BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Bab ini menguraikan mengenai kajian pustaka dan hipotesis penelitian. Bab ini terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian 2.1 yang menguraikan kajian pustaka dan bagian 2.2 menguraikan mengenai hipotesis penelitian.
2.1
Kajian Pustaka Salah satu unsur terpenting dalam penelitian adalah teori. Landasan teori
dari suatu penelitian tertentu atau karya ilmiah sering juga disebut sebagai studi literatur atau tinjauan pustaka. Sugiyono (2007) menyebutkan bahwa teori adalah alur logika atau penalaran yang merupakan seperangkat konsep, definisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis.
2.1.1 Teori Akuntansi Positif Teori akuntansi positif mulai berkembang dipelopori oleh Watts dan Zimmerman (1986) untuk menggantikan teori normatif yang dianggap tidak dapat mengghasilkan teori akuntansi yang siap dipakai dalam praktik sehari-hari. Teori akuntansi positif didasarkan pada pandangan bahwa perusahaan merupakan suatu 'nexus of contracts' yaitu, perusahaan sebagai suatu muara bagi berbagai kontrak yang datang kepadanya. Sebagai suatu kumpulan dari berbagai kontrak, secara rasional perusahaan tentunya ingin meminimumkan contracting cost yang berkaitan dengan kontrak yang masuk, seperti kos negosiasi, dan kemungkinan kebangkrutan atau kegagalan. Beberapa dari kontrak tersebut melibatkan variabel-
14
variabel akuntansi, sehingga teori akuntansi positif berargumentasi bahwa perusahaan akan memanfaatkan kebijakan akuntansi guna meminimumkan contracting cost. Teori akuntansi positif juga dapat menjelaskan mengapa kebijakan akuntansi menjadi suatu masalah bagi perusahaan dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan. Menurut teori akuntansi positif, prosedur akuntansi yang digunakan oleh perusahaan tidak harus sama dengan yang lainnya, namun perusahaan diberi kebebasan untuk memilih salah satu alternatif prosedur yang tersedia untuk meminimumkan contracting cost dan memaksimumkan nilai perusahaan. Teori akuntansi positif menggunakan teori keagenan untuk menjelaskan dan memprediksi pilihan kebijakan akuntansi oleh manajer. Watts dan Zimmerman (1986) menjelaskan tiga hipotesis yang mendorong perusahaan untuk melakukan tindakan manajemen laba, yaitu: 1) The Bonus Plan Hypothesis (Hipotesis Program Bonus) Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan akan cenderung untuk menggunakan metode-metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode berjalan. Manajer dalam hal ini sama seperti orang lain pada umumnya tentu saja menginginkan imbalan atau bonus yang tinggi. Hal ini tentunya dilakukan manajer untuk memaksimumkan bonus yang akan mereka peroleh karena seberapa besar tingkat laba yang dihasilkan seringkali dijadikan dasar dalam mengukur keberhasilan kinerja. Dengan demikian, diperkirakan bahwa perusahaan yang mempunyai kebijakan pemberian bonus yang didasarkan pada laba akuntansi, akan
15
cenderung memilih prosedur akuntansi yang meningkatkan laba tahun berjalan. 2) The Debt Covenant Hypothesis (Hipotesis Kontrak Utang) Sebagian kontrak utang mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi peminjam selama masa perjanjian. Hipotesis ini menyatakan jika perusahaan mulai mendekati suatu pelanggaran terhadap debt covenant, maka perusahaan tersebut akan berusaha menghindari terjadinya debt covenant dengan cara memilih metode akuntansi yang meningkatkan laba. Pelanggaran terhadap debt covenant dapat menimbulkan biaya serta menghambat kinerja manajemen, sehingga perusahaan akan berusaha untuk mencegah atau setidaknya menunda hal ini dengan cara meningkatkan laba perusahaan. Manajer akan memilih metode akuntansi yang dapat menaikkan laba sehingga dapat mengendurkan batasan kredit dan mengurangi biaya kesalahan teknis. 3) The Political Cost Hypthesis (Hipotesis Biaya Politik) Hipotesis ini menyatakan bahwa semakin besar biaya politis yang dihadapi oleh perusahaan maka semakin besar pula kecenderungan perusahaan menggunakan pilihan akuntansi yang dapat mengurangi laba, karena perusahaan yang memiliki tingkat laba yang dinilai tinggi akan mendapat perhatian luas dari kalangan konsumen dan media yang nantinya dapat menarik perhatian pemerintah dan regulator dan akan memunculkan intervensi pemerintah, pengenaan pajak yang lebih tinggi, dan berbagai
16
macam tuntutan lainnya sehingga berdampak pada meningkatnya biaya politis.
