BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan Teori keagenan (agency theory) merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori agensi ini pertama kali dicetuskan oleh Jensen dan Meckling pada tahun 1976. Jensen dan Meckling (1976:17) menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan investor (principal). Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan prinsipal, sehingga memicu biaya keagenan (agency cost). Tjager, dkk. (2003:25) menyatakan teori keagenan mengalisis dua permasalahan
yang
muncul
dalam
hubungan
antara
para
“principal”
(pemilik/pemegang saham) dan “agent” (manajemen puncak): 1) Agency problem yang muncul ketika (a) timbul konflik antara harapan atau tujuan pemilik/pemegang saham dan para direksi (top management), dan (b) para pemilik mengalami kesulitan untuk memverifikasi apa yang sesungguhnya sedang dikerjakan manajemen. 2) Risk sharing problem yang muncul ketika pemilik dan direksi memiliki sikap yang berbeda terhadap risiko. Menurut Jensen dan Meckling (dalam Siti Muyassaroh, 2008), adanya masalah keagenan memunculkan biaya agensi yang terdiri dari:
14
a) The monitoring expenditure by the principle, yaitu biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk mengawasi perilaku dari agen dalam mengelola perusahaan. b) The bounding expenditure by the agent (bounding cost), yaitu biaya yang dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak bertindak yang merugikan prinsipal. c) The Residual Loss, yaitu penurunan tingkat utilitas prinsipal maupun agen karena adanya hubungan agensi. Perbedaan kepentingan antara principal (pemegang saham) dan agent (manajer) dapat memicu munculnya kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (kesenjangan informasi). Masing-masing pihak berusaha memperbesar keuntungan bagi diri sendiri. Manajer dalam hal ini dapat melakukan tindakan kecurangan (fraud) untuk melakukan manajemen laba sehingga akan menyesatkan pemegang saham mengenai kinerja ekonomi perusahaan, disisi lain kompensasi ekonomi yang diberikan oleh prinsipal kepada agen akan semakin besar. Tindakan–tindakan seperti memanipulasi laba inilah yang menjadi pentingnya adanya pengendalian internal dan struktur tata kelola perusahaan (corporate governance) (Wibowo, dkk., 2013). Seperti yang telah dikemukakan bahwa baik principal maupun agent ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya serta ingin terhindar dari resiko yang mungkin terjadi dalam perusahaan. Adanya asimetri informasi dapat menciptakan kebutuhan akan adanya pihak ketiga yang independen untuk memeriksa dan memberikan assurance pada laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen. Oleh
15
karena itu, prinsipal perlu menempatkan mekanisme dengan cara menyewa auditor sebagai pihak independen untuk mengaudit laporan keuangan guna untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan yang dapat membuat kepercayaan publik terhadap laporan keuangan tersebut (Ittonen, 2010). Pengawasan atau monitoring yang dilakukan oleh pihak independen (auditor eksternal) memerlukan biaya atau monitoring cost dalam bentuk fee audit, yang merupakan salah satu dari agency cost. Biaya pengawasan (monitoring cost) merupakan biaya untuk mengawasi perilaku agent apakah agent telah bertindak sesuai kepentingan principal dengan melaporkan secara akurat semua aktivitas yang telah ditugaskan kepada manajer. Uraian tersebut diatas memberi makna bahwa auditor merupakan pihak yang dianggap dapat menjembatani kepentingan pihak pemegang saham (principal) dengan pihak manajer (agent) dalam mengelola keuangan perusahaan termasuk menilai kelayakan strategi manajemen dalam upaya untuk mengatasi kesulitan keuangan perusahaan. Corporate governance merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. Menurut Shleifer et al. (dalam Ujiyantho, dkk. 2007), corporate governance berkaitan dengan bagaimana para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak akan melakukan penggelapan atau menginvestasikan ke dalam investasi yang tidak menguntungkan berkaitan dengan modal yang telah ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan bagaimana para investor mengontrol para manajer.
