BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Kemiskinan Merdekawati dan Budiantara (2013) mengemukakan bahwa kemiskinan dalam arti luas adalah keterbatasan yang disandang oleh seseorang, sebuah keluarga, sebuah komunitas, atau bahkan sebuah negara yang menyebabkan ketidaknyamanan dalam kehidupan, terancamnya penegakan hak dan keadilan, terancamnya posisi tawar (bargaining) dalam pergaulan dunia, hilangnya generasi, serta suramnya masa depan bangsa dan negara. Ketika pendapatan perkapita meningkat dan merata maka kesejahteraan masyarakat akan tercipta dan ketimpangan akan berkurang. Menurut Nehen (2012:193) penduduk miskin adalah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Penduduk miskin adalan penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan (BPS Provinsi Bali, 2014). Menurut Arsyad (2004:238), terdapat dua macam ukuran kemiskinan yang umum digunakan yaitu: 1. Kemiskinan absolut adalah menentukan komposisi dan tingkat kebutuhan minimum karena kedua hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh adat kebiasaan saja tetapi juga oleh iklim, tingkat kemajuan suatu negara dan berbagai faktor ekonomi lainnya 2. Kemiskinan relatif merupakan perbaikan dari konsep kemiskinan absolut yang lebih dinamis sehingga kemiskinan akan selalu ada.
1
Selain itu Arsyad (2004:240) juga mengemukakan indikator kemiskinan ada bermacam-macam, diantaranya: konsumsi beras per kapita per tahun, tingkat pendapatan, tingkat kecukupan gizi, kebutuhan fisik minimum (KFM) dan tingkat kesejahteraan. Faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan baik secara langsung maupun tidak langsung diantaranya:
tingkat
pertumbuhan
output
atau
produktivitas tenaga kerja, tingkat upah neto, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, tingkat inflasi, pajak dan subsidi, investasi, alokasi serta kualitas sumber daya alam, ketersediaan fasilitas umum, penggunaan teknologi, tingkat dan jenis pendidikan, kondisi fisik dan alam di satu wilayah, etos kerja dan motivasi kerja, kultur dan budaya atau tradisi, hingga politik, bencana alam dan peperangan.
2.1.2 Otonomi Daerah Menurut Maimunah (2006) Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Salah satu pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya desentralisasi fiskal yaitu pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensi masing-masing (Santosa, 2013). Menurut Suparmoko (2002:16) desentralisasi muncul tidak lepas dari adanya kelemahan-kelemahan pada sistem sentralisasi, diantaranya adanya kesulitan dalam pelaksanaan program pembangunan daerah secara efektif untuk negara yang sangat besar seperti Indonesia, perlunya memasukkan pengalaman
2
dan pengetahuan mengenai daerah ke dalam proses pembentukan atau pengambilan keputusan, kurangnya kesempatan pemerintah daerah untuk terlibat dalam melaksanakan program pembangunan nasional. Menurut Kaho (2001:60) faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan otonomi daerah, yaitu: 1. Manusia sebagai pelaksana harus baik karena manusia merupakan subyek dalam aktivitas pemerintahan. Manusialah yang merupakan pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Mekanisme sistem pemerintahan baik daerah maupun pusat hanya dapat berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan seperti yang dikehendaki, apabila manusia sebagai subyek yang menggerakkannya baik pula. 2. Keuangan yang baik karena hampir tidak ada kegiatan pemerintahan yang tidak membutuhkan biaya. Makin besar jumlah uang yang tersedia, makin banyak pula kemungkinan kegiatan atau
pekerjaan
yang dapat
dilaksanakan. Demikian pula semakin baik pengelolaannya semakin berdaya guna pemakaian uang tersebut. Dalam menciptakan suatu pemerintahan daerah yang baik dan yang dapat melaksanakan tugas otonominya dengan baik, maka faktor keuangan ini mutlak diperlukan. 3. Peralatan yang cukup baik merupakan setiap benda atau alat yang dapat dipergunakan untuk memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintah daerah. Peralatan yang baik dalam hal ini jelas diperlukan bagi terciptanya suatu pemerintah daerah yang baik seperti alat-alat kantor, alat-alat komunikasi dan transportasi, dan sebagainya. Apalagi dalam organisasi pemerintahan yang serba kompleks di abad teknologi modern sekarang ini,
3
alat-alat serba praktis dan efisien sangat dibutuhkan sekali. Namun dilain pihak, peralatan yang baik tersebut tergantung pula pada kondisi keuangan yang dimiliki serta kecakapan manusia atau aparat yang menggunakannya. 4. Organisasi dan manajemen yang baik merupakan organisasi dalam arti struktur yaitu susunan yang terdiri dari satuan-satuan organisasi beserta segenap pejabat, kekuasaan, tugasnya dan hubungannya satu sama lain, dalam rangka mencapai sesuatu tujuan tertentu. Manajemen pemerintahan daerah yang baik tergantung pada kepala daerah (beserta stafnya) dalam menggerakkan peralatan seefisien dan seefektif mungkin untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan Undang-Undang.
