BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Theory of Planned Behavior Menurut Feld & Frey (2007) penelitian mengenai kepatuhan pajak, dapat dilihat dari sisi psikologi wajib pajak. Pendekatan melalui aspek psikologi dilakukan mengingat dalam suatu negara yang menganut demokrasi, hubungan antara pembayar pajak dengan otoritas pajak dapat dilihat sebagai suatu kontrak psikologi. Suatu kontrak psikologi menuntut adanya hubungan yang setara antara pembayar pajak tergantung dari seberapa besar kedua belah pihak saling mempercayai dan mematuhi atau memenuhi komitmen dalam kontrak psikologi (Hidayat, 2010) Kajian dalam bidang psikologi mengenai faktor yang mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak, salah satunya adalah melalui Theory of Planned Behavior (TPB) (Ajzen, 1991) dalam (Hidayat, 2010). Berdasarkan model TPB, menurut Ajzen (1991), dapat dijelaskan bahwa perilaku individu untuk patuh terhadap ketentuan perpajakan ditentukan oleh niat (intention). Niat untuk berperilaku dipengaruhi oleh tiga factor sebagai berikut. 1) Behavioral belief Keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku (outcome belief) dan evaluasi terhadap hasil dari keyakinan tersebut. Keyakinan dan evaluasi terhadap hasil ini akan membentuk variabel sikap (attitude).
1
2) Normatif belief Keyakinan individu tentang harapan normatif orang lain yang menjadi rujukannya, seperti keluarga, teman, dan konsultan pajak serta motivasi untuk mencapai harapan tersebut. Harapan normatif ini membentuk veriabel norma subjektif (subjective norm). 3) Control belief Keyakinan individu tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilakunya dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal tersebut mempengaruhi perilakunya. Control belief membentuk variabel kontrol perilaku yang dipersepsikan (perceived behavioral control). Menurut Ajzen (1991) sikap yang mendorong perilaku (attitude toward behavior) merupakan derajat dimana seseorang memiliki evaluasi atau penilaian positif atau negatif terhadap perilaku yang akan ditampilkan. Respon positif atau negatif itu adalah hasil proses evaluasi (outcome evaluation) terhadap keyakinan (behavioral belief strength) individu yang mendorong perilaku. Pengertian norma subjektif (subjective norm) adalah persepsi tekanan sosial untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu. Norma subjektif merupakan fungsi dari harapan yang dipersepsikan (injunctive normative beliefs) individu dimana satu atau lebih orang di sekitarnya (misalnya, saudara, teman sejawat) menyetujui perilaku tertentu dan memotivasi individu (motivation to comply) tersebut untuk mematuhi mereka (Ajzen, 1991). Penelitian ini menggunakan satu indikator yang digunakan sebagai motivasi wajib pajak untuk berperilaku patuh yaitu pengaruh akuntabilitas pelayanan publik.
2
Pengertian kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral control) Ajzen (1991) mendefinisikan sebagai persepsi kemudahan atau kesulitan untuk melakukan perilaku. Semakin besar (power of control) semakin besar pula niat seseorang untuk melakukan perilaku yang sedang dipertimbangkan. Indikator yang digunakan sebagai kontrol pada penelitian ini adalah sanksi perpajakan. Sanksi pajak dibuat adalah untuk mendukung agar wajib pajak mematuhi peraturan perpajakan. Kepatuhan wajib pajak akan ditentukan berdasarkan persepsi wajib pajak tentang seberapa kuat sanksi pajak mampu mendukung perilaku wajib pajak untuk taat pajak. Behavioral beliefs, normative beliefs, dan control beliefs sebagai tiga faktor yang menentukan seseorang untuk berperilaku. Setelah terdapat tiga faktor tersebut, maka seseorang akan memasuki tahap intention, kemudian tahap terakhir adalah behavior. Tahap intention merupakan tahap dimana seseorang memiliki maksud atau niat untuk berperilaku, sedangkan behavior adalah tahap seseorang berperilaku (Mustikasari, 2007).
2.1.2 Pengertian Pajak Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2007 Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Menurut Soemitro dalam Resmi (2007:1), pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
3
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2009:1). Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur–unsur pajak adalah sebagai berikut: 1) iuran masyarakat kepada negara 2) berdasarkan undang-undang ( yang dapat dipaksakan ) 3) tanpa jasa timbal (prestasi) dari negara yang dapat langsung di tunjuk 4) untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang bersifat umum Rusyadi (2009), mengatakan pajak merupakan sumber pendanaan bagi Pemerintah dalam melaksanakan tanggung jawab Negara untuk mengatasi masalah sosial, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran serta menjadi kontrak sosial antara warga negara dengan Pemerintah.
