BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan Umum Tentang Keluarga
2.1.1. Pengertian Keluarga Keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama. Para sosiolog berpendapat bahwa asal-usul pengelompokkan keluarga bermula dari peristiwa perkawinan. Akan tetapi asal-usul keluarga dapat pula terbentuk dari hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan status yang berbeda, kemudian mereka tinggal bersama memiliki anak. Anak yang dihasilkan dari hidup bersama memiliki anak. Anak yang dihasilkan dari hidup bersama ini disebut keturunan dari kelompok itu. Dari sinilah pengertian keluarga dapat dipahami dalam berbagai segi. Pertama, dari segi orang yang melangsungkan perkawinan yang sah serta dikaruniai anak. Kedua, lelaki dan perempuan yang hidup bersama serta memiliki seorang anak, namun tidak pernah menikah. Ketiga, dari segi hubungan jauh antara anggota keluarga, namun masih memiliki ikatan darah. Keempat, keluarga yang mengadopsi anak orang lain (Suhendi, 2001 : 41) Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam keluarga terdapat hubungan fungsional di antara anggotanya. Yang perlu diperhatikan disini ialah faktor yang mempengaruhi hubungan itu, yaitu struktur keluarga itu sendiri. Struktur keluarga banyak menentukan pola hubungan dalam keluarga. Pada keluarga batih hubungan antara anggota mungkin saja lebih kuat karena terdiri dari jumlah anggota yang terbatas. Akan tetapi, pada keluarga luas, hubungan antaranggota 8
Universitas Sumatera Utara
keluarga sangat renggang karena terdiri dari jumlah anggota yang banyak dengan tempat terpisah. Dengan memperhatikan berbagai definisi di atas, Horton dan Hurt memberikan beberapa pilihan dalam mendefinisikan keluarga yaitu : a)
Suatu kelompok yang mempunyai nenek moyang yang sama.
b)
Suatu kelompok kekerabatan yang disatukan oleh darah dan perkawinan.
c)
Pasangan perkawinan dengan atau tanpa anak.
d)
Pasangan tanpa nikah yang mempunyai anak.
e)
Para anggota suatu komunitas yang biasanya mereka ingin disebut sebagai keluarga (Horton dan Hurt, 1996 : 267)
1. Fungsi Keluarga Setelah sebuah keluaraga terbentuk, anggota keluarga yang ada di dalamnya memiliki tugas masing-masing. Suatu pekerjaan yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga inilah yang disebut fungsi. Jadi fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan di dalam atau di luar keluarga. Fungsi disini mengacu pada peran individu dalam mengetahui, yang pada akhirnya mewujudkan hak dan kewajiban. Mengetahui fungsi keluarga sangat penting sebab dari sinilah terukur dan terbaca sosok keluarga yang ideal dan harmonis. Munculnya krisis dalam rumah tangga dapat juga sebagai akibat tidak berfungsinya salah satu fungsi keluarga. Fungsi keluarga terdiri dari fungsi biologis, fungsi pendidikan, fungsi keagamaan, fungsi perlindungan, fungsi sosialisasi anak, fungsi rekreatif, dan fungsi ekonomis. Sementara itu, dalam tulisan Horton dan Hurt, fungsi keluarga
Universitas Sumatera Utara
meliputi, fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, fungsi perlindungan, dan fungsi ekonomi. Di antara semua fungsi tersebut, ada tiga pokok fungsi keluarga yang dulu diubah dan digantikan orang lain, yaitu fungsi biologis, fungsi sosialisasi anak, dan fungsi afeksi : a. Fungsi Biologis Fungsi biologis berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan seksual suami istri. Keluarga adalah lembaga pokok yang secara absah memberikan uang bagi pengaturan dan pengorganisasian kepuasan seksual. Namun, ada pula masyarakat yang memberikan toleransi yang berbeda-beda terhadap lembaga yang mengambil alih fungsi pengaturan seksual ini, misalnya tempat-tempat hiburan dan panti pijat. Kenyataan ini pada dasarnya merupakan suatu kendala dan sekaligus suatu hal yang sangat rumit untuk dipikirkan. Kelangsungan sebuah keluarga, banyak ditentukan oleh keberhasilan dalam menjalani fungsi biologis ini. Apabila salah satu pasangan kemudian tidak berhasil menjalankan fungsi biologisnya, dimungkinkan akan terjadinya gangguan dalam keluarga yang biasanya berujung pada perceraian dan poligami. a. Fungsi Sosialisasi Anak Fungsi sosialisasi anak menunjuk pada perana keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui fungsi ini, keluarga berusaha mepersiapkan bekal selengkap-lengkapnya kepada anak dengan memperkenalkan pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat serta mempelajari peranan yang diharapkan akan dijalankan mereka. Dengan demikian, sosialisasi berarti melakukan proses pembelajaran terhadap seorang anak. Belajar
Universitas Sumatera Utara
tidak selalu diartikan sebagai suatu aktivitas yang sifatnya semata-mata intelektual, tetapi juga mencakup hal lain, yaitu pengamatan. Sejalan dengan itu, baik atau buruknya sosialisasi dalam keluarga akan berpengaruh terhadap anggotanya. Abdullah Nasikh Ulwan (1989 : 17) berpendapat bahwa anak adalah amanat yang berada pada pundak orang tuanya. Kalbunya yang murni bersih, seperti mutiara yang tak ternilai. Bila dibiasakan dan dididik kebaikan, dia akan tumbuh menjadi orang baik dan berbahagia di dunia dan akhirat. Apabila dibiarkan pada kejelekan seperti layaknya hewan, niscaya dia akan rusak dan menderita. Kalau sudah begitu keadaannya, sukar untuk dididik dan mengarahkan. Apabila orang tua tidak menjalankan fungsi sosialisasi dengan baik, problem yang muncul adalah anak kehilangan perhatian. Setelah itu dia mencari tokoh lain selain orang tuanya untuk ditiru. Semua masyarakat sangat menggantungkan diri kepada keluarga dalam hal sosialisasi sebagai persiapan untuk memasuki usia dewasa agar anak dapat berperan secara positif di tengah-tengah masyarakat. Salah satu caranya adalah melalui pemberian model bagi anak. Anak belajar menjadi laki-laki, suami, dan ayah dengan keluarga yang betul-betul dipimpin oleh seorang laki-laki. Sosialisasi akan menemukan kesulitan apabila model semacam itu tidak ada dan bila anak harus mengandalkan diri pada model yang disaksikan dalam keluarga lain. Dalam proses sosialisasi tidak ada peran pengganti ayah dan ibu yang betul-betul memuaskan. Sejumlah studi mutakhir menyimpulkan bahwa alasan utama perbedaan prestasi intelektual anak adalah suasana dalam keluarga. Studi
Universitas Sumatera Utara
semacam ini semakin menegaskan bahwa keluarga merupakan faktor penentu utama bagi sosialisasi anak. b. Fungsi Afeksi Salah satu kebutuhan dasar manusia ialah kebutuhan kasih sayang atau rasa dicinta. Pandangan psikiatrik mengatakan bahwa penyebab utama gangguan emosional, perilaku dan bahkan kesehatan fisik adalah ketiadaan cinta , yakni tidak adanya kehangatan dan hubungan kasih sayang dalam suatu lingkungan yang intim. Banyak fakta menunjukkan bahwa kebutuhan persahabatan dan keintiman sangat penting bagi anak. Data-data menunjukkan bahwa kenakalan anak serius adalah salah satu cirri khas dari anak yang tidak mendapat perhatian atau merasakan kasih sayang. Belakangan ini banyak muncul kelompok sosial yang mampu memenuhi kebutuhan persahabatan dan kasih sayang. Tentu saja kelompok ini secara tidak langsung merupakan perluasan dari fungsi afeksi dalam keluarga. Akan tetapi, perlu diwaspadai apabila kebutuhan afeksi itu kemudian diambil alih oleh kelompok lain di luar keluarga. Kecendrungan dewasa ini menunjukkan bahwa, fungsi afeksi telah bergeser kepada orang lain, terutama bagi mereka yang orang tuanya bekerja di luar rumah. Konsekuensinya, anak tidak lagi dekat secara psikologis karena anak akan menganggap orang tuanya tidak memiliki perhatian. Lebih buruk lagi istri yang bekerja diluar rumah, senantiasa memanjakan anakanaknya dengan barang-barang mewah (benda yang bersifat materialistis), padahal kebutuhan sesunggunhya bagi anak bukanlah hal itu, melainkan keintiman, perhatian, dan kasih sayang tulus dari ibunya. Lebih jauh lagi, seorang ibu yang bekerja di luar rumah akan memanjakan anaknya. Hal itu dilakukan
Universitas Sumatera Utara
karena adanya “rasa bersalah” terhadap anaknya akibat tidak bertemu seharian. Oleh karena itu, dampak lain yang muncul adalah longgarnya nilai control orang tua terhadap anak dan pemberian toleransi terhadap perbuatan anak yang melanggar etika. 2. Bentuk-Bentuk Keluarga Bentuk keluarga sangat berbeda antara satu masyarakat dan masyarakat lainnya. Bentuk di sini dapat dilihat dari jumlah anggota keluarga, yaitu keluarga batih dan keluarga luas, dilihat dari sistem yang digunakan, yaitu keluarga pangkal (sistem family) dan keluarga gabungan (joint family), dan dilihat dari segi status individu dalam keluarga, yaitu keluarga prokreasi dan keluarga orientasi. a. Keluarga Batih (Nuclear Family) Keluarga batih ialah kelompok orang yang terdiri dari ayah, ibu, dan anakanaknya yang belum memisahkan diri dan membentuk keluarga tersendiri. Keluarga ini bisa juga disebut sebagai keluarga conjugal (conjugal family), yaitu keluarga yang terdiri dari pasangan suami istri bersama anak-anaknya. Menurut Hutter, keluarga inti (nuclear family) dibedakan dengan keluarga konjugal (conjugal family). Keluarga conjugal terlihat lebih otonom, dalam arti tidak memiliki keterikatan secara ketat dengan keluarga luas, sedangkan keluarga inti tidak memiliki otonomi karena memiliki ikatan garis keturunan, baik patrilineal maupun matrilinieal (Suhendi dkk, 2001 : 54).Hubungan intim antara suami dan istri lebih mendalam, namun biasanya dikaitkan dengan suatu hubungan pertukaran yang menyenangkan. Apabila suami mampu memberikan suasana kepuasan batin dan materi, hubungan suami dan istri menyebabkan mekanisme pertukaran sosial tidak berjalan, terbuka peluang bentuk berpisah.