16
Dengan kata lain corporate governance diharapkan dapat berfungsi untuk menekan atau menurunkan biaya keagenan (agency cost) dan meningkatkan kinerja entitas sehingga laporan keuangan yang disajikan mempunyai integritas yang tinggi sehingga pada akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan dan harga sahamnya. 2.1.2 Definisi Corporate Governance Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) (2001:1) mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mendefinisikan corporate governance sebagai struktur yang olehnya para pemegang saham, komisaris, dan manajer menyusun tujuan-tujuan perusahaan dan sarana untuk mencapai tujuantujuan tersebut dan mengawasi kinerja. Dalam konteks tumbuhnya kesadaran akan arti penting corporate governance ini,
Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD) (dalam Tjager, dkk., 2003:49) telah mengembangkan seperangkat prinsip-prinsip good corporate governance sebagai berikut. 1) Fairness (Kewajaran) Perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham dengan keterbukaan informasi yang penting. Prinsip ini diwujudkan dengan membuat peraturan
17
korporasi yang melindungi kepentingan minoritas dan menetapkan peran dan tanggung jawab dewan komisaris, direksi dan komite. 2) Disclosure dan Transparency (Transparansi) Hak-hak para pemegang saham, yang harus diberi informasi dengan benar dan tepat pada waktunya mengenai perusahaan. Prinsip ini dapat diwujudkan dengan mengembangkan sistem akuntansi yang berbasis standar akuntansi dan best practices yang menjamin adanya laporan keuangan dan pengungkapan yang berkualitas. 3) Accountability (Akuntabilitas) Tanggung jawab manajemen melalui pengawasan yang efektif berdasarkan balance of power antara manajer, pemegang saham, dewan komisaris dan auditor. Prinsip ini diwujudkan dengan mengembangkan komite audit dan risiko untuk mendukung fungsi pengawasan oleh dewan komisaris serta mengembangkan dan merumuskan kembali peran dan fungsi internal audit sebagai mitra bisnis strategik berdasarkan best practices (bukan sekedar audit). 4) Responsibility (Responsibilitas) Peranan pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan oleh hukum dan kerja sama yang aktif antara perusahaan serta para pemegang kepentingan dalam menciptakan kekayaan, lapangan kerja dan perusahaan yang sehat dari aspek keuangan. Prinsip ini diwujudkan dengan menyadari akan adanya tanggung jawab sosial, menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan memelihara lingkungan bisnis yang sehat.
18
2.1.3 Mekanisme Corporate Governance Mekanisme Corporate Governance merupakan suatu aturan main, prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang melakukan kontrol di mana selanjutnya dilakukan pengawasan terhadap keputusan tersebut (Walsh et al. dalam Arifin, 2005). Mekanisme yang dapat mengendalikan perilaku manajemen atau sering disebut mekanisme corporate governance dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok. Pertama Internal mechanisms adalah cara untuk mengendalikan perusahaan dengan menggunakan struktur dan proses internal seperti rapat umum pemegang saham (RUPS), komposisi dewan direksi, komposisi dewan komisaris, komite audit dan pertemuan dengan board of director. Kedua external mechanisms adalah cara mempengaruhi perusahaan selain dengan menggunakan mekanisme internal, seperti pengendalian oleh perusahaan dan pengendalian pasar (Iskandar et al. dalam Chintya, 2014).. 2.1.3.1 Dewan Komisaris Dewan
komisaris
adalah
organ
perusahaan
yang
bertugas
dan
bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan good corporate governance (KNKG, 2006:13). Terdapat dua sistem manajemen yang berbeda yang berasal dari dua system hukum yang berbeda (FCGI, 2001) yang membedakan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris, yaitu Anglo Saxon dan dari Kontinental Eropa.
19
Sistem yang berkembang di Indonesia adalah sistem dua tingkat berasal dari Sistem Hukum Kontinental Eropa. Dalam sistem ini perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu dewan pengawas (dewan komisaris) dan dewan manajamen (dewan direksi). Dewan direksi bertugas mengelola dan mewakili perusahaan di bawah pengarahan dan pengawasan dewan komisaris. Dewan direksi juga harus memberikan informasi kepada dewan komisaris dan menjawab hal-hal yang diajukan
oleh
dewan
komisaris.
