BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kebijakan Dividen Kebijakan dividen berpengaruh terhadap aliran dana, struktur finansial, likuiditas perusahaan dan perilaku investor. dengan demikian kebijakan dividen merupakan salah satu keputusan penting dalam kaitannya dengan usaha untuk memaksimumkan nilai perusahaan dipengaruhi oleh keputusan investasi, struktur modal (keputusan pemenuhan kebutuhan dana) dan kebijakan deviden itu sendiri. Ketiga keputusan tersebut saling berinteraksi satu sama lain, karena keputusan investasi dipengaruhi oleh tersedianya dana dan biaya modal, biaya modal dan ketersediaan dana dipengaruhi oleh besar kecilnya laba yang ditahan (Sartono, 1997). Dengan demikian Kebijakan dividen adalah keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi dimasa datang. Sartono (2008) mengatakan apabila perusahaan memilih untuk membagikan laba sebagai dividen, maka akan mengurangi laba yang ditahan dan selanjutnya akan mengurangi total sumber dan intern atau internal financing. Kebijakan dividen dapat didefenisikan sebagai kebijakan yang dalam hal ini memiliki hubungan terhadap pembayaran dividen kepada perusahaan, dimana berbentuk penentuan besarnya dividen yang akan diberikan serta besarnya saldo laba yang tidak dikeluarkan jika tidak ada kepentingan perusahaan. Keputusan Kebijakan dividen pada umumnya dilakukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) menurut UU No 1 Tahun 1995, pasal 62 ayat 1 dan 2. Jika RUPS telah memustuskan pembagian dividen, maka tanggal tersebut merupakan declaration date. Kebijakan Dividen menyangkut keputusan untuk membagikan laba atau menahannya guna diinvestasikan kembali didalam perusahaan. Modal dasar dari harga saham, P 0= D1/(ks-
g), memperlihatkan bahwa jika perusahaan
bersangkutan menjalankan kebijakan untuk
membagikan tambahan dividen tunai, D1 akan naik, dan hal ini cenderung meningkatkan harga saham. Namun jika dividen tunai meningkat, maka makin sedikit dana yang tersedia untuk reinvestasi, tingkat pertumbuhan yang diharapkan masa mendatang akan lebih rendah, dan hal ini akan menekan harga saham (J.Fred dan Eugene,1997:198) Kebijakan dividen merupakan keputusan yang dilakukan perusahaan dalam menentukan bagian laba bersih setelah pajak atau EAT (Earning After Tax) yang diperoleh untuk dibagikan sebagai dividen atau laba ditahan. Kebijakan dividen merupakan sebagian dari keputusan investasi. Oleh karena itu, perusahaan dalam hal ini dituntut untuk membagikan deviden sebagai ekspektasi yang didambakan oleh investor dalam investasinya terhadap saham perusahaan tersebut. Dengan demikian kebijakan dividen adalah kegiatan yang dilakukan sebagai penetapan laba bersih yang akan diberikan dalam bentuk dividen untuk pemegang saham dan sebagian dari laba bersih akan digunakan untuk laba ditahan oleh perusahaan agar dapat diinvestasikan kembali oleh perusahaan. Kebijakan dividen berkaitan dengan keputusan mengenai seberapa besar laba perusahaan yang akan dibagikan kepada pemegang saham atau menjadikan laba tersebut sebagai laba ditahan (Levy dan Sarnat, dalam Damayanti, 2006). Kebijakan dividen yang optimal merupakan rasio pembayaran dividen yang ditetapkan dengan memperhatikan kesempatan untuk menginvestasikan dana serta berbagai preferensi yang dimiliki para investor mengenai dividen daripada capital gain. Menurut (Haruman, Setiawan dan Ariyanti, 2005), investor sebagi pemiliki saham memiliki beberapa keuntungan yaitu : 1)
Dividen, jika perusahaan memiliki laba yang merupakan sumber dana bagi
pembayaran dividen dan manajemen memilih membayar deviden daripada menahan seluruh laba.
