BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Tindakan Sosial dan Orientasi Subjektif Teori Fungsionalisme Struktural yang dibangun Talcott Parsons dan
dipengaruhi oleh para Sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma. Pandangan Parsons tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma. Prinsip-prinsip pemikiran Talcott Parsons bahwa tindakan individu manusia itu diarahkan pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu kondisi yang unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Selain itu, secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan penentuan alat dan tujuan. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi dan norma. 1.
Pelaku atau aktor, aktor atau pelaku ini dapat terdiri dari seorang individu atau suatu koletifitas. Parsons melihat aktor ini sebagai termotivisir untuk mencapai tujuan.
2.
Tujuan, tujuan yang ingin dicapai biasanya selaras dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat.
3.
Situasi tindakan untuk mencapai tujuan ini biasanya terjadi dalam situasi. Halhal yang termasuk dalam situasi ialah prasarana dan kondisi.
4.
Standar-standar normatif ini adalah skema tindakan yang paling penting menurut Parsons. Guna mencapai tujuan, aktor harus memenuhi sejumlah standar atau aturan yang berlaku. (Kamanto, 2004 : 65) Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan yaitu individu
sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan yang akan dicapai dengan bimbingan nilai dan ide serta norma. Perlu diketahui bahwa selain hal-hal tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi nilai. Perlu diketahui pula bahwa tindakan individu tersebut dalam realisasinya dapat berbagai macam karena adanya unsur-unsur sebagaimana dikemukakan di atas.
Universitas Sumatera Utara
2.2
Konsep Gender Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M.
Echols dan Hassan Sahily, 1983: 256). Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Encylopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Untuk memahami konsep gender, perlu dibedakan antara kata sex dan kata gender. Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat (Ritzer, 2004:94). Dalam kaitan dengan pengertian gender ini. Hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan sehari-hari, dibentuk dan dirubah. Sedangkan gender merupakan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial, artinya bahwa bagaimana seseorang berperan menjadi laki-laki atau perempuan dipengaruhi oleh sosial, kepercayaan agama, dan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, gender dimaknai secara berbeda dalam budaya yang beragam. Tidak jauh berbeda, seksualitas juga merupakan sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial. Sebagai hasilnya, maka seksualitas dialami dan diekspresikan setiap orang dengan cara yang beragam. Seksualitas tidak terbatas pada perilaku atau tindakan seksual, tapi memiliki dimensi yang luas yang berhubungan dengan identitas seseorang. Bagi sebagian orang seksualitas bisa berarti orientasi seksual, namun bagi
Universitas Sumatera Utara
sebagian
lainnya
seksualitas
bisa
dimaknai
sebagai
kebebasan
untuk
mengekspresikan diri dan mengambil keputusan atas tubuh mereka. Keberagaman pengalaman dan isu yang berhubungan dengan hal ini dapat mempengaruhi kehidupan seseorang secara signifikan. Jadi, Gender dapat dimaknai sebagai pembedaan atara laki-laki dan perempuan secara nilai dan tingkah laku yang dibentuk oleh konstruksi sosial kemasyarakatan tidak baku dan dapat berubah sewaktu-waktu. 2.3
Gender dan Perempuan Perempuan secara langsung menunjuk kepada salah satu dari dua
jenis kelamin, meskipun di dalam kehidupan sosial selalu dinilai sebagai the other sex yang sangat menentukan mode sosial tentang status dan peran perempuan. Marginalisasi perempuan yang muncul kemudian menunjukkan bahwa perempuan menjadi the second sex, seperti juga sering disebut sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan. Pembahasan tentang perempuan sebagai suatu kelompok memunculkan sejumlah kesulitan. Konsep “Posisi perempuan” dalam masyarakat memberi kesan bahwa, ada beberapa posisi universal yang diduduki oleh setiap perempuan di semua masyarakat. Kenyataannya bahwa, bukan semata-mata tidak ada pernyataan yang sederhana tentang “Posisi perempuan” yang universal, tetapi di sebagian besar masyarakat tidaklah mungkin memperbincangkan perempuan sebagai kelompok yang memiliki kepentingan bersama (Triwijati 2010 : 1). Perempuan ikut andil dalam stratifikasi masyarakat. Ada perempuan kaya, ada perempuan miskin, dan latar belakang kelas kaum perempuan mungkin sama penting dengan jendernya dalam
Universitas Sumatera Utara