Sehingga
dewan
komisaris
terutama
bertanggungjawab untuk mengawasi tugas-tugas manajemen. Gambar 2.1 Struktur BoD dan BoC dalam Two Tiers System yang Berkembang di Indonesia
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Dewan Komisaris (BoC) Dewan Direksi (BoD)
Pengawasan Sumber: FCGI (2001:5)
Menurut Forum For Corporate Governance In Indonesia (2001:5) tugastugas utama dewan komisaris meliputi: a)
Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan; serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset;
20
b) Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan penggajian anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota dewan direksi yang transparan dan adil; c)
Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris, termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan memanipulasi transaksi perusahaan;
d) Memonitor pelaksanaan governance dan mengadakan perubahan yang diperlukan; e)
Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan. Dewan komisaris terdiri dari komisaris independen dan komisaris non-
independen. Independensi profesional adalah suatu bentuk sikap mental yang sulit untuk dapat dikendalikan karena berhubungan dengan integritas seseorang, Keberadaan komisaris independen telah diatur Bursa Efek Jakarta melalui peraturan BEI tanggal 30 Januari 2014. Dikemukakan bahwa perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia harus mempunyai komisaris independen yang secara proporsional sama dengan jumlah saham yang dimiliki pemegang saham yang
minoritas (bukan controlling shareholders). Dalam peraturan ini,
persyaratan jumlah minimal komisaris independen adalah 30% dari seluruh anggota dewan komisaris. Beberapa kriteria lainnya tentang Komisaris Independen adalah sebagai berikut: 1) Komisaris Independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham mayoritas atau pemegang saham pengendali (controlling shareholders) Perusahaan Tercatat yang bersangkutan;
21
2) Komisaris Independen tidak memiliki hubungan dengan direktur dan/atau komisaris lainnya Perusahaan Tercatat yang bersangkutan; 3) Komisaris Independen tidak memiliki kedudukan rangkap pada perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan Perusahaan Tercatat yang bersangkutan; 4) Komisaris Independen harus mengerti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal; 5) Komisaris Independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham minoritas yang bukan merupakan pemegang saham pengendali (bukan controlling shareholders) dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). 2.1.3.2 Komite Audit Berdasarkan peraturan No.IX.1.15 tentang pembentukan dan pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam No.29/PM/2004 perusahaan-perusahaan publik diwajibkan untuk membentuk komite audit. Komite audit tersebut dibentuk oleh dewan komisaris dalam rangka membantu melaksanakan tugas dan fungsinya dan bertanggungjawab langsung kepada dewan komisaris. Komite audit memiliki tugas dalam memberikan suatu pandangan tentang masalah akuntansi, laporan keuangan dan penjelasannya, sistem pengawasan internal serta auditor independen (Egon, 2000:21). Forum for Corporate Governance in Indonesia mengemukakan bahwa komite audit mempunyai tanggung jawab dalam hal memberikan pengawasan secara menyeluruh yang dijelaskan sebagai berikut. (1) Laporan keuangan (financial reporting)
22
Tanggung jawab komite audit di bidang laporan keuangan adalah untuk memastikan bahwa laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen telah memberikan gambaran yang sebenarnya tentang kondisi keuangan, hasil usahanya, serta rencana dan komitmen jangka panjang. Ruang lingkup pelaksanaa dalam bidang ini adalah: a) Merekomendasikan auditor eksternal; b) Memeriksa hal-hal yang berkaitan dengan auditor eksternal seperti surat penunjukkan auditor, perkiraan biaya audit, jadwal kunjungan auditor, koordinasi dengan internal audit, pengawasan terhadap hasil audit, dan menilai pelaksanaan pekerjaan auditor; c) Menilai kebijakan akuntansi dan keputusan-keputusan yang menyangkut kebijaksanaan; d) Meneliti Laporan Keuangan (Financial Statement), yang meliputi: Laporan Paruh Tahun, Laporan Tahunan, dan Opini Auditor dan Management Letters. (2) Tata kelola perusahaan (corporate governance) Tanggung jawab untuk memastikan bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku, melaksanakan usahanya dengan beretika, melaksanakan pengawasannya secara efektif terhadap benturan kepentingan dan kecurangan yang dilakukan oleh karyawan perusahaan. (3) Pengawasan perusahaan (corporate control) Tanggung jawab komite audit untuk pengawasan perusahaan termasuk di dalamnya pemahaman tentang masalah serta hal-hal yang berpotensi
23