2)
Keuntungan modal (capital gain), yang merupakan selisih dari harga jual
dengan harga beli saham, jika pemiliki menjual sahamnya dengan kurs yang lebih tinggi daripada kurs waktu membeli. 2.1.1.1 Bentuk Kebijakan Dividen Tingkat pembayaran dividen yang diberikan kepada para pemegang saham ditentukan oleh kesepakatan kebijakan yang ditempuh oleh perusahaan tersebut. Menurut Awat (1999) memiliki empat bentuk kebijakan dividen,yaitu : 1)
Kebijakan yang stabil (stable dividend per share policy) Jumlah pembayaran
dividen yang sama besar dari tahun ke tahun. Salah satu lasan mengapa sebuah perusahaan mengambil kebijakan ini adalah untuk menjaga kesan para investor terhadap perusahaan tersebut. Apabila sebuah perusahaan menerapkan kebijkan yang stabil berarti pendapatan bersih perusahaan tersebut juga stabil dari tahun ke tahun. 2)
Kebijakan dividen payout ratio yang tetap ( constant dividend payout ratio
policy) Sebuah kebijakan dimana jumlah dividen akan berubah sesuai dengan jumlah laba bersih, tetapi rasio antara dividen dan laba ditahan tetap sama. 3)
Kebijakan kompromi (compromise policy) Suatu kebijakan dividen yang
terletak antara kebijakan dividen per saham yang stabil dan kebijakan dividen output ratio yang konstan ditambah dengan persentsi tertentu pada tahun-tahun yang mampu menghasilkan laba bersih yang tinggi. 4)
Kebijakan dividen residual ( residual dividend policy) Sebuah kebijakan yang
dikeluarkan perusahaan apabila sedang menghadapi sebuah kesempatan investasi yang tidak stabil sehingga manajemen menghendaki agar dividen hanya dibayarkan ketika laba bersih tinggi. 2.1.1.2 Teori Kebijakan Dividen
Teori kebijakan dividen mengalami perkembangan yang begitu signifikan hingga saat ini. Dalam penelitian Aggy (2013) menyatakan teori kebijakan dividen sebagai berikut : 1)
Dividend Irrelevance Theory
Teori ini menyatakan bahwa kebijakan dividen perusahaan tidak mempunyai pengaruh baik tehadap nilai perusahaan (aset) maupun biaya modalnya. Penganjur utama Dividen Irrelevance Theory adalah Melton Miller dan Franco Modigliani berpendapat bahwa nilai suatu perusahaan hanya ditentukan oleh kemampuan dasarnya untuk menghasilkan laba serta resiko bisnisnya, dengan kata lain, MM berpendapat bahwa nilai suatu perusahaan tergantung semata-mata pada pendapatan yang dihasilkan oleh aktivanya,bukan pada bagaimana pendapatan tersebut dibagi antara dividen dan laba yang ditahan. 2)
Bird-in-the-hand Theory
Harga saham akan meningkat seiring dengan peningkatan dividen yang diberikan. Oleh karenanya, kebijakan dividen yang diputuskan perusahaan akan meningkatkan harga sahamnya sehingga investor menginginkan dividen, dengan dividen yang diperoleh maka harga saham akan meningkat sehingga profit (capital gain) akan diperoleh. 3)
Tax Preference Theory
Investor menghendaki perusahaan untuk menahan laba setelah pajak dan dipergunakan untuk pembiayaan investasi daripada dividen dalam bentuk kas. Oleh karenanya perusahaan sebaiknya menentukan dividend payout ratio yang rendah atau bahkan tidak membagikan dividen. Karena dividen cenderung dikenakan pajak yang lebih tinggi dari pada capita again, maka investor akan meminta tingkat keuntungan yang lebih tinggi untuk saham dengan dividend yield yang tinggi. 4)
Information Content,or signaling hypothesis
Suatu kenaikan dividen yang diatas kenaikan normal biasanya merupakan suatu sinyal kepada para investor bahwa manajemen perusahaan meramalkan suatu penghasil yang baik dimasa yang akan datang. Sebaliknya,suatu penurunan dividen yang dibawah penurunan normal diyakini investor sebagai suatu sinyal bahwa perusahaan mengalami masa sulit di masa mendatang. Namun demikian sulit dikatakan apakah kenaikan atau penurunan harga setelah adanya kenaikan atau penurunan dividen semata-mata disebabkan oleh efek sinyal atau mungkin preferensi terhadap dividen. 5)