menentukan posisi mereka di masyarakat. Dalam masyarakat multikultural, latar belakang etnis seorang perempuan, bahkan mungkin lebih penting daripada kelas. Istilah gender juga berguna, karena istilah itu mencakup peran sosial kaum perempuan maupun laki-laki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan seringkali amat penting dalam menentukan posisi keduanya. Demikian pula, jenis-jenis hubungan yang dapat berlangsung antara perempuan dan laki-laki akan merupakan konsekuensi dan pendefinisian perilaku jender yang semestinya dilakukan olah masyarakat 2.4
Syarat-Syarat Sah Perkawinan Suatu perkawinan bisa dikatakan sah apabila sudah memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan. Dalam hal ini syarat sahnya perkawinan dapat dilihat dari sudut padang Hukum Islam dan menurut Hukum Perkawinan Indonesia yaitu UndangUndang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Menurut Hukum Islam Menurut hukum islam untuk sahnya perkawinan adalah setelah terpenuhi syarat dan rukun yang telah diatur dalam agama Islam. Yang dimaksud syarat ialah suatu yang harus ada dalam (sebelum) perkawinan tetapi tidak termasuk hakikat perkawinan itu sendiri. Kalau salah satu syarat dari perkawinan itu tidak dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah. Yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan adalah hakikat
dari
perkawinan
itu
sendiri,
jadi
tanpa
adanya
salah
satu rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. (http://ayonikah.net/prosedurnikah diakses pada tanggal 2 Desember 2013 pukul 07.45 WIB).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa syarat sah sebelum dilangsungkannya perkawinan adalah. a. Perkawinan yang akan dilakukan tidak bertentangan dengan larangan-larangan yang termaktub dalam ketentuan QS II ayat 221 (perbedaan agama) dengan pengecualian khusus laki-laki Islam boleh menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). (Moh. Idris Ramulyo, 2002 : 50) b. Adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan yang keduanya telah akil baligh (dewasa dan berakal). Dewasa menurut Hukum Perkawinan Islam akan berbeda menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia. c. Adanya persetujuan bebas antara kedua calon pengantin, jadi tidak boleh dipaksakan. d. Adanya wali nikah (untuk calon pengatin perempuan) yang memenuhi syarat yaitu; laki-laki beragama Islam, dewasa, berakal sehat dan berlaku adil. (Mawardi, 1984 : 10) e. Adanya dua orang saksi yang beragama Islam, dewasa, dan adil. f. Membayar Mahar (mas kawin) calon suami kepada calon isteri berdasar QS. AnNisa ayat 25. g. Adanya pernyataan Ijab dan Qabul (kehendak dan penerimaan).
Adapun yang termasuk rukun perkawinan ialah sebagai berikut: a. Adanya pihak-pihak yang hendak melangsungkan perkawinan Pihak-pihak yang hendak melakukan perkawinan adalah mempelai laki-laki dan perempuan. Kedua mempelai ini harus memenuhi syarat tertentu supaya perkawinan yang dilaksanakan menjadi sah hukumnya. Beberapa syarat itu diantara imam
Universitas Sumatera Utara
madzhab berbeda pendapat baik madzhab syafi,i dan maliki, serta jumhur ulama. (Abd, Rahman Ghazaly, 2003: 47-48) b. Adanya wali perwalian dalam istilah fiqih disebut dengan penguasaan atau perlindungan, jadi arti perwalian ialah penguasaan penuh oleh agama untuk seseorang guna melindungi barang atau orang. Dengan demikian orang yang diberi kekuasaan disebut wali. Kedudukan wali dalam perkawinan adalah rukum dalam artian wali harus ada terutama bagi orang-orang yang belum mualaf, tanpa adanya wali status perkawinan dianggap tidak sah. c. Adanya dua orang saksi dua orang saksi dalam perkawinan merupakan rukun perkawinan oleh sebab itu tanpa dua orang saksi perkawinan dianggap tidak sah. Keharusan adanya saksi dalam perkawinan dimaksudkan sebagai kemaslahatan kedua belah pihak antara suami dan isteri. Misalnya terjadi tuduhan atau kecurigaan orang lain terhadap keduanya maka degan mudah keduanya dapat menuntut saksi tentang perkawinannya. d. Adanya sighat aqad nikah. Sighat aqad nikah adalah perkataan atau ucapan yang diucapkan oleh calon suami atau calon isteri. Sighat aqad nikah ini terdiri dari "ijab" dan "qobul". Ijab yaitu pernyataan dari pihak calon isteri, yang biasanya dilakukan oelh wali pihak calon istri yang maksudnya bersedia dinikahkan dengan calon suaminya. Qobul yaitu pernyataan atau jawaban pihak calon suami bahwa ia menerima kesediaan calon isterinya menjadi istrinya. selain rukun beserta syarat yang sudah diuraikan diatas, masih ada hal yang dianurkan dipenuhi sebagai kesempurnaan perkawinan, yaitu acara walimatul ursy (pesta perkawinan). Namun demikian acara walimahan ini sifatnya hanya anjuran.
