BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1
Landasan Teori
2.1.1 Positive Accounting Theory Positive Accounting Theory (PAT) merupakan teori yang dikembangkan oleh Watts dan Zimmerman (1986) yang menjelaskan tentang kebijakan akuntansi dan praktiknya dalam perusahaan serta memprediksi kebijakan apa yang akan dipilih manajer dalam kondisi-kondisi tertentu dimasa yang akan datang. Penentuan kebijakan akuntansi dan praktik yang tepat merupakan hal yang penting bagi perusahaan dalam hal penyusunan laporan keuangan sehingga, dalam hal menentukan kebijakan akuntansi dan pelaksanaannya tidak terlepas dari pihakpihak yang berwenang serta memiliki kepentingan dengan penyusunan laporan keuangan. Teori akuntansi positif menjelaskan apakah kebijakan yang telah dibuat, jika dilihat secara objektif memiliki manfaat bagi perusahaan, atau apakah kebijakan yang dibuat telah terpengaruh oleh faktor-faktor lain yang nantinya hanya akan menguntungkan sebagian pihak. Teori akuntansi positif juga digunakan untuk memprediksi kebijakan yang akan dipilih manajer dalam kondisi-kondisi tertentu dimasa yang akan datang. Teori akuntansi positif telah banyak diuji dengan menggunakan pilihanpilihan metode akuntansi. Dalam suatu review yang menyeluruh, Christie (1990) menyimpulkan ada enam proksi yang telah diketahui memiliki kemampuan dalam menjelaskan praktek-praktek yang merupakan cerminan dari aplikasi teori akuntansi positif. Keenam proksi dimaksud adalah ukuran perusahaan (firm size),
16
tingkat risiko (risk level), kompensasi manajerial (managerial compensation), porsi utang terhadap aktiva atau modal (financial leverage), pembatas-pembatas dalam penyelesaian utang, dan rasio pembayaran dividen (dividen payout ratio). Keenam faktor tersebut merupakan faktor yang melekat pada suatu perusahaan dan sekaligus sebagai sifat atau karakteristik suatu perusahaan dimana besarnya masing-masing faktor bisa berbeda-beda antara perusahaan yang satu dan perusahaan yang lain. Positive Accounting Theory (PAT) dimaksudkan untuk menjelaskan dan memprediksi konsekuensi yang terjadi jika manajer menentukan pilihan tertentu. Penjelasan dan prediksi dalam PAT didasarkan pada proses kontrak (contracting process) atau hubungan keagenan (agency relationship) antara manajer dengan kelompok lain seperti investor, kreditor, auditor, pihak pengelola pasar modal dan institusi pemerintah (Watts dan Zimmerman, 1986).
2.1.2 Signaling Theory Isyarat atau signal adalah tindakan yang diambil oleh manajemen perusahaan dimana manajemen mengetahui informasi yang lebih lengkap dan akurat mengenai internal perusahaan dan prospek perusahaan di masa depan dari para pihak investor. Hal ini mewajibkan manajer untuk memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada para stakeholder. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti publikasi laporan keuangan yang bersifat wajib (mandatory) maupun sukarela (voluntary). Investor dapat melakukan kesalahan dalam pengambilan keputusan ekonomi, jika informasi yang disampaikan oleh manajemen perusahaan tidak
17
sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Hal ini akan menyebabkan terjadi asimetris informasi dimana manajer lebih mengetahui informasi perusahaan dibanding pihak lain (stakeholder). Berdasarkan signaling theory untuk meminimalisir terjadinya information asymmetry, pihak manajemen wajib membuat struktur pengendalian internal yang mampu menjaga harta perusahaan dan menjamin penyusunan laporan keuangan yang dapat dipercaya. Manfaat utama teori ini adalah akurasi dan ketepatan waktu penyajian laporan keuangan ke publik adalah sinyal dari perusahaan akan adanya informasi yang bermanfaat dalam kebutuhan untuk pembuatan keputusan dari investor. Keterlambatan publikasi laporan keuangan akan menyebabkan relevansi dari laporan keuangan tersebut berkurang bahkan tidak bermanfaat lagi sehingga mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh para investor.