2.1.3 Pertumbuhan Ekonomi Menurut Boediono (1981:1) pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Tekanannya pada tiga aspek yaitu: proses, output per kapita dan jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output per kapita yaitu output total (GDP) dan jumlah penduduk. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai GDP/GNP tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak (Arsyad, 2004:13). Cara menghitung pertumbuhan ekonomi yaitu: Rumus : g = {(PDBs-PDBk)/PDBk} x 100%..................................................................(1)
4
Keterangan: g = tingkat pertumbuhan ekonomi PDBs = PDB riil tahun sekarang PDBk = PDB riil tahun kemarin Menurut Sukirno (2011:429) ada beberapa faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi, yakni : 1. Tanah dan Kekayaan Alam Lainnya Kekayaan Alam suatu negara meliputi luas dan kesuburan tanah, keadaan iklim dan cuaca, jumlah dan jenis hasil hutan dan hasil laut yang dapat diperoleh, serta jumlah dan jenis kekayaan barang tambang yang tersedia. Kekayaan alam akan dapat mempermudah dalam mengembangkan perekonomian terutama pada masa permulaan pertumbuhan ekonomi. Ketika pertumbuhan ekonomi baru bermula terdapat banyak hambatan untuk mengembangkan berbagai kegiatan ekonomi. Apabila suatu negara mempunyai kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan dengan baik maka hambatan pertumbuhan ekonomi akan dapat diatasi dan pertumbuhan ekonomi akan tumbuh pesat. 2. Jumlah dan Mutu dari Penduduk dan Tenaga Kerja Penduduk yang bertambah dari waktu ke waktu dapat menjadi pendorong bahkan penghambat suatu pertumbuhan ekonomi. Dorongan yang timbul dari perkembangan penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi bersumber dari akibat pertambahan itu terhadap pasar. Perkembangan penduduk menyebabkan besarnya luas pasar dari barang-barang yang dihasilkan perusahaan
menjadi
perkembangan
besar
penduduk
pula. akan
5
Karena
peranannya
menimbulkan
ini
dorongan
maka kepada
pertambahan dalam produksi nasional dan tingkat kegiatan ekonomi. Akibat buruk dari pesatnya pertambahan penduduk kepada pertumbuhan ekonomi terutama dihadapi oleh masyarakat yang kemajuan ekonominya belum tinggi tetapi telah menghadapi masalah kelebihan penduduk. Suatu negara dipandang menghadapi masalah kelebihan penduduk apabila jumlah penduduk adalah tidak seimbang dengan faktor-faktor produksi lain yang tersedia, yaitu jumlah penduduk yang jauh melebihi faktor produksi. 3. Barang-Barang Modal dan Tingkat Teknologi Barang-barang modal penting artinya dalam meningkatkan keefisienan pertumbuhan ekonomi. Barang-barang modal yang bertambah jumlahnya dan teknologi yang telah bertambah modern memegang peranan penting di dalam
mewujudkan
kemajuan
ekonomi.
Kemajuan
teknologi
menimbulkan beberapa efek positif dalam pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan pesatnya pertumbuhan ekonomi. 4. Sistem Sosial dan Sikap Masyarakat Sistem sosial dan sikap masyarakat penting peranannya dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Sistem sosial yang dimiliki oleh masyarakat yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi diantaranya adalah masyarakat tidak ingin menggunakan cara modern dalam melakukan proses produksi. Sikap masyarakat yang dapat memberikan dorongan yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi diantaranya adalah sikap berhemat dan bertujuan untuk investasi.