Universitas Sumatera Utara
2. Menurut Undang-Undang Perkawinan Setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) lalu dikeluarkan Peraturan Pemeritah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undan-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam pasal 2 UUP tersebut disebukan: 1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. 2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan dan pasal 2 ayat (2) UUP tersebut selanjutnya diatur lebih lanjut dalam PP 9/1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13. Pasal 10 PP tersebut mengatur tatacara perkawinan; a. Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. b. Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pecatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. Mempertegas UUP dan PP tersebut diatas, dalam berkaitan dengan itu diuraikan dalam KHI yaitu; Pasal 4 disebutkan; Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pencatatan perkawinan untuk menjamin ketertiban dan dilakukan oleh PPN (Pasal 5 & 6), akta nikah dan itsbat nikah (Pasal 7). Rukun perkawinan adalah; calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan Ijab Kabul (Pasal 14 - Pasal 29). Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada
Universitas Sumatera Utara
calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak (Pasal 30 - Pasal 38). Larangan Perkawinan karena beberapa sebab (Pasal 3944). (Wasian, 2010 : 26) Bila dicermati dari penjabaran HPI diatas lalu dibandingkan degan uraian menurut hukum Islam sebelumnya maka dijumpai adanya perbedaan dalam hal pencatatan perkawinan. Hukum perkawinan Islam tidak mengharuskan suatu perkawinan dicatat oleh lembaga negara sementara dalam Hukum Perkawinan Indonesia perkawinan harus dilakukan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang biasanya dari Kantor Urusan Agama (KUA) tempat domisili calon pengantin akan melangsungkan perkawinan. Bila suatu perkawinan tidak dicatatkan maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (tindakan administratif).
2.5
Kedudukan Suami Istri Dalam Undang-Undang Perkawinan Beberapa pasal yang menjelaskan mengenai kedudukan suami isteri dalam
undang-undang perkawinan dapat ditemukan di Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan yang menjelaskan bahwa suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam lingkungan sosial. Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga (Pasal 31 ayat 1-3). Suami isteri harus mempunyai kediaman yang tetap yang ditentukan oleh suami isteri bersama (Pasal 32). suami wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia memberi
Universitas Sumatera Utara
bantuan lahir batin yang pada yang lain (Pasal 33). Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan pada pengadialn (Pasal 34 ayat 1-3).
2.6
Perempuan, Agama, dan Perkawinan
Perkawinan adalah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk, baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dengan perkawinan tersebut makhluk hidup dapat berkembang biak atau mengembangkan keturunannya sehingga dapat mempertahankan eksistensi kehidupannya di alam. Perkawinan, bagi manusia, sebagaimana makhluk-makhluk hidup yang lain, adalah suatu cara yang dipilih sebagai jalan untuk beranak, berkembang biak untuk kelestarian hidupnya, setelahnya masing-masing pasangan melakukan peranan yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.
Perkawinan dalam Islam, sebagaimana diketahui, merupakan sebuah kontrak antara pasangan anak manusia yang setara laki-laki dan perempuan. Seorang perempuan sebagai pihak yang sederajat dengan laki-laki dapat menetapkan syaratsyarat yang diinginkan sebagaimana juga laki-laki. Sehingga dalam sebuah perkawinan antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat kondisi yang mendominasi dan didominasi. Semua pihak setara dan sederajat untuk saling bekerja sama dalam sebuah ikatan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah).
Universitas Sumatera Utara
Dalam perkawinan terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pasangan. Pemenuhan hak oleh laki-laki dan perempuan setara dan sebanding dengan beban kewajiban yang harus dipenuhi oleh laki-laki dan perempuan (suami dan istri). Dengan masing-masing pasangan tidak ada yang lebih dan yang kurang dalam kadar pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban. Keseimbangan ini sebagai modal dalam menselaraskan motif ideal perkawinan dengan realitas perkawinan yang dijalani oleh suami dan istri (laki-laki dan perempuan).