2.1.2 Tax Avoidance Penerimaan negara yang berasal dari pajak masih menjadi sumber utama pendapatan negara sampai saat ini sehingga sangat diperlukan kejujuran dan kepatuhan dari wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakkannya terutama dalam sistem self assesment yang dianut perpajakan di Indonesia. Dalam teorinya, Allingham dan Sandmo dalam Hanlon dan Heitzman (2010) menyebutkan bahwa kepatuhan perpajakan individual ditentukan oleh tarif pajak, kemungkinan terdeteksi, hukuman, pinalti, dan risk aversion. Selain itu, Allingham dan Sandmo dalam Hanafi dan Harto (2014) juga berkeyakinan bahwa tidak ada individu yang bersedia membayar pajak secara sukarela, sehingga wajib pajak akan selalu berupaya menentang untuk membayar pajak. Adanya keinginan dari wajib pajak untuk tidak membayar pajak membuat adanya perlawanan pajak yang mereka berikan. Sumarsan (2010) membedakan perlawanan pajak menjadi 2 yaitu, perlawanan pasif dan perlawanan aktif. Perlawanan pasif berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai hubungan erat dengan struktur ekonomi. Sedangkan perlawanan aktif adalah semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk menghindari pajak. Terdapat tiga cara perlawanan aktif, yaitu penghindaran pajak (tax avoidance), penggelapan pajak (tax evasion), dan melalaikan pajak.
17
Dari sudut pandang ekonomi, ketiga tindakan tersebut memiliki efek yang sama-sama merupakan tindakan untuk menurunkan nilai laba dengan tujuan mengurangkan beban pajak (Kirchler et al. dalam Sari, 2010). Karakteristik yang membedakannya ada dari sisi ilegalitas dan moral, walaupun masih ada di wilayah abu-abu yang sulit dipisahkan (Slemrod dan Yitzhaki, 2002). Tax evasion adalah tindakan nyata melawan peraturan yang berlaku, sedangkan tax avoidance tidak melanggar peraturan, namun melanggar maksud sebenarnya dari peraturan tersebut. Hanlon dan Heitzman (2010) menegaskan bahwa tidak ada definisi tax avoidance yang diterima secara universal, setiap orang atau peneliti memiliki pemahaman yang berbeda. Menurut Dyreng et al. (2008), tax avoidance merupakan segala bentuk kegiatan yang dilakukan perusahaan dan berakibat pengurangan terhadap tarif pajak perusahaan. Sedangkan Mardiasmo (2003) mendefinisikan tax avoidance sebagai suatu usaha untuk meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang yang ada. Senada dengan definisi Lim (2011) bahwa tax avoidance adalah suatu penghematan pajak yang timbul dengan memanfaatkan ketentuan perpajakan yang dilakukan secara legal untuk meminimalkan kewajiban pajak. Melihat beberapa definisi tersebut berarti tax avoidanceadalah tindakan yang terkait dengan penghematan pada aspek pembayaran pajak dengan tidak melanggar ketentuan undang-undang yang perpajakan yang berlaku. Tax avoidance dijelaskan sebagai suatu rangkaian kesatuan dari strategi perencanaan pajak, istilah lainnya seperti "ketidakpatuhan (non-compliance)", "penggelapan (evasion)", "agresivitas (aggresiveness)", dan "penyembunyian
18
(sheltering)" berada di ujung lain dari rangkaian tersebut (Puspita, 2014). Strategi pajak ini terkadang kurang disukai oleh pemegang saham dan investor karena dianggap memiliki risiko yang relatif tinggi tetapi tidak dapat diungkapkan (Khurana dan Moser dalam Annisa, 2011). Hal ini didukung penelitian yang dilakukan Desai dan Dharmapala (2007), yang mendapatkan hasil bahwa tidak adanya nilai dari kegiatan tersebut kepada pemegang saham dan juga adanya respon negatif dari para investor terkait kebijakan pajak yang diambil perusahaan. Komite urusan fiskal dari OECD menyebutkan terdapat tiga karakter tax avoidance, yaitu: 1) Adanya unsur artifisial dimana berbagai pengaturan seolah-olah terdapat di dalamnya padahal tidak. 2) Skema semacam ini seringkali memanfaatkan loopholes dari undang-undang atau menerapkan ketentuan-ketentuan legal untuk berbagai tujuan, padahal hal tersebut berlawanan dari jiwa undang-undang sebenarnya. 3) Kerahasiaan juga sebagai bentuk dari skema ini dimana umumnya para konsultan yang ditunjuk perusahaan untuk mengurus pajak menunjukkan alat atau cara untuk melakukan tax avoidance dengan syarat wajib pajak menjaga kerahasiaannya sedalam mungkin (Council of Executive Secretaries of Tax Organization, 1991). Tax avoidance tentunya menimbulkan biaya. Beberapa biaya yang harus ditanggung yaitu pengorbanan waktu dan tenaga untuk melakukan tax avoidance, serta adanya risiko yang ditimbulkan jika tindakan tax avoidance terungkap. Risiko ini mulai dari yang dapat dilihat, yaitu denda dan bunga; dan yang tidak
19
terlihat, yaitu hilangnya reputasi perusahaan yang dapat berakibat pada kelangsungan usaha jangka panjang perusahaan (Armstrong et al., 2012).
