BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori dan Konsep
2.1.1
Agency Theory Teori Keagenan (Agency Theory) merupakan sebuah kontrak antara agen dan
prinsipal, dalam teori keagenan, hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (prinsipal) mempekerjakan orang lain (agen) untuk memberikan suatu jasa dan mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan demi kepentingan pemegang saham. Perbedaan peran di antara keduanya menyebabkan suatu ketimpangan informasi. Dari ketimpangan informasi tersebut, satu belah pihak (manajer) dapat mengambil keuntungan untuk diri mereka sendiri yang dapat merugikan pihak lainnya (stakeholder). Teori keagenan (agency theory) berusaha menjelaskan tentang penentuan kontrak yang paling efisien yang bisa membatasi konflik atau masalah keagenan (Jensen dan Meckling, 1976). Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: 1) Manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest). 2) Manusia mempunyai daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality). 3) Manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Menurut pernyataan tersebut, dapat diasumsikan manajer sebagai seorang manusia juga memiliki sifat egois untuk memenuhi kepentinganya sendiri dan
11
menghiraukan kepentingan manusia lainnya. Kondisi ini akan mengakibatkan munculnya perbedaan kepentingan antara agen dengan pemegang saham yang disebut sebagai konflik keagenan. Konflik kepentingan semakin meningkat karena prinsipal tidak dapat memantau kinerja agen sehari-hari untuk memastikan bahwa agen telah bekerja sesuai keinginan prinsipal. Ketimpangan informasi yang terjadi antara agen dan prinsipal ini dapat membuka peluang agen untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada prinsipal dengan tujuan memaksimalkan kepentingan sendiri. Jika manajemen memiliki seluruh atau sebagian saham perusahaan maka hal ini akan mempengaruhi manajemen dalam menjalankan perusahaan. Manajemen akan lebih termotivasi dan berhati-hati dalam mengambil kebijakan karena mempunyai kepentingan dan rasa memiliki dalam perusahaan. Hal ini membuat kepemilikan manajerial akan mempengaruhi penggunaan hutang sebagai sumber modal dalam menjalankan aktivitas operasi perusahaan. 2.1.2
Signalling Theory Signalling theory atau teori sinyal menjelaskan mengapa perusahaan
mempunyai dorongan untuk memberikan informasi laporan keuangan pada pihak eksternal. Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi karena terdapat asimetri informasi antara perusahaan dan pihak luar karena perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai perusahaan dan prospek yang akan datang daripada pihak luar (investor, kreditor). Kurangnya informasi bagi pihak luar mengenai perusahaan
12
menyebabkan mereka melindungi diri mereka dengan memberikan harga yang rendah untuk perusahaan. Perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan mengurangi informasi asimetri. Salah satu cara untuk mengurangi informasi asimetri adalah dengan memberikan sinyal pada pihak luar, salah satunya berupa informasi keuangan yang dapat dipercaya dan akan mengurangi ketidakpastian mengenai prospek perusahaan yang akan datang (Wolk etal, 2000). Menurut Brigham dan Houston (2001) isyarat atau sinyal adalah suatu tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Selanjutnya perusahaan dengan prospek yang menguntungkan akan mencoba menghindari penjualan saham dan mengusahakan modal baru dengan cara-cara lain seperti dengan menggunakan utang. Perusahaan dengan prospek yang kurang menguntungkan akan cenderung untuk menjual sahamnya. Teori sinyal menjelaskan mengapa manajer suatu entitas mempunyai insentif secara sukarela (voluntary) melaporkan informasiinformasi kepada pasar modal walaupun tidak ada ketentuan yang mengharuskan (Astika, 2010). Menurut Jogiyanto (2007) informasi yang dipublikasikan sebagai suatu pengumuman akan memberikan sinyal bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi. Jika pengumuman tersebut mengandung nilai positif, maka diharapkan pasar akan bereaksi pada waktu pengumuman tersebut diterima oleh pasar.
