BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pestisida 2.1.1
Pengertian Pestisida Pestisida merupakan bahan kimia, campuran bahan kimia, atau bahan-
bahan lain yang bersifat racun dan bioaktif. Oleh sebab sifatnya sebagai racun pestisida dibuat, dijual, dan digunakan untuk meracuni organisme pengganggu tanaman (OPT). Menurut The United State Federal Environmental Pesticide Control Act, pestisida merupakan suatu zat yang fungsinya untuk memberantas atau mencegah gangguan OPT diantaranya serangga, binatang pengerat, nematoda, cendawan, gulma, virus, bakteri, jasad renik yang dianggap hama pengganggu tanaman (Kardinan, 2000). Pestisida dalam pertanian secara spesifik disebut sebagai produk perlindungan tanaman (crop protection products) (Djojosumarto, 2008). 2.1.2
Penggolongan Pestisida Menurut Departemen Kesehatan Indonesia dalam Khamdani (2009),
persentase penggunaan pestisida di Indonesia diantaranya insektisida 55,42%, herbisida 12,25%, fungisida 12,05%, repelen 3,61%, bahan pengawet kayu 3,61%, zat pengatur pertumbuhan 3,21%, rodentisida 2,81%, bahan perata atau perekat 2,41%, akarisida 1,4%, moluskisida 0,4%, nematisida 0,44%, dan 0,40% ajuvan serta lain-lain berjumlah 1,41%. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa insektisida merupakan jenis pestisida yang paling banyak digunakan. Secara umum pestisida digolongkan berdasarkan beberapa hal sebagai berikut. 10
11
a. Menurut sasaran atau organisme target Pestisida diklasifikasikan menjadi 16 jenis menurut sasaran atau organisme targetnya diantaranya (1) Insektisida untuk mengendalikan serangga, (2) Herbisida untuk membunuh gulma, (3) Fungisida untuk membunuh jamur, (4) Algasida untuk membunuh alga, (5) Avisida untuk mengontrol populasi burung, (6) Akarisida untuk membunuh tungau atau kutu, (7) Bakterisida untuk membunuh bakteri, (8) Larvasida untuk membunuh larva, (9) Moluskisida untuk membunuh siput, (10) Nematisida untuk membunuh cacing, (11) Ovisida untuk membunuh telur, (12) Pedukulisida untuk membunuh kutu, (13) Piscisida untuk membunuh ikan, (14) Rodentisida untuk membunuh binatang pengerat, (15) Predisida untuk membunuh pemangsa atau predator, (16) Termisida untuk membunuh rayap. b. Menurut cara kerja Dalam sistem pertanian hortikultura jenis insektisida, herbisida dan fungisida yang banyak digunakan oleh petani jika dilihat dari cara kerjanya diantaranya sebagai berikut (Djojosumarto, 2000). 1. Insektisida Insektisida dapat dibedakan menjadi beberapa jenis diantaranya menurut cara kerja pada tanaman terdiri dari (1) Insektisida Sistemik yaitu jenis insektisida yang diserap oleh organ-organ tanaman baik melalui akar, batang ataupun daun. Contoh insektisida sistemik adalah Furatiokarb, Fosfamidon, Isolan, Karbofuran, dan Monokrotofos. (2) Insektisida Nonsistemik merupakan jenis insektisida yang hanya menempel pada bagian luar tanaman saja. Contohnya adalah Dioksikarb,
12
Diazinon, Diklorvos, Profenofos, dan Quinalfos. Jenis insektisida lainnya berdasarkan cara kerjanya yaitu Insektisida sistemik lokal. Contohnya adalah Dimetan, Furatiokarb, Pyrolan, dan Profenofos. 2. Fungisida Fungisida dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis berdasarkan cara kerjanya di dalam tubuh tanaman diantaranya Fungisida Nonsistemik, Fungisida Sistemik dan Fungisida Sistemik Lokal. Contoh fungisida nonsitemik adalah Kaptan, Maneb, Zineb, Mankoneb, Ziram, Kaptafol, dan Probineb sedangkan fungsida sistemik tidak akan hilang apabila terjadi hujan. Contoh fungisida sistemik
adalah
Benomil,
Difenokonazol,
Karbendazim,
Matalaksil,
Propikonazol, dan Triadimefon dan fungisida sistemik lokal akan diabsorsikan oleh jaringan tanaman contohnya adalah Simoksanil. Berdasarkan banyaknya lokasi aktivitas fungisida dalam sistem biologi jamur, fungisida dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu Multiside inhibitor contoh dari multiside inhibitor adalah Maneb, Mankozeb, Zineb, Probineb, Ziram, dan Thiram dan monoside inhibitor yaitu fungisida yang bekerja dengan menghambat salah satu proses metabolisme jamur. Contoh dari monoside inhibitor adalah Metalaksil, Oksadisil, dan Benalaksil. 3. Herbisida Secara tradisional, herbisida dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu (1) Herbisida yang aktif untuk mengendalikan gulma dari kelompok rumput, misalnya Alaklor, Butaklor, dan Ametrin. (2) Herbisida yang aktif untuk mengendalikan gulma berdaun lebar dan pakis, misalnya 2,4-D, MCPA dan (3)