6
Ada beberapa alat pengukur dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu : 1. Produk Domestik Bruto apabila ditingkat nasional adalah jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam satu tahun dan dinyatakan dalam harga pasar. Ketika PDB meningkat maka terjadi pertumbuhan ekonomi. 2. Produk domestik regional bruto per kapita dapat digunakan sebagai alat ukur pertumbuhan yang lebih baik dalam mencerminkan kesejahteraan penduduk dalam skala daerah. Ketika PDRB per kapita tinggi maka akan terjadi pertumbuhan ekonomi.
2.1.4 Teori Pertumbuhan Ekonomi Terdapat beberapa teori mengenai pertumbuhan ekonomi, diantaranya: 1. Teori Simon Kuznet Pertumbuhan ekonomi akan menjadi lebih bermanfaat apabila diiringi dengan peningkatan pemerataan pendapatan. Hipotesis Simon Kuznet menjelaskan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Kuznet berpendapat bahwa hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan adalah semakin tinggi koefisien gini akan semakin rendah distribusi pendapatan (Boediono, 2008:61). Menurut Kuznet pada tahap awal pendapatan per kapita terhadap kesenjangan distribusi pendapatan cenderung meningkat. Tahap berikutnya ditribusi pendapatan bertambah tinggi hingga pada tahap akhir kesenjangan distribusi pendapatan akan menurun. Dasar dari hipotesis Kusnetz adalah ketimpangan yang rendah yang terjadi dipedesaan dengan sektor yang
7
mendominasi adalah pertanian dibandingkan dengan perkotaan yang didominasi oleh sektor jasa dan industri yang tingkat ketimpangan pendapatanya tinggi, terjadi transformasi ekonomi dari sektor pertanian ke sektor jasa (Arsyad, 2010:292). 2. Teori Walt Whitman Rostow Menurut Rostow proses pembangunan ekonomi dibedakan ke dalam lima tahapan (Arsyad, 2004:47) yaitu: a. Masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang fungsi produksinya terbatas yang ditandai oleh cara produksi yang relatif masih primitif yang didasarkan pada teknologi pra-Newton dan cara hidup masyarakat yang masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang kurang rasional tetapi kebiasaan tersebut telah turun temurun. Menurut Rostow dalam suatu masyarakat tradisional, tingkat produktivitas per pekerja masih rendah. Oleh karena itu sebagian besar sumber daya manusia digunakan untuk sektor pertanian. b. Tahap prasyarat tinggal landas didefinisikan sebagai suatu masa dimana masyarakat mempersiapkan dirinya untuk mencapai pertumbuhan atas kekuatan sendiri. Pada tahap ini dan sesudahnya pertumbuhan ekonomi akan terjadi secara otomatis. c. Tahap tinggal landas, pada awal tahap ini terjadi perubahan yang drastis dalam masyarakat seperti revolusi politik, terciptanya kemajuan yang pesat dalam inovasi, atau berupa terbukanya pasar-pasar baru. Sebagai akibat dari perubahan-perubahan tersebut secara teratur akan tercipta
8
inovasi-inovasi
dan
peningkatan
investasi.
Rostow
mengambil
kesimpulan bahwa untuk mancapai tahap tinggal landas tidak satu sektor ekonomi yang baku untuk semua negara yang bisa menciptakan pembangunan ekonomi. d. Tahap menuju kedewasaan diartikan sebagai masa dimana masyarakat sudah secara efektif menggunakan teknologi modern pada hampir semua kegiatan produksi. Pada tahap ini sektor-sektor pimpinan baru muncul menggantikan sektor-sektor pimpinan lama yang akan mengalami kemunduran. e. Tahap konsumsi tinggi, pada tahap ini perhatian masyarakat telah lebih menekankan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumsi dan kesejahtraan masyarakat bukan lagi kepada masalah produksi.