13
2.1.3
Struktur Modal Struktur modal adalah perimbangan jumlah hutang jangka pendek yang
bersifat permanen, hutang jangka panjang, saham preferen dan saham biasa (Sartono, 2010:225). Menurut Stephen Marietta (2012), struktur modal adalah campuran hutang, saham preferens dan ekuitas umum yang cenderung untuk meningkatkan modal perusahaan. Esiemogie, dkk. (2014) juga menjelaskan struktur modal adalah campuran dari berbagai jenis efek termasuk hutang, saham dan ekuitas yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan untuk membiayai asetnya. Dengan kata lain struktur modal merupakan proporsi dalam pemenuhan kebutuhan belanja perusahaan dengan sumber pendanaan jangka panjang yang berasal dari dana internal dan dana eksternal. Dengan demikian struktur modal hanya merupakan sebagian saja dari struktur keuangan. Brigham (2001) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi struktur modal, yaitu: stabilitas penjualan, struktur aktiva, leverage operasi, tingkat pertumbuhan, profitabilitas, pajak, pengendalian, sikap manajemen, sikap pemberi pinjaman dan lembaga penilaian peringkat, kondisi pasar, kondisi internal perusahaan dan fleksibilitas keuangan. Menurut Hamidy (2014), stuktur modal yang optimal terjadi pada leverage keuangan tingkat tertentu. Leverage keuangan merupakan penggunaan dana, dimana dalam penggunaan dana tersebut perusahaan mengeluarkan beban tetap. Dalam rangka mencapai struktur modal yang optimal para ahli merumuskan teori-teori tentang struktur modal, salah satu teori struktur modal yaitu:
14
1) Trade off Theory Model trade-off mengasumsikan bahwa struktur modal perusahaan merupakan hasil trade-off dari keuntungan pajak dengan menggunakan hutang dengan biaya yang akan timbul sebagai akibat penggunaan hutang tersebut. Esensi trade-off theory dalam struktur modal adalah menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat hutang (Kusumajaya, 2011). Menurut trade-off theory yang diungkapkan oleh Myers (2001:81) perusahaan akan berhutang sampai pada tingkat hutang tertentu, dimana penghematan pajak (tax shields) dari tambahan hutang sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial distress). Biaya kesulitan keuangan (financial
distress)
adalah
biaya
kebangkrutan
(bankruptcy
costs)
atau
reorganization, dan biaya keagenan (agency costs) yang meningkat akibat dari turunnya kredibilitas suatu perusahaan. Sejauh manfaat lebih besar, tambahan hutang masih diperkenankan, apabila pengorbanan karena penggunaan hutang sudah lebih besar maka tambahan hutang sudah tidak diperbolehkan. 2) Pecking Order Theory Pandangan alternatif mengenai cara manajer mendanai anggaran modal perusahaannya yang dikenal dalam literatur ekonomi keuangan sebagai Teori pecking order. Teori pecking order menyatakan bahwa perusahaan lebih memilih membiayai belanja perusahaan dengan dana internal yaitu yang berasal dari laba ditahan dan depresiasi aliran kas. Teori struktur modal pecking order diringkaskan dalam 4 bagian di bawah ini:
15
a. Perusahaan menerapkan kebijakan dividen untuk kesempatan investasi. b. Perusahaan lebih menyukai dana internal. Dana internal tersebut diperoleh dari laba yang dihasilkan dari kegiatan perusahaan. c. Saat pendanaan eksternal dibutuhkan, perusahaan pertama akan memilih menerbitkan sekuritas hutang. Menerbitkan sekuritas jenis modal akan dilakukan terakhir. d. Dengan semakin banyaknya dana eksternal yang dibutuhkan untuk mendanai proyek dengan nilai sekarang positif, pendapatan pecking order akan diikuti, ini berarti lebih menyukai hutang yang berisiko artinya pada konvertibel, modal preferen, dan modal biasa sebagai pilihan terakhir. Menurut Kusumajaya (2011) struktur keuangan adalah cara bagaimana perusahaan membiayai aktivanya dan dapat dilihat pada seluruh sisi kanan dari neraca yang terdiri dari hutang jangka pendek, hutang jangka panjang, dan modal pemegang saham. Sedangkan struktur modal perusahaan adalah pembiayaan permanen yang terdiri dari hutang jangka panjang, saham preferen, dan modal pemegang saham. Jadi, struktur modal suatu perusahaan hanya merupakan sebagian dari struktur keuangannya. Pada dasarnya, keputusan pendanaan (financing) perusahaan berkaitan dengan penentuan sumber-sumber dana yang digunakan untuk membiayai usulanusulan investasi yang telah diputuskan sebelumnya. Pemenuhan kebutuhan dana tersebut dapat disediakan atau diperoleh dari sumber internal maupun eksternal perusahaan.
