BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
1.1 Landasan Teori dan Konsep 1.1.1
Landasan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan organisasi.
Menurut Taufik (2013), keadilan pada hakikatnya ialah memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan haknya. Keadilan menurut Dwisvimiar (2011) merupakan suatu keadaan dimana seseorang mendapatkan apa yang menjadi haknya dan telah sesuai dengan hukum dan norma yang berlaku. Keadilan organisasional menggambarkan persepsi individu atau kelompok tentang kewajaran perilaku yang mereka terima dari sebuah organisasi dan reaksi perilaku mereka terhadap persepsi mereka tersebut (Daromes, 2006). Keadilan organisasional digunakan untuk mengategorikan dan mendeskripsikan pandangan dan perasaan pegawai tentang sikap mereka sendiri dan orang lain dalam suatu organisasi tempat mereka bekerja, dan hal tersebut kemudian dihubungkan dengan pemahaman mereka dalam menyatukan persepsi secara subyektif yang dihasilkan dari hasil keputusan yang diambil oleh organisasi, prosedur dan proses yang digunakan untuk menuju pada keputusankeputusan ini (Puspitadewi dan Soni, 2012). Teori keadilan dari Stacey Adam menyatakan setiap anggota organisasi akan membandingkan dirinya dengan hal lain (keadaan sebelumnya atau keadaan pada lingkungan di dalam organisasi maupun keadaan di luar organisasi), maka definisi keadilan organisasi mengacu pada adanya
keterbukaan dan transparansi dalam organisasi yang berdasarkan pada keadilan dan kebenaran (Mustafa, 2008). Menurut Hehanussa (2014), secara garis besar para pekerja atau bawahan akan mengevaluasi keadilan dalam tiga klasifikasi peristiwa, yaitu hasil yang mereka terima dari organisasi (keadilan distributif), kebijakan formal atau proses yang mana suatu pencapaian dialokasikan (keadilan prosedural), dan perilaku interpersonal ketika kebijakan formal atau proses pengalokasian hasil dilaksanakan (keadilan interaksional). 1.1.2
Daya Tarik Organisasi Dalam arti sempit, daya tarik organisasi mengacu pada sikap individu
terhadap suatu organisasi sebagai tempatnya bekerja, seperti “Saya ingin bekerja untuk organisasi ini”. Dalam arti luas, daya tarik organisasi dapat mencakup niat individu terhadap organisasi sebagai tempatnya bekerja, seperti “Saya akan mengerahkan banyak upaya untuk bekerja demi organisasi” (Highhouse et al., 2003). Menurut Luce et al., (2001) daya tarik organisasi mengacu pada cara strategis organisasi untuk mengeksploitasi kekuatan mereka dalam rangka untuk menarik pelamar. Mengumpulkan calon karyawan dengan profil yang cocok dengan persyaratan organisasi sangat penting untuk organisasi yang kompetitif. Daya tarik organisasi merupakan apa yang melekat pada organisasi meliputi reputasi organisasi, kepercayaan organisasi, kemampuan dan pengalaman, lokasi yang strategis, dan fasilitas yang ada pada organisasi (Darsono, 2001). Menurut Darsono (2001), indikator-indikator daya tarik organisasi terdiri dari lima dimensi, yaitu:
1.
Reputasi organisasi yang telah dipercaya oleh pemerintah atau masyarakat (brand image)
2.
Organisasi memberi pelayanan yang telah dijanjikan seperti informasi yang diberikan sebelumnya (believability)
3.
Organisasi memiliki keahlian yang spesifik dibidangnya (credibility)
4.
Lokasi kantor yang strategis (location)
5.