2.1.3 Laporan Keuangan Keiso (2007:2) menyatakan laporan keuangan merupakan sarana yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi keuangan suatu perusahaan kepada pihak-pihak diluar perusahaan. Komponen keuangan yang lengkap ditetapkan oleh PSAK No.1 tahun 1998 yang telah direvisi menjadi PSAK 1 (revisi 2009) terdiri dari laporan laba rugi komprehensif selama periode, laporan posisi keuangan pada akhir tahun, laporan arus kas selama periode, laporan perubahaan ekuitas selama periode, dan catatan atas laporan keuangan (yang memuat informasi penjelas lain dan kebijakan akuntansi perusahaan). Statements of Financial Accounting Concepts (SFAC) No.2 tentang karakteristik kualitatif
18
dari informasi keuangan menyatakan bahwa informasi keuangan akan bermanfaat bila memenuhi karakteristik kualitas yaitu relevan, andal, memliki daya banding dan konsistensi, sesuai dengan pertimbangan cost-benefit, dan materialitas. Karakteristik kualitas laporan keuangan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (IAI, 2009) No.1 adalah sebagai berikut. 1) Dapat dipahami Kualitas penting informasi yang ditampung dalam laporan keuangan adalah kemudahannya untuk dapat dipahami oleh pemakai. Pemakai diasumsikan memiliki pengetahuan yang memadai tentang aktivitas ekonomi dan bisnis, akuntansi, serta kemauan untuk mempelajari informasi. 2) Relevan Agar bermanfaat, informasi harus relevan untuk memenuhi kebutuhan pemakai dalam proses pengambilan keputusan. Informasi memiliki kualitas relevan jika dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pemakai. Informasi yang relevan dapat digunakan untuk membantu mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini, atau masa depan. 3) Andal Informasi memiliki kualitas andal jika bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang jujur (faithfull representation) dari yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar diharapkan dapat disajikan.
19
4) Dapat dibandingkan Pemakai harus dapat membenadingkan laporan keuangan antar periode untuk mengidentifikasi kecenderungan (trend) posisi dan kinerja keuangan. Pemakai juga harus dapat membandingkan laporan keuangan antar perusahaan. Hal tersebut dilakukan untuk mengevaluasi posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan secara relatif.
Peraturan BAPEPAM No. X.K.2, Lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: Kep/36PM/2003 disebutkan laporan keuangan yang harus disampaikan kepada BAPEPAM terdiri sebagai berikut. 1) Neraca, 2) Laporan laba rugi, 3) Laporan perubahan ekuitas, 4) Laporan arus kas, 5) Laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan jika dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan jenis industrinya, serta 6) Catatan atas laporan keuangan.
2.1.4 Audit dan Standar Auditing Auditing adalah pemeriksaan oleh pihak independen terhadap laporan keuangan yang disusun manajemen secara kritis dan sistematis termasuk catatan dan bukti pendukung yang ada (Sukrisno, 2012). Tujuan audit laporan keuangan
20
yaitu untuk menyatakan pendapat atas kewajaran asersi-asersi yang terdapat dalam laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum (Mulyadi, 2002:72). Pemahaman tentang corporate governance perusahaan klien kemungkinan dapat membantu auditor menilai berbagai risiko klien sehingga perencanaan audit dapat lebih efektif dan efisien. Audit berperan penting dalam mengurangi terjadinya asimetri informasi dengan penyelesaian audit tepat waktu. Audit pada umumnya dikelompokkan dalam tiga golongan, adalah sebagai berikut. 1) Audit laporan keuangan (Financial Statement Audit) adalah audit yang dilakukan oleh auditor independen terhadap laporan keuangan yang disajikan oleh klien, untuk menyatakan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Auditor independen menilai kewajaran laporan keuangan atas dasar kesesuaiannya dengan prinsip akuntansi berterima umum. 2) Audit kepatuhan (Compliance Audit) adalah audit yang tujuannya menentukan apakah yang diaudit sesuai dengan kondisi atau peraturan tertentu. Hasil audit kepatuhan umumnya dilaporkan kepada pihak berwenang pembuat kriteria. Audit kepatuhan banyak dijumpai dalam pemerintahan. 3) Audit operasional (Operational Audit) merupakan review secara sistematik kegiatan organisasi, atau bagian daripadanya, dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Tujuan audit operasional adalah mengevaluasi kinerja,
21
mengidentifikasi
kesempatan
untuk
peningkatan,
dan
membuat
rekomendasi untuk perbaikan atau tindakan lebih lanjut.