16
Menurut Akinwunmi, dkk. (2014) struktur permodalan biasanya diukur oleh rasio: rasio hutang terhadap total aset, ekuitas pada total aset, rasio hutang ekuitas dan ekuitas pada hutang. Proksi struktur modal dalam penelitian ini diukur dengan debt to equity ratio (DER), ini juga mengacu pada penelitian Hamidy (2014), Dewi (2013), Moghadas (2013), Adedoyin (2014), dan Odongo Kodongo (2014). DER merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat leverage (penggunaan hutang) terhadap total shareholder’s equity yang dimiliki perusahaan. Rasio ini menunjukkan komposisi atau struktur modal dari total pinjaman (hutang) terhadap total modal yang dimiliki perusahaan, semakin tinggi DER menunjukkan komposisi total hutang (jangka pendek dan jangka panjang) semakin besar dibandingkan dengan total modal sendiri, sehingga berdampak semakin besar beban perusahaan terhadap pihak luar (kreditur) (Robert, 1997) (dalam Hamidy, 2014).
2.1.4
Profitabilitas Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan
dan mengukur tingkat efisiensi operasional dan efisiensi dalam menggunakan harta yang dimilikinya (Ju Chen dan Yu Chen, 2011). Selanjutnya menurut Menurut Brigham (2001), profitabilitas adalah hasil akhir dari serangkaian kebijakan dan keputusan manajemen, dimana kebijakan dan keputusan ini menyangkut pada sumber dan penggunaan dana dalam menjalankan operasional perusahaan yang terangkum dalam laporan neraca dan unsur dalam neraca. Profitabilitas merupakan gambaran dari penilaian kinerja keuangan, ukuran profitabilitas perusahaan dapat berbagai
17
macam seperti: laba operasi, laba bersih, tingkat pengembalian investasi dan tingkat pengembalian ekuitas pemilik. Rasio profitabilitas memiliki beberapa macam jenis. Menurut (Husnan dan Pudjiastuti, 2004) dalam Nikolis (2013) Penggunaan beberapa macam rasio ini tergantung pada tingkat kepentingan yang diinginkan perusahaan. Rasio-rasio tersebut diantaranya: 1) ROA (Return on Asset) 2) ROE (Return on Equity) 3) Profit Margin 4) EPS (Earning per Share) Dalam penelitian ini profitabilitas diproksikan melalui Return On Assets (ROA) sebagai ukuran profitabilitas perusahaan karena ROA merupakan rasio yang paling baik dalam memprediksikan pertumbuhan laba. Tangkisilah dalam Nikolis (2013) juga mengemukakan bahwa ROA merupakan ukuran profitabilitas yang lebih baik dari rasio profitabilitas lainnya karena rasio ini dapat mengukur efesiensi operasi. ROA sendiri merupakan perhitungan rasio yang membandingkan tingkat laba bersih setelah pajak dengan total seluruh aktiva yang dimiliki oleh perusahaan. Menurut Adri (2014) ROA mengukur efektivitas tingkat pengembalian yang diperoleh total aktiva di perusahaan. ROA membandingkan besarnya laba bersih terhadap ekuitas saham biasa. Return On Asset (ROA) merupakan rasio antara laba bersih terhadap total aktiva. Semakin besar ROA menunjukkan profitabilitas perusahaan semakin baik.