Fasilitas-fasilitas kantor yang representatif untuk bekerja (facility) Gomes dan Jose (2001) melakukan penelitian yang berjudul Organizational
Attractiveness and Prospective Applicants’ Intentions to Applay, penelitian ini menjelaskan proses yang mengarah pada calon pelamar untuk melamar pekerjaan. Hal ini mengusulkan bahwa calon pelamar mengevaluasi lowongan pekerjaan berdasarkan karakteristik pekerjaan dan atribut organisasi. Ini akan menentukan persepsi daya tarik organisasi, dan akan menimbulkan niat untuk melamar pekerjaan. Daya tarik organisasi sepenuhnya memediasi hubungan antara karakteristik pekerjaan dan atribut organisasi dengan maksud untuk melamar pekerjaan. Daya tarik organisasi dapat memainkan peran kunci dalam menjelaskan proses yang mengarah pada niat yang diterapkan untuk melamar pekerjaan. Hal ini jelas dapat menunjukkan pentingnya persepsi daya tarik organisasi untuk memahami tahap daya tarik organisasi dari proses perekrutan. Froese dan Kishi (2012) juga melakukan penelitian tentang daya tarik organisasi yang berjudul Organizational Attractiveness of Foreign Firms in Asia: Soft Power Matters, penelitian ini mengkaji apakah dan bagaiman soft power dari Negara
atau wilayah (pengaruh persepsi dan media sebagai eksposur/pemaparan dari Negara atau wilayah tersebut) yang terkait daya tarik organisasi perusahaan asing. Hasil survey lebih dari 2200 calon pekerja dari Korea Selatan, Cina, Vietnam, Thailand, Filipina, dan Singapura menunjukkan bahwa soft power dari Jepang dan negaranegara barat memprediksi daya tarik pemohon untuk organiasi dari Negara-negara tersebut. Temuan empiris yang didapat bahwa soft power diukur dengan pengaruh persepsi Negara dan pemaparan media memiliki dampak yang signifikan terhadap daya tarik pemohon. Responden yang memiliki eksposur lebih untuk media Jepang dan mereka memiliki persepsi positif terhadap Negara tersebut, maka mereka lebih tertarik untuk bekerja di Jepang. Hubungan yang sama berlaku untuk pengaruh Negara barat, eksposur atau pemaparan media barat, dan pekerja di Negara barat. Ini menunjukkan pentingnya soft power dalam manajemen sumber daya manusia dan bisnis internasional. Soft power merupakan komponen penting dari citra Negara dan dapat membantu menjelaskan daya tarik pemohon untuk pengusaha yang berbasis Negara lain. Soft power dapat digunakan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dengan menciptakan kesan positif dikalangan warga Negara asing. Selain itu, soft power memiliki peranan penting dalam perekrutan dan domain bisnis internasional lain. Selain itu, Darsono (2001) melakukan penelitian yang berjudul Analisis Pengaruh Adaptasi Kreatif dan Kualitas Layanan Terhadap Daya Tarik Organisasi dan Dampaknya pada Kemauan Membeli. Daya tarik organisasi disini dievaluasi mengenai derajat atau tingkat ketertarikan pelanggan terhadap organisasi melalui
atribut-atribut yang melekat pada organisasi. Daya tarik organisasi tersebut adalah sebagai komunikasi persuasif sekaligus sebagai alat untuk positioning komunikasi yang perlu diperhatikan dengan serius oleh manajemen. Dengan daya tarik tersebut diharapkan pelanggan akan menjadi setia atau loyal terhadap apa yang bisa dirasakan setelah mendapat fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh organisasi dan juga setelah mendapatkan kualitas layanan yang sesuai dengan harapan atau persepsi pelanggan. Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan berbagai cara yang perlu ditempuh agar lembaga atau organisasi mempunyai daya tarik yang tinggi bagi pelanggan, maka dilakukan kegiatan adaptasi kreatif, ditambah komunikasi persuasif terhadap pelanggan dan atau konsep positioning komunikasi diharapkan cukup signifikan dalam meningkatkan daya tarik organisasi. Kualitas layanan ditambah komunikasi persuasif terhadap pelanggan cukup signifikan dalam mempengaruhi daya tarik organisasi melalui kualitas layanan yang diberikan kepada pelanggan. Selanjutnya daya tarik organisasi yang juga merupakan alat komunikasi persuasif dan atau konsep positioning komunikasi juga signifikan terhadap kemauan membeli konsumen. 1.1.3