Jika terdapat indikator dalam sebuah perkawinan suami mendominasi istri, atau suami memiliki hak yang lebih dibandingkan dengan istri, dan sebaliknya istri dalam posisi yang didominasi dan memiliki kewajiban yang lebih jika dibandingkan dengan suami, maka hal yang demikian menjadi pemikiran dan kajian kritis untuk dapat dicari akar persoalannya dan diselesaikan secara konsepsional. Bisa jadi diskrimansi yang terjadi adalah akibat perlakuan hukum yang tidak adil terhadap perempuan.
Hukum Islam berdasarkan gender dalam hukum keluarga (mencakup perkawinan) dapat disebutkan sebagai berikut. Pertama laki-laki dapat mengawini hingga empat perempuan dalam waktu bersamaan, tetapi perempuan hanya dapat kawin dengan satu laki-laki dalam waktu yang bersamaan. Kedua seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya, atau seorang dari istri-istrinya tanpa kewajiban memberikan berbagai alasan atau pembenaran tindakannya terhadap seseorang atau otorita. Sebaliknya perempuan, dapat bercerai hanya dengan kerelaan suami atau
Universitas Sumatera Utara
dengan surat keputusan pengadilan yang mengijinkannya dengan dasar-dasar khusus, seperti ketidakmampuan suami dan keengganannya mengurus istri. (Zahroh, 2010 : 13)
Sehingga dari hukum tersebut tercipta asumsi relasi subyek obyek antara lakilaki dan perempuan dalam perkawinan yang tergambarkan sebagai berikut. Pertama laki- laki yang berhak menikahi, sedangkan perempuan statusnya sebagai pihak yang dinikahi. Mahar atau mas kawin, suatu unsur yang dalam aturan perkawinan mirip dengan pembayaran harga dalam perdagangan, diserahkan laki-laki kepada perempuan, bukan sebaliknya. Kedua, keharusan agama atas perempuan untuk memenuhi permintaan suami, termasuk untuk hal-hal yang menurut agama sunnah dilaksanakan. Misalnya permintaan suami agar istrinya tidak lagi membiasakan puasa Senin Kamis. Terutama permintaan yang berkaitan dengan hasrat seksual, anjuran agama sangat kuat agar istri mengabulkannya. Dan adanya larangan perempuan (istri) untuk keluar rumah tanpa seijin laki-laki (suami).
Hak-hak perkawinan (Marital Right) merupakan salah satu indikator penting bagi status perempuan dalam masyarakat. Persamaan hak dalam perkawinan menunjukkan kesetaraan dan kesejajaran antara pihak laki-laki (suami) dan perempuan (istri). Akan tetapi jika dalam sebuah keluarga terjadi ketidakadilan dalam soal hak, dan kebanyakan perempuan yang menjadi korbannya, maka perlu dipikirkan dan dicari jalan keluar dalam mengatasi hal tersebut. (Apik, 2006 : 16)
Universitas Sumatera Utara
Bagi keluarga mempelai yang mampu akan mengadakan suatu acara resepsi pernikahan dengan mengundang segenap keluarga kedua belah pihak mempelai suami/isteri, tetangga dan para sahabat. Acara resepsi pernikahan tersebut secara tidak langsung juga berfungsi sebagai pemberitahuan atau pengumuman kepada khalayak ramai bahwa telah terikatnya seorang laki-laki sebagai suami dan seorang wanita sebagai isteri dalam suatu ikatan perkawinan. Namun perlu diingat bahwaacara resepsi pernikahan ini bukan merupakan suatu acara yang mutlak harus dilaksanakan, melainkan tergantung kepada tingkat kemampuan ekonomi suatu keluarga yang melaksanakan perkawinan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya pelaksanaan nikah tamasya melalui pemberitahuan atau pengumuman disurat kabar setempat tentang pelaksanaan nikah tamasya ini, yang memiliki tujuan yang sama yakni memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa telahdilaksanakannya pernikahan bersangkutan dan telah terikatnya dalam perkawinan pasangan suami/isteri tersebut. Adat dan pandangan inilah yang dipegang teguholeh masyarakat Tionghoa Indonesia hingga saat ini Keengganan dan ketidaktahuan hukum masyarakat Tionghoa atas pencatatan perkawinan tanpa disadari akan membawa kesulitan dan akibat hukum yang tidak diinginkan, baik bagi pasangan suami isteri tersebut, anak-anaknya dan juga kepada familinya (keluarga-keluarganya). Fenomena ini sering dihadapi oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya sehari-hari serta menjadi masalah dan kendala yang sepantasnya mendapat perhatian besar.