2.1.3 Karakteristik Eksekutif Setiap pimpinan perusahaan memiliki karakteristik yang mempengaruhinya dalam pengambilan keputusan. Dyreng et al. (2010) menguji 908 sampel pimpinan perusahaan yang tercatat di ExecuComp untuk menunjukkan apakah individu Top Executive memiliki pengaruh terhadap tax avoidance perusahaan, dan memperoleh hasil bahwa pimpinan perusahaan secara individu memiliki peran yang signifikan terhadap tingkat tax avoidance perusahaan. Low (2006) menyebutkan setiap individu eksekutif memiliki salah satu dari dua karakteristik yaitu sebagai pengambil risiko (risk taker) atau penghindar risiko (risk averse). Eksekutif yang memiliki karakteristik risk taker adalah eksekutif yang lebih berani dalam mengambil keputusan bisnis. Eksekutif ini berani memanfaatkan setiap peluang yang ada sekalipun peluang tersebut memiliki risiko yang cukup tinggi, misalnya melakukan pembiayaan dari hutang (Lewellen dalam Budiman dan Setiyono, 2012). Hal ini dilakukan supaya perusahaan tumbuh lebih cepat, walaupun pembiayaan yang terlalu tinggi dari hutang dapat menimbulkan risiko kebangkrutan bagi perusahaan. Fokus utama eksekutif ini adalah pencapaian hasil atau memaksimalkan nilai perusahaan. Sebaliknya, eksekutif yang bersifat risk averse kurang menyukai risiko, sehingga dalam mengambil keputusan bisnis eksekutif ini akan lebih memilih keputusan bisnis yang tidak mengakibatkan risiko besar. Fokus utama eksekutif ini adalah keamanan. Eksekutif risk averseakan mempertimbangkan setiap
20
peluang yang ada dan memilih peluang bisnis yang tidak akan menimbulkan risiko tinggi. Karakter risk taker atau risk averse seorang pimpinan perusahaan tercermin dari besar kecilnya risiko perusahaan (Budiman dan Setiyono, 2012). Semakin tinggi risiko suatu perusahaan maka eksekutif cenderung bersifat risk taker. Sebaliknya, semakin rendah risiko perusahaan maka eksekutif akan cenderung bersifat risk averse. Hartono (2008) menyebutkan risiko memiliki kaitan dengan return yang diperoleh perusahaan, bahwa risiko merupakan penyimpangan atau deviasi dari outcome yang diterima dengan yang diekspektasi. Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa semakin besar deviasi antara outcome yang diterima dengan diekspektasikan mengindikasikan semakin besar pula risiko yang ada (Swingly, 2014). Senada dengan Hartono (2008), Paligorova (2010) mengartikan risiko perusahaan sebagai penyimpangan atau deviasi standar dari earning baik penyimpangan yang bersifat kurang dari yang direncanakan (downside risk) atau mungkin lebih dari yang direncanakan (upside potential), semakin besar deviasi earning perusahaan mengindikasikan semakin besar pula risiko perusahaan yang ada. Tinggi rendahnya risiko perusahaan akan mengindikasikan eksekutif termasuk risk taker atau risk averse.