18
Seorang calon investor perlu melihat ROA suatu perusahaan sebagai prediksi dan evaluasi masa depan sebelum memutuskan melakukan investasi supaya dapat mengetahui seberapa banyak yang akan dihasilkan dari investasi yang dilakukannya. Semakin tinggi tingkat laba yang diperoleh, maka kemampuan perusahaan untuk membayar dividen juga akan semakin tinggi dan harga saham perusahaan akan semakin meningkat. Peningkatan harga saham tersebut akan meningkatkan nilai perusahaan.
2.1.5
Nilai Perusahaan Menurut Ayuningtias (2013) nilai perusahaan merupakan persepsi investor
terhadap perusahaan terbuka, yang sering dikaitkan dengan harga saham. Menurut Febriana (2013) nilai perusahaan merupakan suatu termin yang menggambarkan sejauh mana suatu perusahaan dihargai oleh publik. Nilai perusahaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai nilai pasar. Menurut Agustina (2012) nilai perusahaan dibentuk melalui indikator nilai pasar saham sangat dipengaruhi oleh peluang-peluang investasi. Adanya peluang investasi dapat memberikan sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan dapat dilihat dari harga sahamnya yang terbentuk berdasarkan permintaan dan penawaran investor, sehingga apabila harga saham meningkat maka nilai perusahaan juga akan meningkat (Fama, 1978). Harga saham ini ditujukkan oleh harga yang terjadi pada saat saham tersebut diperdagangkan di pasar. Menurut Agus Sartono (2010:9), harga saham terbentuk
19
dipasar modal dan ditentukan oleh beberapa faktor seperti laba per lembar saham atau earning per share, rasio laba terhadap harga per lembar saham atau price earning ratio, tingkat bunga bebas resiko yang diukur dari tingkat bunga deposito pemerintah dan tingkat kepastian operasi perusahaan. Jika harga saham di pasar modal meningkat atau tinggi, akan membuat nilai perusahaan menjadi tinggi pula ini berarti kemakmuran pemegang saham juga meningkat. Menurut Brigham dan Houston (2001) terdapat beberapa pendekatan analisis rasio dalam penilaian market value, terdiri dari pendekatan price earning ratio (PER), price book value ratio (PBV), market book ratio (MBR), deviden yield ratio, dan deviden payout ratio (DPR). PBV digunakan untuk mengukur nilai perusahaan dalam penelitian ini. Rasio harga saham terhadap nilai buku perusahaan atau price book value (PBV), menunjukkan tingkat kemampuan perusahaan menciptakan nilai relatif terhadap jumlah modal yang diinvestasikan. Semakin tinggi PBV memberikan indikasi bahwa investor memberikan apresiasi yang tinggi terhadap saham perusahaan (Brigham & Houston, 2001), selain itu PBV yang tinggi mencerminkan harga saham yang tinggi dibandingkan nilai buku perlembar saham. Menurut Fitriyana (2014) PBV yang tinggi akan membuat pasar percaya atas prospek perusahaan ke depan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa PBV merupakan indikator nilai perusahaan dari sudut pandang keinginan pemegang saham (investor). Menurut Ayuningtias (2013), PBV dapat diartikan sebagai hasil perbandingan antara harga pasar saham dengan nilai buku saham. PBV juga dapat berarti rasio yang menunjukkan apakah harga saham yang diperdagangkan
20
overvalued (di atas) atau undervalued (di bawah) nilai buku saham tersebut. Menurut Kusumajaya (2010) PBV mempunyai beberapa keunggulan sebagai berikut : 1) Nilai buku mempunyai ukuran intutif yang relatif stabil yang dapat diperbandingkan dengan harga pasar. Investor yang kurang percaya dengan metode discounted cash flow dapat menggunakan price book value sebagai perbandingan. 2) Nilai buku memberikan standar akuntansi yang konsisten untuk semua perusahaan. PBV dapat diperbandingkan antara perusahaan-perusahaan yang sama sebagai petunjuk adanya under atau overvaluation. Perusahaan-perusahaan dengan earning negatif, yang tidak bisa dinilai dengan menggunakan price earning ratio (PER) dapat dievaluasi menggunakan price book value ratio (PBV).