Universitas Sumatera Utara
2.7
Posisi Sosial Perempuan dalam Keluarga Peran wanita adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi
sosial yang diberikan kepada wanita. Peran menerangkan pada apa yang harus dilakukan wanita dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan mereka sendiri dan harapan orang lain. Posisi perempuan dalam keluarga ialah sebagai istri dan pendamping suami, mencakup sikap hidup yang mantap bisa mendampingi suami dalam situasi senang atau sedih disertai rasa kasih sayang, kecintaan dan loyalitas kesetiaan pada partner hidupnya juga mendorong suami untuk berkarir dengan cara-cara yang sehat (http://endahpurnasari.blogspot.com/2010/08/status-sosial-wanita.html
diakses
tanggal 17 November 2013). Disamping menjadi pendamping seorang suami, perempuan juga berperan sebagai ibu dan pendidik bagi anak-anaknya. Setelah melahirkan perempuan akan berperan sebagai ibu. Bila ibu tersebut mampu menciptakan iklim psikis yang gembira, bahagia dan bebas sehingga suasana rumah tangga menjadi semarak dan bisa memberikan rasa aman, bebas, hangat, dan menyenangkan serta penuh kasih sayang dalam mendidik akan menciptakan moralitas dan akhlak yang baik bagi anak-anaknya. Sebagai pengatur dan pengelola rumah tangga. Dalam hal ini terdapat relasirelasi formal dan semacam pembagian kerja (devision of labour), dimana suami bertindak sebagai pencari nafkah, istri berfungsi sebagai pengurus rumah tangga tetapi tidak sedikit juga istri berperan sebagai pencari nafkah. Dalam pengurusan rumah tangga ini yang sangat penting ialah faktor kemampuan membagi waktu dan
Universitas Sumatera Utara
tenaga untuk melakukan berbagai macam tugas pekerjaan dirumah tangga dari pagi sampai larut malam. 2.8
Konsep Nikah Siri Nikah siri, biasa juga diistilahkan dengan Perkawinan siri, yang berasal dari
kata Nikah dan siri. Kata “siri” berasal dari bahasa Arab “sirrun” yang berarti rahasia, atau sesuatu yang disembunyikan. Melalui akar kata ini Nikah siri diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan. Nikah siri sering diartikan dalam pandangan masyarakat umum sebagai: 1.
Nikah tanpa wali. Nikah semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) karena wali pihak perempuan mungkin tidak setuju; atau karena menganggap sahnya Nikah tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan syariat.
2.
Nikah yang sah secara agama dan atau adat istiadat, namun tidak diumumkan pada masyarakat umum, dan juga tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang beragama non Islam. Ada kerena faktor biaya, tidak mampu membiayai administrasi pencatatan; ada juga disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri menikah lebih dari satu (poligami) tanpa seizin pengadilan, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
3.
Nikah yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut menerima stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu Nikah siri atau karena pertimbangan-pertimbangan lain yang akhirnya memaksa seseorang merahasiakannya.
4.
Nikah yang tidak adanya pencatatan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara sering pula diistilahkan dengan Nikah di bawah tangan. Nikah di bawah tangan adalah Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum. Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap Nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan dan perlindungan hukum. Istilah “Nikah di bawah tangan” muncul setelah Undang-undang R.I No. 1 Tahun 1974 tentang Nikah berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975. Nikah di bawah tangan pada dasarnya kebalikan dari Nikah yang dilakukan menurut hukum dan perkawinan menurut hukum yang diatur dalam Undangundang Nikah. (Chaeruddin, 2007 : 5) Nikah siri kadang-kadang diistilahkan dengan nikah “misyar”. Ada ulama
yang menyamakan pengertian kedua istilah ini, tetapi tidak sedikit pula yang membedakannya. Nikah siri kadang-kadang diartikan dengan nikah “urfi”, yaitu Nikah yang didasarkan pada adat istiadat, seperti yang terjadi di Mesir. Namun nikah misyar dan nikah urfi jarang dipakai dalam konteks masyarakat Indonesia. Persamaan istilah-istilah itu terletak pada kenyataan bahwa semuanya mengandung pengertian sebagai bentuk Nikah yang tidak diumumkan (dirahasiakan) dan juga tidak dicatatkan secara resmi melalui pejabat yang berwenang.