Clientele effect
Suatu kelompok yang berbeda dari pemegang saham menyukai kebaikan dividen yang berbeda pula. Ada kelompok yang lebih menyukai pendapatan tunai dan ada pula pemegang saham yang lebih memilih reinvestasi pendapatan dividen tersebut. Karena itu, ada kecenderungan suatu perusahaan untuk menarik kelompok investor yang menyukai kebijakan dividennya. 2.1.2 Economic Value Added Economic Value Added (EVA) adalah ukuran nilai tambah ekonomis yang dihasilkan perusahaan sebagai akibat dari aktifitas atau strategi manajemen. EVA digunakan sebagai ukuran kinerja perusahaan dalam menentukan aset perusahaan yang lebih produktif dan membantu dalam nengurangi perbedaan kepentingan manajer dan pemegang saham (Irala, 2005).EVA
adalah
ukuran
penting
untuk
menilai
kinerja
suatu
perusahaan
(Parasuraman,2000). EVA mampu menghitung laba ekonomi yang sebenarnya atau true economic profit suatu perusahaan pada tahun tertentu dan sangat berbeda jika dibandingkan laba akuntansi, EVA mencerminkan residual income yang tersisa setelah semua biaya modal, termasuk modal saham, telah dikurangkan, sedangkan laba akuntansi dihitung tanpa mengurangi biaya modal dan EVA memberikan pengukuran yang lebih baik atas nilai
tambah yang diberikan perusahaan kepada pemegang saham (Wiagustini,2010a:97 dan 2010b: 98). Menurut (Brigham dan Houston, 2006), EVA adalah estimasi laba ekonomi yang sebenarnya dari bisnis setelah biaya seluruh modal dikurangkan. Sedangkan laba akuntansi ditentukan tanpa mengenakan biaya modal ekuitas. Pemodal mengorbankan peluang investasi dananya di tempat lain ketika memberikan modal kepada perusahaan. Return dari tempat lain atas investasi dengan tingkat risiko yang sama mencerminkan biaya modal. Prinsip EVA memberikan sistem pengukuran yang baik untuk menilai suatu kinerja dan prestasi keuangan manajemen perusahaan karena EVA berhubungan langsung dengan nilai pasar sebuah perusahaan (Lisa, 1999). Manajemen dapat melakukan banyak hal untuk menciptakan nilai tambah tetapi pada prinsipnya EVA akan meningkat jika manajemen melakukan satu dari tiga hal berikut (Stewart, 1993:119) : 1)
Meningkatkan laba operasi tanpa adanya tambahan modal
2)
Menginvestasikan modal baru ke dalam project yang dapat return lebih besar
dari biaya modal yang ada. 3)
Menarik modal dari aktivitas-aktivitas usaha yang tidak menguntungkan.
Economic Value Added juga mendorong manajemen untuk berfokus pada proses dalam perusahaan yang menambah nilai dan mengeliminasi aktivitas atau proses yang tidak menambah nilai dan dapat membantu memastikan bahwa mereka telah menjalankan operasi dengan cara yang konsisten dengan tujuan untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Perhitungan EVA suatu perusahaan merupakan proses kompleks dan terpadu karena perusahaan harus mempertimbangkan biaya modalnya (cost of capital) (Lisa,1999). 2.1.2.1 Strategi Menaikkan Economic Value Added
Didalam dunia usaha terdapat berbagai alternatif strategi yang diharapkan akan menghasilkan keuntungan kompetitif secara kontinyu yang dapat menciptakan nilai ekonomis yang tinggi bagi para pemegang saham, melalui pembayaran dividen dan apresiasi harga saham (Gita, 2003). Menurut Teodora Winda Mulia (2002:135) mengatakan dalam konsep EVA untuk menciptakan nilai bagi
pemegang
menghasilkan keuntungan yang melebihi biaya modal
saham perusahaan
harus
disegala unit bisnisnya.