Universitas Sumatera Utara
b. Keluarga Luas (Extended Family) Keluarga luas, yaitu keluarga yang terdiri dari semua orang yang berketurunan dari kakek dan nenek yang sama termasuk keturunan masingmasing isteri dan suami. Dengan kata lain, keluarga luas adalah keluarga batih ditambah kerabat lain yang memiliki hubungan erat dan senantiasa dipertahankan. Sebutan keluarga yang diperluas (Extended Family) digunakan bagi suatu sistem yang masyarakatnya menginginkan beberapa generasi yang hidup dalam satu atap rumah tangga. Sistem semacam ini ada pada orang-orang China yaitu bila seorang laki-laki telah menikah, ia tinggal bersama dengan keluarga yang telah menikah dan bersama anak-anaknya yang lain yang belum menikah, juga bersama cicitnya dari garis keturunan laki-laki. Istilah keluarga luas seringkali digunakan untuk mengacu pada keluarga batih berikut keluarga lain yang memiliki hubungan baik dengannya dan tetap memelihara dan mempertahankan hubungan tersebut. Keluarga luas tentu saja memiliki keuntungan tersendiri. Pertama, keluarga luas banyak ditemukan di desa-desa dan bukan pada daerah industri. Keluarga luas sangat cocok dengan kehidupan desa, yang dapat memberikan pelayanan sosial bagi anggota-anggotanya. Kedua, keluarga luas mampu mengumpulkan modal ekonomi secara besar. Proses pengambilan keputusan dalam keluarga luas terlihat sangat berbelit-belit. Penyelesaian masalah waris yang dikehendaki jatuh pada anak yang paling tua sering mengakibatkan benturan dan gesekan pada istri-istri muda lainnya. Peraturan mengenai hal itu tidak secara terperinci memuaskan mereka. Inilah posisi kehidupan keluarga yang
Universitas Sumatera Utara
memperlihatkan segi-segi kooperatif pada satu sisi dan pertentangan pada sisi lainnya. c. Keluarga Pangkal (Stem Family) Keluarga pangkal, yaitu sejenis keluarga yang menggunkan sistem pewarisan kekayaan pada satu anak yang paling tua. Keluarga pangkal ini banyak terdapat di Eropa zaman feodal. Para petani imigran AS dan di zaman Tokugawa Jepang. Pada masa tersebut seorang anak yang paling tua bertanggung jawab terhadap adik-adiknya yang perempuan sampai menikah, begitu pula terhadap saudara laki-lakinya yang lain. Dengan demikian, pada jenis keluarga ini pemusatan kekayaan hanya pada satu orang. d. Keluarga Gabungan (Joint Family) Keluarga gabungan, yaitu keluarga yang terdiri atas orang-orang yang berhak atas hasil milik keluarga, antara lain saudara laki-laki setiap generasi. Di sini, tekanannya hanya pada saudara laki-laki karena menurut adat Hindu, anak laki-laki sejak kelahirannya mempunyai hak atas kekayaan keluarga. Walaupun antara saudara laki-laki itu tinggal terpisah, mereka manganggap dirinya sebagai suatu keluarga gabungan dan tetap menghormati kewajiban mereka bersama, termasuk membuat anggaran perawatan harta keluarga dan menetapkan anggaran belanja. Lelaki tertua yang menjadi kepala keluarga tidak bisa menjual harta milik bersama itu. e. Keluarga Prokreasi dan Keluarga Orientasi Keluarga prokreasi adalah sebuah keluarga yang individunya merupakan orang tua. Adapun orientasi adalah keluarga yang individunya merupakan slah seorang keturunan. Ikatan perkawinan merupakan dasar bagi terbentuknya suatu
Universitas Sumatera Utara
keluarga baru (keluarga prokreasi) sebagai unit terkecil dalam masyarakat. Namun demikian, perkawinan ini tidak dengan sendirinya menjadi sarana bagi penerimaan anggota dalam keluarga asal (orientasi). Hubungan suami dan istri dengan keluarga orientasinya sangat erat dan kuat.
2.2.
Kedudukan dan Peran Perempuan Dalam Keluarga
Definisi peran dalam perspektif ilmu Sosiologi. Mengenai definisi peran, Pratama, Fauzi, Setiawan, Zafriady & Fallo (2008) dan Tangkilisan (2005) mengungkapkan bahwa peran dapat didefinisikan sebagai suatu aspek dinamis dari adanya suatu kedudukan (posisi/status sosial). Aspek dinamis tersebut mencakup rangkaian wewenang, hak dan kewajiban yang menyertai keberadaan dari kedudukan tersebut. Lebih lanjut, Pratama dkk. menyebutkan bahwa suatu peran mencakup tiga hal, yaitu:
a)
Peran meliputi norma-norma terkait posisi dan tempat (kedudukan) dalam masyarakat,
b)
Peran merupakan konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu (atau organisasi) dalam masyarakat.
c)
Peran sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial.
Struktur sosial sendiri dapat diartikan sebagai suatu jalinan atau pola hubungan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu antara lain kelompokkelompok sosial, institusi sosial, norma sosial dan stratifikasi sosial (Henslin, 2007). Dalam istilah yang lebih sederhana, peran merupakan perilaku individu yang penting bagi pihak-pihak selain dirinya dalam suatu masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Henslin (2007) mendefinisikan peran (role) sebagai perilaku, kewajiban dan hak yang melekat pada suatu status. Lebih jauh, Henslin menyebutkan bahwa arti penting sosiologis dari suatu peran adalah “…memaparkan apa yang diharapkan dari (sese)orang“. Jika masyarakat dianalogikan sebagai sebuah pementasan drama, maka peran diibaratkan sebagai aturan yang “...mengekang orang – mengatakan kepada mereka kapan harus ‘masuk’ dan kapan harus ‘keluar’…“. Dengan kata lain, peran dapat diartikan sebagai batasan-batasan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh, patut dan tidak patut dilakukan oleh seseorang (atau suatu institusi) di tengah masyarakat di sekitarnya.
Pada umumnya kedudukan dan peranan wanita pada zaman dahulu menduduki tempat kedua dalam masyarakat. Kedudukan wanita lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki. Hal seperti ini hanya ditemukan dikalangan masyarakat biasa tapi banyak juga ditemukan pada masyarakat kalangan atas. Kadang-kadang dibedakan antara pengertian-pengertian kedudukan dengan kedudukan sosial, untuk lebih jelasnya dapat dijabarkan bahwa kedudukan diartikan sebagai tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya. Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan, adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan, keduanya tak dapat dipisah-pisahkan, oleh karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya juga demikian, tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan.