Standar auditing merupakan pedoman bagi auditor dalam menjalankan tanggung jawab profesionalnya. Standar auditing yang telah ditetapkan dan disahkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia adalah sebagai berikut (SPAP, 2011:150.01). 1) Standar umum, yaitu. a. Audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi, dan sikap mental harus dpertahankan oleh auditor. c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. 2) Standar pekerjaan lapangan, yaitu. a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika menggunakan asisten dalam pelaksanaan audit harus disupervisi dengan semestinya. b. Pemahaman yang memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian saat dilakukan. c. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan. 3) Standar pelaporan, yaitu. a. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. b. Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan
22
keuangan periode berjalan. Dibandingkan dengan penerapan prinsip c.
akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang
d.
memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor. Laporan audit harus memuat pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atas suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluuhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor. Pemenuhan standar ini berdampak pada lamanya penyelesaian laporan audit
dan berdampak pula pada kualitas hasil laporan keuangan auditan. Kondisi ini dapat menimbulkan suatu dilema bagi auditor. Salah satu kriteria profesionalisme dari auditor adalah ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan auditan. Ketepatan waktu perusahaan dalam mempublikasikan laporan keuangan kepada masyarakat umum dan kepada Bapepam tergantung dari lamanya auditor dalam menyelesaikan pekerjaan auditnya. Semakin cepat pekerjaan audit selesai dilakukan, maka semakin cepat pula informasi dipublikasikan.
2.1.5 Audit Delay Audit delay adalah rentang waktu penyelesaian audit laporan keuangan tahunan, diukur berdasarkan lamanya hari yang dibutuhkan untuk memperoleh laporan auditor independen atas audit laporan keuangan tahunan perusahaan, sejak
23
tanggal tahun tutup buku perusahaan sampai tanggal yang tertera pada laporan auditor independen (Rachmawati, 2008). Audit delay juga dapat diartikan sebagai interval jumlah hari antara tanggal periode laporan keuangan (tanggal 31 Desember) sampai tanggal laporan audit (Wirakusuma, 2004). Dyer dan McHugh (1975) menggunakan tiga kriteria keterlambatan dalam penelitiannya adalah sebagai berikut. 1) Preleminary lag : interval jumlah hari antara tanggal laporan keuangan sampai penerimaan laporan akhir preliminary oleh bursa. 2) Auditor’s report lag : interval jumlah hari antara tanggal laporan keuangan sampai tanggal laporan auditor ditandatangani. 3) Total lag : interval jumlah hari antara tanggal laporan keuangan sampai tanggal penerimaan laporan dipublikasikan di bursa.
Salah satu karakteristik kualitatif laporan keuangan adalah relevan. Laporan keuangan dianggap tidak relevan ketika laporan keuangan tersebut kehilangan kapasitas untuk mempengaruhi keputusan yang diambil, yakni memiliki ketepatan waktu (timeliness) (Kieso. 2007). Indonesia mengeluarkan beberapa peraturan terkait dengan penyerahan laporan keuangan untuk melindungi kepentingan shareholder. Peraturan ini tercermin dari Peraturan Bapepam Nomor X.K.2 yang mewajibkan semua perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek di Indonesia wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang memuat opini dari akuntan. Peraturan Bapepam ini membuat perusahaan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia menjadi terpacu untuk melaporkan laporan keuangannya secara
24
tepat waktu, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yakni selambat-lambatnya akhir bulan ke tiga (90 hari) setelah tanggal laporan tahunan perusahaan.
2.1.6 Ukuran Perusahaan Salah satu atribut yang dapat dihubungkan dengan ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan adalah ukuran perusahaan. Besar kecilnya ukuran perusahaan dapat didasarkan pada total nilai aset, total penjualan, kapitalisasi pasar, jumlah tenaga kerja dan sebagainya. Semakin besar nilai item-item tersebut maka semakin besar pula ukuran perusahaan itu (Riyanto dalam Febriaty 2011). Sesuai keputusan ketua Bapepam Nomor: Kep-11/PM/1997 menjelaskan bahwa perusahaan menengah dan kecil adalah badan hukum yang memiliki jumlah kekayaan (total assets) tidak lebih dari seratus miliar rupiah, sedangkan perusahaan besar adalah badan hukum yang memiliki jumlah kekayaan (total assets) lebih dari seratus miliar rupiah. Machfoedz dalam Febrianty (2011), ukuran perusahaan didasarkan pada total aset perusahaan. Ukuran perusahaan terbagi dalam tiga kategori, adalah sebagai berikut. 1) Perusahaan besar (large firm), adalah perusahaan yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 10 Milyar termasuk tanah dan bangunan, serta memiliki hasil penjualan lebih dari Rp 50 Milyar/tahun. 2) Perusahaan menengah (medium size), adalah perusahaan yang memiliki kekayaan bersih Rp 1-10 Milyar termasuk tanah dan bangunan, serta memiliki hasil penjualan kurang dari Rp 1-50 Milyar/tahun.