2.1.6
Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial adalah persentase kepemilikan saham pada
perusahaan oleh pihak manajemen atau dengan kata lain pihak manajemen juga sekaligus sebagai pemegang saham (Adnyana, 2013). Menurut Rahayu (2010) kepemilikan manajemen didefinisikan sebagai persentase saham yang dimiliki oleh manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan yang meliputi komisaris dan direksi. Kepemilikan saham oleh pihak manajemen sebagai suatu instrumen atau alat yang digunakan untuk mengurangi konflik keagenan antar pihak principal dan agen terhadap sebuah perusahaan. Menurut Seyyed Yahya (2014)
21
studi sebelumnya memberikan bukti bahwa struktur kepemilikan adalah salah satu faktor yang penting dan efektif dalam mengontrol perilaku oportunistik manajer (Jensen & Meckling, 1976). Menurut Brailsford et al. (2002) dalam Ruan Wenjuan, dkk. (2011) manyatakan ketika tingkat kepemilikan manajerial rendah, peningkatan kepemilikan manajerial memiliki efek menyelaraskan manajemen dan kepentingan pemegang saham. Semakin
meningkatnya
kepemilikan
saham
oleh
manajemen,
maka
manajemen akan lebih giat untuk meningkatkan kinerjanya karena manajemen mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi keinginan pemegang saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Sehingga manajemen lebih berhati-hati dalam menentukan keputusan karena mereka akan ikut menanggung risiko yang ditimbulkan dari tindakannya tersebut. Untuk itu kepemilikan manajerial dipandang sebagai alat untuk menyatukan kepentingan manajemen dengan pemilik. 2.2
Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian terdahulu. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada proksi dari variabel-variabel yang diteliti, jenis perusahaan yang digunakan dan periode penelitian. Penelitian ini menggunakan Price to Book Value (PBV) sebagai proksi dari nilai perusahaan dan kepemilikan manajerial sebagai variabel pemoderasi. Perusahaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan property dan real estate yang terdaftar di BEI
22
secara berturut-turut periode 2011 hingga 2013. Ringkasan hasil penelitian sebelumnya disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya Peneliti dan Judul Penelitian Samisi (2013) Pengaruh Struktur Pendanaan Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Kepemilikan Manajerial Sebagai Variabel Moderasi
Variabel Penelitian
Hasil Penelitian
Variabel independen : Struktur pendanaan Variabel moderasi : Kepemilikan manajerial Variabel Kontrol : Ukuran perusahaan, umur perusahaan Variabel dependen : nilai perusahaan
Struktur pendanaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap nilai perusahaan Kepemilikan manajerial tidak mampu memoderasi hubungan antara struktur pendanaan dengan nilai perusahaan,
Roselina (2014)
Variabel independen : Ownership Retention, Pengaruh Ownership investasi dana Retention dan Variabel moderasi : Investasi Dana dari Kepemilikan Manajerial Proceeds Variabel dependen : Terhadap Nilai Nilai perusahaan Perusahaan Dengan Kepemilikan Manajerial Sebagai Variabel Moderasi
Proporsi investasi dana dari proceeds tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan terhadap nilai perusahaan
Adnyana (2013)
ROA memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan
Variabel independen : Kinerja Keuangan (ROA) Pengaruh Kepemilikan Variabel moderasi : Manajerial Terhadap Kepemilikan Manajerial Hubungan Antara Variabel dependen :
23
Kepemiikan manajerial tidak memoderasi hubungan antara baik ownership retention dan investasi dana dari proceeds dengan nilai perusahaan
Kepemilikan manajerial
Kinerja Keuangan Nilai perusahaan Dengan Nilai Perusahaan
