BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Two factor theory Herzberg Teori ini membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok, yaitu : 1) Faktor motivator adalah situasi yang membuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja, yang terdiri dari: Achievement (keberhasilan menyelesaikan tugas), Recognition (penghargaan), Work it self (pekerjaan itu sendiri), Responbility (tanggung jawab), Possibility of growth (kemungkinan untuk mengembangkan diri), Advancement (kesempatan untuk maju). 2) Dissatisfier (hygiene factors) adalah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan yang terdiri dari company policy and administration, supervision, technical salary, interpersonal, relation, working condition, job security and status.
2.2
Stres Kerja Selye (dalam Leila, 2002) mendefinisikan stres sebagai the nonspesific
response of the body to any demand atau respon nospesifik tubuh untuk permintaan apapun.
Robbins
(2008:368),
mengemukakan
bahwa
stres
sebagai
suatu
ketidakseimbangan antara keinginan dan kemampuan memenuhinya sehingga menimbulkan konsekuensi penting bagi dirinya. Stres di tempat kerja adalah stres
yang memanifestasikan dirinya di tempat kerja yang mengacu pada persepsi karyawan dari kerja sebagai ancaman (Caplan, 1980). Berbagai defenisi mengenai stres telah dikemukakan oleh para ahli dengan versinya masing-masing, walaupun pada dasarnya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdapat inti persamaannya. Dengan demikian stres kerja dapat diartikan sebagai perasaan yang tidak menyenangkan yang menimbulkan ketegangan dan rasa gelisah karena tugas-tugas atau situasi yang ada di tempat kerja. 2.2.1 Faktor stres kerja Handoko (2001), menyatakan karyawan yang mengalami stres bisa menjadi nervous dan merasakan kekhawatiran kronis. Mereka sering menjadi mudah marah, tidak dapat relaks, atau menunjukkan sikap yang tidak kooperatif, sehingga dapat menggangu pelaksanaan kerja mereka. Handoko (2001), juga menyatakan ada beberapa kondisi kerja yang sering menyebabkan stres bagi para karyawan, diantaranya: 1) Beban kerja yang berlebihan 2) Tekanan atau desakan waktu 3) Kualitas supervisi yang jelek 4) Iklim politis yang tidak aman 5) Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai 6) Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab 7) Kemenduaan peranan (role ambiguity) 8) Frustasi
9) Konflik antar pribadi dan antar kelompok 10) Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan 11) Berbagai bentuk perubahan. Mengenai penyebab stres Robbins (2008),
menyatakan bahwa ada banyak
faktor organisasi yang dapat menimbulkan stres, di antaranya: 1) Tuntutan Tugas Tuntutan tugas merupakan faktor yang terkait dengan pekerjaan seseorang. Faktor ini mencakup desain pekerjaan individu (otonomi, keragaman tugas, tingkat otomatisasi), kondisi kerja, dan tata letak kerja fisik. 2) Tuntutan Peran Tuntutan peran berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada seseorang sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam organisasi itu. Konflik peran menciptakan harapan-harapan yang barangkali sulit dipuaskan. Kelebihan peran terjadi bila karyawan diharapkan untuk melakukan lebih daripada yang dimungkinkan oleh waktu. Ambiguitas
peran tercipta bila
harapan peran tidak dipahami dengan jelas dan karyawan tidak pasti mengenai apa yang harus dikerjakan. 3) Tuntutan Antar Pribadi Tuntutan antar pribadi adalah tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain. Kurangnya dukungan sosial dari rekan-rekan dan hubungan antar pribadi yang buruk dapat menimbulkan stres yang cukup besar, khususnya di antara para karyawan yang memiliki kebutuhan sosial yang tinggi.