2.1.3 Fungsi Pajak Pajak bagi Negara mempunyai fungsi yang sangat penting karena pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi Negara dalam menjalankan roda pemerintah. Terdapat dua fungsi pajak (Mardiasmo, 2011:1) yaitu. 1) Fungsi anggaran (budgetair) Pajak
sebagai
sumber
dana
bagi
pemerintah
untuk
membiayai
pengeluaran-pengeluarannya. Misalnya, pajak dimasukkan dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.
4
2) Fungsi mengatur (regulerend) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Misalnya, pajak yang tinggi dikenakan pemerintah dalam bidang sosial untuk mengurangi konsumsi minuman keras di masyarakat, tarif pajak yang tinggi dikenakan pada kepemilikan kendaraan pribadi seperti mobil yang dikenakan pajak progresif untuk mengurangi kepemilikan mobil agar mengurangi kemacetan lalu lintas, serta tarif 0% dikenakan pada ekspor untuk meningkatkan ekspor produk dalam negeri.
2.1.4 Pengelompokkan Pajak Pada dasarnya pajak dikelompokkan karena setiap pajak yang dipungut memiliki kriteria sifat dan kegunaan yang berbeda-beda. Menurut Mardiasmo (2009:5), pajak dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu. 1) Menurut Golongannya (1) Pajak Langsung adalah pajak yang bebannya harus dipikul oleh wajib pajak yang bersangkutan dalam pengertian administratif, pajak langsung adalah pajak yang dipungut secara berkala, seperti pajak penghasilan. (2) Pajak Tidak Langsung adalah pajak-pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada pihak ketiga atau konsumen. Pajak tidak langsung dalam pengertian administratif adalah pajak yang dipungut atas peristiwa atau perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak,
5
misalnya terjadi penyerahan barang-barang pembuat akta, seperti pajak Pertambahan Nilai dan Bea Materai. 2) Menurut Sifatnya (1) Pajak
Subjektif
(bersifat
perorangan)
adalah
pajak
yang
memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak, untuk menetapkan pajaknya harus ditemukan alasan-alasan yang objektif yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya yaitu yang disebut daya pikul, seperti pajak penghasilan. (2) Pajak Objektif (bersifat kebendaan) adalah pajak yang melihat kepada objeknya baik itu berupa benda, dapat pula berupa keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian baru dicari subjeknya, seperti Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3) Menurut Lembaga Pemungutnya (1) Pajak Negara (Pajak Pusat), adalah pajak yang dipungut pemerintah pusat yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Departemen Keuangan dan hasilnya akan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada umumnya, seperti Pajak Penghasilan, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Materai, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (2) Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh daerah seperti Provinsi, Kabupaten, maupun Kotamadya berdasarkan peraturan daerah masing-
6
masing dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga daerah masing-masing, seperti Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Reklame, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Penerangan Jalan dan Pajak Parkir.
2.1.5 Cara Pemungutan Pajak Cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan tiga stelsel (Mardiasmo, 2011:6) yaitu. a) Stelsel nyata (riil stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. b) Stelsel anggapan (fictive stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. c) Stelsel campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebernarnya.
7
2.1.6 Syarat Pemungutan Pajak Pemungutan menimbulkan
pajak
hambatan
harus atau
memenuhi perlawanan
beberapa
syarat
(Mardiasmo,
agar
2011:2).
tidak Syarat
pemungutan tersebut antara lain sebagai berikut. 1) Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan) Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam undang-undang diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan
kemampuan
masing-masing.
Sedangkan
adil
dalam
pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam membayar dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. 2) Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis). Di Indonesia, pajak harus diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi Negara maupun warganya. 3) Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis) Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. 4) Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansiil) Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
8
5) Sistem pemungutan pajak harus sederhana Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.