25
3) Perusahaan kecil (small firm), adalah perusahaan yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan, serta memiliki hasil penjualan minimal Rp 1 Milyar/tahun. 2.1.7 Komite Audit Keberadaan Komite Audit di Indonesia dipertegas dengan Peraturan Bapepam No.IX.1.5 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit (Lampiran Keputusan Ketua Bapepam No.Kep-29/PM/2004 tanggal 24 September 2004) yang mengatakan bahwa Komite Audit adalah komite yang dibentuk oleh Dewan Komisaris dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya. Peraturan lain yang menerangkan tentang Komite Audit adalah Peraturan Bursa Efek Jakarta (sekarang bernama Bursa Efek Indonesia) No.I-A tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa (Lampiran II Keputusan Direksi PT. Bursa Efek Jakarta No.Kep-305/BEJ/07-2004 tanggal 19 Juli 2004), SK. Dir. BEJ Nomor 315/BEJ/06-2000, Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor 117/Tahun 2002, dan Undang Undang BUMN Nomor 19/2003. Peraturan – peraturan tersebut mengatur mengenai kewajiban perusahaan untuk membentuk komite audit dalam rangka menegakkan good corporate governance (GCG) di Indonesia (Khomsiyah, dan Rahayu, 2005). New York Stock Exchange dalam Purwati (2006) mensyaratkan bahwa perusahaan harus memiliki Komite Audit sedikitnya 3 (tiga) anggota, dimana semua anggota tidak boleh memiliki hubungan dengan perusahaan karena akan mengganggu independensi mereka dari manajemen dan perusahaan. Peraturan ini sebagai respon atas permintaan Stock Exchange Committe (SEC) untuk
26
meningkatkan efektivitas Komite Audit dalam rangka pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance). Salah satu parameter terlaksananya good corporate governance yaitu meningkatnya integritas pelaoran keuangan perusahaan. Integritas pelaporan keuangan perusahaan dapat dilihat dari ketepatan waktu pelaporan keuangan perusahaan. Persyaratan Keanggotaan Komite Audit sesuai Keputusan Ketua BAPEPAM No. Kep-41/PM/2003 tanggal 22 Desember 2003 tentang Peraturan Nomor IX.1.5 : Pembentukkan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit adalah sebagai berikut. 1) Memiliki
integritas
yang
tinggi,
kemampuan,
pengetahuan
dan
pengalaman yang memadai sesuai dengan latar belakang pendidikannya, serta mampu berkomunikasi dengan baik. 2) Salah seorang dari anggota Komite Audit memiliki latar belakang pendidikan akuntansi atau keuangan. 3) Memiliki pengetahuan yang cukup untuk membaca dan memahami laporan keuangan, 4) Memiliki pengetahuan yang memadai tentang peraturan perundangan di bidang Pasar Modal dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. 5) Bukan merupakan orang dalam Kantor Akuntan Publik yang memberikan jasa audit dan atau non audit pada emiten atau perusahaan publik yang bersangkutan dalam 1 (satu) tahun terakhir sebelum diangkat oleh Komisaris sebagaimana dimaksudkan dalam peraturan Nomor VIII A.2 tentang Indepensi Akuntan yang memberikan Jasa Audit di Pasar Modal.
27
6) Bukan merupakan karyawan kunci emiten atau perusahaan publik dalam 1 (satu) tahun terakhir sebelum diangkat oleh Komisaris. 7) Tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada emiten atau perusahaan publik. Dalam hal anggota Komite Audit memperoleh saham akibat suatu peristiwa hukum maka dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah diperolehnya saham tersebut wajib mengalihkan kepada pihak lain. 8) Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan emiten atau perusahaan publik, Komisaris, Direksi atau Pemegang Saham Utama Emiten atau perusahaan public. 9) Tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik.
Salah satu tanggung jawab dari komite audit adalah untuk mengawasi proses pelaporan keuangan, yang mencakup memastikan ketepatan waktu penyampaian keuangan (Hashim dan Rahman, 2011). Di Indonesia sendiri peraturan mengenai Komite Audit telah diatur dalam Peraturan Bapepam-LK No.IX.I.5 yang mengatur pembentukan dan pedoman pelaksanaan kerja Komite Audit. Peraturan tersebut ditulis tugas dari Komite Audit, antara lain. 1) Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang dikeluarkan perusahaan. 2) Melakukan penelaahan atas ketaatan perusahaan atas peraturan perundangundangan di pasar modal dan peraturan perundang-undangan lainnya.