Persepsi Keadilan Proses Seleksi Keadilan prosedural merupakan keadilan yang dipahami individu berdasarkan
proses yang digunakan untuk menetapkan distribusi imbalan. Keadilan prosedural, memfokuskan pada respon yang berorientasi pada keadilan aturan dan prosedur dalam perusahaan (Latif, 2007). Menurut Budiarto dan Rani (2005), Keadilan prosedural ialah persepsi keadilan terhadap prosedur yang digunakan untuk membuat keputusan sehingga setiap anggota organisasi merasa terlibat di dalamnya. Menurut
Skarlicki (1997) keadilan prosedural merupakan keadilan yang dirasa dari kebijakan atau prosedur yang digunakan dalam mengambil keputusan. Menurut Kreitner dan Kinicki (2003) keadilan prosedural merupakan keadilan yang dirasakan dari proses dan prosedur yang digunakan untuk mengalokasikan keputusan. Seseorang akan menggunakan persepsi keadilan prosedural, ketika mereka akan menentukan bagaimana bereaksi dengan organisasi atau sistem (Colquitt et al., 2001). Fokus keadilan prosedural adalah pada perhatian karyawan yaitu bagaimana prosedur untuk membuat keputusan tersebut dapat dilaksanakan (Hwei, 2012). Menurut Ellyta (2009) proses seleksi dapat dikatakan sebagai tahap awal yang menentukan bagi organisasi untuk memperoleh calon pegawai yang mempunyai kemampuan yang handal dan profesional. Proses seleksi adalah serangkaian langkah kegiatan yang digunakan untuk memutuskan kandidat (calon karyawan) yang dapat ditempatkan secara tepat (Setiani, 2013). Keadilan proses seleksi merupakan keadilan yang dipahami individu berdasarkan pada keadilan aturan dan prosedur dalam perusahaan atau organisasi. Selain itu, keadilan proses seleksi juga merupakan keadilan yang dirasa dari proses dan prosedur yang digunakan untuk memutuskan calon karyawan yang dapat ditempatkan secara tepat dalam organisasi. Menurut Gilliland (1993) terdapat 10 indikator keadilan prosedural yang berkaitan dengan 3 kategori utama keadilan seleksi, yaitu karakteristik resmi dari proses seleksi (keterkaitan pekerjaan, kesempatan untuk melakukan, kesempatan peninjauan kembali, dan konsistensi), persepsi keadilan berkaitan dengan penjelasan
sejauh mana informasi dibagi tentang proses seleksi (umpan balik, informasi proses seleksi, dan keterbukaan), dan kualitas perlakuan antarpersonal (perlakuan dilokasi tes, komunikasi dua arah, dan kepatutan pertanyaan). Penjelasan dari 10 indikator keadilan prosedural tersebut adalah: 1.
Keterkaitan pekerjaan (job relatedness) Sejauh mana tes tersebut baik untuk mengukur konten yang relevan dengan situasi pekerjaan atau berlakunya pekerjaan.
2.
Kesempatan untuk melakukan (opportunity to perform) Memiliki
kesempatan
yang
cukup
untuk
menunjukkan
pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan seseorang pada saat pengujian. 3.
Kesempatan peninjauan kembali (reconsideration opportunity) Kesempatan untuk menantang atau memodifikasi pengambilan keputusan atau proses evaluasi dan kesempatan untuk meninjau dan/atau mendiskusikan skor atau mencetak skor.
4.
Konsistensi (consistency) Keputusan prosedur yang konsisten dan tanpa prasangka dimasyarakat serta tetap konsisten seiring waktu.
5.
Umpan balik (feedback) Pemberian umpan balik tepat pada waktunya dan informatif.
6.
Informasi seleksi (selection information) Informasi, komunikasi, dan penjelasan tentang proses seleksi sebelum pengujian.
7.
Keterbukaan (opennes) Sejauh mana komunikasi yang dirasakan oleh pelamar itu jujur, benar, dan terbuka.
8.
Perlakuan dilokasi tes (treatment at the test site) Sejauh mana pelamar diperlakukan dengan baik dan dihormati.
9.
Komunikasi dua arah (two-way communication) Kesempatan bagi pelamar untuk memberikan saran atau pandangan mereka untuk dipertimbangkan selama tes atau dalam proses seleksi.