13
Herbisida yang aktif untuk semua kelompok gulma yang disebut sebagai herbisida nonselektif contohnya Glifosat, Glufosinat, dan Paraquat. Herbisida juga dapat dikelompokkan berdasarkan bidang sasarannya yaitu (1) Herbisida Tanah (Soil Acting Herbicides. Contohnya adalah herbisida kelompok urea (Diuron, Linuron, Metabromuron), triazin (Atrazine, Ametrin), karbamat (Asulam, Tiobenkarb), kloroasetanilida (Alaklor, Butaklor, Metalaklor, Pretilaklor), dan urasil (Bromasil) dan (2) Herbisida yang aktif pada gulma yang sudah tumbuh. Contohnya adalah 2,4-D, dan Glifosat. Selain kedua kelompok utama tersebut, terdapat pula herbisida tanah yang aktif terhadap gulma yang baru tumbuh, misalnya beberapa herbisida dari jenis urea dan triazim c. Menurut struktur bahan kimia Berdasarkan struktur kimianya, Sudarmo (1991) dalam Runia (2008) pestisida terdiri dari empat kelompok besar yaitu organokhlorin, organophosfat, karbamat dan piretiroid. Golongan organofosfat sering disebut dengan organic phosphates, phosphoris insecticides, phosphates, phosphate insecticides dan phosphorus esters atau phosphoris acid esters. Mereka adalah derivat dari phosphoric acid dan biasanya sangat toksik untuk hewan bertulang belakang. Golongan organofosfat struktur kimia dan cara kerjanya berhubungan erat dengan gas syaraf. Organofosfat merupakan senyawa kimia ester asam fosfat yang terdiri atas 1 molekul fosfat yang dikelilingi oleh 2 gugus organik C2H5O (R1 dan R2) serta gugus (X) atau leaving group yang tergantikan saat organofosfat menfosforilasi asetilkholin. Gugus X merupakan bagian yang paling mudah terhidrolisis. Gugus
14
R dapat berupa gugus aromatik atau alifatik. Pada umumnya gugus R adalah dimetoksi atau dietoksi. Sedangkan gugus X dapat berupa nitrogen , fluorida, halogen lain dan dimetoksi atau dietoksi. Bahan aktif organophosfat yang sudah dilarang beredar di Indonesia diantaranya diazinon, fention, fenitrotion, fentoat, klorfirifos, kuinalfos dan malation. Pestisida ini memiliki kemampuan menghambat aktivitas enzim achetylcholinesterase (ACHe) yang merupakan neurohormon pada ujung syaraf untuk meneruskan rangsang (Sitepu, 2010). Berdasarkan toksisitasnya pestisida golongan organophosfat dibagi menjadi kelompok sangat toksik (extremely toxic) (klorpirifos, parathion dan metil parathion) dan kelompok toksisitas sedang (dimethoate dan malathion). Gejala keracunan yang ditimbulkan akibat pestisida golongan organophosfat terhadap fungsi enzim cholinesterase diantaranya mudah letih, tidak bertenaga, mual muntah dan merasa lemah, sakit kepala, gangguan penglihatan, sesak nafas, banyak kelenjar cairan hidung, banyak keringat dan air mata, dan akhirnya menyebabkan kelumpuhan otot-otot rangka, sukar bicara, kejang dan koma. Berdasarkan masa degradasinya dalam lingkungan, frekuensi/jarak penyemprotan sebaiknya adalah 2 minggu sekali (Ardiyanto, 2013). Kelompok pestisida golongan Karbamat (carbamat) yang terkenal antara lain proxposure (baygon), carbofuran (furadan), carbaryl (sevin). Insekisida golongan karbamat sangat banyak digunakan, sama seperti juga insektisida dari golongan organosfosfat. Sifat-sifat dari senyawa golongan ini tidak banyak berbeda dengan senyawa golongan organosfosfat baik dari segi aktivitas maupun daya racunnya. Senyawa karbamat merupakan turunan dari asam karbamik HO-
15
CO-NH2. Seperti halnya pada senyawa golongan organosfosfat, senyawa golongan karbamat juga menghambat kerja enzim cholinesterase. Berdasarkan toksisitasnya pestisida golongan karbamat juga dibagi menjadi toksisitas tinggi (highly toxic) (carbofuran, methomyl dan temik) dan kelompok toksisitas sedang (carbaryl dan baygon). Sama halnya dengan Organophosfat, pestisida jenis ini menghambat kerja enzim cholinesterase. Gejala keracunan yang timbul sebagian besar hampir sama dengan gejala yang muncul akibat keracunan Organophosfat yang paling umum diantaranya sakit kepala, gangguan penglihatan, muntah dan merasa lemah. Keracunan akut dapat menimbulkan terjadinya kelumpuhan otototot rangka, bingung, sukar bicara, kejang-kejang dan koma. Masa degradasi di lingkungan hampir sama dengan Organophosfat yaitu sekitar 12-14 hari, oleh karena itu maka frekuensi penyemprotannya berkisar 12-14 hari. Organiklorin merupakan senyawa insektisida yang mengandung atom karbon, klor, dan hidrogen, dan terkadang oksigen. Senyawa