Universitas Sumatera Utara
Peranan yang melekat pada diri seseorang, harus dibedakan dengan posisi atau tempatnya dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat merupakan unsur yang statis yang menunjukkan tempat individu dalam organisasi masyarakat. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses, jadi tepatnya adalah seseorang menduduki suatu posisi atau tempat dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan (Soekanto, 2002:243). Kaum perempuan memiliki kodrat kehidupan yang berupa: kodrat perempuan sebagai ibu, sebagai istri, sebagai individu perempuan, dan sebagai anggota masyarakat. Setiap unsur kodrat yang dimiliki memerlukan tanggung jawab yang berbeda dengan peran dirinya sebagai anggota masyarakat, dan akan berbeda pula dengan peran dirinya sebagai individu. Meskipun demikian masingmasing unsur tersebut tidak boleh saling bertentangan (Sujarwa, 2001:91). Adapun dalam pembahasan ini lebih mengutamakan pada potret fenomena sosial berdasarkan analisis kasus kodrat perempuan yaitu : 1. Peran dan citra perempuan sebagai ibu Karateristik perempuan sebagai ibu bukan saja terletak pada peran kodrat perempuan yang dapat mengandung dan melahirkan, melainkan juga terletak pada kemampuan seorang ibu dalam mengasuh anak-anaknya sejak lahir hingga dewasa. Dalam kehidupan modern, banyak kaum ibu rumah tangga mengabaikan atau bahkan enggan mengasuh perkembangan dan pertumbuhan anaknya sendri, sehingga tidak jarang pertumbuhan perkembangan anak-anak di kota besar itu lebih didasarkan pada kemampuan fasilitas finansialnya dengan menyerahkan sepenuhnya pada pembantu rumah tangga atau panti-panti penitipan anak.
Universitas Sumatera Utara
2. Peran dan citra perempuan sebagai istri Dalam pandangan islam, hubungan suami istri diibaratkan sebagai pakaian antara yang satu bagi yang lain. Suami merupakan pakaian bagi istri dan istri merupakan pakaian bagi suami. Laki-laki merupakan kepala dan rumah merupakan pelabuhannya. Dalam kehidupan modern, peran suami istri dalam gambaran diatas masih dimungkinkan. Meskipun mereka memiliki mobilitas yang lebih tinggi dibanding dengan kehidupan keluarga tradisional, keluarga modern masih didasarkan pada pandangan romantis, maternal, dan domestik. Cinta romantis adalah konsep yang menunjang prinsip modernisme keteraturan, untuk tiap pria ada satu orang perempuan yang menjadi pasangannya, demikian pula yang sebaliknya. Cinta material dipandang sebagai perwujudan tugas seorang ibu dalam mencintai dan merawat anak-anaknya. Persepsi cinta, romantis, material, dan domestic dapat diartikan sebagai suatu kehidupan keluarga yang dapat berada dalam satu nilai kebersamaan. Dalam kehidupan pasca modern, tampaknya ada perbedaan, kekhususan, dan ketidakberaturan yang mendasari kehidupan keluarga mereka. Konsep tentang keluarga inti dengan satu bapak yang bekerja mencari nafkah dan satu ibu yang yang mengayomi anak-anak dirumah sudah sulit dipertahankan sebagai realitas kehidupan. Keluarga pasca modern diwarnai dengan kehidupan kedua orang tua yang sama-sama bekerja mencari nafkah diluar rumah, akibatnya angka perceraian semakin tinggi, banyak keluarga dengan satu orang tua saja sehingga anak-anak harus bertahan dan berjuang dijalan.
Universitas Sumatera Utara
3. Peranan Perempuan Dalam Ekonomi Keluarga Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dilakukan melalui upaya stabilisasi ekonomi, pemanfaatan sumber daya dalam negeri yang potensial, dan upaya promosi ekspor yang merupakan tendensi pembangunan dunia saat itu. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa periode ini sentrum aktivitas pembangunan masih terpusat di darat, terhadap lapisan masyarakat yang menjanjikan potensi produksi yang tinggi, dan unit aktivitas yang sanggup mendatangkan akumulasi modal dan devisa negara terbesar. Kecendrungan ini belum berjalan secara proporsional bila dikaitkan dengan luas wilayah, dan luas kelompok masyarakat yang menguntungkan nasib pada pengelolahan sumber daya laut. Permasalahan petani dan kemiskinan memiliki akar yang cukup kompleks. Terdapat banyak hal yang turut mempengaruhi kehidupannya. Namun, dalam hal ini dikemukakan empat masalah dasar yang dihadapi dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat petani, paling tidak dipengaruhi oleh empat hal pokok : a. Kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh masyarakat petani. Kualitas hidup yang dimaksud dapat dalam arti luas yang meliputi kualitas pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan aspek sosial lainnya. Acuan yang digunakan pada kajian ini adalah kualitas SDM yang berkaitan langsung dengan tingkat produktivitas dan kualitas hasil kerja yang dipunyai. Hal yang terakhir ini berkaitan langsung dengan keterampilan yang dimiliki kelompok masyarakat petani tersebut. b. Keterbatasan daya jangkau pemasaran hasil produksi sumber daya hasil pertanian yang dipunyai oleh para petani. Keterbatasan daya jangkau
Universitas Sumatera Utara
pemasaran dapat berkaitan erat dengan masalah dasar sebelumnya yang berakibat pada mutu hasil produksi yang rendah, skala produksi yang tidak ekonomis, dan ketepatan distribusi. Kelompok petani, di samping memiliki keterbatasan sumber daya manusia, juga memiliki keterbatasan asset produksi, serta kekuatan organisasi dan manajemen yang lemah. c. Keterbatasan akses kelompok masyarakat petani terhadap sumber daya finasial, teknologi, dan informasi, melengkapi kedua masalah dasar sebelumnya. Kelambatan adaptasi teknologi kelompok masyarakat petani bukan merupakan keterbatasan melekat pada diri petani, melainkan terbatasnya kemudahan yang diberikan untuk beradaptasi. d. Keterbatasan
kualitas
kelembagaan
yang
dimiliki.Keterbatasan
kelembagaan bukan hanya bersumber dari sisi internal kalangan petani, melainkan juga berasal dari faktor eksternal, seperti perangkat hukum melindungi, pengembangan organisasi, tingkat kemajuan koperasi petani, dan atau lingkungan yang menempatkan kelembagaan petani khususnya pada saat berhadapan dengan kekuatan kelembagaan swasta nasional dan asing, pada kondisi yang tidak berimbang. Keluarga merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Dengan kata lain, keluarga tetap merupakan bagian dari masyarakat lokal yang lahir dan berada didalamnya, yang secara berangsur-angsur akan melepaskan ciri-ciri tersebut karena tumbuhnya mereka ke arah pendewasaan (Khairuddin, 1985:10).
Universitas Sumatera Utara
Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani yang berarti tata pelaksanaan rumah tangga yang berupa kegiatan unutk memenuhi kebutuhan pokok yaitu makanan,peralatan rumah tangga, pakaian, dan perumahan. Berbicara mengenai ekonomi selalu dikaitkan dengan manajemen serta pola pengambilan keputusan dalam keluarga serta upaya pemenuhan ekonomi. Manajemen didalam sebuah keluarga akan melibatkan suami maupun istri sebagai pengendali dalam keluarga. Aktivitas dalam sebuah keluarga tidak akan berjalan lancar tanpa adanya kerja sama diantara anggota keluarga dibawah pimpinan suami selaku pencari nafkah dan bekerja sama dengan istri. Peran perempuan dalam ekonomi petani tidak terbatas pada aspek sumbangan tunai saja, tetapi juga pada aspek manajemen dalam keluarga. Di dalam sebuah manajemen keuangan ekonomi keluarga petani sebahagian besar berada di tangan perempuan atau istri khususnya, dan kemudian suami pada umumnya tidak ikut campur tangan dalam urusan rumah tangga.
2.3.
Partisipasi
2.3.1. Pengertian Partisipasi
Partisipasi adalah keikutsertaan, peranserta tau keterlibatan yang berkitan dengan keadaaan lahiriahnya (Sastropoetro;1995). Participation becomes, then, people's involvement in reflection and action, a process of empowerment and active involvement in decision making throughout a programme, and access and control over resources and institutions (Cristóvão, 1990).
Pengertian prinsip partisipasi adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahap
Universitas Sumatera Utara
sosialisasi,
perencanaan,
pelaksanaan,
dan
pelestarian
kegiatan
dengan
memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill (PTO PNPM PPK, 2007).
Hoofsteede (1971) menyatakan bahwa patisipasi adalah the taking part in one ore more phases of the process sedangkan Keith Davis (1967) menyatakan bahwa patisipasi “as mental and emotional involment of persons of person in a group situation which encourages him to contribute to group goals and share responsibility in them” Verhangen (1979) dalam Mardikanto (2003) menyatakan bahwa, partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian: kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat. Theodorson dalam Mardikanto (1994) mengemukakan bahwa dalam pengertian sehari-hari, partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau warga masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud di sini bukanlah bersifat pasif tetapi secara aktif ditujukan oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, partisipasi akan lebih tepat diartikan sebagi keikutsertaan seseorang didalam suatu kelompok sosial untuk mengambil bagian dalam kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap tumbuh dan berkembangnya partisipasi dapat didekati dengan beragam pendekatan disiplin keilmuan. Menurut konsep proses pendidikan, partisipasi merupakan bentuk tanggapan atau response atas rangsangan-rangsangan yang diberikan; yang dalam hal ini, tanggapan merupakan fungsi dari manfaat (rewards) yang dapat diharapkan (Berlo, 1961).