10. Kepatutan pertanyaan (propriety of questions) Sejauh mana pertanyaan menghindari prasangka personal, pelanggaran privasi, ilegalitas, dianggap adil, dan tepat. Penelitian Bernerth et al., (2006) yang berjudul Perceived Fairness in Employee Selection: The Role of Applicant Personality meneliti tentang peran kepribadian pemohon dikaitkan dengan persepsi keadilan prosedural dan distributif bagi pelamar setelah organisasi menginformasikan keputusan seleksi yaitu menolak atau menerima pelamar. Keramahan akan terkait secara positif dengan keadilan yang mereka rasakan dari prosedur pengujian kepribadian dan hasil-hasil dalam proses seleksi. Keterbukaan pengalaman akan terkait positif dengan keadilan yang mereka rasakan dari prosedur pengujian kepribadian dan hasil dalam proses seleksi. Neurotisisme akan dikaitkan secara negatif dengan keadilan yang mereka rasakan dari prosedur pengujian kepribadian dan hasil-hasil dalam proses seleksi. Hasil
keputusan seleksi (yaitu, ditolak dibandingkan diterima oleh organisasi) akan memoderasi hubungan yang positif antara test-taking self-efficacy dengan keadilan yang dirasakan prosedur seleksi dan keputusan seleksi. Secara khusus, hubungan ini akan lebih besar bila pemohon diterima oleh organisasi. Analisis regresi hirarkis menunjukkan keramahan, keterbukaan terhadap pengalaman, dan test-taking selfefficacy berhubungan positif dengan persepsi keadilan prosedural dan distributif. Neurotisisme secara negatif terkait dengan persepsi keadilan distributif. Hubungan test-taking self-efficacy dengan keadilan prosedural dan distributif yang dimoderatori oleh keputusan seleksi organisasi. Truxillo et al., (2004) dalam penelitiannya yang berjudul The Importance of Organizational Justice in Personnel Selection: Defining When Selection Fairness Really Matters yang memiliki tujuan untuk menguji kegunaan pendekatan keadilan organisasi terhadap reaksi pemohon. Dimulai dengan gambaran dari penelitian yang berkaitan dengan keadilan prosedur seleksi untuk individu dan hasil organisasi. Selanjutnya mengusulkan bagaimana mendefinisikan kondisi keadilan, hasil yang tepat untuk meneliti reaksi pemohon, dan metodologis masalah yang membatasi kontribusi banyak literatur. Kemudian mempertimbangkan kisaran pertanyaan yang masih harus ditangani dan isu-isu baru seperti pengujian teknologi. Akhirnya, peneliti mengusulkan serangkaian pertanyaan terapan dan rekomendasi berdasarkan teori dan penelitian empiris. Walsh et al., (2010) meneliti praktek-praktek budaya moderat serta persepsi kewajaran seleksi atas daya tarik organisasi dan pilihan pekerjaan. Penelitian ini
berjudul Investigating the Moderating Role of Cultural Practices on the Effect of Selection Fairness Perceptions yang bertujuan untuk menyelidiki efek persepsi kewajaran struktural dan berbagi informasi seleksi atas peringkat daya tarik organisasi dan pilihan pekerjaan. Persepsi keadilan seleksi dan informasi yang dibagikan memiliki hubungan positif terhadap daya tarik organisasi. Untuk pilihan pekerjaan, persepsi keadilan seleksi memiliki hubungan positif, tetapi berbagi informasi tidak memiliki hubungan. Hal ini dikarenakan persepsi keadilan struktural yang lebih positif akan menyebabkan kemungkinan besar menerima tawaran pekerjaan dari organisasi. Persepsi keadilan seleksi dan daya tarik organisasi dimoderasi oleh orientasi kinerja, sedangkan persepsi keadilan dan pilihan pekerjaan tidak dimoderasi oleh orientasi kinerja. Penghindaran ketidakpastian budaya praktek yang diduga memoderasi pengaruh struktural, persepsi keadilan struktural berhubungan positif dengan semua hasil. 1.1.4
Persepsi Keadilan Penyebaran Informasi Terkait Seleksi Keadilan informasional merupakan persepsi individu tentang keadilan
informasi yang digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan (Robbins dan Judge, 2008). Keadilan informasional mengacu pada penjelasan dan status sosial, yang difokuskan atas pemberian informasi kepada orang-orang tentang mengapa suatu prosedur digunakan dengan cara yang jelas atau mengapa outcome didistribusikan dengan suatu cara tertentu (Conquitt, 2001). Menurut Conquitt (2006) keadilan informasional berpusat kepada penjelasan yang jujur dan memuaskan dalam
pengambilan keputusan. Keadilan informasional menekankan kepada akurasi dan kualitas penjelasan yang individu terima (Lewis, 2013). Keadilan penyebaran informasi terkait seleksi merupakan keadilan tentang informasi yang disebarkan dan digunakan untuk menyaring calon karyawan yang tepat dalam organisasi. Keadilan penyebaran informasi terkait seleksi juga merupakan pemberian informasi kepada orang-orang tentang prosedur yang digunakan dalam seleksi dengan cara yang jelas. Indikator-indikator untuk mengukur keadilan informasional menggunakan pengukuran yang dikembangkan oleh Colquitt (2001), yaitu: 1.