ini sering juga disebut sebagai hidorokarbon khlorinat. Senyawa organoklorin tergolong memiliki toksisitas yang relatif rendah namun mampu bertahan lama dalam lingkungan. Racun yang terdapat dalam senyawa ini bersifat menggaggu susunan syaraf pusat dan larut dalam lemak. Pada umumnya pestisida golongan ini berbentuk padat dan menggunakan air atau pelarut organik sebagai pelarut. Larutan pestisida organoklorin tahan terhadap pengaruh udara, cahaya, panas, dan karbondioksida. Pestisida jenis ini tidak dapat rusak oleh asam kuat, namun bisa rusak dengan basa dimana pestisida jenis ini akan menjadi tidak stabil dan mengalami deklorinase. Senyawa organoklorin masuk ke dalam tubuh melalui
16
udara, saluran pencernaan, dan absorpsi melalui kulit. Bila digunakan dalam bentuk serbuk, absorpsi melalui kulit tidak akan terlalu berbahaya, namun apabila digunakan sebagai larutan dalam minyak atau pelarut organik, maka toksisitasnya akan meningkat. Senyawa ini memiliki kemampuan untuk menembus membran sel dengan cukup kuat, dan tersimpan di dalam jaringan lemak tubuh. Karena bersifat lipotropik, senyawa ini tersimpan di Organokhlorin dalam sistem pertanian juga dilarang penggunaannya seperti dieldrin, endosulfan, dan clordan. Nama formulasi yang beredar di Indonesia adalah herbisida garlon 480 EC dan fungisida Akofol 50 WP. Golongan ini dapat mengakibatkan sakit kepala, pusing, mual, muntah-muntah, mencret, badan lemah, gugup, gemetar, kejang-kejang dan hilang kesadaran (Wudianto, 2005). Piretiroid merupakan jenis golongan pestisida lainnya selain dari organophosfat, karbamat dan organokhlorin serta secara alamiah piretroid diperoleh dari ekstrak bunga chrysanthemum. Senyawa aktifnya adalah piretrin I dan II cinerin I dan II, dan jasmolin I dan II, yang merupakan ester dari tiga alkohol, pyrethrolone, cinerolone, dan jasmolone, dengan asam chrysanthemic dan pyrethric. Karena sifat toksiknya terhadap mamalia yang sangat rendah dibanding pestisida jenis lain, piretroid banyak digunakan sebagai bahan aktif dari produk insektisida yang ada di pasaran. Pada umumnya piretroid mengalami metabolisme pada mamalia melalui proses hidrolisis, oksidasi dan konjugasi. Tidak ada kecenderungan terjadinya akumulasi pada jaringan akibat pajanan terhadap piretroid. Piretroid bersifat racun terhadap jaringan saraf, yakni dengan cara mempengaruhi permeabilitas membran terhadap ion, sehingga mengganggu
17
impuls saraf. Contoh dari pestisida golongan pyretroid adalah Deltametrin, Permetrin, Fenvalerate, Difetrin, Sipermetrin, Fluvalinate, Siflutrin, Fenpropatrin, Tralometrin, Sihalometrin, Flusitrinate, Alletrin, dan Bioresmetrin.
2.1.3
Pekerjaan yang Berhubungan dengan Pestisida Dalam penggunaan pestisida aktivitas yang berpengaruh terhadap
gangguan kesehatan diantaranya adalah pada saat pencampuran, penyemprotan dan penanganan pestisida. Mencampur pestisida merupakan pekerjaan yang paling berisiko oleh karena bekerja secara langsung dengan konsentrat. Upaya yang dapat dilakukan untuk menghindarkan diri dari kontak secara langsung dengan pestisida diantaranya pemilihan tempat pencampuran yang sirkulasi udaranya lancar dan penggunaan alat pelindung diri. Dalam pencampuran pestisida wadah yang digunakan adalah khusus untuk pencampuran bisa menggunakan ember dan corong untuk memindahkan pestisida ke tangki penyemprotan. Pada saat pencampuran pestisida, dosis dan konsentrasi disesuaikan dengan yang dianjurkan pada kemasan. Pada saat pencampuran APD yang dianjurkan untuk digunakan adalah masker (pelindung pernafasan) dan sarung tangan karet. Selain itu juga makan, minum, dan merokok selama melakukan pencampuran sangat tidak dianjurkan (Wudianto, 2005). Penyemprotan sebagai aktivitas dalam aplikasi pestisida juga perlu memperhatikan hal-hal berikut diantaranya (1) pemilihan alat semprot sesuai dengan luas areal yang akan di semprot, jenis-jenis alat semprot pestisida diantaranya sprayer tangan (hand sprayer) merupakan sprayer dengan kapasitas
18