Universitas Sumatera Utara
Partisipasi masyarakat merutut Hetifah Sj. Soemarto (2003) adalah proses ketika warga sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi, mengambil peran serta ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan kebijakan yang langsung mempengaruhi kehiduapan mereka. Conyers (1991) menyebutkan tiga alasan mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting. Pertama partispasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakata, tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal, alasan kedua adalah bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap poyek tersebut. Alasan ketiga yang mendorong adanya partisiapsi umum di banyak negara karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Hal ini selaras dengan konsep mancetered development yaitu pembangunan yang diarahkan demi perbaiakan nasib manusia. 2.3.2. Tipologi Partisipasi
Penumbuhan
dan
pengembangan
partisipasi
masyrakat
serngkali
terhambat oleh persepsi yang kurang tepat, yang menilai masyarakat “sulit diajak maju” oleh sebab itu kesulitan penumbuhan dan pengembangan partisipasi masyrakat juga disebabkan karena sudah adanya campur tangan dari pihak penguasa. Berikut adalah macam tipologi partisipasi masyarakat
Universitas Sumatera Utara
1. Partisipasi Pasif / manipulatif dengan karakteristik masyrakat diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi, pengumuman sepihak oleh pelkasan proyek yanpa memperhatikan tanggapan masyarakat dan informasi yang diperlukan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran. 2. Partisipasi Informatif memilki kararkteristik dimana masyarakat menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian, masyarakat tidak diberikesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian dan akuarasi hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat. 3. Partisipasi konsultatif dengan karateristik masyaakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi, tidak ada peluang pembutsn keputusan bersama, dan para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat (sebagi masukan) atau tindak lanjut 4. Partisipasi intensif memiliki karakteristik masyarakat memberikan korbanan atau jasanya untuk memperolh imbalan berupa intensif/upah. Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajan atau eksperimeneksperimen yang dilakukan dan asyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah intensif dihentikan. 5. Partisipasi Fungsional memiliki karakteristik masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyek, pembentukan kelompok biasanya setelah ada keptusan-keputusan utama yang di sepakati, pada tahap awal masyarakat tergantung terhadap pihak luar namun secara bertahap menunjukkan kemandiriannya. 6. Partisipasi interaktif memiliki ciri dimana masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan penguatan
Universitas Sumatera Utara
kelembagaan dan cenderung melibatkan metoda interdisipliner yang mencari keragaman prespektik dalam proses belajar mengajar yang terstuktur dan sisteatis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas (pelaksanaan) keputusan-keputusan merek, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegitan. 7. Self mobilization (mandiri) memiliki karakter masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebabas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilai-niloai yang mereka miliki. Masyarakat mengambangkan
kontak
dengan
lembaga-lemabaga
lain
untuk
mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya yang diperlukan. Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan
2.3.3. Tahap-Tahap Partisipasi
Uraian dari masing-masing tahapan partisipasi adalah sebagai berikut :
1. Tahap partisipasi dalam pengambilan keputusan
Pada umumnya, setiap program pembangunan masyarakat (termasuk pemanfaatan sumber daya lokal dan alokasi anggarannya) selalu ditetapkan sendiri oleh pemerintah pusat, yang dalam hal ini lebih mencerminkan sifat kebutuhan kelompok-kelompok elit yang berkuasa dan kurang mencerminkan keinginan dan kebutuhan masyarakat banyak. Karena itu, partisipasi masyarakat dalam pembangunan perlu ditumbuhkan melalui dibukanya forum yang memungkinkan masyarakat banyak
Universitas Sumatera Utara
berpartisipasi langsung di dalam proses pengambilan keputusan tentang program-program pembangunan di wilayah setempat atau di tingkat lokal (Mardikanto, 2001).
2. Tahap partisipasi dalam perencanaan kegiatan
Slamet (1993) membedakan ada tingkatan partisipasi yaitu : partisipasi dalam tahap perencanaan, partisipasi dalam tahap pelaksanaan, partisipasi dalam tahap pemanfaatan. Partisipasi dalam tahap perencanaan merupakan tahapan
yang
paling
tinggi
tingkatannya
diukur
dari
derajat
keterlibatannya. Dalam tahap perencanaan, orang sekaligus diajak turut membuat keputusan yang mencakup merumusan tujuan, maksud dan target.
Salah satu metodologi perencanaan pembangunan yang baru adalah mengakui adanya kemampuan yang berbeda dari setiap kelompok masyarakat dalam mengontrol dan ketergantungan mereka terhadap sumber-sumber yang dapat diraih di dalam sistem lingkungannya.
Pengetahuan para perencana teknis yang berasal dari atas umumnya amat mendalam. Oleh karena keadaan ini, peranan masyarakat sendirilah akhirnya yang mau membuat pilihan akhir sebab mereka yang akan menanggung kehidupan mereka. Oleh sebab itu, sistem perencanaan harus didesain sesuai dengan respon masyarakat, bukan hanya karena keterlibatan mereka yang begitu esensial dalam meraih komitmen, tetapi karena masyarakatlah yang mempunyai informasi yang relevan yang tidak dapat dijangkau perencanaan teknis atasan (Slamet, 1993).
Universitas Sumatera Utara
3. Tahap partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, seringkali diartikan sebagai partisipasi masyarakat banyak (yang umumnya lebih miskin) untuk secara sukarela menyumbangkan tenaganya di dalam kegiatan pembangunan. Di lain pihak, lapisan yang ada di atasnya (yang umumnya terdiri atas orang kaya) yang lebih banyak memperoleh manfaat dari hasil pembangunan, tidak dituntut sumbangannya secara proposional. Karena itu, partisipasi masyarakat dalam tahap pelaksanaan pembangunan harus diartikan sebagai pemerataan sumbangan masyarakat dalam bentuk tenaga kerja, uang tunai, dan atau beragam bentuk korbanan lainnya yang sepadan dengan manfaat yang akan diterima oleh warga yang bersangkutan (Mardikanto, 2001).
4. Tahap partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi kegiatan
Kegiatan pemantauan dan evaluasi program dan proyek pembangunan sangat diperlukan. Bukan saja agar tujuannya dapat dicapai seperti yang diharapkan, tetapi juga diperlukan untuk memperoleh umpan balik tentang masalah-masalah
dan
kendala
yang
muncul
dalam
pelaksanaan
pembangunan yang bersangkutan. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan perkembangan kegiatan serta perilaku aparat pembangunan sangat diperlukan (Mardikanto, 2001).
Universitas Sumatera Utara
5. Tahap partisipasi dalam pemanfaatan hasil kegiatan
Partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan, merupakan unsur terpenting yang sering terlupakan. Sebab tujuan pembangunan adalah untuk memperbaiki mutu hidup masyarakat banyak sehingga pemerataan hasil
pembangunan
merupakan
tujuan
utama.
Di
samping
itu,
pemanfaaatan hasil pembangunan akan merangsang kemauan dan kesukarelaan masyarakat untuk selalu berpartisipasi dalam setiap program pembangunan yang akan datang (Mardikanto, 2001).
2.3.4. Tingkat Kesukarelaan Partisipasi
Dusseldorp (1981) membedakan adanya beberapa jenjang kesukarelaan sebagai berikut:
1. Partisipasi spontan, yaitu peranserta yang tumbuh karena motivasi intrinsik berupa pemahaman, penghayatan, dan keyakinannya sendiri. 2. Partisipasi terinduksi, yaitu peranserta yang tumbuh karena terinduksi oleh adanya motivasi ekstrinsik (berupa bujukan, pengaruh, dorongan) dari luar; meskipun yang bersangkutan tetap memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi. 3. Partisipasi tertekan oleh kebiasaan, yaitu peranserta yang tumbuh karena adanya tekanan yang dirasakan sebagaimana layaknya warga masyarakat pada umumnya, atau peranserta yang dilakukan untuk mematuhi kebiasaan, nilai-nilai, atau norma yang dianut oleh masyarakat setempat.
Universitas Sumatera Utara
Jika tidak berperanserta, khawatir akan tersisih atau dikucilkan masyarakatnya. 4. Partisipasi tertekan oleh alasan sosial-ekonomi, yaitu peranserta yang dilakukan karena takut akan kehilangan status sosial atau menderita kerugian/tidak
memperoleh
bagian
manfaat
dari
kegiatan
yang
dilaksanakan. 5. Partisipasi tertekan oleh peraturan, yaitu peranserta yang dilakukan karena takut menerima hukuman dari peraturan/ketentuan-ketentuan yang sudah diberlakukan.
2.3.5. Syarat tumbuh partisipasi
Margono Slamet (1985) menyatakan bahwa tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sangat ditentukan oleh 3 (tiga) unsur pokok, yaitu:
a. Adanya kemauan yang diberikan kepada masyarakat, untuk berpartisipasi b. Adanya kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi c. Adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipas.