Meskipun demikian tidak berarti bahwa pihak manajemen memanfaatkan profitabilitas untuk jangka pendek akan tetapi benar-benar memperhatikan pertumbuhan EVA untuk waktu yang akan datang sehingga peningkatan EVA dapat terjadi secara terus menerus yang dapat dilakuka dengan 3 (tiga) stategi, yaitu : 1)
Strategi penciptaan nilai dengan mencapai perumbuhan keuntungan dimana hal ini bisa dicapai dengan menambah modal yang di investasikan pada proyek dengan tingkat pengembalian tinggi. 2)
Strategi penciptaan nilai dengan meningkatkan efisiensi operasi, dalam hal ini
meningkatkan keuntungan tanpa menggunakan tambahan modal. 3)
Strategi penciptaan nilai dengan rasionalisasi dan keluar dari bisnis yang tidak
menjanjikan, ini berarti menarik modal dari aktifitas yang menghasilkan return yang rendah dan menghapus unit bisnis yang tidak menjanjikan hasil. 2.1.2.2 Alat Ukur Economic Value Added EVA merupakan alat pengukur kinerja pada perusahaan yang tepat hingga menganalisis secara adil. Rumus menghitung Economic Value Added : EVA = NOPAT – Capital Charge..................................................... (1) Net Profit After Tax (NOPAT) dihitung dengan cara : Laba (rugi) usaha – pajak Capital Charge di hitung dengan cara :
WACC x Invested Capital Weighted Average Cost Capital (WACC) dihitung dengan cara : WACC = D x rd1-Tax+ (E x re )} Dimana : Tingkat Hutang D = Total Hutang Total Hutang dan Ekuitas x 100% Cost Of Debt (rd) = Beban Bunga Total Hutang x100% Tax = Beban Pajak Laba Sebelum Pajak x100% Tingkat Modal (E) = Total Ekuitas Total Hutang dan Ekuitasx100% Cost of Equity (re) = Laba Bersih Setelah Pajak Total Ekuitas x100% Invested Capital dihitung dengan cara : Invested Capital = Hutang jangka pendek +Hutang jangka panjang + Ekuitas. Jika EVA > 0 diartikan nilai tambah ekonomis untuk perusahaan, namun bila EVA = 0, maka perusahaan dikatakan impas,dimana semua laba dapat digunakan untuk membayar kewajiban kepada investor baik kreditor maupun pemegang saham, Jika EVA < 0 perusahaan tidak memiliki nilai tambah,karena tingkat pengembalian tidak sebanding dengan biaya modal atau perusahaan tidak dapat atau tidak mampu menciptakan nilai tambah yang diinginkan oleh investor. Tolak ukur Economic Value Added 1) EVA > 0 Nilai tambah ekonomis untuk perusahaan 2) EVA = 0 Laba digunakan untuk membayar kewajiban kepada investor baik maupun
pemegang saham,nilai ekonomis perusahaan impas 3) EVA < 0 Tidak adanya nilai tambah bagi perusahaan
Dapat diartikan bahwa EVA merupakan nilai tambah ekonomis dari perusahaan untuk digunakan sebagai kegiatan maupun strateginya selama periode tertentu sehingga menjadi cara untuk menilai kinerja keuangan perusahaan. EVA menjelaskan bagaimana perusahaan
membuat nilai untuk pemiliknya.Perlu dicatat bahwa EVA dapat juga diterapkan pada tingkat divisi atau subsidiary perusahaan (Wiagustini, 2010:98). 2.1.2.3 Kelebihan dan Kelemahan EVA Menurut (Mirza, 1997:14) EVA sebagi pengukur kinerja perusahaan memiliki kelebihan dan kelemahan yaitu : Kelebihan EVA : 1)
EVA memfokuskan penilainnya pada nilai tambah dengan memperhitungkan
beban biaya modal sebagai resiko investasi. 2)
EVA pengukur kinerja perusahaan yang memperhatikan harapan penyedian dana yang memberi nilai tambah.
3) EVA dapat diterapkan secara mandiri tanpa memerlukan data pembanding dari
perusahaan lain maupun standar industri sebagaimana konsep analisis rasio keuangan. 4) EVA dapat digunakan sebagai tolak ukur pemberian bonus pada karyawan. 5) EVA dapat digunakan sebagai dan pertimbangan untuk mengambil keputusan dan
kebijakan permodalan 6) Konsep EVA mempengaruhi keputusan organisasi untuk keluar dari unit usaha yang
mempunyai nilai tambah negatif. Menurut (Pancawati, 2000:10) kebaikan-kebaikan menggunakan EVA adalah sebagi berikut : 1)
EVA sesuai dengan konsep income dalam ekonomi makro yang besarnya sama
dengan nilai tambah. Oleh karena itu laporan EVA bagi para ekonom lebih relevan dari pada laporan rugi-laba konvensional.