4) Struktur Organisasi Struktur organisasi menentukan tingkat diferensiasi dalam organisasi, tingkat aturan dan peraturan, dan di mana keputusan diambil. Aturan yang berlebihan dan kurangnya partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada karyawan merupakan contoh variabel struktural yang dapat merupakan potensi sumber stres. 5) Kepemimpinan Organisasi Kepemimpinan organisasi menggambarkan gaya manajerial eksekutif senior organisasi. Beberapa manajer menciptakan budaya yang dicirikan oleh ketegangan, rasa takut, dan kecemasan mereka memberikan tekanan yang tidak realistis untuk berkinerja dalam jangka pendek, memaksakan pengawasan yang sangat ketat, dan secara rutin memecat karyawan yang tidak dapat mengikuti. 6) Tingkat Hidup Organisasi Organisasi berjalan melalui siklus. Didirikan, tumbuh, menjadi dewasa, dan akhirnya merosot. Tahap kehidupan organisasi, yaitu pada siklus empat tahap ini menciptakan masalah dan tekanan yang berbeda bagi para karyawan. Tahap pendirian dan kemerosotan sangat menimbulkan stres. Yang pertama dicirikan oleh besarnya kegairahan dan ketidakpastian, sedangkan yang kedua lazimnya menuntut pengurangan, pemberhentian, dan serangkaian ketidakpastian yang
berbeda. Stres cenderung paling kecil dalam tahap dewasa di
mana
ketidakpastian berada pada titik terendah. Hurrell (dalam Atmaji, 2011) mengelompokkan pembangkit stres (stressors) ke dalam lima kategori besar, yaitu: 1. Faktor Intrinsik dalam Pekerjaan, faktor ini meliputi: a) Tuntutan Fisik Kondisi kerja fisik memiliki dampak terhadap kesehatan mental dan keselamatan kerja karyawan, sehingga dapat menjadi pembangkit stres. Kondisi fisik tersebut meliputi bising, vibrasi (getaran), serta hygiene (kesehatan dan kebersihan). b) Tuntutan Tugas (a) Kerja Shift atau Kerja Malam Kerja shift/kerja malam dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi para pekerja. Penelitian menunjukkan bahwa kerja shift merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja pabrik. (b) Beban Kerja Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stres. 2. Peran Individu dalam Organisasi Tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masalah. Kurang baik berfungsinya (disfunction) peran, yang
dapat menjadi pembangkit stres misalnya konflik peran serta kebimbangan peran (role ambiguity). Konflik peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya pertentangan antara tugas-tugas yang harus dilakukan dan tanggung jawab yang dimiliki, tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahan, atau orang lain yang dinilai penting, serta pertentangan nilai-nilai dan keyakinan pribadi dengan
tugas atau pekerjaan yang dijalankan.
Kebimbangan peran (role ambiguity) dirasakan jika seorang tenaga kerja tidak memiliki cukup informasi untuk dapat
melaksanakan tugasnya, atau tidak
mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu. 3. Pengembangan karier Pengembangan karier merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang. 4. Hubungan dalam pekerjaan Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah organisasi. 5. Tuntutan dari luar organisasi atau pekerjaan Faktor ini mencakup segala unsur kehidupan seseorang yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja di dalam satu organisasi, dan memberi tekanan pada individu seperti konflik antara tuntutan keluarga dan
tuntutan organisasi, krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan-keyakinan pribadi danorganisasi yang bertentangan. 2.2.2 Tipe-tipe stres Menurut Wijono (2006), stres sendiri dapat dikelompokkan menjadi 2 tipe, yaitu eustress dan distress. 1) Eustress adalah perasaan-perasaan yang menyenangkan (positif) individu, yang dialami karena mendapatkan penghargaan atau mendapat pujian atas dasar prestasi kerjanya yang memuaskan. 2) Distress, yaitu perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan (negatif) individu dan dapat menyebabkan prestasi kerjanya turun. 2.2.3 Dampak stres kerja Menurut Schultz (dalam Almasitoh, 2011) aspek-aspek stres kerja meliputi, pertama deviasi fisiologis, hal ini dapat dilihat pada orang yang terkena stres antara lain adalah sakit kepala, pusing, pening, tidak tidur teratur, susah tidur, bangun terlalu awal, sakit punggung, susah buang air besar, gatal-gatal pada kulit, tegang, pencernaan terganggu, tekanan darah naik, serangan jantung, keringat berlebihan, selera makan berubah, lelah atau kehilangan daya energi, dan lain-lain. Kedua adalah deviasi psikologis yang mencakup sedih, depresi, mudah menangis, hati merana, mudah marah, dan panas, gelisah, cemas, rasa harga diri menurun, merasa tidak aman, terlalu peka, mudah tersinggung, marah-marah, mudah menyerang, bermusuhan dengan orang lain, tegang, bingung, meredam perasaan, komunikasi tidak efektif, mengurung diri, mengasingkan diri, kebosanan, ketidakpastian kerja,
lelah mental, kehilangan spontanitas dan kreativitas, dan kehilangan semangat hidup. Serta yang ketiga adalah deviasi perilaku yang mencakup kehilangan kepercayaan kepada orang lain, mudah mempersalahkan orang lain, mudah membatalkan janji atau tidak memenuhi janji, suka mencari kesalahan orang lain atau menyerang orang lain, terlalu membentengi atau mempertahankan diri, meningkatnya frekuensi absensi, meningkatkan penggunaan minuman keras dan
mabuk, sabotase, meningkatnya
agresivitas dan kriminalitas.