Lebih rinci Slamet menjelaskan tiga persyaratan yang menyangkut kemauan, kemampuan dan kesempatan untuk berpartisipasi adalah sebagai berikut
a) Kemauan Secara psikologis kemauan berpartisipasi muncul oleh adanya motif intrinsik (dari dalam sendiri) maupun ekstrinsik (karena rangsangan,
Universitas Sumatera Utara
dorongan atau tekanan dari pihak luar). Tumbuh dan berkembangnya kemauan berpartisipasi sedikitnya diperlukan sikap-sikap yang:
1. Sikap
untuk
meninggalkan
nilai-nilai
yang
menghambat
pembangunan. 2. Sikap terhadap penguasa atau pelaksana pembangunan pada umumnya. 3. Sikap untuk selalu ingin memperbaiki mutu hidup dan tidak cepat puas sendiri. 4. Sikap kebersamaan untuk dapat memecahkan masalah, dan tercapainya tujuan pembangunan. 5. Sikap kemandirian atau percaya diri atas kemampuannya untuk memperbaiki mutu hidupnya
b) Kemampuan
Beberapa
kemampuan
yang
dituntut
untuk
dapat
berpartisipasi dengan baik itu antara lain adalah:
1. Kemampuan untuk mengidentifikasi masalah. 2. Kemampuan untuk memahami kesempatan-kesempatan yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. 3. Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan serta sumber daya lain yang dimiliki
c) Robbins (1998) kemampuan adalah kapasitas individu melaksanakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Lebih lanjut Robbins (1998)
Universitas Sumatera Utara
menyatakan pada hakikatnya kemampuan individu tersuusun dari dua perangkat faktor yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. d) Kesempatan Berbagai kesempatan untuk berpartisipasi ini sangat dipengaruhi oleh:
1. Kemauan
politik
dari
penguasa/pemerintah
untuk
melibatkan
masyarakat dalam pembangunan. 2. Kesempatan untuk memperoleh informasi. 3. Kesempatan untuk memobilisasi dan memanfaatkan sumberdaya. 4. Kesempatan untuk memperoleh dan menggunakan teknologi tepat guna. 5. Kesempatan untuk berorganisasi, termasuk untuk memperoleh dan mempergunakan peraturan, perizinan dan prosedur kegiatan yang harus dilaksanakan. 6. Kesempatan untuk mengembangkan kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, menggerakkan dan mengembangkan serta memelihara partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Sementara Mardikanto (1994) menyatakan bahwa pembangunan yang partisipatoris tidak sekedar dimaksudkan untuk mencapai perbaikan kesejahteraan masyarakat (secara material), akan tetapi harus mampu menjadikan warga masyarakatnya menjadi lebih kreatif. Karena itu setiap hubungan atau interaksi antara orang luar dengan masyarakat sasaran yang sifatnya asimetris (seperti: menggurui, hak yang tidak sama dalam berbicara, serta mekanisme yang menindas) tidak boleh terjadi. Dengan dimikian, setiap pelaksanaan aksi tidak
Universitas Sumatera Utara
hanya dilakukan dengan mengirimkan orang dari luar ke dalam masrakat sasaran, akan tetapi secara bertahap harus semakin memanfaatkan orang-orang dalam untuk merumuskan perencanaan yang sebaik-baiknya dalam masyarakatnya sendiri.
Mardikanto (2003) menjelaskan adanya kesempatan yang diberikan, sering merupakan faktor pendorong tumbuhnya kemauan, dan kemauan akan sangat menentukan kemampuannya. Kemauan untuk berpartisipasi merupakan kunci utama bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat. Sebab, kesempatan dan kemampuan yang cukup, belum merupakan jaminan bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat, jika mereka sendiri tidak memiliki kemauan untuk (turut) membangun. Sebaliknya, adanya kemauan akan mendorong seseorang untuk meningkatkan kemam-puan dan aktif memburu serta memanfaatkan setiap kesempatan. (Mardikanto,2003).
Mardikanto (2003) menjelaskan beberapa kesempatan yang dimaksud adalah kemauan politik dari penguasa untuk melibatkan masyarakat dalam pembagunan, baik dalam pengambilan kepu-tusan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pemeliharaan, dan pemanfaatan pembangunan; sejak di tingkat pusat sampai di jajaran birokrasi yang paling bawah. Selain hal tersebut terdapat kesempatankesempatan yang lain diantaranya kesempatan untuk memperoleh
informasi
pembangunan,
kesempatan
memanfaatkan
dan
memobilisasi sumber daya (alam dan manusia) untuk pelaksanaan pembangunan. Kesempatan untuk memperoleh dan menggunakan teknologi yang tepat (termasuk peralatan
perlengkapan
penunjangnya).
Kesempatan
untuk
berorganisasi,
Universitas Sumatera Utara
termasuk untuk memperoleh dan menggunakan peraturan, perijinan, dan prosedur kegiatan
yang
harus
dilaksanakan,
dan
Kesempatan
mengembangkan
kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, menggerakkan, dan mengembangkan serta memelihara partisipasi masyarakat (Mardikanto,2003).
Adanya kesempatan-kesempatan yang disediakan untuk menggerakkkan partisipasi masyarakat akan tidak banyak berarti, jika masyarakatnya tidak memiliki kemampuan untuk berpartisipasi. Mardikanto (2003) menjelaskan yang dimaksud dengan kemampuan di sini adalah :
1. Kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan-kesempatan untuk membangun, atau pengetahuan tentang peluang untuk membangun (memperbaiki mutu hidupnya). 2. Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan, yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki. 3.
Kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan menggunakan sumberdaya dan kesempatan (peluang) lain yang tersedia secara optimal.
Yadav dalam Mardikanto (1994) mengemukakan adanya empat macam kegiatan yang menunjukkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan yaitu : partisipasi dalam pengambilan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi, dan partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan. Tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, menunjukkan adanya kepercayaan dan kesempatan yang diberikan "pemerintah" kepada masyarakatnya untuk terlibat secara aktif di dalam
Universitas Sumatera Utara
proses
pembangunan.
Artinya,
tumbuh
dan
berkembangnya
partisipasi
masyarakat, memberikan indikasi adanya pengakuan (aparat) pemerintah bahwa masyarakat bukanlah sekedar obyek atau penikmat hasil pembangunan, melainkan subyek atau pelaku pembangunan yang memiliki kemauan dan kemampuan yang dapat diandalkan sejak perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan (Mardikanto, 2001).
f) Pendekatan
Partisipatif
dan
Pemberdayaan. Dampak
pendekatan
partisipatif secara umum adalah sebagai berikut:
a. Program dan pelaksanaannya lebih aplikatif terhadap konteks sosial, ekonomi dan budaya yang sudah ada, sehingga memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini menyiratkan kebijakan desentralisasi. b. Menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab diantara semua pihak terkait dalam merencanakan dan melaksanakan program, sehingga dampaknya dan begitu pula program itu sendiri berkesinambungan. c. Perlunya memberikan peran bagi semua orang untuk terlibat dalam proses, khususnya dalam hal pengambilan dan pertanggungan jawab keputusan sehingga memberdayakan semua orang yang terlibat (terberdayakan). d. Kegiatan-kegiatan pelaksanaan menjadi lebih obyektif dan fleksibel berdasarkan keadaan setempat. e. Transparansi semakin terbuka lebar akibat penyebaran informasi dan wewenang.
Universitas Sumatera Utara
f. Pelaksanaan proyek atau program lebih terfokus pada kebutuhan masyarakat
Dalam pembangunan partisipatif, pemberdayaan merupakan salah satu strategi yang dianggap paling tepat jika faktor-faktor determinan dikondiskana terlebih dahulu sedemikian rupa agar esensi pemberdayaan tidak terdistorsi. Friedman menyatakan bahwa pemecahan masalah pembangunan melalui pemeberdayaan adalah sebagai berikut “…involves a process of social an political empowerment whose long term objective is to rebalance the structure of power in society by making state action more accountable, strengthening the powers of civil society in the management of its own affairs, and making corporate business more socially responsible” (Friedmann, 1992)
Empowerment is the process of increasing the capacity of individuals or groups to make choices and to transform those choices into desired actions and outcomes. (World Bank, 2008)
World Bank dalam Bulletinnya Vol. 11 No.4/Vol. 2 No. 1 OctoberDesember 2001 telah menetapkan pemberdayaan sebagai salah satu ujung-tombak dari Strategi Trisula (three-pronged strategy) untuk memerangi kemiskinan yang dilaksanakan sejak memasuki dasarwarsa 90-an, yang terdiri dari: penggalakan peluang
(promoting
empowerment)
dan
opportunity) peningkatan
fasilitasi
pemberdayaan
keamanan
(enhancing
(facilitating security)
(Mardikanto,2003).
Universitas Sumatera Utara
World bank dalam Mardikanto (2003) menyatakan yang dimaksud dengan pemberdayaan adalah pemberian kesempatan kepada kelompok grassroot untuk bersuara dan menentukan sendiri pilihan-pilihannya (voice and choice) kaitannya dengan: aksesibilitas informasi, keterlibatan dalam pemenuhan kebutuhan serta partisipasi
dalam
keseluruhan
proses
pembangunan,
bertanggung-gugat
(akuntabilitas publik), dan penguatan kapasitas lokal.
