbangkan jumlah pendapatan yang dikenai pajak. Hal ini untuk menjamin pihak eksternal sebagai pengguna laporan keuangan untuk menilai apakah perusahaan tersebut memiliki keberlangsungan yang stabil dalam kaitannya dengan maksimalitas seluruh asset untuk mendapatkan laba. Selain itu dengan semakin besarnya jumlah pendapatan yang diperoleh, maka akan semakin besar pajak yang akan dikenakan. Perusahaan yang memiliki profitabilitas tinggi memiliki kesempatan untuk memposisikan diri dalam tax planning yang mengurangi jumlah kewajiban perpajakan (Chen et al. 2010). Ketika perusahaan terlihat mampu mengendalikan jumlah pajak yang tercermin dalam Net Income After Taxes, maka pasar atau investor akan memberikan sinyal positif bahwa perusahaan memiliki stabilitas yang lebih. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya yang mengungkapkan adanya hubungan yang kuat antara Return on Assets terhadap Tax Avoidance. Berdasarkan uraian diatas, maka akan diajukan hipotesis sebagai berikut : H3 : Return on Asset berpengaruh negatif pada Tax Avoidance.
21
2.3.4. Pengaruh Leverage terhadap Tax Avoidance Salah satu proksi untuk mengukur hubungan antara Leverage terhadap Tax Avoidance adalah Debt to Equty Ratio. Debt to Equity Ratio diukur dengan jumlah hutang dibagi dengan jumlah modal sendiri. Menurut penelitian Kurniasih dan Sari (2012) yaitu semakin tinggi pendanaan dari utang pihak ketiga yang digunakan perusahaan maka akan semakin tinggi pula biaya Bunga yang timbul dari Bunga tersebut. Dengan adanya biaya bunga yang semakin tinggi akan memberikan pengaruh berkurangnya beban pajak perusahaan. Penelitian Richardson dan Lanis (2007) menyebutkan bahwa semakin tinggi nilai utang maka nilai CETR perusahaan akan semakin rendah. Berdasarkan penjelasan diatas, maka akan diajukan hipotesis sebagai berikut : H4 : Leverage berpengaruh positif pada Tax Avoidance 2.3.5. Pengaruh Sales Growth terhadap Tax Avoidance Secara logika pertumbuhan penjualan yang diperoleh perusahaan akan berpotensi meningkatkan pendapatan dikenai pajak. Manajemen sebagai pengambil keputusan disini mampu untuk mengambil kebijakan pajak agresif demi memperbaiki laporan keuangan mereka. Semakin besar penjualan yang diperoleh suatu perusahaan berarti akan semakin besar pendapatan dikenai pajak. Logika ini didukung oleh penelitian sebelumnya menyatakan adanya hubungan signifikan antara Sales Growth terhadap Tax Avoidance yang dilakukan oleh Budiman dan Setiyono (2010). Dengan urain tersebut maka akan diambil hipotesis sebagai berikut :
22
H5 : Sales Growth berpengaruh positif terhadap Tax Avoidance 2.4.
Kerangka Pemikiran Berdasarkan landasan teori, landasan literatur, dan hasil penelitian terdahulu
dan pengembangan hipotesis, maka kerangka pemikiran dapat dituangkan dalam model penelitian berupa gambar sebagai berikut : Gambar 2.1 Model Penelitian V.INDEPENDEN KUALITAS AUDIT (-) UKURAN PERUSAHAAN (-) V.DEPENDEN
RETURN ON ASSET (-) LEVERAGE (+) PERTUMBUHAN PENJUALAN (+)
23
BAB III METODE PENELITIAN 3.1.
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia pada periode tahun 2010-2014. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan Purposive Sampling yaitu pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan kriteria tertentu yang disesuaikan dengan tujuan penelitian atau masalah penelitian yang digunakan. Dalam penelitian ini kriteria yang harus dipenuhi adalah : a)
Sampel yang digunakan adalah seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2010-2014, yang menerbitkan laporan tahunan per 31 desember dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 secara berturut-turut.
b)
Perusahaan yang terdaftar haruslah memiliki data keuangan yang lengkap, atau perusahaan yang dimaksud melakukan aktivitas ekonomi.
c)
Perusahaan menggunakan mata uang Rupiah, agar kriteria pengukuran yang dilakukan sama.
d)
Perusahaan dengan nilai laba yang positif agar tidak mengakibatkan nilai Cash Effective Tax Rate (CETR) terdistorsi (Richardson dan Lanis 2007; Zimmerman 2003).
e)
Perusahaan dengan nilai Cash Effective Tax Rate kurang dari satu, agar tidak membuat masalah dalam estimasi model (Gupta dari Newberry, 1997)
24
3.2.