2) Laporan nilai tambah tidak hanya menonjolkan kepentingan dan peran shareholders
saja tetapi kepentingan dan peran stakeholder yang lain sehingga menumbuhkan kesadaran bahwa perusahaan merupakan suatu usaha bersama. 3) Penggunaan EVA lebih memudahkan untuk penerapan skema bonus kepada para
karyawannya berdasarkan nilai tambah yang disumbangkan terhadap perusahaan. 4) EVA merupakan ukuran yang lebih baik daripada ukuran tradisional karena
perhitungan biaya modal. 5) EVA dapat mengkaitkan perkiraan-perkiraan keuangan perusahaan terhadap income.
Dalam jangka panjang dan secara makro nilai tambah adalah sumber terakhir dari dana yang diperlukan untuk pengembangan perusahaan. 6) Perhitungan EVA relatif mudah dilakukan. 7) EVA dapat digunakan secara mandiri tanpa memerlukan data perbandingan seperti
standar industri atau data perusahaan lain, sebagaimana konsep penilaian yang menggunakan analisis rasio. Dalam prakteknya data perbandingan ini sering kali tidak tersedia. Kelemahan EVA Menurut (Mirza, 1997:14) EVA memiliki beberapa kelemahan sebagi berikut : 1)
EVA hanya mengukur hasil akhir, sementara aktivitas penentu seperti loyalitas
dan referensi konsumen tidak diperhatikan. 2) EVA terlalu bertumpu pada keyakinan bahwa investor sangat mengandalkan
pendekatan fundamental dalam mengkaji dan mengambil keputusan untuk menjual atau membeli saham tertentu. 3) Metode EVA sangat tergantung pada transportasi internal dalam perhitungan EVA
secara akurat. Kelemahan menurut (Pancawati Hardiningsih, 2000:11) adalah sebagi berikut :
1) EVA hanya mengukur hasil akhir, dan tidak mengukur aktivitas-aktivitas penentu
seperti loyalitas dan tingkat retensi konsumen. 2) EVA terlalu bertumpu pada keyakinan bahwa investor sangat mengandalkan
pendekatan fundamental dalam mengkaji dan mengambil keputusan untuk melakukan investasi. 3) Konsep ini sangat tergantung pada transparansi internal dalam perhitungan EVA
secara akurat. Dalam kenyataan seringkali perusahaan kurang transparan dalam mengemukakan kondisi internal. 4) Proses perhitungan EVA memerlukan estimasi atas biaya modal dan estimasi ini sulit
dilakukan bagi perusahaan yang belum go public. 5) EVA sangat sulit diterapkan perusahaan jika kondisi pasar modal disuatu negara
kurang efesien. Dengan kata lain EVA masih mengandung unsur keberuntungan karena tinggi rendahnya EVA dipengaruhi oleh gejolak dipasar modal. 6) EVA hanya menggambarkan penciptaan nilai pada suatu tahun tertentu, karena nilai
perusahaan merupakan “akumulasi” EVA selama umur perusahaan. 7) EVA tidak merupakan tolak ukur kinerja bisnis yang baik, karena hanya mengukur
kinerja keuangan perusahaan sehingga tidak komprehensif. 2.1.3 Investment Opportunity Set Investment Opportunity Set merupakan investasi pilihan untuk dimasa yang akan datang dengan keuntungan akan adanya peningkatan dalam aktiva maupun ekuitas. Penelitian mengenai IOS diantaranya dilakukan oleh Smith dan Watts (1992) meneliti proporsi hubungan IOS dengan kebijakan dividen pendanaan, dividen, dan kompensasi. Hasil penelitian menunjukan perusahaan yang memiliki peningkatan mempunyai utang yang kecil,pembayaran dividen lebih kecil dan melakukan pembayaran kompensasi kepada manajer lebih tinggi.