mampu mempengaruhi hubungan antara kinerja (ROA) dengan nilai perusahaan
Anindyati (2011)
Variabel independen : Return On Assets Pengaruh Kinerja Variabel moderasi : Keuangan Terhadap Corporate Social Nilai Perusahaan Responsibility dan Good Dengan Pengungkapan Corporate Governance Corporate Social Variabel dependen : Responsibility dan Nilai perusahaan Good Corporate Governance Sebagai Variabel Pemoderasi
Kinerja keuangan yang diproksikan oleh return on assets berpengaruh terhadap nilai perusahaan
Rahayu (2010)
ROE tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan (tobin’q)
Variabel independen : Return On Equity Pengaruh Kinerja Variabel moderasi : Keuangan Terhadap Corporate Social Nilai Perusahaan Responsibility dan Good Dengan Pengungkapan Corporate Governance Corporate Social Variabel dependen : Responsibility Dan Nilai perusahaan Good Corporate Governance Sebagai Variabel Pemoderasi Sumber : Data yang diolah, 2015
24
Pengaruh pengungkapan Good Corporate Governance yang diproksikan oleh kepemilikan manajerial sebagai variabel moderating berpengaruh terhadap hubungan kinerja keuangan dengan nilai perusahaan
Kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap hubungan antara ROE terhadap nilai perusahaan (tobin’q)
2.3
Hipotesis Penelitian
2.3.1
Pengaruh Struktur Modal Terhadap Nilai Perusahaan Pada tahun 1958 Modigliani dan Miller (MM) menunjukkan bahwa nilai suatu
perusahaan tidak dipengaruhi oleh struktur modal. MM juga memberikan petunjuk agar srtuktur modal menjadi relevan sehingga akan mempengaruhi nilai perusahaan (Brigham dan Houston, 2001) dalam Kusumajaya (2011). Pada tahun 1963 Modigliani dan Miller (MM) memasukkan faktor pajak ke dalam analisis mereka sehingga mendapat kesimpulan bahwa nilai perusahaan dengan hutang akan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai perusahan tanpa hutang. Kenaikan tersebut dikarenakan adanya penghematan pajak (Dewi, 2013). Trade-off theory menjelaskan bahwa jika posisi struktur modal berada di bawah titik optimal maka setiap penambahan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan. Sebaliknya, jika setiap posisi struktur modal berada di atas titik optimal maka setiap penambahan hutang akan menurunkan nilai perusahaan. Oleh karena itu, dengan asumsi titik target struktur modal optimal belum tercapai, maka berdasarkan trade-off theory memprediksi adanya hubungan yang positif terhadap nilai perusahaan (Hamidy, 2014). Adedoyin (2014) dalam penelitiannya menunjukan bahwa adanya pengaruh bahwa leverage atau penggunaan hutang berperan penting dalam memaksimalkan nilai perusahaan. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Moddigliani Miller pada tahun 1963 bahwa dengan memasukkan pajak penghasilan perusahaan, maka penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan. Penelitian yang dilakukan
25
oleh Arviansyah (2013), Yunita (2013), Siahaan (2014) dan Fitriyana (2014) menemukan bahwa struktur modal berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Penelitian dengan hasil yang berbeda ditemukan oleh Firdausi (2014) dan Antari (2013) menemukan bahwa struktur modal tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan kajian teoritis, kajian empiris tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: H1 : Struktur modal berpengaruh terhadap nilai perusahaan. 2.3.2
Pengaruh Profitabilitas Terhadap Nilai Perusahaan Profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam
mencari keuntungan atau laba dalam suatu periode tertentu. (Kasmir, 2012 :114). Menurut Agustina (2012) profitabilitas merupakan salah satu bagian finansial yang berpengaruh
terhadap
nilai
perusahaan.