2.1.4 Kepemilikan Keluarga Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang perusahaannya masih dominan dikendalikan oleh kepemilikan keluarga. Fama dan Jensen dalam Hidayanti (2013) menyatakan bahwa perusahaan dengan kepemilikan keluarga
21
lebih efisien daripada perusahaan yang dimiliki publik karena biaya pengawasan yang dikeluarkan atau monitoring cost-nya lebih kecil. Menurut Lei dan Song dalam Putri (2014), perusahaan yang mempunyai kepemilikan keluarga atau salah satu anggota keluarganya menduduki dewan direksi maka memiliki corporate governance index yang buruk, hal ini disebabkan adanya keinginan dari dewan direksi yang memiliki kepemilikan keluarga untuk lebih memperhatikan kepentingan sendiri. Perusahaan yang dikendalikan keluarga lebih efisien karena memiliki masalah agensi lebih kecil akibat berkurangnya konflik antara principal dan agent, maka pada perusahaan dengan kepemilikan keluarga tinggi, tindakan manajemen yang oportunis dapat dibatasi (Siregar dan Utama, 2005). Dalam sebuah usaha keluarga, anggota keluarga secara ekonomis tergantung kepada yang lain dan bisnisnya secara strategis dihubungkan pada kualitas hubungan keluarga. Hal itu juga menggabungkan sebuah rentang situasi mulai dari perusahaan keluarga generasi tunggal suami dan istri, anak, dan keponakan. Susanto et al. (2007) menyebutkan bahwa suatu organisasi dapat dinamakan perusahaan keluarga apabila paling sedikit ada keterlibatan dua generasi dalam keluarga itu dan mereka mempengaruhi kebijakan perusahaan. Beberapa tahun terakhir, banyak definisi perusahaan keluarga yang disampaikan. Kebanyakan dari usulan definisi tersebut berfokus pada beberapa faktor yang melingkupi perusahaan keluarga seperti kepemilikan, kendali, manajemen, dan keinginan untuk melestarikan suksesi antar generasi atau masalah-masalah budaya.
22
Morck dan Yeung dalam Fitri (2012) mendefinisikan perusahaan keluarga sebagai perusahaan yang dijalankan berdasarkan keturunan atau warisan dari orang-orang yang sudah lebih dulu menjalankannya atau oleh keluarga yang secara terang-terangan mewariskan perusahaannya kepada generasi selanjutnya. Bernard dalam Hidayanti (2013) mengemukakan bahwa perusahaan keluarga dikendalikan oleh anggota keluarga tunggal khususnya dalam proses pengambilan keputusan bisnis yang penting. Lebih lanjut Carsrud (1994:40) menjelaskan bahwa perusahaan keluarga adalah perusahaan yang benar-benar dimiliki oleh keluarga dari pembuatan dan pengambilan kebijakan perusahaan didominasi oleh anggota "emotional kinship group". Hal ini berarti suatu perusahaan keluarga memiliki dominasi anggota keluarga yang termasuk dalam kelompok yang mempunyai pertalian keluarga secara emosional dan terlihat secara kasat mata. Arifin (2003), mendefinisikan kepemilikan keluarga sebagai individu dan perusahaan yang kepemilikannya tercatat (kepemilikan > 5% wajib dicatat), yang bukan perusahaan publik, negara institusi keuangan, dan publik (individu yang kepemilikannya tidak wajib dicatat). Selain itu, Claessens et al.(2000) serta Faccio dan Lang (2002) dalam Siregar (2007), mengidentifikasi keluarga berdasarkan kesamaan nama belakang dan hubungan perkawinan. Sebagai ilustrasi dari kepemilikan keluarga adalah sebagai berikut. Tn. A 15% Tn. B 20% Perusahaan Lokal C 10% Perusahaan Lokal D 15% PT. XYZ Tbk 30% Perusahaan Asing F 10%
23
Dari komposisi kepemilikan tersebut, kepemilikan keluarga adalah 60% (Tn. A + Tn. B + Perusahaan Lokal C + Perusahaan Lokal D). Kepemilikan saham oleh keluarga dalam suatu perusahaan merupakan pemegang saham khusus yang memiliki struktur insentif unik (Sirait dan Martani, 2014). Pemilik saham keluarga berbeda dengan pemegang saham biasa berkenaan dengan dua karakteristik yaitu perhatian keluarga pada kemampuan perusahaan bertahan dalam jangka panjang dan reputasi keluarga dan perusahaan. Karakteristik pertama, keluarga peduli pada kemampuan perusahaan bertahan pada jangka panjang. Kepedulian ini timbul karena umumnya pemilik saham keluarga tidak mendefinisikan portofolionya dan ingin mewariskan perusahaan tersebut kepada keturunannya. Karakteristik kedua, perusahaan yang dimiliki keluarga lebih peduli pada reputasi keluarga dan perusahaan, karena terkait dengan kelangsungan jangka panjang perusahaan. Pada perusahaan keluarga, pihak eksternal akan berhadapan dengan pengelolaan perusahaan yang sama dalam jangka panjang. Pihak eksternal akan berasumsi pengelola perusahaan bertindak konsisten di masa depan, sehingga jika perusahaan melakukan suatu tindakan yang merusak reputasi keluarga, maka pihak eksternal akan beranggapan perusahaan dapat melakukan tindakan tersebut kembali karena pengelola perusahaan tidak berubah.
