BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Two factor theory herzberg Teori ini membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok, yaitu : 1) Motivator Faktor adalah situasi yang membuktikannya sebagai sumber kepuasan
kerja,
yang
terdiri
dari:
Achievement
(keberhasilan
menyelesaikantugas), Recognition (penghargaan), Work it self(pekerjaan itu sendiri), Responbility (tanggung jawab), Possibility of growth(kemungkinan untuk mengembangkan diri), Advancement (kesempatan untuk maju). 2) Dissatisfer (hygiene factors) adalah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidak puasan yang terdiri dari company policy and administration, supervision, technical salary, interpersonal, relation, working condition, job security and status. 2.2 Kepuasan Kerja Kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang,yang menunjukan perbedaan antara jumlah penghargaan yang ditrima pekerja dan jumlah
yang mereka yakini seharusnya mereka terima (Robbins,2003:78). Menurut Bangun (2012 :327) menyatakan kepuasan kerja merupakan generalisai sikap-sikap terhadap pekerjaannya. Pekerjaan yang menyenangkan untuk dikerjakan dapat dikatakan bahwa pekerjaan itu memberi kepuasan bagi pelakunya. Bangun (2012:333) dengan kepuasan
kerja,seorang
pegawai
dapat
merasakan
pekerjaannya
apakah
menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk dikerjakan. Berbagai defenisi mengenai kepuasan kerja telah dikemukakan oleh para ahli dengan versinya masing-masing, walaupun pada dasarnya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdapat inti persamaannya.Dengan demikian kepuasan kerja dapat diartikan sebagai sikap umum terhadap pekerjaan seseorang dimana Pekerjaan yang menyenangkan untuk dikerjakan dapat dikatakan bahwa pekerjaan itu memberi kepuasan bagi pelakunya.
2.2.1 Faktor kepuasan kerja Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kepuasan
kerja,menurut
Robbins
(2001:149) adalah sebagai berikut. 1) kerja yang secara mental menantang karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan yang memberikan mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka.
2) kondisi kerja jika kondisi kerja bagus, maka karyawan akan lebih mudah mengerjakan pekerjaan mereka, namun jika kondisi kerja rapuh, maka karyawan akan lebih sulit menyelesaikan pekerjaan mereka. 3) Ganjaran yang pantas System upah dan kebijakan promosi yang adil sangat diharapkan karyawan. Bila upah dirasa adil, maka kemungkingan besar akan menghasilkan kepuasan kerja yang tinggi. 4) rekan sekerja yang mendukung mempunyai rekan kerja yang ramah dan mendukung akan menghantarkan kepuasan kerja yang meningkat. Perilaku atasan juga determin dari kepuasan. 5) kesesuaian antara kepribadan dengan pekerjaan penghasilan atau kompensasi yang sesuai dengan harapan dan kemampuan pegawai degan standar yang ada, adanya relevansi kepribadian yang berarti kesesuaian motivasi, dan kecocokan yang tinggi antara keperibadian seseorang dengan pekerjaan akan menimbulkan kepuasan kerja. 2.2.2
Indikator Kepuasan Kerja Azzem (2010) menyebutkan terdapat lima indikator dalam kepuasan kerja
yang dijelaskan oleh (Luthans,2006) sebagai berikut.
1) Pekerjaan itu sendiri Persepsi karyawan tentang sejauh mana pekerjaan itu memberikan kepuasan bagi dirinya. 2) Gaji Persepsi karyawan tentang balas jasa yang diterima karyawan sesuai dengan harapannya. 3) Promosi Persepsi karyawan tentang kesempatan pegawai untuk kenaikan jabatan dan jenjang karirnya. 4) Supervisi Supervisi merupakan kemampuan atasan untuk memberikan bantuan secara teknis maupun memberikan dukungan dalam bekerja. 5) Rekan kerja pola interaksi yang terjalin dengan baik antar individu dengan rekan kerja dalam suatu organisasi
2.2.3
Penyebab Kepuasan Kerja Menurut Kreitner dan Kinicki (2003) terdapat lima faktor yang dapat
mempengaruhi timbulnya kepuasan kerja, yaitu sebagai berikut:
1) Need Fulfillment (pemenuhan kebutuhan), model ini dimaksudkan bahwa kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya. 2) Discrepancies (perbedaan), model ini menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan
suatu
hasil
memenuhi
harapan,
pemenuhan
mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan
harapan
dan diperoleh
individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar dari pada apa yang diterima, orang akan tidak puas, sebaliknya diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat diatas harapan 3) Value Attainment (pencapaian nilai) , gagasan value attainment adalah bahwa kepuasan merupkan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting. 4) Equity (keadilan), dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja dan inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan perbandingan antara keluaran dan masuknya pekerjaan lainnya. 5) Dispositional genetic components (komponen genetik) ,model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik . Model menyiratkan perbedaan individu hanya mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan pekerjaan.