2.3
Konflik Interpersonal
2.3.1 Pengertian konflik interpersonal Dwijanti (2000), menyatakan bahwa konflik interpersonal merupakan konflik yang berkaitan dengan perselisihan antara dua orang anggota organisasi dan terjadi karena adanya perbedaan individual atau pun keterbatasan sumber
daya dan
ketidaksesuaian tindakan antara pihak yang berhubungan. Dana (2006), mengatakan bahwa konflik interpersonal merupakan konflik yang paling
sederhana dan
merupakan jenis konflik yang paling umum dijumpai ditempat kerja. Salah satu sifat dari konflik interpersonal adalah perlu diperhatikannya hasil-hasil bersama kedua belah pihak maupun hasil-hasil individual masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik yang bersangkutan (Winardi, 2004). Suprihanto dkk (2003), menjelaskan bahwa konflik interpersonal terjadi jika antara seseorang dengan orang lain secara individual berada dalam ketidaksesuaian. Lebih lanjut Suprihanto dkk (2003), juga
mengatakan bahwa konflik interpersonal ini bisa terjadi di dalam kelompok maupun antara individu dari kelompok atau dengan individu anggota kelompok lainnya Trisni (2000), menjelaskan bahwa konflik interpersonal adalah suatu hal yang tidak terhindarkan dalam kelompok sosial. Pengertian lain dari Trisni (2000), bahwa konflik interpersonal adalah suatu konsekuensi dari komunikasi yang buruk, salah pengertian, salah perhitungan, dan proses-proses lain yang tidak kita sadari. Dengan demikian konflik interpersonal adalah pertentangan pendapat, ide atau gagasan dalam sebuah organisasi antara indivdu satu dengan yang lainnya yang akan mengakibatkan terhambatnya aktivitas di dalam organisasi tersebut. 2.3.2 Jenis konflik interpersonal Ada lima jenis konflik interpersonal menurut Verderber & Fink (dalam Wijaya, 2014) yaitu : 1) Pseudo conflict atau konflik semu adalah konflik yang ada namun tidak nyata. Konflik ini terjadi pada situasi ketidakcocokan antara kebutuhan atau ide dari pasangan. Bentuk umum dari konflik ini adalah desakan (menggoda, mengejek, mentertawakan). Konflik sebenarnya sudah ada, namun apabila ada pihak yang mengalah, konflik tidak terjadi. Namun apabila konflik tersebut membuat salah satu pihak tersakiti atau tetap berpegang pada ide masing-masing, maka konflik akan menjadi nyata. 2) Fact conflict disebut juga dengan simple conflict terjadi ketika informasi dari satu orang dibantah oleh yang lain. Konflik ini sederhana karena kebenaran informasi yang dibantah dapat dicari kebenarannya.