2.1.5 Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintahan Teori makro mengenai perkembangan pemerintahan dikemukakan oleh para ahli ekonomi dan dapat digolongkan menjadi tiga golongan menurut Mangkoesoebroto (1993:169) yaitu: 1. Model Pembangunan Tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Berdasarkan model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah yang dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahaptahap pembangunan ekonomi ke dalam beberapa tahap yaitu tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab tahap ini pemerintah harus menyediakan sarana
9
prasarana. Peranan pemerintah pada tahap menengah tetap besar karena peranan swasta banyak menimbulkan kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak serta kualitas yang lebih baik. Pada tahap lanjut Rostow mengatakan bahwa pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua, program pelayanan kesehatan masyarakat dan sebagainya. 2. Hukum Wagner Wagner
mengemukakan
teori
dalam
suatu
hukum
mengenai
perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap GDP. Bunyi Hukum Wagner adalah dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah juga akan meningkat. Wagner menyadari bahwa dengan bertumbuhnya perekonomian hubungan antara industri dengan industri, hubungan industri dengan masyarakat menjadi semakin rumit atau kompleks. Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya. 3. Teori Peacock dan Wiseman Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu pandangan bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak yaitu suatu
10
tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Teori Peacock dan Wiseman menyatakan bahwa perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu dalam keadaan normal meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar begitu juga dengan pengeluaran pemerintah yang menjadi semakin besar.
2.1.6 Pendapatan Asli Daerah Menurut Undang-Undang 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, pendapatan asli daerah didefinisikan sebagai pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah yang menyatakan sumber-sumber pendapatan asli daerah yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan daerah dan lain-lain hasil usaha daerah yang sah. Pajak merupakan sumber keuangan pokok bagi daerah-daerah di samping retribusi daerah. Retribusi daerah adalah pembayaran-pembayaran kepada daerah yang dilakukan oleh para pengguna jasa-jasa daerah. Perusahaan daerah adalah suatu badan usaha yang dibentuk oleh daerah untuk memperkembangkan perekonomian daerah dan untuk menambah penghasilan daerah (Kaho, 2001:127).
11
Menurut Suparmoko (2002:55) pendapatan asli daerah terdiri dari pajak dan retribusi daerah, keuntungan perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah dan lain-lain pendapatan asli daerah. Pajak merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada pemerintah tanpa balas jasa langsung yang dapat ditunjuk, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pajak ini digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Santosa (2013) mengatakan bahwa, peningkatan pendapatan asli daerah yang dianggap sebagai modal secara akumulasi akan lebih banyak menimbulkan efek positif dan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya peningkatan pendapatan asli daerah pada akhirnya akan dapat mengurangi pengangguran dan kemiskinan Perusahaan daerah memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam peningkatan PAD, namun pada beberapa daerah kontribusi perusahaan daerah terlalu rendah. Dalam mengoptimalkan perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan
dalam
peningkatan
pendapatan
asli
daerah
perlu
adanya
profesionalisme dalam menjalankan perusahaan tersebut. Menurut Mahmudi (2010:16) pendapatan daerah yang berasal dari lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, antara lain: hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, tuntutan ganti rugi, komisi, potongan, keuntungan selisih kurs, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda
12
pajak dan retribusi, pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan atas fasilitas sosial dan fasilitas umum, dan pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan penelitian.
2.1.7 Belanja Tidak Langsung Belanja daerah adalah semua pengeluaran pemerintah daerah pada satu periode anggaran yang berupa arus aktiva keluar guna melaksanakan kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah pusat. Salah satu komponen belanja daerah adalah belanja tidak langsung. Menurut Mahmudi (2010:97) mengatakan bahwa belanja tidak langsung adalah belanja yang tidak terkait secara langsung dengan kegiatan yang dilaksanakan. Sementara menurut Haryanto (2013) belanja tidak langsung adalah belanja yang tidak digunakan secara langsung oleh adanya program atau kegiatan, Belanja tidak langsung diarahkan kepada pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan ketersediaan pelayanan umum untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Belanja tidak langsung terdiri atas belanja pegawai (gaji dan tunjangan, tambahan penghasilan PNS, belanja penerimaan lainnya pimpinan dan anggota DPRD, biaya pungutan pajak daerah), belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan keuangan, belanja bantuan sosial serta belanja tidak terduga.