tangki paling kecil dan mudah untuk dipindahkan ke bagian tanaman yang akan disemprot sedangkan sprayer lainnya yaitu back sprayer (sprayer knap sack) digunakan dengan cara menggendong di punggung dan menggunakan tenaga manusia untuk memompa dan sprayer mesin (machine sprayer) menggunakan mesin untuk menggerakkan pompa. Waktu untuk melakukan penyemprotan sebaiknya antara pukul 08.00-11.00 WIB atau sore hari pukul 15.00-18.00 WIB dan tidak dilakukan pada saat aliran udara meningkat (thermik) selain itu tidak dianjurkan melakukan penyemprotan di saat angin kencang dan melawan arah angin karena banyak pestisida yang tidak mengenai sasaran (Wudianto, 2005). Dalam hal penyimpanan pestisida, perlu diperhatikan beberapa hal seperti penyimpanan pestisida harus jauh dari jangkauan anak-anak, tidak bercampur dengan tempat makan atau bahan makanan dan tersedia tempat khusus yang terkunci dan terhindar dari sinar matahari langsung. Setelah selesai penyemprotan hal-hal yang juga perlu diperhatikan diantaranya alat semprot segera dibersihkan setelah selesai digunakan sedangkan untuk sisa cairan pestisida dan bekas kemasan pestisida dikubur atau dibakar jauh dari sumber mata air untuk menghindari pencemaran ke badan air dan tidak menggunakan bekas kemasan pestisida untuk tempat makanan dan minuman. Selain itu, setelah selesai aplikasi pakaian yang digunakan segera dicuci dengan bersih dan petani penyemprot segera mandi dengan bersih menggunakan sabun (Wudianto, 2005). Dalam Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida yang diterbitkan oleh Direktorat Pupuk dan Pestisida Kementrian Pertanian Tahun 2011 disebutkan bahwa pakaian dan atau peralatan pelindung tubuh harus dipakai bukan saja waktu
19
aplikasi, tetapi sejak mulai mencampur, mencuci peralatan aplikasi dan sesudah aplikasi selesai. Pakaian serta peralatan pelindung yang harus dipakai adalah sebagai berikut (1) untuk menutupi seluruh atau sebagian dari percikan bahan beracun dapat digunakan pakaian terusan dengan celana panjang dan lengan panjang. Baju panjang dan celana panjang yang digunakan adalah berbahan kulit atau plastik. Jika baju panjang dan celana panjang yang digunakan adalah pakaian kerja sehari-hari maka pada saat melakukan penyemprotan harus dilapisi dengan beberapa baju dan celana panjang atau pakaian terusan yang berbahan tenunan rapat atau menggunakan apron (bahan kulit atau plastik) (2) penutup kepala yang digunakan petani dapat berupa topi atau tudung untuk melindungi kepala dari zatzat kimia dan kondisi iklim yang buruk dan penutup mata untuk menghindari kontak pada mata dapat menggunakan kaca mata (3) alat pelindung hidung dan mulut dapat berupa masker untuk melindungi pernafasan dari gas, uap, debu atau udara yang terkontaminasi di tempat kerja yang dapat bersifat racun dan korosi, (4) sarung tangan dapat terbuat dari karet untuk melindungi diri dari paparan bahan kimia sehingga larutan pestisida tidak masuk ke kulit dan (5) sepatu kerja untuk melindungi kaki dari larutan kimia dapat terbuat dari kulit, karet sintetik atau plastik. Ketika menggunakan sepatu boot ujung celana tidak boleh dimasukkan ke dalam sepatu, karena cairan pestisida dapat masuk ke dalam sepatu.
20
2.2 Dampak Penggunaan Pestisida 2.2.1
Pengaruh Pestisida Terhadap Kesehatan Pestisida masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga cara diantaranya
melalui kulit (epidermis) apabila pestisida kontak dengan kulit. Lebih dari 90% kasus keracunan di seluruh dunia disebabkan oleh kontaminasi lewat kulit. Selain itu
pestisida
terhisap/terhirup,
masuk dan
melalui melalui
sistem
pernafasan
(inhalation)
apabila
mulut/pencernaan
(ingestion)
apabila
terminum/tertelan (Wudianto, 2005). Organ-organ tubuh yang biasanya terkena dampak dari racun pestisida diantaranya paru-paru, hati (hepar), susunan saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang), sumsum tulang, ginjal, kulit, susunan saraf tepi, dan darah. Efek racun pada tubuh juga akan memberikan efek lokal seperti iritasi, reaksi alergi, dermatitis, ulkus dan gejala lain. a. Keracunan Kronis Keracunan kronis timbul setelah terjadinya pemaparan dalam jangka panjang karena racun terakumulasi di dalam tubuh khususnya dalam lemak tubuh. Keracunan kronik lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan tidak menimbulkan gejala serta tanda yang spesifik. Namun, keracunan kronik dalam jangka waktu lama bisa menimbulkan gangguan kesehatan. Keracunan kronis dapat ditemukan dalam bentuk kelainan syaraf dan perilaku (bersifat neuro toksik) atau mutagenitas. Selain itu ada beberapa dampak kronis keracunan pestisida, antara lain gangguan otak dan syaraf (ingatan, kelumpuhan, bahkan kehilangan kesadaran dan koma), gangguan pada fungsi hati diantaranya paparan selama bertahun-tahun dapat menyebabkan Hepatitis.