2.2
Rumusan Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Karakteristik Eksekutif pada Tax Avoidance Berdasarkan teori akuntansi positif, periode akuntansi yang digunakan oleh perusahaan tidak harus sama dengan yang lainnya, namun perusahaan diberi
24
kebebasan untuk memilih salah satu alternatif prosedur yang tersedia untuk meminimumkan biaya kontrak dan memaksimumkan nilai perusahaan. Kebebasan itulah yang menjadi salah satu faktor yang mendorong eksekutif perusahaan untuk melakukan tindakan untuk meminimumkan jumlah pajak yang harus dibayar atau dengan kata lain melakukan tax avoidance. Low (2006) menyebutkan setiap individu eksekutif memiliki salah satu dari dua karakteristik yaitu risk taker dan risk averse. Karakter risk taker adalah eksekutif yang lebih berani dalam mengambil keputusan bisnis. Eksekutif dengan karakter ini berani memanfaatkan setiap peluang yang ada sekalipun peluang tersebut memiliki risiko yang cukup tinggi. Sebaliknya, karakter risk averse kurang menyukai risiko, sehingga dalam mengambil keputusan bisnis eksekutif ini akan lebih memilih keputusan bisnis yang tidak mengakibatkan risiko besar. Penelitian yang dilakukan Budiman dan Setiyono (2012) membuktikan bahwa semakin risk taker seorang eksekutif maka akan semakin tinggi tingkat tax avoidance yang diindikasikan dengan Cash Effective Tax Rate (CETR) yang menurun. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Carolina dkk. (2014) yang berkesimpulan bahwa semakin tinggi nilai risiko perusahaan berarti semakin bersifat risk taker eksekutif tersebut, sebaliknya nilai risiko perusahaan yang rendah menunjukkan eksekutif perusahaan bersifat risk averse. Berdasarkan alasan tersebut, dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut. H1 :Karakteristik eksekutif berpengaruh positif pada tax avoidance perusahaan.
25
2.2.2 Pengaruh Kepemilikan Keluarga pada Tax Avoidance Dalam perusahaan keluarga, terdapat masalah keagenan yang unik yaitu konflik yang lebih besar antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas, dan konflik yang lebih kecil antara pemilik dan manajer. Kehadiran pendiri perusahaan sebagai pemegang saham mayoritas dalam perusahaan keluarga berdampak pada tax avoidance perusahaan (Chen et al., 2010). Fenomena di Indonesia sendiri menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan yang struktur kepemilikannya terkonsentrasi pada keluarga cenderung melakukan aggressive tax avoidance.Salah satu contohnya adalah kasus PT. Asian Agri, yang sebagian besar kepemilikannya di miliki oleh keluarga Tanoto, kasus lainnya adalah
PT. Kaltim Prima Coal (KPC)serta PT Bumi
Resources(BUMI) yang sebagian besar kepemilikannya di miliki oleh keluarga Bakrie (Rusdyi dan Martani, 2014). Chen et al. (2010) menguji sampel perusahaan-perusahaan yang terdaftar di S&P 1500 Index di Amerika Serikat dan mendapatkan hasil bahwa tingkat keagresifan pajak perusahaan keluarga lebih kecil daripada perusahaan nonkeluarga, atau dapat dikatakan perusahaan keluarga memiliki tingkat tax avoidance yang lebih rendah dibandingan perusahaan non-keluarga. Serupa dengan hasil penelitian yang diperoleh Rusdyi dan Martani (2014), bahwa di Indonesia perusahaan keluarga memiliki aggresive tax avoidanceyang lebih kecil dari perusahaan non-keluarga.Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sari (2010) pada perusahaan di Indonesia yang menunjukkan hasil bahwa perusahaan yang dimiliki oleh keluarga cenderung memiliki tingkat tax avoidance
26
lebih tinggi daripada perusahaan non-keluarga. Penelitian yang dilakukan Sirait dan Martani (2014) juga mendapatkan hasil yang senada, bahwa perusahaan dengan kepemilikan keluarga lebih menghindari pajak dibandingkan perusahaan non-keluarga. Berdasarkan fenomena dan
penelitian sebelumnya,
dapat
dikembangkan hipotesis sebagai berikut. H2 :Kepemilikan keluarga berpengaruh positif pada tax avoidance perusahaan.
27