Kejujuran Menunjukkan penilaian mengenai kejujuran atasan dalam berkomunikasi mengenai seleksi.
2.
Pembenaran Menunjukkan penilaian mengenai bagaimana atasan menjelaskan peraturan atau prosedur seleksi perusahaan.
3.
Masuk akal Menunjukkan penjelasan mengenai masuk akal tidaknya penjelasan yang diberikan terkait seleksi.
4.
Tepat waktu Menunjukkan penilaian mengenai kesiapan atasan untuk berkomunikasi setiap waktu dengan karyawannya.
5.
Spesifik
Menunjukkan penilaian mengenai bagaimana atasan menyesuaikan kebutuhan khusus komunikasi bawahannya. Gilliland (1993) dalam penelitiannya yang berjudul The Perceived Fairness of Selection Systems: An Organizational Justice Perspective meneliti tentang model keadilan reaksi pelamar terhadap sistem kerja seleksi diusulkan sebagai dasar untuk mengatur temuan sebelumnya dan membimbing penelitian masa depan. Literatur keadilan organisasi ditinjau secara singkat, dan temuan kunci yang digunakan untuk menyediakan kerangka kerja untuk model yang diusulkan. Keadilan prosedural sistem seleksi diperiksa dalam 10 peraturan prosedural, dimana kepuasan dan melanggar aturan ini memberikan dasar untuk reaksi keadilan. 10 peraturan tersebut dibagi menjadi 3 kategori utama, yaitu yang berkaitan dengan karakteristik resmi dari proses seleksi, persepsi keadilan berkaitan dengan penjelasan termasuk sejauh mana informasi yang dibagikan tentang proses seleksi, dan kualitas perlakuan antar individu selama proses seleksi. Keadilan distributif dalam keputusan mempekerjakan, diperiksa sehubungan dengan ekuitas, kesetaraan, dan kebutuhan. Model ini juga mencakup interaksi prosedural dan distributif dengan keadilan hubungan reaksi keadilan untuk individu dan hasil organisasi. Kerangka kerja konseptual Gilliland ini untuk persepsi keadilan seleksi menyediakan kendaraan untuk teori tentang konsep keadilan organisasi dalam konteks proses seleksi. Walsh et al., (2010) meneliti praktek-praktek budaya moderat serta persepsi kewajaran seleksi atas daya tarik organisasi dan pilihan pekerjaan. Penelitian ini berjudul Investigating the Moderating Role of Cultural Practices on the Effect of
Selection Fairness Perceptions yang bertujuan untuk menyelidiki efek persepsi kewajaran struktural dan berbagi informasi seleksi atas peringkat daya tarik organisasi dan pilihan pekerjaan. Persepsi keadilan seleksi dan informasi yang dibagikan memiliki hubungan positif terhadap daya tarik organisasi. Untuk pilihan pekerjaan, persepsi keadilan seleksi memiliki hubungan positif, tetapi berbagi informasi tidak memiliki hubungan. Hal ini dikarenakan persepsi keadilan struktural yang lebih positif akan menyebabkan kemungkinan besar menerima tawaran pekerjaan dari organisasi. Persepsi keadilan seleksi dan daya tarik organisasi dimoderasi oleh orientasi kinerja, sedangkan persepsi keadilan dan pilihan pekerjaan tidak dimoderasi oleh orientasi kinerja. Penghindaran ketidakpastian budaya praktek yang diduga memoderasi pengaruh struktural, persepsi keadilan struktural berhubungan positif dengan