2.1.7 Sistem Pemungutan Pajak Dalam sistem perpajakan dikenal official assessment system, self assessment system dan with holding system. Rahayu (2010:101) dalam bukunya menguraikan sistem tersebut sebagai berikut. a. Official Assessment System merupakan sistem perpajakan dimana inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di pihak fiskus. Jadi dalam sistem ini Wajib Pajak bersifat pasif sedangkan fiskus bersikap aktif. Menurut sistem ini utang pajak timbul apabila telah ada ketetapan pajak dari fiskus. b. Self Assessment System adalah sistem pemungutan pajak dimana Wajib Pajak
harus
menghitung,
memperhitungkan,
membayar,
dan
melaporkan jumlah pajak yang terutang. Aparat pajak hanya bertugas melakukan penyuluhan dan pengawasan untuk mengetahui kepatuhan Wajib Pajak. Upaya untuk mensukseskan sistem tersebut dibutuhkan beberapa prasyarat Wajib Pajak antara lain. 1. Kesadaran Wajib Pajak 2. Kejujuran dan kedisiplinan Wajib Pajak 3. Kemauan membayar pajak dari Wajib Pajak
9
c. With Holding System adalah sistem pemungutan pajak yang mana besarnya pajak terutang dihitung dan dipotong oleh pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud disini antara lain pemberi kerja, dan bendaharawan pemerintah. Sebagaimana telah diketahui bahwa dengan reformasi perpajakan tahun 1983, sistem perpajakan di Indonesia menganut self assessment system. Dari sistem tersebut yang paling utama yaitu adanya kewajiban Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Harapan agar sistem perpajakan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik diperlukan adanya kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak serta penegakan hukumnya.
2.1.8 Pengertian Wajib Pajak Wajib pajak menurut Pasal 1 Ayat 2 UU KUP No. 28 Tahun 2007 adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib pajak merupakan orang atau badan yang memenuhi syarat-syarat subyektif dan syarat-syarat obyektif. Orang yang memenuhi syarat subyektif merupakan subyek pajak, tetapi belum tentu merupakan wajib pajak sebab untuk menjadi wajib pajak, subyek pajak tersebut harus memenuhi syarat-syarat obyektif yaitu menerima atau memperoleh penghasilan kena pajak.
10
2.1.9 Pajak Daerah Pajak daerah dipungut berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tersebut mengalami perubahan menjadi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 dan kini telah diubah kedua kalinya menjadi Undang-undang 28 Tahun 2009. Berdasarkan Undang-undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang dan dapat dipaksakan berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku, serta digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut, Pajak Daerah dapat digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu. 1)
Pajak Daerah Tingkat I (Provinsi), meliputi: a. Pajak Kendaraan Bermotor; b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak Air Permukaan; e. Pajak Rokok.
2)
Pajak Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota), meliputi: a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan;
11
d. Pajak Reklama; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g. Pajak Parkir.
2.1.10 Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Menurut Undang- undang Nomor 34 Tahun 2000, pajak kendaraan bermotor merupakan bagian dari pajak daerah jenis pajak provinsi yang dipungut melalui instansi Kantor Bersama SAMSAT tiap Kabupaten/ Kota. Definisi Pajak Kendaraan Bermotor yang disingkat PKB menurut Peraturan Gubernur Bali Nomor 31 Tahun 2006 adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 menguraikan dalam: 1) Pasal 1 butir 2 bahwa Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih serta gandenganya yang digunakan disemua jenis jalan darat, dan digerakan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainya yang berfungsi mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat- alat berat dan alat- alat besar yang bergerak. 2) Pasal 3 butir 1 bahwa Subyek Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan bermotor. 3) Pasal 3 butir 2 bahwa Wajib Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang memiliki kendaraan bermotor.
12
4) Pasal 2 butir 1 bahwa Obyek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasa kendaraan bermotor. 5) Pasal 2 butir 2 bahwa dikecualikan sebagai Obyek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasa kendaraan bermotor oleh: a) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; b) Kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing, dan perwakilan lembagalembaga internasional dengan asas timbal balik; c) Subyek Pajak lainya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
2.1.11 Dasar Hukum Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Pemungutan PKB di Indonesia saat ini didasarkan pada dasar hukum yang jelas dan kuat sehingga harus dipatuhi oleh masyarakat dan pihak yang terkait. Dasar hukum pemungutan PKB pada suatu provinsi adalah sebagai berikut. 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. 3. Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah. 4. Peraturan Gubernur Bali Nomor 28 Tahun 2012 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor Dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
2.1.12 Objek dan Subjek Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Obyek Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) menurut Peraturan Gubenur Bali Nomor 28 Tahun 2005 Bab II Pasal 3 dan 4, menyebutkan obyek Pajak
13
Kendaraan Bermotor (PKB) adalah pemilik dan atau penguasaan kendaraan bermotor. Dikecualikan dari obyek pajak antara lain. 1) Kendaraan Bermotor Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/ Kota, Pemerintah Kecamatan dan Pemerintah Desa atau Pemerintah Kelurahan. 2) Kendaraan Bermotor Kedutaan, Konsulat Perwakilan Negara Asing dan Perwakilan Lembaga-lembaga Internasional dengan asas timbal balik sebagaimana berlaku untuk pajak negara. 3) Kendaraan bermotor wisata mancanegara yang berada di wilayah Provinsi Bali untuk jangka waktu 60 hari berturut- turut. 4) Kendaraan bermotor yang digunakan sebagai pemadam kebakaran. 5) Kendaraan bermotor yang disegel atau disita oleh Negara atau tersangkut perkara pidana. Subyek Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) menurut Pasal 5 Peraturan Gubenur Bali Nomor 28 Tahun 2005 disebutkan: 1)
Subyek Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan atau menguasai kendaraan bermotor.