mengandung risiko dan sistem pengendalian intern serta memonitor proses pengawasan yang dilakukan oleh auditor internal. Komite Audit harus terdiri dari individu-indidvidu yang mandiri dan tidak terlibat dengan tugas sehari-hari dari manajemen yang mengelola perusahaan, dan yang memiliki pengalaman untuk melasanakan fungsi pengawasan secara efektif. Salah satu dari beberapa alasan utama kemandirian ini adalah untuk memelihara integritas serta pandangan yang objektif dalam laporan serta penyusunan rekomendasi yang diajukan oleh Komite Audit, karena individu yang mandiri cenderung lebih adil dan tidak memihak serta obyektif dalam menangani suatu permasalahan. Jumlah anggota Komite Audit disesuaikan besar-kecilnya dengan organisasi dan tanggung jawab. Namun biasanya tiga sampai lima anggota merupakan jumlah yang cukup ideal. Komite Audit biasanya perlu untuk mengadakan rapat tiga sampai empat kali setahun untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya yang menyangkut soal sistem pelaporan keuangan (FCGI, 2001:16). Peraturan Bapepam mewajibkan perusahaan publik untuk membentuk suatu komite audit yang beranggotakan paling sedikit tiga orang dan diketuai oleh komisaris independen, dengan pihak lain yang berasal dari luar perusahaan (eksternal). Komposisi pembentukan tersebut diatur demikian agar terbentuk suatu sifat independensi yang sangat berpengaruh terhadap kinerja komite audit. 2.1.4 Manfaat Corporate Governance Penerapan tata kelola perusahaan yang baik dalam suatu perusahaan akan memberikan keuntungan atau manfaat yang dapat dirasakan perusahaan secara
24
langsung maupun tidak langsung. Manfaat yang diperoleh dari mekanisme corporate governance adalah sebagai berikut: 1) Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. 2) Mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dari pengelolaan perusahaan yang baik menyebabkan tingkat bunga atas dana atau sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan. 3) Meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra perusahaan tersebut kepada publik luas dalam jangka panjang. 4) Menciptakan dukungan para stakeholder (para pihak yang berkepentingan) dalam lingkungan perusahaan tersebut terhadap keberadaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan (Efendi, 2009:15). 2.1.5 Definisi Manajemen Laba Scott (1997) mendefinisikan bahwa “manajemen laba sebagai upaya yang dilakukan manajer untuk mencapai keuntungan pribadi melalui rekayasa komponen akrual yang terdapat dalam laporan keuangan perusahaan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam pengambilan keputusan yang dapat merugikan pihak lain, karena dengan adanya manajemen laba, laporan perusahaan tidak mencerminkan nilai fundamental dari perusahaan.” Gumanti (2001) menyatakan bahwa “Manajemen laba tidak harus selalu dikaitkan dengan upaya untuk manipulasi data atau informasi, tetapi lebih dikaitkan dengan pemilihan metode akuntansi (accounting method) untuk
25
mengukur keuntungan yang bisa dilakukan karena memang diperkenankan menurut accounting regulations.” Definisi tersebut menggambarkan manajemen laba sebagai suatu tindakan oportunis manajer sehingga dapat me-manage earning pada tingkat yang diinginkan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat tertentu dengan cara tertentu pula. 2.1.6 Bentuk Manajemen Laba Scott (1997:306) mengemukakan bentuk-bentuk manajemen laba yang dapat dilakukan oleh manajer antara lain: 1) Taking a bath, yaitu melaporkan kerugian yang besar, serta perusahaan berada dalam keadaan yang buruk dan mengalami kemunduran kinerja yang tidak menguntungkan dan tidak dapat dihindari pada periode berjalan. Hal ini dilakukan dengan cara mengakui biaya-biaya pada periode-periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan. 2) Income minimization, yaitu penurunan tingkat laba yang diperoleh perusahaan. Manajemen laba ini dilakukan saat perusahaan memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan untuk mengurangi biaya politik. 3) Income maximization, yaitu upaya perusahaan untuk memaksimalkan tingkat laba yang diperoleh melalui pemilihan metode-metode akuntansi dan pemilihan waktu pengakuan transaksi, seperti mempercepat pencatatan, dan menunda biaya. 4) Income smoothing, manajer akan menurunkan laba jika terjadi peningkatan laba yang cukup besar, begitu pula sebaliknya, manajer akan menaikkan laba jika tingkat laba yang diperoleh dinilai rendah atau berada dibawah target.
26
Dengan demikian manajer dapat mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga perusahaan terlihat stabil dan tidak beresiko tinggi. 2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba Scott (1997:302) menjelaskan beberapa motivasi yang mendorong manajer untuk melakukan aktivitas manajemen laba adalah: 1) Kompensasi Manajemen Pada saat insentif manajer didasarkan pada kinerja keuangan perusahaan, manajer akan terdorong untuk mengutamakan kepentingan mereka dengan menampilkan kinerja yang lebih baik melalui manajemen laba. 2) Debt Covenant (kontrak hutang jangka panjang) Sejalan dengan debt hypothesis yang dikemukakan oleh Watts et al. (1986), bahwa manajer akan cenderung memilih metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba perusahaan (income increasing) jika perusahaan semakin dekat pada pelanggaran perjanjian hutang. Manajemen laba akan dilakukan bertujuan agar perusahaan secara signifikan menaikkan laba sehingga rasio debt to equity dan interest coverage berada pada tingkatan yang ditentukan. 3) Political Motivation (motivasi politik) Kebanyakan perusahaan akan melakukan manajemen laba dalam bentuk penurunan laba agar dapat mengurangi biaya politis, utamanya pada saat laba yang diperoleh perusahaan sangat tinggi. Tindakan ini dilakukan untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah, seperti subsidi, serta berkaitan dengan berbagai peraturan lain yang ditetapkan oleh pemerintah.