2.3
Iklim Organisasi
2.3.1
Pengertian Iklim organisasi Menurut Wirawan (2007:12) sebagai persepsi anggota organisasi (secara
indiviual dan klompok ) dan mereka
yang secara tetap berhubungan dengan
organisasi (misalnya : pemasok,konsumen,konsultan dan kontraktor), mengenai apa yang ada atau terjadi di lingkungan internal organisasi secara rutin,yang mempengaruhi dan kinerja anggota organisasi yang kemudian menentukan kinerja organisasi. Iklim organisasi yang merupakan perpesi individu karyawan tentang organisasinya yang memberi pengaruh pada nyaman tidaknya yang bersangkutan bekerja di organisasi atau perusahaan tersebut (Idrus, 2006).Menurut sarjana (2012) iklim organisasi merupakan suasana organisasi yang mendukung pelaksanaan pekerjaan. Iklim organisasi adalah serangkaian deskripsi dari karakteristik organisasi yang membedakan organisasi dengan organisasi lainnya yang mengarah pada persepsi masing-masing anggota dalam memandang organisasi (Koswara,2012). Firmansah dan Santy (2011) iklim organisasi merupakan aspek eksternal pekerjaan yang mempengaruhi pekerja dalam meneyesuaikan tugas yang mencakup lingkungan pekerjaan, hubungan dengan atasan dan teman sekerja dalam organisasi. Rahimic (2013) meneyebutkan iklim organisasi sebagai persepsi karyawan terkait aspek pekerjaan dan nilai-nilai organisasinya.Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa iklim organisasi adalah persepsi masing-masing pegawai mengenai karakteristik dan kondisi organisasi yang mempengaruhi perilaku pegawai menjalani pekerjaan.
2.3.2
Faktor-faktor pembentuk iklim organisasi Sarjana (2012) menyatakan iklim organisasi adalah suasana organisasi yang
mendukung pelaksanan pekerjaan dengan indikator tanggung jawab anggota organisasi, etika berorganisasi, kepedulian antara anggota organisasi dan kerja sama antara anggota organisasi. Moekijat (2006:98) menyebutkan faktor-faktor yang membentuk iklim organisasi, sebagai berikut. Moekijat (2006:98) menyebutkan faktor-faktor yang membentuk iklim organisasi sebagai berikut: 1) Struktur organisasi Formalitas dalam pembagian, pengelompokn,dan pengkoordinasian tugas pekerjaan akan mempengaruhi iklim di organisasi. 2) Metode pengarahan dan pengawasan karyawan Metode yang dipergunakan oleh manajer dan pengawas untuk mengarahkan dan mengawasi pera karyawan merupakan faktor utama untuk menentukan iklim organisasi yang menjadi tanggung jawab mereka. 3) Hakikat hubungan antar individu dan kelompok Peranan anggota kelompok yang jelas dan terstuktur , hubungan antara individu yang hangat dan adanya perubahan yang progresif dalam
kelompok dan menciptakan iklim organisasi yang menyenangkan anggotanya. 4) Pengaruh timbal balik antara atasan dan bawahan Adanya timbal balik yang saling menguntungkan antara atasan dan bawahan akan membentuk iklim organisasi yang positif. 5) Hakikat pekerjaan Kedudukan dan susunan pekerjaan dapat menentukan hakikat hubungan diantara orang-orang dalam pekerjaannya sehingga dapat menentukan iklim organisasi. 6) Luas organisasi Luasnya organisasi bisa mempengaruhi iklim organisasi. Hal ini dikarenakan dalam organisasi yang besar misalkan pengawasan dari atasan dan komunikasi menjadi kurang efektif. 7) Mutu lingkungan fisik Mutu lingkungan fisik yang mengandung kesehatan dan keselamatan kerja yang tinggi akan menciptakan iklim organisasi yang positif.