21
Hasil penelitian Fleming, Gomez-Martin, Zheng Ma, Lee, et al., (2003), melalui analisis data survei kematian oleh National Health di Amerika diperoleh bahwa petani penyemprot pestisida baik laki-laki maupun perempuan berisiko tinggi untuk menderita kanker, gangguan limfa dan kelainan susunan saraf. Selain itu pestisida juga berdampak terhadap kesehatan keluarga petani di wilayah Neonates oleh hasil penelitian Eskenazi et al., (2005), diperoleh hasil penggunaan pestisida Organophosfat mempengaruhi fungsi organ dan sistem saraf. Studi di Amerika Serikat (AS) oleh Bouchard et al., (2010), membuktikan bahwa anak yang di dalam urinnya terdeteksi mengandung metabolit pestisida golongan Organophosfat mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mengalami attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)
yaitu suatu gangguan
perkembangan yang bila dalam derajat berat disebut sebagai autisme, yang jumlah kasusnya juga semakin meningkat di Indonesia. Hasil penelitian di Ekuador oleh Grandjean et al., (2006), membuktikan bahwa pajanan pestisida merupakan prediktor
untuk
terjadinya
keterlambatan
tumbuh-kembang
pada
anak
(Suhartono,2014). b. Keracunan akut. Keracunan akut terjadi apabila efek keracunan pestisida langsung pada saat aplikasi atau seketika setelah aplikasi pestisida. Dampak dari Keracunan akut dibedakan menjadi (1) efek akut lokal, apabila efeknya hanya mempengaruhi bagian tubuh yang terkena kontak langsung dengan pestisida biasanya bersifat iritasi mata, hidung, tenggorokan dan kulit dan (2) efek akut sistemik, terjadi apabila pestisida masuk ke dalam tubuh manusia dan mengganggu sistem tubuh.
22
Darah akan membawa pestisida keseluruh bagian tubuh yang menyebabkan bergeraknya saraf-saraf otot secara tidak sadar dengan gerakan halus maupun kasar dan pengeluaran air mata serta pengeluaran air ludah secara berlebihan, pernafasan menjadi lemah/cepat (tidak normal). Hasil penelitian Butinof (2015), menunjukkan bahwa dampak penggunaan pestisida pada 880 petani yang diobservasi di wilayah Cordoba Argentina sebanyak 47,4% mengalami iritasi, 35,5% mengalami fatigue, 40,4% menderita sakit kepala dan 27,6% mengalami gangguan saraf dan depresi selama menggunakan pestisida. Hasil penelitian di Indonesia oleh Catur, (2012) menunjukkan keluhan utama yang dirasakan oleh petani penyemprot pestisida yang mengalami keracunan pestisida diantaranya sakit kepala (25,6%), mudah lelah (13,95%). Hasil penelitian oleh Choudary (2011), pada 175 petani di Bhopal Madhya Pradesh, India gejala keracunan akut yang dialami oleh para petani diantaranya iritasi mata/mata merah sebanyak 62,5%, 37,5% mengalami gangguan pada kulit dan gangguan saraf selama aplikasi pestisida. Baik petani maupun keluarga petani memiliki risiko yang sama terkena dampak akut penggunaan pestisida seperti keluhan sakit kepala, iritasi kulit dan gangguan pernafasan. Sebagian besar istri petani ikut terlibat dalam sistem pertanian dalam hal menyiangi rumput/tanaman pengganggu, memanen, atau menata dan mengikat hasil panen, hal tersebut menempatkan mereka sebagai populasi yang berisiko mengalami berbagai gangguan kesehatan akibat pajanan pestisida (Leilanie, 2009).
23
Keluarga petani yang tinggal di kawasan pertanian meskipun tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan pertanian juga memiliki risiko kontak dengan pestisida melalui residu yang ada di lingkungan, seperti hasil panen, air maupun tanah. Kebiasaan petani dalam penanganan pestisida pasca penyemprotan (takehome pathway) oleh Fenske et al., (2000), dan Curl et al., (2002), diantaranya membawa pakaian kerja pulang tanpa dibersihkan terlebih dahulu, membawa atau menyimpan sisa pestisida dan kemasan pestisida dengan tidak aman dari jangkauan anak-anak diidentifikasikan sebagai sumber utama paparan pestisida pada keluarga petani.
2.2.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keracunan Pestisida Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan pestisida dan
gangguan kesehatan lainnya pada petani diantaranya dapat dibedakan menjadi dua kelompok meliputi faktor eksternal dan faktor internal. a. Faktor eksternal Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi terjadinya keracunan pestisida diantaranya sebagai berikut. 1. Suhu lingkungan dan waktu penyemprotan Suhu lingkungan berkaitan dengan pengaruh penguapan melalui keringat petani, sehingga tidak dianjurkan menyemprot pada suhu udara lebih dari 35oC. Suhu lingkungan pada saat penyemprotan juga berkaitan dengan waktu penyemprotan yang sesuai sehingga menurut Sartono (2002), secara umum disarankan waktu yang baik untuk melakukan penyemprotan pestisida adalah pada
24
pagi hari pukul 07.00-10.00 dan sore hari pukul 15.00-18.00 (Budiawan, 2013). Waktu penyemprotan pestisida berkaitan dengan suhu lingkungan yang mana penyemprotan pestisida pada siang hari dapat menyebabkan keluarnya keringat lebih banyak sehingga kemungkinan penyerapan pestisida melalui kulit lebih mudah selain itu kondisi panas yang terik menyebabkan kecenderungan petani menyeka APD karena kondisi panas (Dahlan, 2009). 2. Arah kecepatan angin Penyemprotan pestisida sebaiknya dilakukan searah dengan arah angin sehingga kabut semprot tidak mengarah kepada penyemprot dan sebaiknya penyemprotan dilakukan pada kecepatan angin dibawah 750 mil permenit. Petani yang melakukan penyemprotan melawan arah angin memiliki risiko 1,54 kali lebih besar untuk mengalami keracunan dibandingkan dengan petani yang menyemprot mengikuti arah angin dengan nilai OR 1,54 ; 95%CI : 1,20-1,94 (Kim et al., 2013). 3. Dosis pestisida Pestisida
merupakan
racun
sehingga
jika
penggunaan
dosisnya
ditingkatkan dapat mempermudah terjadinya keracunan karena efek toksik juga akan meningkat. Berkaitan dengan penggunaan pestisida yang juga sering menjadi masalah adalah dalam penentuan dosis, dimana dalam anjuran pakai pestisida untuk dosis cair rata-rata 1,5 - 2,5 cc per 1 liter air sedangkan untuk pestisida bubuk 1,5 – 2,5 gram per 1 liter air. Tangki yang umum digunakan berkapasitas 17 liter. Dalam perhitungan luas tanaman 1 hektar diperlukan sekitar 500 liter pestisida yang sudah dilarutkan dalam air untuk satu kali penyemprotan.