27
4) Taxation Motivation (motivasi perpajakan) Manajer akan memilih untuk menggunakan metode akuntansi yang dapat menghasilkan laba yang rendah, karena semakin rendah laba yang dilaporkan perusahaan, maka beban pajak yang harus dibayarkan pada pemerintah juga dapat diminimalkan. 5) Pergantian Chief Executive Officer (CEO) Bonus plan hypothesis memprediksikan bahwa seseorang CEO yang mendekati pensiun atau habis masa jabatannya akan cenderung melakukan strategi
income
maximization
untuk
mencegah
atau
membatalkan
pemecatannya. Wedari (2004) mengemukakan bahwa CEO akan melakukan take a bath untuk meningkatkan profitabilitas peningkatan laba dimasa mendatang. 6) Initial Public Offering (IPO)/Penawaran saham perdana Manajemen laba yang dilakukan pada saat
IPO bertujuan untuk
mempengaruhi persepsi pihak eksternal atas nilai perusahaan. Pada saat perusahaan go public, informasi keuangan yang terdapat dalam prospectus merupakan sumber informasi penting bagi calon investor, oleh karena itu perusahaan akan menampilkan kinerja yang baik dengan menaikkan tingkat laba untuk menarik investor. 2.1.8 Fee Audit Iskak (dalam Suharli, dkk., 2008) mendefinisikan fee audit adalah honorarium yang dibebankan oleh akuntan publik kepada perusahaan auditee atas jasa audit yang dilakukan akuntan publik terhadap laporan keuangan. Penetapan
28
biaya audit yang dilakukan oleh KAP berdasarkan perhitungan dari biaya pokok pemeriksaan yang terdiri dari biaya langsung dan tidak langsung. Biaya langsung terdiri dari biaya tenaga yaitu manager, supervisor, auditor junior dan auditor senior. Sedangkan biaya tidak langsung seperti biaya percetakan, biaya penyusunan komputer, gedung dan asuransi. Setelah dilakukan perhitungan biaya pokok pemeriksaan maka akan dilakukan tawar menawar antar klien yang bersangkutan dengan kantor akuntan publik. Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) menerbitkan Surat Keputusan No. KEP.024/IAPI/VII/2008 pada tanggal 2 Juli 2008 tentang Kebijakan Penentuan Fee Audit. Dalam bagian Lampiran 1 dijelaskan bahwa pandauan ini dikeluarkan sebagai panduan bagi seluruh Anggota Institut Akuntan Publik Indonesia yang menjalankan praktik sebagai akuntan publik dalam menetapkan besaran imbalan yang wajar atas jasa profesional yang diberikannya. Dijelaskan dalam Surat Keputusan mengenai penetapan fee audit, yang harus dipertimbangkan oleh akuntan publik adalah: a)
Kebutuhan klien;
b)
Tugas dan tanggungjawab menurut hukum;
c)
Independensi;
d) Tingkat keahlian dan tanggungjawab yang melekat pada pekerjaan yang dilakukan, serta tingkat kompleksitas pekerjaan. e)
Banyaknya waktu yang diperlukan dan secara efektif digunakan oleh akuntan publik dan sifatnya menyelesaikan pekerjaan.
f)
Basis penetapan fee yang disepakati.
29
Beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya fee audit yaitu: (a) Besar kecilnya auditee Masalah besar kecilnya fee audit menjadi krusial jika ketika kita banyak melihat yayasan ataupun organisasi nirlaba yang memerlukan jasa audit namun kondisi keuangannya minim. (b) Lokasi Kantor Akuntan Publik (KAP) Biaya overhead Kantor Akuntan Publik di daerah secara umum lebih kecil dibandingkan dengan biaya overhead di ibukota. (c) Ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP) Ketika dikaitkan dengan besar kecilnya kantor, kantor yang berdomisili di kota besar akan memiliki standar gaji yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan KAP yang terletak di kota pinggiran. Faktor-faktor diatas sangat berpengaruh terhadap penentuan fee audit yang dibebankan KAP kepada kliennya. Professional fee terbagi atas dua yaitu: (1) besaran fee dan (2) fee kontinjen (Halim, 2008:36). a)
Besaran fee Fee audit adalah biaya yang harus ditanggung klien karena telah mendapatkan jasa audit dari sebuah KAP. Besarnya fee dapat bervariasi tergantung antara lain risiko penugasan, kompleksitas jasa yang diberikan, tingkat keahlian yang diperlukan, struktur biaya KAP yang bersangkutan dan pertimbangan profesional lainnya.