Dalam konsep pemberdayaan tersebut, terkandung pema-haman bahwa pemberdayaan tersebut diarahkan terwujudnya masyarakat madani (yang beradab) dan dalam pengertian dapat mengambil keputusan (yang terbaik) bagi kesejahteraannya sendiri. Pemberdayaan masyarakat, dimaksudkan untuk memperkuat kemampuan (capacity strenghtening) masyarakat, agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam keselu-ruahn proses pembangunan, terutama pembangunan yang ditawarkan oleh penguasa dan atau pihak luar yang lain (penyuluh, LSM, dll) (Mardikanto, 2003)
2.3.6. Bentuk - Bentuk Partisipasi Menurut Effendi, partisipasi ada dua bentuk, yaitu partisipasi vertikal dan partisipasi horizontal.
1. Partisipasi vertikal adalah suatu bentuk kondisi tertentu dalam masyarakat yang terlibat di dalamnya atau mengambil bagian dalam suatu program pihak lain, dalam hubungan mana masyarakat berada sebagai posisi bawahan. 2. Partisipasi horizontal adalah dimana masyarakatnya tidak mustahil untuk mempunyai prakarsa dimana setiap anggota / kelompok masyarakat
Universitas Sumatera Utara
berpartisipasi secara horizontal antara satu dengan yang lainnya, baik dalam melakukan usaha bersama, maupun dalam rangka melakukan kegiatan dengan pihak lain. menurut Effendi sendiri, tentu saja partisipasi seperti ini merupakan tanda permulaan tumbuhnya masyarakat yang mampu berkembang secara mandiri 2.3.7. Prinsip-prinsip partisipasi Sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan Partisipati yang disusun oleh Department for International Development (DFID) (dalam Monique Sumampouw, 2004: 106-107) adalah:
1. Cakupan : Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena
dampak
dari
hasil-hasil
suatu keputusan atau proses
proyek pembangunan. 2. Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership): Pada dasarnya setiap orang mempunyai keterampilan, kemampuan dan prakarsaserta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak. 3. Transparansi :Semua
pihak harus dapat
menumbuhkembangkan
komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog. 4. Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership) : Berbagai pihak
yang
terlibat
harus
dapat
menyeimbangkan
distribusi
kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi.
Universitas Sumatera Utara
5. Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility : Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam
proses
pengambilan
keputusan
dan
langkah-langkah
selanjutnya. 6. Pemberdayaan (Empowerment : Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain. 7. Kerjasama : Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia.
Universitas Sumatera Utara
2.3.8.`Tipe Partisipasi Tabel. 2.1. Tipe-tipe Partisipasi Tipologi
Karakteristik (a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi; (b)
Partisipasi
Pengumuman
sepihak
oleh
manajemen
atau
pasif/ pelaksana proyek]
tanpa
memperhatikan
tanggapan
manipulative masyarakat; (c) Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran. (a)
Masyarakat
berpartisipasi
dengan
cara
menjawab
pertanyaan-pertanyaan penelitian seperti dalam kuesioner atau Partisipasi dengan sejenisnya; cara memberikan (b) Masyarakat tidak punya kesempatan untuk terlibat dan informasi
memengaruhi proses penyelesaian; (c)
Akurasi
hasil
penelitian
tidak
dibahas
bersama
masyarakat. (a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi; (b) Orang luar mendengarkan dan membangun pandanganPartisipasi melalui pandangannya konsultasi
sendiri
untuk
kemudian
mendefinisikan
permasalahan dan pemecahannya, dengan memodifikasi tanggapan-tanggapan masyarakat; (c) Tidak ada peluang bagi pembuat keputusan bersama;
Universitas Sumatera Utara
(d)
Para
profesional
tidak
berkewajiban
mengajukan
pandangan-pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti. (a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara menyediakan sumber
daya
seperti tenaga kerja,
demi
mendapatkan
makanan, upah, ganti rugi, dan sebagainya; Partisipasi
untuk (b) Masyarakat tidak dilibatkan dalam eksperimen atau proses
insentif materil
pembelajarannya; (c) Masyarakat tidak mempunyai andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada saat [[insentif yang disediakan/diterima habis. (a) Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk mencapai tujuan yang berhubungan dengan proyek; (b) Pembentukan kelompok (biasanya) setelah ada keputusan-
Partisipasi keputusan utama yang disepakati; fungsional (c) Pada awalnya, kelompok masyarakat ini bergantung pada pihak luar (fasilitator, dll) tetapi pada saatnya mampu mandiri.
Universitas Sumatera Utara
(a) Masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama yang mengarah
pada perencanaan kegiatan
dan
pembentukan
lembaga sosial baru atau penguatan kelembagaan yang telah ada; Partisipasi
(b) Partisipasi ini cenderung melibatkan metode inter-disiplin
interaktif
yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematik; (c) Kelompok-kelompok masyarakat mempunyai peran kontrol atas keputusan-keputusan mereka, sehingga mereka mempunyai andil dalam seluruh penyelenggaraan kegiatan.
(a)Masyarakat
berpartisipasi
dengan
mengambil inisiatif secara bebas (tidak dipengaruhi/ditekan pihak luar) untuk mengubah sistem-sistem atau nilai-nilai yang mereka miliki; Self mobilization
(b) Masyarakat mengembangkan kontak dengan lembagalembaga lain untuk mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya yang dibutuhkan; (c)Masyarakat
memegang
kendali
atas
pemanfaatan sumberdaya yang ada.
Universitas Sumatera Utara
2.3.9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu keberhasilan
program
namun
ada
juga
yang
sifatnya
dapat
menghambat keberhasilan program. Misalnya saja faktorusia, terbatasnya harta benda, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Angell (dalam Ross, 1967: 130) mengatakan
partisipasi
yangtumbuh dalam
masyarakat
dipengaruhi
oleh
banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam berpartisipasi, yaitu: 1. Usia Faktor usia merupakan faktor yang memengaruhi sikap seseorang terhadap kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan
yang
ada.
Mereka
dari kelompok usia menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma masyarakat yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi daripada mereka yang dari kelompok usia lainnya. 2. Jenis kelamin Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan bahwa pada dasarnya tempat perempuan[ adalah “di dapur” yang berarti bahwa dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan yang semakin baik.
Universitas Sumatera Utara
3. Pendidikan Dikatakan
sebagai
salah
satu syarat mutlak
untuk
berpartisipasi.
Pendidikan dianggap dapat memengaruhi sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya,
suatu
sikap
yang
diperlukan
bagi
peningkatan
kesejahteraan seluruh masyarakat. 4. Pekerjaan dan penghasilan Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang akan menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung oleh suasana yang mapan perekonomian. 5. Lamanya tinggal Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa memiliki
terhadap
lingkungan
cenderung
lebih
terlihat
dalam
partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut.
2.4.
Respon Respon seseorang dapat dalam bentuk baik atau buruk, positif atau negatif
(Azwar, 1988). Apabila respon positif maka orang yang bersangkutan cenderung untuk menyukai atau mendekati objek, sedangkan respon negatif cenderung untuk
Universitas Sumatera Utara
menjauhi objek tersebut. Respon berasal dari kata response, yang berarti jawaban, balasan atau tanggapan (reaction). Dalam kamus besar Bahasa Indonesia edisi ketiga dijelaskan definisi respon adalah berupa tanggapan, reaksi, dan jawaban. Dalam pembahasan teori respon tidak terlepas dari pembahasan, proses teori komunikasi,
karena
respon
merupakan
timbal
balik
dari
apa
yang
dikomunikasikan terhadap orang-orang yang terlibat proses komunikasi.
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Steven M Caffe respon dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Kognitif, yaitu respon yang berkaitan erat dengan pengetahuan keterampilan dan informasi seseorang mengenai sesuatu. respon ini timbul apabika adanya perubahan terhadap yang dipahami atau dipersepsi oleh khalayak. 2. Afektif, yaitu respon yang berhubungan dengan emosi, sikap dan menilai seseorang terhadap sesuatu. Respon ini timbul apabila ada perubahan yang disenangi oleh khalayak terhadap sesuatu. 3. Konatif, yaitu respon yang berhubungan dengan prilaku nyata yang meliputi tindakan atau perbuatan.
Oleh karena itu proses perubahan sikap tersebut tergantung pada keselarasan antara Amil dan muzakki, apakah strategi stimulus Amil dapat diterima oleh objek Amil atau Sebaliknya tidak dapat diterima. Jika strategi stimulus Amil dapat diterima berarti komunikasi Amil dan muzakki dapat efektif dan lancar begitu juga sebaliknya.