25
Kim et al., (2013) menyatakan bahwa penggunaan dosis pestisida tanpa mengikuti label instruksi kemasan pestisida meningkatkan risiko keracunan akut sebesar 1,61 kali lebih besar dibandingkan dengan yang mengikuti label instruksi kemasan pestisida dengan nilai OR 1,61; 95% CI 1,21-213. 4. Lama penyemprotan Semakin lama seseorang kontak dengan pestisida, semakin besar risiko mengalami keracunan, penyemprotan hendaknya tidak melebihi 4-5 jam secara terus-menerus dalam sehari. Hasil penelitian oleh Mahyuni (2015), menunjukkan bahwa lama menyemprot berhubungan dengan keracunan pestisida pada petani bawang merah di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo dengan nilai p value kurang dari 0,05 (0,018<0,05). Selain itu hasil penelitian oleh Nasruddin (2001), menyatakan bahwa petani yang melakukan penyemprotan lebih dari 3 jam per hari memiliki risiko 3 kali lebih besar mengalami keracunan (OR 3,32; 95% CI 1,39 6,14). 5. Masa kerja Semakin lama seseorang menjadi petani maka semakin banyak pula kemungkinan untuk kontak dengan pestisida sehingga risiko untuk mengalami keracunan juga akan semakin tinggi. Hasil penelitian oleh Butinof (2015), disebutkan bahwa masa kerja > 10 tahun berhubungan dengan kejadian iritasi kulit pada petani dengan nilai p value < 0,05 (0,03<0,05). Hasil penelitian oleh Zuraida (2012) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan kesehatan pada petani dimana dijelaskan bahwa petani petani yang memiliki masa kerja < 5 tahun dianggap pengetahuan dalam menggunakan
26
pestisida lebih baik daripada petani yang memiliki masa kerja sudah lebih dari 10 sehingga lebih mampu untuk menjaga kesehatannya pada saat akan kontak dengan pestisida. 6. Jenis lahan dan tinggi tanaman yang disemprot Jenis lahan pertanian khususnya hortikultura dapat berupa ladang terbuka dan juga greenhouse. Hasil penelitian oleh Kim et al., (2013), menunjukkan bahwa jenis lahan greenhouse bukan merupakan faktor risiko keracunan pada petani (OR 0,55; 95% CI 0,24-1,29) selain itu jenis tanaman yang ditanam akan berkaitan dengan tinggi tanaman yang disemprot karena semakin tinggi tanaman maka petani cenderung mendapat pemaparan yang lebih besar. 7. Luas lahan Luas lahan yang digarap oleh petani memberikan risiko kepada petani untuk mengalami keracunan. Hal ini dikaitkan dengan lama kontak petani dengan pestisida semakin luas lahan yang digarap kemungkinan untuk mengalami keracunan akan meningkat, hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Kim et al., (2013) yaitu petani yang menggarap lahan ≥ 1 ha memiliki risiko 1,9 kali lebih besar untuk mengalami keracunan dibandingkan dengan petani yang menggarap lahan < 1 ha (OR 1,90 ; 95% CI 1,53-2,53). 8. Kebiasaan memakai alat pelindung diri Petani yang menggunakan baju lengan panjang dan celana panjang akan mendapat efek yang lebih rendah dibandingkan yang berpakaian minim. Hasil uji regresi logistik multinomial dalam penelitian Kim et al., (2013), menunjukkan bahwa risiko keracunan pestisida akut meningkat pada petani yang tidak memakai
27
masker (OR 1,46; 95% CI 1,04-2,06) sedangkan hasil penelitian Butinof (2015), menunjukkan bahwa penggunaan alat pelindung diri (APD) yang tidak lengkap berhubungan dengan gejala iritasi pada petani pengguna pestisida dengan nilai p adalah 0,004 dan hasil uji regresi pemakaian APD sebagai faktor protektif dengan nilai (OR 0.61; 95% CI 0.40-0.92). 