28
3) Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor eksternal. 4) Melaporkan kepada komisaris berbagai risiko yang dihadapi perusahaan dan pelaksanaan manajemen risiko oleh direksi. 5) Melakukan penelaahan dan melaporkan kepada komisaris atas pengaduan yang berkaitan dengan emiten. 6) Menjaga kerahasiaan data, dokumen, dan informasi perusahaan. 7) Komite audit wajib bekerja sama dengan pihak yang melaksanakan fungsi internal audit. Adanya peraturan Bapepam ini, diharapkan praktik Komite Audit di Indonesia dapat dirasakan manfaatnya bagi entitas perusahaan, karena Komite Audit diharapkan untuk berperan aktif terhadap proses penyusunan laporan keuangan suatu perusahaan sehingga tidak terjadi keterlambatan dalam pelaporannya. Komite Audit juga memiliki hubungan kerja dengan auditor eksternal, oleh karena itu Komite Audit dapat menilai level of audit coverage and assurance, hal ini dapat dilakukan oleh anggota komite audit yang berpengetahuan cukup. Hal ini dapat mempengaruhi timeliness dan mengurangi audit delay (Hashim dan Rahman, 2011).
2.1.8 Leverage Setiap perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasionalnya sehari-hari pasti membutuhkan modal. Modal tersebut berasal dari modal sendiri maupun modal yang berasal dari pinjaman. Perusahaan yang menggunakan sumber dana dari luar untuk membiayai operasional perusahaan baik yang merupakan sumber pembiayaan jangka pendek maupun jangka panjang merupakan penerapan dari
29
kebijakan leverage. Rasio leverage mengukur tingkat aktiva perusahaan yang telah dibiayai oleh penggunaan hutang. Dengan demikian, leverage merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk membayar semua hutang-hutangnya baik jangka pendek maupun jangka panjang. Ria (2008) berpendapat leverage adalah usaha untuk menggunakan sesuatu yang akan membawa konsekuensi beban tetap. Terdapat dua macam leverage, antara lain. 1) Operating Leverage Operating leverage adalah penggunaan suatu kekayaan atau aktiva tertentu yang akan mengakibatkan beban tetap bagi perusahaan seperti mesinmesin, gedung dan sebagainya. Dalam hal ini beban tetapnya akan berupa biaya depresiasi. 2) Financial Leverage Financial leverage adalah peggunaan sumber dana tertentu yang akan mengakibatkan beban tetap yang berupa biaya bunga. Sumber dana ini dapat berupa utang obligasi, kredit dari bank dan sebagainya. Jensen dan Meckling (1976) yang menyatakan bahwa debt holders menghendaki syarat-syarat tertentu dalam perjanjian kontrak utang untuk membatasi aktivitas manajemen, yang salah satunya mengharuskan manajemen menyajikan laporan keuangan lebih cepat dan bersifat rutin untuk waktu tertentu. Hal ini dimaksudkan agar debt holders dapat menilai kinerja finansial manajemen. Leverage menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi segala kewajiban finansial perusahaan tersebut. Penelitian ini menggunakan debt to equity ratio untuk melihat pengaruh leverage terhadap audit delay. Debt To Equity
30
Ratio (DER) menggambarkan perbandingan hutang dan ekuitas dalam pendanaan perusahaan dan menunjukkan kemampuan modal sendiri perusahaan untuk memenuhi seluruh kewajibannya. Semakin tinggi DER, maka semakin besar perusahaan menggunakan modal dari kreditor. Perusahaan dengan kewajiban yang besar cenderung mendesak auditor untuk memulai dan menyelesaikan proses audit lebih cepat. Hal ini dikarenakan, perusahaan dengan kewajiban yang besar diawasi dan dimonitor oleh kreditor sehingga akan memberikan tekanan kepada perusahaan untuk mempublikasikan laporan keuangan auditan lebih cepat untuk meyakinkan kembali para pemilik modal yang pada dasarnya ingin mengurangi tingkat resiko dalam pengambilan modal mereka. 1.2 Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang, landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya, maka hipotetsis yang dikemukakan adalah sebagai berikut. 2.2.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Audit Delay Teori akuntansi positif menjelaskan kebijakan akuntansi perusahaan akan berpengaruh pada laporan keuangan yang akan mempengaruhi hubungan manajemen dengan pihak auditor. Ukuran Perusahaan yang besar memiliki organisasi yang luas dan sistem pengendalian internal yang baik sehingga dapat mengurangi tingkat kesalahan dalam penyajian laporan keuangan perusahaan sehingga memudahkan auditor dalam melakukan pengauditan laporan keuangan. Dyer dan McHugh (1975) berpendapat bahwa manajemen perusahaan besar memiliki dorongan untuk mengurangi audit delay dan penundaan laporan
31
keuangan dikarenakan perusahaan besar senantiasa diawasi secara ketat oleh para investor, pengawas permodalan dan pemerintah. Penelitian Kinanti (2013), Puspitasari (2014) dan Pizzini et al (2011) menyatakan bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh negatif terhadap audit delay. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ashton et al (1987), Dyer dan Mc Hugh (1975), Courtis (1976), serta Carslaw & Kaplan (1991) yang menyatakan ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap audit delay. Berdasarkan uraian teoritis dan penelitian terdahulu, hipotesis yang dapat dirumuskan adalah : H1 : Ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap audit delay.