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari laporan
tahunan seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2010-2014 dan ICMD periode 2010-2014 untuk memperoleh data keuangan yang lengkap berdasarkan tanggal publikasi laporan keuangan. 3.3.
Definisi Operasional Variabel Penelitian
3.3.1. Variabel Dependen : Tax Avoidance Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Tax Avoidance. Tax Avoidance merupakan pengaturan untuk meminimumkan atau menghilangkan beban pajak dengan mempertimbangkan akibat pajak yang ditimbulkannya. Suandy (2008 : 7) menyebutkan bahwa penghindaran pajak merupakan rekayasa “Tax Affairs” yang masih tetap dalam bingkaian ketentuan perpajakan (Lawful). Dalam konteks industri Khurana dan Moser (2009) menyebutkan penghindaran pajak (Tax Avoidance) yang dilakukan oleh manajemen suatu perusahaan dilakukan untuk meminimalisasi kewajiban perpajakan perusahaan. Pengukuran Tax Avoidance menggunakan Cash Effective Tax Rate yang diharapkan mampu mengidentifikasi keagresifan perencanaan pajak perusahaan yang dilakukan menggunakan perbedaan tetap maupun perbedaan temporer (Chen et al, 2010). Cash Effective Tax Rate dapat dihitung melalui rumus sebagai berikut :
𝐶𝐸𝑇𝑅𝑖𝑡 :
Keterangan
𝐶𝑎𝑠ℎ 𝑇𝑎𝑥 𝑃𝑎𝑖𝑑𝑖𝑡 𝑃𝑟𝑒 − 𝑇𝑎𝑥 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒𝑖𝑡
:
25
CETRit
: Cash Effective Tax Rate untuk perusahaan i pada periode t.
Cash Tax Paidit
: Jumlah Pajak yang dibayarkan perusahaan i pada periode t.
Pre-Tax Incomeit
: Pendapatan sebelum pajak perusahaan i pada periode t.
3.3.2. Variabel Independen 3.3.2.1. Kualitas Audit Kualitas audit dalam penelitian ini digunakan sebagai salah satu variabel independen. Variabel kualitas audit diukur berdasarkan Kantor Akuntan Publik (KAP) yang digunakan oleh perusahaan untuk mengaudit laporan keuangan mereka.
KAP
ini
digolongkan
menjadi
KAP
The
Big
Four
(PriceWaterhouseCooper - PWC, Deloitte Touche Tohmatsu, KPMG, Ernst & Young-E&Y) atau KAP Non The Big Four. Penggolongan ini dilakukan karena laporan keuangan yang diaudit oleh auditor KAP The Big Four menurut beberapa referensi dipercaya lebih berkualitas sehingga menampilkan nilai perusahaan yang sebenarnya, oleh karena itu diduga perusahaan yang diaudit oleh KAP The Big Four (PriceWaterhouseCooper - PWC, Deloitte Touche Tohmatsu, KPMG, Ernst & Young-E&Y) memiliki tingkat kecurangan yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang diaudit oleh KAP Non The Big Four (Annisa dan Kurniasih, 2012). Selain itu menurut penelitian Mayangsari (2003) pengukuran kualitas audit dapat dilakukan melakukan proksi spesialisasi industri dan ukuran KAP. Pengukuran variabel dengan penggolongan KAP ini menggunakan variabel Dummy, dimana kategorinya adalah :
26
Score 1 : bagi perusahaan yang menggunakan jasa KAP The Big Four (PriceWaterhouseCooper - PWC, Deloitte Touche Tohmatsu, KPMG, Ernst & Young-E&Y) Score 0 : bagi perusahaan yang menggunakan jasa KAP Non The Big Four. 3.3.2.2. Ukuran Perusahaan Dalam penelitian ini digunakan logaritma natural dari total aset sebagai proksi dari ukuran perusahaan. Bentuk logaritma digunakan karena pada umumnya nilai aset perusahaan sangat besar, sehingga untuk menyeragamkan nilai dengan variabel lainnya nilai aset sampel diubah kedalam bentuk logaritma terlebih dahulu. Beberapa penelitian menunjukkan dengan menggunakan proksi logaritma natural dari total aset akan diperoleh nilai total aset yang lebih stabil, lebih representatif dalam
menunjukkan
ukuran
perusahaan
dibandingkan,
dan
cenderung