2.3.3 Indikator Iklim Organisasi Stringer (2002) mengatakan untukmengukur iklim organisasi terdapat beberapa indikator yang diperlukan sebagai berikut:
1) struktur struktur organisasi merekfleksikan perasaan organisasi secara baik dan mempunyai peran dan tanggung jawab yang jelas dalam lingkungan organisasi. 2) tanggung jawab tanggung jawab merefleksikan perasaan karyawan bahwa mereka menjadi “bos untuk diri sendiri” dan tidak memerlukan keputusan dilegitiminasi oleh anggota organisasi lainnya. 3) penghargaan penghargaan mengindikasikan bahwa anggota organisasi merasa dihargai jika mereka dapat menyelesaikan tugas secara baik. 4) dukungan dukungan mereflesikan perasaan percaya dan saling mendukung yang terus berlangsung diantara anggota kelompok kerja. 5) komitmen perasaan bangga anggota terhadap organisasinya dan derajat keloyalan terhadap pencapaian tujuan organisasi.
2.4
Stress Kerja
2.4.1
Pengertian stress kerja Selye (dalam Leila, 2002) mendefinisikan stres sebagai the nonspesific
response of the body to any demand atau respon nospesifik tubuh untuk permintan apapun.
Robbins
(2008:368),
mengemukakan
bahwa
stres
sebagai
suatu
ketidakseimbangan antara keinginan dan kemampuan memenuhinya sehingga menimbulkan konsekuensi penting bagi dirinya. Stres di tempat kerja adalah sres yang memanifestasikan dirinya di tempat kerja yang mengacu pada persepsi karyawan dari kerja sebagai ancaman (Caplan, 1980). Berbagai defenisi mengenai stres telah dikemukakan oleh para ahli dengan versinya masing-masing, walaupun pada dasarnya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdapat inti persamaannya.Dengan demikian stres kerja dapat diartikan sebagai perasaan yang tidak menyenangkan yang menimbulkan ketegangan dan rasa gelisah karena tugas-tugas atau situasi yang ada di tempat kerja.
2.4.2 Faktor stres kerja Handoko (2001), menyatakan
karyawan
yang
mengalami stres
bisa
menjadi nervous dan merasakan kekhawatiran kronis. Mereka sering menjadi mudah marah, tidak dapat relaks, atau menunjukkan sikap yang tidak kooperatif, sehingga dapat menggangu pelaksanaan kerja mereka. Handoko (2001), juga
menyatakan ada beberapa kondisi kerja yang sering menyebabkan stres bagi para karyawan, diantaranya: 1) Beban kerja yang berlebihan 2) Tekanan atau desakan waktu 3) Kualitas supervisi yang jelek 4) Iklim politis yang tidak aman 5) Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai 6)Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab 7) Kemenduaan peranan (role ambiguity) 8) Frustasi 9) Konflik antar pribadi dan antar kelompok 10) Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan 11)Berbagai bentuk perubahan. Mengenai penyebab stres Robbins (2008), menyatakan bahwa ada banyak faktor organisasi yang dapat menimbulkan stres, di antaranya:
1) Tuntutan Tugas Tuntutan tugas merupakan faktor yang terkait dengan pekerjaan seseorang. Faktor ini mencakup desain pekerjaan individu (otonomi, keragaman tugas, tingkat otomatisasi), kondisi kerja, dan tata letak kerja fisik. 2) Tuntutan Peran Tuntutan peran berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada seseorang sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam organisasi itu. Konflik peran menciptakan harapan-harapan yang barangkali sulit dipuaskan. Kelebihan
peran
terjadi bila
karyawan diharapkan untuk melakukan lebih
daripada yang dimungkinkan olehwaktu. Ambiguitas peran tercipta bila harapan peran tidak dipahami dengan jelas dan karyawan tidak pasti mengenai apa yang harus dikerjakan. 3) Tuntutan Antar Pribadi Tuntutan antar pribadi adalah tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain. Kurangnya dukungan sosial dari rekan-rekan dan hubungan antar pribadi yang buruk dapat menimbulkan stres yang cukup besar, khususnya di antara para karyawan yang memiliki kebutuhan sosial yang tinggi.