2)
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki kendaraan bermotor.
3)
Yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak adalah : a) Untuk orang pribadi adalah orang yang bersangkutan, kuasanya atau ahli warisnya. b) Untuk badan adalah penguasa atau kuasanya.
14
2.1.13 Tarif dan Dasar Perhitungan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Tarif pajak yang berlaku pada Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) adalah tarif sebanding/proposional yaitu suatu tarif berupa persentase yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenakan pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proposional terhadap nilai yang dikenakan pajak. Peraturan Gubernur Bali Nomor 31 Tahun 2006 menyatakan bahwa perhitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) berdasarkan perkalian nilai jual kendaraan bermotor dan bobot yang mencerminkan serta relatif kadar kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. Bobot untuk menghitung dasar pengenaan PKB, dihitung berdasarkan faktor- faktor yang meliputi. 1)
Tekanan gandar;
2)
Jenis bahan bakar kendaraan bermotor; dan
3)
Jenis, penggunaan, tahun pembuatan dan ciri- ciri mesin dari kendaraan bermotor.
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut. 1) Sedan, Sedan Station, Jeep, Station Wegon, Minibus, Microbus, Bus, Sepeda Motor dan sejenisnya serta alat- alat berat dan alat- alat besar, sebesar 1,00; 2) Mobil Barang/ Beban, sebesar 1,30. Dasar pengenaan PKB untuk kendaraan umum ditetapkan 40% (empat puluh persen) sampai 60% (enam puluh persen) dari dasar pengenaan PKB sebagai tercantum dalam kolom 8 Lampiran 1 Peraturan Gubernur Bali Nomor 31 Tahun 2006 tersebut.
15
2.1.14 Ketentuan Kewajiban Membayar Pajak, Tata Cara Perpajakan dan Persyaratan Membayar Pajak pada Kantor SAMSAT Adapun ketentuan mengenai kewajiban membayar pajak menurut Pasal 10 UU No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara disebutkan bahwa: 1) Wajib pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang di kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 2) Tata cara pembayaran, penyetoran pajak dan pelaporan serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. Adapun persyaratan untuk membayar pajak kendaraan bermotor adalah sebagai berikut. 1) Mengisi formulir Surat Pendaftaran dan Pendataan Kendaraan Bermotor (SPPKB) yang sekaligus berfungsi sebagai pernyataan tidak terjadi perubahan sepesifikasi kendaraan bermotor. 2) Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) asli. 3) Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) asli. 4) Kartu Tanda Penduduk (KTP) sesuai alamat pada STNK. 5) Bukti pelunasan PKB dan Surat Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) atau Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) yang telah divalidasi tahun terakhir.
16
2.1.15 Sosialisasi Perpajakan Menurut Hendarsyah (2009) sosialisasi adalah sebagai suatu proses dimana orang-orang mempelajari sistem nilai, norma dan pola perilaku yang diharapakan oleh kelompok sebagai bentuk transformasi dari orang tersebut sebagai orang luar menjadi organisasi yang efektif. Sosialisasi perpajakan merupakan suatu upaya dari Dirjen Pajak untuk memberikan pengertian, informasi dan pembinaan kepada masyarakat dan wajib pajak mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan dan perundang-undangan perpajakan (Adiyati, 2009). Dari pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa sosialisasi perpajakan merupakan upaya Dirjen Pajak khususnya kantor SAMSAT untuk memberikan pengertian, informasi dan pembinaan kepada masyarakat pada umumnya dan khususnya wajib pajak mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan dan perundang-undangan perpajakan. Dengan adanya sosialisasi perpajakan diharapkan dapat terciptanya partisipasi yang efektif di masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajiban sebagai wajib pajak dalam memenuhi hak dan kewajibannya. Menurut Adiyati (2009) dalam melakukan sosialisasi perlu adanya strategi dan metode yang tepat yang dapat diaplikasikan dengan baik yaitu, publikasi, kegiatan, pemberitahuan, keterlibatan komunitas, pencantuman identitas dan pendekatan pribadi.