2.1.8 Hubungan Pendapatan Asli Daerah dan Kemiskinan Pendapatan asli daerah yang diterima pemerintah daerah menggambarkan tingkat kesiapan daerah mengelola daerahnya. Semakin tinggi pendapatan asli
13
daerah maka semakin besar anggaran belanja terutama dalam pengalokasian belanja untuk kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat menjadi salah satu indikator kemiskinan, semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah maka semakin rendah tingkat kemiskinan masyarakat. Menurut
hipotesis
Kuznet,
dalam
jangka
pendek
meningkatnya
pendapatan akan diikuti dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan, namun dalam jangka panjang peningkatan pendapatan akan diikuti dengan penurunan kesenjangan pendapatan. Dasar dari hipotesis Kuznet adalah ketimpangan yang rendah yang terjadi dipedesaan dengan sektor yang mendominasi adalah pertanian dibandingkan dengan perkotaan yang didominasi oleh sektor jasa dan industri yang tingkat ketimpangan pendapatanya tinggi. Kuznet mengatakan, terjadi transformasi ekonomi dari sektor pertanian ke sektor jasa. Semakin rendah kesenjangan pendapatan suatu daerah mengindikasikan rendahnya tingkat kemiskinan pada daerah tersebut. Menurut Santosa (2013) menyatakan bahwa pendapatan asli daerah memiliki pengaruh terhadap penurunan angka kemiskinan daerah. Semakin baik daerah dalam mengelola potensi pada daerahnya maka semakin tinggi pendapatan yang diterima sehingga daerah tersebut juga dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakatnya dan mengurangi jumlah penduduk miskin yang ada di daerah tersebut.
14
2.1.9 Hubungan Belanja Tidak Langsung dan Kemiskinan Belanja tidak langsung dialokasikan untuk penyediaan fasilitas dan sarana prasarana publik seperti sekolah, perbaikan jalan, jembatan dan lain-lain. Selain itu belanja tidak langsung juga dialokasikan untuk kebutuhan pembangunan seperti pertumbuhan ekonomi dan penyediaan jaminan sosial (Jaminan Kesehatan Bali Mandara, JAMKRIDA, beras miskin dan lain-lain.. Hal ini bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang lebih baik. Sasaran utama dalam pengalokasian belanja tidak langsung adalah kemiskinan yang ada di daerah. Teori Keynes menerangkan bahwa permintaan agregat akan menentukan tingkat perekonomian. Menurut Keynes, ketika pada suatu periode tertentu dilakukan sejumlah pembentukan modal maka pada masa yang akan datang perekonomian akan menjadi kemampuan yang lebih besar dalam menghasilkan barang dan jasa. Hal ini berarti pembentukan modal harus melakukan pembelanjaan, sehingga pembelanjaan dapat membentuk modal yang akan menghasilkan barang dan jasa guna membantu dalam menurunkan kemiskinan. Kajian yang meneliti hubungan belanja pemerintah dengan kemiskinan dilakukan oleh Merdekawati dan Budiantara pada tahun 2013 yang menyatakan bahwa, pengalokasian belanja daerah untuk bantuan sosial berpengaruh positif terhadap penurunan persentase kemiskinan. Hal ini menandakan alokasi belanja daerah untuk bantuan sosial yang dilakukan pemerintah sudah tepat sasaran dan berjalan dengan baik dalam mengurangi kemiskinan di daerah. Menurut Suryadarma dan Suryahadi (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan pengeluaran
15
sektor publik dan swasta akan mengurangi kemiskinan dua kali lebih cepat hanya mengandalkan belanja publik.