9. Jenis pestisida Penggunaan pestisida campuran lebih berbahaya dari pada penggunaan dalam bentuk tunggal, hal ini berkaitan dengan kandungan zat aktif yang ada dalam pestisida. Hasil penelitian Butinof (2015), menyatakan bahwa mencampur pestisida atau mengaplikasikan pestisida lebih dari 10 jenis dalam sekali campuran meningkatkan risiko terjadinya gejala iritasi pada kulit (OR 1,56; 95%CI: 1.04-2.35). Hasil penelitian di Kecamatan Kersana oleh Siwiendayanti (2011), menunjukkan jumlah jenis pestisida yang digunakan dalam waktu yang sama menimbulkan efek sinergistik dan memberikan risiko 3 kali lebih besar untuk terjadinya keracunan bila dibandingkan dengan 1 jenis pestisida yang digunakan karena daya racun dan dosis pestisida akan semakin kuat sehingga memberikan efek samping yang semakin besar pula. 10. Frekuensi menyemprot Semakin sering petani melakukan penyemprotan akan lebih besar risiko keracunan karena menyebabkan residu pestisida dalam tubuh manusia menjadi lebih tinggi. Namun hasil penelitian oleh Mahyuni (2015) menunjukkan bahwa frekuensi penyemprotan tidak berhubungan dengan keluhan kesehatan pada dengan nilai p lebih besar dari 0,05 (0,406>0,05). Petani yang melakukan penyemprotan pestisida ≥ 2 kali dalam seminggu memiliki risiko 4,95 kali lebih
28
tinggi untuk mengalami keracunan dengan nilai OR 4,95; 95% CI 2,03-12,07 (Mualim, 2002). 11. Pengelolaan pestisida Pengelolaan pestisida meliputi tindakan pencampuran, penyemprotan sampai dengan penanganan pestisida setelah selesai penyemprotan. Tindakan ini berpengaruh terhadap kejadian keracunan jika tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan. Hasil penelitian oleh Prijanto (2009), menunjukkan bahwa cara penyimpanan (OR 1,61; 95% CI 1,090-2,369), tempat pencampuran (OR 1,51; 95% CI 1,030-2,218) dan cara penanganan pestisida (OR 2,44; 95%CI 1,1825,057) berkaitan dengan kejadian keracunan pestisida golongan Organophosfat pada petani di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. 12. Jenis alat semprot Keterpaparan pestisida juga dapat terjadi melalui kontak langsung saat penggunaan pompa gendong (back sprayer). Pada saat pemindahan pestisida yang telah dicampur ke pompa gendong ada risiko pestisida tertumpah dan mengenai bagian tubuh secara langsung. Namun hasil uji chi square pada penelitian Mahyuni (2014), menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara keluhan dengan jenis alat penyemprot yang digunakan dengan nilai p sebesar 0,685 (0,685>0,05). Jika dilihat dari aspek ergonomi, berat pompa gendong juga mempengaruhi kelelahan kerja akibat manual handling (mulai dari mengangkat, menopang beban, menurunkan dan memindahkan beban dari satu tempat ke tempat lainnya) yang dialami penyemprot. Hasil penelitian oleh Butinof (2015),
29
penggunaan alat semprot back sprayer berhubungan dengan keluhan pusing (sakit kepala) dengan nilai p < 0,05 (0,02<0,05). 13. Kebiasaan merokok, makan, minum diladang dan kebersihan baju kerja Dalam aplikasi pestisida, makan, minum dan merokok sangat tidak dianjurkan. Sesuai dengan penelitian Budiyono (2004), merokok saat menyemprot dapat memberikan kontribusi terhadap absorbsi pestisida pada petani penyemprot. Namun, dari hasil penelitian Kim et al., (2013), kebiasaan merokok selama menangani pestisida tidak berhubungan dengan kejadian keracunan akut pada petani dengan nilai OR 1,02; 95% CI 0,79 – 1,33. Selain itu mencuci tangan dan muka sebaiknya dilakukan jika akan makan, minum dan merokok. Kebiasaan mencuci tangan dibutuhkan selalu setiap selesai melakukan aktivitas yang berhubungan dengan pestisida. Budiyono, 2006 juga mengemukakan bahwa proporsi keracunan pestisida melalui absorpsi tubuh sebesar 64,72% jika tidak mengganti pakaian setelah menyemprot dan proporsi yang tidak mandi setelah menyemprot sebesar 55,88% dapat pula meningkatkan keracunan pestisida pada petani penyemprot. Peningkatan dampak pestisida terhadap petani dikarenakan juga oleh petani setelah melakukan penyemprotan tidak langsung pulang ke rumah tetapi masih melanjutkan aktivitas di sawah. Hal ini yang membuat mereka rentan terpapar pestisida, pakaian yang mereka pakai tidak langsung dicuci tetapi masih dikenakan untuk aktivitas selanjutnya.