17
(1) Publikasi (Publication) Adalah aktivitas publikasi yang dilakukan melaui media komunikasi setempat, baik media cetak seprti surat kabar, majalah maupun media audio visual seperti radio ataupun televisi. (2) Kegiatan (Event) Institusi pajak dapat melibatkan diri pada penyelenggaraan aktivitasaktivitas tertentu yang dihubungkan dengan program peningkatan kesadaran masyarakat akan perpajakan pada momen-momen tertentu, misalnya kegiatan olahraga, hari-hari libur nasional dan lain sebagainya. (3) Pemberitaan (News) Pemberitaan dalam hal ini mempunyai pengertian khusus yaitu menjadi bahan berita dalam arti positif, sehingga menjadi sarana promosi yang efektif. Pajak dapat disosialisasikan dalam bentuk berita kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat lebih cepat menerima informasi tentang pajak. (4) Keterlibatan Komunitas (Community Involvement) Melibatkan komunitas yang pada dasarnya adalah cara untuk mendekatkan institusi pajak dengan masyarakat dimana iklim budaya indonesia masih menghendaki adat ketimuran untuk bersilaturahmi dengan tokoh setempat sebelum institusi pajak dibuka. (5) Pencantuman Identitas (Identity) Berkaitan dengan pencantuman logo otoritas pajak pada berbagai media yang ditujukan sebagai sarana promosi.
18
(6) Pendekatan Pribadi (Lobbying) Pengertian lobbying adalah pendekatan pribadi yang dilakukan secara informal untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan cara penyampaiannya, metode sosialisasi perpajakan dibagi menjadi dua yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung berarti sosialisasi perpajakan dilakukan dengan berhadapan atau bertatap muka, maupun tanpa tatap muka dimana penyuluh dan yang disuluh terjadi suatu komunikasi interaktif pada waktu yang bersamaan. Bentuk sosialisasi perpajakan secara langsung, misalnya sosialisasi dalam bentuk ceramah, diskusi, seminar, wawancara, tanya jawab, ataupun siaran interaktif di media elektronik (Vivien, 2005). Adapun metode sosialisasi perpajakan tidak langsung dilaksanakan dengan menggunakan media cetak maupun elektronik, dimana antara penyuluh dan yang disuluh tidak terjadi komunikasi interaktif. Misalnya melalui iklan layanan masyarakat yang disiarkan di radio-radio dan televisi,serta koran atau majalah. Tujuan sosialisasi perpajakan secara khusus adalah mendorong kesediaan dan kepatuhan wajib pajak untuk membayar pajak. Melalui sosialisasi perpajakan diharapkan pula pengetahuan dan kesadaran masyarakat wajib pajak untuk memperoleh hak dan melaksanakan kewajiban perpajakan semakin meningkat.
2.1.16 Sanksi Perpajakan Terdapat undang-undang yang mengatur tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Sanksi adalah suatu tindakan berupa hukuman yang diberikan kepada orang yang melanggar peraturan. Sanksi diperlukan agar peraturan atau
19
undang-undang tidak dilanggar. Agar peraturan perpajakan dipatuhi, maka harus ada sanksi perpajakan bagi para pelanggarnya. Definisi sanksi pajak menurut Mardiasmo (2008:57) adalah sebagai berikut: “Sanksi pajak merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi. Atau bisa dengan kata lain sanksi pajak merupakan alat pencegah (preventif) agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan.” Dengan diberikannya sanksi terhadap wajib pajak yang lalai maka wajib pajak pun akan berfikir dua kali jika dia akan melakukan tindak kecurangan atau dengan sengaja lalai dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, sehingga wajib pajak pun akan lebih memilih patuh dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakannya daripada dia harus menanggung sanksi yang diberikan. Hal serupa juga dikemukakan oleh M.Zain (2007:35) yaitu. ”Sesungguhnya tidak diperlukan suatu tindakan apapun, apabila dengan rasa takut dan ancamam hukuman (sanksi dan pidana) saja wajib pajak sudah akan mematuhi kewajiban perpajakannya. Perasaan takut tersebut merupakan alat pencegah yang ampuh untuk mengurangi penyelundupan pajak atau kelalaian pajak. Jika hal ini sudah berkembang dikalangan para wajib pajak maka akan berdampak pada kepatuhan dan kesadaran untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.” Dalam Mardiasmo (2008:57) undang-undang perpajakan dikenal ada dua macam sanksi, yaitu sanksi pidana dan sanksi administrasi. Sanksi pidana merupakaan siksaan atau penderitaan, suatu alat pencegah atau banteng hukum yang digunakan fiskus agar norma perpajakan dipatuhi. Sedangkan sanksi