30
b) Fee kontijen Fee kontijen adalah fee yang ditetapkan untuk pelaksanaan suatu jasa profesional tanpa adanya fee yang akan dibebankan, kecuali ada temuan atau hasil tertentu dimana jumlah fee tergantung pada temuan atau hasil tertentu tersebut. Fee dianggap tidak kontinjen jika ditetapkan oleh pengadilan atau badan pengatur atau dalam hal perpajakan, jika dasar penetapan adalah hasil penyelesaian hukum atau temuan badan pengatur. 2.2 Penelitian Terdahulu Penelitian yang berkaitan dengan dewan komisaris, komite audit, fungsi internal audit, manajemen laba dan fee audit yang telah dilakukan oleh penelitipeneliti sebelumnya, hasil penelitiannya dapat digunakan sebagai dasar dalam penelitian ini. Berikut ini beberapa penelitian terdahulu mengenai dewan komisaris, komite audit, fungsi internal audit, manajemen laba dan fee audit. Yatim et al. (2006) dalam “Governance Structures, Ethnicity, and Audit Fees of Malaysian Listed Firms” menguji pengaruh antara fee audit eksternal, dewan komisaris serta karakteristik komite audit. Jumlah sampel penelitian sebesar 736 perusahaan yang terdaftar di Bursa Malaysia pada tahun 2003 dengan menggunakan uji regresi berganda, peneliti menemukan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara fee audit dan independensi dewan komisaris, komite audit dan frekuensi pertemuan komite audit. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang negatif antara fee audit dan perusahaan yang dimiliki oleh pribumi (bumiputera).
31
Goodwin-Stewart et al. (2006) dalam “Relation Beetwen External Audit Fees, Audit Committee Characteristics and Internal Audit” menguji hubungan keberadaan komite audit, karakteristik komite audit, dan fungsi internal audit terhadap kenaikan fee audit eksternal. Penelitian ini menggunakan sampel dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Australian Stock Exchange (ASX) pada tahun 2000 dan menggunakan analisis Ordinary Least Squares (OLS) untuk menguji hipotesisnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan komite audit, pertemuan komite audit serta peningkatan fungsi internal audit berhubungan positif dengan kenaikan fee audit. Carcello et al. (2000) dalam “Board Characteristics and Audit Fees” menguji pengaruh antara karakteristik dewan dalam perusahaan dengan fee yang dibayarkan untuk auditor eksternal. Penelitian ini menggunakan sampel dari Fortune 1000 Companies dan menggunakan analisis OLS untuk menguji hipotesisnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan positif antara board independence, diligence and expertise dan fee audit. Abbot et al. (2003) dalam “The Association between audit committee Characteristics and Audit Fees” menguji pengaruh independensi komite audit, keahlian komite audit, dan frekuensi pertemuan komite audit terkait dengan kenaikan fee audit. Hasil analisis data menunjukkan bahwa independensi komite audit dan keahlian komite audit berpengaruh positif signifikan terhadap kenaikan fee audit. Sementara variabel frekuensi pertemuan komite audit tidak terkait dengan fee audit yang lebih tinggi.