30
b. Faktor internal Beberapa faktor internal yang mempengaruhi terjadinya keracunan sebagai berikut. 1. Umur petani Semakin tua usia petani akan semakin cenderung untuk mendapatkan pemaparan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan menurunnya fungsi organ tubuh yang berakibat pada menurunnya aktivitas cholinesterase darahnya dan mempermudah terjadinya keracunan pestisida. Hasil penelitian oleh Kim et al., (2013) menunjukkan bahwa umur > 30 tahun tidak berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida pada petani (OR 0,81 ; 95% CI 0,57-1,17). 2. Jenis kelamin Petani dengan jenis kelamin wanita cenderung memiliki rata-rata kadar cholinesterase yang lebih tinggi dibandingkan petani laki-laki. Meskipun demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot pestisida, karena pada kehamilan kadar cholinesterase cenderung turun sehingga kemampuan untuk menghidrolisa acethilcholin berkurang. Hasil penelitian oleh Zuraida (2012), menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida dengan nilai p 0,697 > 0,05. 3. Status gizi Petani yang status gizinya buruk memiliki kecenderungan untuk mendapatkan risiko keracunan yang lebih besar bila bekerja dengan pestisida organophosfat dan karbamat oleh karena gizi yang kurang berpengaruh terhadap kadar enzim yang bahan dasarnya adalah protein. Status gizi pada orang dewasa
31
dapat diukur dengan perhitungan BMI/IMT, status gizi berkaitan dengan kadar cholinesterase. Dalam Mualim (2002) disebutkan bahwa status gizi merupakan faktor risiko keracunan pada petani (OR 6,87; 95% CI 2,08-22,62). 4. Pendidikan Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin kecil peluang terjadinya keracunan pada dirinya karena pengetahuannya mengenai pestisida termasuk cara penggunaan dan penanganannya secara aman dan tepat sasaran akan semakin tinggi sehingga kejadian keracunan akan dapat dihindari. Hasil penelitian oleh Butinof (2015), menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan keluhan kesehatan pada petani di Cordoba, Argentina dengan nilai p value > 0,005 (0,20>0,05). 5. Tingkat Pengetahuan Pengetahuan tentang pestisida sangat penting untuk dimiliki oleh petani khususnya. Hal ini berkaitan dengan pemahaman dan kemampuan petani dalam melakukan pengelolaan pestisida dengan baik pula, sehingga risiko terjadinya keracunan dapat dihindari. Hasil penelitian Prijanto (2009), menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan petani merupakan faktor risiko terjadinya keracunan dengan nilai OR 1,96; 95% CI 1,09-3,15. Namun hasil penelitian oleh Zuraida (2012), menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan keracunan pestisida pada petani dengan nilai p>0,05 (0,423>0,05).
2.2.3
Faktor yang Mempengaruhi Praktik/Perilaku Berdasarkan penelitian Wahyuni (2010), diketahui bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku petani dalam penggunaan pestisida adalah pengaruh
32
teman seprofesi, kurangnya sosialisasi kebijakan, serta persepsi petani yang masih keliru tentang pestisida. Oleh Azwar (2013) disebutkan bahwa perilaku juga berorientasi pada tujuan dengan kata lain perilaku pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Hal ini berdampak pada penggunaan pestisida yang tidak sesuai dengan petunjuk dan aturan yang tepat karena adanya tujuan untuk memperoleh hasil panen yang baik. Pola penggunaan pestisida harus mengacu kepada 6T yaitu tepat jenis, dosis, waktu penggunaan, cara penggunaan, sasaran, dan kombinasi (Djojosumarto, 2008). Dalam Khamdani, (2009) disebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya praktik oleh Green dikenal dengan model PRECEDE (Predisposing, Reinforcing and Enabling). a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor) Faktor predisposisi yaitu faktor yang mempermudah dan mempengaruhi terjadinya perilaku diantaranya pendidikan, pengetahuan, umur dan masa kerja. Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah untuk memahami perubahan yang terjadi dilingkungannya dan orang tersebut akan menyerap perubahan tersebut apabila merasa bermanfaat bagi dirinya. Pengetahuan, menurut Notoatmodjo, (2003), perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Umur sebagai bagian dari faktor predisposisi mendapat perhatian karena akan mempengaruhi kondisi fisik, mental, kemauan kerja, dan tanggung jawab seseorang. Menurut teori psikologi, masa dewasa di bagi menjadi dewasa awal adalah usia 18-40 tahun dan dewasa lanjut usia 41-60 tahun sedangkan lansia adalah di atas 60 tahun (Irwanto, 2002). Umur pekerja dewasa awal diyakini dapat
33
membangun
kesehatannya dengan cara mencegah suatu
penyakit atau
menanggulangi gangguan penyakitnya. Masa kerja akan berkaitan dengan semakin lama tenaga kerja bekerja, semakin banyak pengalaman yang dimiliki begitu pula sebaliknya semakin singkat masa kerja, akan semakin sedikit pengalaman yang diperoleh. Pengalaman bekerja banyak memberikan keahlian dan keterampilan kerja, sebaliknya terbatasnya pengalaman kerja mengakibatkan tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki makin rendah. b. Faktor Pemungkin (Enabling Factor) Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Sarana dan prasarana atau fasilitas yang di maksud adalah alat pelindung diri yang digunakan petani pengguna pestisida semprot seperti pakaian kerja, penutup kepala, alat pelindung pernafasan, sarung tangan dan sepatu kerja atau boot, sehingga memungkinkan petani untuk memakai alat pelindung diri tersebut. c. Faktor Penguat (Reinforcing Factors) Faktor ini meliputi sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan dalam hal sosialisasi pengamanan dalam penggunaan pestisida. Faktor tersebut akan mempengaruhi petani dalam pemakaian alat pelindung diri. Selain itu pengelolaan produk pestisida oleh pemerintah seperti sistem pengawasan langsung, ketersediaan pelatihan bagi petani penyemprot pestisida dan dikeluarkannya perundang-undangan serta buku-buku petunjuk mengenai pengelolaan pestisida.