Universitas Sumatera Utara
1. Pengertian Kognisi (Pengetahuan) Istilah kognisi berasal dari kata cognoscare yang artinya mengetahui. Aspek kognisi banyak mempermasalahkan bagaimana cara memperoleh pemahaman tentang dirinya dan lingkungannya, serta bagaimana dengan kesadaran itu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Setiap perilaku sadar manusia didahului oleh proses kognisi yang memberi arah terhadap perilaku dan setiap lahiriahnya baik dirasakan maupun tidak dirasakan. 2. Pengertian Afeksi (Sikap) Sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak, beroperasi, berfikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi dan nilai. Sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir tetapi merupakan hasil belajar. Sikap mempunyai daya dorong atau motivasi dan bersifat evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Objek sikap dirasakan adanya motivasi, tujuan, nilai dan kebutuhan. Sayogo dan Fujiwati (1987) mengemukakan bahwa sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu untuk berkelakuan dengan suatu pola tertentu terhadap suatu objek berupa manusia, hewan atau benda akibat pendirian atau persamaannya terhadap objek tersebut. 3. Pengertian Psikomotorik (Tindakan) Jones dan Davis dalam Sarlito (1995) memberi definisi tindakan yaitu keseluruhan respon (reaksi) yang mencerminkan pilihan seseorang yang mempunyai
akibat
(efek)
terhadap
lingkungannya.
Suatu
tindakan
dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan dan diarahkan pada pencapaian sesuatu agar kebutuhan tersebut terpenuhi.
Universitas Sumatera Utara
Tindakan yang ditujukan oleh aspek psikomotorik merupakan bentuk keterampilan motorik yang diperoleh peternak dari suatu proses belajar (Samsudin, 1977). Psikomotorik yang berhubungan dengan kebiasaan bertindak yang merupakan aspek perilaku yang menetap (Rahmat, 1989).
2.5.
Analisis Gender Di Indonesia, analisis gender yang paling populer terdiri atas analisis yang
dikembangkan oleh para ilmuwan Studi Perempuan di Universitas Harvard sebagai berikut: Analisis kegiatan (menjawab pertanyaan : siapa melakukan apa?) 1. Analisis akses dan kontrol pada sumberdaya meliputi pertanyaan: siapa mendapat sumberdaya apa? dan siapa mengontrol sumberdaya apa? 2. Analisis manfaat, digali dengan pertanyaan: siapa memperoleh manfaat dari proyek pembangunan/kegiatan. Analisis yang membutuhkan data kuantitatif dan kualitatif ini mampu mengungkapkan peran gender perempuan dan lelaki, serta kedudukan perempuan. Namun kelemahannya tidak menyentuh teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa analisis itu belum cukup untuk mengangkat kepermukaan kebutuhan petani perempuan terhadap teknologi pertanian. Usaha Saito & Spurling (1992) untuk, mengidentifikasi kebutuhan teknologi perempuan tidak mampu menyebutkan hasilnya. Meskipun analisis gender telah diterapkan dalam penelitian di berbagai daerah di Indonesia (Akib et al. 1994; Nendisa et al. 1992; Pellokila et al. 1994), tidak ada implikasi maupun rekomendasi penelitian dikemukakan untuk
Universitas Sumatera Utara
memperbaiki teknologi pertanian sesuai dengan kebutuhan gender petani perempuan. Mengapa hal itu terjadi? Hal ini disebabkan oleh : a. Ketidak cukupan komponen analisis gender untuk menelaah kebutuhan pengembangan teknologi pertanian; b. Kurangnya informasi kualitatif; c. Belum atau kurangnya kepekaan gender di kalangan peneliti. Penyebab pertama berkaitan erat dengan komponen gender yang menjadi dasar data yang dikumpulkan. Kerangka analisis gender Harvard yang paling populer nampak tidak mempunyai komponen untuk menggali data yang berkaitan dengan teknologi pertanian. Terbatas pada analisis aktivitas, analisis akses dan kontrol sumberdaya yang berujung pada pengambilan keputusan, analisis kebutuhan teknologi petani perempuan tidak ada, karena data gender tentang teknologi tidak dikumpulkan. Ditambah dengan lemahnya hubungan dan kerjasama dengan pekerjaan pengembangan masyarakat, antara penyuluh pertanian
dengan
peneliti,
teknologi
yang
dihubungkan
tidak
berhasil
diidentifikasi. Alasan kedua yaitu kurangnya informasi kualitattif, akibat kerangka pikir peneliti yang menempatkan data kuantitatif sebagai yang terpenting. Informasi untuk menyatakan masalah teknologi sering tidak cukup atau bahkan tidak dipunyai. Terakhir, derajat kepekaan gender peneliti, tergantung pada kualitas pelatihan penyadaran gender yang pernah diikuti peneliti. Keikut sertaan peneliti perempuan tidak secara optimis akan mewujudkan penelitian yang sensitif gender. Keilmuan studi perempuan (atau ada yang menyebut studi gender atau studi feminis), kesadaran terhadap masalah gender, kemampuan menganalisis gender,
Universitas Sumatera Utara
kepekaan gender, perlu dipelajari. Tiadanya kepekaan menyulitkan identifikasi masalah hubungan gender antara laki-laki dan perempuan, serta menyebabkan kebutaan atau miopia terhadap isu perempuan. Kalaupun ada datanya misalnya, tetap saja mereka tidak berkemampuan melihat kebutuhan perempuan. Saito & Spurling (1992) menyebutkan bahwa mengerti peran gender dalam produksi pertanian adalah esensial dalam mengembangkan agenda penelitian. Masalah utamanya yaitu ketiadaan data gender, ada data namun tidak dipergunakan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa upaya perlu dilakukan untuk mengumpulkan informasi untuk meningkatkan kebutuhan penelitian pertanian dengan perspektif perempuan. Data yang dikumpulkan harus ber-kemampuan menemukan kegiatan per-tanian dan mengungkap masalah sebagai-mana dinyatakan petani perempuan. Sayangnya tidak disinggung bahwa analisis gender belum mencukupi untuk menganalisis teknologi pertanian. Berdasarkan riset aksi di daerah lahan kering Jawa Timur: (1) model usahatani dan konservasi tanah lahan kering SELANI (YPP 1992; Wijaya 1992), dan (2) peningkatan peranan perempuan dalam proyek pertanian lahan kering Jawa Timur (Wijaya et al. 1995), dimana pendekatan gender dilaksanakan dan teknologi pertanian dikembangkan, ditemukan bahwa analisis gender saja tidak cukup untuk mengidentifikansi topik teknologi yang perlu dikembangkan. Yang berkemampuan menemukan topik-topik itu adalah observasi lapangan, langkah demi langkah proses produksi budidaya pertanian, peralatan yang dipakai menurut jenis kelamin petani, dan perkiraan kebutuhan praktis petani perempuan. Implikasinya adalah bahwa analisis yang secara spesifik difokuskan untuk mengembangkan tekno-logi pertanian yang peka gender diperlukan. Jelas
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan strategi dan kebutuhan praktis perempuan sebagaimana dikatakan Moser (1986) tidak dapat ditinggalkan. Namun untuk itu pem-berdayaan petani perempuan agar mampu menjelaskan kebutuhannya memerlukan proses tersendiri. Dalam hampir semua kasus, perilaku bias lelaki di masyarakat menyebabkan pengabaian perempuan dalam pengembangkan teknologi, termasuk teknologi di sektor pertanian. Teknologi distereotipi sebagai dunia laki-laki. Jangankan teknologi, dalam literatur keilmuan pertanian, secara umum petani perempuan sering tidak dimunculkan (lihat Stevens & Jabara 1988). Terlepas dari perannya di dalam kegiatan pertanian, petani perempuan adalah sumberdaya manusia yang tidak ternampak dan terabaikan. Kepekaan gender dibutuhkan untuk menghapus kebutaan isu perempuan, yang dapat dilakukan melalui pelatihan pemahaman dan penyadaraan gender. Pelatihan tersebut pada pejabat di semua jenjang birokrasi, peneliti, penyuluh pertanian, dan petugas lapang menjadi prasyarat. Sehubungan dengan teknologi, karena pendekatan kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis serta profil aktivitas (Moser & Levy 1986; Moser 1993) sebagaimana pula analisis gender yang dikembangkan Overholt (1985) belum mampu mengangkat topik penelitian teknologi, maka komponen analisis perlu ditambah. Namakanlah komponen itu: analisis praktek teknologi pertanian. Pertanyaan yang perlu dijawab mencakup: 1. Apakah teknologi yang dipraktekkan dalam proses produksi dan pascapanen saat ini oleh petani perempuan ?
Universitas Sumatera Utara
2. Apakah alat-alat pertanian yang dipergunakan oleh petani perempuan dan lelaki? 3. Apakah kebutuhan petani perempuan dalam proses produksi, pascapanen, pengolahan hasil pertanian, pemasaran dan kebutuhan praktisnya untuk memenuhi peran gendernya maupun keperluan pribadinya sebagai petani profesional? Analisis dapat berfokus pada ketepat-gunaan teknologi yang dipraktekkan, peralatan, kerja yang memberatkan, monoton, menyita banyak waktu, produkstivitas rendah, sekaligus kesesuaiaan dengan kebutuhan perempuan 2.6.