semua hasil. Penelitian Steiner dan Gilliland (2001) yang berjudul Procedural Justice In Personnel Selection: International and Cross-Cultural Perspectives juga mendukung penelitian-penelitian diatas. Persepsi keadilan perlakuan pelamar selama proses perekrutan sangat penting, sebagai temuan umumnya menyarankan hubungan positif antara persepsi keadilan seleksi dan hasil yang diinginkan. Steiner dan Gilliland (2001) memodifikasi konseptual kecil dari Gilliland (1993), terdapat tiga kategori aturan yaitu, aspek struktural (keterkaitan pekerjaan, kesempatan untuk melakukan, konsistensi perlakuan, dan kesempatan peninjauan kembali), berbagi informasi (proses informasi, komunikasi dua arah, dan keputusan pembenaran), dan perlakuan interpersonal (sensitivitas interpersonal).
Budaya masyarakat dapat menjelaskan
variasi dalam reaksi terhadap prosedur seleksi dan sejauh mana persepsi keadilan seleksi memprediksi berbagai hasil. 1.2 Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2013:93). 1.2.1
Pengaruh Persepsi Keadilan Proses Seleksi terhadap Daya Tarik Organisasi Persepsi keadilan seleksi akan secara signifikan terkait dengan
hasil
organisasi dan individu (daya tarik organisasi, komitmen organisasi, niat rekomendasi, dan harga diri) (Bauer et al., 2001). Menurut Truxillo et al., (2004) persepsi keadilan sistem seleksi berpengaruh terhadap daya tarik organisasi dan niat untuk menerima tawaran kerja. Bauer et al., (1998) menemukan bahwa keterkaitan pekerjaan yang dirasakan dari proses seleksi adalah prediktor signifikan dari organisasi daya tarik. Demikian pula, Walsh et al., (2010) menyatakan bahwa ada pengaruh positif antara persepsi keadilan seleksi terhadap daya tarik organisasi. H1: Persepsi Keadilan Proses Seleksi Berpengaruh terhadap Daya Tarik Organisasi 1.2.2
Pengaruh Persepsi Keadilan Penyebaran Informasi Terkait Seleksi terhadap Daya Tarik Organisasi Menurut Gilliland (1993), tiga kategori utama keadilan persepsi yaitu
karakteristik proses seleksi, penyebaran informasi, dan perlakuan interpersonal berpengaruh terhadap daya tarik organisasi. Ada tiga struktur kategori yang
mempengaruhi daya tarik organisasi, yaitu aspek struktural, penyebaran informasi, dan perlakuan interpersonal (Steiner & Gilliland, 2001). Demikian pula, Walsh et al., (2010) menyatakan bahwa ada pengaruh positif antara keadilan penyebaran informasi terkait seleksi terhadap daya tarik organisasi. H2: Keadilan Penyebaran Informasi Terkait Seleksi Berpengaruh terhadap Daya Tarik Organisasi 1.2.3
Model Penelitian Berdasarkan definisi dan kajian teori dari beberapa para ahli yang ada, maka
dapat disusun suatu model penelitian sebagai dasar penentu hipotesis seperti yang ditujukkan pada Gambar 2.1 Gambar 2.1 Model Penelitian Persepsi Keadilan Proses Seleksi (X1)
H1 (2001: 261) menyat akan kompe nsasi pengat Persepsi uran H2 Keadilan keselur Penyebaran uhan Informasi (X2) pember ian balas jasa Sumber: Teori dan hasil penelitian sebelumnya bagi employ ers baik yang langsu ng
Daya Tarik Organisasi (Y)