20
administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada negara khsususnya yang berupa bunga dan kenaikan. Mardiasmo (2008:57) menjelaskan bahwa menurut ketentuan dalam undang-undang perpajakan ada 3 macam sanksi pidana antara lain sebagai berikut. 1. Denda pidana merupakan sanksi yang dikenakan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran maupun bersifat kejahatan. 2. Pidana kurungan merupakan sanksi yang hanya dikenakan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran. 3. Pidana penjara seperti halnya pidana kurungan, merupakan hukuman perampasan kemerdekaan. Pidana penjara diancamkan terhadap kejahatan. Selanjutnya Devano dan Rahayu (2006:58) menjelaskan bahwa menurut ketentuan dalam undang-undang perpajakan ada 3 macam sanksi administrasi yaitu: 1. Denda merupakan sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan kewajiban pelaporan. 2. Bunga merupakan sanski administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan kewajiban pembayaran pajak. 3. Kenaikan merupakan sanksi yang berupa kenaikan jumlah pajak yang harus dibayar, terhadap pelanggaran berkaitan dengan kewajiban yang diatur dalam ketentuan material. Pandangan tentang sanksi perpajakan tersebut diukur dengan indikator (Yadnyana, 2009 dalam Muliari dan Setiawan, 2010) sebagai berikut :
21
a. Sanksi pidana yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak cukup berat. b. Sanksi adminstrasi yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak sangat ringan. c. Pengenaan sanksi yang cukup berat merupakan salah satu sarana mendidik wajib pajak. d. Sanksi pajak harus dikenakan kepada pelanggarnya tanpa toleransi. e. Pengenaan sanksi atas pelanggaran pajak dapat dinegosiasikan.
2.1.17 Persepsi Tentang Akuntabilitas Pelayanan Publik Kamus besar bahasa Indonesia (1995) dalam Devi dan Kautsar (2011) mendefinisikan persepsi sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indera. Dapat disimpulkan persepsi merupakan pemikiran seseorang terhadap apa yang dialami secara langsung yang juga dipengaruhi oleh pengetahuan sebelumnya. Menurut Agus Nugroho Jatmiko (2006) Persepsi seseorang kepada orang lain sangat dipengaruhi kondisi eksternal dan internal. Penentuan kondisi eksternal maupun internal dipengaruhi tiga faktor (Robbins dalam Agus Nugroho Jatmiko;2006) yaitu kekhususan, konsensus dan konsistensi. Kekhususan merupakan persepsi seseorang mengamati perilaku individu lain secara berbeda dalam situasi yang berlainan. Kekhususan yang luar biasa akan dianggap sebagai faktor internal dan sebaliknya bila perilaku individu dianggap biasa maka dianggap sebagai faktor eksternal. Konsensus adalah kesamaan pandangan seseorang satu dengan yang lain dalam mengamati perilaku individu lain dalam situasi yang sama. Konsensus yang
22
tinggi dianggap sebagai faktor internal sedangkan konsensus yang rendah dianggap sebagai faktor eksternal. Faktor terakhir yaitu konsistensi yang merupakan respon seseorang terhadap individu lain yang selalu sama dari waktu ke waktu. Semakin konsisten
sikap orang lain tersebut maka hal tersebut
dianggap sebagai faktor-faktor internal. Namun pada kenyataannya seseorang menganggap jika dalam kesuksesan maka persepsi mereka dipengaruhi hal-hal internal. Sebaliknya bila mengalami kegagalan hal-hal tersebut dipengaruhi secara eksternal. Secara sederhana pelayanan publik dapat diartikan pelayanan yang ditujukan pada orang banyak (masyrakat/publik). Secara teoritis sedikitnya terdapat tiga fungsi utama yang harus dijalankan pemerintah tanpa memandang tingkatnya yaitu public service function (fungsi pelayanan masyarakat), development function (fungsi pembangunan), dan protection function (fungsi perlindungan). Akuntabilitas
pada
mempertanggungjawabkan
dasarnya
adalah
tugas-tugas
pada
kewajiban publik
pemerintah karena
untuk
pemerintah
dibentuk/dibuat oleh publik dan untuk publik (Armunanto, 2005). Akuntabilitas Publik terdiri dari 2 macam yaitu: a)
Pertanggungjawaban
Vertikal
(Vertical
Accountability)
adalah
pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya pertanggungjawaban unit-unit kerja (dinas) kepada pemerintah daerah, pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.