4) Struktur Organisasi Struktur organisasi menentukan tingkat diferensiasidalam organisasi, tingkat aturan dan peraturan, dan di mana keputusandiambil. Aturan yang berlebihan dan kurangnya partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada karyawan merupakan contoh variabel struktural yang dapat merupakan potensi sumber stres. 5) Kepemimpinan Organisasi Kepemimpinan organisasi menggambarkan gaya manajerial eksekutif senior organisasi. Beberapa manajer menciptakan budaya yang dicirikan oleh ketegangan, rasa takut, dan kecemasan mereka meberikan tekanan yang tidak realistis untuk berkinerja dalam jangka pendek, memaksakan pengawasan yang sangat ketat, dan secara rutin memecat karyawan yang tidak dapat mengikuti. 6) Tingkat Hidup Organisasi Organisasi berjalan melalui siklus. Didirikan, tumbuh, menjadi dewasa, dan akhirnya merosot. Tahap kehidupan organisasi, yaitupada siklus empat tahap ini menciptakan masalah dan tekanan
yang berbeda bagi para karyawan.Tahap
pendirian dan kemerosotan sangat menimbulkan stres. Yang pertama dicirikan oleh besarnya kegairahan dan ketidakpastian, sedangkan yang kedua lazimnya menuntut pengurangan, pemberhentian, dan serangkaian ketidakpastian yang
berbeda. Stres cenderung paling kecildalam tahap dewasa di mana ketidakpastian berada pada titik terendah. Hurrell (dalam Atmaji, 2011) mengelompokkan pembangkit stres (stressors) ke dalam lima kategori besar, yaitu: 1) Faktor Intrinsik dalam Pekerjaan, faktor ini meliputi: (1) Tuntutan Fisik Kondisi kerja fisik memiliki dampak terhadap kesehatan mental dan keselamatan kerja karyawan, sehingga dapat menjadi pembangkit stres. Kondisi fisik tersebut meliputi bising, vibrasi (getaran), serta hygiene (kesehatan dan kebersihan). (2) Tuntutan Tugas a) Kerja Shift atau Kerja Malam Kerja shift/kerja malam dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi para pekerja. Penelitian menunjukkan bahwa kerja shif merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja pabrik. b) Beban Kerja Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stres.
2) Peran Individu dalam Organisasi Tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masalah. Kurang baik berfungsinya (disfunction) peran, yang dapat menjadi pembangkit stres misalnya konflik peran serta kebimbangan peran (role ambiguity). Konflik peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya pertentangan antara tugas-tugas yang harus dilakukan dan tanggung jawab yang dimiliki, tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahan, atau orang lain yang dinilai penting, serta pertentangan nilai-nilai dan keyakinan pribadi dengan
tugas atau pekerjaan yang dijalankan.
Kebimbangan peran (role ambiguity) dirasakan jika seorang tenaga kerja tidak memiliki cukup informasi untuk dapat
melaksanakan tugasnya, atau tidak
mengerti atau merealisasi harapan-harapan
yang berkaitan dengan peran
tertentu. 3) Pengembangan karier Pengembangan karier merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang. 4) Hubungan dalam pekerjaan Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah organisasi.
5) Tuntutan dari luar organisasi atau pekerjaan Faktor ini mencakup segala unsur kehidupan seseorang yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja di dalam satu organisasi, dan memberi tekanan pada individu seperti konflik antara tuntutan keluarga dan
tuntutan organisasi, krisis kehidupan, kesulitan keuangan,
keyakinan-keyakinan pribadi dan organisasi yang bertentangan.
2.4.3 Tipe-tipe stres Menurut Wijono (2006), stres sendiri dapat dikelompokkan menjadi 2 tipe, yaitu eustress dan distress. 1) Eustress adalah perasaan-perasaan yang menyenangkan (positif) individu, yang dialami karena mendapatkan penghargaan atau mendapat pujian atas dasar prestasi kerjanya yang memuaskan. 2) Distress, yaitu perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan (negatif) individu dan dapat menyebabkan prestasi kerjanya turun.