berkesinambungan antar periode (Jogiyanto, 2000:259). Lanis (2007) menyatakan bahwa semakin besar perusahaan maka akan semakin rendah CETR yang dimilikinya, hal ini dikarenakan perusahaan besar lebih mampu menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk membuat suatu perencanaan pajak yang baik (Political Power Theory). Namun Watss dan Zimmerman (1986) dengan Political Cost Theory – nya menguraikan bahwa perusahaan tidak selalu dapat menggunakan power yang dimilikinya untuk melakukan perencanaan pajak karena adanya batasan berupa kemungkinan menjadi sorotan dari keputusan regulator. Ukuran perusahaan dihitung sebagai berikut : Ln(Total Aset) : Logaritma Natural Total Aset
27
3.3.2.3. Return on Asset Rasio Return on Asset menjadi salah satu ukuran penentuan hubungan antara ROA terhadap Tax Avoidance. Return on Asset merupakan perbandingan antara laba bersih dengan total aset pada akhir periode dan digunakan sebagai indicator kemampuan perusahaan menghasilkan laba. Semakin besarnya jumlah pendapatan yang diperoleh, maka akan semakin besar pajak yang akan dikenakan. Perusahaan yang memiliki profitabilitas tinggi memiliki kesempatan untuk memposisikan diri dalam Tax Planning yang mengurangi jumlah kewajiban perpajakan (Chen et al. 2010). Ketika perusahaan terlihat mampu mengendalikan jumlah pajak yang tercermin dalam Net Income After Taxes, maka pasar atau investor akan memberikan sinyal positif bahwa perusahaan memiliki stabilitas yang lebih. Return on Asset dapat dihitung melalui rumus sebagai berikut :
𝑅𝑂𝐴 ∶
𝐿𝑎𝑏𝑎 (𝑅𝑢𝑔𝑖)𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 × 100% 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
3.3.2.4. Leverage Debt to Equity Ratio merupakan salah satu proksi untuk mengukur hubungan antara leverage terhadap tax avoidance. Penelitian Kurniasih dan Sari (2012) menyebutkan semakin tinggi pendanaan dari utang pihak ketiga yang digunakan perusahaan maka akan semakin tinggi pula biaya bunga yang timbul dari bunga tersebut. Dengan adanya biaya bunga yang semakin tinggi akan memberikan pengaruh berkurangnya beban pajak perusahaan. Debt to Equity Ratio dihitung melalui jumlah hutang dengan total ekuitas dengan rumus sebagai berikut :
28
𝐷𝑒𝑏𝑡 𝑇𝑜 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 ∶
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑆𝑒𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖
3.3.2.5. Sales Growth Pertumbuhan penjualan yang diperoleh perusahaan akan berpotensi meningkatkan pendapatan dikenai pajak. Manajemen sebagai pengambil keputusan disini mampu untuk mengambil kebijakan pajak agresif demi memperbaiki laporan keuangan mereka. Semakin besar penjualan yang diperoleh suatu perusahaan berarti akan semakin besar pendapatan dikenai pajak. Logika ini didukung oleh penelitian sebelumnya menyatakan adanya hubungan signifikan antara Sales Growth terhadap penghindaran pajak yang dilakukan oleh Budiman dan Setiyono (2010). Pertumbuhan penjualan dapat dihitung melalui rumus sebagai berikut : 𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠 𝐺𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ 𝑡 ∶ 3.4.
𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑡 −𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒𝑡−1 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑡−1
× 100%
Metode Analisis Data
3.4.1. Statistik Deskriptif Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran atau deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata (Mean), Standar Deviasi, Varian, Maksimum, Minimum, Sum, Range, Kurtosis dan Skewnes (kemencengan distribusi).
Analisis deskriptif merupakan salah satu metode analisis yang
menitikberatkan pada pengumpulan, penyajian dan pengaturan data guna membuat gambaran yang jelas tentang variasi sifat data yang pada akhirnya akan mempermudah proses analisis dan interpretasi data.