Investment Opportunity Set di bagi menjadi tiga bagian yaitu proksi berbasis harga, proksi berbasis investasi, dan proksi berbasis varian Simth dan Watts (1992) (dalam Kallapur dan Trombley 1999). Proksi berbasis harga yaitu : (1) Market to Book Value of Equity Ratio (MBVE)
MBVE = (Jumlah Saham yang Beredar x Harga PenutupanTotal ) Ekuitas (2) (2) Market to Book Value of Asset Ratio (MBVA)
MBVA = Nilai PasarNilai Buku Aset....................................................(3) Keterangan : Nilai Pasar = (Total Aktiva – Total Ekuitas) + (Jumlah Saham yang Beredar x Harga Penutup) Nilai Aset = Total Aset (3) Price Earning Ratio (PER)
PER = Harga PenutupEPS (4) Property,Plant, and Equipment to Book Value of Asset Ratio (PPEBVA)
PPEBVA = Nilai Buku Property,Plant,EquipmentNilai Buku Total Aktiva
Proksi berbasis investasi menunjukan bahwa IOS berkolerasi positif dengan pengembangan dari kegiatan investasi,agar kegiatan investasi dapat berlangsung terus menerus maka perusahaan perlu melakukan pengembangan, (Ratih, 2010). Dalam penelitian ini menggunakan market to book value of asset ratio. Pemilihan proksi ini karena dalam penilain pasar dapat dilihat dengan meningkatnya aktiva dan IOS di masa akan datang. Apabila kondisi perusahaan sangat baik maka pihak manjemen akan cenderung lebih memilih investasi baru dari pada membayar dividen yang tinggi, Dana yang seharusnya dapat dibayarkan sebagai dividen tunai kepada pemegang saham akan digunakan untuk
pembelian
investasi
yang
menguntungkan,
bahkan
untuk
mengatasi
masalah
underinvestment, sebaliknya perusahaan yang mengalami pertumbuhan lambat akan cenderung membagikan dividen lebih tinggi untuk mengatasi masalah overinvestment (Michell, 2007). Pada penelitian Kallapur dan Trombley (1999) mengatakan bahwa rasio MBVA berkorelasi positif dengan realisasi pertumbuhan aktiva dan ekuitas. 2.1.4 Likuiditas Likuiditas perusahaan merupakan pertimbangan utama dalam banyak kebijakan dividen. Karena kebijakan dividen bagi perusahaan merupakan kas keluar, maka semakin besar posisi kas dan likuiditas perusahaan secara keseluruhan akan semakin besar pula kempampuan perusahaan untuk membayar dividen (Sartono, 2001) . Hanya perusahaan yang memiliki likuiditas baik yang akan dibagikan labanya kepada pemegang saham dalam bentuk tunai (Suharli, 2007). Likuiditas diartikan sebagai kemampuan
perusahaan melunasi seluruh
kewajiban jangka pendek (Karnadi, 1997) dan mendanai operasional usahanya (Suharli, 2004). Suatu perusahaan yang sedang tumbuh secara rendabel (perusahaan yang masih mencari keuntungan), mungkin tidak begitu kuat posisi likuiditasnya karena sebagian besar dari dananya tertanam dalam aktiva tetap dan modal kerja sehingga kemampuannya untuk membayarkan dividen pun sangat terbatas. Dengan sendirinya likuiditas suatu perusahaan ditentukan oleh keputusan – keputusan di bidang investasi dan cara pemenuhan kebutuhan dananya (Wicaksono, 2014). Menurut Fred Weston dalam Kasmir (2009 : 129) yang menyebutkan bahwa rasio likuiditas merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Menurut Keown et.all (2001 : 621) mengatakan posisi likuiditas sangat berpengaruh terhadap kemampuan pembayar dividen karena dividen dibayarkan
dengan kas dan tidak dengan laba ditahan, perusahaan harus memiliki kas tersedia untuk membayar dividen. 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Economic Value Added terhadap Kebijakan Dividen Tunai Nilai EVA yang positif berarti manajemen perusahaan telah berhasil memaksimumkan nilai perusahaan dan kinerja perusahaan mengalami peningkatan. Kinerja perusahaan yang meningkat akan sejalan dengan peningkatan laba perusahaan. Semakin besar laba perusahaan, dividen yang akan dibagikan kepada pemegang saham juga cenderung meningkat. Hal ini akan menarik minat para investor untuk menanamkan modal pada perusahaan yang memiliki nilai EVA postif sehingga harga saham perusahaan akan meningkat (Ervinta dan Zaroni, 