3) Value conflict terjadi ketika nilai-nilai yang dianut seseorang berbeda dengan yang lain. Apa yang baik dan yang buruk, berharga atau tidak, yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, bermoral atau tidak bermoral. Value conflict terjadi ketika kita berbeda pada apayang kita anggap baik buruk atau ketika kita berbeda pada nilai-nilai yang kita prioritaskan. 4) Policy conflict terjadi ketika dua orang di dalam sebuah hubungan memiliki ketidakselarasan dalam rencana apa yang seharusnya dilakukan, tindakan, atau perilaku dalam menyelesaikan masalah. Kebijakan apa yang harus diambil bergantung pada situasi dan kebudayaan yang mendasari. Ini adalah tipe konflik yang sering terjadi pada banyak pasangan atau hubungan. Konflik ini tidak dapat menemukan apa yang benar dan apa yang salah karena konflik ini berbicara tentang apa yang seharusnya. 5) Ego conflict terjadi ketika orang memiliki pandangan untuk menang untuk memperbaiki pandangan positif tentang dirinya. Konflik ego terjadi ketika kedua pihak memiliki ukuran tentang siapa dirinya, seberapa berkompetennya mereka, dan seberapa banyak yang mereka tahu. Dalam konflik ini, memenangkan situasi konflik menjadi satu-satunya yang dibutuhkan. 2.3.3 Penyebab terjadinya konflik Menurut Supardi (2003) (dalam Susanto 2006) konflik biasanya timbul dalam organisasi sebagai hasil adanya masalah-masalah komunikasi, hubungan pribadi atau struktur organisasi. Secara ringkas penyebab munculnya konflik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Komunikasi: salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti atau informasi yang mendua dan tidak lengkap, serta gaya individu manajer yang tidak konsisten. 2) Struktur: pertarungan kekuasaan antar departemen dengan kepentingankepentingan, persaingan untuk memperebutkan sumber daya yang terbatas atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka. 3) Pribadi: ketidaksesuaian tujuan, tidak tahu nilai-nilai sosial pribadi karyawan dengan perilaku yang diperankan pada jabatan mereka dan perbedaan dalam nilai-nilai atau persepsi. Konflik dapat terjadi dalam berbagai situasi kerja organisasi, Susanto (2006) mengatakan bahwa, aturan-aturan yang diberlakukan dan prosedur yang tertulis dan tidak tertulis dapat menyebabkan konflik, jika penerapannya terlalu kaku dan keras. Setiap anggota organisasi
mewarisi
nilai-nilai
berdasarkan latar
belakang
kehidupannya, penerapan hukuman sebagai akibat dari penerapan aturan yang ketat menyebabkan individu bekerja berdasarkan ancaman bukan didasari oleh motivasi. Konflik muncul karena adanya kenyataan bahwa, para anggota bersaing untuk mendapatkan sumber daya organisasi yang terbatas, bertambahnya beban kerja, aliran tugas yang kurang dimengerti bawahan, kesalahan komunikasi, dan adanya perbedaan status, tujuan atau persepsi (Handoko, 2001). Konflik terjadi dikarenakan ada kondisi yang mendahului, dan kondisi itu merupakan sumber munculnya konflik (Hardjana, 1994:53). Dengan demikian
munculnya berbagai konflik merupakan dinamika dan perkembangan organisasi, karena itu pimpinan perlu memahami beberapa sebab yang dapat menimbulkan konflik, dan mencermati konflik sebagai suatu kejadian yang tidak dapat dipisahkan dari persoalan organisasi.
2.4
Beban Kerja
2.4.1 Pengertian beban kerja Menurut Menpan (dalam Dhania, 2010), pengertian beban kerja adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan
yang
harus diselesaikan oleh suatu unit
organisasi atau pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu. Pengertian beban kerja lainnya yaitu menurut Munandar (2001: 383) beban kerja adalah suatu kondisi dari pekerjaan dengan uraian tugasnya yang harus diselesaikan pada batas waktu tertentu. Dari beberapa pengertian mengenai beban kerja dapat ditarik kesimpulan beban kerja adalah sejumlah kegiatan yang membutuhkan proses mental atau kemampuan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu, baik dalam bentuk fisik maupun psikis. 2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja Faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja dalam penelitian Hariyono dkk, (2009) adalah sebagai berikut : 1) Faktor eksternal: Beban yang berasal dari luar tubuh pekerja, seperti:
(a) Tugas (Task). Meliputi tugas bersifat fisik seperti : tata ruang tempat kerja, kondisi ruang kerja, kondisi lingkungan kerja, sikap kerja, beban yang diangkat. Sedangkan tugas yang bersifat mental meliputi, tanggung jawab, kompleksitas pekerjaan, emosi pekerja dan sebagainya. (b) Organisasi kerja seperti lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam, sistem pengupahan, model struktur organisasi, pelimpahan tugas dan wewenang. (c) Lingkungan kerja. Lingkungan kerja ini dapat memberikan beban tambahan yang meliputi: lingkungan kerja fisik, lingkungan kerja kimiawi, lingkungan kerja biologis dan lingkungan kerja psikologis. 2) Faktor internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh akibat dari reaksi beban kerja eksternal yang berpotensi sebagai stressor, meliputi faktor somatis (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, status gizi, kondisi kesehatan, dan sebagainya), dan faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan, kepuasan). 2.4.3 Dampak dari beban kerja Menurut Winaya (dalam Haryanti dan Purwaningsih, 2013) dampak negatif dari kelebihan beban kerja yaitu : 1) Kualitas kerja menurun Beban kerja yang terlalu berat tidak diimbangi dengan kemampuan tenaga kerja, kelebihan beban kerja akan mengakibatkan menurunnya kualitas kerja
karena akibat dari kelelahan fisik dan turunnya konsentrasi, pengawasan diri, akurasi kerja sehingga hasil kerja tidak sesuai dengan standar 2) Keluhan pelanggan Keluhan pelanggan timbul karena hasil kerjayaitu karena pelayanan yang diterima tidak sesuai dengan harapan, seperti harus menunggu lama, hasil layanan yang tidak memuaskan. 3) Kenaikan tingkat absensi Beban kerja yang terlalu banyak bisa juga mengakibatkan pegawai terlalu lelah atau sakit. Hal ini akan berakibat buruk bagi kelancaran kerja organisasi karena tingkat absensi terlalu tinggi, sehingga dapat mempengaruhi terhadap kinerja organisasi secara keseluruhan. 2.5
Rumusan Hipotesis
2.5.1 Pengaruh antara konflik interpersonal dengan stres kerja Penelitian Videmsek et al. (dalam Stafylal et al, 2013) dalam penelitian mereka mengenai 85 manajer di Slovenia, menemukan bahwa manajer perempuan memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dan gejala kecemasan yang lebih parah dibandingkan dengan laki-laki terkait dengan konflik interpersonal dengan kendala organisasi. Penelitian Agagiotou (2011) mengenai 400 orang guru di Pakistan yang meneliti tentang pengaruh konflik interpersonal terhadap stres kerja, komitmen kerja dan kecerdasan emosional sosial pekerja, ia menemukan bahwa pekerja sosial perempuan menunjukan tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Penelitian Stafylal et al. (2013) mengenai 271 orang dewasa di Yunani menunjukan
bahwa laki-laki lebih tinggi tingkat stres dibandingkan dengan perempuan terkait dengan konflik interpersonal. Berdasarkan pemahaman dan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut : H1 : konflik interpersonal positif dan signifikan terhadap stres kerja pada pegawai Kantor Sekretariat Daerah Kota Denpasar. 2.5.2 Pengaruh antara beban kerja dengan stres kerja Penelitian Haryanti dan Purwaningsih (2013) yang dilakukan pada perawat instalasi unit gawat darurat di RSUD kabupaten Semarang menunjukan bahwa hubungan antara beban kerja dengan stres kerja memiliki hubungan dalam kategori kuat. Arah hubungan adalah positif, artinya semakin meningkat beban kerja akan semakin menyebabkan stres. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahwidhi (2010), tentang pengaruh beban kerja terhadap stres kerja didapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh beban kerja fisik (subyektif) dan beban kerja mental (subyektif) terhadap stres kerja. Penelitian tentang stres perawat IGD yang dilakukan di Malaysia oleh Lexshimi et al. (2007), hasilnya menunjukan bahwa mereka mengalami keluhan sakit kepala, nyeri dada, nyeri perut, bahkan ada yang menyampaikan kehilangan libido. Dari responden didapatkan bahwa yang menyebabkan mereka stres diantaranya adalah: beban
bekerja
dengan
alat
canggih
yang
sangat
menegangkan,
adanya
ketidaknyamanan bekerjasama dengan staf lain dan kurangnya pengalaman bekerja di ruang IGD.
Penelitian Restiaty (2006), mendapatkan hasil bahwa kelelahan kerja yang merupakan gejala fisik stres kerja, artinya semakin berat beban kerja di tempat kerja maka semakin tinggi tingkat stres kerja. Berdasarkan pemahaman dan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut : H2 : beban kerja berpengaruh
positif dan signifikan terhadap stres kerja pada
pegawai Kantor Sekretariat Daerah Kota Denpasar.
2.6
Kerangka Konsep Penelitian Gambar 2.1 Kerangka Penelitian
Konflik Interpersonal (X1)
H1 Stres Kerja (Y)
Beban Kerja (X2)
H2
H2
Sumber : H1 : Amalia Stafylal et al (2013), Agagiotou (2011) H2 : Faridah Aini Haryanti et al. (2013), Mahwidhi (2010), R. Lexshimi (2007), Restiaty et al. (2006)