32
Tirta, dkk. (2013) dalam “Pengaruh Kepemilikan Perusahaan dan Manajemen Laba Terhadap Tipe Auditor dan Audit Fees pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia” menguji hubungan tipe kepemilikan perusahaan dan manajemen laba terhadap besarnya fee audit. Sampel penelitian dari 85 laporan keuangan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2011. Terjadinya praktik manajemen laba diukur menggunakan akrual diskresioner berdasarkan Modified Jones Model. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh antara tipe kepemilikan perusahaan BUMN terhadap fee audit, sedangkan manajemen laba memiliki pengaruh yang signifikan terhadap besarnya fee audit dengan arah positif. Perusahaan dengan manajemen laba yang tinggi cenderung mebayar fee audit yang tinggi. 2.3 Rumusan Hipotesis 2.3.1 Hubungan antara Independensi Dewan Komisaris dengan Fee Audit Penerapan good corporate governance berguna untuk menciptakan nilai tambah bagi perusahaan karena itu perusahaan harus berjalan sesaui dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku. Sebagai pihak yang independen, komisaris independen harus bisa mencegah eksploitasi dari pemegang saham mayoritas pada pemegang saham minoritas dalam pengelolaan perusahaan (Hay et al. 2008). Prastuti (2013) menemukan bahwa independensi dewan komisaris berpengaruh positif signifikan terhadap fee audit. Penelitian tersebut memnjelaskan bahwa dewan komisaris yang independen akan menuntut kualitas yang lebih tinggi dari auditor eksternal, sehingga menyebabkan fee audit yang lebih tinggi. Hal ini
33
menunjukkan bahwa perusahaan dengan struktur governance yang kuat cenderung mencari jasa audit dengan kualitas yang lebih tinggi untuk melindungi nama baik perusahaan dan melindungi kekayaan pemegang saham. Kualitas audit yang tinggi menuntut fee audit yang lebih tinggi pula. Hasil serupa dapat ditemukan dalam penelitian Hamid et al. (2012) dan Yatim et al. (2006). Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1: Independensi dewan komisaris berpengaruh positif terhadap fee audit 2.3.2 Hubungan antara Ukuran Dewan Komisaris dengan Fee Audit Hasil penelitian dari Carcello et al. (2000) menemukan bahwa jumlah dari dewan komisaris secara signifikan mempengaruhi kemungkinan adanya kecurangan dalam laporan keuangan. Searah dengan Carcello et al. (2000), hasil penelitian yang dilakukan Beasley (1996) dalam Yatim et. al., (2006) menunjukan bahwa ukuran dewan secara signifikan mempengaruhi kemungkinan adanya kecurangan dalam laporan keuangan. Ukuran dewan yang lebih besar dianggap kurang efektif dalam memantau pelaporan keuangan yang menyebabkan penilaian audit lebih diperlukan sehingga waktu audit yang dibutuhkan lebih lama yang berakibat pada tingginya fee audit eksternal. Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa jumlah anggota komisaris yang tepat bergantung pada sektor industri perusahaan tersebut, karena akan turut menentukan jenis kompetensi yang sebaiknya dimiliki oleh dewan komisaris secara keseluruhan. Ukuran dewan komisaris yang besar akan dapat membuat proses mencari kesepakatan dan proses membuat keputusan menjadi
34
sulit dan membutuhkan waktu yang lama. Keterbatasan ini perlu diperhatikan dalam menentukan jumlah dewan komisaris (Prastuti, 2013). Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2: Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap fee audit 2.3.3 Hubungan antara Independensi Komite Audit dengan Fee Audit Independensi Komite audit, sebagai sebuah struktur yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada dewan komisaris akan memanfaatkan posisi mereka sebagai sarana meningkatkan reputasi mereka sebagai seorang ahli dalam pengendalian keputusan (Fama et al., 1983). Selama meninjau program audit dan hasilnya, independensi komite audit dapat melakukan rekomendasi kepada dewan komisaris mengenai ruang lingkup audit dalam rangka menghindari salah saji keuangan dan mempertahankan reputasi modal. Hal ini menunjukkan bahwa independensi komite audit menuntut tingkat yang lebih besar dari kepastian audit. The Blue Ribbon Committee (1999) merekomendasikan bahwa komite audit yang independen memiliki anggota yang lebih banyak, dan sering mengadakan dan melaksanakan rapat diharapkan akan meningkatkan pengawasan komite audit terhadap proses pelaporan keuangan. Komite audit yang independen akan lebih baik dalam hal perlindungan reliabilitas proses akuntansi dan memajukan objektivitas dari komite audit. Hal itu akan memperkuat pengendalian internal dan mengarah kepada berkurangnya risiko pengendalian. Oleh karena itu, pengujian substantif dapat dikurangi sehingga diharapkan dapat memperkecil fee audit. Pernyataan tersebut mendukung penelitian dari Lifschutz et. al., (2010) yang
35