2.1.10 Hubungan Pendapatan Asli Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan asli daerah merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang memiliki hubungan dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Semakin tinggi pendapatan asli daerah maka tingkat kemandirian daerah dalam mengelola daerahnya dikatakan semakin baik dan ketergantungan terhadap subsidi yang diberikan oleh pemerintah pusat berkurang. Pendapatan asli daerah memiliki dampak positif terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Menurut teori Peacock dan Wiseman yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi menyebabkan pungutan pajak semakin meningkat dan meningkatnya penerimaan pajak memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah. Hal ini menandakan pendapatan asli daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Mawarni, dkk. (2013) mengemukakan bahwa pendapatan asli daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
2.1.11 Hubungan Belanja Tidak Langsung dan Pertumbuhan Ekonomi Belanja tidak langsung diduga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bali. Sudah banyak peneliti yang meneliti hubungan antara belanja tidak langsung dan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah yang dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi ke dalam beberapa tahap yaitu tahap awal perkembangan ekonomi,
16
persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab tahap ini pemerintah harus menyediakan sarana prasarana. Peranan pemerintah pada tahap menengah tetap besar karena peranan swasta banyak menimbulkan kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak serta kualitas yang lebih baik. Pada tahap lanjut Rostow mengatakan bahwa pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua, program pelayanan kesehatan masyarakat dan sebagainya (Mangkoesoebroto, 1993:170). Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap GNP semakin besar dan persentase investasi pemerintah dalam persentase GNP akan semakin kecil. Investasi pemerintah atau pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Penyediaan prasarana yang dikemukakan oleh Rostow merupakan komponen dari belanja tidak langsung yang akan menunjang pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh besar pada pertumbuhan. Pemerintah harus meningkatkan pengeluaran pada infrastruktur, sosial dan kegiatan ekonomi, selain itu, pemerintah harus mendorong dan mendukung inisiatif sektor swasta dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi (Egbetunde dan Fasanya, 2013). Menurut Adi (2006) belanja pembangunan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Prakarsa (2014) menyatakan bahwa belanja barang dan jasa berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Haryanto (2013) menyatakan bahwa belanja
17
langsung dan belanja tidak langsung secara bersama-sama berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Pernyataan serupa juga dinyatakan oleh Lamartina dan Zaghini (2008) tentang indikasi korelasi positif struktural antara belanja publik dan PDB per kapita yang konsisten dengan apa yang disebut hukum Wagner.
2.1.12 Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Pertumbuhan ekonomi yang cepat akan mengurangi kemiskinan disuatu daerah. Pertumbuhan ekonomi akan mengurangi kemiskinan apabila dibarengi dengan pengurangan kesenjangan atau ketimpangan pendapatan. Penurunan kemiskinan dapat lebih cepat jika penduduk miskin mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan. Menurut growth model dari Rostow menyatakan bahwa memperbesar kue pembangunan terlebih dahulu kemudian di distribusikan. Berdasarkan hal tersebut pemerintah daerah terlebih dahulu meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
yang
kemudian
didistribusi
atau
memberikan dampak terhadap daerah-daerah dalam tingkat kesejahtraan dan menurunkan tingkat kemiskinan yang terdapat di daerah. Menurut Jonaidi (2012) menyatakan bahwa kemiskinan berkorelasi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini berarti penurunan tingkat kemiskinan maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan sebaliknya. Sinegar dan Wahyuniarti (2006) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap
penurunan jumlah penduduk miskin walaupun dengan
magnitude yang relatif kecil. Hal serupa juga dinyatakan oleh Balisacan et al (2003) yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap kemiskinan dan pertumbuhan merupakan satu-satunya faktor yang memengaruhi
18
laju perubahan kemiskinan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Santosa pada tahun 2013 menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap angka kemiskinan.
2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Pengkajian atas hasil – hasil penelitian sebelumnya akan sangat membantu peneliti-peneliti lainnya dalam menelaah masalah yang akan dibahas dengan berbagai pendekatan spesifik. Selain itu, dengan mempelajari hasil-hasil penelitian terdahulu akan memberikan pemahaman komprehensif mengenai posisi peneliti. Oleh karena itu di bagian berikut akan diterangkan beberapa hasil penelitian terdahulu, yaitu: 1. Penelitian yang dilakukan Merdekawati dan Budiantara (2013) yang berjudul “Pemodelan Regresi Spline Truncated Multivariabel Pada FaktorFaktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah”. Variabel yang digunakan dalam menelitian ini meliputi laju pertumbuhan ekonomi, alokasi belanja daerah untuk bantuan sosial, persentase buta huruf, tingkat pengangguran terbuka, persentase gizi buruk balita, tingkat pendidikan kurang dari SMP, rumah tangga dengan kelayakan papan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktorfaktor
yang berpengaruh terhadap kemiskinan di Jawa Tengah
menggunakan regresi spline. Regresi spline yang dipilih adalah yang memiliki titik knot dengan nilai GCV minimum. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa dengan regresi spline terbaik adalah regresi spline linier menggunakan tiga titik knot. Faktor yang berpengaruh signifikan
19
pada kemiskinan adalah adalah laju pertumbuhan ekonomi, alokasi belanja tidak langsung untuk bantuan sosial, persentase buta huruf, tingkat pengangguran terbuka, persentase gizi buruk balita, tingkat pendidikan kurang dari SMP, rumah tangga dengan akses air bersih, dan rumah tangga dengan kelayakan papan. Model regresi spline linier menghasilkan R2 sebesar 99,9 persen. Persamaan penelitian ini adalah variabel yang digunakan dalam meneliti kemiskinan adalah pertumbuhan ekonomi dan alokasi belanja daerah untuk bantuan sosial dimana termasuk ke dalam bagian belanja tidak langsung. Perbedaannya adalah pada penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi spline dan lokasi penelitian pada Jawa
Tengah
sedangkan
yang
digunakan
yaitu
teknik
analisis
pengembangan dari regresi berganda yaitu analisis jalur. 2. Penelitian yang dilakukan Santosa (2013) yang berjudul “Pengaruh PAD dan Dana perimbangan Daerah Terhadap Pertumbuhan, Pengangguran dan Kemiskinan 33 Provinsi di Indonesia”. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah DAU, DAK, DBH, PAD, Pengangguran, Kemiskinan dan Pertumbuhan dan alat analisis yang digunakan adalah analisis jalur. Hasil penelitian ini PAD dan DAU tidak berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan, sementara DAK dan DBH berpengaruh. PAD dan DAU berpengaruh terhadap penurunan pengangguran sementara DAK dan DBH tidak. PAD, DAU, DAK, DBH berpengaruh menurunkan angka kemiskinan, sementara pertumbuhan tidak berpengaruh pada kemiskinan dan
pengangguran.
Persamaan
20
penelitian
ini
adalah
sama-sama
mengidentifikasi PAD memengaruhi kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi serta pertumbuhan ekonomi memengaruhi kemiskinan dan menggunakan teknik analisis yang sama yaitu analisis jalur. Sementara perbedaannya adalah lokasi penelitian yang ini pada 33 Provinsi yang ada di Indonesia sedangkan lokasi yang digunakan adalah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali dan variabel belanja tidak langsung yang digunakan. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Mawarni, dkk. (2013) yang berjudul “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Modal serta Dampaknya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Studi Pada Kabupaten/Kota di Aceh)”. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah PAD, DAU, Belanja Modal, Pertumbuhan Ekonomi dan alat analisis yang digunakan adalah analisis jalur. Hasil analisis menunjukkan PAD berpengaruh signifikan dan positif terhadap belanja modal dan pertumbuhan ekonomi, sementara DAU berpengaruh negatif terhadap belanja modal dan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Persamaannya dengan penelitian ini adalah menggunakan analisis jalur dan menganalisis pengaruh PAD terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara perbedaannya adalah variabel intervening yang digunakan dalam penelitian ini yaitu belanja modal sedangkan yang digunakan pertumbuhan ekonomi sebagai variabel intervening dan lokasi yang digunakan berbeda yaitu Provinsi Bali, sedangkan penelitian ini menggunakan Provinsi Aceh.
21
4. Penelitian yang dilakukan oleh Haryanto (2013) yang berjudul “Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kebupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2011”. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Belanja Langsung, Belanja Tidak Langsung dan Pertumbuhan Ekonomi dan alat analisis yang digunakan adalah analisis data panel. Hasil analisis menunjukkan belanja tidak langsung dan belanja langsung secara bersama-sama berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Persamaan penelitian ini adalah sama-sama menganalisis pengaruh belanja tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara perbedaannya adalah lokasi penelitian ini di Jawa Tengah tahun 2007-2011, sedangkan yang digunakan Kabupaten/Kota di Provinsi Bali tahun 2007-2013.
2.3 Hipotesis Penelitian Pendapatan asli daerah dan belanja tidak langsung yang meningkat diharapkan
akan
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
dan
mengurangi
kemiskinan. Berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Tidak Langsung berpengaruh signifikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bali tahun 20072013. 2. Pendapatan Asli Daerah, Belanja Tidak Langsung dan Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh signifikan terhadap Kemiskinan di Provinsi Bali tahun 2007-2013.
22
3. Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadap Kemiskinan melalui Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bali tahun 2007-2013. 4. Belanja Tidak Langsung berpengaruh signifikan terhadap Kemiskinan melalui Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bali tahun 2007-2013.
23