Universitas Sumatera Utara
2.9
Faktor-faktor yang menyebabkan Pernikahan Siri
Salah satu dari penyebab pernikahan siri adalah faktor kesadaran hukum, maksudnya adalah kesadaran hukum masyarakat Indonesia saat ini memang masih kurang tinggi. Banyak hal yang dapat membuktikan peryataan tersebut. Salah satunya yaitu ketidakpatuhan untuk memcatatkan perkawinan sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 2 UU No.1 tahun 1974. Dengan adanya hal tersebut, tampak bahwa kesadaran hukum masih kurang, serta pola pikir yang dangkal yang disebabkan rendahnya pengetahuan, dan hawa nafsu yang mendorong terlaksananya hal-hal yang dapat merugikan bagi dirinya maupun orang lain.
Faktor agama, dengan mayoritas masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama islam. Dengan demikian, perkawinan sering dilakukan secara aturan agama islam oleh masyarakat yang beragama islam. Sehingga beberapa orang yang beragama islam tidak mencatatkan pernikahannya ke KUA. Sebenarnya dalam agama islam, pencatatan nikah itu diharuskan karena pernikahan termasuk kegiatan muamalat seperti juga dalam kegiatan perjanjian hutang piutang. Faktor ekonomi, faktor ini juga dapat menjadi salah satu penyebab dilakukannya nikah siri tetapi tidak menjadi faktor utama. Alasannya adalah, jika suatu pasangan yang memang jelas memiliki niat baik untuk menikah tanpa didorong dengan niat-niat yang kurang baik, meskipun dalam hal ini mereka seorang yang tidak mampu atau miskin. Maka mereka akan lebih memikirkan hal yang terbaik untuk rumah tangga mereka kelak. (Khofi, 2006 : 8)
Universitas Sumatera Utara
Dengan adanya faktor-faktor tersebut tindakan untuk melakukan nikah siri makin marak dijumpai, baik dari kalangan kelas atas sampai kalangan kelas bawah. Hal tersebut dipengaruhi dengan keterbatasan pengetahuan mengenai hukum serta biaya. Sedangkan untuk kalangan atas mendalilkan takut akan dosa dan zina serta masih banyak alasan lain. Padahal jika mereka mengetahui akibat yang ditimbulkan akibat melakukan praktek nikah siri mungkin mereka akan segan untuk melakukannya.
Karena akibat yang ditimbulkan nanti kedepannya akan merepotkan diri sendiri. Jika ada seorang perempuan yang kemudian diajak menikah siri oleh seorang laki-laki, yang ada dibenaknya hanyalah pemikiran tentang hal yang indah-indah saja tanpa ada pemikiran panjang akan akibat kedepannya. Jika mereka dikaruniai seorang anak, maka dengan otomatis status anak tersebut menjadi persoalan. Apakah dia menjadi anak sah atau tidak. Mengapa demikian, karena dalam hal ini anak tidak memsapatkan akta kelahiran mengingat kedua orangtuanya melakukan nikah siri yang sah secara agama tetapi belum sah dimata hukum karena tidak tercatat di KUA . Maka dengan begitu anaklah yang menjadi korban, status anak tidak diakui oleh Negara.
Apabila dikemudian hari pasangan suami isteri tersebut bercerai, maka cara bercerai mereka berbeda dengan pernikahan yang dilakukan secara sah dimata hukum atau yang dicatatatkan di KUA. Cara perceraian pernikahan siri adalah apabila seorang suami telah menjatuhkan talak kepada isteri maka dengan begitu sudah sahlah perceraian mereka dan dengan adanya perceraian tersebut isteri tidah berhak
Universitas Sumatera Utara
menuntut harta gono-gini atau apapun yang telah didapat selama perkawinan berlangsung. Karena dalam hal ini si isteri dianggap orang lain meskipun secara agama telah diakui sebagai isteri tetapi secara hukum tidak dapat dianggap sebagai isteri yang sah. 2.10
Nikah Siri dalam Rancangan Undang-Undang
RUU Nikah Siri atau Rancangan Undang-Undang Hukum Materil oleh Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang akan memidanakan pernikahan tanpa dokumen resmi atau yang biasa disebut sebagai nikah siri, kini tengah memicu kontroversi ditengah-tengah masyarakat. (http://lk2fhui.wordpress.com diakses pada tanggal 4 Februari 2014 pukul 11.15 WIB) 1. Pasal 143 Rancangan Undang-Undang Pasal 143 RUU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri,draf RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak. 2. Pasal 144 Rancangan Undang-Undang Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan).
Pasal
142
ayat
3
menyebutkan,
calon
suami
yang
Universitas Sumatera Utara
berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.
Universitas Sumatera Utara