2.4.4
Aspek-aspek stres kerja Menurut Schultz (dalam Almasitoh, 2011) aspek-aspek stres kerja meliputi,
pertama deviasi fisiologis, hal ini dapat dilihat pada orang yang terkena stres antara lain adalah sakit kepala, pusing, pening, tidak tidur teratur, susah tidur, bangun terlalu
awal, sakit punggung, susah buang air besar, gatal-gatal pada kulit, tegang, pencernaan terganggu, tekanan darah naik, serangan jantung, keringat berlebihan, selera makan berubah, lelah atau kehilangan daya energi, dan lain-lain. Kedua adalah deviasi psikologis yang mencakup sedih, depresi, mudah menangis, hati merana, mudah marah, dan panas, gelisah, cemas, rasa harga diri menurun, merasa tidak aman, terlalu peka, mudah tersinggung, marah-marah, mudah menyerang, bermusuhan dengan orang lain, tegang, bingung, meredam perasaan, komunikasi tidak efektif, mengurung diri, mengasingkan diri, kebosanan, ketidakpastian kerja, lelah mental, kehilangan spontanitas dan kreativitas, dan kehilangan semangat hidup. Serta yang ketiga adalah deviasi perilaku yang mencakup kehilangan kepercayaan kepada orang lain, mudah mempersalahkan orang lain, mudah membatalkan janji atau tidak memenuhi janji, suka mencari kesalahan orang lain atau menyerang orang lain, terlalu membentengi atau mempertahankan diri, meningkatnya frekuensi absensi, meningkatkan penggunaan minuman keras dan
mabuk, sabotase, meningkatnya
agresivitas dan kriminalitas.
2.5
Rumusan Hipotesis
2.5.1
Hubungan antara Iklim Organisasi dengan Kepuasan kerja Menurut Gilley dan Maycunick (2000) yang menyatakan bahwa : Iklim
organisasi memiliki hubungan dengan kepuasan kerja , iklim kerja yang positif mengakibatkan tingginya kepuasan kerja.
Menurut Schneider dan Snyder (dalam Jewel dan Siegal, 1998) : Iklim organisasi merupakan konsep penjelasan yang berdasarkan pada “persepsi” lingkungan sosial organisasi , sebaliknya kepuasan kerja adalah konsep altenatif yang berdasarkan pada perasaan mengenai persepsi tersebut. Kedua hal tersebut memiliki kolerasi, bahwa iklim organisasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Menurut Surachim dan Firdaus (2008) : Bahwa Dapat diketahui bahwa iklim organisasi mempunyai pengaruh yang positif terhadap kepuasan kerja karyawan. Berdasarkan pemahaman dan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut : H1 : Iklim organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan pada pegawai Hotel Asana Agung Putra Bali.
2.5.2
Hubungan antara stress kerja terhadap kepuasan kerja karyawan Penelitian yang dilakukan oleh Krambut (2012) dalam penelitiannya
menyatakan stress kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kepuasan kerja perawat, semakin tinggi stress kerja yang dirasakan, maka kepuasan kerja semakin rendahdan juga sebaliknya semakin rendah stress kerja yang dialami maka kepuasan kerja semakin tinggi. Iqbal (2012) melakukan penelitian mengenai pengaruh stress kerja terhadap kepuasan kerja karyawan. Pengumpulan data melalui survey kuesioner , dan sample
yang dipilih dari otoritas penerbangan sipil pakistan, dari hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan negatif antara stress kerja dengan kepuasan kerja. Hasil penelitian Faqihudin dan Gunistiyo (2010) diketahui stress kerja mempunyai pengaruh signifikan dan negatif terhadap kepuasan kerja karyawan. Hasil ini menunjukan bahwa tingkat stress yang rendah akan berpengaruh nyata tercapainya kepuasan kerja karyawan. Berdasarkan pemahaman tersebut dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H2 : stress kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan.
2.6 Kerangka Penelitian Gambar Kerangka Penelitian
Iklim Organisasi
H1
(X1)
Kepuasan Kerja (Y) Stress Kerja (X2)
H2
H2
H1 : Iklim organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan pada pegawai Hotel Asana Agung Putra Bali. H2 : stress kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Sumber : H1: Menurut Gilley dan Maycunick (2000) , Schneider dan Snyder dalam Jewel dan Siegal (1998), Surachim dan Firdaus (2008). H2: Faridah Aini Haryanti et al. (2013), Mahwidhi (2010), R. Lexshimi (2007), Restiaty et al. (2006).