2.2.2 Pengaruh Keberadaan Komite Audit terhadap Audit Delay Pemerintah telah mengeluarkan peraturan BAPEPAM-LK No. IX.1.5 yang mewajibkan setiap perusahaan go public diwajibkan membentuk komite audit yang beranggotakan minimal 3 orang dengan dipimpin oleh komisaris independen dan sisanya merupakan anggota eksternal yang bersifat independen. Komite audit bertugas untuk memantau perencanaan dan pelaksanaan kemudian mengevaluasi hasil audit guna menilai kelayakan dan kemampuan pengendalian interen termasuk mengawasi proses penyusunan laporan keuangan. Semakin banyak jumlah komite audit maka audit delay akan semakin singkat. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan anggota komite audit akan cenderung meningkatkan proses pengawasan dalam penyusunan laporan keuangan perusahaan sehingga laporan keuangan yang dihasilkan menjadi lebih sesuai dengan standar yang berlaku
32
umum, ini berarti waktu yang dibutuhkan oleh auditor untuk melaksanakan audit menjadi lebih pendek. Ettredge et. al. (2006) menyebutkan bahwa dengan semakin banyaknya komite audit dalam suatu perusahaan maka pengendalian internal akan menjadi semakin baik. Penelitian Wirakusuma (2006), Wijaya (2012), Jumratul (2014), dan Mumpuni (2011) menunjukkan hasil bahwa ada pengaruh negatif antara komite audit dan audit delay. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nor et al. (2010) yang menunjukkan bahwa variabel komite audit berpengaruh negatif terhdap audit delay. Berdasarkan uraian teoritis dan penelitian terdahulu, hipotesis yang dapat dirumuskan adalah : H2 : Keberadaan Komite Audit berpengaruh negatif terhadap Audit Delay. 2.2.3 Pengaruh Leverage terhadap Audit Delay Teori akuntansi positif menyatakan bahwa, pemilihan kebijakan yang diterapkan oleh perusahaan akan mempengaruhi laporan keuangan. Laporan keuangan akan mempengaruhi proses audit dimana jika perusahaan memiliki tingkat leverage yang tinggi maka semakin besar perusahaan menggunakan modal dari kreditor sehingga cenderung mendesak auditor untuk memulai dan menyelesaikan audit lebih cepat dibandingkan perusahaan dengan jumlah hutang kecil. Hal ini dikarenakan perusahaan dengan jumlah hutang besar dimonitor oleh kreditor
sehingga
akan
memberi
tekanan
kepada
perusahaan
untuk
mempublikasikan laporan keuangan auditan lebih cepat untuk meyakinkan kembali para pemilik modal yang pada dasarnya menginginkan mengurangi
33
tingkat risiko dalam pengembalian modal mereka (Ratnawati dan Sugiharto, 2005). Hal inilah yang menyebabkan audit delay menjadi lebih pendek. Penelitian yang dilakukan oleh Kinanti (2013) dan Permata Sari (2014) menunjukkan hasil bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap audit delay. Berdasarkan uraian teoritis dan penelitian terdahulu, hipotesis yang dapat dirumuskan adalah : H3 : Leverage berpengaruh negatif terhadap audit delay.
34