Kerangka Konseptual Penelitian Aliran fungsionalisme struktural atau sering disebut aliran fungsionalisme,
adalah mazhab arus utama (mainstream ) dalam ilmu sosial yang dikembangkan oleh Robert K. Merton dan Talcot Parsons. Teori ini sesungguhnya sangat sederhana, yakni bagaimana memandang masyarakat sebagai sistem yang terdiri atas bagian yang berkaitan (agama, pendidikan, struktur publik, sampai rumah tangga). Masing-masing bagian secara terus-menerus mencari keseimbangan (equilibrium) dan harmoni. Adapun interelasi terjadi karena adanya konsensus. Pola yang non-normatif dianggap akan melahirkan gejolak (Fakih, 2005:31). Teori fungsionalisme menyoroti bagaimana terjadinya persoalan gender itu mengarah kepada pemikiran bagaiamana gender dipermasalahkan. Teori ini memandang bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagianbagian yang saling berkaitan. Dalam kaitannya dengan masalah kesetaraan gender yang sedang disuarakan dapat diartikan bahwa dalam struktur masyarakat telah terjadi suatu kesalahan fungsi atau penyimpangan struktur kehidupan masyarakat
Universitas Sumatera Utara
yang telah terjadi suatu kesalahan, sehingga terjadi gejolak. Gejolak itu adalah suatu gejala adanya kesalahan fungsi atau struktur kehidupan. Teori ini memandang bahwa laki-laki dan perempuan merupakan bagian dari struktur nilai dalam kehidupan masyarakat (Azis, 2006:22) Bentuk keseimbangan yang dibahas pada teori tersebut di atas juga yang ada pada masyarakat Desa Tampeng, dimana perempuan dan laki-laki memiliki perannya masing-masing di masyarakat. Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hakhaknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (Hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan
tersebut.
Kesetaraan
gender
juga
meliputi
penghapusan
diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Terwujudnya kesetaran gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.
Universitas Sumatera Utara
Max Weber termasuk di antara ilmuwan sosial yang tidak sepakat dengan penggunaan dimensi ekonomi semata-mata untuk menentukan stratifikasi sosial. Oleh karena itu ia mengemukakan bahwa di samping stratifikasi menurut dimensi ekonomi kita akan menjumpai pula stratifikasi menurut dimensi lain. Dalam uraiannya mengenai persebaran kekuasaan dalam masyarakat Marx Weber memperkenalkan pembedaan antara konsep kelas, kelompok status, dan partai (Weber dalam Gerth dan Mills, 1958:180-195), yang merupakan dasar bagi pembedaannya antara tiga jenis startifikasi sosial. Menurut Weber, kelas ditandai oleh beberapa hal. Pertama, kelas merupakan sejumlah orang yang mempunyai persamaan dalam hal peluang untuk hidup atau nasib (life chances), peluang untuk hidup orang tersebut ditentukan oleh kepentingan ekonomi berupa penguasaan atas barang serta kesempatan untuk memperoleh penghasilan dalam pasaran komoditas atau pasaran kerja. Sebagai akibat dari dipunyainya persamaan peluang untuk menguasai barang dan jasa sehingga diperoleh pengahasilan tertentu, maka orang yang berada di kelas yang sama mempunyai persamaan apa yang oleh Weber dinamakan situasi kelas (class situation) yaitu persamaan dalam hal peluang untuk menguasai persediaan barang, pengalaman hidup pribadi, atau cara hidup. Dengan demikian para pengusaha kita yang melalui usaha mereka di bidang ekonomi berhasil memupuk kekayaan pribadi dalam jumlah yang besarnya kira-kira sama (misalnya Rp 500 juta) dan menikmati cara hidup yang sama serta memiliki pengalaman pribadi yang sama(misalnya memiliki pesawat terbang pribadi, atau berlibur dengan keluarga ke luar negeri) dapat dianggap berada dalam situasi kelas yang sama sehingga merupakan anggota kelas yang sama. Menurut Weber kategori dasar untuk
Universitas Sumatera Utara
membedakan kelas ialah kekayaan yang dimiliki dan faktor yang menciptakan kelas ialah kepentingan ekonomi. Dimensi lain yang menurut Weber digunakan orang untuk membedabedakan anggota masyarakat ialah dimensi kehormatan. Menurut Weber manusia dikelompokkan dalam kelompok status (status groups), yang menurutnya laksana komunitas yang tak terbentuk. Kelompok status merupakan orang yang berada dalam situasi status (status situation) yang sama, yaitu orang yang peluang hidup atau nasibnya ditentukan oleh ukuran kehormatan tertentu. Dalam berbagai suku bangsa di masyarakat kita misalnya, kita mengenal pembedaan antara bangsawan dengan rakyat jelata. Weber mengemukakan bahwa persamaan kehormatan status terutama dinyatakan melalui persamaan gaya hidup (style of life). Di bidang pergaulan gaya hidup ini dapat berwujud pembatasan terhadap pergaulan erat dengan orang yang statusnya lebih rendah. Para anggota suatu kelompok status, misalnya, cenderung menjalankan endogamy yaitu pernikahan dengan orang dari kelompok lebih rendah cenderung dihindari. Selain itu kelompok status dibeda-bedakan atas dasar gaya hidup yang tercermin dari gaya konsumsi dan gaya berbusana. Selain kedua ukuran tersebut di atas, yaitu ukuran ekonomi dan kehormatan, menurut Weber warga masyarakat dapat dibeda-bedakan pula berdasarkan kekuasaan yang dipunyai. Disebutkan olehnya bahwa partai merupakan suatu gejala yang melibatkan tatanan kekuasaan. Kekuasaan didefinisikan Weber sebagai peluang bagi seseorang atau sejumlah orang untuk mewujudkan keinginan mereka sendiri melalui suatu tindakan komunal meskipun
Universitas Sumatera Utara
mengalami tantangan dari orang lain yang ikut serta dalam tindakan komunal itu (Sunarto dalam Weber, 1920:180). Di sini jelas bahwa stratifikasi diartikannya sebagai penjenjangan masyarakat menjadi hubungan atasan-bawahan atas dasar kekuasaan, kekayaan dan kehormatan. Pengaruh Weber Nampak pula dalam karya Jefries dan Ransford. Dengan menggunakan tiga ukuran, kekuasaan (power), privilese (privilege), dan prestise (prestige) mereka membedakan tiga macam startifikasi, yaitu hirarki kekuasaan (power hierarchies) yang didasarkan pada kekuasaan, hirarki kelas (class hierarchies) yang didasarkan pada penguasaan atas barang dan jasa, dan hirarki (status hierarchies) yang didasarkan atas pembagian kehormatan dan status sosial (Sunarto dalam Jeffries dan Ransford, 1980:57-80).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Skema Kerangka Konseptual Dalam Rumah Tangga (Domestik) : 1. 2. 3. 4. 5.
Mengatur rumah Memasak Mencuci Membimbing, dan Mengasuh anak
Peran Ganda Istri Petani Di Luar Rumah Tangga (Publik) : 1. Transaksi jual-beli hasil pertanian 2. Berdagang/Usaha 3. Pemerintah 4. Wirausaha 5. Buruh Tani
2.4.
Definisi Konsep Untuk menghindari terjadinya multi interpretasi yang berlainan dalam
tulisan penelitian, maka perlu mendefinisikan atau menyederhanakan arti kata atau pemikiran terhadap penelitian yang digunakan : 1.
Kata peran dan peranan dalam sosiologi sering dianggap sama karena tidak ada pembatasan secara jelas antara peran dan peranan hanya pada sudah atau tidaknya sebuah peran itu dijalankan. Peranan adalah peran yang telah dapat dilaksanan individu yang bersangkutan sesuai dengaan kedudukannya, sehingga untuk mempermudah dalam pendefinisian kata peranan dalam penelitian ini kata peranan dianggap sama dengan kata peran. Soekanto
Universitas Sumatera Utara
dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Suatu Pengantar, peranan diartikan sebagai aspek dinamis dari kedudukan (status). Dan apabila seseorang melakukan hak dan kewajibanya sesuai dengan status yang dimilikinya maka ia melakukan suatu peranan (Soekanto, 1982:273). 2.
Kata istri petani terdiri dari dua suku kata yaitu istri dan petani. Kata istri berarti wanita (perempuan) yang telah menikah atau yang bersuami secara sah dimata hukum maupun agama sedangkan kata petani dalam kamus antropologi diartikan sebagai orang yang hidup dari usaha di bidang pertanian sebagai mata pencaharian hidup pokok. Sehingga kata istri petani dapat diartikan sebagai seorang wanita yang telah menikah atau yang telah bersuami, dimana mata pencaharian utama suaminya adalah seorang petani.
3.
Keluarga merupakan kesatuan masyarakat yang terkecil, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya (keluarga inti/batih). Pada umumnya sebuah keluarga tersusun dari orang-orang yang saling berhubungan darah dan atau perkawinan meskipun tidak selalu. Saling berbagi atap (rumah), meja makan, makanan, uang, bahkan emosi, dapat menjadi faktor untuk mendefinisikan sekelompok orang sebagai suatu keluarga.
Universitas Sumatera Utara