2013). EVA merupakan tolak ukur kinerja keuangan dengan mengukur perbedaan antara pengembalian atas modal perusahaan dengan biaya modal (Young dan O’Byrne, 2001). Sudarmakiyanto dan Prasetya (2013) dalam penelitian menyimpulkan bahwa kinerja keuangan dengan Economic Value Added sebagai alat ukur berpengaruh postif terhadap kebijakan dividen. EVA dapat membantu pengambilan keputusan yang penting bagi manajemen keuangan dimana keputusan penting itu termasuk kebijakan dividen pada perusahaan untuk peningkatan kemakmuran bagi para pemegang saham. Rumusan hipotesis penelitian sebagai berikut : H1 : EVA berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen tunai 2.2.2 Pengaruh Investment Opportunity Set terhadap Kebijakan Dividen Tunai Menurut (Smith dan Watts, 1992), Hubungan kebijakan investasi dengan kebijakan dividen dapat diidentifikasi melalui arus kas perusahaan, semakin besar jumlah investasi dalam satu periode tertentu, semakin kecil dividen yang diberikan,karena perusahaan
bertumbuh diidentifikasikan sebagai perusahaan yang free cash flow-nya rendah. Myers dan Majluf, 1984 (dalam Hartono, 1999) mengatakan bahwa perusahaan yang profitable memiliki dorongan membayaran dividen relatif rendah dalam rangka memiliki dana internal lebih banyak untuk membiayai proyek-royek investasinya. Bahkan bagi perusahaan bertumbuh, peningkatan deviden dapat menjadi berita buruk karena diduga perusahaan telah mengurangi rencana investasinya (Hartono, 1999). Dalam penelitian Marpung dan Hadianto (2009) menyimpulkan bahwa profitabilitas dan nilai perusahaan memiliki pengaruh kepada kebijakan dividen sedangkan IOS, tidak memiliki pengaruh kepada kebijakan dividen. Hasil penelitian Fitri Ismayanti dan M Hanafi (2003), Safrida dan Risanty (2004) dan Sadali dan Saragih (2008) menyatakan bahwa pengaruh IOS terhadap kebijakan dividen adalah negativ. Rumusan hipotesis penelitan sebagai berikut : H2
: IOS memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan dividen tunai
2.2.3 Likuiditas sebagai Variabel Moderating Likuiditas sebagai variabel moderating disini bertujuan mengetahaui apakah likuiditas menjadi penguat atau pelemah terhadap faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen dimana faktor yang diduga mempengaruhi dividen tunai yang dibayarakan perusahaan kepada para investor dalam hal ini Economic Value Added dan Investment Opportunity Set. Penelitian Michell (2007) mengatakan dimana perusahaan yang memiliki likuiditas lebih baik maka akan mampu membayar deviden lebih banyak. Perusahaan yang mempunyai tingkat likuiditas yang tinggi, perusahaan tersebut mempunyai kesempatan dalam memenuhi segala kewajiban jangka pendek termasuk dengan membayar dividen ke pemiliki modal. Maka dapat disimpulkan bahwa semakin likuid suatu perusahaan kemungkinan membayar dividen semakin besar juga. Sehingga hubungan antara likuiditas dengan kebijakan dividen adalah positif (Santiko, 2014). Perusahaan manufaktur
yang go public ketika memiliki likuiditas yang baik dapat disimpulkan membayar dividen lebih banyak dan laba yang dibagikan berbentuk tunai. Penelitian Dwi (2013) menyimpulkan Likuiditas perusahaan baik, perusahaan akan cenderung untuk menggunakan dana kas yang ada untuk membiayai IOS yang tinggi. Oleh karena itu, akan mengurangi dana kas yang tersedia untuk membayar dividen tunai. Jadi, likuiditas mampu memoderasi pengaruh negatif IOS terhadap kebijakan dividen tunai. Dalam penelitian ini dirumuskan hipotesi bagaimana likuiditas sebagai variabel moderating terhadap hubungan Economic Value Added dan Investment Opportunity Set terhadap kebijakan dividen tunai. Rumusan hipotesis penelitian sebagai berikut : H3
: Likuiditas mampu memoderasi pengaruh positif dan signifikan Economic Value Added terhadap kebijakan dividen tunai perusahaan
H4
: Likuiditas mampu memoderasi pengaruh negatif dan signifikan Investment Opportunity Set terhadap kebijakan dividen tunai perusahaan.