23
b)
Pertanggungjawaban Horizontal (Horizontal Accountability) adalah pertanggungjawaban masyarakat luas. Dalam konteks organisasi pemerintah, akuntabilitas publik adalah
pemberian informasi dan pernyataaan atas aktivitas dan kinerja keuangan pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan tersebut. Pemerintah pusat maupun daerah, harus bisa menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik. Tuntutan akuntabilitas publik mengharuskan lembaga-lembaga sektor publik untuk lebih menekankan pada pertanggungjawaban horizontal dan bukan hanya pertanggungjawaban vertikal. Penyelenggaraan pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada publik maupun kepada atasan/pimpinan unit pelayanan instansi pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik dibagi atas empat dimensi yang meliputi. 1)
Fasilitas fisik yakni berkenaan dengan daya tarik fasilitas fisik, perlengkapan, dan material yang digunakan kantor Samsat.
2)
Daya tangkap yakni keinginan dan kesiapan para pegawai Samsat untuk membantu para wajib pajak dan merespon permintaan mereka serta menginformasikan kapan jasa akan diberikan dan kemudian memberikan layanan secara tepat.
3)
Pelayanan
yakni komitmen untuk merealisasikan konsep
yang
berorientasi pada wajib pajak, menetapkan suatu standar kinerja pelayanan dengan memberikan perilaku teladan kepada wajib pajak setiap saat dalam upaya kewajiban membayar pajak.
24
4)
Hubungan komunikasi yakni bagaimana kantor Samsat memahami masalah wajib pajak dan bertindak demi kepentingan wajib pajak.
2.1.18 Kepatuhan Perpajakan Menurut kamus umum bahasa Indonesia (Jatmiko, 2006), kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam hal pajak, aturan yang berlaku adalah aturan perpajakan. Wajib pajak merupakan orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotong pajak, dan pemungutan pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Mardiasmo, 2011). Dalam hubungannya dengan kepatuhan perpajakan, Rahayu (2010) mengatakan bahwa “pada prinsipnya kepatuhan perpajakan adalah tindakan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara”. Kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak Kendaraan Bermotor menurut Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 1 Tahun 2011 adalah sebagai berikut: 1)
Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Kendaraan Bermotor (SPPKB), Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Daerah (SPTPD).
2)
Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
3)
Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindakan pidana dibidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.
25
Pengertian kepatuhan wajib pajak menurut Chaizi Nasucha yang dikutip oleh Rahayu (2010:139), menyatakan bahwa kepatuhan wajib pajak dapat didefinisikan dari: a. kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri; b. kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT); c. kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang; dan d. kepatuhan dalam pembayaran tunggakan. Kepatuhan wajib pajak dapat dibedakan menjadi kepatuhan formal dan kepatuhan material (Rahayu, 2010:138). a. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. b. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara hakekatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan yaitu sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material juga dapat meliputi kepatuhan formal. Nowak ( 2007) mengemukakan kepatuhan perpajakan sebagai suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi dimana. 1)
wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
2)
mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas;
3)
membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.
26
2.2 Pembahasan hasil penelitian sebelumnya Penelitian-penelitian sebelumnya menjadi suatu acuan bagi penelitian ini untuk dilakukan, antara lain penelitian yang dilakukan Indah (2012) yang berjudul “Pengaruh kesadaran wajib pajak, pemeriksaan pajak, sanksi perpajakan dan kualitas pelayanan pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung Utara”. Penelitian ini menyatakan kesadaran wajib pajak berpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung Utara. Pemeriksaan pajak berpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung Utara. Sanksi perpajakan berpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung Utara. Kualitas pelayanan berpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung Utara. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sama-sama menggunakan variabel kesadaran wajib pajak dan sanksi perpajakan sebagai variabel bebas dan menggunakan kepatuhan wajib pajak sebagai variabel terikat. Sedangkan perbedaan penelitian ini terletak pada variabel bebas ( penambahan variabel akuntabilitas pelayanan publik ), objek penelitian, tahun serta lokasi penelitian. Penelitian oleh Christina dan Kepramarini (2012) dengan judul “Pengaruh kewajiban moral, kualitas pelayanan dan sanksi perpajakan pada kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) di Kantor Bersama Samsat Denpasar” menggunakan teknis analisis data regresi linear berganda. Hasil
27