Profitabilitas
menunjukkan
tingkat
keuntungan bersih yang mampu diraih oleh perusahaan saat menjalankan operasinya. Menurut Fandini (2013) manfaat rasio profitabilitas tidak terbatas hanya pada pemilik usaha atau manajemen saja, tetapi juga bagi pihak luar perusahaan, terutama pihakpihak yang memiliki hubungan atau kepentingan dengan perusahaan. Dengan rasio profitabilitas yang tinggi yang dimiliki sebuah perusahaan akan menarik minat investor untuk menanamkan modalnya diperusahaan. Signalling theory menjelaskan bagaimana perusahaan mengeluarkan sinyal berupa informasi yang dapat menjelaskan keadaan perusahaan tersebut lebih baik dibandingkan dengan perusahaan lainnya. Sinyal yang dikeluarkan perusahaan
26
membantu investor dalam menilai suatu perusahaan. Salah satu informasi yang dikeluarkan perusahaan berupa informasi keuangan yang menjelaskan kinerja keuangan perusahaan tersebut yang diukur dengan menghitung berbagai rasio keuangan. Dalam penelitian ini profitabilitas diproksikan melalui Return On Assets (ROA). Return On Asset (ROA) merupakan rasio yang diperhatikan investor dalam menganalisis laporan kinerja keuangan perusahaan. Menurut Susianti (2013) nilai ROA yang tinggi merupakan sinyal positif bagi investor bahwa perusahaan dalam kondisi yang menguntungkan. Hal ini menjadi daya tarik investor untuk memiliki saham perusahaan dan akan meningkatkan harga saham sehingga nilai perusahaan pun meningkat. Penelitian mengenai profitabilitas terhadap nilai perusahaan dilakukan oleh Ju Chen dan Yu Chen (2011). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa profitabilitas berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Su’aidah (2010), Irma (2014) dan Wahyudi (2012) memperkuat penelitian Ju Chen dan Yu Chen dengan menyatakan bahwa profitabilitas yang diproksikan dengan Return On Assets berpengaruh terhadap nilai perusahaan sehingga ketika laba perusahaan naik maka nilai perusahaan akan ikut naik. Astiari (2014) dan Wibowo (2011) menemukan sebaliknya, bahwa ROA tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan kajian teoritis, kajian empiris tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: H2 : Profitabilitas berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
27
2.3.3
Kepemilikan Manajerial Sebagai Pemoderasi Pengaruh Struktur Modal Terhadap Nilai Perusahaan Teori keagenan menjelaskan bahwa terdapat asimetri informasi antara
manajer (agen) dengan pemilik atau pemegang saham (principal). Manajemen (agent) mempunyai informasi lebih daripada pemilik atau pemegang saham (principal). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa perbedaan kepentingan antara manajer dan pemilik atau pemegang saham akan memicu adanya konflik keagenan. Konflik keagenan dapat diminimalkan melalui sistem pengawasan yang mampu menyamakan kepentingan antara agen dan principal, diantaranya dengan peningkatan struktur pendanaan perusahaan melalui hutang dan peningkatan kepemilikan saham oleh manajemen. Kepemilikan saham oleh manajemen akan menurunkan permasalahan agensi karena semakin banyak saham yang dimiliki oleh manajemen maka akan menyebabkan manajemen lebih berhati-hati menggunakan hutang karena mereka ikut menanggung risiko yang ditimbulkan dari tindakannya tersebut. Kepemilikan manajerial mempunyai dua peranan yang berbeda. Pertama manajer bertindak sebagai pemilik perusahaan, dan kedua manajer bertindak sebagai manajer perusahaan. Peranan seperti ini bisa mempengaruhi kinerja manajer saat bekerja dan dapat memicu timbulnya keinginan untuk mempertahankan posisi di dalam suatu perusahaan (Samisi, 2013). Bagi perusahaan meningkatkan proporsi hutang dalam jumlah tertentu terhadap modal sendiri selain untuk menunjang pendanaan perusahaan juga sebagai upaya dari investor dalam bentuk pengawasan terhadap tanggung jawab dan kontrol