29
3.4.2. Uji Asumsi Klasik Agar dalam penelitian ini diperoleh hasil analisis data yang memenuhi syarat pengujian, maka dalam penelitian ini perlu dilakukan pengujian asumsi klasik yang meliputi Uji Normalitas, Multikolinearitas, Autokorelasi dan Heteroskedastisitas. 3.4.2.1. Uji Normalitas Uji Normalitas dilakukan untuk menguji apakah model regresi dalam penelitian ini memiliki distribusi normal atau tidak, dapat dilihat dari grafik Normal Probability Plot. Normalitas dapat dideteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik. Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal tersebut maka model regresi memenuhi asumsi normalitas. Jika data menyebar jauh dari diagonal dan tidak mengikuti arah garis diagonal maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas. Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal.Seperti diketahuibahwa uji t dan F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Kalau asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid untukjumlah sampel kecil (Ghozali, 2011). 3.4.2.2. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas atau tidak, model yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi yang tinggi diantara variabel bebas (Ghozali,
30
2011). Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas di dalam model regresi adalah sebagai berikut: a.
Memiliki korelasi antar variabel bebas yang sempurna (lebih dari 0,9), maka terjadi problem multikolinearitas.
b.
Memiliki nilai VIF lebih dari 10 (>10) dan nilai tolerance kurang dari 0,10 (<0,10). Maka model terjadi problem multikolinearitas.
3.4.2.3. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya (Ghozali, 2011). Uji autokorelasi dilakukan dengan menggunakan Uji Durbin-Watson (DW). Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi : 1.
Bila nilai DW terletak diantara batas atas atau upper bound (du) dan (4- du), maka koefisien autokorelasi sama dengan nol berarti tidak ada autokorelasi positif.
2.
Bila nilai DW lebih rendah daripada batas bawah atau lower bound (dl), maka koefisien autokorelasi lebih besar dari nol berarti ada autokorelasi positif.
31
3.
Bila nilai DW lebih besar daripada batas bawah atau lower bound (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih kecil dari nol berarti ada autokorelasi negatif.
4.
Bila nilai DW terletak antara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau DW terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.
3.4.2.4. Uji Heteroskedastisitas Menurut Ghozali (2011), uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homokedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Untuk menentukan heteroskedastisitas dengan menggunakan grafik scatterplot, titik-titik yang terbentuk harus menyebar secara acak, tersebar baik di atas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y. Bila kondisi seperti itu terpenuhi, maka tidak terjadi heteroskedastisitas dan model regresi layak digunakan. 3.4.3. Analisis Regresi Berganda Analisis ini penelitian data ini dilakukan dengan menggunakan regresi linier berganda agar tujuan untuk menguji pengaruh hubungan antara Kualitas Audit, Ukuran Perusahaan, Return on Asset, Leverage, dan Sales Growth terhadap Tax Avoidance pada seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) diolah dengan program Statistical Package For Social Science (SPSS) 17 dapat
32
diketahui. Maka dari itu analisis regresi linier berganda dari model ini adalah sebagai berikut : 𝒀 ∶ 𝜶 − 𝜷𝟏𝑿𝟏 − 𝜷𝟐𝑿𝟐 − 𝜷𝟑𝑿𝟑 + 𝜷𝟒𝑿𝟒 + 𝜷𝟓𝑿𝟓 + 𝒆 Dimana : Y
: Tax Avoidance (CETR)
X1
: Kualitas Audit
X2
: Ukuran Perusahaan
X3
: Return On Asset
X4
: Leverage (DER)
X5
: Pertumbuhan Penjualan (Sales Growth)
α
: Konstanta
β (1,2,3,4,5)
: Koefisien Regresi
e
: Residual (error term)
3.4.4. Uji Hipotesis Analisis uji hipotesis yang digunakan adalah uji t( untuk pengujian secara parsial) dengan tingkat signifikansi 5%. Kriteria pengambilan keputusan adalah jika probabilitas (sig t) < α (0.05) , maka hipotesis diterima, artinya ada pengaruh yang signifikan secara parsial dari variabel independen terhadap variabel dependen.
33
3.4.5. Pembahasan Hasil dari pengolahan data menggunakan program SPSS 17 kemudian akan dianalisis dengan cara membandingkan hasil dari penelitian ini dengan teori-teori yang relevan serta penelitian-penelitian sebelumnya, sehingga dapat diketahui apakah model penelitian yang dirancang sesuai dengan dasar teori dan pengembangan hipotesis yang diajukan, dengan melihat hasil uji regresi linier berganda yang telah dilakukan.
34