penelitian ini adalah kewajiban moral berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak, kualitas pelayanan berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak, dan variabel sanksi perpajakan juga berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) di Kantor Bersama Samsat Denpasar. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada salah satu variabel bebas yang digunakan yaitu sanksi perpajakan, dan variabel terikat, sedangkan perbedaannya terdapat pada lokasi, waktu penelitian, variabel bebasnya kewajiban moral dan kualitas pelayanan. Prasmini (2012) meneliti tentang pengaruh kualitas pelayanan, sosialisasi perpajakan dan persepsi tentang sanksi perpajakan terhadap kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Barat. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Barat, sosialisasi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Barat, dan persepsi tentang sanksi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Barat. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumya adalah sama-sama menggunakan variabel kepatuhan wajib pajak sebagai variabel terikat. Sedangkan perbedaan penelitian ini terletak pada variabel bebas
28
(penambahan kesadaran wajib pajak), objek dan tahun penelitian serta lokasi penelitian. Penelitian oleh Pancawati dan Nila (2011) dengan judul “Faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan membayar pajak di KPP Pratama Jepara khususnya di dua kecamatan yaitu di Kecamatan Tahunan dan Kecamatan Jepara”. Variabel yang diteliti adalah kesadaran membayar pajak, pengetahuan peraturan perpajakan, pemahaman peraturan perpajakan, persepsi efektivitas sistem perpajakan, dan kualitas pelayanan. Teknis analisis yang digunakan regresi linear berganda. Hasil penelitian ini adalah kesadaran membayar pajak signifikan berpengaruh positif terhadap kemauan membayar pajak, pengetahuan peraturan pepajakan, pemahaman peraturan perpajakan dan persepsi efektifitas sistem perpajakan tidak berpengaruh terhadap kemauan membayar pajak sedangkan kualitas pelayanan signifikan berpengaruh positif terhadap kemauan membayar pajak. Persamaan dengan penelitian ini adalah terletak pada variable bebas yaitu kesadaran membayar pajak sedangkan perbedaannya terletak pada variable terikat, variable bebas, objek penelitian, lokasi penelitian serta waktu penelitian.
2. 3
Hipotesis penelitian Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian (Sugiyono, 2013:93). Hipotesis dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga yaitu hipotesis variabel, sosialisasi perpajakan, sanksi perpajakan dan akuntanbilitas pelayanan publik.
29
2.3.1 Pengaruh sosialisasi perpajakan pada kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak kendaraan bermotor (PKB) Menurut Hendarsyah (2009:12), sosialisasi adalah sebagai suatu proses dimana orang-orang mempelajari sistem nilai, norma dan pola perilaku yang diharapakan oleh kelompok sebagai bentuk transformasi dari orang tersebut sebagai orang luar menjadi organisasi yang efektif yang nanti dikaitkan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan dalam hal ini untuk kepatuhan wajib pajak PKB. Alifa (2010) dalam penelitiannya menyatakan secara penyuluhan perpajakan berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah: H1 :
Sosialisasi perpajakan berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) pada Kantor Bersama SAMSAT Tabanan.
2.3.2 Pengaruh sanksi perpajakan pada kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak kendaraan bermotor (PKB) Undang-undang dan peraturan secara garis besar berisikan hak dan kewajiban, tindakan yang diperkenankan dan tidak diperkenankan oleh masyarakat. Agar undang-undang dan peraturan tersebut dipatuhi, maka harus ada sanksi bagi pelanggarnya, demikian halnya untuk hukum pajak. Dalam undangundang perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. sanksi administrasi dapat berupa bunga, denda, dan kenaikan. Menurut Nugroho (2006), wajib pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya apabila memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya. Di samping itu, menurut Faisal (2009: 37) menyatakan bahwa
30
walaupun ada potensi penerimaan negara pada setiap sanksi, namun motivasi penerapan sanksi adalah agar wajib pajak patuh melaksanakan kewajiban perpajakannya. Hasil penelitian Yadnyana (2009), Muliari dan Ery (2010), dan Arabella (2013) mengungkapkan bahwa sanksi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan pelaporan wajib pajak. Berdasarkan hal tersebut maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2 :
Sanksi perpajakan berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) pada Kantor Bersama SAMSAT Tabanan.
2.3.3 Pengaruh persepsi tentang akuntabilitas pelayanan publik pada kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak kendaraan bermotor (PKB) Pelayanan yang akuntabel sangat diperlukan karena Pajak Kendaraan Bermotor merupakan kontribusi terbesar untuk Pendapatan Asli Daerah. Atas dasar konsep pemikiran tersebut SAMSAT Tabanan mempunyai kepentingan dalam penelitian ini untuk mengetahui apakah pelayanan yang diberikan telah memberikan kepuasan terhadap wajib pajak sehingga dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Kendaraan Bermotor. Evi (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa akuntabilitas pelayanan publik berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut. H3 :
Akuntabilitas pelayanan publik berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) pada Kantor Bersama SAMSAT Tabanan
31