28
dari pihak manajemen dalam beroperasi sesuai dengan kepentingan perusahaan. Manajemen yang juga sebagai pemegang saham akan selalu berupaya untuk meningkatkan nilai perusahaan. Berdasarkan penjelasan diatas menyatakan bahwa kepemilikan manajerial memiliki pengaruh terhadap nilai perusahaan sehingga diharapkan mampu memoderasi pengaruh dari sumber modal terhadap nilai perusahaan. Penelitian oleh Meythi dkk. (2012) mengatakan terdapat pengaruh yang signifikan dari struktur modal terhadap nilai perusahaan dengan pertumbuhan perusahaan sebagai moderating. Berdasarkan kajian teoritis, kajian empiris tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: H3 : Kepemilikan manajerial memoderasi pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan. 2.3.4
Kepemilikan Manajerial Sebagai Pemoderasi Pengaruh Profitabilitas Terhadap Nilai Perusahaan Adanya hasil yang tidak konsisten dari hubungan antara kinerja keuangan
dalam hal ini ROA terhadap nilai perusahaan, diperkirakan terdapat variabel lain yang mempengaruhi hubungan antara kinerja dengan nilai perusahaan dalam hal ini adalah variabel kepemilikan manajerial. Ini didasarkan pada pemikiran bahwa manajemen dengan kontrol kepemilikan besar memiliki insentif yang lebih rendah untuk melakukan self-serving behavior yang tidak meningkatkan nilai perusahaan dan bisa jadi memiliki lebih banyak kecenderungan untuk menerapkan kebijakan
29
akuntansi konservatisme untuk meningkatkan kualitas laba (Yuniasih dan Wirakusuma, 2009). Berdasarkan teori agency, diasumsikan bahwa terdapat kemungkinan konflik dalam hubungan antara principal dan agen yang disebut dengan konflik keagenan. Program kepemilikan saham bagi manajemen atau dalam bahasa Inggris sering disebut dengan Employee Strock Option Program (ESOP) dan Management Stock Option Program (MSOP) merupakan suatu program yang memungkinkan partisipasi pihak manajemen untuk memiliki saham perusahaan. Pihak manajemen (manajer, direktur atau komisaris) diberikan kesempatan untuk ikut serta memiliki saham perusahaan dengan tujuan mensetarakannya dengan pemegang saham (Mirah, 2014). Dengan adanya kepemilikan manajerial yang ini merupakan salah satu wujud dari mekanisme GCG yang diyakini dapat mengurangi konflik keagenan tersebut. Sehingga hal tersebut akan berpengaruh pada kinerja perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan. Hal ini disebabkan oleh karena adanya kontrol yang mereka miliki. Dengan adanya motivasi tersebut, maka manajer akan berusaha semaksimal mungkin untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Penelitian oleh Adnyana (2013) menemukan bahwa kepemilikan manajerial mampu mempengaruhi hubungan antara kinerja (ROA) dengan nilai perusahaan. Sejalan dengan Adnyana, penelitian yang dilakukan oleh Anindyati (2011) dan Rahayu (2010) menyatakan pengaruh pengungkapan Good Corporate Governance yang diproksikan oleh kepemilikan manajerial sebagai variabel moderating berpengaruh terhadap hubungan kinerja keuangan yang diproksikan dengan ROA dan
30
ROE pada nilai perusahaan. Penelitian dengan hasil berbeda ditemukan oleh Luvi (2011) dan Fauzi (2010) bahwa kepemilikan manajerial sebagai variabel pemoderasi tidak berpengaruh terhadap hubungan Return On Assets dan nilai perusahaan. Berdasarkan kajian teoritis, kajian empiris tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: H4 :
Kepemilikan manajerial memoderasi pengaruh profitabilitas terhadap nilai perusahaan.
31