menemukan adanya pengaruh negatif antara independensi komite audit terhadap fee audit. Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3: Independensi komite audit berpengaruh negatif terhadap fee audit 2.3.4 Hubungan antara Ukuran Komite Audit dengan Fee Audit Braoitta (2000) dalam Yatim et al. (2006) menyatakan bahwa rekomendasi jumlah komite audit konsisten dengan keinginan untuk meningkatkan status organisasi komite audit. Sesuai dengan rekomendasi dari Blue Ribbon Company (1999), bahwa komite audit yang lebih independen, memiliki anggota lebih banyak, dan sering mengadakan rapat diharapkan akan meningkatkan pengawasan komite audit terhadap proses pelaporan keuangan. Berdasarkan rekomendasi dari The Blue Ribbon Company tersebut penelitian ini berpendapat bahwa ukuran komite audit yang lebih besar akan meningkatkan kualitas laporan keuangan yang berakibat pada rendahnya fee audit eksternal. Searah dengan penelitian Nadia dkk. (2013) yang menemukan bahwa ukuran komite audit berpengaruh negatif terhadap fee audit eksternal. Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H4: Ukuran komite audit berpengaruh negatif terhadap fee audit 2.3.5 Hubungan antara Intensitas Pertemuan Komite Audit dengan Fee Audit Razman et al. (2004) mengamati di Malaysia bahwa perusahaan memiliki pelaporan bagus ketika mereka bertemu lebih sering karena mereka dapat
36
memantau kegiatan manajemen. Searah dengan penelitian Goodwin-Stewart at al. (2006) pertemuan komite audit berhubungan dengan kenaikan fee audit. Hal ini konsisten dengan permintaan peningkatan kualitas audit oleh komite audit, dimana perusahaan dengan struktur governance yang baik memiliki permintaan kualitas audit yang lebih tinggi, sehingga meningkatkan fee audit eksternal. Kenaikan biaya karena waktu tambahan yang dikeluarkan oleh auditor yang mempersiapkan untuk menghadiri pertemuan dengan anggota komite audit yang dapat mengakibatkan fee audit meningkat. Berdasarkan teori dan hasil penelitianpenelitian sebelumnya tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H5: Intensitas pertemuan komite audit berpengaruh positif terhadap fee audit 2.3.6 Hubungan antara Manajemen Laba dengan Fee Audit Praktik manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan yang berada diluar jalur yang sesuai atau dengan kata lain melanggar Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) menyebabkan auditor eksternal akan memperluas scope pemeriksaan auditnya. Surat perikatan audit (audit engagement letter) merupakan surat persetujuan antara auditor dengan kliennya tentang syarat-syarat pekerjaan audit yang akan dilaksanakan oleh auditor. Menurut SA Seksi 320 (PSA No. 55) isi surat perikatan audit wajib adanya surat pernyataan manajemen yang kemudian menjadi tanggung jawab perusahaan dalam hal membebaskan dan mengganti rugi kepada KAP yang bersangkutan dan stafnya atas segala tuntutan kewajiban, dan biaya-biaya yang akan dikeluarkan sebagai akibat dari kesalahan pernyataan manajemen berkaitan dengan jasa audit yang diberikan sesuai dengan perikatan
37
tersebut. Hal ini menjelaskan bahwa jika terjadi praktik manajemen laba di dalam perusahaan klien maka auditor cenderung akan memperluas scope pemeriksaan audit karena memerlukan penilaian audit yang lebih, sehingga waktu audit yang diperlukan oleh staf Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk melaksanakan audit menjadi lebih lama. Perubahan waktu yang diperlukan diluar perencanaan audit menyebabkan perubahan tarif per jam dari staf KAP tersebut sesuai dengan tingkat tanggung jawab yang dipikul dan pengalaman serta keahlian yang diperlukan. Keadaan tersebut mengakibatkan munculnya biaya-biaya lain diluar perencanaan audit sebagai akibat dari kesalahan pernyataan manajemen. Biaya tambahan tersebut akan berakibat perubahan pada fee audit yang diberikan kepada auditor. Chaney et al. (dalam Van Cameghem, 2009) menemukan bahwa perusahaan membayar fee audit lebih tinggi karena menggunakan jasa auditor dalam mengaudit laporan keuangannya yang merupakan alat monitor bagi stakeholders. Pambudi dkk. (2013) dalam penelitiannya juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat manajemen laba yang tinggi terhadap fee audit. Hasil penelitian tersebut menguatkan temuan dari Van Cameghem (2009) yang menyatakan bahwa perusahaan dengan tingkat manajemen laba yang tinggi lebih cenderung untuk membayar fee audit yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki tingkat manajemen laba yang rendah. Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H6 : Manajemen laba berpengaruh positif terhadap fee audit
38
Gambar 2.1 Kerangka Rumusan Hipotesis
Independensi Dewan Komisaris (X1) H1 Ukuran Dewan Komisaris (X2) H2 Independensi Komite Audit (X3)
H3 H4
Ukuran Komite Audit (X4) H5 Intensitas Pertemuan Komite Audit (X5) H6 Manajemen Laba (X6)
Ukuran Perusahaan (X7) Sumber: Data Diolah, 2015
39
Fee Audit (Y)